Anda di halaman 1dari 45

Seri 1

MITOS MILLENNIAL
PARADOKS TATA KELOLA MANUSIA MASA DEPAN

ANDRIE FIRDAUS
Model : @this_is_tis
Diproduksi dan didistribusikan

oleh:

Andrie Firdaus

……..setidaknya untuk saat ini


- 2017 -
Daftar isi

Prolog – Millennial, benarkah sekedar mitos? Hal. 3

Segmen I - Kebangkitan (Mitos) Millennial di Indonesia


Bab 1 : Siapakah Millennial?
[Membangun mitos millennial] Hal. 14

Segmen II - Pengumpan
Bab 2 : Mengakuisisi Bakat atau Memasarkan profesi?
[Lika-liku rekrutmen di era-millennial] Hal. 37
Bab 3 : “Anggap seperti di rumah!”
[7 hari pertama] [Seri 2]

Segmen III - Pengembang


Bab 4 : Tentang target kerja, siapa bertanggungjawab?
[Merevolusi sistem tata kelola kinerja] [Seri 2]
Bab 5 : Apa, dimana, bagaimana, dengan siapa?
[Strategi pengembangan manusia millennial] [Seri 2]

Segmen IV - Pengayom
Bab 6 : Nyaman bekerja Vs Pekerjaan yang nyaman
[Budaya, fasilitas dan aturan kerja] [Seri 2]
Bab 7 : Akhirnya, tentang timbal-balik!
[Sistem kompensasi yang tidak dapat diganggu- [Seri 2]
gugat]

Epilog – Ke arah mana moncong senjata ini kita tujukan? [Seri 2]

2
Prolog
Millennial, benarkah sekedar mitos?

Dunia usaha dan industri selama satu dekade terakhir dikagetkan oleh
munculnya satu generasi pekerja mutakhir. Ada banyak nama yang
dilekatkan kepada mereka, namun yang paling akrab adalah Gen-Y dan
Millennial. Generasi pekerja baru ini telah sukses menggedor benak
segenap petinggi organisasi dan memaksa mereka kembali memutar
otak guna menjawab pertanyaan “how to deal with them?”. Pada
kenyataannya, tidak banyak yang mampu menjawab, dan seringkali
menemui jalan buntu saat harus membuat nyata jawaban yang mereka
temukan.

Pusingnya kepala paling dirasakan oleh mereka yang memiliki profesi


dekat dengan pengembangan sumber daya manusia. Sebut saja para
manajer lini, manajer SDM dan bahkan direktur operasional. Betapa
tidak, kehadiran generasi millennial di tempat kerja bukan hanya
memaksa para leaders mengikuti alur pikir yang cenderung ekstrim,
melainkan juga menguras emosi saat menghadapi “attitude” yang luar
biasa berbedanya dengan generasi pekerja sebelumnya. Pada merekalah
buku ini penulis sodorkan.

Penulis telah amati dan temukan, sebagian besar para leaders telah
mengamini fenomena ini dan mencoba berdamai dengannya. Mulai dari
mengadopsi saran-saran dari para konsultan ataupun melakukan temu-
dengar dengan para millennial secara langsung guna menyiapkan
amunisi yang pas menjawab pertanyaan di atas. Sebagian berhasil
menemukan formulanya, sebagian yang lain masih tersesat dalam
hitungan matematis atas keputusan yang akan diambil. Apa lagi kalau
bukan hitungan cost-benefit. Karena dalam perspektif hitungan
konvensional, “memelihara” para millennial menjadi sangat mahal.

3
Di sisi lain muncullah pertanyaan, membaca bab demi bab tentang
apakah generasi baru secara pengelolaan manusia millennial
otomatis masuk dalam kategori dalam buku ini. Untuk itu, penulis
“millennial”, atau justru harus menegaskan beberapa
sebenarnya istilah millennial ini poin, agar pertarungan
sengaja dikultuskan sebagai argumentasi tersebut menjadi
referensi seleksi alam. Pada kekal dalam olah pikir para
kenyataannya, masih banyak pembaca, seperti tertoreh di
pimpinan perusahaan yang bawah ini:
menggoreng bahan baku
manusianya dengan cara lama
dan tetap sustain. Jika ada Kehadiran millennial
lembaga yang sempat melakukan adalah mutlak
riset mendalam pada basis
industri manufaktur, Penulis Jauh sebelum istilah millennial
berkeyakinan mantap masih menjadi viral dan masif, kita
banyak pekerja pada usia dipertemukan semesta pada satu
“millennium” yang tidak terminologi, “millennium”.
menampilkan ciri “millennial”. Ramai istilah ini dibicarakan saat
Jika memang begitu adanya, Bumi Masehi mendekati ulang
bukankah millennial hanya tahun ke Dua Ribu tahunnya. Kita
berakhir menjadi mitos belaka. mengenal dan diteror oleh
“millennium bug” atau “Y2K
Setidaknya pikiran kritis itu telah bug” menjelang tanggal
membuncah dalam sanubari para perayaan itu. Semua orang
leaders sehingga timbullah opsi, ketakutan saat tanggal di
apakah saya cukup menjalankan kalender akan kembali menjadi
fungsi SDM seperti sedia kala, “00” setelah tahun “99”. Salah
atau saya akan adaptif terhadap satunya, ketakutan terhadap
genre baru tata kelola manusia. kekacauan yang dihasilkan pada
Penulis yakin, pertanyaan itu akan sistem otomatis penyimpan
sedikit terpuaskan dengan data.

4
Teknologi pada waktu itu belum juga terjadi. Perusahaan asuransi
dapat membuat setiap orang berpesta-pora mempromosikan
menjadi tenang dan bersikap wajar. produk perlindungan mutakhirnya
Norwegia dan Finlandia adu cepat atas kegagalan bisnis di era baru.
merubah data tahun kelahiran Organisasi pengacara berjibaku
penduduk mereka dari dua digit menyusun setumpuk dakwaan atas
“00” menjadi empat digit “0000”. terjadinya keluhan masyarakat
Bulgaria ikut pusing dengan jumlah apabila kekisruhan Y2K benar
digit tahun kelahiran pada nomor terjadi. Di United of States, segenap
kependudukan mereka. Di benua perusahaan menjadi mahfum atas
lain, Uganda segera melahirkan batasan pemerintah kepada mereka
Kelompok Kerja Y2K bekerja sama yang “merasa” mampu menghadapi
dengan World Bank untuk ancaman ini. Batasan berbentuk
mengatasi hal serupa. kebijakan itu menahan hasrat para
taipan untuk membabi-buta
Begitu juga dengan Belanda, yang melakukan spekulasi di pasar.
mencoba mengelola seluruh
informasi terkait hiruk-pikuk Kembali pada millennial, kehadiran
perpindahan abad melalui sebuah generasi ini bak waktu yang terus
pusat analisa dan penyebaran bergulir. Tidak dapat dicegah. Tidak
informasi khusus untuk Y2K. dapat ditahan. Namun (semoga)
Ancaman ini juga menyerang dapat dikelola. Hadirnya millennial
negara adi daya Amerika Serikat adalah mutlak, terlepas pada fakta
bersama sahabat dekatnya United tidak semua pekerja dalam kohort
of Kingdom. Berdua mereka salip- yang sama menampilkan ciri-ciri
menyalip dalam menyusun millennial.
kebijakan perlindungan bisnis
menghadapi era-millennium.
Di sektor swasta, ontran-ontran

Perlu penulis ingatkan, istilah “dapat dikelola” dalam konteks era-millennial,


tidak lagi top-down. Alih-alih mengikuti konsep subjek-objek, pengelolaan
millennial bernuansa egaliter dan option-based. Implementasi tata kelola
manusia dalam perspektif millennial akan selalu mendapat pergolakan pada
beberapa organisasi, khususnya organisasi berkultur hierarkis dan/atau semi-
militer. Dalam buku ini, pembaca disodori perspektif baru tata kelola manusia.
DIgunakan atau tidak, kembali lagi diserahkan pada pemegang keputusan di
organisasinya masing-masing.

5
Millennial dibutuhkan di era-baru

Setiap era melahirkan pahlawannya masing-masing. Konsep ini berlaku di


berbagai bidang, Di berbagai dunia. Ambil contoh, dunia musik rock.
Sebagai sebuah genre musik yang begitu luas, rock ibarat sebuah
perjuangan yang diusung oleh kaumnya dalam batasan waktu yang begitu
jelas. Kita ingat pada tahun 60-an musik rock ‘n roll mendapat panggung di
seluruh dunia. Nama Elvis Presley dan The Beatles menjadi pahlawan masa
itu.

Tak lama berselang, tepatnya pada satu dekade berikutnya musik


psychedelic rock menghantui belahan bumi timur dan barat. Tersemat
nama Jim Morrison, Janes Joplin dan Jimi Hendrix. Di akhir 70-an sampai
awal 80-an Musik Punk mulai booming dan dikawal ketat dengan
kemunculan musik metal. Pada dekade inilah muncul nama Black Sabbath,
The Misfit dan lainnya.

Era 90-an dimulailah gerilya musik rock alternatif yang dikawal musisi gaek
purna dunia, Kurt Cobain dan sekawanannya. Berlanjut muncul Hip Metal
dan geliat Pop-Punk-Rock pada era-millennium. Limp Bizkit dan Linkin Park
merajai masa itu bersama Blink 182 dan Sum 41.

Tiga paragraf singkat di atas mengilustrasikan setiap era memunculkan


genre berbeda-beda. Adalah Bapak William Strauss dan Bapak Neil Howe
yang mempopulerkan Generational Theory dalam karya mereka
berturut-turut Generations di tahun 1991, The 13th Gen pada tahun
1993, The Fourth Turning di tahun 1997 serta Millennials Rising pada
tahun 2000. Kedua Bapak ini menjadi pionir dalam konseptualisasi
perbedaan kohort yang pada akhirnya dimunculkan sebagai generasi
silent, generasi baby-boomers, generasi-X, serta generasi-Y. Nama yang
terakhir selalu dikaitkan dengan generasi millennial.

6
Kebutuhan era baru terhadap generasi millennial bukan semata-mata
terjadi dalam hitungan laba-rugi perusahaan. Alih-alih mempengaruhi
bisnis secara makro, generasi millennial secara subtil mempengaruhi
cara, sikap dan fokus kerja. Tidaklah mereka berbicara tentang
meningkatkan produktivitas, mendorong efisiensi ataupun menekan
biaya. Tidak, bukan itu.

Para alumnus teknik industri tidak bisa lagi hanya bersandar pada teori-
teori engineering pra-millennium guna men-sistemisasi generasi ini. Kita
perlu pegangan baru. Kita perlu cara berpikir baru. Dan jika tidak
berlebihan penulis katakan, kita butuh gaya hidup baru.

Generasi millennial adalah generasi yang telah siap menghadapi iklim


bisnis mutakhir, dimana volatilitas dan vulnerabilitas saling berkejar-
kejaran mencabut nyawa bisnis. Iklim bisnis yang tak dapat dipungkiri
penuh kejutan sulit diikuti dengan pola pikir gen-X maupun para
boomers; bahwa saya adalah pejuang yang dapat menuntaskan segala
masalah; hanya dibutuhkan kemauan yang kuat dan tekad yang keras
agar dapat melalui goncangan yang mendera. Pola pikir ini sudah sangat
penuh rayap. Rapuh dan menyedihkan. Kita tidak dapat gunakan lagi.

Lain halnya dengan generasi millennial yang menganggap seluruh sudut


dunia sebagai tempat bermain yang mengasyikkan. Bisnis bukan lagi
menjadi momok yang menakutkan untuk dikuasai atau sebaliknya,
ditinggalkan. Para millennial sudah menjadikan bisnis sebagai etalase
hidup. Begitu banyak pilihan yang bisa diambil. Jika satu tumbang, maka
masih tersedia pilihan lain. Optimisme (yang tampak) berlebihan inilah
yang menggantikan kemauan kuat dan tekad keras milik generasi
sebelumnya.

7
Millennial selalu dalam kondisi Beta

Millennial adalah implementasi kaizen dalam wujud yang paling


personal. Keajegannya dibatasi konteks. Dinamika yang cepat dan lugas
menjadi ciri para millennial. Tidak sulit mengubah sosok millennial
menjadi sosok yang baru. Yang sulit adalah menjaga bentuk baru itu
stabil sebelum mereka berubah menjadi bentuk yang lebih baru.
Millennial selalu dalam kondisi Beta.

Meminta gen-x atau para boomers menyusun Standard Operating


Procedure (SOP) ibarat memberi ikan kepada kucing lapar. Langsung
dilahap. Sebaliknya, terminologi “standard” tidak akan berhasil
melewati scanning door seorang millennial. Gagasan out-of-the-box
seakan menjadi the way of thinking nomor wahid yang mereka yakini.

Bagi millennial, kondisi stabil hanyalah sebuah fase menuju perubahan


dan akhirnya kehilangan maknanya. Seperti halnya software komputer,
millennial terus mencari bentuk yang paling sempurna. Dan mereka
terus mencari meski telah lucut dari kepompongnya.

Seorang millennial pernah bercerita kepada saya, cita-cita karir dia adalah
menjadi filantropis. Dia telah menyebar lamaran ke berbagai badan nirlaba
sebagai relawan. Pada saat ia mengatakan hal itu, ia masih bekerja sebagai
seorang analis di sebuah perusahaan swasta di pinggiran ibu kota.

Salahkah itu? Tidak. Menyebut itu “salah” hanya menunjukkan secara tidak
langsung bahwa kita tidak memahami millennial. Kita masih menggunakan
pola pikir purba. Menyebut keputusan itu sebagai keputusan yang change-
able tampaknya lebih bijak dan dapat diterima komunitas millennial.

Pada kenyataannya mereka tidak bermasalah dilabeli plin-plan, moody,


tidak punya pendirian, tidak stabil dan lain sebagainya. Iman mereka
terlanjur tertambat pada pepatah, yang menurut saya brutally overused,
yakni “Tak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri”.

8
Halo semua…
Berbicara tentang millennial memang menarik
sekaligus menggemaskan. Untuk itu, penulis
bermaksud memberikan waktunya secara cuma-
cuma kepada para pembaca yang punya
keinginan berdiskusi langsung tentang topik
dalam e-book ini selama dua jam, baik personal
maupun berkelompok.

Silahkan manfaatkan kesempatan ini selama


bulan Juli dan Agustus 2017.

Booking jadwal diskusi dapat dilakukan melalui


kontak penulis yang terlampir di bawah ini.

Andrie Firdaus
(+62)817-0341-7836 (WA)

andriefirdaus@gmail.com
Pada akhirnya penulis masih harus mengeluarkan pertanyaan
pamungkas:

JIka memang millennial bukanlah mitos, maka


sistem seperti apa yang friendly dengan karakter
budaya millennial?
Saat kita menjawab pertanyaan ini, kita diingatkan kembali pada
kenyataan bahwa disiplin ilmu sumber daya manusia bagai lorong
labirin yang tak berujung. Tidak seperti ilmu akuntansi yang bermuara
pada laporan keuangan perusahaan, praktik pengelolaan SDM terus
mengalir dan mengalir sampai jauh.

Telah jamak diketahui, mulai muncul istilah Human Capital men-


substitusi Human Resource, Talent Acquisition meruntuhkan
terminologi Recruitment, dan evolusi ini bukan hanya sekedar
perubahan istilah. Pola pikir dan praktik di lapangan pun seringkali
bervariasi meskipun sama-sama berada dalam koridor
pengembangan manusia.

Mungkin itu mengapa pada satu dekade terakhir, topik HR/HC saling
mengungguli dengan topik IT dalam merebut perhatian petinggi
perusahaan di rapat dewan direksi. Keduanya terus berevolusi
mengikuti perkembangan zaman.

Adalah sangat relevan jika kita membidik millennial dalam konteks


generasi ini sebagai modal sekaligus sumber daya perusahaan untuk
maju dan berkembang. Dan sudah barang tentu, evolusi pada tataran
organisasi sangat dibutuhkan, alih-alih hanya mengandalkan pribadi-
pribadi yang “tercerahkan” dalam mengantisipasi gelombang
millennial.

10
Di sudut lain, bayangan akan mitos millennial sediki demi sedikit
menjadi nyata. Seiring dengan itu, perlulah kita mendengar dari
mana asal istilah “millennial” ditelurkan.

Teori generasi milik Strauss dan Howe yang akan sedikit kita ulas di
awal. Lengkap dengan segala kontradiksi dan paradoksnya. Dalam
perjalanan selanjutnya, kita akan gunakan paradoks yang muncul
sebagai bumbu pelengkap pembahasan tata kelola manusia
millennial.

Berdasar konstelasi pemikiran di atas, penulis membagi buku ini


dalam 4 segmen besar, yakni: [1] Kebangkitan (Mitos) Millennial di
Indonesia; [2] Pengumpan; [3] Pengembang; [4] Pengayom.
Dikarenakan banyaknya jumlah halaman yang berkembang untuk
sebuah e-book, maka penulis bermaksud membagi e-book menjadi 2
seri. Seri pertama terdiri dari segmen [1] dan sebagian segmen [2].
Sisanya akan dibagikan pada seri buku kedua. Tetap saja keduanya
masih menjadi kesatuan karya berjudul Mitos Millennial.

Setiap segmen dan bab yang ada tidak sekedar berisi panduan “how
to”, melainkan juga tantangan bagi pembaca untuk dapat menakar
apakah pandangan dan panduan yang tercetak di buku ini “do-able”
atau sekedar sebagai referensi saja.

Menurut penulis, sangat sah bagi praktisi SDM maupun para


pimpinan organisasi mencetak ulang ataupun memodifikasi konsep-
konsep yang tertuang di dalam buku ini selama memberikan
pengaruh yang diharapkan organisasi. Tidak lupa penulis sebarkan
pertanyaan-pertanyaan paradoksal di setiap pembahasan bab untuk
melatih kepekaan kita terhadap mitos millennial.

11
Satu hal yang penulis tegaskan di akhir, bahwa
seluruh konsep di dalam buku ini merupakan
sari dari seluruh studi dan pengalaman
profesional penulis di dunia pengelolaan dan
pengembangan manusia. Adapun konteks yang
diberikan dalam pembahasan setiap konsep,
beberapa didasarkan pada situasi nyata yang
terjadi di dalam organisasi, dan secara khusus
berhubungan dengan bisnis dan perusahaan.

Selamat datang di Mitos Millennial

12
Segmen I

Kebangkitan
(Mitos) Millennial di Indonesia
Bab 1
Siapakah Millennial ?

Membangun Mitos Millennial

Definisi millennial yang selama ini tersebar sangat bias budaya dan
ekonomi. Kita menerima begitu banyak karakteristik dan identitas yang
tidak hanya sulit tetapi juga langka ditemukan pada masyarakat
Indonesia. Di negeri asalnya pun, karakteristik generasi ini tidak dengan
mudah dapat digeneralisir.

Oleh karenanya, definisi millennial dalam buku ini harus terus


dipertanyakan. Definisi millennial hanya dapat dijelaskan melalui
kecenderungan-kecenderungan yang melekat daripadanya, alih-alih
sebagai sebuah fakta yang adekuat.

Wiliam Strauss dan Neil Howe, sebagai pencetus teori generasi pun
masih sering menghadapi serangan dari kalangan akademisi mengenai
dasar riset yang menopang teori mereka.

Pelekatan satu identitas terhadap sebuah generasi membutuhkan


bangunan konteks yang mencukupi. Dalam penelitian mutakhir teori
generasi ini mulai diperkuat dengan teori nilai (value), dan bukan
sekedar klasifikasi kelompok berdasarkan rentang kohort.

Setidaknya terangkum 3 hal utama yang


mendasari perbedaan generasi. 3 hal ini
pula yang menjadi garis batas pembeda
antar generasi, yakni:
1. Kesamaan live event
2. Perkembangan teknologi
3. Dinamika kesadaran kolektif tentang
nilai-nilai

14
Tiga hal inilah yang setidaknya selalu berkelindan dalam
bahasan awal pembedaan generasi. Pada akhirnya,
batasan ini akan saling berhimpit, bertabrakan atau
berpotongan dengan kondisi geografis sosial budaya
masyarakat. Inilah cikal bakal mitos millennial bermula.

Kesamaan live event

Orang-orang yang mengalami peristiwa hidup yang


sama akan membentuk sebuah konsep pengalaman
yang lebih mirip ketimbang dengan orang yang tidak
mengalami peristiwa serupa. Anak yang dibesarkan
pada orde baru jauh lebih hormat kepada orang yang
lebih tua ketimbang anak yang besar di era reformasi.
Peristiwa hidup tertentu membangun kecenderungan
masyarakat untuk bersikap sesuai dengan tuntutan
yang diminta pada masanya.

Satu contoh lagi yang dapat disodorkan misalnya:


pemaknaan terhadap peristiwa reformasi berbeda
antara yang mengalami peristiwa kerusuhan ‘98 dan
yang tidak. Generasi yang mengalami transisi
reformasi, jauh memaknai peristiwa tersebut sebagai
kemerdekaan dari belenggu penindasan dan
kesewenangan rezim lama. Adapun bagi generasi
terbaru yang tidak mengalami langsung, reformasi
hanya bermakna sebagai salah satu etape sejarah
bangsa yang mendorong kemajuan di bidang ekonomi
dan sosial budaya.

15
Perkembangann teknologi

Apa beda kelas sekolah yang masih menggunakan


papan tulis dan kapur dengan yang menggunakan slide
show dalam proses belajar mengajar? Selain bentuk
visual yang berbeda, kebiasaan murid dalam proses
belajar-mengajar juga memiliki perbedaan yang
signifikan. Dari kebiasaan mencatat seluruh apa yang
ditulis dan disampaikan guru, menjadi sekedar meminta
link slide show untuk diunduh.

Dengan adanya perkembangan teknologi seorang


musisi alat musik untuk dapat menciptakan musik yang
dapat dinikmati. Dengan dibantu alat (synchronizer),
sebuah musik baru dapat diklaim sebagai karyanya.
Teknologi mendorong perilaku dan kebiasaan yang
berbeda di tiap generasi.

Dinamika kesadaran kolektif terhadap nilai-nilai

NIlai-nilai yang tersosialisasi di masyarakat mempengaruhi


kepercayaan dan pandangan hidup seseorang. Adalah kesadaran
kolektif yang bersifat dinamis mampu menggolongkan dan
membedakan satu generasi dengan yang lainnya.

Tilik saja fenomena tato dan dinamika kesadaran masyarakat


terhadapnya. Jika sebelumnya tato disadari sebagai penanda
“orang jahat”, saat ini tato berubah menjadi sebentuk fashion.
Terima kasih kepada media informasi yang berhasil
mengkampanyekan konsep ini dan menggeser kesadaran
masyarakat terhadap makna negatif tato.

16
Teori generasi terjebak dalam over-generalisasi dalam menjelaskan
beberapa konsep dan fenomena. Teori ini mengandung paradoks yang
begitu nyata, khususnya saat harus dibawa menyeberangi konsep-
konsep teori psikologi sosial dan perkembangan. Berikut adalah tiga di
antaranya:

Konseptualisasi teori begitu amerika-sentris sehingga pandangan


ataupun perilaku yang dijadikan indikator kerap bertentangan
dengan konteks budaya non-amerikan. Teori ini sejatinya masih
butuh riset lebih luas mengenai penerapannya di negara lain
dalam kondisi geososbud (geografis-sosial-budaya) yang berbeda.

Beberapa lembaga riset sosial telah memulai melakukan


penelitian lebih mendalam di seluruh penjuru dunia untuk
mengeksplorasi karakteristik millennial di luar Amerika.
Bias yang paling kentara terkait sosial-budaya berkaitan dengan
pengalaman kolektif terhadap peristiwa geo-politik dan/atau geo-
sosial di negara yang berbeda. Di tahun 98, pengalaman traumatis
masyarakat Indonesia tidak dirasakan warga Amerika. Sebaliknya,
krisis mortgage tahun 2008 di Amerika Serikat tidak banyak
berdampak bagi warga negara Indonesia.

Begitu halnya dengan pengesahan pernikahan sesama jenis di


Amerika juga tidak mengusik setitik saraf pun masyarakat
Indonesia. Mungkin ada butterfly effect tetapi terbentang rentang
waktu yang cukup panjang sampai efek itu sampai ke depan pintu
rumah kita.

17
Apakah perbedaan ciri tiap generasi selamanya melekat pada
kohort dengan segala peristiwa yang mengiringi atau sebenarnya
perbedaan generasi hanyalah bentuk lain dari generation gap
(kesenjangan antar generasi)? Kita perlu sangsikan ini.

Pernahkah dalam satu masa, kita merasa bahwa kawan


seangkatan kita lebih mengasyikkan daripada angkatan setelah
kita? Generasi yang lebih tua cenderung menarik garis imajiner
guna membandingkan apa nilai-nilai yang ia miliki dengan yang
dimiliki generasi setelahnya. Kebanyakan perbandingan itu tidak
berimbang dan menempatkan generasi lebih tua lebih dominan
daripada setelahnya.

Teori generasi sedikit banyak terbiaskan oleh perbandingan ini,


terutama ketika membahas generasi terbaru. Itu mengapa muncul
banyak label-label negatif pada generasi millennial terlepas
apakah itu sudah tervalidasi dengan kuat secara ilmiah ataupun
secara pragmatis.

18
Pandangan seseorang terhadap dunia terpengaruhi oleh
pengalaman hidup yang ia temui. Bisa jadi pada sekian umur kita
melihat dunia begitu hitam dan pada tahun selanjutnya dunia
terlihat terang benderang. Bias rentang hidup perlu disadari
dalam memandang sebuah generasi.

Apabila saat ini millennial berada pada usia antara 20-35 tahun
dengan berbagai perilaku uniknya, bisa jadi 10 atau 20 puluh
tahun ke depan orang yang sama akan memiliki perilaku yang
menyerupai generasi sebelumnya seiring dengan pertumbuhan
pribadi.

Pada suatu titik dalam periode kehidupan millennial, akan terjadi


perubahan karakter yang cukup signifikan dan boleh jadi
menyerupai generasi sebelumnya. Turning point dapat terjadi
ketika millennial masuk dalam periode peran sebagai orang tua
(Ayah/Ibu) maupun orang yang lebih tua (Kakek/Nenek).

Kesemua itu wajar dalam teori rentang hidup manusia. Millennial


olah karenanya mungkin juga dapat menjadi sangat kompetitif
dan tiran pada saatnya nanti.

19
Menerima konsep millennial secara mentah-mentah akan sangat
menyesatkan. Khususnya berkaitan dengan praktik pengelolaan
manusia, over-generalisasi terhadap suatu kelompok dapat
memunculkan kebijakan dan sistem yang bukan hanya tidak
mengena, tetapi juga self-destructive. Ibarat mengambil keputusan
untuk menyeberangi sungai hanya karena melihat permukaannya
tenang tapi ternyata memiliki arus bawah yang sangat kuat.

Contoh paling konkret tergambar pada kondisi pasar tenaga kerja di


Indonesia. Sebagian kalangan profesional menganggap seluruh
lulusan akademi strata 1 di tahun 2005 ke atas masuk dalam
klasifikasi millennial, namun benarkah para lulusan ini menampilkan
karakteristik generasi millennial sesuai kitab Strauss dan Howe, belum
tentu jawabnya. Inilah paradoks yang akan kita mainkan dalam bab
ini.

Sekarang, mari kita bersama memindai


karakteristik yang dimiliki oleh para
karyawan kita. Benarkah perbedaan kohort
mempengaruhi cara, sikap dan fokus kerja
karyawan? Sembari melakukannya, terlebih
dahulu silahkan duduk manis dan membaca
beberapa penelitian yang membuat struktur
pembedaan antar-generasi ini menjadi booming.

Kita akan memulainya dengan temuan riset yang diterbitkan oleh Pew
Research Center, sebuah lembaga riset di Amerika Serikat yang fokus
meneliti tentang perilaku, nilai dan sikap generasi millennial. Dalam
laporan riset mereka yang diterbitkan pada tahun 2007, sebanyak
68% dari total sample remaja berusia 18-25 tahun mengakui bahwa
mereka merupakan generasi yang unik dan berbeda.

20
Dalam ulasannya, Pew Research Center berupaya secara tegas
menekankan adanya perbedaan antara generasi millennial dan bukan
millennial melalui medium rentang usia (kohort). Tentunya dasar
penelitian ini bersandar mesra pada teori generasi milik Strauss dan
Howe.

Kajian ini begitu amerika-sentris. Mengapa demikian, tidak lain karena


Pew Research Center mendefinisikan millennial sebagai generasi
terbaru Amerika. Bukan dunia, tetapi Amerika. Pun juga termasuk hal
ini diamini oleh dua orang penggagas teori generasi sebelumnya.

Namun, mari kita singkirkan sangkaan primordial tersebut barang


sejenak dan mulai masuk pada parodoks yang lebih substantif. Bahwa
karakter millennial itu sendiri bersifat tidak ajeg, atau dalam bahasa
Pew Research Center dalam jurnalnya di tahun 2010,

“Finally, even if we had a full set of long-term data, we know that the
discrete effects of life cycle, cohort and period cannot be statistically
separated from one another with absolute certainty.”

Ketidakajegan ini juga yang dirasakan saat menyublimasi definisi


millennial ke dalam pasar tenaga kerja di Indonesia. Di sini kita
berhati-hati dalam memaknai kecenderungan yang mungkin saja ada
di tanah kelahirannya namun luntur saat datang ke Indonesia.

Satu contohnya adalah kultur religi. Dalam pengkarakteran generasi


millennial di Amerika, disebutkan bahwa generasi ini cenderung
bersikap terbuka terhadap keyakinan agama dan kerap terjebak pada
pandangan agnostik ataupun atheis. Besar kemungkinan karakter ini
ditolak mentah-mentah oleh para millennial di Indonesia.

21
Paradoks ini muncul mengikuti gubahan pemikiran sang futuris,
Samuel P. Hutington di tahun 1996 tentang konflik dan benturan antar
peradaban. Menurut Hutington, di masa millennium ketiga,
muncullah kekuatan baru di ranah global yang bergerak dengan nafas
dan pemikiran agamis.

Salah satu wilayah yang terpapar dampaknya adalah negara-negara di


Asia, termasuk Indonesia. Kekuatan inilah yang mendorong manusia
Indonesia menutup pintu rapat-rapat atas kultur a-religius yang
dibawa serta oleh konseptor millennial ke negara ini.

Silahkan googling dengan kata kunci “ciri-ciri millennial”, dan


bandingkan dengan kenyataan yang ada.

Hampir dapat dipastikan anda akan temukan


begitu banyak ketidaksesuaian atas
kecenderungan sifat generasi ini dengan apa
yang anda lihat di lapangan.
Tidak perlu risau, dikarenakan sifat tidak ajeg ini merupakan satu
konsekuensi logis atas kecenderungan millennial yang peka terhadap
perubahan. Ini pula yang membawa penulis terus menggali konsep
millennial di beberapa ulasan. Salah satu ulasan paling powerful
ditemukan pada laporan Pew Research tahun 2010 dengan tajuk
“Confident-Connected-Open to Change”.

22
Tiga ciri dominan millennial di atas dapat saya sandingkan secara
kasar dengan tiga latar belakang dominan pula, yakni “Parenting-
Technology-Crisis”. Sandingan ini tidak mutlak. Pada kenyataannya
generasi ini terkonstruksi melalui dinamika ketiganya. Akan tetapi,
mari kita nikmati paduan masing-masing poin tersebut dalam
beberapa sub-topik berikut ini.

Pola asuh memerdekakan


meningkatkan kepercayaan diri

Diana Baumrind adalah orang pertama yang bertanggung-jawab atas


pembedaan konsep parenting (pola asuh) saat ini. Di tahun 1966 dia
menelurkan kategorisasi pola asuh orang tua yang berbeda-beda.

Melalui penelitian yang dilakukannya, diperkenalkan tIga tipe pola


asuh yang digunakan para orang tua kala itu, antara lain:
Authoritative, Authoritarian dan Permissive.

Satu tipe pola asuh kemudian ditambahkan oleh Eleanor E. Maccoby


dan John A. Martin di tahun 1983 dengan memperluas karakteristik
Permissive Parenting menjadi dua bagian, yakni Indulgent (permissive)
dan Neglectful.

Secara umum, orang tua authoritative menekankan pada


kemerdekaan dan tanggung jawab anak. Ia merupakan sintesis dari
dua tipe lain, authoritarian yang berfokus pada kedisiplinan dan
permissive yang memberikan kebebasan penuh terhadap anak.

23
Dalam studi yang dikembangkan, Baumrind cenderung menyodorkan
tipe authoritative sebagai gaya yang dapat digunakan untuk
membentuk pribadi bertanggung jawab ketimbang tipe gaya lainnya.
Ia mengemukakan konsep pendidikan Montessori dengan
pengelolaan di tiga area (lingkungan, pendidik dan siswa), sebagai
contoh relevan dalam menjalankan pola asuh authoritative.

Keutamaan pola asuh authoritative dikuatkan oleh sejumlah studi


yang dilakukan oleh para akademisi di era pra-millennial maupun era
millennial. Satu studi yang cukup terkemuka mengenai authoritative
style digubah oleh Amy Strage dan Tamara Swanson Brandt di tahun
1999.

Melalui temuan studinya, kedua akademisi ini mengungkap pengaruh


pola asuh authoritative terhadap prestasi akademik siswa. Salah satu
variabel yang cukup mendapat perhatian adalah tingginya
kepercayaan diri siswa dengan orang tua yang menggunalan gaya
authoritative dalam mengasuh.

Di ranah sosial, perhatian terhadap pola asuh di Indonesia di era


tumbuh kembang millennial terbagi dalam dua masa, yakni masa
sebelum berkembangnya televisi swasta dan setelahnya. Sebelum
adanya televisi swasta di awal tahun 90-an, karakteristik pola asuh
orang tua masih mengikuti tradisi. Informasi terbaru tentang pola
asuh diberikan dalam rangkaian kampanye Keluarga Berencana oleh
lembaga pemerintah yang berfokus pada kesehatan ibu dan balita.

Informasi lain didapatkan orang tua melalui majalah khusus orang


tua. Adalah majalah AyahBunda yang terbit sejak tahun 1977 menjadi
rujukan orang tua terkait informasi tentang tumbuh kembang anak.
Tentunya hal ini terbatasi oleh segmen pasar dan pertumbuhan
tabloit tersebut dari masa ke masa.

24
Selebihnya, sebagian besar masyarakat Indonesia menyandar pada
tradisi dalam mengasuh anak. Bisa dipastikan gaya pola asuh
authoritative belum banyak diterapkan.

Bahkan dalam laporan bapak antropologi Indonesia, Prof. Dr.


Koentjoroningrat di tahun 1985, masih ditemukan bahwa rata-rata
penduduk di pulau Jawa menggunakan gaya pola asuh permissive.
Dengan menganggap anak sebagai pusat kebahagiaan dan
kebanggaan keluarga, anak diberikan bayak keistimewaan dan
kebebasan.

Masa tumbuh kembang anak Jawa diselimuti dengan dongeng


sebelum tidur dan petikan-petikan peribahasa seperti rajin pangkal
pandai, surga berada di telapak kaki ibu, berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ke tepian dan lain sebagainya.

Tidak ada pendidikan budi pekerti yang dirancang secara sistematis


selain di sekolah. Itupun juga terbatas dan cenderung mengadopsi
gaya authoritarian militeristik.

Jadi sampai masa pra-sekolah anak menjalani masa hidup penuh


kebebasan, setelah masuk sekolah anak yang liar didisiplinkan. Pola
pendidikan dan pengasuhan ini masih langgeng sampai dengan
generasi awal millennial, lahir di bawah tahun 90-an.

Di tahun 90-an, dengan masuknya channel televisi swasta,


perkembangan informasi menjadi lebih luas dari sebelumnya.
Meskipun di awal dekade 90-an, informasi terbarukan masih terpusat
di lingkaran kelas tertentu.

25
Puncak titik balik terjadi setelah orde baru digulingkan pada tahun
1998. Setiap orang merasa butuh informasi baru, karena menganggap
berita dan informasi yang selama ini diterima pada orde baru bias
kepentingan pemerintah dan tidak lagi dapat dipercaya.

Masuknya informasi baru termasuk dalam hal ini, topik pola asuh
orang tua, membuka kesadaran baru mengenai bagaimana
menjalankan pola pengasuhan yang demokratis di dalam keluarga.
Demokratisasi pola asuh anak, membuat sebagian kecil keluarga
menyangsikan efektivitas pendidikan di institusi sekolah.

Sebagian lain meredefinisikan sekolah sebagai wadah sosialisasi


belaka, alih-alih sebagai pusat pengetahuan. Anak tidak lagi dituntut
keras untuk belajar, meskipun hasrat mengukir kebanggaan orang tua
melalui prestasi akademis anak masih sering muncul.

Di sisi lain, perlawanan terhadap kekerasan dalam dunia pendidikan


mulai mengemuka. Di era reformasi, tindakan kekerasan guru di
sekolah mulai ditelanjangi, meskipun belum secara langsung dihakimi.
Pola asuh demokratis mulai menaiki panggung dan sedikit demi
sedikit menggeser mindset lama.

Dalam perjalanannya, pergeseran ini tidak berlangsung dengan cepat.


Banyak penyesuaian yang tidak hanya membuat pola asuh demokratis
sulit berkembang tetapi juga kehilangan nyawanya. Masyarakat
Indonesia tidak dapat serta-merta melepaskan diri dari tradisi
keluarga. Konsep nuclear familiy (keluarga inti) pun belum
sepenuhnya membudaya.

26
Tidak ada data yang menunjukkan bahwa millennial dibesarkan di
dalam keluarga yang mengadopsi pola asuh demokratis. Selain
millennial secara definitif masih digolongkan dalam domain generasi,
konsep pola asuh demokratis pun pada masa millennial dibesarkan
juga masih jarang diimplementasikan secara penuh.

Situasi yang dapat dikemukakan adalah keluarga baru lebih cenderung


terbuka terhadap pola pikir dan pola asuh baru, khususnya keluarga
yang mulai mengasuh anak di tahun 90-an.

Bagi mereka yang haus informasi dan bersikap praktis, tentu hal baru
patut dicoba jika itu lebih baik dari sebelumnya. Sayangnya
kesempatan ini lebih mungkin didapatkan oleh kelas masyarakat
menengah ke atas.

Kondisi ini pula yang membawa saya pada kesimpulan bahwa


millennial di Indonesia tidak sepenuhnya memiliki batasan kohort
yang sama dengan millennial di negeri asalnya. Biar pun begitu,
premis bahwa kecenderungan pola asuh demokratis secara sosial
membuka kemungkinan tingginya tingkat kepercayaan diri suatu
generasi masih dapat diterima.

27
Perkembangan teknologi informasi
membangun rasa keterhubungan

Dengan mengatakan bahwa millennial adalah generasi yang selalu


“connect” bukan berarti generasi sebelumnya tidak memiliki
kecenderungan ini. Baik baby-boomer maupun gen-x juga memiliki
rasa keterhubungan. Entah antara diri dengan orang lain, lingkungan
maupun dunia sekalipun. Keterhubungan pada millennial memiliki
akar yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Mari kita telusuri akar ini. Saya akan mengajak seorang psikoanalis
yang punya minat mengenai topik ini. Adalah Sherry Turkle, seorang
profesional di bidang psikologi dan sosiologi yang mempelajari
dinamika perilaku dan interaksi manusia seiring perkembangan
teknologi informasi. Beliau mampu menjelaskan transisi identitas diri
fisik menjadi digital dengan sangat menarik.

Dalam bukunya, Second Self, Turkle menjelaskan bagaimana


peningkatkan intensitas masyarakat terhadap komputer yang dimulai
sejak kemunculan Personal Computer (PC) membentuk budaya baru
dan pada akhirnya identitas baru. Keterikatan millennial dengan
media sosial tidak terjadi begitu saja. Ada proses panjang di
dalamnya.

Turkle menyebut dunia yang dibangun di atas budaya berbasis


komputer sebagai second nature dimana setiap orang bebas memilih
identitasnya masing-masing. Generasi sebelum millennial tidak
mengenal hal ini. Satu-satunya identitas baru didapat apabila
seseorang mengenakan topeng. Tidak bagi golongan orang-orang
yang telah “terkomputerisasi”.

28
Melalui studinya, Turkle menemukan bahwa perhatian yang
melibatkan emosi dan perasaan terhadap teknologi berbasis
komputer telah muncul pada orang-orang yang bermain tamagochi di
tahun 90-an.

Turkle menengarai pergeseran pola perhatian terhadap benda mati,


menjadi awal terbentuknya mentalitas baru. Dengan tanpa hambatan
berarti, seseorang dapat mengungkapkan perasaan maupun emosi
tergelapnya sekalipun kepada “mesin”. Lebih dahsyat lagi pergeseran
terjadi saat mesin tersebut dapat meresponnya. Maka Intimasi
dengan second nature akan semakin menguat.

Saat intimasi terhadap “mesin” semakin besar, saat itulah seseorang


merasa tidak aman (insecure). Dalam bahasa psikoanalisa, ini disebut
kecemasan (anxiety). Dia tidak ingin keintiman berakhir dan
meninggalkannya dalam kesepian dan kehampaan.

Kecemasan yang dirasakan butuh disalurkan serta dipadamkan. Maka,


orang itu memerlukan identitas baru agar beban itu tidak dia
tanggung sendirian. Inilah cikal-bakal terbentuknya identitas dunia
maya atau dalam dunia online kerap disebut Avatar atau Character,
sebuah cerminan diri yang mempertahankan intimasi pribadi dengan
mesin atau teknologi.

Dengan gamblang Turkle melanjutkan gambaran temuannya sebagai


berikut:
“Hysteria, its roots in sexual repression, was the neurosis of Freud’s time.
Today we suffer not less but differently. Terrified of being alone, yet afraid of
intimacy, we experience widespread feelings of emptiness, of disconnection,
of the unreality of self. And here the computer, a companion without
emotional demands, offers a compromise. You can be a loner, but never
alone. You can interact, but need never feel vulnerable to another person.”

29
Dalam karya lain berjudul Alone Together di tahun 2010, Turkle
menjelaskan bentuk adiksi manusia terhadap media sosial yang
berpangkal pada konektivitas individu dengan lingkungannya melalui
wadah internet.

Bentuk adiksi inilah yang pada akhirnya kita alami sebagai rasa
keterhubungan. Pada millennial, rasa keterhubungan begitu kuat,
karena adiksi tersebut telah berevolusi sedemikian rupa menjadi
bagian dari gaya hidup, kebutuhan primer dan modal budaya.

Seorang manajer pernah meradang di ruang meeting saat


bawahannya diminta memanggil staf lain untuk ikut meeting, alih-alih
beranjak dari kursinya, sang bawahan hanya meraih telepon pintarnya
dan berkata, “sebentar pak. Saya WA saja dia”.

Pak manajer, seorang baby-boomer, tidak habis pikir bagaimana


mungkin seseorang akan sempat mengecek pesan di smartphone di
tengah pekerjaan. Kebingungannya terjawab saat tidak sampai 2
menit, staf yang dinanti masuk ke ruang meeting.

Dalam bahasan berjudul Always-on/Always-on-you : TheTethered Self


di tahun 2006, Sherry Turkle juga menguraikan bahwa rasa
keterhubungan menarik seseorang ke dalam konektivitas global yang
bersifat panoptikal.

Seseorang akan selalu merasa diawasi oleh orang lain. Satu kesalahan
terjadi, maka orang lain akan memberikan hukuman kepadanya. Itu
sebab sebagian besar millennial merasa harus memeriksa gawai
mereka setiap 10 menit sekali.

30
Perasaan diawasi ini pula yang membuat millennial terkesan narsis
dan egosentris. Dikarenakan dirinya telah terkoneksi secara global
maka ia harus mempersiapkan diri sebaik mungkin, termasuk
membuat kesan baik kepada dunia global, setidaknya di media sosial.

Saat membaca ini, sudah berapa kali anda


mengecek pesan di gawai anda?
Efek samping dari kondisi ini adalah besarnya kebutuhan untuk
diperhatikan dan dihargai. Saat mereka tidak dihargai atau
diperhatikan, perasaan kesepian meningkat drastis.

Akibatnya dapat dilihat mulai dari wanprestasi sampai dengan depresi


berat. Tentu saja hal ini harus ditangkap setiap manajer yang
mempekerjakan millennial.

Kita akan bahas ini dalam bab selanjutnya.

Krisis melatih
kesiapan terhadap perubahan

Krisis moneter dan krisis ekonomi melanda Indonesia dan negara


ASEAN pada pertengahan tahun 90-an. Gelombang PHK massal dan
kebangkrutan mengalir deras di seluruh bidang industri. Hanya
menyisakan beberapa usaha saja yang bertahan.

Bagi orang Indonesia, krisis ini bukan hanya berarti kenaikan harga
barang ataupun tingginya angka inflasi. Ketidakpercayaan massal
tertanam di benak setiap orang terhadap stabilitas dan keajegan.

31
Betapa tidak, selama lebih dari 30 tahun masyarakat Indonesia
dimanjakan dengan swasembada pangan dan rencana pembangunan
jangka pendek, menengah dan panjang.

Garis hidup bangsa Indonesia terlihat berangsur-angsur semakin


membaik. Namun, layanan istimewa itu tiba-tiba direnggut dan
menyisakan pedih teramat dalam.

Tidak ada yang siap dengan perubahan kala itu. Semua orang panik.
Semua orang berteriak. Semua menggila. Beberapa oportunis
menyisipkan agenda kerja kepada penguasa untuk meraih keuntungan
dari kondisi ini. Beberapa yang lain memilih bungkam atau melarikan
diri ke luar negeri. Sisanya menerima nasib sebagai takdir ilahi.

Satu hal yang pada akhirnya disadari, bangsa Indonesia menjadi lebih
siap terhadap perubahan. Krisis Mortgage 2008 di Amerika Serikat
terbukti tidak menggoyahkan perekonomian Indonesia.

Pun demikian runtuhnya harga jual minyak mentah dan batu bara
dunia, hanya menyisakan sedikit celah bagi pengusaha guna merutuki
nasib yang tidak tentu. Kita semua telah berubah. Kita semua telah
siap.

Bagi millennial, momen krisis seharusnya menjadi momen paling


berharga dalam hidup mereka. Dalam menjalani masa kecil dan
remaja, millennial sudah dihadapkan pada perubahan pola belanja
keluarga, kebiasaan berhemat, dan persiapan-persiapan lain
menghadapi krisis baru.

32
Tidak terlalu heran apabila millennial tidak lagi amaze dengan sesuatu
yang ajeg dan stabil. Krisis telah melatih setiap orang siap dan terbuka
terhadap perubahan, baik ataupun buruk.

Pemahaman atas krisis membawa millennial bersikap begitu terbuka


terhadap tawaran solusi baru bagi kehidupan. Millennial menjadi
generasi yang begitu terbuka terhadap segala sesuatu yang belum
pernah mereka coba.

Maka, jika anda seorang pelobi atau marketer yang ditugasi untuk
menarik animo millennial, gunakan kata kunci berikut: CHANGE!

Dari tiga urainan panjang di atas, generasi mendatang memiliki


pandangan yang lebih positif terhadap dunia ketimbang generasi
sebelumnya. Ada konsekuensi dari hal ini. Meillennial cenderung
mempromosikan sisi positif dari dirinya sebagai upaya personal
branding.

Personal branding diyakini sebagai senjata utama menuju sukses.


Lupakan tentang kerja keras dan ketekunan belajar. Itu semua sudah
menjadi mandatory dan tidak menjamin kesuksesan dalam waktu
yang singkat. Dengan menjual diri lebih keras maka sukses lebih
cepat menghampiri.

Itu pula yang membuat para pekerja millennial seakan-akan memiliki


jiwa entrepreneurship yang kuat. Ada yang memang benar memiliki,
ada tidak. Namun jika ada yang mengatakan, “anak baru itu sok
sekali, belum juga kerja setahun, sudah minta pegang project besar”,
hendaknya kita perlu introspeksi diri dahulu sebelum menjustifikasi.

Sebenarnya dia sedang membangun kredibilitas sembari melatih


mental. JIka berhasil dia akan merayakannya bersama anda. Jika
gagal, dia tetap mengangkat kepala sembari menampilkan soft-skill
yang mungkin baru dapat anda kuasai setelah 5 tahun bekerja.

33
Rasa percaya diri yang besar menguatkan opini bahwa mereka tidak
akan kehilangan pekerjaan, di samping kesadaran bahwa pilihan
tempat kerja begitu masif dan dengan kemampuan sundul langit
mampu menyaingi tenaga kerja dari generasi sebelumnya. Kejernihan
pikiran dan sikap positif ini membedakan millennial dengan generasi
sebelumnya yang kerap dilanda perasaan khawatir.

Goncangan sedikit pada status quo membuat baby boomer dan gen-x
pontang-panting mencari pegangan. Tidak seperti millennial yang
memandang hidup bagai gelombang ombak yang harus diarungi
menggunakan papan selancar. Jatuh dari papan itu wajar, selama
masih bernafas anda tetap dapat naik ke atas papan selancar sekali
lagi.

BIarpun begitu, tampaknya tidak selamanya millennial dapat


mempertahankan sikap positif mereka. Menurut hasil survey Deloitte
tahun 2017, seperti diungkap sebelumnya di atas, para millennial
mulai merasa gelisah tentang kesempatan kerja yang semakin kecil.
Jumlah millennial yang loyal dengan perusahaan tempat mereka
bekerja meningkat dibanding tahun sebelumnya.

Data ini cukup membuka mata. Pasalnya, dalam setiap literatur


tentang millennial, kita selalu disuguhi kekhawatiran atas loyalitas
millennial ketika bekerja di perusahaan. Millennial yang loyal adalah
sesuatu yang baru di dunia kerja.

Tren yang disinyalir membuka banyak sekali kemungkinan ini, dapat


berlangsung selama beberapa tahun ke depan. Bukan persaingan
antar pekerja yang ditakutkan, melainkan penyebab di luar bisnis dan
karir itulah yang menjadi momok. Salah satu yang menjadi perhatian
utama millennial adalah terorisme yang dapat mengusik atmosfer
bisnis dan pekerjaan mereka.

34
Fenomena terorisme benar-benar tidak sesuai dengan bayangan
millennial tentang hidup. Kaum muda dewasa ini tidak terlalu dekat
dengan “ideologi”. Mereka hanya dapat mengendus remah-remah
ideologi yang tersisa dari perang dunia kedua.

Di Indonesia, perdebatan ideologis masih sayup terdengar di masa-


masa transisi reformasi. Dengan maraknya media sosial, murni
perdebatan tersebut mulai terpolarisasi ke dalam gerakan-gerakan
praktis komunitas masyarakat.

Satu-satunya warisan yang ditinggalkan generasi sebelumnya kepada


millennial adalah pemahaman bahwa ketika kalian “bergerak”/
”berjuang” maka yang dibutuhkan adalah lawan. Bukan tidak mungkin
warisan ini disisihkan begitu saja di gudang oleh generasi
mendatang. Millennial lebih suka berkolaborasi dengan
siapa saja, ketimbang menganggap mereka sebagai
lawan atau pesaing.
Dengan begitu banyak karakteristik yang berada pada skala ekstrem,
generasi millennial akhirnya sampai di pintu gerbang dunia kerja.
Berbekal skill di bidang teknologi informasi, mereka membawa serta
tuntutan pribadi yang akan membuat jantung para penyedia kerja
berdegup kencang.

Mitos yang selama ini para biorokrat dengar, akhirnya akan dihadapi
secara langsung. Sosok yang berasal dari dunia nun jauh di sana
telah mendekat dan siap membangunkan mereka dari mimpi indah.

Pada akhirnya mereka harus mengelola millennial. Inilah saatnya,


siap atau tidak.

Kemudian terdengar dari sudut ruangan sebuah pertanyaan yang


lebih mirip rengekan putus asa,

“…. tapi bagaimana caranya?!”

35
Segmen II

Pengumpan
Bab 2
Mengakuisisi Bakat
atau Memasarkan Profesi?

Lika-liku rekrutmen di era-millennial

Salah satu fenomena yang menarik di era kekinian adalah munculnya


berbagai sub-bidang baru di ranah SDM yang memiliki fungsi spesifik
terkait pemenuhan sumber daya manusia. Menyediakan sumber daya
manusia merupakan salah satu tugas utama yang dibebankan kepada
para punggawa HR/HC di perusahaan.

Terkait fungsi tugas di atas, muncul dua profesi unik, yakni talent
acquisition officer dan employer branding officer. Menariknya, kedua
profesi ini merupakan tim yang sangat efektif jika dapat bekerja sama.
Ibarat di dalam memancing, keduanya masuk dalam proses
mengumpan. Yang satu bertugas melakukan mapping lokasi basis ikan
berada serta mengarahkan umpan ke dalamnya. Yang lain bertugas
menyediakan godaan yang tak terelakkan bagi calon-calon target
akuisisi.

Di era-millennial sang akuisisian dan sang branditor mesti cakap dan


peka terhadap teknologi. Menyebar umpan kepada millennial butuh
strategi yang luwes sekaligus penetratif. Millennial memiliki posisi tawar
yang tidak dimiliki generasi sebelumnya, “pilihan”. Bukan berarti
generasi sebelumnya tidak punya pilihan (meskipun kita sering
mendengar pada dua dekade silam, kerap job-seeker memiliki tekad
“yang penting kerja”). Pilihan
yang dimiliki millennial selain
lebih banyak, juga memiliki pagar yang sulit ditembus.
Mereka biasa sebut itu “passion”.

37
Mari sedikit bicara tentang passion. Sebagian orang mendefinisikan
dengan benar arti passion dan berjalan dengan penuh harga diri
menjemput passion. Sebagian yang lain memiliki imej tersamar tentang
passion. Sebagian lagi masih bimbang apakah passion adalah sebuah
tren atau sekedar gejala delusional.

Persamaan kesemuanya adalah, passion menjadi pertimbangan saat


memutuskan dan menjalani karir mereka.

Seorang pencari bakat yang hebat mampu memainkan perannya sebagai


pemasar profesi sekaligus motivator kepada para newbie dalam
mengejar passion mereka. Dalam konteks industri, inisiasi yang
dimainkan adalah sebagai berikut:

1 Mendesain ruang tamu yang nyaman


Pekerjaan ini membutuhkan kerjasama seluruh
bagian di dalam organisasi atau perusahaan.
Pekerjaan ini tidak seperti para marketing
communicator yang membuat taman indah di
depan rumah. Mereka hanya mengharap orang-
orang menengok demi mengagumi taman itu.
Mendesain ruang tamu bertujuan memastikan
orang yang masuk ke dalam rumah akan merasa
betah dan nyaman.

Employer branding, demikian pekerjaan ini


dipopulerkan. Proses branding perusahaan
sebagai tempat kerja berbeda dengan penyedia
barang atau jasa. Pembuktian kehandalan
perusahaan dalam mencipta loyalitas menjadi
betul-betul rapuh apabila anggota organisasi
tidak sejalan dengan perusahaan.

38
Karena dari ruang tamu, seseorang begitu
mudah melihat bagian dalam rumah, program
employer branding harus fokus dalam
pembenahan internal organisasi.

Ini menjadi tugas para pengumpan?

Tidak. Namun pengumpang berhak mendorong


organisasi, dalam ini pimpinan perusahaan
untuk dapat merevolusi budaya kerja demi
mengejarkan predikat “tempat kerja paling
keren”.

2 Menjadi kawan bagi semua orang


Kandidat terbaik terkadang dapat muncul dari
mana saja, dari lorong gelap jalanan sampai
dengan gedung perkantoran modern. Membangun
partnership dengan kandidat (pelamar) tentu
meruntuhkan citra rekruter di era
sebelumnya; profesional, dingin, berkuasa.
Orang dengan imej seperti itu akan menjadi
orang terakhir yang ingin ditemui millennial
dalam proses rekrutmen.

Daripada berjudi dengan hal ini, mengubah


wajah rekrutmen menjadi lebih friendly tidak
akan mengurangi kuasa perusahaan dalam
melakukan seleksi karyawan.
Bahkan sedikit membuka sisi gelap perusahaan
dengan cara yang menyenangkan melalui
rekruter dapat membantu memastikan bahwa
orang yang kita rekrut bukan sekedar orang
yang butuh pekerjaan ataupun orang pasrah.

39
Orang yang kita rekrut sudah siap dan
memiliki pertimbangan penuh dalam mengambil
tawaran pekerjaan yang diberikan. Sesulit
apapun tantangan yang menyertai.

Dalam khasanah recruitment mutakhir, seorang


recruiter memiliki nama baru, yakni talent
acquisition partner.

Bayangkan! Seorang partner! Bukan agen,


bukan saringan, bukan tembok yang mustahil
ditembus. Tetapi Partner. Pasti terbayang
bagaimana sosok recruiter di era baru ini.

Saya curiga nama baru ini juga mendorong


para recruiter menjalankan fungsi sebagai
career-advisor bagi para kandidat mereka.

Who knows?! Yang saya tahu apabila


kecurigaan saya benar, maka itu adalah
berkah bagi para millennial, terutama bagi
mereka dengan gejala galau tingkat akut.

3 Notice & being noticed


Di masa ini, informasi bak pasir di pantai.
Menyelimuti hampir seluruh permukaan dunia.
Membangun jejaring dengan para millennial
adalah memastikan bangunan pasir yang kita
bentuk tidak tertiup angin atau tertutup
buih air laut yang sesekali mampir. Sekali
bentukan itu runtuh ataupun tergerus, kita
harus memulai dari awal.

40
Membuat dokumentasi talent menjadi proyek
maha-penting bagi para recruiter di era-
millennial. Betapa tidak, bisa jadi talent
yang anda incar sebelumnya kini telah
berlabuh di perusahaan lain.

Kemampuan recruiter avant-garde bukan hanya


mengidentifikasi talent, melainkan juga
memonitor sepak-terjang sang talent dan
updating their CVs tanpa diketahui oleh
pemilik CV itu sendiri.

Proyek lain yang juga tidak kalah penting,


adalah mencuri perhatian para talent. Jika
perusahaan kita “punya nama”, jangan biarkan
mereka silau dengan “nama” kita, dan pada
akhirnya menyesal setelah mendapati di balik
nama yang menyilaukan, bersemayam proses
recruitment a la zaman batu.

Recruiter para millennial bukan orang yang


bersembunyi di semak sembari menunggu
pelanggar lalu-lintas. Dia menampilkan diri
secara terbuka di muka publik. Kartu namanya
tercetak 2 kali lipat lebih banyak daripada
salesperson di perusahaan yang sama.

Recruiter era-baru mencairkan kebekuan


hubungan antara applicant dan employer.
Mereka berada dalam frekuensi gelombang yang
sama dengan millennial. Mereka makan seperti
millennial, bekerja seperti millennial dan
beristirahat seperti millennial. Mereka akan
membicarakan karir bersama millennial dan
memberi saran serta rekomendasi layaknya
seorang teman.

41
4 Upbeat & modern hiring tools
Email, SMS dan telepon sudah menjadi barang
kuno. Dengan segera millennial mengenali
jenis perusahaan seperti apa yang
menghubungi mereka.

Saya pernah mendapati dari 10 orang yang


saya panggil untuk proses interview melalui
telepon, 4 orang datang. Sisanya no show
dan/atau meminta reschedule. Pada waktu dan
posisi yang sama, dari 10 orang yang saya
hubungi melalui pesan Whatsapp, hanya 1
orang yang tidak hadir.

Dan ini nyata saudara-saudara!

Pendekatan personal menggunakan teknologi


kekinian menarik minat millennial daripada
teknologi satu dekade silam. Saya sendiri
mendapati undangan wawancara kerja via skype
lebih membuat penasaran ketimbang face-to-
face. Bukan sekedar menghemat waktu,
melainkan imej yang ditampilkan oleh
perusahaan seakan memberi ruang kepada
perkembangan teknologi.

Apa yang terbayang dari proses itu adalah


sebuah lingkungan kerja yang dinamis dan
sangat high-tech meskipun mungkin sekedar
perusahaan penyedia gudang logistik
misalnya.

Modernisasi proses rekrutmen tidak berhenti


pada improving the media saja, tapi juga
pada metode sourcing sampai dengan seleksi.

42
Setelah memahami karakteristik utama
millennial setidaknya kita dapat memprediksi
kecenderungan mereka dalam memilih tempat
kerja. Metode dalam merekrut menjadi salah
satu pertimbangan.

Saat ini makin banyak medium tersedia untuk


menjaring calon tenaga kerja. Etalase
pekerjaan yang ribuan jumlahnya berebut
perhatian calon tenaga kerja. Memanfaatkan
metode etalase memang membutuhkan lebih
sedikit waktu dan upaya untuk menghimpun
sebanyak-banyaknya kandidat untuk diseleksi.
Kelemahannya terletak pada masih panjangnya
proses rekrutmen yang harus dijalani.
Rekruter masih harus mensortir lamaran,
melakukan interview awal, psikotes, user
interview dan sebagainya.

Berapa perusahaan memangkas proses panjang


ini dengan menempatkan proses seleksi di
depan. Lowongan dikeluarkan dalam segmentasi
yang tepat. Target kerja dan cara kerja di-
highlight besar-besar. Sebelum pelamar
sempat memasukkan CV mereka, sebuah tes
kompetensi khusus harus berhasil dilewati.
Mulai dari bahasa, skill teknis maupun soft-
skills.

Dan menariknya, metode ini menjawab tiga


kebutuhan millennial dalam memilih
pekerjaan, yakni: kepercayaan diri
menghadapi tantangan, ikatan alami dengan
perusahaan dan pengalaman melamar yang
berbeda dengan sebelumnya.

43
Akhir dari
Seri 1
Hai semua...
Kembali saya ingin menyapa para pembaca budiman.

Bagaimana kabarnya?
Semoga anda berada dalam kondisi emosi yang positif
sampai saat ini.

saya berencana menerbitkan E-book Mitos Millennial


Seri kedua pada bulan agustus 2017 (tanggal masih
dirahasiakan). Setelah Seri kedua terbit saya akan
menjual keseluruhan seri dalam bentuk paket e-book
atau jika diizinkan dalam bentuk buku fisik.

Sampai dengan saat itu, apabila Bapak atau ibu masih


berminat untuk melanjutkan bacaan e-book Mitos
Millennial Seri kedua, silahkan klik link berikut
untuk memberikan komentar* terhadap e-book ini:

http://bit.ly/2v63HIB
Saya akan kirimkan seri kedua dari e-book Mitos
Millennial bagi Anda yang mengirimkan komentar sebelum
tanggal 7 Agustus 2017.

Dan apabila Bapak dan Ibu tertarik berdiskusi dengan


penulis mengenai topik terkait silahkan hubungi
penulis di: andriefirdaus@gmail.com atau di pesan
whatsapp 081703417836.

44

Anda mungkin juga menyukai