Oleh
ARIF HIDAYAT
PO.7120,4,14,006
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLTEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI D-IV KEPERAWATAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Kram juga bisa terjadi pada penderita Diabetes Militus. Diabetes adalah penyakit yang
dapat menyebabkan berbagai komplikasi akibat gula darah tinggi. Kram pada penderita
diabetes dapat terjadi karena gula darah tinggi menyebabkan buang air kecil yang berlebihan
yg berakhir dengan dehidrasi.
Buang air kecil yang berlebihan menyebabkan penderita diabetes kehilangan banyak
kalsium. Tingkat kalsium yang rendah dapat menyebabkan kram otot kaki. Ini juga dapat
diuji melalui tes darah. Otot kram pada kaki penderita diabetes juga terkait dengan tingkat
rendah dari glukosa darah.
Dalam kasus gula darah rendah (gula darah < 3.9 mmol / l), otot rangsangan membran sel
diintensifkan sehingga memberikan kontribusi untuk kram. Di sisi lain, ketika penderita
diabetes mengalami gula darah tinggi mendadak dapat mengganggu membran sel otot,
dengan demikian juga menimbulkan kram.
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan penyakit yang terjadi setelah berbagai macam
penyakit yang merusak masa nefron ginjal sampai pada titik keduanya tidak mampu untuk
menjalankan fungsi regulatorik dan ekstetoriknya untuk mempertahankan homeostatis
(Lukman et al., 2013).
Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan
beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dializer (NKF 2006). Dengan adanya
sebagian darah pasien yang keluar dari tubuh dan beredar dalam sebuah mesin
(extracorporeal) bisa menyebabkan sirkulasi darah ke otot kurang baik sehingga dapat
mengakibatkan kram otot.
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) alat dialisa juga dapat dipergunakan untuk
memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui
ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma
(dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Adanya penarikan cairan
(ultrafiltrasi) selama hemodialisa menyebabkan dehidrasi atau kekurangan cairan yang
dapat menyebabkan terjadinya kram otot.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi kram otot yaitu dengan cara
kecilkan kecepatan aliran darah, massage pada bagian yang kram, dan kompres hangat.
Dari masalah yang ada diatas peniliti tertarik untuk meneliti Pengaruh Kompres
Hangat dan Hubungannya dengan angka Ankel Brakial Index terhadap gejala kram pada
pasien Gagal Ginjal Kronik di Ruang Hemodialisa RS Pertamina Palembang.
a. Tujuan Umum
Tujuan Umum Penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh kompres hangat terhadap
kram otot pada pasien gagal ginjal dan hubungannya dengan ankle brakial index ?
b. Tujuan Khusus
1) Mengetahui karakteristik penderita gagal ginjal kronik terkait penyakit hipertensi
dan dabetes militus
2) Megetahui rata – rata ankle brakial indek sesudah kompres hangat dan sesudah
hemodialisa pada penderita gagal ginjal kronik.
3) Mengetahui respon pasien terhadap kompres hangat pada kram otot pada saat
hemodialisa
a. Bagi masyarakat
Membantu masyarakat menemukan solusi penghilang kram dengan cara kompres
hangat yang benar dan aman.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal.
Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua ginjal,
2.2 KRITERIA
Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural
atau fungsional, dengan atau tanpa penuruna laju filtrasi glomerulus (LFG)
dengan manifestasi:
- - Kelainan patologis
- - Terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam tes pencitraan
(Imaging
- Test).
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/mnt/1,73m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama
atau lebih dari 60ml/mnt/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
2.3 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, data tahun 1995–1999 menyatakan insidens penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat
insiden ini diperkirakan sekitar 40–60 kasus perjuta penduduk per tahun.
2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu, atas dasar derajat
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas
berikut:
2.5 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik tergantung dari etiologinya namun dalam
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional nefron yang tersisa sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai moleku vasoaktif seperti sitokin dan growth factor.
Hal ini menyebabkan hiperfiltrasi, yang diikutioleh penekanan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuati oleh proses
maladaptasi berupa sclerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun peyakit yang endasarinya
transforming growth factr β ( TGF-β). Beberapa hal ini juga dianggap berperan terhadap
reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Sampai
pada sebesar 60%, pasien belum merasakan keluhan (asimtomatik), tetapi sudah terjadi
peningkatan kadar kreatinin dan urea serum. Sampai pada kadar LFG sebesar 30%,
mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
berkurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, paien
memperlihatkan gejala da tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan
darah, gangguan metabolism fosfordan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas dan
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbanganair seperti hipo atau
hypervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada
LFG dibawah 15% akan terjadi gejal dan komplikasi yag serius, dan passion sudah
memerlukan pengganti ginjal antara lain yaitu dialysis atau transplantasi ginjal. Pada
2.6 ETIOLOGI
Etiologi terjadinya gagal ginjal kronik sangat bevariasi antar satu negara dengan
negara lain. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) pada tahun 2000 mencatat
penyebab gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Indonesia, seperti pada
Tabel 4.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a) sesuai dengan penyakit
yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,
hipertensi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya. b) sindrom uremia,
yang terdiri atas lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume
cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-
kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
khlorida).
Gambaran Laboratorium
yang mendasarinya. b) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-
Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hipenatremia, asidosis metabolik, d) kelainan
Gambaran Radiologi
Pemeriksaan radiologi penyakit ginjal kronik meliputi: a) foto polos abdomen, bisa
sering tidak bisa bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c)
ginjal bisa memperlihatkan ukuran mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis
atau batu ginjal, atau renografi, kista, massa, kalsifikasi. e) pemeriksaan ginjal atau
Biopsi dan pemeriksaan histopatogi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal
kontraindikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik,
2.8 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
Terapi Konservatif
Perubahan-perubahan faal ginjal LFG bersifat individual untuk setiap pasien gagal ginjal
kronik (GGK), lama terapi konsevatif bervariasi dari bulan sampai tahun. Algoritme
hipotensi
Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis yang kuat
Hindari pemeriksaan radiologi dengan media kontras tanpa indikasi medik kuat.
2. Program memperlambat penurunan progresi faal ginjal
Kendalikan hiperfosfatemia
Terapi gatal-gatal
Terapi anemia
Terapi simtomatik yang sering diberikan pada gagal ginjal kronik (GGK)
1. Asidosis metabolik
a. Suplemen alkali
Larutan shol
Larutan ini terdiri atas 140 gram sitrat, 98 gram natrium sitrat dilarutkan dalam
b. Terapi alkali
Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena, bila pH ≤ 7,35
2. Anemia
Anemia ini berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon
2) Alternatif lain
Hormon androgen
Preparat cobalt
b. Anemia hemolisis
dan kehilangan besi pada dializer (terapi HD). Selama terapi zat besi harus
Transfusi darah (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif , murah, dan
kematian mendadak.
a. PCV (HCT) ≤ 20 %
Angina pectoris
3. Keluhan gastrointestinal
a. Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini sering merupakan keluhan pertama (chief
b. Ulserasi mukosa
Program terapi dialisis adekuat (terapi HD khusus dengan bebas atau tanpa
heparin)
Medikamentosa:
- Metoclopramide 5 mg P.O
- Cyproheptadine 4 mg P.O
4. Kelainan kulit
Medikamentosa:
medikamentosa.
b. Easy Bruishing
retensi toksin Guadinosuccinic acid (GSA) dan gangguan faal trombosit. Pilihan
c. Edema
Glomerulopati primer dan sekunder selalu disertai retensi Na+ dan air. Terapi
5. Kelainan neuromuskuler
Parastesia
Neuropati perifer
Keram otot
Insomnia
Kolvulsi
6. Hipertensi
Diuretik furosemide
b. Tipe vasoconstrictor
Program terapi: restriksi garam dapur ≤ 3 gram / hari, diuresis dan ultrafiltrasi,
medikamentosa.
c. Tipe kombinasi
Program terapi hampir sama.
a. Forced diuresis
agents
irama jantung yang sering ditemukan: total AV block dan ventricular tachicardi
Pilihan tindakan:
hiperkalemia.
b. Medikamentosa
8. Kelainan endokrin
Osteodistrofi renal
Anemia
Pilihan tindakan:
a. Pengikat fosfat
a. 1 α-hydroxycholecalciferol
b. 1 α 2,5-dihydroxycholecalciferol
d. Paratiroidektomi.
Neuropati perifer
Perikarditis
Pilihan tindakan:
pilihan terapi/tindakan.
memburuknya faal ginjal yang tidak dapat diterangkan harus dicurigai ISK
(pielonefritis) sebagai sebabnya. Oleh sebab itu, CFU per ml harus rutin untuk setiap
pasien GGK. Infeksi diluar ginjal (extrarenal) yang harus diwaspadai karena
b. Hepatitis B virus
c. Eleminasi obat dari tubuh dalam bentuk: utuh (unchanged), bentuk metabolit
Masa kini hanya ada 2 pilihan untuk gagal ginjal terminal (GGT).
1. Dialisis :
o Hemodialisis (HD)
2. Transplantasi ginjal
1. Hemodialisis
1. Indikasi absolut
a. Pericarditis
b. Ensefalopati/neuropati azotemia
c. Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik
d. Hipertensi refrakter
e. Muntah persisten
2. Indikasi elektif
a. LFG antara 5 dan 8 ml/m/1,73 m2. Mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.
2. Dialisis peritoneal
hemodialisis.
Indikasi non-medik:
2.8.1 Indikasi
Dalam pengaturan perawatan primer, ABI berguna dalam 2 pengaturan berikut:
1. Pada pasien yang bergejala : untuk mendiagnosa PAD (peripheral artery disease)
2. Pada pasien asimptomatik : untuk menilai resiko vaskuler pada PAD
Dalam pengaturan darurat atau trauma, ABI berguna untuk evaluasi pasien yang
berada pada peningkatan resiko untuk cedera arteri ekstremitas bawah sebagai berikut:
ABI kurang dari 0,90 menunjukkan kebutuhan untuk pencitraan pembuluh darah lebih
lanjut: angiografi pada pasien yang tidak stabil. ABI lebih besar dari 0,90 mengurangi
kemungkinan cedera arteri, dengan demikian pasien dapat diamati dengan penilaian ABI
serial atau mungkin menjalani studi vascular secara tertunda.
2.8.2 Prosedur
1. Peralatan
a. Manset tekanan darah dengan ukuran yang tepat untuk ekstremitas atas dan
bawah dengan spigmomanometer yang bekerja
b. Sebuah perangkat Doppler untuk mendeteksi aliran
c. USG transmisi gel
d. Meja pemeriksaan
2. Persiapan pasien
Tidak ada anestesi dianjurkan. Setiap bentuk obat penenang atau anastesi dapat
mempengaruhi pengukuran tekanan darah dan dengan demikian mengurangi akurasi
dari ABI
PROSEDUR PENGUKURAN ABPI
1. Tempatkan pasien dalam posisi terlentang, dengan lengan dan kaki pada tingkat
yang sama seperti jantung, selama minimal 10 menit sebelum pengukuran
2. Pasang manset tensimeter di lengan atas dan tempatkan probe vascular Doppler
ultrasound diatas arteri brachialis dengan sudut 45 derajat.
3. Palpasi nadi radialis kemudian pompa manset hingga 20 mmHg diatas tekanan darah
sistolik palpasi.
4. Kempiskan manset, perhatikan suara pertama yang dideteksi oleh probe hasilnya
merupakan tekanan darah systolic brachialis.
5. Ulangi pada lengan yang lain.
6. Pasang manset tensimeter di pergelangan kaki dan tempatkan probe vascular Doppler
ultrasound diatas arteri dorsalis pedis atau arteri tibilias dengan sudut 45 derajat.
7. Palpasi nadi dorsalis pedis kemudian pompa manset hingga 20 mmHg diatas tekanan
darah sistolik palpasi.
8. Kempiskan manset, perhatikan suara pertama yang dideteksi oleh probe hasilnya
merupakan tekanan darah systolic ankle.
9. Ulangi pada kaki yang lain.
10. Pilih tekanan darah systolic brachialis tertinggi (diantara lengan kanan dan kiri) dan
tekanan darah systolic ankle teritnggi (diantara kaki kanan dan kaki kiri).
Nilai ABPI = Tekanan darah sistolik brachialis/ Tekanan darah sistolik ankle
Interpretasi
Nilai yang berbeda diperoleh untuk indeks ankle - brachial ( ABI ) diinterpretasikan
sebagai berikut :
0,00-0,40 : penyakit arteri perifer parah ( PAD ) cukup untuk menyebabkan rasa
sakit atau beristirahat gangrene
0,41-0,90 : PAD cukup untuk menyebabkan klaudikasio
0,91-1,30 : pembuluh normal
> 1,30 : Noncompressible , kapal sangat kalsifikasi
Pasien dengan ABI kurang dari 0,90 memiliki risiko lebih tinggi penyakit arteri
koroner , stroke , dan kematian dan oleh karena itu harus dirujuk ke laboratorium
vaskular terpercaya untuk pengujian lebih lanjut . Pengujian tersebut dapat mencakup
computed tomography ( CT ) , magnetic resonance imaging ( MRI ) , atau angiografi
konvensional , yang semuanya melibatkan menyuntikkan bahan kontras untuk menilai
aliran arteri.
ABI dari 0,91-0,99 dianggap batas . Pasien mungkin asimtomatik pada saat istirahat
tetapi mungkin mengalami gejala yang berkaitan dengan aliran pembuluh darah yang
terganggu ketika ambulating . Tes latihan dapat membantu mengevaluasi pasien yang
memiliki hasil ABI batas .
2.8.3 Teknik
ABI dilakukan dengan mengukur tekanan darah sistolik dari kedua arteri
brakialis dan dari kedua dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior setelah pasien telah
beristirahat dalam posisi terlentang selama 10 menit . Tekanan sistolik dicatat dengan
handheld 5 - atau 10 - MHz Doppler instrumen . Biasanya tekanan darah manset
standar dapat digunakan di pergelangan kaki . Seperti tekanan lengan , pembacaan
tekanan paling akurat diperoleh bila manset tekanan darah berukuran tepat untuk betis
yang lebih rendah pasien ( tepat di atas pergelangan kaki ) . Disarankan untuk memulai
dengan lengan kanan , kemudian kaki kanan , maka kaki kiri , dan akhirnya lengan kiri
, seperti tekanan darah dapat melayang selama ujian , dan dua tekanan lengan pada
awal dan akhir ujian memberikan untuk beberapa kontrol kualitas .
Pasien harus dalam posisi terlentang . Tempatkan manset tekanan darah di lengan
, dengan tungkai pada tingkat jantung . Tempatkan gel USG di fossa antecubital atas
pulsa brakialis pasien . Tempatkan transduser dari Doppler genggam pada gel , dan
posisi transducer untuk memaksimalkan intensitas sinyal . Mengembang manset untuk
sekitar 20 mmHg di atas tekanan darah sistolik yang diharapkan pasien . Sinyal
Doppler harus menghilang . Lalu perlahan-lahan menurunkan manset , sekitar 1
mmHg / detik . Ketika sinyal Doppler kembali muncul - , tekanan manset sama dengan
tekanan sistolik brakialis . Catat tekanan sistolik brakialis .
2.8.3 indikasi :
Menegakkan diagnosis penyakit arteri pada pasien
2. Kompres hangat
(Hendro,2012)
3. Hubungan
Penyakit Arteri Perifer
Terhadap Hipertensi
(Thendria,Ivan Lumban
Toruan, dan Diana
Natalia)
4. Hubungan Penyakit
Diabetes Militus
Tehadap Hipertensi
3.3 Hipotesis
Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis penelitian (H0) yaitu,
Tidak ada pengaruh pemberian kompres hangat, terhadap gejala kram dan kaitannya
dengan ankle brakial index
BAB IV
METODE PENELITIAN
Kelompok Perlakuan 01 X1 02
Keterangan :
a. Kriteria inklusi
b. Kriteria eksklusi
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat. A. A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Salemba
Medika. Jakarta
Smeltzer, Suzanne C . 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart. Edisi 8, Vol
2. Jakarta : Buku kedokteran
Ayudiyaningsih, Novirizki G. dan Arina Maliya. 2009. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas
Dalam terhadap Penurunan Tingkat Nyeri pada Pasien Pasca Operasi Fraktur
Femur di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/3607/NOVA%20RIZKY%
20-%20ARINA%20MALIYA%20FIX.pdf?sequence=1&isAllowed=y. Diunduh
tanggal 22 Januari 2017.