Anda di halaman 1dari 13

Gagal Jantung Kronik disertai dengan Hipertensi

Beradona 102009011/ Celine citra 102013044/ Ferry roferdi 102013097/ Oktaviana linda
102013133/ Magdalena 102013248/ Brigitte fani 102013291/ Tjhia theonardy 102013346/
Novita marta 102013389/ Noor ain 102013488
Kelompok F8

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara no. 6, Jakarta Barat, 11470

Pendahuluan

Gagal jantung adalah sebuah sindrom klinis dan adalah jalur umum terakhir untuk berbagai
penyakit yang berhubungan dengan jantung. Secara keseluruhan, angka mortalitas
kardiovaskular telah menurun di negara-negara industri dalam beberapa dekade ini, namun
prevalensi dari gagal jantung bertambah. Banyak pasien yang selamat dari infarkmiokard, namun
banyak yang selanjutnya akan mengalami gagal jantung, dengan cacat yang diakibatkannya.
Gagal jantung memiliki prognosis yang lebih buruk daripada kebanyakan kanker; 40% dari
pasien meninggal pada tahun pertama diagnosis. Namun, ada beberapa bukti medis, terapi bedah
dan alat, yang dapat meningkatkan gejala dan prognosis.1
Pada makalah ini, akan dibahas mengenai gagal jantung kronik dan hipertensi derajat 2,
patofisiologi gagal jantung kronik, gejala klinis, serta penatalaksanaannya. Diharapkan agar
dapat mengetahui mengenai gagal jantung kronik dan hipertensi derajat 2, patofisiologinya dan
penatalaksanaannya.

Anamnesis

Pada anamnesis, hal pertama yang harus ditanyakan adalah mengenai identitas pasien,
meliputi nama, umur, alamat tempat tinggal, serta pekerjaan sehari-hari. Identitas lengkap
lainnya dapat ditambahkan secara bebas. Selanjutnya anamnesis akan diarahkan kepada keluhan
utama, yang merupakan alasan utama pasien datang kepada dokter. Tidak lupa untuk
menanyakan sudah berapa lama pasien mengalami hal tersebut. Kemudian tanyakan riwayat

1
penyakit sekarang, menanyakan keluhan adanya nyeri, demam atau lainnya, jika ada tanyakan
lokasi, onset serta durasinya. Tanyakan apakah ada faktor yang memperberat keluhan utama atau
nyeri tersebut. Yang terakhir, jangan lupa untuk menanyakan riwayat penyakit dahulu dan
riwayat penyakit pada keluarga.2
Pada skenario, pasien dengan gagal jantung kronik yang juga menderita hipertensi primer grade
2, pasien mengaluh sering sesak bila beraktivitas sejak 6 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh
batuk kering, tidak disertai demam dan nyeri dada. Nafas sering tersengal-sengal dan keluhan
dirasakan berkurang pada saat beristirahat. Saat malam hari pasien merasa lebih nyaman bila
tidur dengan bantal agak tinggi, selain itu 2 bulan terakhir ini ia merasa kakinya sering bengkak.
Pasien didiagnosis menderita darah tinggi sejak usia 50 tahun. Dua tahun yang lalu ia didiagnosis
menderita penyakit jantung koroner dan menjalani operasi Coronary Artery Bypass Graft
(CABG).

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang pertama kali harus dilakukan ialah inspeksi keadaan umum (tampak sakit
ringan/ sedang/ berat) dan kesadaran pasien (Kompos mentis/ Apatis/ Delirium/ Somnolen/
Sopor/ Stupor/ Koma). Kemudian pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis, mulai
dari bagian kepala dan berakhir pada anggota gerak. Pemeriksaan fisik yang umum dilakukan
adalah melihat tanda-tanda vital atau pemeriksaan suhu, denyut dan tekanan darah. Setelah itu
dilanjutkan dengan pemeriksaan organ utama yang diperiksa dengan inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi, beberapa tes khusus mungkin diperlukan. Selanjutnya pemeriksaan lain
diantaranya ialah allen test, brodies-trendelenburg test, capillary reffil test, penilaian arteri,
jugular vein pressure test, pengukuran ankle brachial index (ABI).

Hasil pemeriksaan fisik ialah pasien tampak sakit berat, kesadaran compos mentis, TB 167 cm,
BB 55 kg. Tanda-tanda vital: tekanan darah 160/90 mmHg, frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi
nafas 22x/menit, suhu afebris. Thorax: suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-), bunyi
jantung 1-2 murni regular, murmur (-), gallop (+). Ekstremitas: akral hangat, edema (+/+), pitting
(+/+).

2
Pemeriksaan Penunjang

Untuk memperkuat diagnosis, pasien perlu menjalani serangkaian pemeriksaan tambahan. The
American College of Cardiology/ American Heart Association, Heart Failure Society of America
(HFSA), dan European Society of Cardiology (ESC) merekomendasikan tes laboratorium
dengan pasien suspek gagal jantung:1
 Complete Blood Count (CBC): mengindikasikan anemia atau infeksi sebagai penyebab
gagal jantung
 Urinalisis: melihat adanya proteinuria (berhubungan dengan penyakit kardiovaskular)
 Kadar serum elektrolit: hasil yang abnormal menunjukan adanya retensi cairan maupun
gangguan ginjal
 Kadar blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin: mengindikasikan penurunan renal blood
flow
 Fasting blood glucose levels: peningkatan kadarnya mengindikasikan peningkatan resiko
gagal jantung (pasien diabetes dan non diabetes)
 Liver function test (LFT): untuk melihat adanya peningkatan pada enzim hati dan
mengindikasikan adanya disfungsi hati yang disebabkan gagl jantung
 B-type Natriuretic Peptide (BNP) dan N-terminal pro-B-type (NT-proBNP): kadarnya
meningkat pada gagal jantung
 Elektrokardiogram (EKG): mampu menunjukan kelainan pada jantung, seperti aritmia,
iskemia, dsb. Abnormalitas pada chronic heart failure (CHF) yang dapat ditemukan
melalui EKG diantaranya ialah pathological Q waves, hipertrofi ventrikel kiri, fibrilasi
atrium, perubahan tidak spesifik pada segmen ST atau gelombang T.

ACC/AHA, HFSA, dan ESC juga merekomendasikan beberapa pemeriksaan dan prosedur lain:1
 Foto thorax postero-anterior: menunjukan adanya kongesti paru, pembesaran jantung
 2-D echocardiographic dan Doppler flow ultrasonographic: menunjukan disfungsi
ventrikel atau kelainan katup jantung

3
ESC menyatakan bahwa pulmonary function test secara umum tidak terlalu membantu dalam
menegakan diagnosis heart failure, namun dapat mencari penyebab sesak, apakah itu karena
kelainan paru atau bukan. Selain itu, ditemukan suatu system monitoring untuk pasien NYHA
class III dengan sejarah hospitalisasi karena gagal jantung, yaitu CardioMEMS HF System. Alat
ini mampu menurunkan lama rawat di rumah sakit sebanyak 30 persen.

Working Diagnosis

Diagnosa kerja untuk kasus ini ialah chronic heart failure (CHF) disertai dengan hipertensi.
Definisi CHF ialah sindroma klinik kompleks yang disebabkan oleh kelainan structural maupun
fungsional, dimana jantung tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan supply darah.2 Gejala
klinik utama pada CHF adalah dispnoe dan fatik. Gejala lain yang mungkin timbul ialah
orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), cheyne-stokes respiration, peningkatan
jugularis venous pressure (JVP). Pada beberapa pasien, mungkin juga terdengar bunyi jantung III
pada apex, bunyi gallop (volume overload), dan bunyi jantung IV (disfungsi diastole). Jika HF
bertambah berat, maka akan timbul hepatomegali, asites, jaundice, peripheral edema.1,3
Hipertensi ialah tekanan darah 140/90 mmHg atau, lebih, pada usia 18 tahun ke atas dengan
penyebab yang tidak diketahui. Pengukuran dilakukan dua kali atau lebih dengan posisi duduk,
kemudian diambil reratanya pada dua kali atau lebih kunjungan.4

Penyebab utama gagal jantung ialah disfungsi miokard, biasanya disfungsi sistolik (penurunan
kontraksi ventrikel kiri). Sekitar dua per tiga kasus ini didahului oleh penyakit jantung koroner
dan biasanya pernah puya riwayat infark miokard. Namun tidak semua hal seperti ini, ada juga
yang disebabkan oleh non iskemik kardiomiopati, bisa karena penyebab yang jelas (hipertensi,
penyakit tiroid, penyakit katup jantung, kelebihan alkohol, atau miokarditis) atau tanpa penyebab
(idiopatik kardiomiopati).4

Kriteria Framingham dapat membantu kita menegakan diagnosis gagal jantung dengan cara yaitu
memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan kriteria minor. Kriteria mayor, yaitu
paroksimal nocturnal dispnea, distensi vena leher, ronki paru, kardiomegali, edema paru akut,
gallop S3, peninggian tekanan vena jugularis, refluks hepatojugular, penurunan berat badan
hingga 4,5kg dalam 5 hari, acute pulmonary edema. Kriteria minor, yaitu edema ekstremitas,
4
batuk malalm hari, dispnea d’effort, hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapasitas vital 1/3
dari normal, dan takikardia (>120/menit), edema bilateral pada ankle.2

New York Heart Association (NYHA) mengklasifikasikan gagal jantung menjadi empat kelas:1
1. Class I: Aktivitas fisik tidak teganggu
2. Class II: Aktivitas fisik sehari-hari sedikit terganggu, rasa nyaman saat beristirahat
3. Class III: Aktivitas fisik sehari-hari lumayan terganggu, rasa nyaman saat beristirahat
4. Class IV: Rasa lelah dan sesak pada semua aktivitas, termasuk saat beristirahat

Differential Diagnosis

1.
Gagal jantung akut/ Acute heart failure3
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai timbulnya sesak napa secara cepat (<24 jam) akibat
kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi sistolik atau diastolic atau irama jantung, atau
kelebihan preload, afterload, atau kontraktilitas. Keadaan ini mengancam jiwa jika tidak
ditangani dengan tepat.

2. Gagal ginjal kronik/ Chronic kidney disease (CKD)3


Adanya kelainan structural atau fungsional pada ginjal yang berlangsung minimal 3 bulan, dapat
berupa: (a) kelainan structural yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium
(albuminuria, sedimen urin, kelainan elektrolit akibat ginjal), pemeriksaan histology, atau
riwayat transplantasi ginjal; (b) Gangguan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) <
60ml.menit/1,73m2. Manisfestasi klinis yang tampak ialah gangguan keseimbangan cairan
(edema perifer, efusi pleura, hipertensi, peningkatan JVP, asites), gangguan lektrolit dan asam
basa (tanda dan gejala hiperkalemia, asidosis metabolic, hipefosfastemia), dan sebagainya.

3. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)3


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit obstruksi jalan napas karena bronkitis
kronik atau emfisema. Gejala utama PPOK adalah sesak napas memberat saat aktivitas, batuk
dan produksi sputum.Gejalanya bersifat progresif lambat kronis ditandai oleh obstruksi saluran

5
pernapasan yang menetap atau sedikit reversibel, tidak seperti obstruksi saluran pernapasan
reversibel pada asma.

Etiologi

Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard , endokard, pericardium, pembuluh
darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika disfungsi
miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark miokard,
yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan
diabetes. Sedangakn di Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di
Palembang menunjukan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner
dan katup.2

Epidemiologi

Prevalensi gagal jantung kronik diprediksi akan makin meningkat seiring dengan meningkatnya
penyakit hipertensi, diabetes melitus dan iskemi terutama pada populasi usia lanjut. Semakin tua
dan berhasilnya pengobatan infrak miokard akut suatu populasi maka prevalensi gagal jantung
makin meningkat. Peristiwa penyakit gagal jantung makin meningkat sejalan dengan
meningkatnya usia harapan hisup penduduk. Di Eropa, tiap tahun terjadi 1,3 kasus per 1000
penduduk yang berusia 25 tahun. Kasus ini meningkat 11,6 pada manula dengan usia 85 tahun ke
atas.2

Saat ini diperkirakan 5 juta penduduk Amerika Serikat menderita gagal jantung, dengan 550.000
jumlah kasus baru terdiagnosisi setiap tahunnya. Disamping itu gagal jantung kronis juga
menjadi penyebab 330.000 kematian setiap tahunnya. Lebih dari 34 miliar USD dibutuhkan
setiap tahunnya untuk perawatan medis penderita gagal jantung kronis. Bahkan di Eropa
diperkrakan membutuhkan sekitar 1% dari seluruh anggaran belanja kesehatan masyarakat.

6
Prevalensi penyakit ini meningkat sesuai dengan usia berkisar dari <1% pada usia kurang dari 50
tahun hingga 5% pada usia antara 50 dan 70 tahun dan 10% pada usia lebih dari 70 tahun.2

Patofisiologi

Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet
dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks.
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya
penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal,
sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (system RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic
peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat
terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan
pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis
miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.5

Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan
sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan
retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.5

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang
luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan
di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada
manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel,
kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah
dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain

7
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan
dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan
reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung,
maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis,
bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung. Vasopressin merupakan
hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang
tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.1

Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor
yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung
jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai
dengan derajat gagal jantung. Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard,
dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan
gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung
koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain
penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial,
dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal.
Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul
bersamaan meski dapat timbul sendiri.5,6

Penatalaksanaan Farmakologi
1. ACE inhibitor
ACE inhibitor dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa keluhan
dengan fraksi ejeksi 40-45% untuk meningkatkan survival, memperbaiki symptom,
mengurangi kekerapan rawat inap di rumah sakit. Obat ini harus diberikan sebagai terapi
awal bila tidak ditemui retensi cairan.Bila disertai retensi cairan harus diberikan bersama
diuretic.Penggunaan obat ini harus dititrasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat
sesuai bukti klinis, bukan berdasarkan perbaikan gejala.6
2. Diuretik
Loop diuretic, tiazid, dan metolazon penting untuk pengobatan simtomatik bila
ditemukan beban cairan berlebihan, kongesti paru, dan edema perifer. Penggunaan

8
diuretic tidak menunjukkan bukti dalam memperbaiki survival, dan harus dikombinasi
dengan ACE inhibitor atau beta blocker.6
3. Beta blocker
Beta blocker direkomendasikan pada semua gagal ajntung ringan sampai berat yang
stabil dengan syarat tidak ditemukan adanya kontraindikasi terhadap beta blocker.Sampai
saat ini hanya beberapa beta blocker yang direkomendasikan, yaitu bisoprolol, karvedilol,
metoprolol suksinat, dan nebivolol.6
4. Glikosida jantung (digitalis)
Digitalis merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai derajat gagal jantung.
Kombinasi digoksin dan beta blocker lebih superior dibandingkan bila dipakai tanpa
kombinasi.6
5. Vasodilator
Tidak ada peran spesifik vasodilator direk pada gagl jantung kronik.Hidrasalazin-
isosorbid dinitrat dapat dipakai sebagai tambahan pada keadaan dimana pasien tidak
toleran terhadap ARB maupun ACE inhibitor.Nitrat digunakan sebagai tambahan bila ada
keluhan angina atau sesak. Pemakaian nitrat dengan dosis sering dapat terjadi toleran
(takipilasis), oleh karena itu dianjurkan interval delapan atau 12 jam, atau kombinasi
dengan ARB.6
6. Antitrombotik
Pada gagal jantung kronik yang disertai fibrilasi atrium, riwayat fenomena tromboemboli,
bukti adanya thrombus yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat dianjurkan. pada
gagal jantung kronik dengan PJK dianjurkan pemakaian antiplatelet. Aspirin harus
dihindari pada perawatan rumah sakit berulang dengan gagal jantung yang memburuk.6
7. Obat inotropic positif
Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak dianjurkan karena menignkatkan
mortalitas.Pemakaian secara intravena pada kasus berat sering digunakan, namun tidak
ada bukti yang bermanfaat, justru lebih sering timbul komplikasi. Fosfodiesterase blocker
seperti milirinon dan enoksimon efektif bila digabungkan dengan beta blocker, dan
mempunyai efek vasodilatasi perifer dan coroner. Namun disertai juga dengan efek
takikaritmia atrial dan ventrikel, dan vasodilatasi berlebih yang dapat menimbulkan
hipotensi. Levosimendan merupakan calcium sensitizer baru yang mempunyai efek

9
vasodilatasi namun tidak seperti fosfodiesterase blocker yang menyebabkan hipotensi.
Uji klinis menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan dobutamin.6

Penatalaksanaan Non-Medika Mentosa


Berikut merupakan penatalaksanaan yang umum dilakukan tanpa obat-obatan:6
 Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal sertia upaya bila
timbul keluhan, dan dasar pengobatan
 Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas seksual, serta rehabilitasi
 Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air, dan kebiasaan alkohol
 Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba
 Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas
 Hentikan kebiasaan merokok
 Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas, dan humuditas
memerlukan perhatian khusus
 Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan menghindari obat-obat tertentu seperti
NSAID, antiaritmia kelas I, verapamil, diltiazem, dihidropiridin efek cepat, antidepresan
trisiklik, steroid.
Komplikasi
Penyakit gagal jantung dapat menimbulkan komplikasi lebih lanjut, antara lain sebagai
berikut: 10
a. Tromboemboli: resiko terjadinya bekuan vena (trombosis vena dalam atau DVT) dan
emboli paru, serta emboli sistemik tinggi, terutama pada gagal jantung kongestif berat.
Dapat diberikan warfarin sebagai pengencer.
b. Fibrilasi atrium: sering terjadi pada gagal jantung kongestif, yang bisa menyebabkan
perburukan dramatis. Hal tersebut merupakan indikasi pemantauan denyut jantung dan
pemberian warfarin.
c. Kegagalan pompa progresif: bisa terjadi karena penggunaan diuretik dosis tinggi.
Transpaltasi jantung merupakan pilihan pada pasien tertentu.
d. Aritmia ventrikel: ini hal yang sering dijumpai karena dapat menyebabkan kematian
jantung mendadak.

10
Prognosis
Mortalitas 1 tahun pada pasien dengan gagal jantung cukup tinggi (20-60%) dan
berkaitan dengan derajat keparahannya. Data Framinham yang dikumpulkan sebelum
penggunaan vasodilatasi untuk gagal jantung menunjukkan mortalitas 1 tahun rerata sebesar 30%
bila semua pasien dengan gagal jantung dikelompokkan bersama, dan lebih dari 60% padas
NYHA kelas IV. Maka kondisi ini memiliki prognosis yang lebih buruk daripada sebagian besar
kanker. Kematian terjadi karena gagal jantung progresif atau secara mendadak (diduga aritmia)
dengan frekuensi yang kurang lebih sama. Sejumlah faktor yang berkaitan dengan prognosis
gagal jantung:2

 Klinis: semakin buruk gejala pasien, kapasitas aktivitas, dan gambaran klinis, semakin
buruk prognosis
 Hemodinamik: semakin rendah indeks jantung, isi sekuncup, dan fraksi ejeksi semakin
buruk prognosisnya
 Biokimia: terdapat hubungan terbalik yang kuat antara norepinefrin, renin, vasopresin,
dan peptida natriuretik plasma. Hiponatremi dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk
 Aritmia: fokus ektopik ventrkel yang sering atau takikardia ventrikel pada pengawasan
EKG ambulatori menandakan prognosis yang buruk. Tidak jelas apakah aritmia ventrikel
hanya merupakan peninda prognosis yang buruk atau apakah aritmia merupakan
penyebab kematian.
Pencegahan
Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif primer terutama pada kelompok
risiko tinggi. Berikut cara pencegahannya:6
 Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor risiko jantung koroner
 Pengobatan infark jantung segera di triase, serta ppenceggahan infark ulangan
 Pengobatan hipertensi yang agresif
 Koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung katup
 Memerlukan pembahasan khusus
 Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang mendasari, selain
modulasi progresi dari disfungsi asimptomatik menjadi gagal jantung

11
Penutup
Pasien pada skenario menderita gagal jantung kronik. Hal ini dapat diketahui dari hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik sehingga didapatkan working diagnosis tersebut. Akan tetapi,
untuk menyingkirkan differential diagnosis yang ada dari gagal jantung kronik (gagal jantung
akut dan PPOK) perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang tepat. Dengan demikian,
diagnosis pasti dapat ditegakkan sehingga penatalaksanaannya tepat, baik secara medika mentosa
maupun secara nonmedika mentosa.

12
Daftar Pustaka

1. GrayH.H, DawkinsK.D, Morgan J.M,Simpson I.A. Cardiology. BlackwellPublishing:


Australia; 2008.h.151-4.
2. Gray H, Dawkins K, Morgan J, Simpson I. Lecture notes kardiologi. Edisi ke-4. Jakarta: PT
Gelora Aksara; 2005.h.87-8, 273.
3. Aaronson PI. At a glance sistem kardiovaskular. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2010.h.67-68.
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Vol. II. Ed. VI.
Jakarta: EGC; 2005. h.631-9.
5. Nafrialdi, Setiawati A. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru; 2007.h.299-300.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2014. h. 1132-4, 1136-52, 2284-5.
7. Hackley J, Baughman D. Keperawatan medical-bedah. Jakarta: EGC; 2000.h.171.
8. Baradero M, Dayrit M, Siswadi Y. Seri asuhan keperawatan klien gangguan ginjal. Jakarta:
EGC: 2009.h.125-7, 130
9. Kabo P. Mengungkap pengobatan penyakit jantung koroner. Jakarta: PT SUN; 2008.h.39.
10. Patrick D. At a glance medicine. Jakarta: PT Gelora Aksara; 2003.h.150.

13

Anda mungkin juga menyukai