Anda di halaman 1dari 20

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
INFEKSI VIRUS DENGUE

DEFINISI
Demam dengue merupakan sindrom jinak yang disebabkan oleh virus
arthropod borned dan memiliki karakteristik yaitu demam bifasik, myalgia atau
arthralgia, kemerahan, leukopenia dan limfadenopati. Demam berdarah dengue (DHF)
merupakan penyakit demam yang berat, kadang fatal yang disebabkan oleh satu dari
empat virus dengue, yang memiliki ciri terdapatnya permeabilitas kapiler, hemostasis
yang tidak normal, dan pada kasus berat, terdapat sindrom syok dengan hilangnya
protein.
Virus Dengue ini merupakan anggota genus Flavivirus dan famili Flaviviridae
yang memiliki genom virus yang terdiri dari 11644 panjang nukleosid dan dibentuk
oleh tiga gen protein struktural yaitu core protein (C), membrane-associated protein
(M), envelope protein (E) dan tujuh gen protein non-struktural (NS). Terdapat empat
jenis serotipe virus yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV-4. Di Indonesia
keempat serotipe virus dengue tersebut dapat ditemukan dan DENV-3 merupakan
galur virus paling virulen.
Virus ini dibawa terutama oleh dua vektor yaitu Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Nyamuk ini merupakan nyamuk domestik yang mempunyai afinitas tinggi
untuk menggigit manusia (antrofilik) serta menggigit lebih dari satu individu untuk
memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pola hidup ini menyebabkan vektor tersebut sangan
potensial untuk menularkan virus dengue dari satu individu ke individu lain. Hanya
nyamuk betina yang menggigit manusia.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Saat nyamuk menghisap darah manusia yang mengalami viremia, virus masuk
ke dalam tubuh nyamuk, yaitu dua hari sebelum timbul demam sampai 5-7 hari fase
demam. Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan faktor virus, pejamu,
dan lingkungan
Secara umum patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh interaksi
berbagai komponen dari respon imun atau reaksi inflamasi yang terjadi secara
terintegrasi. Respon imun humoral diperankan oleh limfosit B dengan menghasilkan
antibodi spesifik terhadap virus dengue. Antibodi spesifik untuk virus dengue
terhadap satu serotipe tertentu juga dapat menimbulkan rekasi silang dengan serotipe
lain selama enam bulan. Antibodi yang dihasilkan dapat menguntungkan dalam arti
melindungi dari terjadinya penyakit, namun sebaliknya dapat pula menjadi pemicu
terjadinya infeksi yang berat melalui mekanisme ADE (antibody-dependent
enhancement).
Antibodi anti-dengue yang dibentuk umunya berupa IgG dengan aktivitas
berbeda. Antibodi terhadap protein E dapat berfungsi baik untuk meneutralisasi
maupun berperan dalam menghancurkan sel yang terinfeksi melalui bantuan
komplemen. Infeksi virus dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat
menimbulkan kekebalan yang menetap untuk seotipe bersangkutan (antibodi
homotipik). Pada saat yang bersamaan, sebagai bagian dari kekebalan sialng akan
dibentuk antibodi untuk serotipe lain (antibodi heterotipik). Apabila kemudian terjadi
infeksi oleh serotipe yang berbeda, maka antibodi heterotipi yang bersifat non atau
subneutralisasi berikatan dengan virus atau partikel tertentu dari virus serotipe yang
baru dan membentuk kompleks imun. Kompleks imun akan berikatan dengan reseptor
Fcγ yang banyak terdapat pada monosit dan makrofag sehingga memudahkan virus
menginfeksi sel. Virus kemudian bermultiplikasi di dalam sel dan selanjutnya virus
keluar dari sel sehingga terjadi viremia. Kompleks imun juga mengaktifkan kaskade
sistem komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a yang mempunyai dampak
langsung terhadap peningkatan permeabilitas vaskular.
Diantara komponen protein virus dengue yang berperan dalam pembentukan
antibodi spesifik yaitu protein E, M dan NS1, protein yang paling berperan dalam
mekanisme autoimun dalam patogenesis infeksi virus dengue yaitu protein NS1.
Antibodi terhadap protein NS1 dengue menunjukkan reaksi silang dengan sel endotel
dan trombosit, sehingga menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut serta dapat
memacu respon inflamasi. Sel endotel yang diaktivasi oleh antibodi terhadap protein
NS1 dengue ternyata dapat mengekspresikan sitokin, kemokin, dan molekul adhesi.
Selain NS1, autoantibodi protein M juga dapat bereaksi silang dengan sel endotel,
dikarenakan terdapat kesamaana atau kemiripan antara protein NS1 dan protein M
(molecular mimicry). Autoantibodi yang bereaksi dengan komponen mengakibatkan
sel yang mengandung molekul hasil ikatan antara keduanya akan dihancurkan oleh
makrofag. Akibatnya pada trombosit terjadi penghancuran sehingga menyebabkan
trombositopenia dan pada sel endotel terjadi peningkatan permeabilitas yang
mengakibatkan perembesan plasma.
Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan derajat
penyakit. Infeksi yang berat dalam hal ini DBD (apalagi DSS) ditandai dengan
peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut dengan badai sitokin. Sistem
komplemen ikut berperan dimana kompleks imun virus dengue dan antibodi pada
infeksi sekunder dapat mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasis. Protein
NS1 dapat mengaktifkan sistem komplemen secara langsung melalui jalur alternatif
dan apabila berlebihan dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular.
Aktivasi komplemen menghasilkan peptida yang mempunyai aktivitas biologik
sebagai anafilatoksin yaitu C3a dan C5a. Komplemen C5a menginduksi produksi
beberapa sitokin proinflamasi dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi baik pada
neutrofil maupun sel endotel, sehingga peran C5a dalam peningkatan permeabilitas
vaskular sangat besar.

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS


Virus dengue menyebabkan infeksi simtomatik atau serokonversi asimtomatik.
Infeksi dengue simtomatik adalah penyakit yang sistemik dan dinamis dan memiliki
spektrum klinis yang luas yang mencakup manifestasi klinis berat ataupun tidak berat.
Setelah periode inkubasi, penyakit dimulai dan pada pasien dengan derajat sedang
kearah berat terjadi tiga fase yaitu fase demam, kritis dan pemulihan. Karena sifat
yang dinamis ini, keparahan penyakit biasanya mulai terjadi pada transisi dari fase
dememam menjadi afebris yang mana sering terjadi bersamaan dengan onset fase
kritis.
FASE DEMAM
Pasien biasanya mengalami demam tinggi secara tiba-tiba. Fase demam akut
ini biasanya terjadi selama 2-7 hari dan kadang ditemani oleh gejala seperti facial
flushing, anoreksia, mialgia, dan atralgia, nyeri retroorbita, fotofobia, eksantem
rubeliform dan nyeri kepala. Beberapa pasien mengalami nyeri menelan, faring dan
konjungtiva yang kemerahan, serta muntah-muntah.
Sulit untuk mendeteksi dengue secara klinis dengan penyakit demam lain non-
dengue pada fase awal ini. Torniquet test yang positif mengindikasikan adanya
probabilitas dengue. Namun demikian, gejala klinis ini tidak memprediksi keparahan
dari dengue. Manifestasi perdarahan ringan seperti ptekie dan perdarahan membran
mukosa dapat ditemukan. Mudah memar dan berdarah saat dilakukan pungsi venda
dapat terjadi pada beberapa kasus. Perdarahan vagina dan perdarahan saluran cerna
dapat terjadi pada fase ini walaupun tidak umum. Hepar dapat membesar dan nyeri
setelah beberapa hari demam. Ketidaknormalan nilai laboratorium yang dapat
ditemukan pada fase awal ini adalah penurunan progresif pada leukosit.
FASE KRITIS
Saat perubahan dari fase febris menjadi afebris, pasien tanpa peningkatan
permeabilitas kapiler akan membaik tanpa melewati fase kritis. Namun pada pasien
dengan kebocoran plasma, daripada membaik, pasien tersebut akan memperlihatkan
warning signs.
Warning signs menandai permulaan dari fase kritis. Keadaan pasien akan
memburuk, saat suhu turun menjadi 37,5-38,0 atau lebih rendah lagi, biasanya pada
hari 3-8 perjalanan penyakit. Leukopenia progresif diikuti dengan penurunan jumlah
platelet biasanya mengawali kebocoran plasma. Peningkatan hematokrit diatas nilai
baseline merupakan tanda awal tambahan. Periode kebocoran plasma yang signifikan
biasanya terjadi selama 24-48 jam. Derajat kebocoran plasma bervariasi. Peningkatan
hematokrit mendahului perubahan dari tekanan darah dan volume nadi.
Derajat hemokonsentrasi diatas baseline hematokrit mencerminkan keparahan
dari kebocoran plasma. Hal ini dapat dikurangi dengan terapi cairan intravena dini.
Efusi pleura dan asites dapat dideteksi setelah pemberian terapi cairan, kecuali
kebocoran plasma sangat berat. Sebagai tambahan dari kebocoran plasma, manifestasi
perdarahan seperti perdarahan daerah pungsi vena terjadi cukup sering.
Jika terjadi syok saat hilangnya volume plasma saat kebocoran, biasanya hal
ini didahului oleh warning signs. Suhu tubuh dapat subnormal saat terjadi syok. Jika
syok memberat, hipoperfusi akan menyebabkan asidosis metabolik, gangguan organ
progresif dan DIC. Hal ini dapat menyebabkan perdarahan masif yang menyebabkan
hematokrit menurun pada syok berat dan dapat terjadi leukositosis karena respon
stres. Dapat pula terjadi keterlibatan organ yangberat dan menyebabkan hepatitis,
ensefalitis, miokarditis. Beberapa kasus dengan warning signs biasanya akan
membaik dengan rehidrasi intravena, namun beberapa memburuk menjadi dengue
berat.
FASE PEMULIHAN
Jika pasien melewati 24-48 jam fase kritis, reabsorbsi bertahap dari cairan
ekstravaskular akan terjadi 48-72 jam selanjutnya. Keadaan umum akan membaik,
nafsu makan membaik, gejala gastrointestinal membaik, status hemodinamik stabil,
dan diuresis membaik. Beberapa pasien dapat mengalami eritema konfluens atau
ptekie dengan terdapat area kulit yang normal, dinamakan ‘isles of white in the sea of
red’. Dapat juga terjadi pruritus generalis dan bradikardia. Hematokrit stabil atau
dapat rendah karena efek dilusi, dan perbaikan jumlah platelet lebih lambat dari pada
leukosit. Efusi pleura masih, asites dan edema dapat terjadi jika kelebihan cairan
intravena.

DENGUE BERAT
Kasus dengue berat adalah pada pasien dengan
 Kebocoran plasma berat yang menyebabkan syok dan/atau akumulasi cairan
dengandistres pernapasan
 Perdarahan berat
 Kegagalan organ berat
KEBOCORAN PLASMA BERAT DAN SYOK DENGUE
Sindrom syok dengue (DSS) adalah bentuk syok hipovolemik dan hasil dari
kebocoran plasma. Biasanya terjadi pada hari 4-5 sakit dan sering didahului dengan
warning signs. Pasien tanpa terapi cairan intravena akan jatuh pada keadaan syok.
Pada keadaan syok awal, mekanisme kompensasi yang mempertahankan
sistolik TD akan menyebakan takikard, dan takipneu ringan, dan vasokonstriksi
perifer dengan penurunan perfusi kulit (ekstremitas dingin dengan penurunan waktu
pengisian kapiler). Jika resistensi vaskuler perifer meningkat, tekanan diastolik akan
meningkat dan pulse pressure akan menyempit. Pada anak-anak, syok terkompensasi
diaktakan terjadi jika pulse pressure ≤20 mmHg. Pasien yang menderita dengue dan
berada dalam keadaan syok terkompensasi sering tetap sadar dan lusid.
Syok hipovolemik yang memberuk akan menujukkan peningkatan takikardi
dan vasokonstriksi perifer. Tidak hanya ekstremitas, bagian tubuh yang lain juga akan
dingin dan basah. Dalam keadaan ini pernapasan akan semakin cepat dan dalam,
kompensasi terhadap asidosis metabolik. Jika terjadi dekompensasi, tekanan sistol dan
diastol akan menghilang dan pasien mengalami syok hipotensi atau dekompesasi dan
tanda yang baisanya menyertai adalah perubahan status mental.
Syok hipotensi yang berkepanjangan dan hipoksia akan menyebabkan
asidodsis metabolik, kegagalan organ multipel dana keadaan klinis yang sangat buruk.
Dibutuhkan beberapa jam pada pasien untuk berubaha keadaan dari warning signs
menjadi syok terkompensasi dan beberapa jam kemudian menjadi dekompensasi,
namun hanya dibutuhkan beberapa menit untuk menjadi kolaps kadiovaskular dan
cardiac arrest. Hipotensi berhubungan dengan syok berkepanjangan dan kadang
dipersulit dengan perdarahan. Perdarahan mayor terjadi karena hubungan terhadap
syok tersebut dimana terdapat kombinasi dari trombositopenia, hipoksia dan asidosis
yang menyebabkan kegagalan organ multipel dan DIC. Perdarahan instan dapat
terjadi juga karena pengunaan NSAID atau kortikosteroid.
Pasien dengan kebocoran plasma berat dapat tidak mengalami syok apabila
telah diberikan penggantian cairan yang tepat. Namun dapat terjadi efusi pleura dan
asites apabila pemberian cairan terlalu banyak.

KLASIFIKASI KASUS DENGUE


Berdasarkan WHO
DIAGNOSIS BANDING DENGUE

DIAGNOSIS LABORATORIUM

Viremia akibat dengue biasanya berlangsung singkat, biasanya terjadi 2-3 hari
sebelum timbulnya demam kemudian masa penyakit berlangsung selama empat
sampai tujuh hari. Selama periode ini virus dengue, asam nukleat dan beredar antigen
virus dapat dideteksi.

Respon antibodi terhadap infeksi terdiri dari kemunculan berbagai jenis


imunoglobulin; dan IgM dan IgG merupakan imunoglobulin memiliki nilai diagnostik
pada dengue. Antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari 3-5 setelah mulai sakit, naik
cepat sekitar dua minggu dan selanjutnya menurun hingga tingkat yang tidak
terdeteksi setelah 2-3 bulan. Antibodi IgG dapat dijumpai pada kadar yang rendah
hingga akhir minggu pertama, kemudian meningkat secara tetap bertahap dan dapat
bertahan untuk jangka yang panjang (selama bertahun-tahun). Karena munculnya
antibodi IgM ini cukup lambat, yaitu setelah lima hari sejak timbulnya demam, uji
serologis ini biasanya memberikan hasil negatif selama lima hari pertama sejak pasien
demam.
Pada infeksi dengue sekunder (ketika host sebelumnya telah terinfeksi virus DBD),
titer antibodi meningkat pesat. Antibodi IgG dapat terdeteksi dengan kadar yang
tinggi, bahkan di fase awal, dan bertahan beberapa bulan sampai seumur hidup.
Tingkat antibodi IgM secara signifikan lebih rendah dalam kasus-kasus infeksi
sekunder. Oleh karena itu, rasio IgM / IgG biasanya digunakan untuk membedakan
antara infeksi dengue primer dan sekunder. Trombositopenia biasanya diamati antara
ketiga dan hari kedelapan penyakit diikuti oleh perubahan hematokrit. 


Selama fase awal (hingga hari ke VI sejak onset), isolasi virus, asam nukleat virus,
atau antigen dapat digunakan untuk mendiagnosa infeksi. Di akhir fase akut infeksi,
pemeriksaan imunologis merupakan metode terpilih untuk mendiagnosa infeksi. 


 Isolasi virus : isolasi virus dengue dari spesimen klinis mungkin dilakukan
pada sampel yang diambil dalam 6 hari pertama sejak sakit dan segera
diproses tanpa penundaan. Spesimen yang cocok untuk isolasi virus termasuk :
serum fase akut, jaringan otopsi pada kasus yang fatal. (khusunya hati, limpa,
kelenjar limfe dan timus), serta dari nyamuk yang diambil dari area yang
endemis.
 
Deteksi asam nukleat virus : terdiri dari reverse transcriptase-polymerase
chain reaction (RT-PCR), Nested PCR, one-step multiplex PCR, real-time
RT-PCR, metode amplitudo isotermal 

 Deteksi antigen virus : merupakan glikoprotein yamg diproduksi oleh semua
flavivirus (NS1). Antigen NS1 muncul di hari pertama gejala penyakit dan
menghilang di hari ke 5-6. Oleh karena itu, tes NS1 bisa dijadikan sarana
untuk diagnostik yang lebih cepat.
 Respon imunologis dan uji serologis 
Metode ini terdiri dari : IgM-capture
enzyme-linked immunosorbent assay (MAC- ELISA), IgG-ELISA, IgM/IgG
ratio, Haemagglutination inhibition test, Complement fixation test,
Neutralization test.

Uji diagnostik cepat 
Pemeriksaan ini menggunakan perangkat sederhana untuk


mendeteksi adanya anibodi dengue IgM dan IgG secara cepat (15 menit). Namun
tingkat akurasinya masih belum 
tervalidasi. Kemungkinan positif palsu dapat
terjadi akibat reaksi silang dengan antigen flavivirus lain, malaria, leptospira, ataupun
kelainan imun seperti SLE.


MANAJEMEN KLINIS DENGUE


Penilaian Secara Menyeluruh
 Onset demam
 Kuantitas asupan cairan oral
 Diare
 Output urin (frekuensi, volume, waktu terakhir BAK)
 Penilaian warning signs
 Perubahan mental status
 Riwayat lain yang berhubungan : kejadian dengue di lingkungan, pergi ke
tempat endemik dengue, kondisi tambahan (bayi, hamil, obesitas, DM, HT),
pergi ke hutan atau air terjun (DD leptospirosis, tifoid, malaria), sex bebas dan
penggunaan obat terlarang (HIV)
Penilaian Fisik
 Status mental
 Status hidrasi
 Status hemodinamik
 Efusi pleuran/takipneu/pernapasan asidosis
 Nyeri abnominal/hepatomegali/asites
 Kemerahan pada kulit, manifestasi perdarahan
 Tes tourniquet

Investigasi dilakukan dengan pemeriksaan darah lengkap pada kunjungan pertama


dan harus diulangi tiap hari sampai fase kritis terlewati. Hematokrit pada awal fase
febris dapat digunakan sebagai baseline. Penurunan leukosit (<5000 sel/mm3) dan
jumlah platelet membuat diagnosis dengue menjadi mungkin. Penurunan platelet yang
cepat dan peningkatan hematokrit dapat mengarah kepada kebocoran plasma/fase
kritis. Tes tambahan dapat dilakukan pada pasien dengan komorbid seperti fungsi
hati, glukosa, elestrolit, urea kreatinin, EKG.

Keputusan penanganan pasien dengue dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu
kelompok A (rawat jalan), kelompok B (rawat inap), kelompok C (penanganan gawat
darurat dan rujuk cepat)

KELOMPOK A (rawat jalan)


Pasien yang dapat mentoleransi cairan oral adekuat, diuresis minimal tiap 6 jam dan
tidak memiliki warning signs (terutama saat demam turun)
 Asupan cairan oral adekuat dapat mengurangi angka hospitalisasi. Asupan
cairan oral untuk mengganti hilangnya cairan dari demam dan muntah.
Diberikan sedikit-sedikit dan sering jika mengalami mual. Jus buah dapat
diberikan untuk menghindari kekurangan elektrolit. Cairan adekuat ditandai
dengan frekuensi siuresis 4-6 kali sehari
 Berikan parasetamol apabila demam dengan dosis 10 mg/kg/dosis tidak lebih
dari 3-4 kali perhari pada anak. Jangan berikan NSAID karena dapat memicu
perdarahan
 Edukasi untuk segera bawa ke rumah sakit apabila keadaan umum memburuk
(perubahan kesadaran, muntah persisten, perdarahan, napas pendek, tidak
diuresis >6 jam)
KELOMPOK B (rawat inap)
Pasien dengan observasi ketat yang memasuki fase kritis. Yang meliputi pasien
dengan warning signs, kondisi komorbid/komplikasi dan keadaan sosial yang tidak
memungkinkan (hidup sendiri, sulit trasport)

Jika pasien menunjukkan warning signs atau tanda dehidrasi, penggantian cairan
secara intravena pada fase awal ini dapat menghindari hatuh kepada keadaan berat.
Rencana terapi berikut diberikan pada bagi, anak dan dewasa :
 Penilaian hematokrit sebelum terapi cairan intravena. Pemberian cairan
isotonik seperi NaCl 0,9%, RL atau Hartmann’s solution. Mulai dengan 5-7
ml/kg/jam selama 1-2 jam, kurangi menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan
kemudia turunkan menjadi 2-3 ml/kg/jam atau lebih kecil sesuai dengan
respon klinis
 Penilaian ulang status klinis dan ulangi cek hematokrit. Jika hematokrit tetap
sama ata meningkat minimal, lanjutkan pada kecepatan 2-3 ml/kg/jam selama
2-4 jam. Jika tanda vital memburuk dan hematokrit meningkat cepat, naikkan
menjadi 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai ulang kembali.
 Pemberian volume cairan intravena minimal dibutuhkan untuk
mempertahankan perfusi dan output urin (0,5 ml/kg/jam). Cairan intravena
biasanya dibutuhkan hanya selama 24-48 jam. Turunkan cairan intravena
secara bertahap saat kebocoran plasma membaik menuju akhir fase kritis.
 Pasien dengan warning signs harus dimonitor sampa periode risiko terlewati.
Keseimbangan cairan dipertahankan. Tanda vital dimonitor tiap 1-4 jam sekali
sampai fase kritis terlewati, urin output tiap 4-6 jam, hematokrit (sebelum dan
sesudah penggantian cairan, setelahnya tiap 6-12 jam), GDS dan fungsi organ
lainnya.

Pada buku WHO 2011 ‘Comprehensive guidelines for prevention and control of
dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition’ dimana
klasifikasi DHF masih terbagi menjadi 4 tingkat (grade I-IV), terapi cairan pada kasus
rawat inap yaitu :
Dan dikatakan bahwa pada DHF terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma
>20%, oleh karena itu jumlah cairan yang diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan
rumatan ditambah dengan perkiraan defisit cairan 5%. Apabila hematokrit meningkat
jumlah cairan harus dinaikkan dan bila menurun jumlah cairan dikurangi.

KELOMPOK C (penanganan gawat darurat dan rujuk cepat)


Rencana terapi pada pasien dengan syok terkompensasi :
 Beri oksigen 2-4 L/menit
 Cek hematokrit sebelum melaksanakan terapi. Mulai dengan 10-20 ml/kg/jam
pada bayi dan anak dan kemudian nilai ulang kondisi pasien (hematokrit,
CRT, UO)
 Jika kondisi membaik, kurangi menjadi 10 ml/kg/jam selama 1-2 jam,
kemudian 7 ml/kg/jam selama 2 jam, 5 ml/kg/jam selama 4 jam dan 3
ml/kg/jam yang dapat dipertahankan hingga 24-48 jam. Total pemberian terapi
intravena sebaiknya tidak lebih dari 48 jam
 Jika tanda vital masih tidak stabil, cek hematokrit setelah bolus pertama dan
jika hematokrit meningkat atau masih tinggi, ubah menjadi cairan koloid
dengan kecepatan 10-20 ml/kg/jam. Setelah dosis insial, turunkan kecepatan
menjadi 10 ml/kg/jam selama 1 jam dan turunkan menjadi 7 ml/kg/jam.
Kemudian ubah kembali ke kristaloid jika kondisi pasien membaik. Jika Ht
menurun namun tanda vital tidak stabil dapat mengindikasikan terjaid
perdarahan.
 Bolus lanjutan kristoloid atau koloid sebaiknya diberika selama 24-48 jam
selanjutnya

Terapi Syok Hipotensi/Profound


Inisiasi resusitasi cairan intravena dengan kristaloid atau koloid dengan kecepatan 20
ml/kg sebagai bolus diberikan 15-30 menit untuk mengeluarkan pasien dari syok
dengan segera. Koloid dapat diberikan jika harus menaikkan TD secara cepat
(PP<10mmHg). Jalur intraoseus hasus digunakan jika kses vena tidak
memungkinkan. Jika kondisi pasien membaik :
 Berikan cairan koloid 10 ml/kg/jam selama 1 jam dan lanjutkan dengan
kristaloid 10 ml/kg/jam selama1 jam kemudian 7,5 ml/kg/jam selama 2 jam
dan menjadi 5 ml/kg/jam selama 4 jam dan kemudian 3 ml/kg/jam yang dapat
dipertahankan hingga 24-48 jam selanjutnya

Bila syok tidak teratasi periksa AGD, hematokrit, kalsium dan GDS untuk menilai
kemungkinan adanya ABCS yang memperberat syok hipovolemik. Apabila
ditemukan kelainan segera koreksi.
Penghentian terapi cairan intravena merupakan bagian dari terapi dengue untuk
mengindari kelebihan cairan, yang biasanya terjadi karena terlalu banyaknya jumlah
cairan/kecepatan cairan yang diberikan, penggunaan cairan hipotonik kristaloid,
pemberian terapi cairan yang terlalu lama, teransfusi tidak tepat dengan FFP,
konsentrat platelet/kriopresipitat, dan kondisi komorbid seperti CHF. Berikut adalah
tanda-tanda kelebihan cairan :
 Napas cepat
 Retraksi dada
 Distres pernapasan, sulit bernapas
 Mengi, krepitasi
 Efusi pleura masif
 Asites berat, nyeri perut persisten
 Peningkatan JVP

Berikut adalah tanda jika terapi cairan harus diturunkan atau dihentikan :
 Tanda berkurangnya kebocoran plasma
 TD stabil, perfusi perifer dan nadi membaik
 Penurunan hematokrit
 Apireksia lebih dari 24-48 jam
 Perbaikan gejala gastrointestinal
 Peningkatan urin outpout
Tanda-tanda pemulihan

 Nadi, tekanan darah dan laju pernapasan stabil 



 Suhu normal. 

 Tidak ada bukti perdarahan eksternal atau internal. 

 Nafsu makan membaik
 Tidak ada muntah, tidak ada nyeri perut 

 Produksi urin baik
 Hematokrit yang stabil pada nilai baseline
 Ruam petekie yang muncul pada fase penyembuhan bisa disertai rasa gatal,

terutama pada ekstremitas. 
Ditemukan pada 20-30% kasus

Kriteria untuk pemulangan pasien 


 Tidak adanya demam selama setidaknya 24 jam tanpa menggunakan terapi


anti- demam. 

 Nafsu makan membaik. 

 Perbaikan klinis terlihat. 

 Jumlah produksi urine memuaskan. 

 Minimal 2-3 hari telah berlalu setelah sembuh dari shock 

 Tidak ada gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan tidak ada ascites. 

 Jumlah trombosit lebih dari 50 000 / mm3. Jika tidak, pasien dapat dianjurkan

untuk menghindari kegiatan traumatis setidaknya 1-2 minggu hingga
trombosit menjadi normal. Pada umumnya jika tidak ada peyulit atau penyakit
lain yang menyertai, trombosit kembali normal dalam waktu 3-5 hari. 


Anda mungkin juga menyukai