Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

“Pterigium OS Grade III”

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

Di Bagian Ilmu Penyakit Mata

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan kepada :

Pembimbing : dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M

Disusun oleh :

Billy Gustomo H2A011012

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Mata

Fakultas Kedokteran – Universitas Muhammadiyah Semarang

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa


LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

ILMU PENYAKIT MATA

Presentasi kasus dengan judul :

“PTERIGIUM OS GRADE III”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:

Billy Gustomo H2A010012

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Nama pembimbing Tanda Tangan Tanggal

dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M ............................. .............................

Mengesahkan:

Koordinator Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M


NIP. 19620721 1990 10 1

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Usia : 57 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Lenggaran Gunung, Ambarawa
Pekerjaan : Wiraswasta (Buruh Bangunan)
No. RM : 095886
Tanggal Periksa : 23 Februari 2016

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien mengeluh penglihatan mata kiri kabur
Riwayat Penyakit Sekarang
Kurang lebih 3 tahun yang lalu pasien merasakan mata kiri perih,
merah, nerocos, dan gatal. Pasien mengobati dengan obat tetes mata warung
dan merasa baikan. Kurang lebih 1 tahun sebelum masuk rumah sakit
(SMRS) Pasien merasakan pandangan kabur, terkadang merah, perih, dan
gatal. Pasien mengobati dengan tetes mata yang dibeli di warung telah habis 1
botol namun pandangan kaburnya tetap dirasakan ada.
Pasien datang ke poli mata RSUD Ambarawa karena merasakan mata
kiri semakin kabur dan teras mengganjal saat berkedip. Ketika bercermin
pasien melihat seperti ada sesuatu yang tumbuh pada bagian putih mata kiri
seperti daging tumbuh, perih (-), nyeri (-), nerocos (-), merah (-), gatal (+).
Pasien mengatakan mata sering terkena debu kemudian mata kiri dikucek.
Awalnya daging tumbuh tersebut kecil yang lama kelamaan menjalar semakin
mendekati bagian hitam mata pasien.

Riwayat Pengobatan

3
Pasien sudah memberi obat tetes mata yang dibeli di warung selama mata
kabur, terkadang merah, perih, dan gatal namun keluhan mata kabur tidak ada
perubahan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit yang sama : Disangkal
Riwayat hipertensi : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat alergi obat : Disangkal
Riwayat trauma mata : Disangkal
Riwayat operasi mata : Disangkal
Riwayat memakai kacamata : Disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit yang sama : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai wiraswasta (Buruh Bangunan) Biaya pengobatan
ditanggung BPJS PBI. Kesan sosial ekonomi cukup..

C. PEMERIKSAAN FISIK :
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 23 Februari 2016 pukul 19.00
a. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Vital sign :
 TD : 140/70 mmHg
 Nadi : 70 x/menit ( Reguler, isi dan tegangan kuat)
 RR : 19 x/menit
 Suhu : 36 0C

d. Status Gizi
 BB : 60 Kg
 TB : 160 cm
BMI : 23,44
Kesan : Gizi Cukup
e. Status Generalis : Tidak dilakukan pemeriksaan
f. Status Oftalmologis

OD OS

4
No. Pemeriksaan Oculi Dextra Oculi Sinistra
1. Supercilia Trikiasis - -
Distikiasis - -
Madarosis - -

2. Palpebra Silia Normal Normal


Hiperemis - -
superior et
Spasme - -
inferior Edema - -
Ptosis - -

3. Konjungtiva Edema - -
Hiperemis - +
palpebra
Papil - -
superior et Cobblestone - -
inferior Corpus alienum - -
Konjungtiva Hiperemis - +
Corpus alienum - -
forniks
Konjungtiva Injeksi konjungtiva - -
Injeksi siliar - +
bulbi
Edema - -
Perdarahan subkonjungtiva - -
Trantas Dot - -

5
Corpus alienum - -
Kelainan - Terdapat
jaringan
fibrovaskular
dari nasal
hingga tepi
kornea
membentuk
segitiga
dengan
diameter 3-
4mm
4. Bulbus Gerakan
Okuli
Kedudukan Kedua bola mata sejajar
Nistagmus - -
Strabismus - -
Exo/Endofthalmus - -
5. Sklera Ikteris - -
6. Kornea Warna Jernih, Jernih
mengkilat mengkilat
Neovaskularisasi - -
Sikatrik - -
Infiltrat - -
Udema - -
Limbus - Tampak
selaput putih
kemerahan,
yang menutupi
pada arah jam
9
7. COA Warna Jernih Jernih
Kedalaman Dalam Dalam
Hipopion - -
Hifema - -
8. Iris Warna - -
Kripte - -

6
Sinekia - -
9. Pupil Bentuk Bulat Bulat
Letak Central Central
Reguler/ireguler Reguler Reguler
Diameter Ø 4mm Ø 4mm

Reflek pupil, direk indirek +/+ +/+


10. Funduskopi Tidak dilakukan
11. Visus (tajam penglihatan) 6/9 6/15
12. Koreksi visus Tidak dilakukan
12. Lapang pandang Tidak dilakukan
13. TIO Tidak dilakukan
14. Slit lamp Tidak dilakukan

D. RESUME
Pasien Tn. M usia 57 tahun, kurang lebih 3 tahun lalu mata terasa perih,
hiperemis, mata berair, dan gatal. Diberikan tetes mata pasien merasa
membaik. Kurang lebih 1 tahun SMRS Pasien merasakan pandangan kabur,
terkadang hiperemis, perih, dan gatal. diberikan tetes mata telah habis 1 botol
namun pandangan kaburnya tetap dirasakan ada. Pasien datang ke poli mata
RSUD Ambarawa karena merasakan mata kiri semakin kabur dan terasa
mengganjal saat berkedip. Saat bercermin pasien melihat jaringan
fibrovaskular dari nasal ke tepi kornea, perih (-), nyeri (-), mata berair (-),
hiperemis (-), gatal (+). mata sering terkena debu kemudian mata kiri
dikucek. Awalnya jaringan fibrovaskular tersebut kecil yang lama kelamaan
menjalar semakin mendekati pupil mata pasien.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis,
tekanan darah 140/70 mmHg, nadi 70x/menit, RR 19 x/menit, suhu 36 0C,
kesan gizi cukup. Dari pemeriksaan oftalmologi pada OS didapatkan
konjungtiva bulbi Terdapat jaringan fibrovaskular dari nasal hingga tepi
kornea membentuk segitiga dengan diameter 3-4mm dan pada limbus kornea
Tampak selaput putih kemerahan, yang menutupi pada arah jam 9. OD dalam
batas normal.

7
E. DIAGNOSIS BANDING
1. Pterigium
2. Pseudopterigium
3. Pinguekula
F. DIAGNOSIS
Pterigium OS grade III
G. INITIAL PLAN
Subyektif :
OS  penglihatan kabur, terasa mengganjal saat berkedip, dan gatal

Obyektif :
OS  Konjungtiva bulbi Terdapat jaringan fibrovaskular dari nasal hingga
tepi kornea membentuk segitiga dengan diameter 3-4mm dan pada limbus
kornea Tampak selaput putih kemerahan, yang menutupi pada arah jam 9
1. IpDx : Pemeriksaan segmen anterior, topografi kornea
2. IpTx :
Autograft Konjungtiva
Ciprofloxacin tab 500mg 2x1
Ibuprofen tab 400mg 2x1
Floxan ed 3x1 OS
3. IpMx
Kontrol 1 minggu untuk melihat perkembangan penyakit.
4. IpEx
 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakitnya
 Bila bekerja diluar ruangan menggunakan kacamata pelindung untuk
melindungi dari exposure dari luar seperti debu dan sinar ultraviolet.
 Bila perih dan gatal jangan di kucek.

H. PROGNOSIS
1. Quo ad Vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad Sanam : dubia ad bonam
3. Quo ad Fungsionam : dubia ad bonam
4. Quo ad Cosmeticam : dubia ad bonam

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. PTERIGIUM

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva


yang bersifat degeneratif dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium
merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan
berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan
puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu
pteron yang artinya wing atau sayap.1,6

Gambar 1. Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk


segitiga dengan puncak di kornea

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan


yakni radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan
faktor herediter. 3,7
a. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata
dan topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.3,7
b. Faktor Genetik

9
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga
dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal
dominan. 3,7
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru
patogenesis dari pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan
trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma
juga diduga sebagai penyebab dari pterigium.3,7

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena


lebih sering terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas,
maka gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon
terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari
(ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau
faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva pada
fisura interpalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa
menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru merupakan salah satu teori.
Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung
teori ini.6,7
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene
pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-
beta overproduksi dan menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel
bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi
kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibroveskular. Jaringan
subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi jaringan
granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea
terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular, sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal
atau tipis dan kadang terjadi displasia.7,8

10
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada
keadaan defisiensi limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement, dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium
dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa perigium merupakan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal
stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan stem cell
di daerah interpalpebra.8,9
Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan
perubahan fenotif, pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang
mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblas
konjungtiva normal. Lapisan fibroblas pada bagian pterigium
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblas pterigium
menunjukkan matrix metalloproteinase, di mana matrix tersebut adalah
matrix ekstraseluler yang berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyenbuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblas pterigium bereaksi
terhadap TGF-β (transforming growth factor-β) berbeda dengan jaringan
konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang
berlebihan, TNF-α (tumor necrosis factor-α) dan IGF II. Hal ini
menjelaskan bahwa pterigium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma
kornea dan terjadi fibrovaskular dan inflamasi.8,9
Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein agiografi
ditemukan peningkatan area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah
di nasal limbus selama fase awal pterigium. Sirkulasi CD 4+ MNCs dan c-
kit+ MNCs meningkat pada pterigium dibanding dengan konjungtiva
normal. Sitokin lokal dan sistemik, SP (substance P), VEGF (Vascular
endothelial growth Factor) dan SCF (Stem Cell Factor) pada pterigium
meningkat, berhubungan dengan CD 34+ dan C kit+ MNC. Hal ini
menunjukkan pada pterigium terlibat pertumbuhan EPCs (Endothelial
Progenitor Cells) dan hipoksia okular yang merupakan faktor pencetus

11
neovaskularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum
tulang melalui produksi sitokin lokal dan sistemik.7,8
Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron
menunjukkan proliferasi fibrotik yang menyimpang di bawah epitel
pterigium, dengan epitel meluas ke stroma. Pemisahan sel-sel epitel
pterigium menunjukkan epitel dikelilingi sel-sel fibroblas yang aktif,
karakteristik dari E-cadherin, penumpukan β-catenin di intranuklear dan
limphoid factor-1 meningkat pada epitel pterigium. Sel epitel meluas ke
stroma pada α-SMA/ vimentin dan cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa
epitel mesencymal transition terlibat dalam patogenesis pterigium. β-
catenin meningkat pada pterigium dan PFC (pterigial fibroblast)
dibandingkan pada konjungtiva normal. β-catenin berperan penting dalam
patogenesis pterigium.10,11

2. DIAGNOSIS PTERIGIUM
1. Anamnesis
pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan untuk mengetahui
kecenderungan Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain
sebagai data administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga
sangat perlu untuk mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih
sering pada kelompok usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki.
Riwayat pasien terpapar sinar matahari.3
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan
keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin
menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan
penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya
penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan
khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan subjektif
dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.1,3

2. Pemeriksaan Fisik

12
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun.Pterigium
muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas
ke kornea pada daerah fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai
pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stoker’s line).
Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan pterigium
dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis,
menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika
pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada
tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head),
dan cap. Bagian segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya
ke arah limbus disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian
belakang disebut cap. Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex
dan membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting
ditentukan derajat atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium
dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit
1).Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2).Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1).Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2).Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2
mm melewati kornea
3).Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir
pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal
sekitar 3-4 mm)
4).Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan8

13
Gambar 3. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati
kornea lebih dari 2mm, namun belum melewati pupil.

c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp


1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas

Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan


pseudopterigium.
Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium
Definisi Jaringan Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskular konjungtiva konjungtiba bulbi
konjungtiva bulbi dengan kornea yang
bulbi berbentuk cacat
segitiga
Warna Putih Putih-kuning Putih kekuningan
kekuningan keabu-abuan
Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah
bagian nasal mata terutama konjungtiva yang
atau temporal bagian nasal terdekat dengan
yang meluas ke proses kornea
arah kornea sebelumnya
6♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada
kerusakan

14
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
diselipkan diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau- Tidak ada Tidak ada (tidak ada
pulau Funchs head, cap, body)
(bercak kelabu)
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi Perlengketan
dan degenerasi hialin jaringan
hialin dalam submukosa
stromanya konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium (dikutip dari Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor,
Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi 14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.111,
Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto)

3. Penatalaksanaan Pterigium
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan
pemberian obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan
tindakan bedah dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2.
Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2
yang telah mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan
karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila
pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata
dekongestan.Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari,
debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda
radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid . Bila
terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep.

15
Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila
telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang
menetap termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm,
pertumbuhan yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan
adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk
mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang
licin. Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium
adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium
ke arah limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan bare sclera ke
arah bawah pada limbus lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan
jaringan tenon secara berlebihan di daerah medial, karena kadang-kadang
dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah
jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol
perdarahan.6,8
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan
teknik simple surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik
yang dapat menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival
autograft (Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang digantikan dengan
konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva
yang secara normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva
normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan
unuk menyebabkan pterigium rekuren.12
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa
avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva
yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C

16
(MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.10
Indikasi Operasi pterigium :
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico,


yaitu:
1. Menurut Ziegler :
a. Mengganggu visus
b. Mengganggu pergerakan bola mata
c. Berkembang progresif
d. Mendahului suatu operasi intraokuler
b. Kosmetik
2. Menurut Guilermo Pico:
a. Progresif, resiko rekurensi > luas
b. Mengganggu visus
c. Mengganggu pergerakan bola mata
d. Masalah kosmetik
e. Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone
f. Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtata
g. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik

Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah
kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke
kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang
diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel.
Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah
pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk
memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan

17
termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan
halus dari permukaan kornea.1
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara
memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi,
antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai
laporan.1
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan
setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini
melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar
superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium
tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal
ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's
dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan
orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari
Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi
pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah
dengan teknik ini.1

3. Cangkok Membran Amnion


Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan
membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah
menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting
untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai.
Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang
ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan
setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan
dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar
konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera ,

18
dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap
ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem
fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan
episcleral dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam
autografts konjungtiva.1

Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus
menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah
dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan
bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,
namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis
dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk
tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi,
dikombinasikan dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5
hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1
tetes/hari kemudian tappering off sampai 6minggu.

19
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari,
diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3
jam selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.6

Gambar 4.Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium, (b).Pterygium removed,(c).Leaving


bare area,(d).Graft outlined, (e).Graft sutured into place

4. Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan
parut) pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral
berkurang, scar pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia.11,12
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
a) Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft
longgar, dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata,
vitreous hemorrhage atau retinal detachment

20
b) Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau
melting pada sklera dan kornea
c) Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren
pterigium post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren
yang tinggi kira-kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik
conjungtiva autograft atau amnion graft.
d) Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan
epitel di atas pterigium.11

5. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi,
kebanyakan pasien setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali.
Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft
dengan autograft atau transplantasi membran amnion.11

DAFTAR PUSTAKA

1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD.
Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.2010

2. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]. Available


from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium

3. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asbury’s Oftalmologi


Umum: edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.

4. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.

21
5. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

6. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08].


Available from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi

7. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available


from : http://www.dokter-online.org/index.php.htm .

8. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007.


[cited 2011 October 23]. Available from :
http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant

9. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook


Atlas. New York : Thieme Stutgart. 2000

10. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to


Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In:
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366

11. Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available
from : http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/963/follow-
up/complications.html

22

Anda mungkin juga menyukai