Anda di halaman 1dari 4

Judul : “Pengantar Filsafat”

Pengarang : Louis O. Kattsoff

Apa sajakah hal-hal yang berkaitan dengan kegunaan filsafat di bidang


agama? Pertanyaan ini kerap sekali ada, terutama di kalangan mahasiswa. Dari
pertanyaan tersebut, Louis O. Kattsoff, Guru Besar Filsafat di North Carolina
University, membahas mengenai hubungan antara masalah agama dengan ilmu
filsafat.

Louis O. Kattsoff menjelaskan bahwa filsafat adalah suatu analisa secara


hati-hati terhadap penalaran-penalaran mengenai suatu masalah, dan
penyusunannya secara sengaja serta sistematis atas suatu sudut pandang yang
menjadi dasar suatu tidakan. Kesulitan dalam mendefinisikan agama secara
memadai tampak jelas dengan sangat banyaknya definisi mengenai agama.
Banyaknya definisi mengenai agama mengakibatkan beraneka ragamnya agama
yang ada di dunia saat ini.

Suatu agama mengungkap suatu kumpulan pola tingkah laku dan


kepercayaan sebagai nilai-nilai yang tertinggi dan yang terbaik. Kepercayaan
ada bermacam-macam, yakni ateisme (tidak mengakui adanya Tuhan),
monoteisme (mengakui adanya hanya satu Tuhan), dan politeisme (percaya
akan adanya Tuhan yang berjumlah banyak).

Menurut Louis O. Kattsoff, kita harus harus hati-hati dalam membedakan


antara ‘filsafat keagamaan’ dengan ‘filsafat agama’. Filsafaat keagamaan
memiliki makna filsafat yang disusun berdasarkan ajaran serta kepercayaan
keagamaan sebagai pendirian yang hakiki. Namun, makna dari filsafat agama
adalah suatu penyelidikan yang bersifat kritis tentang agama berdasarkan makna
istilah-istilah, bahan bukti, dan prinsip-prinsip verifikasi. Selain itu, filsafat
agama juga membahas mengenai hubungan antara agama dengan lapangan
pengetahuan manusia yang lain.

Kegunaan filsafat di bidang agama sendiri adalah memahami makna


agama, menambah pengetahuan tentang Tuhan, dan untuk menunjukkan bukti-
bukti adanya Tuhan. Timbulnya tuntutan-tuntutan untuk mencari bukti adanya
Tuhan disebabkan oleh pernyataan adanya Tuhan tidak jelas. Disinilah letak
timbulnya masalah. Dari berbagai masalah yang ada, pembuktian-pembuktian
pun diperlukan, yakni pembuktian dari segi ontologi, pembuktian dari segi
psikologi, pembuktian dari segi kosmologi, pembuktian dari segi teleologi, dan
pembuktian dari segi kesusilaan.

Pembuktian dari segi ontologi merupakan pembuktian yang berusaha


menunjukkan Tuhan ada berdasarkan atas definisi tentang Tuhan. Lalu,
pembuktian dari segi psikologi merupakan pembuktian yang menerangkan asal
mula suatu pengertian atau gagasan tentang Tuhan sebagai suatu yang
sempurna. Lalu, pembuktian dari segi kosmologi adalah pembuktian yang
didasarkan pada pengamatan hubungan sebab akibat dan pendapat yang
menganggap alam semesta merupakan suatu akibat yang dengan sendirinya
memerlukan adanya sebab. Kemudian, pembuktian dari segi teleolagi adalah
pembuktian yang mempergunakan ibarat. Yang terakhir, pembuktian dari segi
kesusilaan merupakan pembuktiaan yang tercermin dalam pengalaman manusia
sehari-hari.

Kesimpulan yang bisa diambil dari pembahasan di atas adalah filsafat dan
agama memiliki hubungan yang erat. Selain itu, dengan filsafat, kita dapat
mengetahui bukti-bukti adanya Tuhan.

Orang melakukan kegiatan "beragama" dalam rangka menemukan


"kebenaran".Kebenaran yang diperoleh dalam kegitan beragamanya itu adalah
kebenaran subyektif, dalam arti menurut dirinya sendiri.Karena subyektif, maka
kebenaran iyang diyakini itu belum tentu berlaku untuk subyek lain sehingga
bisa dipahami terdapat banyak perselisihan tanpa ujung yang menyangkut soal
keyakinan subyektif itu. Sekelompok orang yang MERASA pendapat
subyektifnya sama, lantas berkumpul sebagai umat agama tertentu sedangkan
yang lain-lain membentuk kelompoknya masing masing. Maka terciptalah
agama agama yang jumlahnya ribuan, dari kecil sampai besar. Semuanya
meyakini kebenaran subyektifnya masing masing.

Manusia lantas galau melihat kenyataan itu. Banyaknya sembahan makin


memungkinkan banyaknya pertengkaran untuk mempertahankan kebenaran
subyektifnya masing masing. Muncullah tokoh2 dalam sejarah agama
mengawali "penyederhanaan jumlah" sembahan itu. Tak kurang dari tokoh yang
mengawali agama besar seperti Muhammad dan Jesus "menyarankan"
monotheisme. Tapi itupun masih menyisakan pertentangan2. Malah
pertentangan karena perbedaan2 subyektif makin memuncak dengan makin
besarnya masing-masing kelompok. Pertentangan "dingin sampai panas"
terbukti terjadi dalam sejarah, dari dulu sampai saat inipun tak kunjung selesai.
Bahkan di forum inipun terbaca.

Kegalauan berlanjut. Manusia merasa perlu menemukan penyelesaian


masalah yang diakibatkan oleh subyektifitas masing masing dan tiap tiap
kelompok yang berbeda pendapat itu. Lantas dicarilah PERSAMAANnya.

Persamaan-persamaan diharapkan melahirkan peningkatan obyektifitas


dari pandangan2 subyektif yang berbeda beda itu. Persamaan itu tak lain adalah
AKAL SEHAT, atau rasionalitas. Tiap-tiap kelompok sebetulnya mempunyai
sisi rasionalnya masing masing. Bila menilik sejarah, kita menjumpai nama2
filsuf dari agama-agama besar tsb. Filsuf2 itu mendekati kebenaran bukan dari
sisi iman melainkan dari sisi rasio atau akal. Diharapkan, akal sehat BERLAKU
UMUM dan lebih UNIVERSAL, maka filsafat bisa diharapkan menjadi
JEMBATAN silaturahmi antar umat beragama. Ternyata filsafat juga
mempunyai tujuan yang sama dengan agama, yaitu mencari kebenaran karena
Filsafat - Filos+sofia, berarti mencintai kebijaksanaan.

Kesamaan tujuan dan universalitas dari metode filsafat memungkinkan ia


berhasil menjadi "jembatan" tersebut, karena setiap manusia diasumsikan
cenderung kepada mencari kebenaran dan memakai akal sehat sebagai syarat
untuk memperoleh kemajuan peradaban. Sampai saat ini telah terbukti bahwa
kemajuan beradaban dari sejak jaman batu sampai saat ini, bisa mengandalkan
indikator seberapa rasional manusia memakai akalnya untuk menilainya.
Teknologi misalnya, nyata merupakan hasil karya manusia yang memajukan
peradaban sejak manusia baru bisa membuat api.

Filsafat adalah induk dari segenap ilmu pengetahuan (sains). Jadi makin
jelas, agama sangat memerlukan filsafat untuk menemukan KEBENARAN
OBYEKTIF. Dan kebenaran obyektif itu dipakai menjadi tolok ukur apakah
suatu kebenaran subyektif masih pada jalurnya atau sudah menyimpang dari
tujuan yaitu KEBENARAN itu sendiri. Dalam sejarah, agama Kristen pernah
menomor-duakan filsafat terhadap agama. Filsafat disebut "Ancilla Theologiae"
atau "pelayannya agama". Kala itu filsafat hanya dipakai sebagai "pembenaran2
atas doktrin2". Tapi tidak lama setelah itu, Filsafat menemukan jalannya sendiri
dan bersanding sejajar dengan agama. Fungsi filsafat bukan lagi hanya menjadi
"pelayan atau budak" yang membenarkan subyektifitas dengan obyektifitas,
melainkan sudah menjadi "tuan yang berdaulat penuh" yang kemudian malah
menjalankan fungsi kritik terhadap keyakinan2 subyektif.
Tak ada agama yang "tahan" dihantam kekritisan filsafat. Agama2 akan
terpaksa memilih, mau nampak terbelakang dan bodoh karena menolak akal
sehat ataukah berjalan bersama filsafat dalam mencari kebenaran sepanjang
jaman. Tapi, masih sering terdengar filsafat itu menyesatkan karena
mengandalkan akal. Bagaimana tanggapan rekan rekan semua? Silakan
diperdebatkan.

Anda mungkin juga menyukai