Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) ON HD

A. Pengertian
CKD merupakan suatu penurunan fungsi jaringan ginjal secara progresif
sehingga massa ginjal yang masih ada tidak mampu lagi mempertahankan
lingkungan internal tubuh. Adapun batasan penyakit ginjal kronik yaitu suatu
proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal
ginjal.
Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang
terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronik.
Chronic Kidney Disease (CKD) atau End Stage Renal Disease (ESRD)
adalah kerusakan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali,
dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit berakibat peningkatan ureum (azotemia).
Menurut National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome
Quality Initiative (K/DOQI) 2002 Chronic Kidney Disease (CKD) atau
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama ≥ 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal,
diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerolus ≤ 60
ml/menit/1,73 m². Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, dan
LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m², tidak termasuk kriteria CKD.
B. Klasifikasi
Sistem klasifikasi CKD yang sekarang dipakai diperkenalkan oleh
NKFK/DOQI berdasarkan tingkat GFR, bersama berbagai parameter klinis,
laboratorium dan pencitraan. Tujuan adanya sistem klasifikasi adalah untuk
pencegahan, identifikasi awal gangguan ginjal dan penatalaksanaan yang dapat
mengubah perjalanan penyakit sehingga terhindar dari end stage renal disease
(ESRD).
Namun demikian sistem klasifikasi ini hanya dapat diterapkan pada pasien
dengan usia 2 tahun ke atas, karena adanya proses pematangan fungsi ginjal pada
anak dengan usia di bawah 2 tahun.
Tabel 1
Klasifikasi stadium CKD NKF-K/DOQI

Stadium GFR Deskripsi


(ml/mnt/1,73 m2)
1 ≥ 90 Kerusakan ginjal dengan GFR normal/meningkat
2 60-89 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan
3 30-59 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang
4 15-29 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat
5 < 15 atau dialisis Gagal ginjal

Tabel 2
GFR normal pada anak dan remaja
Usia GFR rata-rata ± SD (ml/mnt/1,73 m2)
1 minggu (laki-laki dan perempuan) 41 ± 15
2-8 minggu (laki-laki dan perempuan) 66 ± 25
> 8 minggu (laki-laki dan perempuan) 96 ± 22

2-12 tahun (laki-laki dan perempuan) 133 ± 27


13-21 tahun (laki-laki) 140 ± 30
13-21 tahun (perempuan) 126 ± 22
C. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, NKF K/DOQI membagi CKG menjadi 3 kelompok
besar yaitu:
1. Penyakit Ginjal Diabetik: Diabetes tipe 1 dan 2
2. Penyakit Non-Diabetik:
a. Penyakit glomerulus (penyakit otoimun, infeksi sistemik, obat-obatan,
keganasan)
b. Penyakit-penyakit pembuluh darah (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
c. Penyakit-penyakit tubulointerstisiel (ISK, batu, obstruksi, keracunan obat)
d. Penyakit-penyakit kista (penyakit ginjal polikistik)
3. Penyakit pada Transplantasi
a. Rejeksi kronik
b. Toksisitas obat (siklosporin atau takrolimus)
c. Penyakit rekuren (penyakit glomerulus)
d. Glomerulopati transplant
Penyebab CKD yang menjalani hemodialisa di Indonesia menurut
PERNEFRI tahun 2000 yaitu:
1. Glomeruloneritis 46,39%
2. Diabetes Mellitus 18,65%
3. Obstruksi dan infeksi 12,85%
4. Hipertensi 8,46%
5. Sebab lain 13,65%
Penyebab lain adalah infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskuler
hipersensitif, gangguan jaringan penyambung, gangguan kongenital dan
herediter, gangguan metabolism, nefropati toksik, nefropati obstruksi, dan
intoksikasi obat.

D. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus
dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya
saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada
yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul
disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien
menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian
nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah,
akan semakin berat.
1. Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan
jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens substansi
darah yang sebenarnya dibersihkan oleh ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurut filtrasi
glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan
menurunkan dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea
darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang
paling sensitif dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh
tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh
masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi
seperti steroid.

2. Retensi Cairan dan Ureum


Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan urin secara
normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap
perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering
menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal
jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi
aksis rennin angiotensin dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi
aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan garam,
mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status
uremik.
3. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolik
seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus
gjnjal untuk menyekresi ammonia (NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat
(HCO3) . penurunan ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi
4. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya
usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami
perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal.
Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai
keletihan, angina dan sesak napas.
5. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki
hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat, maka yang satu
menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat
peningkatan kadar serum fosfat dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium.
Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan perubahan pada tulang dan
pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D (1,25-
dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal menurun.
6. Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat
dan keseimbangan parathormon.
E. Pathway

F. Manifestasi Klinis
1. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi perikardiac
dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan
edema.
2. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental, suara krekels
3. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan vomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi, dan
perdarahan mulut, nafas bau amonia
4. Gangguan muskuloskeletal
Restles leg syndrom (pegal pada kaki sehingga selalu digerakkan), burning feet
syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama di telapak kaki), tremor,
miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas)
5. Gangguan integument
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan
urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh
6. Gangguan endokrin
Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi
dan amenore. Gangguan metabolik glukosa, lemak, dan vitamin D.
7. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa

G. Pemeriksaan Medis
Pemeriksaan penunjang pada Chronic Kidney Disease (CKD)
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan analisa urin
Menggunakan tes dipstick, mendeteksi adanya hematuria, piuria, dan
proteinuria
b. Pemeriksaan mikroskopis urin
 Pada anak banyak ditemukan hyalin cast
 Nekrosis tubular akut banyak ditemukan granular cast
 Pada kasus infeksi ditunjukkan dengan adanya red cell cast
 White cell cast biasanya terjadi pada acute pyelonephritis atau interstitial
nephritis
Berikut hasil pemeriksaan urinalisis yang berkaitan dengan adanya penyakit pada
ginjal:

c. Pemeriksaan kimiawi serum


Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum merupakan tes yang paling
penting, sedangkan pemeriksaan kadar natrium, kalium, kalsium, fosfat,
bikarbonat, alkalin fosfatase, hormon paratiroid (PTH), kolesterol, fraksi
lipid penting untuk terapi dan pencegahan komplikasi CKD. Nilai normal
untuk kadar urea dalam darah berkisar 8-24 mg/dl pada laki-laki dan pada
wanita berkisar 6-21 mg/dl. Nilai normal kreatinin berkisar antara 0,6-1,3
mg/dl (SI: 62-115 µmol/L).
d. Penghitungan laju filtrasi gromerulus
Pengukuran ini dimaksudkan untuk menilai jumlah nefron yang masih
berfungsi untuk melakukan filtrasi. Pemeriksaan eGFR (Estimated
Glomerular Filtratin Rate) adalah perkiraan untuk menentukan kemampuan
fungsi ginjal dalam menyaring atau membersihkan darah menggunakan
perhitungan rumus schwartz berdasarkan kreatinin darah, umur dan jenis
kelamin. Namun demikian, perhitungan eGFR tidak bisa digunakan pada
wanita hamil, obesitas, sangat kurus, asites, anak-anak dan usia lanjut
(diatas 65 tahun). Untuk keadaan seperti ini harus melakukan Creatinin
Clerence Test (CCT).
Pemeriksaan Creatinin Clerence Test (CCT) untuk menentukan kemampuan
fungsi ginjal lebih teliti dalam menyaring atau membersihkan darah,
menggunakan perhitungan berdasarkan pengukuran kadar kreatinin darah,
kreatinin urin 24 jam, berat badan, tinggi badan, dan volume urin yang
dikumpulkan selama 24 jam, pengumpulan urin selama 24 jam tidak boleh
ada yang terbuang.
2. Pencitraan
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui penyebab dari CKD.
Pemeriksaan pencintraan meliputi:
a. Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
b. Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan
karena aman, mudah, dan cukup memberikan informasi. USG merupakan
modalitas terpilih untuk kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. Meskipun
USG kurang sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi massa, tetapi USG
dapat digunakan untuk membedakan kista jinak dengan tumor solid, juga
sering digunakan untuk menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
c. CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi
pada pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk
mengidentifikasi batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari pada
pasien dengan gangguan ginjal untuk menghindari terjadinya gagal ginjal
akut.
d. MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT
tetapi tidak dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk
mendeteksi adanya trombosis vena renalis. Magnetic resonance
angiography juga bermanfaat untuk mendiagnosis stenosis arteri renalis.
e. Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan
menggunakan radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic
acid (DMSA). Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan intravenous
pyelography (IVP) untuk mendeteksi parut ginjal dan merupakan diagnosis
standar untuk mendeteksi nefropati refluks
f. Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
g. Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik untuk
mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan
ini diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan kecurigaan gagal ginjal
meskipun USG dan CT scan tidak menunjukkan adanya hidronefrosis.
h. Pemeriksaan tulang: Hal ini bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid
sekunder yang merupakan bagian dari osteodistrofi, dan juga perkiraan usia
tulang untuk memberikan terapi hormon pertumbuhan.
H. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan
mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut.
1. Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat adalah
jangan menimbulkan hiperkalemia. Sealin dengan pemeriksaan darah,
hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi
hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium,
pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
Penurunan GFR sampai di bawah 50% nilai normal akan disertai
penurunan reabsorpsi bikarbonat yang menyebabkan asidosis sistemik,
akibatnya terjadi degradasi protein dan efluks kalsium dari tulang. Terapi
ditujukan untuk mempertahankan konsentrasi bikarbonat serum sebesar 20-22
mEq/L (20-22 mmol/L) dengan cara pemberian suplemen sodium bikarbonat
atau pengikat fosfat. Hiperkalemia dapat terjadi karena ketika penyakit ginjal
memburuk, tubulus distal yang terisisa terus menerus mensekresikan kalium.
Peningkatan aldosteron juga mendorong sekresi kalium dengan menstimulasi
pertukaran natrium-kalium di ginjal dan kolon. Hipokalemia dapat juga terjadi
pada anak yang menderita CKD, namun cenderung terjadi pada pasien yang
memiliki defek tubular seperti pada sindrom Faconi.
2. Koreksi anemia
Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi faktor defisiensi,
kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi.
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb.
Tranfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnhya
ada insufisiensi koroner.
3. Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari.
Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan
100 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan
dapat diulang. Hemodialisis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada PGK adalah hiperkalemia dan
asidosis. Hyperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah mengancam
jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia
membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi:
 Diet rendah kalium: menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta sayuran
berlebih.
 Menghindari penggunaan diuretic K-sparring: furosemide, spironolactone.

Pengobatan hyperkalemia tergantung derajat kegawatannya

Gawat: glukonas calcicus intravena (10-20 ml 10% Ca gluconate), glukosa


intravena (25-50 %), insulin 10-20 unit; natrium bikarbonat intravena (25-100
ml 8,4 % NaHCO3) dapat digunakan juga insulin kerja cepat 2 U yang
dicampur dextrose 40% 25 cc, diberikan bolus IV. Meningkatkan: Furosemid
Ekskresi kalium: K-exchange resin, dialysis Asidosis menyebabkan keluhan
mual, lemah, air-hunger dan drowsiness. Pengobatan intravena dengan
NaHCO3 hanya diberikan pada keadaan asidosis berat, sedangkan jika tidak
gawat dapat diberikan secara per-oral

4. Pengendalian hipertensi
Pemberian obat betabloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakuka.
Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati
karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium (Muttaqin 2011).
Pemantauan faal ginjal secara serial perlu dilakukan pada awal pengobatan
hipertensi jika digunakan penghambat ACE dan ARB. Apabila dicurigai
adanya stenosis arteria renal, penghambat ACE merupakan kontraindikasi.
5. Diit tinggi kalori dan rendah protein
Diit rendah protein (20-40 gram/hari) dan tinggi kalori menghilangkan
gejala anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan ureania dan
menyebabkan penurunan ureum dan perbaikan gejala. Kebutuhan kalori
minimal 35 kcal/kgBB/hari. Diet rendah protein tinggi kalori akan
memperbaiki keluhan mual, menurunkan BUN dan akan memperbaiki gejala.
Selain itu diet rendah protein akan menghambat progresivitas penurunan faal
ginjal. Hindari masukan dari kalium dan garam.

Sedangkan menurut keluarga sehat hospital, diet rendah protein diberikan untuk
pasien penyakit ginjal kronik

 Sebelum hemodialisis (pre-dialisis) dengan jumlah protein yang boleh


dikonsumsi adalah 0,6-0,75 g/kg berat badan/hari. Asupan garam yang
dianjurkan sebelum dialysis antara 2,5 – 5 gr garam/hari, pembatasan asupan
kalium dianjurkan bila kadar kalium dalam darah> 5,5 meq dan asupan kalium
yang dianjurkan adalah 40 mg/kgBB/hari. Bahan makanan yang tinggi kalium
berupa umbi, buah-buahan, kacang-kacangan, tidak dianjurkan mengkonsumsi:
kentang, alpukat, pisang, mangga, tomat, daun singkong, rebung, bayam.
 Pada pasien hemodialisis 1 -12 gram/kgBB ideal/hari
 Pasien hemodialisis 1 -1,2 gram/kgBB ideal/hari
 Pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari
6. Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal
Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti
alumunium hidroksida (300-1800 mg) atau kalsium karbonat (500-3000 mg)
pada setiap makan.
7. Deteksi dini dan terapi infeksi
Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imunosupresif dan diterapi
lebih ketat.
8. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal
Banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena metabolit
toksik dan dikeluarkan oleh ginjal.
9. Optimilisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam
Biasanya diusahakan hingga tekanan vena jugularis meningkat dan
terdapat edema betis ringan. Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine
dan pencatatan keseimbangan cairan. Pemberian cairan disesuaikan dengan
produksi urin. Yaitu produksi urin 24 jam ditambah 500 ml. Asupan garam
tergantung evaluasi elektrolit, umumnya dibatasi 40-120 mEq (920-2760 mg).
Diet normal mengandung rata-rata 150 mEq. Furosemide dosis tinggi masih
dapat digunakan pada awal PGK, akan tetapi pada fase lanjut tidak lagi
bermanfaat dan pada obstruksi merupakan kontraindikasi. Penimbangan berat
badan, pemantauan produksi urin serta pencatatan keseimbangan cairan akan
membantu pengelolaan keseimbangan cairan dan garam.
10. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein dan natrium dapat
dikonsumnsi secar bebas menghilangkan kecenderungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka. Segera persiapkan setelah gagal ginjal kronik
dideteksi. Indikasi dilakukan dialisis biasanya adalah gagal ginjal dengan
gejala klinis yang jelas meski telah dilakukan terapi konservatif, atau terjadi
komplikasi. Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit
Dalam bahwa dialisis dapat diberikan pada pasien gagal ginjal dengan stadium
5 yaitu GFR < 15 dan jika ada uremia. Dialisis merupakan suatu proses yang
digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh
ketika ginjal tidak mampu melaksanankan proses tersebut.
Pemberian dialisis juga diklasifikasikan menurut waktu pemberiannya
yaitu dialisis akut dan dialisis kronik.
 Dialisis akut
Akut diperlukan bila kadar kalium yang tinggi atau yang meningkat (kalium
serum > 6 mEq/L), kelebihan muatan cairan atau edema pulmoner yang
mengancam, asidosis yang meningkat, perikarditis atau konfusi berat.
Tindakan ini juga digunakan untuk menghilangkan obat-obat tertentu atau
toksin lain (keracunan atau dosis obat yang berlebihan).
 Dialisis Kronik
Sedangkan dialisis kronik dibutuhkan pada GGK (penyakit ginjal stadium
terminal) dalam keadaan sebagai berikut : terjadinya tanda-tanda dan gejala
uremia (ureum darah >200 mg/L) yang mengenai seluruh sistem tubuh
(mual, serta muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, konfusi mental),
kadar kalium serum meningkat (> 6 mEq/L), muatan cairan berlebih yang
tidak responsif terhadap terapi diuretic serta pembatasan cairan, dan
penurunan status kesehatan yang umum. Disamping itu terdengarnya
pericardial friction rub melalui auskultasi merupakan indikasi yang
mendesak untuk dilakukan dialisis.

Berdasarkan metode, dialisis dibagi menjadi dua yaitu:

 Hemodialisis (HD)
Hemodialisis adalah sebuah terapi yang menghilangkan sampah dan
cairan berlebih daridarah. Selama hemodialisis, darah dipompa melalui
selang lembut ke mesin dialisis yang akan menuju fliter khusus yang disebut
dialyzer (juga disebut ginjal buatan). Saat darah difiltrasi, darah akan
dikembalikan ke aliran darah. Untuk dapat disambungkan dengan mesin
dialisis, pasien harus mempunyai akses atau pintu masuk ke aliran darah.
Terapi ini biasanya dilakukan 3 kali seminggu. Tiap terapi berlangsung
selama 3-5 jam. Hemodialisis dapat dilakukan di rumah atau di pusat HD.
Pusat HD berlokasi di dalam rumah sakit atau layanan kesehatan. Syarat
melakukan HD di rumah antara lain pasien harus memiliki cukup ruangan
untuk peralatan dan cukup air dan listrik untuk mengoperasikan mesin
dialisis dan mesin purifikasi. Pasien juga membutuhkan pendamping saat
dialisis.
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
umumnya indikasi dialisa pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus
(LFG <15 ml/ menit) sehingga dialysis baru dianggap perlu dimulai bila
dijumpai salah satu dari hal di bawah ini:
 Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
 Kalium serum > 6 mEq/L
 Ureum darah > 200 mg/L
 Ph darah< 7,1
 Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
 Fluid overloaded

Akses Hemodialisis

Jika pasien memilih HD, pasien perlu memiliki akses permanen atau pintu
masuk ke aliran darah. Ini dilakukan dengan pembedahan minor, biasanya pada
lengan. Ada dua jenis akses vascular permanen:

 Fistula
Sebuah fistula direkomendasikan sebagai akses. Ini dibuat dengan
menggabungkan artei ke vena di dekatnya di bawah kulit untuk membuat
vaskuler yang lebih besar. Tipe ini dipilih karena mengakibatkan masalah
yang sedikit dan bertahan lama. Pasien harus dievaluasi oleh bedah vaskuler
minimal 6 bulan sebelum memulai dialisis. Dokter akan melakukan
pemeriksaan ultrasound untuk melihat pembuluh darah yang ideal untuk
fistula. Tindakan ini disebut dengan “vessel mapping”. Fistula harus
disiapkan terlebih dahulu (beberapa bulan sebelum dimulai dialisis),
sehingga ada waktu untuk penyembuhan dan siap untuk digunakan HD.
 Graft
Jika pembuluh darah tidak sesuai untuk dilakukan fistula, graft dapat
dilakukan. Tindakan ini menggabungkan arteri dan vena di dekatnya dengan
selang lembut dari sintetik. Graft ini dimasukkan di bawah kulit.

Selain itu terdapat juga akses vascular yang sifatnya temporer:

 Kateter
Akses ketiga disebut dengan kateter, dimasukan ke dalam vena besar di leher
atau dada. Ujung dada selang berada diatas kulit luar tubuh. Tipe ini umum nya
digunakan untuk dialysis periode pendek. Kateter digunakan menetapjika
fistula atau graft tidak dapat dilakukan.
 Peritoneal Dialisis (PD)
Dalam Updates Clinical Practice Guidelines for Hemodialysis Adequacy pada
peritoneal dialisis (PD), darah dibersihkan di dalam tubuh bukan di luar tubuh
pasien. Peritoneum bekerjasebagai filter alami. Cairan pembersih yang disebut
dialisat, dialirkan ke dalam abdomen melalui selang lembut yang dinamakan
kateter PD. Kateter dipasang melalui pembedahan minor. Sampah dan
kelebihan cairan keluar dari darah ke dalam cairan dialisat. Setelah beberapa
jam, pasien mengalirkan cairan dialisat yang sudah digunakan dari abdomen
dan mengisi ulang dengan cairan pembersih yang baru untuk memulai proses
kembali. Mengeluarkan cairan yang telah digunakan dan mengisi cairan baru
membutuhkan waktu setengah jam dan hal ini disebut “exchange”. Peritoneal
dialisis dapat dilakukan di rumah, saat bekerja, di sekolah atau selama
perjalanan. Peritoneal dialysis merupakan terapi rumahan. Banyak pasien yang
memilih terapi ini merasa diberi fleksibilitas. Indikasi dilakukannya Peritoneal
Dialisis (PD) antara lain:
 Pasien yang menjalani hemodialisis maintenance yang mempunyai
masalah seperti :gangguan fungsi atau kegagalan alat untuk akses vaskuler,
rasa haus yang berlebihan, hipertensi berat, sakit kepala pasca dialisis, dan
anemia berat yang memerlukan transfusi.
 Pasien yang menunggu operasi cangkok ginjal.
 Penyakit ginjal stadium akhir akibat DM
 Lansia

Prosedur
Seperti halnya tindakan yang lain, keputusan untuk memulai PD diputuskan
oleh pasien dan keluarga setelah konsultasi dengan dokter. Pasien bisa saja
mengalami kejadian akut yang mengharuskan pengobatan jangka pendek untuk
memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit, atau mungkin mengalami ERSD
membutuhkan perawatan yang berkelanjutan. Berikut prosedur pelaksanaan PD:
a) Persiapan pasien
Persiapan perawat kepada pasien dan keluarga terhadap tindakan PD adalah
tergantung status fisik dan psikologis pasien, pengalaman sebelumnya terhadap
dialysis, dan pemahaman terhadap prosedur. Perawat menjelaskan prosedur
kepada pasien dan membantu untuk mengambil keputusan dengan dasar berat
badan pasien, dan kadar serum elektrolit. Pasien dianjurkan untuk
mengosongkan kandung kemih dan usus untuk mengurangi risiko tusukan
organ internal selama tindakan. Agen antibiotic dengan spektrum luas
mungkin dapat diberikan untuk mencegah infeksi. Tindakan pemasangan
kateter peritoneal dapat dilakukan di dalam ruang radiologi, ruang operasi, atau
di tempat tidur. Hal tersebut tergantung situasi, dan perlu diberikan penjelasan
terlebih dulu ke pasien dan keluarga.
b) Persiapan alat
Selain mempersiapkan perlatan untuk tindakan PD, perawat juga berkonsultasi
dengan dokter untuk menentukan konsentrasi dari dialisat yang akan digunakan
dan obat-obatan yang akan ditambahkan. Heparin dapat ditambahkan untuk
mencegah pembentukan fibrin dan oklusi resultan dari kateter peritoneal.
kalium klorida dapat diresepkan untuk mencegah hipokalemia. antibiotik dapat
ditambahkan untuk mengobati peritonitis (radang membran peritoneal) yang
disebabkan oleh infeksi. Dan insulin reguler dapat ditambahkan untuk pasien
dengan diabetes.
c) Tindakan
Memasukkan Kateter Idealnya, memasukkan kateter peritoneal dilakukan di
dalam kamar operasi atau ruang radiologi untuk mempertahankan aseptic dan
meminimalkan risiko kontaminasi. Namun, dalam beberapa situasi, dokter
dapat melakukan tindakan ini di tempat ridur pasien menggunakan teknik
aseptik. Kapanpun kateter digunakan, perawatan secara hati-hati dan observasi
terhadap perforasi usus sangat penting untuk meminimalkan terjadinya
komplikasi.
11. Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka seluruh
faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru. Transplantasi ginjal telah menjadi
terapi pilihan bagi mayoritas pasien dengan penyakit renal tahap akhir. Pasien
memilih transplantasi ginjal dengan berbagai alasan, seperti keinginan untuk
menghindari dialisis atau untuk memperbaiki perasaan sejahtera dan harapan
hidup untuk hidup secara normal. Selain itu, biaya transplantasi ginjal yang
sukses dibandingkan dialysis adalah sepertiganya. Transplantasi ginjal
melibatkan menanamkan ginjal dari donor hidup yang sesuai dan cocok bagi
pasien (mereka dengan antigen ABO dan HLA yang cocok) akan lebih baik
daripada transplan yang berasal dari donor kadaver. Nefrektomi terhadap
ginjal asli pasien dilakukan untuk transplantasi. Ginjal transplant diletakkan di
fosailiaka anterior sampai Krista iliaka pasien.
Pre-operatif
 Tujuan
Mengembalikan status metabolik pasien ke kadar normal sedekat mungkin.
 Persiapan
Pemeriksaan fisik lengkap, sampel jaringan, sampel darah dan skrining
antibodi untuk menentukan kecocokan jaringan dari donor dan resipien. Tes
diagnostik dan traktus urinarius bawah perlu diteliti untuk mengkaji fungsi
leher kandung kemih dan mendeteksi refluk ureteral. Pastikan pasien bebas
dari infeksi, koreksi jika ada penyakit gingiva dan karies gigi. Kaji
mekanisme koping, riwayat sosial dan sumber finansial. Riwayat psikiatrik
juga perlu dikaji.
 Intervensi
Penyuluhan preoperatif meliputi informasi higiene pulmoner pasca operatif,
penatalaksanaan nyeri, pembatasan diet, jalur intravena dan arteri, selang
dan ambulasi dini.
Post operatif
 Tujuan
Mepertahankan homeostasis sampai ginjal transplan berfungsi dengan baik.
Ginjal yang dapat berfungsi merupakan tanda prognosis yang
menggembirakan.
 Penatalasanaan
Terapi imunosupresif dan antisipasi rejeksi tandur.
 Intervensi
Mengkaji rejeksi dan infeksi, memantau fungsi urinarius dan mencegah
komplikasi seperti ulserasi GI dan perdarahan akibat steroid, kolonissi
jamur di traktus GI (mulut) dan kandung kemih akibat kortikosteroid dan
antibiotik, penyakit kardiovaskuler dan kemungkinan timbulnya tumor atau
malignansi

I. Komplikasi
1. Acute Kidney Injury (e.g., dehydration, dye, drugs)
2. Anemia
3. BP increases
4. Calcium absorption decreases
5. Drug toxicity
6. Dislipidemia
7. Heart failure/volume overload
8. Hiperkalemia
9. Hyperparathyroidism
10. Hyperphosphatemia
11. Left ventricular hypertrophy
12. Malnutrition potential (late)
13. Metabolik acidosis

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian primer
Pengkajian dilakukan secara cepat dan sistemik, antara lain:
1. Airway
a. Lidah jatuh kebelakang
b. Benda asing/darah pada rongga mulut
c. Adanya sekret
2. Breathing
a. Pasien sesak nafas dan cepat letih
b. Pernafasan Kusmaul
c. Dispnea
d. Nafas berbau amoniak
3. Circulation
a. TD meningkat
b. Nadi kuat
c. Disritmia
d. Adanya peningkatan JVP
e. Terdapat edema pada ekstremitas bahkan anasarka
f. Capillary refill > 3 detik
g. Akral dingin
h. Cenderung adanya perdarahan terutama pada lambung
4. Disability
Pemeriksaan neurologis  GCS menurun bahkan terjadi koma, Kelemahan
dan keletihan, Konfusi, Disorientasi, Kejang, Kelemahan pada tungkai
A : Allert  sadar penuh, respon bagus
V : Voice Respon  kesadaran menurun, berespon terhadap suara
P : Pain Respons  kesadaran menurun, tidak berespon terhadap suara,
berespon terhadap rangsangan nyeri
U : Unresponsive  kesadaran menurun, tidak berespon terhadap suara, tidak
bersespon terhadap nyeri

Pengkajian sekunder

Pemeriksaan sekunder dilakukan setelah memberikan pertolongan atau


penenganan pada pemeriksaan primer.

Pemeriksaan sekunder meliputi:

1. AMPLE : alergi, medication, past illness, last meal, event


2. Pemeriksaan seluruh tubuh : Head to toe
3. Pemeriksaan penunjang : lebih detail, evaluasi ulang

Keluhan Utama
Badan lemah, cepat lelah, nampak sakit, pucat keabu-abuan, kadang-kadang
disertai udema ekstremitas, napas terengah-engah.
Riwayat kesehatan
Faktor resiko (mengalami infeksi saluran nafas atas, infeksi kulit, infeksi
saluran kemih, hepatitis, riwayat penggunaan obat nefrotik, riwayat keluarga
dengan penyakit polikistik, keganasan, nefritis herediter)

Anamnesa
 Oliguria/ anuria 100 cc/ hari, infeksi, urine (leucosit, erytrosit, WBC, RBC)
 Cardiovaskuler: Oedema, hipertensi, tachicardi, aritmia, peningkatan kalium
 Kulit : pruritus, ekskortiasis, pucat kering.
 Elektrolit: Peningkatan kalium, peningkatan H+, PO, Ca, Mg, penurunan
HCO3
 Gastrointestinal : Halitosis, stomatitis, ginggivitis, pengecapan menurun,
nausea, ainoreksia, vomitus, hematomisis, melena, gadtritis, haus.
 Metabolik : Urea berlebihan, creatinin meningkat.
 Neurologis: Gangguan fungsi kognitif, tingkah laku, penurunan kesadaran,
perubahan fungsi motorik
 Oculair : Mata merah, gangguan penglihatan
 Reproduksi : Infertil, impoten, amenhorea, penurunan libido
 Respirasi : edema paru, hiperventilasi, pernafasan kusmaul
 Lain-lain : Penurunan berat badan

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin, diet
berlebih serta retensi cairan dan natrium.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual, muntah, pembatasan diet, perubahan membran mukosa.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder:
kompensasi melalui alkalosis respiratorik
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan penanganan.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji status cairan dengan 1. Untuk memantau cairan
berhubungan dengan penurunan keperawatan diharapkan menimbang BB perhari, yang masuk
haluaran urin, diet berlebih serta kelebihan volume cairan keseimbangan masukan dan 2. Pembatasan cairan akn
retensi cairan dan natrium. teratasi dengan kriteria hasil: haluaran, turgor kulit tanda- menentukan BB ideal,
1. Tidak ada edema tanda vital haluaran urin, dan respon
2. Keseimbangan antara input 2. Batasi masukan cairan terhadap terapi
dan output 3. Jelaskan pada pasien dan 3. Pemahaman meningkatkan
keluarga tentang pembatasan kerjasama pasien dan
cairan keluarga dalam pembatasan
4. Anjurkan pasien / ajari pasien cairan
untuk mencatat penggunaan 4. Untuk mengetahui
cairan terutama pemasukan keseimbangan input dan
dan haluaran output

2 Perubahan nutrisi kurang dari Setelah dilakukan tindakan 1. Awasi konsumsi 1. Mengidentifikasi
kebutuhan tubuh berhubungan keperawatan diharapkan makanan/cairan kekurangan nutrisi
dengan anoreksia, mual, muntah, Perubahan nutrisi kurang dari 2. Perhatikan adanya mual dan 2. Gejala yang menyertai
pembatasan diet, perubahan kebutuhan tubuh teratasi muntah akumulasi toksin endogen
membran mukosa dengan kriteria hasil: 3. Berikan makanan sedikit tapi yang dapat mengubah atau
1. Menunjukan BB stabil sering menurunkan pemasukan
4. Tingkatkan kunjungan oleh dan memerlukan intervensi
orang terdekat selama makan 3. Porsi lebih kecil dapat
5. Berikan perawatan mulut meningkatkan masukan
sering makanan
4. Memberikan pengalihan
dan meningkatkan aspek
sosial
5. Menurunkan
ketidaknyamanan stomatitis
oral dan rasa tak disukai
dalam mulut yang dapat
mempengaruhi masukan
makanan
3 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan 1. Auskultasi bunyi nafas, catat 1. Menyatakan adanya
berhubungan dengan keperawatan diharapkan adanya crakles pengumpulan sekret
hiperventilasi sekunder: gangguan pertukaran gas 2. Ajarkan pasien batuk efektif 2. Membersihkan jalan nafas
kompensasi melalui alkalosis teratasi dengan kriteria hasil: dan nafas dalam dan memudahkan aliran O2
respiratorik 1. Pola nafas normal/stabil 3. Atur posisi senyaman 3. Mencegah terjadinya sesak
mungkin nafas
4. Batasi untuk beraktivitas 4. Mengurangi beban kerja
dan mencegah terjadinya
sesak atau hipoksia

Identita :
DAFTAR PUSTAKA

Dharmeizar. 2011. Konsensus Nutrisi pada Penyakit Ginjal Kronik. Jakarta:


PERNEFRI.
Doenges, M.E., Moorhouse, M.F. & Geissler, A.C. 2000. Nursing Care Plans
Guidelines for Planning and Documentating Patient Care Ed.3, Alih
Bahasa, I Made Kariasa & Ni Made Sumarwati. Jakarta: EGC
Firmansyah, Adi. 2010. Usaha Memperlambat Perburukan Penyakit Ginjal
Kronik ke Penyakit Ginjal Stadium Akhir. Jakarta: PPDS Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kumar R. 2013. Dasar – dasar Patofisiologi Penyakit. Jakarta: Bina Rupa Aksara
Morton, dkk. 2011. Keperawatan kritis: pendekatan asuhan holistik. Jakarta:
EGC
Muttaqin, Arif & Sari, Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality
Initiative (K/DOQI) Advisory Board: K/DOQI clinical practice
guidelines for chronic kidney disease; evaluation, classification, and
stratification. Am J Kidney Dis Suppl 2002; 39; S1-S246
Nursalam. 2006. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: salemba Medika.
Price, A.Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Edisi 6. Jakarta: EGC
Rachmadi, dedi. 2011. Chronic kidney disease. Bandung: Pustaka UNPAD

Anda mungkin juga menyukai