Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN UJIAN PENYAKIT DALAM

PHYSICAL EXAMINATION (PE)

Oleh :

Iga Mahardi B94154316

Dosen Penguji :
Drh Retno Wulansari, MS, Ph.D
Dr. Drh. R. Putratama Agus Lelana, Sp. Mp

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
PEMERIKSAAN FISIK

Anamnesis
Sapi yang diperiksa adalah sapi betina ras Friesian Holstein (FH) yang
berumur ± 4 tahun. Sapi pernah mengalami sakit akan tetapi tidak diketahui
penyakitnya. Feses sapi lembek yang diduga karena pergantian pakan konsentrat.
Signalemen Hewan
Nama : 401
Jenis Hewan/ Spesies : Sapi
Ras/ Breed : FH (Frisian Holstein)
Warna Bulu : Hitam Putih dan Putih
Jenis Kelamin : Betina
Umur : > 4 tahun
Berat Badan : 508 Kg
Tanda-tanda Khusus : Tidak ada

Status Present
Keadaan Umum
Perawatan : Cukup
Habitus : Tulang Punggung Lurus
Tingkah laku : Jinak
Gizi : Cukup (BCS 3)
Pertumbuhan Badan : Baik
Sikap Berdiri : 38.60C
Frekuensi Nadi : 72 x/menit
Frekuensi Nafas : 80 x/menit
Adaptasi Lingkungan : Baik
Kepala dan Leher
Inspeksi
Ekspresi wajah : Baik/ tenang
Pertulangan kepala : Tegas
Posisi tegak telinga : Tegak kesamping
Posisi kepala : Tegak
Turgor Kulit : < 3 detik

Mata dan Orbita Kiri


Palpabrae : Membuta sempurna
Cilia : Keluar Sempurna
Konjuktiva : Pucat, basah-mengkilat, tidak ada kerusakan
permukaan
Membrana niktitan : Tersembunyi
Bola Mata Kiri
Sklera : Putih Bening
Kornea : Bening, terang tembus
Iris : Tidak ada perlekatan
Limbus : Datar
Pupil : Tidak ada perubahan
Reflek pupil : Ada
Vasa Injeksio : Ada

Mata dan Orbita Kanan


Palpebrae : Membuka sempurna
Cilia : keluar sempurna
Konjunktiva : Pucat, basah-mengkilat, tidak terdapat kerusakan
permukaan
Membrana niktitan : Tersembunyi

Bola Mata Kanan


Sklera : Putih Bening
Kornea : Bening, terang tembus
Iris : Tidak ada perlekatan
Limbus : Datar
Pupil : Tidak ada perubahan
Reflek pupil : Ada
Vasa injeksio : Ada

Hidung dan sinus-sinus


Kesimetrisan : Simetris
Lubang Hidung : Aliran udara bebas, terdapat discharge serous
(pada kedua lubang hidung)
Mukosa : Pucat, licin-mengkilat, tidak ada perlukaan
Gema perkusi : Nyaring
Foetor ex naso : Ada

Leher
Perototan : Simetris
Trakhea : Tidak ada perubahan bentuk, tidak ada batuk
Esofagus : Tidak berisi makanan

Telinga
Posisi : Tegak kesamping
Bau : Khas serumen
Permukaan : Licin, halus
Krepitasi : Tidak ada
Refleksi panggilan : Ada

Ln. Retrofaringealis
Ukuran : Tidak ada perubahan
Konsistensi : Kenyal
Lobulasi : Jelas
Perlekatan : Tidak ada
Panas : Sama dengan suhu kulit sekitarnya
Kesimetrisan : Simetris antara kiri dan kanan
Thorax
Sistem Pernafasan
Inspeksi
Bentuk dan Rongga Thoraks : Simetris
Type pernfasan : Abdominalis
Ritme : Aritmis (terkadang terdapat double inspirasi)
Intensitas : Dangkal
Frekuensi : 80 x/menit

Palpasi
Penekanan Rogga Thorax : Tidak sakit
Palpasi intercostal : Ada reaksi sakit

Perkusi
Lapangan paru-paru : Terdapat perluasan lapangan paru-paru (ke arah
bawah)
Gema perkusi : Redup pada bagian atas paru-
paru dan nyaring pada batas bawah lapangan
paru-paru

Auskultasi
Suara Pernafasan : Bronkhial ekspirasi jelas, vesikular inspirasi
meningkat
Suara ikutan antara inspirasi dan ekspirasi: Tidak ada
Alat Peredaran Darah
Inspeksi
Ictus Cordis : Tidak ada
Perkusi
Lapangan Jantung : Tidak ada kelainan/ perluasan

Auskultasi
Frekuensi : 72 x/menit
Intensitas : Kuat
Ritme : Teratur/Ritmis
Suara Sistolik dan diastolik : Jelas
Ekstrasistolik : Tidak ada
Besarnya Jantung (lapangan jantung): Tidak ada kelainan
Antara pulsus dan denyut jantung : Sinkron
Uji-uji Lain
Uji Alu : Positif (+)
Uji Gumba : Positif (+), sapi menjulurkan kepala ke depan

Abdomen dan Organ pencernaan yang berkaitan


Inspeksi
Besarnya : Tidak ada perubahan
Bentuknya : Asimetris
Legok lapar : Masuk ke dalam
Suara peristaltik lambung : Terdengar

Palpasi
Tegangan isi perut : Tegang
Frekuensi gerakan rumen : 7x/menit

Auskultasi
Rumen : Terdengar
Usus : Terdengar suara borboritmik

Anus
Sekitar anus : Bersih
Reflek spinkter ani : Ada
Kebersihan daerah perineal : Bersih

Alat Perkemihan dan Kelamin (Urogenitalis)


Inspeksi dan Palpasi
Mukosa Vulva : Pucat, licin-mengkilat, basah, tidak ada
perlukaan
Kelenjar Mamae
Besar : Tidak ada perubahan
Letak : Sesuai (inguinal)
Bentuk : Tidak ada perubahan
Kesimetrisan : Simetris
Konsistensi kelenjar : Kenyal

Alat Gerak
Inspeksi
Perototan Kaki Depan : Simetris, terdapat perlukaan pada
persendian carpus
Perototan Kaki Belakang : Simetris, terdapat perlukaan pada
persendian tarsus
Spasmus otot : Tidak ada
Tremor : tidak ada
Sudut persendian : Tidak ada kelainan
Cara berdiri dan gerak maju
Berjalan : Koordinatif

Palpasi
Struktur pertulangan
Kaki kiri depan : Simetris, kompak
Kaki kanan Depan : Simetris, kompak
Kaki kiri belakang : Simetris, kompak
Kaki kanan belakang : Simetris, kompak
Konsistensi pertulangan : Tidak ada kelainan
Reaksi saat palpasi : Tidak ada sakit
Letak reaksi sakit : Tidak ada sakit
Kondisi dermatologi ekstremitas bawah: Terdapat kemerahan pada
interdigit kaki belakang kiri dan kanan,
kuku pada keempat kaki panjang,
terdapat crack atau pecah, pada kuku
medial kaki kiri depan, terdapat hoof
ring pada keempat kuku

Kestabilan pelvis
Konformasi : Tegas
Kesimetrisan : Simetris

Diagnosa : Pneumonia, Emfisema pulmonum sisi


kiri, laminitis
Prognosa : Dubius

Pembahasan

Pemeriksaan fisik pada sapi dilakukan pada tanggal 15 Maret 2018 di


Koperasi Usaha Peternakan (Kunak). Sapi yang diperiksa memiliki nomor eartag
401, jenis kelamin betina ras Frisian Holstein dan berumur lebih dari 4 tahun.
pada saat pertama kali dilihat sapi dalam keaadaan berdiri, terdapat leleran dari
kedua lubang hidung dan frekuensi nafas yang cepat. Kelainan yang ditemukan
saat pemeriksaan fisik diantaranya mukosa pucat, pernafasan dangkal dengan
frekuesi 80x/menit, terdapat discharge serous, terdapat foetor ex naso, terdapat
reaksi sakit saat dilakukan palpasi interkostal, perkusi paru-paru bagian atas
terdengar redup, perluasan lapangan paru-paru kiri ke bagian bawah, uji gumba
positif, dan uji alu positif dan posisi kaki depan abduksio. Pada bagian ekstremitas
ditemukan kuku panjang, terdapat kemerahan pada interdigit pada kedua kuku
kaki belakang, dan terdapat hoof ring pada semua kuku.
Mukosa pucat dapat mengindikasikan bahwa kurangnya suplai sel darah
merah atau oksigen pada sirkulasi periperal. Hal tersebut dapat merupakan hasil
dari kejadian kehilangan banyak darah, dehidrasi, anemia, infeksi bakteri yang
kronis atau infeksi parasit. Selain pucat, mukosa masih terlihat basah dan
mengkilat sehingga hewan dapat dinyatakan dalam keadaan hidrasi yang baik.
Pemeriksaan rongga toraks sitem pernafasan menujukkan adanya
peningkatan frekuensi nafas (tachypnea) yaitu 80x/menit. Menurut Plumb (2005)
frekuensi napas normal pada sapi dewasa memiliki rentang antara 10 - 30 x/menit
atau 12-36 x/menit ( Smith 2015). Peningkatan frekuensi nafas dapat disebabkan
oleh kompensasi karena kurangnya oksigen untuk tubuh dan adanya kelainan
paru-paru. Frekuensi nafas, intensitas dan ritme nafas berhubungan dengan pusat
respirasi di otak. Penigkatan frekuensi nafas dapat disebabkan oleh kondisi
fisiologi ataupun patologi. Kondisi fisiologi yang menyebabkan terjadinya
peningkatan respirasi adalah panas, demam, rasa sakit, gelisah ataupun kondisi
stres lainnya. Sedangkan yang bersifat patologi adalah adanya kelainan pada pusat
sistem respirasi, dan gangguan pada organ-organ sistem respirasi (Smith 2015).
Peningkatan frekuensi nafas pada sapi yang diperiksa disebabkan oleh
kondisi patologis karena disertai oleh gejala klinis lain yaitu adanya discharge
yang keluar dari hidung, adanya foetor ex naso, suara redup pada lapang paru-
paru dan adanya perluasan lapang paru-paru. Adanya discharge, foetor ex naso
dan perkusi yang terdengar redup dapat mengindikasikan adanya kelainan yang
terjadi pada sistem pernafasan. Suara redup pada beberapa tempat yang dihasilkan
dari perkusi lapangan paru-paru dapat mengindikasikan adanya cairan atau massa
pada paru-paru. Sedangkan suara nyaring yang terdengan pada batas luar lapangan
paru-paru dapat mengindikasikan bahwa terdapat udara pada bagian tersebut.
Uji gumba positif dapat mengindikasikan beberapa kelainan yaitu peluritis,
retikulitis traumatika, perikarditis traumatika, emfisema pulmonum sisi kiri dan
gangguan pada ekstremitas depan. Pada pleuritis akan ditemukan adanya reaksi
batuk dan kesakitan pada saat dilakukan penekanan dinding toraks dan
interkostalis. Sedangkan pada hewan yang diperiksa menunjukkan adanya reaksi
sakit saat penekanan interkostalis saja dan tidak ada reaksi batuk.
Kasus pleuritis jarang pada ruminansia. Kejadian pleuritis merupakan
keondisi kedua yang mengikuti peyakit lainnya seperti bronchopneumonia yang
disebabkan oleh manhemia haemolytica atau histophilus somni (Smith 2012).
Pada kasus perikarditis traumatika akan disertai dengan uji alu positif dan adanya
suara murmur jantung. Sedangkan pada sapi yang diperiksa ditemukan adanya uji
alu positif dan tidak ditemukan adanya murmur jantung.
Pada kasus retikulitis traumatika gejala klinis yang terlihat akan lebih parah
seperti hewan tampak lesu, malas bergerak, anoreksia, produksi susu sangat turun,
sapi suka melihat ke belakang dan sapi jarang tiduran (Subronto 2008).
Sedangkan pada sapi yang diperiksa di lapangan keadaan sapi masih tenang, dapat
banyak bergerak dan sapi masih sering tiduran berdasarkan lesio luka-luka yang
terdapat pada tubuh sapi.
Uji gumba positif dapat mengindikasikan adanya kelainan pada ekstremitas
depan. Setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan bahwa semua kuku sapi
panjang, terdapat hoof ring pada semua kuku dan ditemukan lesio-lesio berwarna
hitam pada bagian sol kuku, dan adanya kemerahan pada interdigit pada kuku
kaki belakang.
Berdasarkan gejala klinis yang ditemukan sapi dapat didiagnosa mengalami
pneumonia, emfisema pulmonum sisi kiri dan laminitis. Emfisema sendiri
merupakan perjalanan dari penyakit pneumonia yang bersifat kronis.
Pneumonia atau radang paru-paru merupakan peradangan yang terjadi pada
jaringan parenkim paru-paru dapat bersifat akut atau kronik. Pneumonia dapat
disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Jenis virus yang sering menyebabkan
pneumonia pada sapi adalah Bovine herpesvirus type-1/Infectious Rhinotracheitis
Virus (IBRV), Bovine Viral Diarrhea Virus (BVDV) dan Bovine Respiratory
Coronavirus. Sedangkan bakteri yang sering menyebabkan pneumonia pada sapi
adalah Manhemia hemolityca, pasteurella multocida dan histophilus somni,
mycoplasma bovis dan Arcanobacterium pyogens (Smith 2015).
Gejala klinis yang sering ditemukan pada kasus pneumonia adalah
peningkatan frekuensi nafas, demam, batuk, anoreksia, dan adanya discharge dari
hidung (Subronto 2008). Campbell (2018) menyebutkan bahwa gejala klinis yang
terlihat dari pneumonia dintaranya, demam, peningkatan frekuensi pernapasan,
adanya leleran mukopurulen pada hidung dan depresi. Emfisema pulmonum
merupakan kelanjutan dari kasus pneumonia. Emfisema pulmonum adalah
keadaan pembesaran paru-paru yang disebabkan oleh menggembungnya alveoli
secara berlebihan (Subronto 2008) atau suatu kondisi kelebihan udara dalam paru-
paru (Guyton dan Hall 2006).
Patogenesa terjadinya pneumonia hingga emfisema pulmonum pada
awalnya dapat disebabkan oleh kondisi stress. Kondisi kekebalan tubuh yang
menurun dapat menyebabkan mikroflora normal pada saluran pernafasan sapi
menjadi patogen. Adanya stres akan membuat pertumbuhan Mannheimia
haemolytica sangat cepat, sehingga dapat berkontribusi terjadinya pneumonia
(Campbell 2018).
Pertumbuhan Mannheimia haemolytica dapat menghasilkan exotoksin yang
bersifat letal terhadap leukosit ruminansia atau leukotoksin, sehingga dapat
mengakibatkan sitolisis pada platelet, limfosit, makrofag dan neutropil (Smith
2015). Adanya polisakarida pada dinding sel bakteri dapat melekatkan sel bakteri
dengan sel paru-paru, sehingga bagian bronkus, bronkioulus dan alveolus mudah
mengalami kerusakan.
Sebagai bentuk pertahanan terhadap infeksi maka sel-sel epitel akan
mengalami deskuamasi, hiperplasia sel goblet sehingga mukus yang diproduksi
akan meningkat. Adanya interaksi antigen dan antibodi tubuh akan menghasilkan
kerusakan jaringan dengan karakteristik mengalami nekrosis, trombosis, eksudat,
dan berkembang menjadi pneumonia (Campbell 2018). Pneumoni menyebabkan
akumulasi eksudat dan transudat pada paru-paru (Divers dan Peek 2008).
Kerusakan alveolus akan membuat luas permukaan alveolus berkurang, sehingga
proses difusi oksigen dari alveolus ke dalam aliran darah menjadi terganggu.
Sehingga terjadi kompensasi atas ketidakmampuan bagian paru-paru lain yang
tidak berfungsi. Pengembangan yang berlebihan pada alveolus dalam waktu yang lama
akan menurunkan elastisitas alveoli (Subronto 2008). Penyebab terjadinya dari emfisema
adalah destruksi pada dinding alveolar ataupun distensi yang berlebihan dari dinding
alveolar yang kronis (Lopez 2012). Gejala klinis yang sering ditemukan pada
emfisema pulmonum adalah dispnoe, double ekspirasi, takipnoe, dan frekuensi
respirasi meningkat.
Laminitis atau pododermatitis aseptica merupakan gangguan sirkulasi pada
kuku sapi yang bersifat non infeksius. Faktor predisposisi terjadinya laminitis
adalah partus, metritis akut, displacement abomasum, metabolik asidosis,
konsumsi karbohidrat berlebihan, endotoksemia sekunder dan faktor mekanis
(Andrews 2000).
Kejadian laminitis berhubungan denga aliran darah pada kuku. Patogenesa
terjadinya laminitis berhubungan erat dengan gangguan sirkulasi mikro darah
pada bagian korium yang menyebabkan terganggunya hubungan dermal-
epidermal pada dinding kuku dan tulang dengan kuku. Rumen asidosis merupakan
faktor predisposisi utama yang menyebabkan laminitis yang berhubungan dengan
pelepasan zat vasoaktif kedalam darah. Zat vasoaktif akan mempengaruhi aliran
darah ke kuku seperti meningkatnya aliran darah, trombosis, iskemia, hypoksia,
dan mengganggu sirkulasi arteri-vena. Sehingga akan terjadi edema, hemoragi
dan nekrosis pada jaringan korium. Hal tersebut juga akan mengganggu
pengambilan nutrisi untuk proses keratinisasi kuku sehingga akan mengakibatkan
terjadi kornifikasi pada kuku dan kualitas kuku yang jelek (Shearer 2005).
Laminitis kronis terjadi sebagai komplikasi dari kondisi Subakut Rumen Asidosis
(SARA). Kasus SARA banyak terjadi pada sapi perah yang dengan tingkat
konsumsi hasil fermentasi karbohidrat yang tinggi dan level serat yang rendah
(Constable et al. 2017).
Laminitis merupakan salah satu penyebab kepincangan pada sapi perah.
Laminitis sering berhubungan dengan adanya kejadian sole ulceration dan lesio
pada white line. Laminitis terbagi atas laminitis akut, laminitis subakut, laminitis
kronis dan laminitis subklinis (Boosman et al. 1991). Adanya hoof ring
disebabkan oleh pertumbuhan kuku yang tidak sempurna karena kurangnya nutrisi
untuk pertumbuhan kuku sehingga proses keratinisasi tidak sempurna.
Apabila dihubungkan kondisi sapi dengan diagnosa bahwa kondisi mukosa
yang pucat disebabkan oleh adanya gangguan sirkulasi oksigen karena adanya
kerusakan paru-paru. Suplai oksigen untuk daerah perifer berkurang sehingga
untuk mencukupi kebutuhan oksigen, frekuensi pernafasan menjadi meningkat.
Posisi kaki depan sapi terlihat abduksio. Posisi abduksio adalah usaha untuk
memperluas lapang paru-paru. Sapi yang mengalami emfisema pulmonum akan
merasa sesak ketika dilakukan uji gumba karena paru-paru yang meluas akan
terjepit oleh dinding thorak dan jantung.

Daftar Pustaka

Andrews AH. 2000. The Health of Dairy Cattle. USA: Blackwell Publishing.
Boosman R, Nemeth F, Gruys E. 1991. Bovine laminitis clinical aspect, pathology
and pathogenesis with reference to acute equine laminitis. The Veterinary
Quarterly. 13:3.
Campbell J. 2018. Bacterial pneumonia in cattle.[Internet][diunduh 2018 Maret
23]. Tersedia pada: https://www.msdvetmanual.com/respiratorysystem/
respiratory-diseases-of-cattle/bacterial-pneumonia-in-cattle.
Divers TJ dan Peek SF. 2008. Rebhun`s Diseases of Dairy Cattle Second Edition.
Missouri (US): Saunders Elsevier.
Guyton dan Hall. 2006. Textbook of Medical Physiology. Pennsylvania (US):
Elsevier Sauders.
Lopez A. 2012. Respiratory System, Mediastinum, and Pleurae. Di dalam:
McGavin MD, Zachary JF, editor. Pathologic Basis of Veterinary Disease.
Ed ke-5. Missouri (US): Elsevier.
Plumb DC. 2005. Plumb’s Veterinary Drug Hand Book 5th Ed. Wisconsin (US):
Blackwell Pub.
Shearer J. 2005. Laminitis- more than how you feed your cows: laminitis, claw
disorder, and infectious foot disease. Proceedings 2nd Florida Dairy Road
show. Hlm 1-2
Smith BP. 2015. Large Animal Internal Medicine, Fifth Edition. Missouri (US):
Elsevier.
Subronto. 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-a (Mamalia). Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai