Anda di halaman 1dari 30

PENGARUH KOMPRES HANGAT DAN HUBUNGANNYA

DENGAN ANGKA ANKEL BRAKIAL INDEX TERHADAP


GEJALA KRAM PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI
RUANG HEMODIALISA RS PERTAMINA PALEMBANG

Oleh
ARIF HIDAYAT

PO.7120,4,14,006

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLTEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI D-IV KEPERAWATAN
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kram pada otot umumya berakitan dengan penyakit arteri perifer pada pasien hipertensi
dimana nilai angkel brakial index Hubungan Hipertensi dengan Penyakit Arteri Perifer
berdasarkan hasil penelitian Tessa Thendria,Ivan Lumban Toruan, dan Diana Natalia
“Hubungan antara Hipertensi dan Penyakit Arteri Perifer Berdasarkan Nilai Ankle-Brachial
Index” Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Departemen Penyakit Dalam, di
Rumah Sakit Umum Dokter Sudarso Pontianak Departemen Parasitologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura. Bahwa Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan
penyakit vaskular yang memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pasien dengan PAP
memiliki resiko tinggi menderita infark miokard, stroke iskemik dan kematian. Hipertensi
merupakan salah satu faktor risiko,berdasarkan nilai ankle-brachial index (ABI).

Kram juga bisa terjadi pada penderita Diabetes Militus. Diabetes adalah penyakit yang
dapat menyebabkan berbagai komplikasi akibat gula darah tinggi. Kram pada penderita
diabetes dapat terjadi karena gula darah tinggi menyebabkan buang air kecil yang berlebihan
yg berakhir dengan dehidrasi.

Buang air kecil yang berlebihan menyebabkan penderita diabetes kehilangan banyak
kalsium. Tingkat kalsium yang rendah dapat menyebabkan kram otot kaki. Ini juga dapat
diuji melalui tes darah. Otot kram pada kaki penderita diabetes juga terkait dengan tingkat
rendah dari glukosa darah.

Dalam kasus gula darah rendah (gula darah < 3.9 mmol / l), otot rangsangan membran sel
diintensifkan sehingga memberikan kontribusi untuk kram. Di sisi lain, ketika penderita
diabetes mengalami gula darah tinggi mendadak dapat mengganggu membran sel otot,
dengan demikian juga menimbulkan kram.

Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan penyakit yang terjadi setelah berbagai macam
penyakit yang merusak masa nefron ginjal sampai pada titik keduanya tidak mampu untuk
menjalankan fungsi regulatorik dan ekstetoriknya untuk mempertahankan homeostatis
(Lukman et al., 2013).

Hasil penelitian “FAKTOR RISIKO GAGAL GINJAL KRONIK DI UNIT HEMODIALISIS


RSUD WATES KULON PROGO” riwayat penyakit hipertensi dan riwayat penyakit DM
berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik dengan besar odds ratio masing-masing yaitu
OR=4,044, p<0,05, Cl=1,977-8,271 dan OR=5,395, p<0,05, Cl=2,254-12,916

Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan
beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dializer (NKF 2006). Dengan adanya
sebagian darah pasien yang keluar dari tubuh dan beredar dalam sebuah mesin
(extracorporeal) bisa menyebabkan sirkulasi darah ke otot kurang baik sehingga dapat
mengakibatkan kram otot.
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) alat dialisa juga dapat dipergunakan untuk
memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui
ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma
(dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Adanya penarikan cairan
(ultrafiltrasi) selama hemodialisa menyebabkan dehidrasi atau kekurangan cairan yang
dapat menyebabkan terjadinya kram otot.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi kram otot yaitu dengan cara
kecilkan kecepatan aliran darah, massage pada bagian yang kram, dan kompres hangat.

Dari masalah yang ada diatas peniliti tertarik untuk meneliti Pengaruh Kompres
Hangat dan Hubungannya dengan angka Ankel Brakial Index terhadap gejala kram pada
pasien Gagal Ginjal Kronik di Ruang Hemodialisa RS Pertamina Palembang.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana pengaruh kompres hangat terhadap kram otot dan kaitannya dengan angka angkel
brakial index?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum
Tujuan Umum Penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh kompres hangat terhadap
kram otot pada pasien gagal ginjal dan hubungannya dengan ankle brakial index ?

b. Tujuan Khusus
1) Mengetahui karakteristik penderita gagal ginjal kronik terkait penyakit hipertensi
dan dabetes militus
2) Megetahui rata – rata ankle brakial indek sesudah kompres hangat dan sesudah
hemodialisa pada penderita gagal ginjal kronik.
3) Mengetahui respon pasien terhadap kompres hangat pada kram otot pada saat
hemodialisa

1.4 Manfaat Penelitan

a. Bagi masyarakat
Membantu masyarakat menemukan solusi penghilang kram dengan cara kompres
hangat yang benar dan aman.

b. Bagi Institusi Poltekkes Kemenkes Palembang Prodi D.IV Keperawatan


Sumbang saran dari penilitian dan karya mahasiswa untuk pengembangan keilmuan
di bidang (Keperawatan Medikal Bedah).

c. Bagi mahasiswa Poltekkes Kemenkes Palembang


Untuk Memotivasi dan menambah minat mahasiswa dalam penelitian terkait dengan
penyakit gagal ginjal kronik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang

beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya

berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang

ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang

memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal.

Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua ginjal,

akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.

2.2 KRITERIA
Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural
atau fungsional, dengan atau tanpa penuruna laju filtrasi glomerulus (LFG)
dengan manifestasi:
- - Kelainan patologis
- - Terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam tes pencitraan
(Imaging
- Test).
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/mnt/1,73m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama

atau lebih dari 60ml/mnt/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

2.3 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, data tahun 1995–1999 menyatakan insidens penyakit ginjal

kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat

sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat

1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya,

insiden ini diperkirakan sekitar 40–60 kasus perjuta penduduk per tahun.
2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu, atas dasar derajat

penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas

dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kokcroft-Gault sebagai

berikut:

(140-Umur) X Berat Badan *


LFG (ml/mnt/1,73m2) =
72 X Kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0.85\

Klasifikasi tersebut tampak pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit


LFG
Derajat Penjelasan
(ml/mnt/1,73m2)
1 Kerusakkan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥90
2 Kerusakkan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3 Kerusakkan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59
4 Kerusakkan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal Ginjal <15 atau dialisa
Klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi, tampak pada Tabel 3

Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiolgi


Penyakit Tipe Mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non-diabetes - Penyakit ginjal glomerular (penyakit
autoimun, infeksi sistemik obat,
neoplasia)
- Penyakit vaskuler (penyakit pembuluh
darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
- Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis
kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
- Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakiit pada transplantasi - Rejeksi kronik
- Keracunan obat (sikloporin/ takrolimus)
- Penyakit rekuren (glomerular)
- Transplant glomerulopathy

2.5 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik tergantung dari etiologinya namun dalam

perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa

ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional nefron yang tersisa sebagai

upaya kompensasi, yang diperantarai moleku vasoaktif seperti sitokin dan growth factor.

Hal ini menyebabkan hiperfiltrasi, yang diikutioleh penekanan tekanan kapiler dan aliran

darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuati oleh proses

maladaptasi berupa sclerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti

dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun peyakit yang endasarinya

tidak ada lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron

intrarenal, ikut memberikan iku memberikan kontribusi terhadap terjadinya

hiperinfiltrasi, sclerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivitaas jangka panjang aksis

renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti

transforming growth factr β ( TGF-β). Beberapa hal ini juga dianggap berperan terhadap

terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,

hiperglikemia, dyslipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya

sclerosis dan fibrinosis glomerulus maupun tubulointestinal.


Pada stadium dini penyakit ginjal kronik kehilangan daya cadang ginjal (renal

reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat.

Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang

progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Sampai

pada sebesar 60%, pasien belum merasakan keluhan (asimtomatik), tetapi sudah terjadi

peningkatan kadar kreatinin dan urea serum. Sampai pada kadar LFG sebesar 30%,

mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan

berkurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, paien

memperlihatkan gejala da tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan

darah, gangguan metabolism fosfordan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain

sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas dan

infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbanganair seperti hipo atau

hypervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada

LFG dibawah 15% akan terjadi gejal dan komplikasi yag serius, dan passion sudah

memerlukan pengganti ginjal antara lain yaitu dialysis atau transplantasi ginjal. Pada

stadium ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

2.6 ETIOLOGI
Etiologi terjadinya gagal ginjal kronik sangat bevariasi antar satu negara dengan

negara lain. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) pada tahun 2000 mencatat

penyebab gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Indonesia, seperti pada

Tabel 4.

Tabel 4. Penyebab Gagal Ginjal yang menjalani Hemodialisa di Indonesia


Th. 2000
Penyebab Insidensi
Glomerulonefritis 46.39%
Diabetes Mellitus 18.65%
Obstruksi dan Infeksi 12.85%
Hipertensi 8.46%
Sebab lain 18.65%
2.7 PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a) sesuai dengan penyakit

yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,

hipertensi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya. b) sindrom uremia,

yang terdiri atas lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume

cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-

kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,

payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,

khlorida).

Gambaran Laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a) sesuai dengan penyakit

yang mendasarinya. b) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan

kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-

Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi

ginjal. c) kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan

kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hipenatremia, asidosis metabolik, d) kelainan

urinalisis meliputi, proteinuria, hematuria, leukosituria, cast, isostenuria.

Gambaran Radiologi

Pemeriksaan radiologi penyakit ginjal kronik meliputi: a) foto polos abdomen, bisa

tampak batu radio-opak, b) pielografi interavena, jarang dikerjakan, karena kontras

sering tidak bisa bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya

pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c)

pielografi antegrad atau retrogard dilakukan sesuai dengan indikasi, d) Ultrasonografi

ginjal bisa memperlihatkan ukuran mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis
atau batu ginjal, atau renografi, kista, massa, kalsifikasi. e) pemeriksaan ginjal atau

renografi dikerjakan bila ada indikasi.

Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan histopatogi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal

yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.

Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,

prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal

kontraindikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil

(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik,

gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.

2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:

a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal

d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

f. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Perencanan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan

derajatnya, dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 6. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya


Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana Tatalaksana
1 ≥ 90 - Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi pemburukan
(progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskular.
2 60 – 89 - Menghambat pemburukan
(progression) fungsi ginjal
3 30 – 59 - Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 – 29 - Persiapan untuk terapi pengganti
ginjal
5 ≤ 15 - Terapi pengganti ginjal

Terapi Konservatif

Perubahan-perubahan faal ginjal LFG bersifat individual untuk setiap pasien gagal ginjal

kronik (GGK), lama terapi konsevatif bervariasi dari bulan sampai tahun. Algoritme

program terapi GGK seperti terungkap pada Gambar 1.

Tujuan terapi konservatif, yaitu:

a. Mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif

b. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia

c. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal

d. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit

Beberapa prinsip terapi konservatif:

1. Mencegah memburuknya faal ginjal (LFG)

 Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik

 Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan

hipotensi

 Hindari gangguan keseimbangan elektrolit

 Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani

 Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi

 Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis yang kuat

 Hindari pemeriksaan radiologi dengan media kontras tanpa indikasi medik kuat.
2. Program memperlambat penurunan progresi faal ginjal

 Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular

 Kendalikan terapi ISK

 Diet protein yang proporsional

 Kendalikan hiperfosfatemia

 Terapi hiperurikemiabila asam urat serum > 10 mg%

 Terapi keadaan asidosis metabolik

 Kendalikan keadaan hiperglikemia

3. Terapi alleviative gejala azotemia

 Pembatasan konsumsi protein hewani

 Terapi gatal-gatal

 Terapi keluhan gastrointestinal

 Terapi gejala neuromuskuler

 Terapi kelainan tulang dan sendi

 Terapi anemia

 Terapi setiap infeksi (bakteri, virus HBV atau HCV)


Terapi Simtomatik

Terapi simtomatik yang sering diberikan pada gagal ginjal kronik (GGK)

1. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum K+ (hiperkalemia)

a. Suplemen alkali

 Larutan shol

Larutan ini terdiri atas 140 gram sitrat, 98 gram natrium sitrat dilarutkan dalam

1 liter air (1 mg – 1 mEq)

 Kalsium karbonat 5 gram per hari

b. Terapi alkali

Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena, bila pH ≤ 7,35

atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L

2. Anemia

a. Anemia normokrom normositer

Anemia ini berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon

eritropoietin (ESF = erythropoietic stimulating factor).

Anemia normokrom normositer ini refrakter terhadap obat hematinik

1) Recombinant human erythropoietic (r-HuEPO) merupakan obat pilihan utama.

R/ Eprex 30 – 50 U per kgBB

2) Alternatif lain

 Hormon androgen

 Preparat cobalt

b. Anemia hemolisis

Anemia hemolisis berhubungan dengan toksin azotemia “Guadino-succinic acid”.

Hemodialisis (HD) reguler atau CAPD merupakan terapi pilihan utama.

c. Anemia defisiensi besi (Fe)


Defisiensi Fe pada GGK berhubungan dengan perdarahan saluran cerna (ulserasi)

dan kehilangan besi pada dializer (terapi HD). Selama terapi zat besi harus

dipantau konsentrasi serum ferritin dan saturasi transferin.

Transfusi darah (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif , murah, dan

efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati , dapat menyebabkan

kematian mendadak.

Indikasi transfusi PRC:

a. PCV (HCT) ≤ 20 %

b. Pasien dengan keluhan-keluhan:

 High output heart failure

 Angina pectoris

 Gejala umum anemia

3. Keluhan gastrointestinal

a. Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai

pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini sering merupakan keluhan pertama (chief

complaint) dari GGK. Beberapa tindakan penting:

 Program terapi dialisis adekuat

 Obat-obatan: Prochlorperazine atau Trimethobenzamine

b. Ulserasi mukosa

Ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Pilihan tindakan:

 Program terapi dialisis adekuat (terapi HD khusus dengan bebas atau tanpa

heparin)

 Medikamentosa:

- Phenergan 25 mg P.O atau I.V

- Metoclopramide 5 mg P.O
- Cyproheptadine 4 mg P.O

4. Kelainan kulit

a. Pruritus (uremic itching)

 Mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme

 Terapi lokal: topikal emollient (triple lanolin)

 Phototherapy dengan sinar UV-B 2 kali perminggu selama 2 – 6 minggu.

Kalau perlu sinar dapat diulang.

 Medikamentosa:

 Diphynhydraminase 25 – 50 mg P.O (bid)

 Hydroxyzine 10 mg P.O (tid)

 Cholestyramine 5 gram P.O (bid)

 Oral activated charcoal 6 gram/hari.

Subtotal parathyroidectomy untuk gatal-gatal hebat yang resisten terhadap

medikamentosa.

b. Easy Bruishing

Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan dengan

retensi toksin Guadinosuccinic acid (GSA) dan gangguan faal trombosit. Pilihan

tindakan: Dialisis (HD dan CAPD) merupakan satu-satunya pilihan terapi.

c. Edema

Edema pada GGK terutama berhubungan dengan underlying renal disease.

Glomerulopati primer dan sekunder selalu disertai retensi Na+ dan air. Terapi

pilihan: diuretika dan ultrafiltrasi.

5. Kelainan neuromuskuler

Keluhan-keluhan yang berhubungan dengan kelainan neuromuskuler


 Restless

 Parastesia

 Neuropati perifer

 Keram otot

 Insomnia

 Kolvulsi

Beberapa pilihan terapi:

a. Terapi HD reguler yang adekuat

b. Medikamentosa: diazepam, sedatif

c. Operasi subtotal parathyroidectomy

6. Hipertensi

Bentuk hipertensi pada gagal ginjal kronik (terminal):

a. Volume dependent hypertension

Bentuk hipertensi berhubungan dengan underlying renal disease (glomerulopati).

Program pilihan terapi:

 Restriksi garam dapur < 3 gram per hari

 Diuretik furosemide

 Ultrafiltrasi (pasien GGT)

 Obat antihipertensi: antagonis kalsium non-dihidropiridin, vasodilator

langsung, receptor AT1 blocker, doxazosine, beta-blocker, penghambat ACE

(hati-hati bahaya hiperkalemia)

b. Tipe vasoconstrictor

Program terapi: restriksi garam dapur ≤ 3 gram / hari, diuresis dan ultrafiltrasi,

medikamentosa.

c. Tipe kombinasi
Program terapi hampir sama.

7. Kelainan sistem kardiovaskuler

a) Penyakit jantung kongestif, pilihan tindakan:

a. Forced diuresis

b. Ultrafiltrasi diikuti dengan terapi dialisis

b) Penyakit jantung koroner

Penyakit jantung koroner dengan faktor predisposisi:

a. Diabetes mellitus (nefropati diabetik)

b. Hipertensi (penyakit jantung hipertensif)

c. Dislipidemia (tipe IV hiperlipoproteinemia)

Pilihan tindakan: hati-hati penghambat ACE, kalsium antagonis, antiplatelet

agents

c) Gangguan irama jantung

Sebagai akibat dari hiperkalemia merupakan keadaan darurat medik. Gangguan

irama jantung yang sering ditemukan: total AV block dan ventricular tachicardi

Pilihan tindakan:

a. Dialisis (hemodialisa) merupakan pilihan utama hemodialisis (HD) dengan

larutan dialisat bebas K+ (free potassium) efektif untuk mengendalikan

hiperkalemia.

b. Medikamentosa

Indikasi: tujuan profilaktik dan hiperkalemia ringan (sedang)

8. Kelainan endokrin

Hiperplasia kelenjar paratiroid dan kenaikan konsentrasi PTH dengan gejala:

 Osteodistrofi renal

 Metastatic calsification: vaskuler; red eye syndrome


 Pruritus

 Anemia

 Gangguan neurologis dan seksual

Pilihan tindakan:

a. Pengikat fosfat

b. Takaran tinggi pengikat kalsium

a. Kalsium karbonat 5 gram per hari

b. Kalsium asetat 7,9 gram per hari

c. Kalsium sitrat 8,3 gram per hari

c. Analog sintetik vit D

a. 1 α-hydroxycholecalciferol

b. 1 α 2,5-dihydroxycholecalciferol

d. Paratiroidektomi.

Indikasi: adenoma, terapi medikamentosa gagal

9. Gambaran klinik akumulasi middle MW molecules

Gambaran klinik akumulasi middle wave molecules

 Neuropati perifer

 Perikarditis

 Pleuritis dan uremic lung

 Keluhan saluran cerna persisten

Pilihan tindakan:

Dialisis (dialisis peritoneal) dan high-flux hemodialisis merupakan satu-satunya

pilihan terapi/tindakan.

10. Masalah infeksi


Infeksi saluran kemih (ISK) akut sering tanpa keluhan. Menurut De Wardener (1986)

memburuknya faal ginjal yang tidak dapat diterangkan harus dicurigai ISK

(pielonefritis) sebagai sebabnya. Oleh sebab itu, CFU per ml harus rutin untuk setiap

pasien GGK. Infeksi diluar ginjal (extrarenal) yang harus diwaspadai karena

merupakan penyebab kenaikan morbiditas dan mortaliti:

a. Infeksi saluran nafas: pneumonia/bronkhopneumonia, tuberkulosis paru

atau TBC disseminata

b. Hepatitis B virus

Petunjuk untuk pemberian anibiotika:

a. Hindari antibiotika yang bersifat nefrotoksik

b. Perhatikan golongan antibiotika yang memerlukan takaran penyesuaian

c. Eleminasi obat dari tubuh dalam bentuk: utuh (unchanged), bentuk metabolit

d. Sifat antibiotik: dialyzable/undialyzable

Terapi Pengganti Ginjal

Masa kini hanya ada 2 pilihan untuk gagal ginjal terminal (GGT).

1. Dialisis :

o Hemodialisis (HD)

o Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CPAD)

2. Transplantasi ginjal

1. Hemodialisis

Indikasi inisiasi terapi dialisis

1. Indikasi absolut

a. Pericarditis

b. Ensefalopati/neuropati azotemia

c. Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik

d. Hipertensi refrakter
e. Muntah persisten

f. BUN > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg%

2. Indikasi elektif

a. LFG antara 5 dan 8 ml/m/1,73 m2. Mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.

2. Dialisis peritoneal

Indikasi medik CAPD sebagai berikut:

a. Pasien anak-anak dan orang tua, umur lebih dari 65 tahun

b. Pasien-pasien yang telah menderita penyakit sisitem kardiovaskuler , misal infark

miokard atau iskemi koroner.

c. Pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan

hemodialisis.

d. Kesulitan pembuatan AV shunting

e. Pasien dengan stroke

f. Pasien GGT dengan resiual urin masih cukup

g. Pasien neuropati diabetik disertai komorbiditi dan komortaliti

Indikasi non-medik:

a. Keinginan pasien sendiri

b. Tingkat intelektual tinggi untuk melaksanakan sendiri (mandiri)

c. Di daerah yang jauh dari pusat ginjal

2.8 Ankel Brakial Index


ABI (ankle brachial index test) merupakan alat yang efisien untuk
mendokumentasikan secara objektif terhadap adanya penyakit arteri perifer pada
ekstremitas bawah. Ini merupakan penilaian yang sederhana, dapat direproduksi, dan
pemeriksaan yang cukup terjangkau yang dapat digunakan untuk mendeteksi stenosis
arteri ekstremitas bawah dalam perawatan primer, serta bisa digunakan untuk
mengidentifikasi pasien yang memiliki resiko tinggi untuk cedera arteri ekstremitas
bawah. ABI kurang dari 0,90 telah terbukti memilki sensivitas 90% dan spesifitas
98% untuk mendeteksi stenosis ekstremitas bawah yang lebih besar dari 50%. Dalam
pengaturan trauma, ABI kurang dari 0,90 telah terbukti memiliki sensivitas lebih dari
87% & spesifitas melebihi 97% untuk mengidentifikasi cedera arteri ekstremitas
bawah.

2.8.1 Indikasi
Dalam pengaturan perawatan primer, ABI berguna dalam 2 pengaturan berikut:

1. Pada pasien yang bergejala : untuk mendiagnosa PAD (peripheral artery disease)
2. Pada pasien asimptomatik : untuk menilai resiko vaskuler pada PAD

Dalam pengaturan darurat atau trauma, ABI berguna untuk evaluasi pasien yang
berada pada peningkatan resiko untuk cedera arteri ekstremitas bawah sebagai berikut:

ABI kurang dari 0,90 menunjukkan kebutuhan untuk pencitraan pembuluh darah lebih
lanjut: angiografi pada pasien yang tidak stabil. ABI lebih besar dari 0,90 mengurangi
kemungkinan cedera arteri, dengan demikian pasien dapat diamati dengan penilaian ABI
serial atau mungkin menjalani studi vascular secara tertunda.

2.8.2 Prosedur

1. Peralatan

Peralatan yang diperlukan untuk pengukuran indeks ankle brachial adalah


sebagai berikut:

a. Manset tekanan darah dengan ukuran yang tepat untuk ekstremitas atas dan
bawah dengan spigmomanometer yang bekerja
b. Sebuah perangkat Doppler untuk mendeteksi aliran
c. USG transmisi gel
d. Meja pemeriksaan
2. Persiapan pasien

Tidak ada anestesi dianjurkan. Setiap bentuk obat penenang atau anastesi dapat
mempengaruhi pengukuran tekanan darah dan dengan demikian mengurangi akurasi
dari ABI
PROSEDUR PENGUKURAN ABPI

1. Tempatkan pasien dalam posisi terlentang, dengan lengan dan kaki pada tingkat
yang sama seperti jantung, selama minimal 10 menit sebelum pengukuran
2. Pasang manset tensimeter di lengan atas dan tempatkan probe vascular Doppler
ultrasound diatas arteri brachialis dengan sudut 45 derajat.
3. Palpasi nadi radialis kemudian pompa manset hingga 20 mmHg diatas tekanan darah
sistolik palpasi.
4. Kempiskan manset, perhatikan suara pertama yang dideteksi oleh probe hasilnya
merupakan tekanan darah systolic brachialis.
5. Ulangi pada lengan yang lain.
6. Pasang manset tensimeter di pergelangan kaki dan tempatkan probe vascular Doppler
ultrasound diatas arteri dorsalis pedis atau arteri tibilias dengan sudut 45 derajat.
7. Palpasi nadi dorsalis pedis kemudian pompa manset hingga 20 mmHg diatas tekanan
darah sistolik palpasi.
8. Kempiskan manset, perhatikan suara pertama yang dideteksi oleh probe hasilnya
merupakan tekanan darah systolic ankle.
9. Ulangi pada kaki yang lain.
10. Pilih tekanan darah systolic brachialis tertinggi (diantara lengan kanan dan kiri) dan
tekanan darah systolic ankle teritnggi (diantara kaki kanan dan kaki kiri).

Nilai ABPI = Tekanan darah sistolik brachialis/ Tekanan darah sistolik ankle

Interpretasi
Nilai yang berbeda diperoleh untuk indeks ankle - brachial ( ABI ) diinterpretasikan
sebagai berikut :

0,00-0,40 : penyakit arteri perifer parah ( PAD ) cukup untuk menyebabkan rasa
sakit atau beristirahat gangrene
0,41-0,90 : PAD cukup untuk menyebabkan klaudikasio
0,91-1,30 : pembuluh normal
> 1,30 : Noncompressible , kapal sangat kalsifikasi

Pasien dengan ABI kurang dari 0,90 memiliki risiko lebih tinggi penyakit arteri
koroner , stroke , dan kematian dan oleh karena itu harus dirujuk ke laboratorium
vaskular terpercaya untuk pengujian lebih lanjut . Pengujian tersebut dapat mencakup
computed tomography ( CT ) , magnetic resonance imaging ( MRI ) , atau angiografi
konvensional , yang semuanya melibatkan menyuntikkan bahan kontras untuk menilai
aliran arteri.

ABI dari 0,91-0,99 dianggap batas . Pasien mungkin asimtomatik pada saat istirahat
tetapi mungkin mengalami gejala yang berkaitan dengan aliran pembuluh darah yang
terganggu ketika ambulating . Tes latihan dapat membantu mengevaluasi pasien yang
memiliki hasil ABI batas .

2.8.3 Teknik

ABI dilakukan dengan mengukur tekanan darah sistolik dari kedua arteri
brakialis dan dari kedua dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior setelah pasien telah
beristirahat dalam posisi terlentang selama 10 menit . Tekanan sistolik dicatat dengan
handheld 5 - atau 10 - MHz Doppler instrumen . Biasanya tekanan darah manset
standar dapat digunakan di pergelangan kaki . Seperti tekanan lengan , pembacaan
tekanan paling akurat diperoleh bila manset tekanan darah berukuran tepat untuk betis
yang lebih rendah pasien ( tepat di atas pergelangan kaki ) . Disarankan untuk memulai
dengan lengan kanan , kemudian kaki kanan , maka kaki kiri , dan akhirnya lengan kiri
, seperti tekanan darah dapat melayang selama ujian , dan dua tekanan lengan pada
awal dan akhir ujian memberikan untuk beberapa kontrol kualitas .

1. Mengukur tekanan brakialis :

Pasien harus dalam posisi terlentang . Tempatkan manset tekanan darah di lengan
, dengan tungkai pada tingkat jantung . Tempatkan gel USG di fossa antecubital atas
pulsa brakialis pasien . Tempatkan transduser dari Doppler genggam pada gel , dan
posisi transducer untuk memaksimalkan intensitas sinyal . Mengembang manset untuk
sekitar 20 mmHg di atas tekanan darah sistolik yang diharapkan pasien . Sinyal
Doppler harus menghilang . Lalu perlahan-lahan menurunkan manset , sekitar 1
mmHg / detik . Ketika sinyal Doppler kembali muncul - , tekanan manset sama dengan
tekanan sistolik brakialis . Catat tekanan sistolik brakialis .

2. Mengukur tekanan pergelangan kaki :

Tempatkan manset segera proksimal malleoli tersebut . Tempat ultrasound gel


pada kulit yang melapisi dorsalis pedis ( DP ) dan tibialis posterior ( PT ) arteri di kaki
. Sinyal Doppler DP sering bisa ditemukan sedikit lateral garis tengah dorsum kaki .
Menggunakan probe Doppler genggam standar dan gel USG , mencari sinyal dari DP .
Perlahan-lahan bergerak Doppler sampai sinyal terkuat terdengar . Untuk mengukur
tekanan sistolik pada arteri DP , mengembang manset sampai Anda tidak lagi
mendengar sinyal . Lalu perlahan-lahan mengempis menggunakan teknik yang sama
yang digunakan di lengan sampai sinyal Doppler kembali muncul . Catat pengukuran .
Selanjutnya, mengukur tekanan sistolik arteri PT . Sinyal PT terdeteksi posterior
maleolus medial . Sekali lagi , dengan menggunakan Doppler dengan ultrasound gel ,
mencari sinyal , dan mengikuti proses yang dijelaskan di atas untuk mengukur tekanan
sistolik PT . Ulangi kedua pengukuran pada kaki yang berlawanan

2.8.3 indikasi :
Menegakkan diagnosis penyakit arteri pada pasien

1. klaudikasio intermiten. Lebih dari 70 tahun.


2. Lebih dari 50 tahun dengan riwayat penggunaan tembakau
atau diabetes.
3. Menentukan darah arteri yang memadai fl ow di ekstremitas bawah
sebelum terapi kompresi, atau luka
debridement:
2.9 Kerangka Teori

Penderita Gagal Gangguan Kram Penurunan


Ginjal Kronik Otot Intensitas Kram

1. Relaksasi napas dalam


(Novirizki, 2009)

2. Kompres hangat
(Hendro,2012)

3. Hubungan
Penyakit Arteri Perifer
Terhadap Hipertensi
(Thendria,Ivan Lumban
Toruan, dan Diana
Natalia)
4. Hubungan Penyakit
Diabetes Militus
Tehadap Hipertensi

Kompres Hangat dan pengukuran


ankle brakial index

Pemberian treatmen pada bagian


tungkai kaki yang sering terjadi
kram
BAB III

KERANGKA KONSEP DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Pre test Post test

Pengukura Purposive Kompres Hangat Pengukura


n Ankel Sampel n Ankel
Brakial Brakial
Index Pada saat Index
hemoialisa
3.2 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara ukur dan Hasil ukur Skala
Operasional Alat ukur

Angkel Sebelum dan Pengukuran dan hasil ukur dapat Numerik


Brakial sesudah dilakukan Wawancara dikategorikan
Index dengan dengan klien dengan angka
menggunakan Angkel Brakial
Kompres Hangat Index

3.3 Hipotesis
Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis penelitian (H0) yaitu,
Tidak ada pengaruh pemberian kompres hangat, terhadap gejala kram dan kaitannya
dengan ankle brakial index
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif
adalah pendekatan ilmiah yang memandang kejadian nyata dapat dikategorikan
teramati, konkrit, terukur, hubungan antar variabel bersifat sebab akibat dimana data
penelitian berupa angka dan analisis penelitian menggunakan statistik. Penelitian
kuantitatif juga memiliki sifat mengukur tingkat kejadian, membuktikan sesuatu
(apakah ada pengaruh, hubungan dan perbedaan faktor yang dominan) tindakan serta
memprediksi suatu variabel berdasarkan variabel yang lain (Sugiyono, 2008)
Penelitian kuantitatif ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian
parem pada nyeri rematik. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pre-
eksperiment dengan design penelitian pre-test post-test one control group design.

4.2 Populasi dan Sampel


Populasi penelitian ini adalah semua responden yeng sedang menjalani
hemodialisa di RS Umum Pusat Mohammad Hoesin Palembang. Pengembilan sample
menggunakan Purposive sampling.
Menurut Sugiyono (2013:218-219) purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu.Pemilihan sekelompok
subjek dalam purposive sampling didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang
mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui
sebelumnya, dengan kata lain unit sampel yang dihubungi disesuaikan dengan kriteria-
kriteria tertentu yang diterapkan berdasarkan tujuan penelitian
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian sederhana
yang menggunakan kelompok perlakuan dengan menggunakan pre-test post test one
control group design. Jumlah anggota sampel antara 10 sampai dengan 20 sampel
(Sugiyono, 2009)
4.3 Pengumpulan Data
Rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Pre test Perlakuan Post test

Kelompok Perlakuan 01 X1 02

Keterangan :

O1 : nilai ankle brakial index

X1 : perlakuan berupa pemberian kompres hangat

O2 :nilai ankel brakial index

Adapun kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dalam penelitian ini:

a. Kriteria inklusi

a) Responden Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang MenjalaninTerpi Hemodialisa

b) Umur > 40 tahun

c) Bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent

b. Kriteria eksklusi

a) Pasien yang mengalami gangguan jiwa

b) Pasien yang mengalami gangguan pendengaran

4.4 Teknik Analisis Data


Jenis uji statistik yang digunakan untuk mengetahui pengaruh Pemberian kompres
hangat untuk mencegah kram otot dan kaitannya dengan ankle brakial index adalah :
4.4.1 Uji Univariat
Uji univariat adalah uji untuk mendiskripsikan mengenai distribusi frekuensi
dan proporsi masing-masing variabel yang diteliti, baik variabel bebas maupun
variabel terikat. Dalam penelitian ini menjelaskan distribusi frekuensi dan presentase
mengenai anka ankle barikial indek sebelum dan setelah kompres hangat.
4.4.2 Uji Bivariat
Uji bivariat digunakan setelah uji univariat, uji bivariat ini digunakan terhadap
dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolasi. Variabel dalam penelitian ini
adalah pasien yang sedang menjalani hemodialisa. Uji yang digunakan pada Before –
after setiap kelompok ( dalam kelompok) menggunakan Uji paired test.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat. A. A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Salemba
Medika. Jakarta

Smeltzer, Suzanne C . 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart. Edisi 8, Vol
2. Jakarta : Buku kedokteran

Tamsuri Anas. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC

Ayudiyaningsih, Novirizki G. dan Arina Maliya. 2009. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas
Dalam terhadap Penurunan Tingkat Nyeri pada Pasien Pasca Operasi Fraktur
Femur di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/3607/NOVA%20RIZKY%
20-%20ARINA%20MALIYA%20FIX.pdf?sequence=1&isAllowed=y. Diunduh
tanggal 22 Januari 2017.

Anda mungkin juga menyukai