Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH GEOGRAFI

KEGIATAN PERTAMBANGAN YANG BERKELANJUTAN

PENYUSUN : KELOMPOK I

1. Agung Septa Wiratama

2. Fajar Farhan

3. Irena Nofrita

4. Neneng Nurlaila

5. Nindy Heryati

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 98

JAKARTA TIMUR

2014
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kami dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul “Kegiatan Pertambangan yang
Berkelanjutan” dengan lancar.

Dalam pembuatan makalah ini, kami mendapat dukungan dari berbagai pihak,
maka pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada : Dra. Rini Seswati dan Stefanus Sweko selaku pengajar Geografi kami,
sehingga pembuatan makalah ini dapat terselesaikan.

Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya
dan kami pada khususnya, kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
jauh dari sempurna. Untuk itu kami menerima saran dan kritik yang bersifat
membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata kami sampaikan
terimakasih.

Jakarta, 23 November 2014


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan


sustainable development pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 pada Konferensi
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm,
Swedia. Pada konferensi tersebut, dunia menyadari sepenuhnya bahwa perkembangan
pesat populasi manusia harus bertahan dalam keterbatasan sumberdaya. Tanpa ada
pengelolaan yang baik, sumberdaya seperti makanan, energi dan air dapat habis, yang
pada akhirnya akan mengarah ke krisis global. Pelaksanaan konferensi ini telah memicu
pembentukan lembaga-lembaga perlindungan lingkungan, dan yang terpenting adalah
terlibatnya para politisi, institusi pemerintah dan organisasi-organisasi internasional
sebagai kekuatan di belakang pergerakan tersebut. Selanjutnya, International Union for
the Conservation of Natural Resources (IUCN) menerbitkan Strategi Konservasi Dunia
(World Conservation Strategy/WCS) pada tahun 1980 yang merupakan cikal bakal
konsep pembangunan berkelanjutan.
Pada tahun 1983, World Commission on Environment and Development
(WCED) berdiri, dan setahun kemudian disahkan menjadi badan independen oleh
Majelis Umum PBB dengan tugas merumuskan Agenda Global untuk Perubahan (A
global agenda for change). Melalui laporannya “our common future” atau lebih dikenal
dengan Laporan Brundtland (Brundtland Report) yang dirilis tahun 1987, WCED
merumuskan defenisi pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri" (development which meets the needs of the
present without compromising the ability of future generations to meet their own
needs). Definisi ini kemudian dikenal sebagai definisi klasik yang diterima secara luas
oleh dunia. Melalui laporan ini juga, WCED menegaskan bahwa lingkungan dan
pembangunan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain: lingkungan
adalah tempat di mana kita semua hidup; dan pembangunan adalah apa yang kita semua
lakukan dalam upaya untuk memperbaiki nasib kita di dalam tempat tinggal kita itu.
Konferensi internasional pertama yang mengusung tema pembangunan
berkelanjutan digelar oleh PBB di Rio de Janeiro, Brazil pada Juni 1992 tentang
Ekonomi dan Pembangunan/UN Conference on Environment and Development
(UNCED). Secara spesifik, konferensi ini mengadopsi agenda lingkungan dan
pembangunan di abad ke-21 atau yang dikenal dengan nama Agenda 21. Agenda 21
merupakan sebuah program aksi untuk pembangunan berkelanjutan yang berisi
Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan. Deklarasi ini secara tegas
mengakui hak setiap bangsa untuk mengejar kemajuan sosial dan ekonomi dan memberi
tanggung jawab kepada negara-negara untuk mengadopsi model pembangunan
berkelanjutan. UNCED untuk pertama kalinya memobilisasi Kelompok-kelompok
Utama (Major Groups) dan melegitimasi partisipasi mereka dalam proses pembangunan
berkelanjutan. Para pemimpin negara di dunia kemudian secara tegas dan luas mengakui
pentingnya perubahan mendasar dalam pola-pola konsumsi dan produksi dalam upaya
pencapaian pembangunan berkelanjutan. Agenda 21 lebih lanjut menegaskan bahwa
pembangunan berkelanjutan melingkupi integrasi pilar-pilar ekonomi, sosial dan
lingkungan (Gambar 1). Sepuluh tahun setelah Deklarasi Rio, the World Summit on
Sustainable Development (WSSD) diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan
untuk memperbaharui komitment global terhadap pembangunan berkelanjutan.
Kesepakatan konferensi dituangkan dalam Johannesburg Plan of Implementation
(JPOI), serta menugaskan Commission on Sustainable Development (CSD) untuk
menindaklanjuti penerapan pembangunan berkelanjutan.
Perkembangan pembangunan berkelanjutan kontemporer ditandai oleh
pelaksanaan United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) atau
yang dikenal dengan Rio+20 sebagai konferensi internasional ketiga. Sesuai namanya,
Rio+20 dilaksanakan di Rio de Janeiro pada tahun 2012, dan memiliki tiga tujuan yaitu
mengamankan pembaruan komitmen politik untuk pembangunan berkelanjutan, menilai
kemajuan dan kesenjangan implementasi dalam memehuni komitmen sebelumnya, serta
membahas tantangan-tantangan baru yang muncul dalam implementasi pembangunan
berkelanjutan. Secara umum, hasil-hasil pertemuan Rio+20 dituangkan dalam sebuah
dokumen yang diberi judul “The Future We Want” yang diantaranya berisi tentang
pengakuan bahwa perubahan mendasar terhadap pola konsumsi dan produksi
masyarakat sangat diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan global.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa tujuan kegiatan pertambangan yang berkelanjutan?


2. Apa yang diperlukan dalam kegiatan pertambangan yang berkelanjutan?
3. Bagaimana konsep pertambangan berkelanjutan?
4. Bagaimana pertambangan berkelanjutan di Indonesia?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tujuan Kegiatan Petambangan yang Berkelanjutan

Untuk menciptakan keuntungan jangka panjang bagi semua pemangku


kepentingan dan mencoba mendapatkan dukungan, kerja sama, dan kepercayaan dari
masyarakat di sekitar daerah pertambangan.

2.2 Yang Diperlukan dalam Kegiatan Pertambangan Berkelanjutan

Yang diperlukan adalah komitmen perusahaan terhadap nilai-nilai berkelanjutan.


Selain itu, struktur organisasi sistem manajemen yang memadai juga diperlukan.

Manajemen yang berkelanjutan juga bergantung pada perilaku etis individu serta
kepercayaan untuk mendorong partisipasi dan komitmen dari pihak terkait. Hal ini
memungkinkan pengambilang keputusan yang tepat dan mendorong individu untuk
mengambil risiko dalam setiap perbaikan yang dilakukan. Oleh karena itu, manajemen
tambang yang berkelanjutan merupakan tantangan utama. Manajemen berkelanjutan
menawarkan berbagai manfaat potensial sebagai berikut.

a. Reputasi perusahaan meningkat dengan risiko kerugian rendah.


b. Efisiensi operasional yang lebih tinggi dengan pengelolaan keselamatan dan
kesehatan, penggunaan energi, sumber daya, dan proses produksi yang
berkelanjutan.
c. Perencanaan dan pengendalian dari pelaksanaan sistem manajemen (misalnya,
ISO 1400, ISO 9001), dan filsofi perbaikan terus-menerus berkaitan dengan
pengelolaan yang berkelanjutan dapat ditingkatkan.
d. Akses terhadap sumber daya mineral lebih mudah sehingga biaya untuk
memperolehnya lebih rendah dan tingkat kegagalannya berkurang.
e. Perekrutan dan pemberdayaan sumber daya manusia lebih mudah sehingga
kepemimpinan, motivasi, inisiatif, dan pengmbilan kebijakan dilaksanakan
secara bertanggung jawab.
f. Proyek pembiayaan lebih mudah dan ekonomis.
g. Biaya pengembangan proyek lebih rendah dengan bantuan dari pihak-pihak
terkait sehingga proses perizinan lebih cepat.
2.3 Konsep Pertambangan Berkelanjutan

Ada dua masalah yang paling umum ditanyakan dalam diskusi mengenai konsep
berkelanjutan pada sektor pertambangan.
Pertanyaan pertama adalah Bagaimana menerapkan konsep berkelanjutan pada
kegiatan pertambangan yang pasti suatu saat akan berhenti karena sumberdaya yang
tidak dapat diperbaharui? Adalah hal yang sudah umum diketahui bahwa cadangan, baik
mineral dan batubara, betapapun banyaknya, suatu saat akan habis ditambang
mengingat sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Bahkan
umur proyek yang tidak lebih dari 10 tahun sering ditemui pada tambang-tambang skala
menengah dan kecil dengan volume cadangan yang sangat terbatas.
Pertanyaan kedua adalah Bagaimana menerapkan konsep berkelanjutan pada
kegiatan yang sifatnya melawan ciri pembangunan berkelanjutan? Dalam prakteknya,
kegiatan pertambangan secara alami berlawanan dengan apa yang diperjuangkan oleh
praktisi pembangunan berkelanjutan: kegiatan utamanya adalah memindahkan dan
mengambil tanpa mengganti, dan aktivitasnya berdampak besar pada lingkungan
setempat, belum lagi dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap masyarakat
di sekitar tambang (the guardian, 2012).
Tema berkelanjutan dalam industri pertambangan merupakan turunan dari
konsep pembangunan berkelanjutan yang secara kontemporer terus dikampanyekan di
berbagai sektor. Khusus pada bidang pertambangan, konsep berkelanjutan memiliki
posisi yang unik karena barang tambang bukanlah sumberdaya yang dapat diperbaharui.
Sekali cadangan habis ditambang, maka selesailah kegiatan pertambangan tersebut.
Tidak peduli betapa menguntungkan ia pada awalnya dan betapa banyak orang yang
menggantungkan hidup darinya, tambang harus tetap ditutup. Sekali berarti, sesudah itu
mati.
Belajar dari pengalaman, industri pertambangan menyadari sepenuhnya bahwa
masa depan sektor ini sangat ditentukan oleh pencapaian pembangunan berkelanjutan
mereka sendiri. Oleh karena itu, setiap aktifitas pertambangan harus memenuhi harapan
sosial (social expectations) dan harus berbagi tanggung jawab dengan pemerintah dan
para pemangku kepentingan. Hal yang sangat penting adalah proses ini harus mulai
dilakukan sejak masa-masa awal kegiatan pertambangan, bahkan sejak pembangunan
tambang mulai direncanakan. Dengan cara ini, pihak perusahaan akan memenangkan
izin sosial untuk beroperasi dari masyarakat.
International Institute for Sustainable Development (IISD) dan World Business Council
for Sustainable Development (WBCSD), melalui laporan final proyek Mining, Mineral
and Sustainable Development (MMSD) yang dirilis tahun 2002, merancang sebuah
kerangka kerja pembangunan berkelanjutan pada sektor mineral. Dalam laporan tersebut
dijelaskan bahwa yang dimaksud penerapan konsep pembangunan berkelanjutan pada
industri pertambangan bukanlah upaya membuat satu tambang baru untuk mengganti
tambang lain yang sudah ditutup, tetapi melihat sektor pertambangan secara
keseluruhan dalam memberikan kontribusi pada kesejahteraan manusia saat ini tanpa
mengurangi potensi bagi generasi mendatang untuk melakukan hal yang sama. Oleh
karena itu, pendekatan pertambangan berkelanjutan harus komperhensif dan
berwawasan ke depan. Komperhensif yang dimaksud adalah menimbang secara
keseluruhan sistem pertambangan mulai dari tahap eksplorasi hingga penutupan
tambang, termasuk distribusi produk dan hasil-hasil tambang, sedangkan berwawasan
ke depan adalah menetapkan tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang secara
konsisten dan bersama-sama.
Selanjutnya, JPOI mengindentifikasi tiga bidang prioritas untuk memaksimalkan
potensi keberlanjutan di sektor pertambangan, yaitu:
1. Menganalisa dampak dan keuntungan sosial, kesehatan, ekonomi dan lingkungan
sepanjang siklus kegiatan pertambangan, termasuk kesehatan dan keselamatan pekerja;
2. Meningkatkan partisipasi para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat dan
lokal serta kaum perempuan;
3. Menumbuhkan praktek-praktek pertambangan berkelanjutan melalui penyediaan
dukungan teknis, pembangunan kapasitas dan keuangan, kepada negara berkembang
dan miskin.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep keberlanjutan dalam
pertambangan tidak berarti kegiatan tersebut harus dilakukan terus menerus, begitu pula
jika diasumsikan secara sederhana dengan membuat tambang baru untuk melanjutkan
tambang lain yang sudah ditutup. Konsep keberlanjutan dalam industri ini diarahkan
pada upaya untuk memaksimalkan manfaat pembangunan pertambangan dan pada saat
yang sama mampu meningkatkan keberlanjutan lingkungan dan sosial. Artinya, konsep
keberlanjutan pada sektor ekstraksi mineral dan batubara ditekankan pada optimalisasi
dampak-dampak positif yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut dengan
menitikberatkan pada akulturasi pilar-pilar ekonomi, sosial dan lingkungan (the triple
bottom-line).
Meski begitu, dalam kenyataannya implementasi praktek-praktek pertambangan
berkelanjutan tetap harus dilihat secara utuh dan terintegrasi. Australian Centre for
Sustainable Mining Practices berpendapat bahwa konsep the triple bottom-line gagal
mempertimbangkan dua unsur teknis yang sangat penting dan tidak terpisahkan dalam
operasi pertambangan berkelanjutan, yang pertama keselamatan (safety) dan yang kedua
efisiensi sumberdaya (resource efficiency) atau efisiensi (ACSMP, 2011) (Gambar 2).
Integrasi dua area penting ini merupakan masukan berharga dan dapat dianggap sebagai
pengembangan dari konsep yang telah dibangun oleh MMSD.
Gambar 2. Praktek-praktek Pertambangan Berkelanjutan (Laurence, 2011, dalam
ACSMP, 2011)
Demikianlah, selain berkewajiban mengamankan pasokan material dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pertumbuhan di masa depan, kegiatan pertambangan juga harus
dilakukan secara ekonomis, ramah lingkungan, bertanggung jawab secara sosial dan
dengan cara-cara yang aman dan efisien. Oleh karena itu, pengembangan prinsip
pengelolaan pertambangan yang berkelanjutan adalah misi yang sangat penting, saat ini
dan di masa yang akan datang.

2.4 Pertambangan Berkelanjutan di Indonesia

Agenda pertambangan berkelanjutan di Indonesia mulai dilirik sebagai respon


terhadap maraknya berita tentang dampak-dampak negatif kegiatan pertambangan dan
nasib buruk wilayah bekas penambangan yang diterlantarkan. Masyarakat mulai
mengkritisi kegiatan operasi penambangan yang mengancam kearifan lokal dan
mengganggu mata pencaharian penduduk di kawasan hutan dan pesisir, baik secara
individu maupun berkelompok. Contoh dalam hal ini adalah pembentukan Dewan Adat
Dayak (DAD) pada tahun 2001 yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak ulayat
adat dayak salah satunya dalam kegiatan pertambangan di Kalimantan. Dari kalangan
akademisi, kritik sering ditujukan terhadap tingginya ketergantungan pembangunan
beberapa wilayah pada kegiatan pertambangan, dengan mempertanyakan nasib wilayah-
wilayah tersebut apabila tambang nantinya harus ditutup.
Seiring dengan kampanye global tentang pertambangan berkelanjutan, riset
tentang topik ini juga mulai berkembang di Indonesia. Walaupun pertumbuhannya tidak
begitu fantastis bahkan cenderung lambat, tema-tema berkelanjutan mulai dibahas pada
sektor pertambangan, misalnya dalam “Sustainability in Mining – Challenges and
Needs for Developing Countries ” (Gautama, 2013) dan sedikit dalam “the Indonesian
Mineral Mining Sector: Prospects and Challenges” (Widajatno dan Arif, 2011). Selain
itu, beberapa perusahaan tambang secara sadar berusaha menjadikan praktek-praktek
pertambangan berkelanjutan sebagai program perusahaan yang diinternalisasi sebagai
kebutuhan korporasi. Sebagai contoh adalah PT Newmont Nusa Tenggara yang secara
khusus mengembangkan Sustainable Mining Bootcamp, sebuah program edukasi bagi
masyarakat umum untuk melihat langsung proses penambangan dan aktivitas
masyarakat di sekitar area tambang Batu Hijau di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa
Tenggara Barat. Contoh lain adalah PT Freeport Indonesia, afiliasi dari Freeport-
McMoRan Copper & Gold Inc yang merupakan anggota pendiri International Council
on Mining and Metals (ICMM), berkomitmen untuk mengimplementasikan kerangka
kerja pembangungan berkelanjutan ICMM pada seluruh kegiatan operasinya.
Perhatian yang lebih besar diberikan oleh komunitas internasional sebagai
bagian dari upaya Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD). Contoh terkini adalah
Monash University, yang melalui Monash Sustainability Institute (MSI) telah
mengajukan usulan riset multi disiplin dengan bekerjasama dengan beberapa universitas
terkemuka dan institusi pemerintahan di Indonesia. Hal ini menjadi penting karena
dunia menganggap banyak kegiatan pertambangan di Indonesia tidak sesuai dengan
upaya pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan, yang pada akhirnya
berpeluang menyumbang deforestasi. Riset tersebut akan mengkaji tentang upaya
penyelarasan pembangunan berkelanjutan antara kehutanan dan pertambangan di
Indonesia, dengan mengambil lokus di Provinsi Kalimantan Tengah.
Lambatnya laju implementasi pertambangan berkelanjutan di Indonesia
ditengarai salah satunya disebabkan oleh lemahnya pemahaman konsep pertambangan
berkelanjutan itu sendiri. Beberapa pihak cenderung keliru menafsirkan pertambangan
berkelanjutan sebagai upaya penambangan yang berwawasan lingkungan (green
mining) atau bahkan upaya yang berwawasan sosial dan lingkungan (responsible
mining). Pertambangan berkelanjutan pada prinsipnya lebih dari kedua konsep tersebut,
atau lebih tepatnya adalah menggabungkan dua konsep tersebut dengan pengembangan
ekonomi masyarakat secara mandiri melalui penyelarasan fiskal yang tepat antara
perusahaan, pekerja dan konsumer tambang, termasuk di dalamnya adalah masyarakat
lokal.
Dengan demikian, ide besar pertambangan berkelanjutan kurang memuaskan
apabila masih dianggap sebagai kebutuhan internal perusahaan atau dikelola secara
parsial oleh masing-masing institusi. Sekali lagi pendekatannya harus terintegrasi dan
holistik. Seluruh pemangku kepentingan harus diberi ruang keterlibatan secara
proporsional, termasuk upaya penyertaan masyarakat (community engagement) sebagai
bagian dari kegiatan perusahaan. Lebih spesifik mengenai penyertaan masyarakat,
progam ini harus dilakukan secara serius pada setiap tahapan kegiatan pertambangan,
mulai dari eksplorasi, proses produksi, hingga ke rehabilitasi dan penutupan tambang.
Konsultasi publik harus dilakukan secara intensif dan transparan sehingga kepentingan
sosial ekonomi masyarakat dapat diidentifikasi secara jelas yang nantinya dapat
dirancang sebagai bagian dari rencana kerja perusahaan.
Akhirnya, sebagai negara dengan potensi pertambangan yang besar, Indonesia
harus secara aktif dan berkesinambungan mendorong pelaksanaan pertambangan
berkelanjutan demi mencapai cita-cita pengelolaan sumberdaya alam untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Pemerintah baik pusat maupun daerah diharapkan mampu
memainkan perannya sebagai regulator dengan baik agar pertambangan dapat secara
optimal berkontribusi positif terhadap pembangunan berkelanjutan. Bagi kalangan
industri, penerapan praktek-praktek pertambangan berkelanjutan hendaknya disadari
sepenuhnya sebagai kebutuhan bisnis perusahaan, lebih dari sekedar kewajiban untuk
menanami kembali lahan bekas tambang atau tuntutan pelibatan masyarakat misalnya.
Dalam jangka panjang, hanya perusahaan-perusahaan yang mampu menginternalisasi
konsep pertambangan berkelanjutan pada setiap kegiatan operasinya yang bakal mampu
bertahan, diterima oleh masyarakat dan negara, dan dapat menyesuaikan terhadap
perubahan-perubahan global yang terjadi. Singkatnya, perusahaan-perusahaan seperti
inilah yang pada akhirnya mampu dikenang sebagai agen pembangunan, dan penghasil
keuntungan yang optimal
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tujuan dari Kegiatan Pertambangan yang Berkelanjutan adalah untuk


menciptakan keuntungan jangka panjang bagi semua pemangku kepentingan dan
mencoba mendapatkan dukungan, kerja sama, dan kepercayaan dari masyarakat di
sekitar daerah pertambangan. Lalu, yang diperlukan dalam Kegiatan Pertambangan
yang Berkelanjutan adalah komitmen perusahaan terhadap nilai-nilai berkelanjutan.
Selain itu, struktur organisasi sistem manajemen yang memadai juga diperlukan.
Kegiatan Pertambangan yang Berkelanjutan juga memiliki konsep yang mengacu pada
pendekatan manajemen yang efisien serta mengintegrasi isu-isu ekonomi, lingkungan
dan sosial. Dan Kegiatan Pertambangan yang Berkelanjutan juga sudah mulai
berkembang di Indonesia.
DAFTAR PUSAKA

http://iism.or.id/index.php/id/publikasi/5-mengenal-konsep

Wardiyatmoko, K. 2014. GEOGRAFI UNTUK SMA/MA KELAS XI. Jakarta: Erlangga

Anda mungkin juga menyukai