Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

ASTIGMATISME

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata

Oleh:

MAULIZAHAYANI
1507101030081

Pembimbing:
dr. Eva Imelda, M.Ked(Oph), Sp.M

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas laporan kasus
yang berjudul”Astigmatisme”. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada
Rasulullah Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam
kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu tugas dalam menjalani
Kepanitraan Klinik Senior pada bagian /SMF Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Unsyiah/RSUD dr. Zainoel Banda Aceh. Penulis menyadari bahwa
penyusunan tugas laporan kasus ini tidak terwujud tanpa ada bantuan dan
bimbingan serta dukungan dari dosen pembimbing. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. Eva
Imelda, M.Ked(Oph), Sp.M yang telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan tugas laporan kasus ini.
Penulis telah berusaha melakukan yang terbaik dalam penulisan tugas
Laporan Kasus ini, namun penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan.Segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan untuk penyempurnaan tulisan ini. Akhir kata penulis berharap semoga
tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak khususnya di bidang
kedokteran serta dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pihak yang
membutuhkan.

Banda Aceh,09 Oktober 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang .......................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Media Refraksi ............................................... 3
2.2 Definisi ................................................................................................ 8
2.3 Epidemiologi ....................................................................................... 8
2.4 Etiologi ................................................................................................ 9
2.5 Patofisiologi......................................................................................... 10
2.6 Klasifikasi ............................................................................................ 10
2.7 Manifestasi Klinis................................................................................ 13
2.8 Diagnosis ............................................................................................. 13
2.9 Tatalaksana .......................................................................................... 16
2.10 Prognosis ........................................................................................... 17
BAB III LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien ................................................................................. 18
3.2 Anamnesis ......................................................................................... 18
3.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................. 19
3.4 Foto Klinis......................................................................................... 20
3.5 Diagnosis Kerja ................................................................................. 20
3.6 Tatalaksana........................................................................................ 20
3.7 Prognosis ........................................................................................... 20
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................... 21
BAB V SIMPULAN ............................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 24

2
BAB I
PENDAHULUAN

Dewasa ini banyak sekali ditemukan berbagai macam kelainan yang terjadi
pada indra penglihatan kita yaitu mata. Hal ini disebabkan oleh tingkat kehidupan
saat ini telah jauh berbeda dengan zaman dahulu. Kebiasaan seperti terlalu banyak
menghabiskan waktu di depan TV atau komputer menyebabkan efek yang kurang
baik pada mata kita. Sehingga hal ini menyebabkan gangguan kesehatan,seperti
timbulnya kelainan refraksi pada mata. Salah satu jenis kelianan tersebut adalah
astigmatisma.1
Organ indra manusia yang mempunyai fungsi yang sangat besar salah
satunya adalah mata. Kelainan mata seperti gangguan refraksi sangat membatasi
fungsi tersebut. Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak
dibentuk pada retina (makula lutea). Mata yang normal disebut dengan emetropia
dan mata yang tidak dapat membiaskan cahaya tepat pada retina disebut
ametropia. Ametropia meliputi myopia, hipermetropia, dan astigmatisma.1
Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta sampai 2,3
milyar. Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada
penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan. Ditemukan jumlah penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir
25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa. 1
Penyakit mata sampai saat ini merupakan masalah kesehatan diIndonesia,
terutama yang menyebabkan kebutaan. Hasil survei Kadir (1996) gangguan
miopia di Jawa Tengah sebesar 5,3%. Prevalensi low vision di Indonesia adalah
sebesar 4,8% (Asia 5 –9%). Provinsi Jawa Tengah memiliki prevalensi low vision
di atas prevalensi nasional sebesar 5,9%.
Diantara kelainan refraksi tersebut, pengobatan astigmatisma lebih sulit
untuk dilakukan. Astigmatisma merupakan suatu kelainan refraksi mata dimana
didapatkan bermacam-macam derajat refraksi pada berbagai macam meridian
sehingga sinar sejajar yang datang pada mata akan difokuskan pada berbagai
macam titik fokus. 1
Berdasarkan klinis astigmatisma refraktif ditemukan sebanyak 95% mata.
Insidensi astigmatisma yang signifikan secara klinis dilaporkan 7,5 – 75%,

3
bergantung pada specific study dan definisi derajat astigmatisma yang signifikan
secara klinis. Sekittar 44% dari populasi umum memiliki astigmatisma lebih dari
0,5 D, 10% lebih dari 1,00 D dan 8% lebih dari 1,5 D. 2
Secara garis besar terdapat astigmatisme regular dan irreguler. Astigmatisme
regular terbagi menjadi astigmatisme miopikus simpleks, astigmatisme miopikus
kompositus, astigmatisme hipermetropikus simpleks, astigmatisme
hipermetropikus kompositus, dan astigmatisme mikstus. Letak kelainan pada
astigmatisma ini terdapat di dua tempat yaitu kelainan pada kornea dan kelainan
pada lensa. Pada kelainan kornea terdapat perubahan lengkung kornea dengan atau
tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter anterior- posterior bola mata.
Kelainan ini bisa merupakan kelainan kongenital atau didapat akibat kecelakaan,
peradangan kornea atau operasi. 2, 3
Terdapat beberapa penatalaksanaan astigmatisma, yaitu dengan
menggunakan kacamata silinder, lensa kontak dan pembedahan. Teknik
pembedahan yang dilakukan meliputi metode lasik, photorefractive keratotomy
dan radial keratotomy.2, 3

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Media Refraksi

Anatomi dan fisiologi media refraksi meliputi kornea, humor aqueous, lensa
dan humor vitreus. Semua media refraksi ini bersifat jernih, memiliki permukaan,
kurvatura serta indeks kelainan masing-masing, yang melekat satu sama lain.4

2.1.1 Anatomi Media Refraksi

Gambar 2.1 Anatomi Mata

Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding
dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Dari anterior ke posterior, kornea
memiliki lima lapisan, yaitu epitel, lapisan bowman, stroma, membran desemant.
Sumber nutrisi untuk kornea adlah pembuluh darah limbus, humor aqueous dan
air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan sebagian oksigen dari atmosfer.
Saraf sensorik kornea didapatkan dari percabangan (ophtalmikus) nervus kranialis
V (trigeminus). Kornea merupakan suatu lensa cembung dengan kekuatan refraksi
(bias) sebesar +43 dioptri. Jika kornea mengalami sembab karena satu dan lain

5
hal, maka kornea akan berubah sifat seperti prisma yang dapat menguraikan
cahayanya, sehingga penderita seperti melihat halo.4

Aqueous humor
Aqueous humor mengandung zat-zat gizi untuk kornea dan lensa, keduanya
tidak memiliki pasokan darah. Adanya pembuluh darah di kedua struktur ini akan
mengganggu lewatnya cahaya ke fotoreseptor. Aqueous humor diproduksi dengan
kecepatan 5 ml/hari oleh jaringan kapiler di dalam korpus siliaris, kemudian cairan
ini masuk ke COA melalui pupil dan mengalir ke suatu saluran di tepi kornea
(trabekula meshwork) dan akhirnya masuk ke darah.4
Jika aqueous humor tidak dikeluarkan sama cepatnya dengan
pembentukannya (sebagai contoh, karena sumbatan pada saluran keluar),
kelebihan cairan akan tertimbun di rongga anterior dan menyebabkan peningkatan
tekanan intraokuler (“di dalam mata”). Keadaan ini dikenal sebagai glaukoma.
Kelebihan aqueous humor akan mendorong lensa ke belakang ke dalam vitreous
humor, yang kemudian terdorong menekan lapisan saraf dalam retina. Penekanan
ini menyebabkan kerusakan retina dan saraf optikus yang dapat menimbulkan
kebutaan jika tidak diatasi.

Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avascular, tak berwarna dan hampir
transparan sempurna. Tabelnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa
tergantung pada zonula di belakang iris, zonula menghubungkan dengan corpus
siliar. Disebelah anterior lensa terdapat aquos humor dan posteriornya terdapat
vitreus. Secara fisiologik, lensa memiliki sifat tertentu yaitu kenyal atau lentur
karena berperan dalam akomodasi untuk mencembungkan, jernih atau transparan
karena diperlukan untuk media penglihatan dan terletak ditempatnya.4
Lensa mata normal memiliki indeks refraksi 1,4 dibagian sentral dan 1,36
dibagian tepi. Kekuatan bias lensa sekitar 20 dioptri. Pada anak dan orang dewasa
muda, kekuatan dioptri lensa dapat berubah saat melihat dekat, hal ini untuk
menempatkan bayangan pada retina. Makin tua seseorang maka makin berkurang
pula kekuatan penambahan dioptrinya. Kekuatan dioptri tersebut akan menghilang
setelah usia 60 tahun. Kemampuan lensa untuk menambah kekuatan refraksinya
disebut dengan daya akomodasi.4
Humor Vitreus
6
Humor vitreus suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruang yang
dibatasi oleh lensa, retina dan diskus optikus. Vitreus mengandung air sekitar
99%. Sisa 1% meliputi dua komponen, kolagen dan asam hialuronat yang
memberikan bentuk dan konsistensi mirip gel pada vitreus karena kemampuannya
mengikat banyak air.4
Humor vitreus dikelilingi oleh membran hyaloid. Membran hyaloid melekat
pada kapsul posterior lensa, zonula, pars plana, retina dan papil nervus II. Badan
kaca ini berfungsi untuk membentuk bola mata dan merupakan salah satu media
refraksi (media bias). Badan kaca memiliki indeks bias lebih kecil daripada lensa
sehingga cahaya kembali sedikit disebarkan.4

Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan
yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata. Retina
membentang ke anterior hampir sejauh corpus siliar, berakhir pada ora serata
dengan tepi yang tidak rata.4
Retina berfungsi menerima cahaya kemudian mengubahnya menjadi sinyal
elektrokimiawi, untuk meneruskan sinyal tersebut ke otak. Retina terdiri dari 3
macam sel saraf (neuron) yang berestafet dalam meneruskan impuls penglihatan.
Sel-sel tersebut adalah sel fotoreseptor, sel horizontal dan sel bipolar serta sel
ganglion.4

Panjang Bola Mata


Panjang bola mata menentukan keseimbangan dalam pembiasan. Panjang
bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar
oleh karena kornea (mendatar atau cembung) atau adanya perubahan panjang
(lebih panjang atau lebih pendek) bola mata, maka sinar normal tidak dapat
terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat berupa
miopia, hipermetropia, atau astigmatisma.4

2.1.2 Fisiologi Refraksi


Berkas-berkas cahaya mencapai mata harus dibelokkan ke arah dalam untuk
difokuskan kembali ke sebuah titik peka cahaya di retina agar dihasilka suatu
bayangan yang akurat mengenai sumber cahaya. Pembelokan suatu berkas cahaya

7
(refraksi) terjadi ketika berkas berpindah dari satu medium dengan kepadatan
(densitas) tertentu ke medium dengan kepadatan yang berbeda.5
Cahaya bergerak lebih cepat melalui udara daripada melalui media
transparan lainnya seperti: kaca, air. Ketika suatu berkas cahaya masuk ke
medium dengan densitas yang lebih tinggi, cahaya tersebut melambat (begitu pula
sebaliknya). Berkas cahaya mengubah arah perjalanannya jika mengenai medium
baru pada tiap sudut selain tegak lurus.5

Gambar 2.2 Fisiologi Refraksi

Terdapat dua faktor penting dalam refraksi, yaitu densitas komparatif antara
2 media (semakin besar perbedaan densitas, semakin besar derajat pembelokan)
dan sudut jatuhnya berkas cahaya di medium kedua (semakin besar sudut, semakin
besar pembiasan). Dua struktur yang paling penting dalam kemampuan refraktif
mata adalah kornea dan lensa. Permukaan kornea, struktur pertama yang dilalui
cahaya sewaktu masuk mata, yang melengkung berperan besar dalam refraktif
total karena perbedaan densitas pertemuan udara/kornea jauh lebih besar daripada
perbedaan densitas antara lensa da cairan yang mengelilinginya. Kemampuan
refraksi kornea seseorang tetap konstan karena kelengkungan kornea tidak pernah
berubah. Sebaliknya kemampuan refraksi lensa dapat disesuaikan dengan
mengubah kelengkungannya sebagaimana yang diperlukan untuk melihat dekat
atau jauh.5
Struktur-struktur refraksi pada mata harus membawa bayangan cahaya
terfokus di retina agar penglihatan jelas. Apabila bayangan sudah terfokus
sebelum bayangan mencapai retina atau belum terfokus saat mencapai retina maka
8
bayangan tersebut tampak kabur. Berkas-berkas cahaya yang berasal dari benda
dekat lebih divergen sewaktu mencapai mata daripada berkas-berkas dari sumber
jauh. Berkas dari sumber cahaya yang terletak lebih dari 6 meter (20 kaki)
dianggap sejajar saat mencapai mata.5
Agar sumber cahaya jauh dan dekat terfokus di retina (dalam jarak yang
sama), harus dipergunakan lensa yang lebih kuat. Kekuatan lensa dapat
disesuaikan melalui proses akomodasi.5

Akomodasi
Mata mengubah-ubah daya bias untuk menetapkan fokus pada objek dekat
melalui proses yang disebut akomodasi. Pada keadaan normal, cahaya tidak
terhingga akan terfokus pada retina, demikian pula jika benda jauh didekatkan
maka dengan adanya daya akomodasi benda dapat difokuskan pada retina atau
makula lutea. Dengan berakomodasi, benda pada jarak yang berbeda akan terfokus
pada retina.4, 5
Akomodasi merupakan suatu proses ketika lensa mengubah fokusnya untuk
melihat benda dekat. Pada proses ini terjadi perubahan bentuk lensa yang
dihasilkan oleh kerja otot siliaris pada serabut zonula. Kelenturan lensa paling
tinggi dijumpai pada anak-anak serta usia dewasa muda, dan semakin menurun
seiring dengan bertambahnya usia. Ketika lena berakomodasi, kekuatan refraksi
akan bertambah. Perubahan kekuatan refraksi yang diakibatkan oleh akomodasi
disebut sebagai amplitudo akomodasi. Remaja pada umumnya memiliki amplitude
12-16 dioptri, sedangkan orang dewasa pada usia 40 tahun sebesar 4-8 dioptri,
hingga kurang dari 2 dioptri pada usia diatas 50 tahun.4, 5

Astigmatisma

2.2 Definisi

Astigmatisma merupakan suatu kelainan refraksi mata, dimana didapatkan


bermacam-macam derajat refraksi atau variasi kurvatura atau kelengkungan pada
kornea atau lensa pada bermacam-macam meridian, sehingga sinar yang sejajar
pada mata itu tidak difokuskan pada satu titik.1

9
Astigmatisma berasal dari bahasa yunani “a” berarti tidak ada dan “stigma”
berarti titik adalah kesalahan bias (ametropia) yang terjadi ketika sinar paralel
cahaya memasuki (mata tanpa akomodasi) tidak terfokus pada retina. Pada
astigmatisma, berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada
retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat
kelainan kelengkungan kornea.

2.3 Epidemiologi

Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan mencapai 800 juta sampai


2,3 milyar insidensi. Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan
pertama pada penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Ditemukan jumlah penderita kelainan refraksi di
Indonesia mencapai hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa.6, 7
Angka prevalensi astigmat bervariasi antara 30%-70%. Sebesar 15% dengan
astigmatisme diatas 1 D, sedangkan 2% dengan astigmatisme berat diatas 3 D.
Prevalensi astigmatisme pada usia kurang dari 30 tahun lebih banyak dari yang
berusia diatas 30 tahun, dan kejadian ini ditemukan lebih banyak di Asia di
banding dengan etnis Kaukasia.7

2.4 Etiologi
Penyebab dari terjadinya astigmatismus adalah sebagai berikut:

1. Kelainan pada kornea, dimana permukaan luar kornea tidak teratur. Media
refrakta yang memiliki kesalahan pembiasan yang paling besar adalah
kornea, yaitu mencapai 80-90% dari astigmatismus, sedangkan media
lainnya adalah lensa kristalin. Kesalahan pembiasan pada kornea ini terjadi

10
karena perubahan lengkung kornea dengan/ tanpa pemendekan atau
pemanjangan diameter anterior posterior bolamata. Perubahan lengkung
permukaan kornea ini terjadi karena kelainan kongenital, kecelakaan, luka
atau parut di kornea, peradangan kornea serta akibat pembedahan kornea.
2. Kelainan pada lensa dimana terjadi kekeruhan pada lensa. Semakin
bertambah umur seseorang, maka kekuatan akomodasi lensa kristalin juga
semakin berkurang dan lama kelamaan lensa kristalin akan mengalami
kekeruhan yang dapat menyebabkan astigmatismus. Astigmatimus yang
terjadi karena kelainan pada lensa kristalin ini disebut juga dengan
astigmatimus lentikuler.
3. Intoleransi lensa atau lensa kontak pada post-keratoplasty
4. Tumor
5. Pembedahan katarak
6. Trauma pada kornea.2

Adanya astigmatisma kornea dapat diperiksa dengan tes Placido, dimana


gambarannya di kornea terlihat tidak teratur. Kelainan kornea merupakan
penyebab utama, yaitu meridian dengan daya bias maksimal dan minimal, yang
saling tegak lurus letaknya. Terdapat meridian yang vertikal dan horizontal. Bila
meridian vertikal memiliki daya bias lebih besar dibandingkan horizontal,
dinamakan astigmatisma with the rule, dan jika sebaliknya maka disebut
astigmatisma against the rule.2, 4

2.5 Patofisiologi
Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan
memfokuskan sinar di satu titik. Namun pada mata dengan astigmatisma memiliki
kornea yang lebih melengkung lagi, sehingga beberapa daerah akan lebih curam
atau lebih bulat dibandingkan dengan area yang lainnya. Hal ini menyebabkan
sinar yang dibiaskan tidak memiliki kekuatan daya bias yang sama yang
menyebabkan bayangan menjadi kabur. Secara garis besar, asigmatisma terjadi
oleh karena kurvatura yang tidak sama pada kornea atau lensa yang menyebabkan
sinar melengkung dalam arah yang berbeda.8

11
2.6 Klasifikasi
Berdasarkan letak titik astigmatisma, dibagi sebagai berikut:
1. Astigmatisma regular
Astigmatisma dikategorikan regular jika meridian-meredian utamanya
(meridian dimana terdapat daya bias terkuat dan terlemah di sistem optis bola
mata), mempunyai arah yang saling tegak lurus. Misalnya, jika daya bias terkuat
berada pada meridian 90º, maka daya terlemahnya berada pada 180º, jika daya
bias terkuat berada pada meridian 45º, maka daya bias terlemah berada pada
meridian 135º. Astigmatisma jenis ini akan menghasilkan tajam penglihatan
normal apabila mendapat koreksi lensa silindris yang tepat. Tentunya jika tidak
disertai dengan adanya kelainan penglihatan yang lain.8

Ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisma regular ini
dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
- With-in-the-rule astigmatism.
Terjadi bila meridian vertikal mempunyai daya bias lebih besar dari
horizontal. Pada astigmatisme ini, koreksi dilakukan dengan silinder negatif
dengan sumbu horizontal atau 45 hingga -45 derajat. Keadaan ini sering
didapatkan pada anak atau orang muda akibat perkembangan normal dari
serabut-serabut kornea. Astigmatisma jenis ini merupakan bentuk astigmat
tersering.
- Against-the rule astigmatism.
Terjadi bila meridian horizontal mempunyai daya bias lebih besar
dibandingkan meridian vertikal. Kelainan ini dikoreksi dengan silinder
negatif dan dilakukan dengan sumbu tegak lurus 60 − 1200 atau dengan
silinder positif sumbu horizontal 30 − 1500 . Astigmatisma ini sering
ditemukan pada usia lanjut.8

Berdasarkan letak fokusnya pada retina, astigmatisma regular dibagi sebagai


berikut:

1. Astigmatisma Miopia Simpleks


Astigmatisma jenis ini, titik A (titik fokus dari daya bias terkuat) berada di
depan retina, sedangkan titik B (titik fokus dari daya bias terlemah) berada
tepat di retina. Pada ukuran lensa koreksi astigmatisma jenis ini adalah Sph

12
0,00 Cyl –Y atau Sph –X Cyl +Y di mana X dan Y memiliki angka yang
sama.
2. Astigmatisma Hipermetropia Simpleks
Astigmatisma jenis ini, titik A berada tepat pada retina sedangkan titik B
berada di belakang retina.. Pada ukuran lensa koreksi jenis ini adalah Sph
0,00 Cyl +Y atau Sph +X Cyl –Y dimana X dan Y memiliki angka yang
sama.
3. Astigmatisma Miopia Kompositus
Astigmatisma jenis ini, titik A berada didepan retina sedangkan titik B
berada diantara titik A dan retina. Pola ukur lensa koreksi astigmatisma jenis
ini adalah Sph –X Cyl –Y.
4. Astigmatisma Hipermetropia Kompositus
Astigmatisma jenis ini, titik B berada dibelakang retina sedangkan titik A
berada di antara titik B dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisma
jenis ini adalah Sph +X Cyl +Y.
5. Astigmatisma Mixtus
Astigmatisma jenis ini, titik A berada didepan retina sedangkan titik B
berada dibelakang retina. Pola ukur lensa koreksi astigmatisma jenis ini
adalah Sph +X Cyl –Y atau Sph –X Cyl +Y, dimana ukuran tersebut tidak
dapat ditransposisi hingga nilai X menjadi nol atau notasi X dan Y menjadi
sama-sama + atau -.8

Gambar 2.4 Klasifikasi Astigmatisma


13
2. Astigmatisma irreguler
Astigmatisma ini tidak mempunyai 2 meridian yang saling tegak lurus.
Astigmatisma ireguler terjadi akibat ketidakteraturan kontur permukaan kornea
atau lensa, seperti pada infeksi kornea, trauma, keratektasia, distrofi, kelainan
pembiasan atau adanya kekeruhan tidak merata pada bagian dalam bola mata atau
pun lensa mata, misalnya pada katarak stadium awal.8
Astigmatisma jenis ini sulit untuk dikoreksi dengan lensa kacamata atau
lensa kontak lunak (softlens). Meskipun bisa, biasanya tidak memberikan hasil
akhir berupa tajam penglihatan normal. Apabila astigmatisma irregular ini hanya
disebabkan oleh ketidakberaturan kontur permukaan kornea, peluang untuk dapat
dikoreksi dengan optimal masih cukup besar, yaitu menggunakan pemakaian lensa
kontak (hard contact lens) atau tindakan pembedahan (LASIK, keratotomy).8

2.7 Manifestasi Klinis


Pada umumnya, seseorang yang menderita astigmatisma tinggi
menyebabkan gejala-gejala sebagai berikut:

- Memiringkan kepala atau disebut dengan “tilling his head”, pada umumnya
keluhan ini sering terjadi pada penderita astigmatisma yang tinggi.
- Memutarkan kepala agar dapat melihat benda dengan jelas.
- Menyipitkan mata seperti halnya penderita myopia, hal ini dilakukan untuk
mendapatkan efek pin hole. Penderita astigmatisma juga menyipitkan mata
pada saat bekerja dekat seperti membaca.
- Melihat ganda dengan satu atau kedua mata
- Pada saat membaca, penderita astigmatisma ini memegang bacaan
mendekati mata, seperti pada penderita myopia. Hal ini dilakukan untuk
memperbesar bayangan, meskipun bayangan diretina tampak buram. 1, 8

Sedangkan pada penderita astigmatisma rendah, biasa ditandai dengan


gejala-gejala sebagai berikut:

- Sakit kepala pada bagian frontal.


- Ada pengaburan sementara/sesaat pada penglihatan dekat, biasanya
penderita akan mengurangi pengaburan itu dengan menutup atau mengucek-
ucek mata.1, 8

14
2.8 Diagnosis
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
astigmatisma antara lain:
1. Uji lubang kecil (pin hole test)
Untuk mengetahui apakah tajam penglihatan yang kurang disebabkan oleh
kelainan refraksi atau bukan. Bila terdapat perbaikan tajam penglihatan
dengan menggunakan pin hole berarti ada kelainan refraksi; sebaliknya bila
terjadi kemunduran tajam penglihatan berarti terdapat gangguan pada media
penglihatan.1
2. Uji refraksi
- Subjektif (Snellen Chart dan Trial and Error Technique)
Metode yang digunakan adalah metode ‘trial and error’ dimana jarak
pemeriksaan 6 meter/20 kaki menggunakan kartu Snellen yang diletakkan
setinggi mata penderita. Mata diperiksa satu per satu, dibiasakan mata kanan
terlebih dahulu untuk menentukan visus/tajam penglihatan masing-masing
mata. Bila visus tidak 6/6, dikoreksi dengan lensa sferis positif, apabila
membaik atau tajam penglihatan menjadi 5/5, 6/6, atau 20/20 maka pasien
dikatakan menderita hipermetropia, sebaliknya jika tajam penglihatan pasien
membaik dengan lensa sferis negatif, maka pasien menderita myopia.
Namun, jika setelah pemeriksaan tersebut di atas tidak tercapai tajam
penglihatan maksimal, mungkin pasien memiliki kelainan refraksi
astigmatisma. Pada keadaan ini lakukan uji pengaburan (fogging
technique).1

- Objektif
a. Autorefraktometri, yaitu menentukan besarnya kelainan refraksi dengan
menggunakan komputer. Penderita duduk di depan autorefraktor, cahaya
dihasilkan oleh alat dan respon mata terhadap cahaya diukur. Alat ini
mengukur berapa besar kelainan refraksi yang harus dikoreksi dan
pengukurannya hanya memerlukan waktu beberapa detik. 1
b. Keratometri, adalah pemeriksaan mata yang bertujuan untuk mengukur
radius kelengkungan kornea karena sebagian besar astigmat disebabkan oleh
kornea, maka dengan mempergunakan keratometer, derajat astigmat dapat
diketahui, sehingga setelah dipasang lensa silinder yang sesuai hanya
15
dibutuhkan tambahan lensa sferis saja, untuk mendapatkan tajam
penglihatan terbaik.1
3. Uji pengaburan (fogging test)
Pemeriksaan ini menggunakan lensa positif untuk mengistirahatkan
akomodasi. Dengan mata istirahat, pasien melihat ke arah juring astigmat
(gambar ruji-ruji), bila garis vertikal terlihat jelas berarti garis ini terproyeksi
dengan baik di retina dan diperlukan koreksi bidang vertikal menggunakan
lensa silinder negatif dengan sumbu (axis) 1800, kekuatan lensa silinder
ditambahkan hingga garis-garis pada juring astigmat tampak sama jelas.1

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan, antara lain:


Pemeriksaan silinder silang
Dua lensa silinder yang sama tetapi dengan kekuatan yang berlawanan
misalnya silinder -0,25 dan +0,25 diletakkan dengan sumbu saling tegak lurus
sehingga ekivalen sferisnya nihil. Digunakan untuk melihat koreksi silinder pada
kelainan astigmatisma sudah cukup atau belum.9
Oftalmoskopi
Pada astigmatisme yang ringan, tak menimbulkan perubahan pada gambaran
fundus. Pada derajat yang tinggi, papil tampak lonjong dengan aksis yang panjang
sesuai dengan aksis dari lensa silinder yang mengoreksinya.9
Retinoskopi
Refraksi obyektif dilakukan dengan retinoskopi. Sebagian besar retinoskopi
menggunakan sistem proyeksi streak yang dikembangkan oleh Copeland dan sisanya
oleh Welch-alynn. Retinoskopi dapat menentukan secara objektif kelainan refraksi
sferosilindris, seperti astigmatisma regular atau ireguler, serta menentukan
kepadatan dan keiregulerannya.9
Retinoskopi sebaiknya dilakukan pada keadaan mata relaksasi. Pasien
melihat ke suatu benda pada jarak tertentu yang diperkirakan tidak membutuhkan
daya akomodasi. Dengan alat ini mata disinari dan penilaian dilakukan terhadap
refleks retinoskopi, antara lain kecepatan, kecerahan, dan luasnya. Kelainan
refraksi yang tinggi memilki refleks yang lambat, lebih buram, dan lebih sempit,
begitu pula sebaliknya. Refleks pada kelainan refraksi diimbangi dengan lensak
oreksi, yang dapat langsung menentukan kelainan refraksi pasien.9

16
Pada astigmatisma, ketika retinoskop digerakkan maju mundur, kita hanya
dapat menentukan kekuatan pada satu aksis. Jika digerakkan kiri ke kanan (dengan orientasi
Streak 90𝑜 ), maka kita dapat menentukan kekuatan optik pada 180𝑜 yang
disediakan oleh lensa silinder aksis 90𝑜 . Oleh karena itu, aksis yang paling nyaman
yang digunakan pada retinoskopi streak, sejajar dengan aksis yang digunakan pada
lensa koreksi. Pada astigmatisme with the rule, dinetralisir dua refleks, satu
dari masing-masing meridian.9
Singkatnya, dengan retinoskopi didapatkan refleks yang bergerak kearah
yang sama dengan retinoskopi di kedua meridian. Tetapi pada meridian yang satu,
bayangannya lebih terang dan geraknya lebih cepat. Ini menunjukkan adanya astigmatisma.9

2.9 Penatalaksanaan
Pada astigmatisma yang sudah terdapat pada anak-anak, koreksi dini
sangatlah penting untuk mencegah terjadinya ambliopia karena gambar yang
tajam tidak di proyeksikan tepat pada retina. Pada astigmatisme reguler, tujuan
koreksi adalah untuk membawa garis fokus dari dua meridian utama bersama
disatu titik. Untuk memperoleh tajam penglihatan terbaik dipergunakan lensa
silinder. Sinar dalam bidang melalui sumbu lensa silinder tidak terbias. Sinar
dalam bidang tegak lurus terhadap sumbu, dibias seperti lensa sferis positif. Jadi
pada lensa silinder positif maupun negatif terdapat dua daya pembiasan utama,
yaitu daya pembiasan pada bidang yang melalui sumbu (tidak dibias) dan pada
bidang tegak lurus terhadap sumbu (dibias secara positif atau negatif). Agar
kelainan refraksi demikian dapat dapat diperoleh tajam penglihatan terbaik,
diusahakan supaya semua titik titik pembiasan jatuh pada makula lutea.9, 10
Pada astigmatisma reguler, diberikan kacamata sesuai dengan kelainan yang
didapatkan yaitu dikoreksi dengan lensa silinder negatif atau positif dengan atau
tanpa kombinasi lensa sferis. Pada astigmatisma ireguler bila derajat ringan bisa
dikoreksi dengan lensa kontak keras tetapi bila berat maka dilakukan transplantasi
kornea.9, 10
Metode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari radial keratotomy,
dimana pola jari-jari yang melingkar dan lemah di insisi di parasentral. Bagian
yang lemah dan curam pada pemeriksaan kornea dibuat rata. Jumlah hasil
perubahan tergantung pada ukuran zona optik, angka dan kedalaman dari insisi.
Photorefractive keratectomy adalah prosedur dimana kekuatan kornea ditekan

17
dengan ablasi laser pada pusat kornea. Kornea yang keruh dapat terjadi setelah
photorefractive keratectomy dan setelah beberapa bulan akan kembali jernih.
Lacer Assisted in Situ Interlameral Keratomilieusis (lasik) merupakan salah satu
tipe RPK, laser digunakan untuk membentuk kurva kornea dengan membuat slice
(potongan laser) pada kedua sisi kornea.9, 10

2.10 Prognosis
Individu dengan astigmatisma keadaannya tidak akan berubah setelah usia
25 tahun. Pada beberapa kasus yang berat, astigmatisma tidak dapat dikoreksi
penuh. Astigmatisma yang disebabkan oleh parut dan gangguan pada kornea tidak
dapat dikoreksi dengan kaca mata tapi dapat dengan lensa kontak keras atau
pembedahan.1
Teknik pembedahan menurunkan tingkat kejadian astigmatisma dan
memberikan hasil yang baik dengan sangat sedikit efek samping.10

18
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Rosmiati
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Aceh
Alamat : Banda Aceh
No. CM : 0-94-07-11
Tanggal Pemeriksaan : 02 Oktober 2017

B. Anamnesis
Keluhan utama : Mata kabur dan berbayang
Keluhan tambahan : Sakit kepala, mata terasa lelah
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poli mata RSUDZA dengan keluhan pandangan kabur
yang dirasakan sejak ±1 tahun yang lalu, memberat dalam seminggu
terakhir. Pasien mengeluhkan penglihatan seperti berbayang dan terlihat
ganda. Pasien juga mengatakan apabila terlalu lama membaca pasien
mengeluhkan mata terasa lelah, perih, dan keluhan sakit kepala juga
dirasakan pasien. Selama ini pasien menggunakan kacamata, namun saat ini
pasien sudah merasa tidak nyaman lagi menggunakan kacamata tersebut.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat operasi mata sebelumnya disangkal
Diabetes mellitus tidak ada, Hipertensi tidak ada
Riwayat penyakit keluarga : Disangkal
Riwayat pengobatan : Disangkal

C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
19
Nadi : 80 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Temperatur : 36,50C

2. Status Oftalmologis
Uji Hischberg

VOD VOS

VOD:
5/7 PH 5/5 VOS:
Cyl - 0,50, axis 100ᵒ 5/8 PH 5/6
Add +1,75 Cyl -0,25
Add +1,75

Uji Pursuit
VOD VOS

Pemeriksaan Segmen Anterior


Bagian Mata OD OS
Palpebra Superior Normal Normal
Palpebra Inferior Normal Normal
Konjungtiva Tarsal Superior Normal Normal

20
Konjungtiva Tarsal Inferior Normal Normal
Konjungtiva Bulbi Normal Normal
Kornea Jernih Jernih
COA Cukup Cukup
Pupil Bulat, isokor 3 mm, Bulat, isokor 3 mm,
RCL (+), RCTL (+) RCL (+), RCTL (+)
Lensa Jernih Jernih

3. Foto Klinis

Gambar 3.1 Foto Klinis

4. Pemeriksaan Penunjang : Pemeriksaan Visus dan Slit Lamp


5. Diagnosis Kerja :
Astigmatisma Miopia Simpleks OD + Presbiopi ODS
6. Tatalaksana : Penggunaan kacamata
7. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad Bonam

21
BAB IV
ANALISA KASUS

Dari hasil anamnesis didapatkan seoarang pasien perempuan berusia 49


tahun datang ke poli mata RSUDZA dengan keluhan pandangan kabur yang
dirasakan sejak ± 1 tahun yang lalu, memberat dalam seminggu terakhir. Pasien
mengeluhkan penglihatan seperti berbayang dan terlihat ganda. Pasien juga
mengatakan apabila terlalu lama membaca pasien mengeluhkan mata terasa lelah,
keluhan sakit kepala juga dirasakan pasien. Selama ini pasien menggunakan
kacamata, namun saat ini pasien sudah merasa tidak nyaman lagi dengan
menggunakan kacamata tersebut.
Berdasarkan teori didapatkan bahwa astigmatisma merupakan suatu
kelainan dimana mata menghasilkan suatu bayangan dengan titik atau garis fokus
multiple, dimana berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada
retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat
kelainan kelengkungan di kornea.1
Gejala umum yang sering ditemukan pada penderita astigmatisma adalah
fenomena streak atau sinar di sekitar titik sumber cahaya, yang paling nyata dalam
lingkungan gelap. Jika besarnya astigmatisma tinggi, hal itu dapat membayangi
atau mencoreng tulisan; dalam jumlah yang sangat tinggi dapat menyebabkan
diplopia.11 Pasien dengan astigmatisma, melihat segala sesuatu terdistorsi. Upaya
untuk mengimbangi kesalahan bias oleh akomodasi dapat menyebabkan gejala
asthenopic seperti sensasi terbakar di mata atau sakit kepala. Pada umumnya,
seseorang yang menderita astigmatisma tinggi menyebabkan gejala-gejala seperti,
menyipitkan mata saat melihat, pandangan kabur dan sakit kepala.10, 11
Pada pasien dari pemeriksaan visus mata OD 5/7 PH 5/5, setelah koreksi
didapatkan Cyl -0,50, axis 100ᵒ dengan visus menjadi 5/5. Untuk mengetahui apakah
tajam penglihatan yang kurang disebabkan oleh kelainan refraksi atau bukan,
perlu dikonfirmasi dengan pin hole. Apabila terdapat perbaikan tajam penglihatan
dengan menggunakan pin hole berarti ada kelainan refraksi, sebaliknya bila terjadi
kemunduran tajam penglihatan berarti terdapat gangguan pada media
penglihatan.3
Pasien didiagnosis dengan Astigmatisma Myopia Simpleks OD + Presbiopi
ODS. Pada Astigmatisma jenis ini, titik A berada didepan retina sedangkan

22
titik B berada tepat didepan retina. Pada ukuran lensa koreksi astigmatisma
jenis ini adalah Sph +X Cyl –Y atau Sph –X Cyl +Y, dimana ukuran
tersebut tidak dapat ditransposisi hingga nilai X menjadi nol atau notasi X
dan Y menjadi sama-sama + atau -. Kemudian pasien di tatalaksana dengan
pemberian kacamata. Hal ini sesuai dengan teori dimana pada astigmatisma
regular, diberikan kacamata sesuai dengan kelainan yang didapatkan yaitu
dikoreksi dengan lensa silinder negatif atau positif dengan atau tanpa
kombinasi lensa sferis.10

23
BAB V
KESIMPULAN

Astigmatisma adalah kelainan refraksi mata dimana didapatkan bermacam-


macam derajat refraksi pada berbagai macam meridian sehingga sinar sejajar yang
datang pada mata akan difokuskan pada berbagai macam fokus. Terdapat berbagai
macam astigmatisma antara lain, astigmatisma simpleks, mixed dan kompositus.
Terdapat dua etiologi pada astigmatisma yaitu kelainan lensa dan kelainan pada
kornea. Adapun gejala klinis dari astigmatisma adalah penglihatan kabur, atau
terjadi distorsi. Pasien juga sering mengeluhkan penglihatan mendua atau melihat
objek berbayang-bayang. Sebahagian juga mengeluhkan nyeri kepala dan mata
cepat lelah jika sedang melakukan aktivitas mata. Koreksi dengan lensa silinder
akan memperbaiki visus pasien. Selain lensa terdapat juga pilihan bedah yaitu
dengan radial keratotomy dan photorefractive keratectomy serta dapat dilakukan
tindakan lasik (laser assited in situ interlameral keratomileusis).

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Miller KM, Albert DL, Asbell PA, Atebara NH. Clinical Optics American
Academy of Ofthalmology: 2006.
2. James B, Chew C, Bron A. Optika Klinis. Dalam: Safitri A, editor. Lecture
note Oftalmology. Edisi 9. Jakarta: Erlangga: 2006.
3. Olver J and Cassidy L, Basic Optics and Refraction. In Olver J and Cassidy
L, Ophtalmology at a Glance. New York: Blackwell Science, 2005.
4. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Edisi ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.
5. Whitcher JP and Eva PR. Low vision. In Whitcher JP and Eva PR. Vaughan
& Asbury’s General Ophtalmology. New York: MC Graw Hill: 2007.
6. Vaughan AT. Kelainan Refraksi. Dalam: SsuantoD, Editor. Oftalmologi
umum. Edisi 17. Jakarta: EGC. 2009.
7. American Academy of Opthalmology. 2011. Clinical Optics. Section 3. P.
93-116.
8. Kaimbo DKW. Astigmatism-Definition, Etiology, Classification, Diagnosis
and Non-Surgical Treatment. 2012. Diakses dari
http://www.intechopen.com/books/astigmatism-opyics-physiology-and-
management/astigmatism-definition-etiology-classification-diagnosis-and-
non-surgical-treatment
9. Cox MJ. Astigmatism. Dalam: Dart DA, Bex P, Dana R, Eds. Ocular
Periphery and Disorders. Oxford: Elsevier. 2011.
10. Roque MR, Limbonsing R, Rosque BL. PRK Astigmatism Treatment dan
Management. Edisi Februari 2012. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1220845
11. Christoph WS, Lang GK. Optics and Refractive Erors. Dalam : Lang K,
editor.Opthalmology a Short textbook. New York:Thieme: 2000.

25

Anda mungkin juga menyukai