Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan pondasi awal manusia untuk dapat berjalan dalam
kehidupan ini. Sejak awal manusia diciptakan, pendidikan telah menjadi bagian
dalam kehidupan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan. Menurut undang-
undang Sisdiknas BAB II pasal 3, tentang fungsi dan tujuan pendidkan Nasional,
yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Salah satu mata pelajaran yang menunjang ketersediaan sumber daya manusia
yang berkualitas adalah matematika. Matematika sebagai salah satu mata
pelajaran di sekolah dinilai cukup memegang peranan penting dalam membentuk
siswa menjadi berkualitas, karena matematika merupakan suatu sarana berpikir
untuk mengkaji sesuatu secara logis dan sistematis.

Menurut R. Soedjadi, Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan


eksak dan terorganisir secara sistematik. Dengan demikian belajar matematik
adalah belajar dengan konsep-konsep dan struktur-struktur dalam bahasan yang
belum dipelajari dan mencari hubungannya, supaya proses pembelajaran
matematika terjadi. Bahasan Matematika seharusnya tidak disajikan dalam bentuk
yang sudah tersusun secara terstuktur, melainkan peserta didik dapat terlibat aktif
dalam menemukan konsep. Mengaplikasikan konsep dan menyelesaikan masalah
matematika baik masalah yang disimulasikan oleh guru, maupun masalah yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ketika peserta didik diharapkan
dengan soal berbeda dengan soal yang sudah dicontohkan peserta didik tahu
bagaimana cara menyelesaikan. Sehingga peserta didik termotivasi untuk belajar
matematika dan peserta didik cenderung berlaku aktif selama pembelajaran.
NTCM (National Council of Teachers of Mathematics) (Sumarmo, 2010: 3)
membagi kemampuan berpikir matematik menjadi dua yaitu berpikir matematika
tingkat rendah (low order mathematical thinking atau low level mathematical
thinking) dan berpikir matematik tingkat tinggi (high order mathematical thinking
atau high level mathematical thinking). Adapun yang temasuk kemampuan
berpikir matematika tingkat tinggi yaitu pemecahan masalah matematik,
komunikasi matematik, penalaran matematik, dan koneksi matematik.

Kemampuan pemecahan masalah merupakan hal yang sangat penting, seperti


yang dikemukakan oleh Ruseffendi (2006: 80) bahwa “Pemecahan masalah
menjadi sentralnya pengajaran matematika”. Selain itu, Soedjadi (Udaya, 2007: 1)
menyatakan bahwa pembelajaran matematika diharapkan dapat ditumbuh-
kembangkan kemampuan-kemampuan yang lebih bermanfaat untuk mengatasi
masalah-masalah yang diperkirakan akan dihadapi peserta didik di masa depan,
kemampuan tersebut diantaranya adalah kemampuan memecahkan masalah.

Pemerintah juga memandang bahwa kemampuan pemecahan masalah dalam


matematika itu penting, hal ini dapat dilihat dari Standar Isi Mata Pelajaran
Matematika (Depdiknas, 2006), yaitu mata pelajaran matematika bertujuan agar
siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan


mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu tujuan yang ingin


dicapai dalam mata pelajaran matematika. Seperti tercantum dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 (Ardiyaningrum. M. 2013:
54), kemampuan pemecahan masalah meliputi memahami masalah, merancang
model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Sejalan dengan itu, menurut Polya (2002 : 27) pemecahan masalah memiliki
empat langkah pokok, yaitu : 1) memahami masalahnya, 2) menyusun rencana
penyelesaian, 3) melaksanakan rencana penyelesaian, dan 4) memeriksa kembali
penyelesaian yang telah dilaksanakan. NCTM (2000) (Husna, dkk. 20: 82)
mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan proses menerapkan
pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya pada situasi baru dan berbeda.
Selain itu NCTM juga mengungkapkan tujuan pengajaran pemecahan masalah
secara umun adalah untuk (1) membangun pengetahuan matematika baru, (2)
memecahkan masalah yang muncul dalam matematika dan di dalam konteks-
konteks lainnya, (3) menerapkan dan menyesuaikan bermacam strategi yang
sesuai untuk memecahkan permasalahan dan (4) memantau dan merefleksikan
proses dari pemecahan masalah matematika. Menurut Hamalik, (Angkotasan. N.
2014: 13), pemecahan masalah membutuhkan kreasi dan bukan pengulangan dari
respon-respon apabila situasi yang timbul sedemikian kompleksnya sehingga
inisiatif dan sintesis mental diperlukan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi.

Kemampuan pemecahan masalah matematika penting, namun kenyataannya


kemampuan pemecahan masalah matematika di Indonesia cenderung belum
sesuai harapan. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
Indonesia dapat dilihat dari survei Trend in International Mathematics and
Science Study (TIMSS) yang dilakukan oleh IEA setiap empat (4) tahun sekali.
Salah satu indikator kognitif yang dinilai adalah kemampuan pemecahan masalah
non rutin. Dalam survei TIMSS 2015, peringkat Indonesia pada skor matematika
menempati posisi 45 dari 50 negara. Kemampuan matematika Indonesia rendah
juga dapat dilihat dari survei 3 (tiga) tahunan Program for International Student
Assessment (PISA) tahun 2012. Rata-rata skor kemampuan matematika Indonesia
yaitu 375 di bawah rata-rata skor OECD sebesar 494 dan menempati posisi 64
dari 65 negara (OECD, 2014). Sementara itu, Indonesia menempati rangking 69
dari 76 negara dalam survei PISA tahun 2015.

Ketika peneliti berencana mengadakan studi pendahuluan, peneliti


berkonsultasi dengan salah satu guru mata pelajaran matematika SMP NEGERI 1
KOTA TERNATE. Hasil konsultasi menunjukan bahwa mata pelajaran yang bisa
peneliti teliti yaitu Persamaan Linear Satu Variabel

Berdasarkan hasil observasi berupa tes yang telah dilakukan peneliti pada
tanggal 15 Maret 2018 dengan sasaran peneliti yaitu SMP Negeri 1 Kota Ternate,
khususnya kelas IX-A. Berikut hasil tes Studi Pendahuluan Siswa :

Hasil Tes Studi Pendahuluan

23% Kemampuan Pemahaman


Konsep
Kemampuan Penalaran
matematis
62% 15%
kemampuan pemecahan
masalah matematis

Gambar 1
Diagram Hasil Tes Studi Pendahuluan Siswa kelas IX-A SMP Negeri 1 Kota
Ternate

Berdasarkan diagram hasil tes studi pendahuluan di atas diperoleh presentasi


hasil tes siswa-siswi yaitu sebagai berikut:
1. 15% dari 32 siswa atau sebanyak 5 orang yang belum mampu dalam
menyelesaikan soal dengan aspek kemampuan penalaran matematis
2. 23% dari 32 siswa atau sebanyak 8 orang yang belum mampu dalam
menyelesaikan soal dengan aspek kemampuan pemahaman konsep
3. 62% dari 32 siswa atau sebanyak 21 orang yang belum mampu dalam
menyelesaikan soal dengan aspek kemampuan pemecahan masalah
matematis

Diagram di atas menunjukan bahwa tingkat presentase kesulitan paling besar


yaitu 62%, yang menunjukan masih adanya kesulitan dalam kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa kelas IX A.

Berikut hasil kerja salah satu siswa dalam menyelesaikan soal cerita materi
persamaan linear satu variabel:

Gambar 2
Pekerjaan Salah Satu Siswa pada Tes Studi Pendahuluan Siswa kelas IX-A SMP
Negeri 1 Kota Ternate

Berdasarkan gambar hasil pekerjaaan salah satu siswa diatas nampak bahwa
siswa tersebut hanya menulis apa yang diketahui dan langsung menjawab tanpa
meguraikan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memperoleh jawaban.
Itu berarti, siswa tersebut belum mampu menyelesaikan butir soal yang mengacu
pada kemampuan pemecahan masalah matematis sesuai dengan langkah-langkah
yang sesuai. Hasil observasi peneliti terhadap siswa kelas XI-A SMP Negeri 1
menunjukkan bahwa masih kurangnya kemampuan pemecahan masalah
matematis pada siswa di kelas tersebut.

Menurut Herdian (2009) kesulitan yang dialami siswa dalam pembelajaran


matematika dikarenakan kurangnya pemahaman dan ketertarikan siswa pada
pelajaran matematika. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena adanya suatu
kondisi kelas yang pasif, dimana siswa kurang dilibatkan dalam pembelajaran,
serta sebagian siswa terlanjur menganggap bahwa matematika adalah pelajaran
yang sulit. Sehingga kecenderungan kelas menjadi tegang, siswa menjadi enggan
untuk belajar matematika. Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya kemampuan
yang dimiliki siswa dalam matematika, dan salah satunya adalah kemampuan
pemecahan masalah.

Berdasarkan hal tersebut maka Mansyur (2014) menyatakan bahwa guru


perlu menerapkan suatu model pembelajaran yang mampu meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Karena pada kenyataannya
model pembelajaran yang cenderung digunakan selama ini adalah model
pembelajaran konvensional. Dimana guru yang menerangkan materi dan konsep-
konsep matematika sementara siswa hanya mencatat dan mengerjakan beberapa
latihan soal, kemudian guru membahas dan begitu seterusnya. Pembelajaran
seperti ini cenderung monoton dan membuat siswa pasif.

Kemampuan pemecahan masalah dapat dicapai dengan berbagai cara, salah


satunya dengan mengubah model pembelajaran. Salah satu solusi yang peneliti
anggap mampu mengurai permasalahan yang terjadi yaitu dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif. Dalam pembelajaran kooperatif, peserta didik belajar
dalam kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama menggunakan
kemampuan sosial. Menurut (Zakaria, Chin, dan Daud, 2010: 5) Banyak peserta
didik yang menunjukan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan
penampilan, ingatan,sikap, pemahaman dan kemampuan sosial peserta didik.
Semakin banyak kesempatan yang diberikan untuk berdiskusi, memecahkan
masalah, menemukan solusi dari masalah dan bekerjasama, maka kemampuan
peserta didik dalam matematika akan meningkat selain dari pada itu model
pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan matematik peserta didik
dan sikap peserta didik terhadap pembelajaran matematika (Zakaria, Chin, dan
Daud, 2010: 7). Model pembelajaran kooperatif terdiri dari beberapa tipe, salah
satunya adalah tipe two stay two stray (TSTS).

Model pembelajaran tipe two stay two stray memberikan kesempatan kepada
siswa untuk berkomunikasi dalam mengungkapkan ide atau gagasan matematika
dengan cara membagikan hasil informasi disertai argumentasi dalam diskusi
intern kelompok maupun antar kelompok. Oleh karena itu, penggunaan model
pembelajaran koperatif tipe tipe two stay two stray dalam pembelajaran
matematika diharapkan dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti tertarik untuk


melakukan penelitian yang berhubungan dengan model pembelajaran yang dapat
membantu siswa dalam memecahkan masalah matematis. Penelitian ini berjudul
”Penerapan Model Two Stay Two Stray (TSTS) Untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Pada Materi Sistem
Persamaan Linear Satu Variabel”

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas kita dapat mengidentifikasi masalah masalah
sebagai berikut:
1. Pembelajaran matematika dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit
dikarenakan proses pembelajaran yang tidak menyenangkan, abstrak, tidak
terkait realitas dan cenderung konvensional.
2. Salah satu tujuan pembelajaran matematika yaitu siswa seharusnya memiliki
kemampuan memecahkan masalah yang meliputi memahami masalahnya,
menyusun rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, dan
memeriksa kembali penyelesaian yang telah dilaksanakan, namun
kenyataannya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas IX-A
SMP NEGERI 1 TERNATE masih rendah.
3. Guru seharusnya menggunakan model pembelajaran yang bervariasi dalam
proses pembelajaran agar dapat meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa, namun kenyataannya guru belum menggunakan
model pembelajaran yang bervariasi.
4. Model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) seharusnya
sudah diterapkan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa, namun kenyataannya model pembelajaran tersebut belum
diterapkan.
5. Soal-soal yang diberikan kepada siswa kelas IX-A SMP NEGERI 7
TERNATE merupakan materi yang telah diajarkan sebelumnya. Oleh
karena itu seharusnya siswa mampu mengerjakan soal tersebut, sebagai
kemampuan awal untuk materi Persamaan Linear Satu Variabel, namun
kenyataannya siswa masih kesulitan dalam mengerjakan soal-soal tersebut.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penulis dalam hal ini
membatasi permasalahan pada:
1. Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran
kooperatif tipe Two Stay Two Stray
2. Kemampuan yang akan diteliti adalah kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa
3. Materi yang dipakai pada saat penelitian adalah Materi Persamaan Linier
Satu Variabel.
D. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two
Stray?
2. Bagaimana peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif Two Stay Two Stray?
E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa

setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray

2. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah

diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray

F. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan meningkatkan wawasan dan

pengetahuan tentang penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two

Stray dalam pembelajaran matematika khususnya materi Persamaan Linier Satu

Variabel, serta menjadi bekal bagi masa depan sebagai seorang calon pendidik.

2. Bagi Siswa

Siswa yang dijadikan sebagai subjek penelitian akan terbantu dalam

memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya.

3. Bagi Guru

Sebagai masukan akan pilihan model pembelajaran yang dapat mengembangkan

kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

4. Bagi Sekolah

Jika hasil penelitian ini menunjukkan model pembelajaran kooperatif Two Stay

Two Stray dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa,


maka sekolah dapat merekomendasikan metode pembelajaran ini pada materi

matematika yang lainnya.

Anda mungkin juga menyukai