Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat di era
globalisasi saat ini. Salah satunya di bidang kedokteran. Lingkup teknologi di
bidang kedokteran meliputi penggunaan sel hidup yakni mikroorganisme, kultur
jaringan, atau enzim untuk menghasilkan suatu pengobatan, atau alat diagnostik.
Manusia dengan kemampuan intelektualnya semakin berhasrat untuk terus
berinovasi dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan, termasuk
mengembangkan teknologi kedokteran dengan menggunakan Human Stem cell
(Sel Punca manusia).1
Kata sel punca mulai populer digunakan dunia kedokteran sekitar
pertengahan 2008, kosa kata tersebut diambil dari kata stem cell yang mulai
populer digunakan tahun 1950 sejak ditemukannya tahun 1908, istilah “stem cell”
pertama kali diusulkan oleh histolog Rusia, Alexander Maksimov, pada kongres
hematologi di Berlin. Ia mempostulatkan adanya sel induk yang membentuk sel
darah. Tahun 1978, terbukti teori ini betul dengan ditemukannya sel-sel punca
darah di sumsung tulang manusia. Sel tersebut dikenal sebagai hematopoietic
stem cell1.
Sel punca adalah sel yang belumterspesialisasi yang mempunyai
kemampuan atau potensi untuk berkembang menjadiberbagai jenis sel-sel yang
spesifik yang membentuk berbagai jaringan tubuh.Menurut kamus Oxford (1999),
stem sel merupakan sel yang belum berdiferensiasiyang berasal dari organisme
multiseluler yang mampu berkembang menjadi sel-selsetipe, yang selanjutnya
akan berdiferensiasi menjadi berbagai macam sellainnya. Stem sel juga disebut sel
punca, sel induk, dan sel batang2.
Berdasarkan sumbernya, Human Stem cell dibagi menjadi dua, yaitu
Embryonic Stem cell dan Non-embryonic Stem Cell (Adult Stem Cell, Induced
Pluripotent Stem cell, dan F-class). Teknologi menggunakan Human Stem cell ini
sangat fenomenal karena tidak hanya bersentuhan dengan masalah etis dan sosial
tetapi menjadi pemasalahan hukum, sejak dari tahap riset hingga

1
pemanfaatannya.Kebebasan meneliti dan memanfaatkan hasil penelitian Human
Stem cell bagi kesehatan, baik pada tatanan kebijakan negara maupun kebijakan
lokal, perlu landasan yang dan batasan oleh undang-undang. Hal utama terkait
dengan masalah etik adalah sumber sel punca tersebut1.
Isu bioetika utama dalam penelitian dan penggunaan stem cell adalah
penggunaan sel punca embrio terutama tentang sumber sel tersebut yaitu embrio.
Dalam hal ini akan dibahas mengenai penggunaan sel punca dalam bidang
kedokteran ditinjau dari bioetik. 1

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sel Punca


Pada dekade terakhir perhatian dan penelitian dalam bidang sel punca (sel
punca ) mengalami kemajuan yang amat pesat. Hal ini tidak terlepas dari upaya
manusia untuk mengobati penyakit-penyakit yang sudah tidak mungkin untuk
diobati lagi baik secara konservatif maupun operatif. Para ahli saat ini telah mulai
menengok dan meneliti kemungkinan penggunaan sel punca untuk mengobati
penyakit-penyakit atau kelainan-kelainan yang tak mungkinlagi untuk diobati
dengan obat-obatan atau tindakan operatif, khususnya penyakit degeneratif
maupun kelainan lainnya seperti trauma, keganasan dan sebagainya. Selain itu sel
punca juga digunakan dalam penelitian untuk mencari obat-obat baru pada tingkat
laboratorium maupun untuk mempelajari patogenesis penyakit3.
Sel punca merupakan sel yang belum berdeferensiasi dan mempunyai
potensi yang sangat tinggi untuk berkembang menjadi banyak jenis sel yang
berbeda di dalam tubuh. Sel punca juga berfungsi sebagai sistem perbaikan untuk
mengganti sel-sel tubuh yang telah rusak demi keberlangsungan hidup organisme.
Saat sel punca terbelah, sel baru mempunyai potensi untuk tetap menjadi sel
punca atau menjadi sel dari jenis lain dengan fungsi yang lebih khusus, misalnya
sel otot, sel darah merah atau sel otak1.

3
Gambar 2.1 Sifat/karakter sel punca yaitu differentiate dan self regenerate/renew

Sel punca memiliki sifat penting yang sangat berbeda dengan sel lain1:
1. Differentiate yaitu kemampuan untuk berdifferensiasi menjadi sel lain. Sel
Punca mampu berkembang menjadi berbagai jenis sel yang khas (spesifik)
misalnya sel saraf, sel otot jantung, sel otot rangka, sel pankreas dan lain-
lain
2. Self regenerate/self renew yaitu kemampuan untuk memperbaharui atau
meregenerasi dirinya sendiri. Stem cells mampu membuat salinan sel yang
persis sama dengan dirinya melalui pembelahan sel.
Berdasarkan kemampuannya untuk berdifferensiasi sel punca dibagi
menjadi (Saputra,2006) 4:
1. Totipotent
Sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi semua jenis sel.Yang
termasuk dalam sel punca totipotent adalah zigot. Sel ini merupakan
sel embrionik awal yang mempunyai kemampuan untuk membentuk
berbagai jenis sel termasuk membentuk satu individu yang utuh.
Disamping mempunyaikemampuan untuk membentuk berbagai sel

4
pada embrio sel totipotent juga dapat membentuk sel-sel yang
menyusun plasenta4.

Gambar 2.2 Sel punca Totipoten dan pluripoten.


2. Pluripotent
Sel punca yang dapat berdeferensiasi menjadi 3 lapisan germina
(ectoderm, mesoderm, endoderm) tetapi tidak dapat menjadjaringan
ekstraembrionik seperti plasenta dan tali pusat. Yang termasuk sel
puncas pluripotent adalah embryonic sel puncas4.
3. Multipotent
Sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi banyak jenis sel
misalnya hemopoetic sel punca yang terdapat pada sumsum tulang
yang mempunyai kemampuan untuk berdifferensiasi menjadi berbagai
jenis sel yang terdapat dalam darah seperti eritrosit, lekosit dan
trombosit. Contoh lainnya adalah neural sel puncas yang mempunyai
kemampuan berdifferensiasi menjadisel saraf dan sel glia4.

4. Unipotent
Sel punca yang hanya dapat menghasilkan 1 jenis sel. Berbeda dengan
non sel puncas, sel puncas mempunyai sifat masih dapat
mempebaharui atau meregenerasi diri (self-regenerate/self renew)
Contohnya erythroid progenitor cells hanya mampu berdifferensiasi
menjadi sel darah merah4.

5
Gambar 2.3 Multipotent dan unipotent stem cells pada sumsum tulang

Peneliti medis meyakini bahwa penelitian sel punca berpotensi untuk


mengubah keadaan penyakit manusia dengan cara digunakan memperbaiki
jaringan organ tubuh tertentu4.
2.2. Klasifikasi Sel punca
Berdasarkan sumbernya sel punca dibagi menjadi
1. Zigot, yaitu pada tahap sesaat setelah sperma bertemu ovum (fertilisasi)
2. Embryonic sel puncas, yaitu sel-sel stem yang diperoleh dari inner cell mass
dari suatu blastocyst (embrio yang terdiri atas 50-150 sel, kira-kira hari ke-5
pasca pembuahan).
Berdasarkan asalnya sel punya berasal dari sel embrio, sel germinal atau
benih embrionik, sel punca fetal, sel punca dewasa, sel punca hematopoetik, sel
punca mesenkimal1.
Sel punca embrio adalah sel induk yang diambil dari embrio pada fasae
blastosit (5-7 hari setelah pembuahan). Massa sel bagian dalam mengelompok dan
mengandung sel-sel induk embrionik. Sel-sel diisolasikan dari massa sel bagian
dalam dan dikurtur secara in vitro. Sel induk embrional dapat diarahkan menjadi
6
semua jenis sel yang dijumpai pada organisme dewasa, seperti sel-sel darah, sel-
sel otot, sel-sel hati, sel-sel ginjal, dan sel jenis lainnya.Sel stem ini mempunyai
sifat dapat berkembang biak secara terus menerus dalam media kultur
optimal pada kondisi tertentu dan dapat diarahkan untuk berdifferensiasi menjadi
berbagai sel yang terdifferensiasi seperti sel jantung, sel kulit, neuron, hepatosit
dansebagainya1.
Sel germinal/benih embrionik induk/primordial (primordial germ cell) dan
prekursor sel germinal diploid ada sesaat pada embrio sebelum mereka terasosiasi
dengan sel somatik gond dan kemudian menjadi germinal. Sel germinal embrionik
manusia/human embrionic germ cells (hEGCs) termasuk sel punca yang berasal
dari sel germinal primordial dari janin berumur 5-9 minggu. Sel punca jenis ini
meiliki sifat pluripotensi1.
Sel punca fetal adalah sel primitif yang dapat ditemukan pada organ-organ
fetus (janin) seperti sel punca hematopoetik fetal dan progenitor kelenjar
pankreas. Sel punca neural fetal ynag ditemukan pada otak janin menunjukkan
kemampuan untuk berdeferensiasi menjadi sel neuron dan sel glia (sel pendukung
pada sistem saraf pusat) 1.
Salah satu macam sel induk dewasa adalah sel induk hematopoetik
(hematopoetic stem cell), yaitu sel induk pembentuk darah yang mampu
membentuk sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah yang sehat, sumber
sel induk hematopoetik adalah sumsum tulang, darah tepi dan darah tali pusar1.
Sel punca msenkimal dapat ditemukan pada stroma sumsum tulang
belakang, periosteum, lemak dan kulit. MSC termasuk sel induk multipotensi
yang dapat berdefernsiasi menjadi sel-sel tulang, otot, ligamen, tendon dan
lemak1.
Berdasarkan sel induk yang ditemukan dalam berbagai jaringan tubuh, maka
sel induk dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu :
1. Sel induk embrio (embryonic stem cell) adalah sel induk yang diambil dari
embrio pada fase blastosit yang terdiri dari 50-150 sel (berumur 5-7 hari
setelah pembuahan). Pada saat ini massa sel bagian dalam mengelompok dan
mengandung sel-sel induk embrionik. Selanjutnya sel-sel diisolasi dari massa
sel bagian dalam dan dikultur secara in vitro di laboratorium. Sel induk

7
embrional dapat diarahkan menjadi semua jenis sel yang dijumpai pada
organisme dewasa, seperti sel-sel darah, sel-sel otot, sel-sel hati, sel-sel
ginjal, dan sel-sel lainnya. Embryonic stem cell biasanya didapatkan dari sisa
embrio yang tidak dipakai pada IVF (in vitro fertilization). Akan tetapi saat
ini telah dikembangkan teknik pengambilan sel induk embrionik (embryonic
stem cell) yang tidak membahayakan embrio tersebut, sehingga dapat terus
hidup dan tumbuh. Untuk masa dapan hal ini mungkin dapat mengurangi
kontroversi etis terhadap embryonic stem cell.

2. Sel induk dewasa (adult stem cells) adalah sel induk dewasa yang

3. mempunyai dua karakteristik. Karakteristik pertama adalah sel-sel tersebut


dapat berfroliferasi untuk periode yang panjang untuk memperbaharui diri.
Karakteristik kedua, sel-sel tersebut dapat berdiferensiasi untu menghasilkan
sel-sel khusus yang mempunyai karakteristik morfologi dan fungsi yang
spesial. Salah satu macam sel induk dewasa adalah sel induk hematopoietik
(hematopoietik stem cell), yaitu sel induk pembentuk darah yang mampu
membentuk sel darah merah, sel darah putih, dan keeping darah yang sehat.
Sumber sel induk hematopoietik dapat ditransplantasikan dari beberapa organ
seperti: sumsum tulang, sel darah tepi, dan darah tali pusar.

Gambar 2.4 Pembuatan kultur sel induk


embrio
 Transplantasi sel induk dari sumsum tulang (bone marrow
transplantation). Sumsum tulang adalah jaringan spons yang terdapat
dalam tulang-tulang besar seperti tulang pinggang, tulang dada, tulang
punggung dan tulang rusuk. Sumsum tulang merupakan sumber yang
kaya akan sel induk hematopoietik. Sejak dilakukan pertama kali kira-
kira 30 tahun yang lalu, transplantasi sumsum tulang digunakan sebagai
bagian dari pengobatan leukemia, limfoma jenis tertentu, dan anemia
aplastik. Karena teknik dan angka keberhasilannya semakin meningkat,
maka pemakaian transplantasi sumsum tulang sekarang ini semakin
meluas. Pada transplantasi ini prosedur yang dilakukan cukup sederhana,
yaitu biasanya dalam keadaan teranastesi total. Sumsum tulang (sekitar
600 cc) diambil dari tulang panggul donor dengan bantuan sebuah jarum
suntik khusus, kemudian sumsum tulang itu disuntikkan ke dalam vena
resipien. Sumsum tulang donor berpindah dan menyatu di dalam tulang
resipien dan sel-selnya mulai berfroliferasi. Pada akhirnya, jika semua
berjalan lancar, seluruh sumsum tulang resipien akan tergantikan dengan
sumsum tulang yang baru. Namun, prosedur transplantasi sumsum
tulang memiliki kelemahan karena sel darah putih resipien telah
dihancurkan oleh terapi radiasi dan kemoterapi. Sumsum tulang yang
baru memerlukan waktu sekitar 2-3 minggu untuk menghasilkan
sejumlah sel darah putih yang diperlukan guna melindungi resipien
terhadap infeksi. Transplantasi sel induk dari sumsum tulang (bone
marrow transplantation).
 Transplantasi sel induk darah tepi (peripheral blood stem cell
transplantation) seperti halnya sumsum tulang, peredaran darah tepi
merupakan sumber sel induk walaupun jumlah sel induk yang dikandung
tidak sebanyak pada sumsum tulang. Untuk mendapatkan jumlah sel
induk yang jumlahnya mencukupi untuk suatu transplantasi, biasanya
pada donor diberikan granulosyte coloni stimulating factor (G-CSF)
untuk menstimulasi sel induk hematopoietik bergerak dari sumsum
tulang ke peredaran darah. Transplantasi ini dilakukan dengan proses
yang disebut aferesis. Jika resipien membutuhkan sel induk

9
hematopoietik, pada proses ini darah lengkap diambil dari donor dan
sebuah mesin akan memisahkan darah menjadi komponen-
komponennya, secara selektif memisahkan sek induk dan
mengembalikan sisa darah ke donor. Transplantasi sel induk darah tepi
pertama kali berhasil dilakukan pada tahun 1986. Keuntungan
transplantasi sel induk darah tepi adalah lebih mudah didapat. Selain itu
pengambilan sel induk darah tepi tidak menyakitkan dan hanya
membutuhkan sekitar 100cc. Keuntungan lain sel induk darah tepi lebih
mudah tumbuh. Namun, sel induk darah tepi lebih rentang tidak setahan
sumsum tulang. Sumsum tulang juga lebih lengkap, selain mengandung
sel induk juga ada jaringan penunjang untuk pertumbuhan sel. Karena
itu, transplantasi sel induk darah tepi tetap perlu dicampur dengan
sumsum tulang.
 Transplantasi sel induk darah tali pusat. Pada tahun 1970-an para peneliti
menemukan bahwa darah plasenta manusia mengandung sel induk yang
sama dengan sel induk yang ditemukan dalam sumsum tulang. Karena
sel induk dalam sumsum tulang telah berhasil mengobati pasien-pasien
dengan penyakit-penyakit kelainan darah yang mengancam jiwa seperti
leukemia dan gangguan-gangguan sistem kekebalan tubuh, maka para
peneliti percaya bahwa mereka juga dapat menggunakan sel induk dari
darah tali pusat untuk menyelamatkan jiwa pasien mereka. Darah tali
pusat mengandung sel induk yang bermakna dan memiliki keunggulan
diatas transplantasi sel induk dari sumsum tulang atau dari darah tepi
bagi pasien-pasien tertentu. Transplantasi sel induk dari darah tali pusat
telah mengubah bahan sisa dari proses kelahiran menjadi suatu sumber
yang dapat menyelamatkan jiwa. Transplantasi sel induk darah tali pusat
pertama kali dilakukan di Prancis pada penderita anemia fanconi tahun
1988 pada tahun 1991, darah tali pusat di transplantasikan pada
penderita Chronic Myelogenous Leukimia. Kedua trasnplantasi ini
berhasil dengan baik. Sampai saat ini telah dilakukan kira-kira tiga ribu
transplantasi darah tali pusat.

10
Gambar 2.5 Transplantasi sel induk darah tali pusat
Ada beberapa alasan mengapa stem cell merupakan calon yang bagus
dalam cell-based therapy:
1. Stem cell tersebut dapat diperoleh dari pasien itu sendiri. Artinya transplantasi
dapat bersifat autolog sehingga menghindari potensi rejeksi. Berbeda dengan
transplantasi organ yang membutuhkan organ donor yang sesuai (match),
transplantasi stem cell dapat dilakukan tanpa organ donor yang sesuai.
2. Mempunyai kapasitas proliferasi yang besar sehingga dapat diperoleh sel dalam
jumlah besar dari sumber yang terbatas. Misalnya pada luka bakar luas,
jaringan kulit yang tersisa tidak cukup untuk menutupi lesi luka bakar yang
luas. Dalam hal ini terapi stem cell sangat berguna.
3. Mudah dimanipulasi untuk mengganti gen yang sudah tidak berfungsi lagi
melalui metode transfer gen. Hal ini telah dijelaskan dalam penjelasan
mengenai terapi gen di atas.
4. Dapat bermigrasi ke jaringan target dan dapat berintegrasi ke dalam jaringan
serta berinteraksi dengan jaringan sekitarnya.
2.3 Aplikasi dan Penggunaan Kultur Sel punca

11
Sel puncas dapat digunakan untuk keperluan baik dalam bidang riset
maupun pengobatan. Adapun penggunaan kultur sel puncas adalah sebagai
berikut: (Saputra,2006) 4
1. Terapi gen sel punca khususnya hematopoietic digunakan sebagai pembawa
transgen kedalam tubuh pasien dan selanjutnya dilacak apakah sel puncas
ini berhasil mengekspresikan gen tertentu dalam tubuh pasien. Adanya sifat
self renewing pada sel punca menyebabkan pemberian sel punca yang
mengandung transgen tidak perlu dilakukan berulang – ulang. Selain itu
hematopoetic sel puncas juga dapat berdifferensiasi menjadi bermacam-
macam selsehingga transgen tersebut dapat menetap diberbagai macam sel4
2. Penelitian untuk mempelajari proses-proses biologis yang terjadi pada
organisme termasuk perkembangan organisme dan perkembangan kanker4
3. Penelitian untuk menemukan dan mengembangkan obat-obat baru terutama
untuk mengetahui efek obat terhadap berbagai jaringan4
4. Terapi sel (cell based therapy)
Sel punca dapat hidup diluar tubuh manusia, misalnya di cawan Petri. Sifat
ini dapat digunakan untuk melakukan manipulasi pada sel puncas yang
akanditransplantasikan ke dalam organ tubuh untuk menangani penyakit-
penyakittertentu tanpa mengganggu organ tubuh4.
Sel stem embryonic sangat plastik dan mempunyai kemampuan untuk
dikembangkan menjadi berbagai macam jaringan sel seperti neuron, kardiomiosit,
osteoblast, fibroblast, sel-sel darah dan sebagainya, sehingga dapat dipakai untuk
menggantikan jaringan yang rusak. Sel stem dewasa juga dapat digunakan untuk
mengobati berbagai penyakit degeneratif, tetapi kemampuan plastisitasnya sudah
berkurang. Keuntungan dari penggunaan sel stem dewasa yaitu tidak atau kurang
menimbulkan masalah dan kontroversi etika.
1. Penggunaan sel punca embrionik untuk mengobati cidera pada medula
spinalis (spinal cord)
Cidera pada medula spinalis disertai demielinisasi menyebabkan hilangnya
fungsi neuron. Sel punca dapat mengembalikan fungsi yang hilang dengan cara
melakukan remielinisasi . Percobaan dengan sel punca embrionik tikus dapat

12
menghasilkan oligodendrosit yang kemudian dapat menyebabkan remielinisasi
akson yang rusak
2. Penggunaan sel punca pada penyakit stroke
Pada penyakit stroke dicoba untuk menggunakan sel punca mesenkim
(mesenchymal stem cells (MSC) dari sumsum tulang autolog. Penelitian ini
didasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Mesenchymal
stem cells diperoleh dari aspirasi sumsum tulang. Setelah disuntikkan perifer
MSC akan melintas sawar darah otak pada daerah otak yang rusak. Pemberian
MSC intravenous akan mengurangi terjadinya apoptosis dan menyebabkan
proliferasi sel endogen setelah terjadinya stroke

3. Penggunaan sel punca pada infark miokardium


Bartinek telah melakukan intracoronary infusion bone marrow stem cells
otolog pada 22 pasien dengan AMI dan mendapatkan hasil yang baik. Penelitian
terkini menunjukkan bukti awal bahwa adult stem cells dan embryonic stem cells
dapat menggantikan sel otot jantung yang rusak dan memberikan pembuluh darah
baru. Strauer et al. mencangkok mononuclear bone marrow cell autolog ke dalam
arteri yang menimbulkan infark pada saat PTCA 6 hari setelah infark miokard.
Sepuluh pasien yang diberi stem cells area infarkya menjadi lebih kecil dan indeks
volume stoke, left ventricular end systolic volume, kontraktilitas area infark dan
perfusi miokard menunjukkan perbaikan dibandingkan dengan kelompok kontrol.

4. Penggunaan sel punca dalam pengobatan diabetes


Pada diabetes, terjadi kekurangan insulin atau kurangnya kepekaan
terhadap insulin. Dalam hal ini transplantasi sel pulau Langerhans diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan insulin. Pada awalnya, kira-kira 10 tahun yang lalu,
hanya 8% transplantasi sel pulau Langerhans yang berhasil. Hal ini terjadi karena
reaksi penolakannya besar sehingga diperlukan sejumlah besar steroid; padahal
makin besar steroid yang dibutuhkan, makin besar pula kebutuhan metabolik pada
sel penghasil insulin. Namun, baru-baru ini penelitian yang dilakukan oleh James
Shapiro dkk. di Kanada, berhasil membuat protokol transplantasi sel pulau
Langerhans dalam jumlah banyak dengan metode imunosupresi yang berbeda

13
dengan yang sebelumnya. Pada penelitian tersebut, 100% pasien yang diterapi
transplantasi sel pulau Langerhans pankreas tidak memerlukan injeksi insulin lagi
dan gula darahnya tetap normal setahun setelah transplantasi. Penelitian-penelitian
yang sudah dilakukan untuk diabetes ini mengambil sumber stem cell dari
kadaver, fetus, dan dari embryonic stem cell. Selanjutnya, masih dibutuhkan
penelitian untuk menemukan cara membuat kondisi yang optimal dalam produksi
insulin, sehingga dapat menggantikan injeksi insulin secara permanen.

5. Penggunaan sel punca untuk skin replacement


Dengan bertambahnya pengetahuan mengenai stem cell, maka peneliti
telah dapat membuat epidermis dari keratinosit yang diperoleh dari folikel rambut
yang dicabut. Hal ini memungkinkan transplantasi epidermis autolog, sehingga
menghindari masalah penolakan. Pemakaian skin replacement ini bermanfaat
dalam terapi ulkus vena ataupun luka bakar.

6. Penggunaan sel punca dalam penyakit Parkinson


Pada penyakit Parkinson, didapatkan kematian neuron-neuron nigra-
striatal, yang merupakan neuron dopaminergik. Dopamin merupakan
neurotransmiter yang berperan dalam gerakan tubuh yang halus. Dengan
berkurangnya dopamin, maka pada penyakit Parkinson terjadi gejala-gejala
gangguan gerakan halus. Dalam hal ini transplantasi neuron dopamin diharapkan
dapat memperbaiki gejala penyakit Parkinson. Tahun 2001, dilakukan penelitian
dengan menggunakan jaringan mesensefalik embrio manusia yang mengandung
neuron-neuron dopamin. Jaringan tersebut ditransplantasikan ke dalam otak
penderita Parkinson berat dan dipantau dengan alat PET (Positron Emission
Tomography). Hasilnya setelah transplantasi terdapat perbaikan dalam uji-uji
standar untuk menilai penyakit Parkinson, peningkatan fungsi neuron dopamin
yang tampak pada pemeriksaan PET; perbaikan bermakna ini tampak pada
penderita yang lebih muda. Namun setelah 1 tahun, 15% dari pasien yang
ditransplantasi ini kambuh setelah dosis levodopa dikurangi atau dihentikan.

14
7. Penggunaan sel punca dalam pengobatan HIV
Pada awalnya pengobatan HIV/AIDS ditemukan tidak sengaja dalam
pengobatan penyakit leukemia dengan sistem stem sel. Dimana HIV/AIDS
menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh menjadi rentan terhadap
gangguan virus atau penyakit. Dengan sel punca maka sel-sel yang mengalami
degradasi akan tergantikan sehingga kekebalan tubuh pengidap akan berangsur
pulih. Namun setelah itu terjadi mutasi gen yang mengakibatkan sel darah
menjadi resisten terhadap virus HIV.
Mutasi tersebut terjadi pada reseptor yang dikenal sebagai CCR5, yang
secara normal ditemukan pada permukaan T cell – sel pada sistem kekebalan
tubuh yang diserang oleh virus HIV. Gen yang telah bermutasi tersebut dikenal
sebagai CCR5 delta 32, dan ditemukan pada 1% - 3% populasi orang kulit putih
di Eropa.
Virus HIV menggunakan CCR5 sebagai co-reseptor untuk merusak sistem
kekebalan tubuh. Sejak CCR5 bermutasi menjadi CCR5 delta 32, virus HIV tidak
lagi mampu menyerang sel sehingga terjadi kekebalan tubuh alami pada orang
yang mengalami mutasi gen.

2.4 Bioetika pada Penelitian Sel punca


Manfaat yang diperoleh dari penggunaan sel punca embrionik (embryonic
stem cell) dalam bidang kedokteran amat besar, namun sumber sel punca
embrionik ini merupakan masalah etika yang perlu mendapat perhatian.
Berkembangnya penelitian sel punca dan penggunaan sel punca dalam
upaya untuk mengobati penyakit pada manusia akan mengakibatkan timbulnya
masalah dalam hal etik. Hal utama terkait dengan masalah etik adalah sumber sel
punca tersebut. Berbagai masalah etika yang perlu dipikirkan adalah1 :
1. Apakah penelitian embrio manusia secara moral dapat dipertanggung
jawabkan?
2. Apakah penelitian embrio yang menyebabkan kematian embrio merupakan
pelanggaran terhadap hak azasi manusia (HAM) dan
berkurangnya penghormatan terhadap mahluk hidup?
3. Apakah penyala gunaan dapat diketahui dan dikendalikan ?

15
4. Apakah pegunaan embrio sisa proses bayi tabung pada penelitian
diperbolehkan ?
5. Apakah penelitian khusus embuat embrio untuk digunakan diperbolehkan?
Isu bioetika utama dalam penelitian dan penggunaan sel punca adalah
penggunaan sel punca embrio terutama tentang sumber sel tersebut yaitu embrio.
Sumber embrio adalah hasil abortus, zigot sisa IVF dan hasil
pengklonan.Pengklonan embrio manusia untuk memperoleh sel punca merupakan
isu yang sangat menimbulkan kontroversi. Hal ini terkait dengan isu ”awal
kehidupan” dan penghormatan terhadap kehidupan itu sendiri. Pengklonan embrio
manusia untuk memperoleh sel punca menimbulkan kontroversi karena
berhubungan dengan pengklonan manusia yang ditentang oleh semua agama1.
Dalam proses pemanenan sel punca embrio terjadi kerusakan pada embrio
dan menyebabkan embrio tersebut mati. Adanya anggapan bahwa embrio
berstatus sama dengan manusia menyebabkan hal tersebut tidak dapat
diterima.Perdebatan yang cukup ramai adalah mengenai status moral embrio,
apakahembrio harus diperlakukan sebagai manusia atau sebagai sesuatu yang
berpotensi untuk menjadi manusia atau sebagai jaringan hidup tubuh lainnya.
Lebih jauh lagi apakah embrio yang berkembang dianggap sebagai mahluk hidup.
Penggunaan sel punca yang berasal dari surplus zigot pembuatan bayi tabung
sendiri juga menimbulkan kontroversi. Pendapat yang moderat mengatakan
ketimbang surplus zigot itu dibuang, sebaiknya dipakai saja untuk
penelitian.Sebaliknya ada juga yang berpendapat bahwa sisa itu harus dipelihara
hingga zigot itu mati1.

2. 5 Masalah Etika Mengenai Sel punca


Pengobatan penyakit secara konvensional dilakukan dengan pemberian
zat-zat kimia yang disebut dengan obat-obatan kimia. Pengobatan dengan bahan
kimia ini, di satu sisi kadang menyembuhkan, namun di sisi lain sering pula
muncul efek samping yang tidak diinginkan. Sehingga obat kimia sering pula
mendapat sebutan madu dan racun. Teknik pengobatan penyakit semacam ini,
akan mulai tergeser dengan teknik pengobatan lain yakni penggantian spare part
manusia. Dengan demikian, kalau ada seseorang menderita penyakit jantung,

16
bukan diberikan obat-obat kimia, namun diberikan sel-sel baru yang akan
menggantikan jantung yang rusak tersebut. Teknologi inilah yang disebut dengan
Teknologi Sel punca5.
Sel punca atau sel punca atau sel induk merupakan yang belum
berdeferensiasi (belum terspesialisasi menjadi sel tertentu), mempunyai potensi
untuk dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel lain. Sel punca atau sel induk selain
mampu berdiferensiasi menjadi berbagai sel matang , juga mampu meregenerasi
dirinya sendiri. Kemampuan tersebut memungkinkan sel punca (sel induk)
menjadi sistem perbaikan tubuh dengan cara menyediakan sel-sel baru selama
organisme bersangkutan hidup, atau dengan prinsip sel-sel yang rusak akibat
penyakit dapat diganti dengan sel-sel yang baru5.
Sejauh ini, penggunaan sel stem embrionik masih dibayangi masalah etika
(Kusmaryanto, 2005; Tadjudin, tanpa tahun). Permasalahan etika itu muncul
karena sumber sel induk adalah berupa embrio. Etika yang dilanggar adalah
menyembuhkan dengan cara membunuh (embrio tidak dapat melangsungkan
kehidupannya karena diambil inner cell mass-nya). Di sisi lain, sel induk dari
embrio ini ini lebih berpotensi berkembang menjadi berbagai jenis sel yang
menyusun aneka ragam organ tubuh. Secara ringkas, yang menjadi pokok
permasalahan adalah status embrio itu sendiri5.
Dikemukakan lebih lanjut oleh Ibrahim (2003), sejak berupa sperma, jadi
sebelum terjadinya konsepsi (pembuahan) sudah merupakan living material. Akan
tetapi karena Nabi s.a.w membolehkan azl (sexual interruptus atau sanggama
terputus) yang menyebabkan terjadinya kematian sperma yang tertumpahkan itu,
maka berarti boleh mematikan sperma. Sedang jika sperma tersebut telah menyatu
dengan ovum yakni telah terjadi konsepsi, sekalipun belum menjadi manusia
karena belum diberi ruh, namun membunuhnya sudah terlarang. Hal ini
didasarkan pada pandangan bahwa zigot tersebut merupakan cikal bakal manusia
yang secara fisik sudah terbentuk dengan dua unsur fisik utamanya, yaitu sperma
dan ovum, walaupun belum dapat disebut manusia5.
Kusmaryanto (2005) mengatakan hak paling dasar adalah hak untuk hidup.
Hidup manusia secara biologis dimulai sejak selesainya proses pembuahan
dimana faktor-faktor kehidupan manusia yang berasal dari ayah dan ibu bersatu

17
dan membentuk genom (perangkat gen) yang baru. Ini berarti sejak selesainya
proses pembuahan, embrio sudah mempunyai hak untuk hidup. Dengan demikian,
penggunaan sel punca atau sel induk dari embrio telah mengundang kontroversi.
Di sinilah bioetika berperan untuk memberikan keputusan terkait teknologi sel
punca5.
Upaya yang dilakukan menghadapi kontroversi ini antara lain dengan cara
memperoleh embrio yang etis, yakni membuat embrio partenogenetik (embrio
yang tidak dihasilkan dari pembuahan ovum oleh sperma). Pembentukannya
dilakukan dengan penyuntikan suatu protein sperma pada sel telur yang memicu
proses fertilisasi dan sel telur mulai membelah. Pembelahan sel telur ini hanya
dapat berkembang sampai stadium blastosis dan sel induk embrio kemudian dapat
dipanen (Tadjudin, tanpa tahun). Cara lain adalah dengan transfer inti DNA yang
sudah diubah sehingga hasil fertilisasi tidak dapat berkembang jadi embrio atau
fetus. Ia berhenti pada stadium blastosis. Menurut pendukung gagasan ini,
gumpalan sel yang terbentuk tidak dapat disebut embrio karena tidak sempurna,
dan dapat diambil sel puncanya5.
Kloning embrio manusia untuk memperoleh sel induk juga menimbulkan
kontroversi karena berhubungan dengan kloning manusia atau kloning reproduksi
yang ditentang semua agama. Dalam proses pemanenan sel induk dari embrio
terjadi kerusakan pada embrio yang menyebabkannya mati. Pandangan bahwa
embrio mempunyai status moral sama dengan manusia menyebabkan hal ini sulit
diterima. Oleh karena itu, pembuatan embrio hanya untuk tujuan penelitian
merupakan hal yang tidak dapat diterima banyak pihak5.
Perdebatan tentang status moral embrio berkisar tentang apakah embrio
harus diperlakukan sebagai manusia atau sesuatu yang berpotensi sebagai
manusia, atau sebagai jaringan hidup. Pandangan yang moderat menganggap
suatu embrio berhak mendapat penghormatan sesuai dengan tingkat
perkembangannya. Semakin tua usia embrio, kian tinggi tingkat penghormatan
yang diberikan. Pandangan liberal menganggap embrio pada stadium blastosis
hanya sebagai gumpalan sel dan belum merupakan manusia sehingga dapat
dipakai untuk penelitian. Namun, pandangan konservatif menganggap blastosis
sebagai makhluk hidup5.

18
Untuk menghindari kontroversi terkait sel punca dari embrio, Thomson
dan Yamanaka menemukan pembuatan sel punca dari sel-sel kulit, dan dengan
teknik yang sama bisa membuat sel telur dan sel sperma dari sel kulit. Sel sperma
dan sel telur kemudian dipertemukan, dan terbentuk embrio yang digunakan untuk
keperluan riset. Membuat embrio untuk hanya untuk keperluan riset, dan bukan
untuk diimplantasikan ke dalam rahim, juga dianggap sebagai pelanggaran etika
yang tidak bisa diterima5.
Di dalam Islam sendiri, sel punca dari embrio inipun masih menimbulkan
kontroversi. Terkait dengan status embrio, ada pula pendapat yang
menganggapnya tidak sebagai manusia atau sebagai makhluk bernyawa, manakala
ia masih dalam tahap awal (blastosis). Lebih lanjut, embrio-embrio yang
kemudian ‘harus’ dihancurkan setelah diambil sel puncanya, tidak dipandang
sebagai pembunuhan makhluk hidup, karena mereka tidak pernah hidup
sebelumnya5.
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw.) pernah bersabda,
“Jika nutfah (gumpalan darah hasil percampuran semen laki-laki dan perempuan)
telah lewat 42 malam, maka Allah mengutus seorang malaikat kepadanya, lalu dia
membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya,
kulitnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ‘Ya
Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?’
Maka Allah kemudian memberi keputusan…” (HR. Muslim)
Di dalam riwayat lain dikatakan, “(jika nutfah telah lewat) 40 malam.”
Pandangan ini diperkuat oleh keputusan yang diberikan oleh Rasulullah (saw.)
terkait aborsi janin. Imam Bukhari dan Imam Muslim, keduanya meriwayatkan
hadits dari Abu Hurairah (ra.) bahwa, “Rasulullah (saw.) memberi keputusan
dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang digugurkan,
dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki- laki atau perempuan..” Satu
ghurrah adalah diyat yang setara dengan 1/10 diyat orang dewasa (jika diyat orang
dewasa 100 ekor unta, maka diyat aborsi adalah 10 ekor unta). Ghurrah ini
dibayarkan jika sang janin telah menunjukkan organ-organ manusia, seperti
jemari tangan dan kaki, dan lain-lain, yang mengindikasikan bahwa sang janin
telah berkembang menjadi manusia sempurna, meski ruh-nya baru dimasukkan

19
oleh Allah pada hari ke-120. Oleh karena itu kezaliman terhadap manusia dilarang
dan hal ini juga berlaku kepada janin, namun tidak berlaku bagi embrio yang
berusia belum genap 40 hari5.
Berdasarkan aspek hukum Undang-undang Republik Indonesia no 36
tahun 2009 tentang kesehatan pasal 70 mengatakan1 :
(1) Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan
reproduksi.
(2) Sel puncasebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel
punca embrionik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengeai sel punca sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri.
Ketentuan umum tentang sel punca Dalam Peraturan Menteri Nomor
833/Menkes/Per/IX/2009 tentang penyelenggaraan pelayanan sel punca menteri
kesehatan republic Indonesia6 :
Pasal 1
(1) Sel punca adalah sel tubuh manusia dengan kemampuan istimewa
memperbaharui atau meregenerasi dirinya sendiri ( self regenerate/self
renewal) dan mampu berdiferensiasi menjadi sel lain
(2) Sel punca embrionik adalah sel punca yang berasal dari blastosit berupa
sisa embrio dari invitro fertilization (IVF) ataupun dari sel blank (
unspesialized);
(3) Sel punca non embrionik adalah sel punca dewasa yang berasal dari tali
pusat ( cord blood), susum tulang (Bone Marrow PunctionBMP), dan
darah tepi ( Peripheral Blood) serta berbagai jaringan lain;
(4) Pelayanan sel punca adalah tindakan medis yang dilakukan dalam rangka
pengambilan, penyimpanan, pengolahan, pendistribusian, pemusnahan dan
pemberian terapi sel punca non embrionik;
(5) Fasilitas pelayanan adalah sarana kesehatan tempat dilakukannya
pelayanan sel punca dan riset terepan
(6) Bank Sel Punca adalah unit dalam rumah sakit atau di luar rumah sakit
yang memenuhi persyaratan untuk menerima, melakukan seleksi,

20
menyipn, mendistribusikan dan atau memusnahkan sesuai dengan prosedur
standar yang ditetapkan oleh instalasi sel punca
(7) Laboratorium riset terapan sel punca adalah laboratorium penunjang yang
memenuhi persyaratan untuk melakukan uji sari infeksi, uji kualitas, uji
diferensiasi dan berbagai penelitian terapan sel punca.
(8) Donor sel punca adalah orang yang menyumbangkan sel punca untuk
kepentingan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
(9) Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang kesehatan.
Pasal 2 Mengenai Persyaratan Pelayanan Sel Punca, Sumber Sel Punca6 :
(1) Sumber sel punca yang dipergunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan adalah sel punca non- embrionik yang berasal dari donor
manusia.
(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diperjualbelikan
Pasal 3
(1) Donor sel punca adalah bersifat sukarela tana amrih
(2) Sel Punca hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan pelayanan medic
bagi donor itu sendiri atau orang ain untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan
(3) Penggunaan sel punca untuk kepentingan orang lain atau kepentingan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus mendapat perserujuan dari donor yang bersangkutan.
(4) Pemanfaatan sel punca untuk kepentingan penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
sesuai ketentuan perundang- undangan
Faktor yang mendukung disediakannya pedoman penyelenggaraan
pelayanan sel punca berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, nomor 834Menkes/SK/IX/20097 :
1. Pengalaman penggunaan sel punca untuk mengobati berbagai penyakit di
Indonesia
2. Telah tersedianya fasilitas saranan pengadaan sel punca di berbagai rumah
sakit pendidikan di Indonesia meskipun masih terbatas

21
3. Ketersediaan tenaga ahli
Faktor- fator yang mendorong disediakannya pedoman pelayanan sel
puncaberdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, nomor
834Menkes/SK/IX/20097 :
1. Semakin banyak peminat dalam penyimpanan sel punca antara lain bank
darah tali pusat umbilical cord banking
2. Pengalaman di Negara maju menunjukan dapat terjadinya
penyelanggaraan aspek etik maupun medikolegal dalam penelitian maupun
pelayanan sel punca, misalnya penggunaan sel punca embrional.
Prinsip dari falsafah pelayanan ini berorientasi pada aspek bioetik, yaitu 7:
1. Kehidupan harus dihormati sejak awal pembuahan, yaitu sejak dibuahinya
sel telur oleh sperma
2. Penelitian, pengembangan dan pemanfaatan sel punca sangat penting
untuk dikembangkan di Indonesia beserta berbagai kebijakan dan
pengaturan hukumnya yang bersumber dari kaidah bioetika universal atau
kaidah – kaidah yang sekurang-kurangnya secara internasional sudah
diterima.
3. Pengembangan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia di Indonesia
khususnya laboratorium harus diperkuat agar bangsa Indonesia dapat
menguasai dan berada sejajar dengan bangsa lain dalam ilmu dan
teknologi sel punca,
4. Klonasi terapeutik mengunakan sel punca non embrionik dapat dilakukan
di Indonesia baik oleh penelit dalam negeri maupn penelitian atau
penyedia jasa sel punca dari luar negeri, sepanjang memenuhi standard an
berbagai perundangan di Indoneia yang mejamin informed consent dan
best clinical practice
5. Reproductive stem cell, sel punca embrionik pluripoten dan totipoten
dilarang karena menggangu martabat manusia
6. Non embrionik (adult stem cell) diperbolehkan tapi tidak boleh
mempergunakannya untuk kepentingan lain kecuali atas ijin
7. Observasi sel selama penyimpanan harus sesuai standar untuk mengetahui
adanya perubahan mutasi yang berkaitan dengan efektivitas terapi

22
8. Pemanfaatan sel punca ini berdimensi lintas profesi yang berkaitan dengan
hak manusia sehinga perlu komitmen atau dorongan ilmuwan dan
masyarakat
9. Perkembangan penelitian sel punc sampai saat ini masih berlanjut, oleh
karena itu pelaksaan pelayanan medik sel punca di RS Pendidikan Rujukan
dan fasilitas pelayanan sel punca di luar rumah sakit oleh
swasta/pemerintah, harus merupakan bagian dari mata rantai
pengembangan ilmu pengetahuan dasar kedokteran serta dipandang aset
nasional.
Dalam proses pemanenan embrio dapat terjadi kerusakan embrio dan
menyababkan embrio tersebut mati. Adanya anggapan bahwa embrio berstatus
sama dengan manusia menyebabkan hal tersebut tidak dapat diterima. Perdebatan
yang cukup ramai adalah mengenai status moral embrio, apakah embrio harus
diperlakukan sebagai manusia atau sebagai sesuatu yang berpotensi untuk menjadi
manusia atau sebagai jaringan hidup tubuh lainnya. Lebih jauh lagi apakah embrio
yang berkembang dianggap sebagai makhluk hidup1.
Penggunaan sel punca yang berasal dari surplus zigot pembuatan bayi
tabung sendiri juga menimbulkan kontroversi. Pendapat yang moderat
mengatakan daripada surplus zigot itu dibuang, sebaiknya dipakai saja untuk
penelitian. Sebaliknya ada juga yang berpendapat bahwa sisa itu harus dipelihara
hingga zigot mati1.

23
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari permasalahan sel punca ini antara lain
adalah hadirnya solusi baru dalam pengobatan berbagai penyakit termasuk
penyakit degeneratif, penyakit autoimun dan penyakit keganasan, yaitu dengan
transplantasi sel punca yang dihasilkan dari berbagai sumber seperti zigot,embrio,
atau fetus. Hal ini yang melahirkan pro-kontra dalam penelitian sel punca karena
melanggar etika. Sel punca yang berasal dari embrio masih bertentangan dengan
aspek hukum, etika dan agama di Indonesia.
3.2 Saran
Penggunaan sel punca dalam ilmu kedokteran dan medikolegal dapat
diterapkan dengan tetap mengikuti kaidah bioetika yang berlaku sesuai dengan
undang-undang dasar dan Peraturan Menteri Kesehatan. Penerapan ilmu dan
teknologi sel punca dapat turut serta memajukan bangsa Indonesia dalam bidang
kesehatan dunia.

24
DAFTAR PUSTAKA

1 Thontowi Djauhari NS. Sel Punca. Universitas Muhammadiah Malang. 2010.


2 Renatha Deska Chanesia. Bioteknologi Farmasi Sel Punca (stem cell).
Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto. 2012.
3 Ahmad Aulia Jusuf. Stem Cell dan Perannya di Masa Depan. Departemen
Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008.
4 Djati, M.S. Diskursus Teknologi Embryonic Stem Cells dan Kloning dari
Dimensi Bioetika dan Relegiositas (Kajian Filosofis dari Pengalaman
Empirik). Jurnal Universitas Paramadina. 2003.
5 Peraturan menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
833/Menkes/Per/IX/2009 tentang penyelenggaraan pelayanan sel puca
menteri kesehatan republic Indonesia.
6 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, nomor
834Menkes/SK/IX/2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Medis Sel Punca.

25

Anda mungkin juga menyukai