Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

DIABETES MELITUS TIPE II DENGAN KOMPLIKASI


ULKUS DIABETIK

Disusun untuk melengkapi tugas Program Internship Dokter Indonesia di Rumah Sakit

Oleh
dr. Siska Wulandari

Pembimbing
Dr. Donna Alfina, Sp.PD
dr. Insta Arbi, Sp.B

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


RS BHAYANGKARA TK III PEKANBARU
PEKANBARU
2018

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Telah di bacakan pada:

Pendamping Pendamping

(AKBP dr. Khodijah,MM) ( dr. Chunin Widyaningsih, MKM)

Pembimbing

dr. Insta Arbi, sp.B


dr. Donna alfina, sp.PD

iii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh; dengan mengucap


syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka atas rahmat-Nya akhirnya penulis
dapat menyusun Laporan Kasus ini dengan lancar. Laporan Kasus adalah salah
satu tugas yang harus dipenuhi peserta Program Internship Dokter Indonesia. Pada
kesempatan kali ini, Laporan Kasus yang penulis susun berjudul “diabetes melitus
tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetik”
Tentunya dalam penyusunan Laporan Kasus ini, penulis banyak mendapat
rintangan dan hambatan, akan tetapi dengan bantuan beberapa pihak rintangan dan
hambatan itu bisa teratasi. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada dr. Donna alfina, sp.PD dan dr. Insta Arbi, sp.B selaku pembimbing dan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Laporan Kasus ini.
Tentunya penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih jauh dari
kata sempurna, baik itu dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan
saran-saran yang membangun dari pembaca tentunya sangat penulis harapkan
untuk penyempurnaan penulisan selanjutnya.
Penulis berharap semoga Laporan Kasus ini dapat menjadi manfaat bagi
pembaca terkhusus rekan sesama peserta Program Internship Dokter Indonesia
lainnya.

Wassalamua’laikum Wr.Wb
Pekanbaru,

Penulis

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ i

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 2

BAB 2 LAPORAN KASUS ................................................................................ 3

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 13

3.1. DIABETES MELITUS .................................................................................. 13

3.1.1 DEFENISI .................................................................................................... 13

3.1.2. EPIDEMIOLOGI ....................................................................................... 13

3.1.3. KLASIFIKASI DIABETES MELITUS ..................................................... 13

3.1.4. ETIOLOGI .................................................................................................. 14

3.1.5. PATOFISIOLOGI ...................................................................................... 14

3.1.6. DIAGNOSIS .............................................................................................. 15

3.1.7. TATALAKSANA ....................................................................................... 16

3.1.8. KOMPLIKASI ........................................................................................... 24

3.2. ULKUS DIABETIKUM ................................................................................ 25

3.2.1. DEFENISI ................................................................................................... 25

3.2.2. EPIDEMIOLOGI ........................................................................................ 25

3.2.3.ETIOLOGI ................................................................................................... 25

3.2.4. PATOFISIOLOGI ....................................................................................... 26

0
3.2.5. KLASIFIKASI ............................................................................................ 28

3.2.6. DIAGNOSIS ............................................................................................... 29

3.2.7. PENATALAKSANAAN ............................................................................ 30

3.2.7. PROGNOSIS .............................................................................................. 33

BAB 5 KESIMPULAN ....................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 36

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Diabetes melitus (DM) atau biasa yang disebut penyakit kencing manis
merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa darah
(gula darah) melebihi nilai normal yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau lebih
dari 200 mg/dL, dan kadar gula darah puasa diatas atau sama dengan 126 mg/dL.
Gangguan metabolik glukosa pada kasus diabetes melitus akan mempengaruhi
metabolisme tubuh yang lain, seperti metabolisme karbohidrat, protein, lemak,
dan air serta menimbulkan kerusakan seluler pada beberapa jaringan tubuh.
Komplikasi Diabetes melitus lainnya adalah kerentanan terhadap infeksi,
tuberkulosis paru dan infeksi pada kaki yang kemudian dapat berkembang
menjadi gangren. Gangren adalah suatu proses atau keadaan yang ditandai dengan
adanya jaringan mati atau nekrosis. Gangren diabetik adalah luka pada kaki yang
merah kehitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi pembuluh darah
sedang atau besar di tungkai. Luka gangren merupakan salah satu kornplikasi
kronik diabetes melitus yang paling ditakuti oleh setiap penderita Diabetes
mellitus yang merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia. Hingga
15% pasien diabetes melitus akan menderita ulkus kaki diabetik. Pasien ulkus di
kaki berisiko tinggi untuk amputasi dan kematian. Pengenalan dini melalui
skrining penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Pendekatan
interprofesional (dokter, perawat, dan spesialis perawatan kaki) sering diperlukan
untuk mendukung kebutuhan pasien.

Studi epidemiologi melaporkan lebih dari satu juta amputasi pada


penyandang diabetes setiap tahun. Sekitar 68% penderita gangrene diabetik adalah
laki-laki, dan 10% penderita gangren mengalami rekuren. Sebagian besar
perawatan di RS Cipto Mangunkusumo menyangkut gangren diabetes, angka
kematian dan angka amputasi masing-masing sebesar 16% dan 25% (2003).
Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi dan 37% akan
meninggal tiga tahun pasca-operasi.

2
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama Ny. K

Umur 51 tahun

Jenis Kelamin Perempuan

Alamat Pasir pengaraian

Agama Islam

Status Janda

Pekerjaan IRT

Tanggal masuk RS 19 Oktober 2017 (13.00 WIB)

Rekam Medis 026877

2.2 Anamnesis (Autoanamnesa)

Keluhan Utama
Nyeri pada kaki kiri

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Rumah Sakit Bhayangkara dengan keluhan luka di kaki
sebelah kiri yang disertai nyeri hal ini dialami os ± 3 minggu yang lalu. Awal nya
os tidak menyadari adanya luka di kaki tersebut, dikarenakan os sering
mengeluhkan kakinya sering terasa kebas-kebas. Kemudian os baru menyadari

3
munculnya gelembung yang kecil dan lama kelamaan semakin membesar dan
pecah, mengakibatkan luka tersebut basah dan berair. Os juga mengeluhkan luka
didaerah jari- jari kaki kirinya yang sudah menghitaman dan menjalar ke bagian
atas jari. Keluhanan banyak minum dan banyak makan juga diakui os. Serta os
juga mengeluhkan adanya mata yang terasa kabur dan disertai dengan terasa kebas
pada daerah tangan dan kaki. Oleh karna kondisi tersebut os dirujuk ke RS
Bhayangkara Pekanbaru.
Os mengatakan mengakui sudah mengidap penyakit gula sejak 10 tahun
yang lalu, dan pasien menggunakan obat suntik insulin 3x1 sehari sebanyak 14
unit. BAB dab BAK dalam batas normal.

Riwayat penyakit dahulu


Os mengatakan mengidap penyakit gula sejak 10 tahun yang lalu. Darah
tinggi tidak diketahui.

Riwayat penggunaan obat


Pasien rutin menggunakan obat suntik insulin prandial 3x1 sehari 14 unit.

Riwayat penyakit keluarga


o Riwayat Hipertensi (-)
o Riwayat Stroke Dalam Keluarga Tidak Ada
o Riwayat Diabetes Melitus (+)
o Riwayat Penyakit Jantung (-)
o Riwayat Keganasan (-)

Riwayat kebiasaan
Os mengatakan sering berjalan ke luar rumah dengan tidak
menggunakan alas kaki.

2.3 Pemeriksaan Fisik

A. Keadaan Umum
Tekanan darah :130/80 mmHg
Frekuensi nadi :111x/i
Frekuensi nafas :20 x/i

4
Suhu :38,8°C
Berat badan : 81 kg
Tinggi badan : 157 cm

IMT : 32,6 obesitas

B. Pemeriksaan Fisik Umum


Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis +/+, Skela ikterik -/-, visus OD: 6/30
OS: 6/12
Hidung : Septum Deviasi -, Sekret –
Telinga : Normotia, Sekret -/-, Serumen +/+
Mulut : Bibir tidak pucat, tidak sianosis
Jantung : IC teraba 1 jari lateral linea anterior aksila sinistra, BJ I dan II
reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler (+/+), Ronki (-), Wheezing (-)
Abdomen : Tampak cembung, soepel, BU (+) Normal, Timpani
Ekstremitas:
o Inspeksi:
o Lokasi dan luka terdapat di ekstremitas inferior sinistra dan
ganggren pada jari II, III, V, dengan stadium kedalaman luka
(wagner): stadium 4.
o Status vaskuler: secara objective warna kulit kehitaman dan
terdapat jaringan yang mati di jari II, III, V, pus dijumpai. Secara
subjektif Os merasa nyeri jika luka di sentuh dan di gerakkan.
o Palpasi:
o Bagian paroxysmal ekstremitas inferior sinistra teraba hangat.
o Teraba nadi pada arteri tibialis posterior pedis, Capillary Refill
Time >2 detik

5
C. Diagnosa Kerja
Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Ulkus Diabetik Digiti II, III, V
sinistra

D. Usulan Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Darah Rutin
2. Gula Darah Puasa dan Gula Darah 2jam pp
3. HBA1c
4. Pemeriksaan RFT
5. Foto Toraks
6. Foto Rongent Pedis Sinistra
7. EKG
8. Funduskopi

6
Pemeriksaan Laboratorium:
1. Darah Rutin (19 Oktober 2017)

- Hemoglobin: 9,8 gr/dl ↓

- Leukosit : 21.700 /mm3 ↑


- Trombosit : 328.000 /mm3
- Hematokrit : 31,6 %

2. Kimia Darah (19 Oktober 2017)

- Glukosa : 403 mg/dl ↑


- Ureum : 7,8 mg/dl
- Kreatinin : 1,5 mg/dl
- AST : 15 U/L
- ALT : 10 U/L

Pemeriksaan Penunjang

1. Rontgen Thorax (19 Oktober, 2017)

Interpretasi:

- CTR>50%, Kesan: Kardiomegali

- Sudut costofrenikus lancip

7
- Diagfragma lici

2. EKG (19 Oktober 2017)

Interpretasi : sinus takikardi


3. Foto Pedis Sinistra (19 Oktober 2017)

Interpretasi:

- Tampak fraktur lama digiti


4 metatarsal sisnistra

- Tampak pertumbuhan
callus pada daerah fraktur
tersebut

- Tidak tampak tanda-tanda


osteomielitis kronik

E. Diagnosa Akhir
DM Tipe 2 Dengan Komplikasi Ulkus Diabetic Digiti II, III, V Sinistra

8
F. Rencana Terapi
I. Umum
- IVFD NACL 20 gtt/i
- Kontrol tanda vital
- Cuci luka dengan cairan NaCl
II. Khusus
- Inj. Ceftriaxon 1gr/12 jam
- Metronidazole 500mg drip /8 jam
- Injeksi novorapid 3x14 unit/hari
- Paracetamol inf/8 jam
III. saran
- Konsul dokter bedah untuk debridement dan amputasi

Followup 20 oktober 2017


S : Nyeri pada kaki kiri
O: S : Compos Mentis
TD :120/80 mmHg
N : 94 x/mnt
RR : 18 x/mnt
T : 37,2°C
Kgd : 194mg/dl
A : DM tipe 2 dengan komplikasi ganggen diabetic digiti II,III,V sinistra post
amputasi.
• IVFD Nacl 20 ggt/i
• Ceftriaxone 1 gr/12 jam
• Metronidazole 500mg /8 jam
• Paracetamol inf /8 jam
• Novorapid 3x14 unit/hari
• Operasi debridemant dan amputasi digiti( I,II,V)

9
Laporan operasi
• Pasien dalam posisi supine
• Dilakukan tindakan anastesi dan antisepsis
• Dilakukan amputasi digiti II,III,V
• Debridement jaringan yang mati
• Cuci luka dengan Nacl
• Observasi vital sign
• Di berikan pasien terapi post operasi (IVFD Nacl 20gtt/I, Ceftriaxone 1
gr/12 jam, Metronidazole /8 jam,ketorolac /8 jam)
• Bed rest total 24 jam
• Pasien puasa sampai sadar penuh

Follow up 20 Oktober 2017


S : nyeri di kaki kiri post operasi
O:
S : Compos Mentis
TD :120/80 mmHg
N : 88x/mnt
RR : 18 x/mnt
T : 37,2°C
Kgd : 194 mg/dl
A : Ganggren pedis sinistra digiti II,III,V post amputasi dan debridement + DM
tipe 2
P:
• Bed rest total 24 jam
• IVFD Nacl 20 ggt/i
• Ceftriaxone 1 gr/12 jam
• Metronidazole 500mg /8 jam
• Inj ketorolac /8 jam
• Novorapid 3x14unit/hari

Follow up 21Oktober 2017

10
S : kebas-kebas dikaki dan tangan
O:
S : Compos Mentis
TD :120/70 mmHg
N : 74x/mnt
RR : 20 x/mnt
T : 36,5°C
Kgd : 429 mg/dl
A : Ganggren pedis sinistra digiti II,III,V post amputasi dan debridement+DM
tipe 2
P:
• IVFD Nacl 20gtt/i
• Ceftriaxone 1 gr/12 jam
• Metronidazole 500mg /8 jam
• ketorolac /8 jam
• Inj Novorapid 3x16 unit sc

Follow up 22 Oktober 2017


S : kebas-kebas sudah mulai berkurang, nyeri (-)
O:
S : Compos Mentis
TD : 110/80 mmHg
N : 72 x/mnt
RR : 18 x/i
T : 37.0 °C
Kgd : 106 mg/dl
A : Ganggren pedis sinistra digiti II,III,V post amputasi dan debridement+DM
tipe 2
P:
• IVFD Nacl 20gtt/i
• Ceftriaxone 1 gr/12 jam
• Metronidazole /8 jam

11
• ketorolac /8 jam
• Inj Novorapid 3x20 unit sc

12
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Diabetes mellitus
3.1.1 Definisi
Berdasarkan defenisi American Diabetes Association tahun 2010.
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.

3.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk
Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada
tahun 2003 diperkirakan terdapat penderita DM di daerah urban sejumlah 8,2
juta dan di daerah rural sejumlah 5,5 juta. Studi epidemiologi melaporkan
lebih dari satu juta amputasi pada penyandang diabetes setiap tahun. Sekitar
68% penderita gangren diabetik adalah laki-laki, dan 10% penderita gangren
mengalami rekuren. Sebagian besar perawatan di RS Cipto Mangunkusumo
menyangkut gangren diabetes, angka kematian dan angka amputasi masing-
masing sebesar 16% dan 25% (2003). Sebanyak 14,3% akan meninggal
dalam setahun pasca amputasi dan 37% akan meninggal tiga tahun pasca-
operasi.

3.1.3 Klasifikasi diabetes mellitus


a. Tipe 1 Diabetes Melitus yang tergantung insulin (Insulin Dependent
Diabetes Mellitus)
b. Tipe II Diabetes mellitus yang tidak tergantung insulin (Non-Insulin
Dependent Diabetes Mellitus)
c. Tipe lain:
 Defek genetik fungsi sel beta
 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksorin pangkreas
 Endokrinopati

13
 Karena obat/ zat kimia/ iatrogenik
 Infeksi
 Sebab imunologi yang jarang
 Sindrome genetik lain yang berkaitan dengan DM

3.1.4 Etiologi
1. Diabetes tipe I
a. Faktor genetik
b. Faktor imunologi
c. Faktor lingkungan
2. Diabetes Tipe II
a, Usia
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
d. Kelompok genetik

3.1.5 Patofisiologi

Pada Diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin


karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati.
Disamping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam
hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi,
ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,
akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (Glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebih dieksresikan dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai
akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang


menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera

14
makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan. Proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut
turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak
yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk
samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu
keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis
diabetik yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti
nyeri abdominal, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton dan bila tidak
ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.

Sedangkan Pada Diabetes tipe II terdapat dua masalah yang berhubungan


dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Akibat intoleransi
glukosa yang berlangsung lambat dan progresif maka awitan diabetes tipe II dapat
berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia,
luka yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur.

3.1.6 Diagnosis
Pada anamnesa dapat di temukan keluhan klasik atau non klasik. Keluhan
klasik berupa bannyak makan (polyphagia) Banyak minum (polydipsia), Banyak
kencing (polyuria), dan penurunan berar badan yang tidak jelas sebabnya.
Keluhan lain (non klasik) dapat berupa badan lemah, kesemutan, gatal, mata
kabur, nyeri pada ekstremitas yang tidak diketahui sebabnya. Luka yang sulit
sembuh, disfungsi ereksi pria, serta pruritus vulva perempuan.
Dari anamnesa juga dapat ditanyakan mengenai pemeriksaan laboratorium
terdahulu, status gizi, pola diet, riwayart perubahan berat badan, tumbuh
kembang, infeksi sebelumnya terutama infeksi kulit, gigi, saluran kemih dan
kelamin, infeksi pada kaki, gejala komplikasi pada ginjal, mata, dan riwayat

15
pengobatan, adanya pengobatan lain yang dapat berpengaruh terhadap kadar
glukosa darah maupun adanya faktor resiko DM (merokok, hipertensi, riwayat
penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga). Pola hidup
psikososial, budaya, status ekonomi, dan pendidikan. Pada pemeriksaan fisik
dicari tanda tanda penyakit penyerta/komplikasi di antaranya hipertensi,
kardiomegali,

Skrining dilakukan pada pasien dengan resiko DM, tetapi tidak menunjukkan
gejala klasik. Skrinig bertujuan menemukan pasien DM tanpa keluhan serta pre
DM (TGT,GDPT, mixed) sehingga dapat di tangani segera.. pasien pre DM
merupakan tahapan menuju DM, serta merupakan faktor resiko terjadinya
penyekit kardiovaskular, di kemudian hari. Skrining dilakukan dengan
pemeriksaan GDS atau GDP. Untuk menetukan status pre DM dilakukan
pemeriksaan TTGO.

Kriteria diagnosis diabetes melitus perkeni 2015


 Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl. Glukosa plasma
sewaktu adalah hasil pemeriksaan sesaat pada suatu waktu tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
 Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa >126 mg/dl. Puasa berarti
tidak ada asupan kalosi setidaknya 8 jam.
 Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dl. TTGO dilalkukan sesuai
standar WHO, dengan 75 gr glukosa dilarutkan dalam air.
 Salah satu kriteria diagnostik adalah kadar HbA1C (≥ 6,5 %) = diperiksakan
interval 3-6 bulan sekali.

3.1.7 Tatalaksana

Tatalaksana DM secara adekuat bertujuan untuk menghilangkan keluhan


dan tada DM, mempertahan rasa nyaman dan mencapai target glukosa darah
(jangka pendek), mencegah serta menghambat progresifitas penykit
mikroangipati. Makroangiopati dan meuropati( jangka panjang). Untuk mencapai
tujuan tersebut, perlu dilakukan upaya pengendalian menyeluruh terhap glukosa

16
darah, tekanan darah, berat badan, profilipid. Agar tujuan terebut dapat tercapai,
perlu dilakukan pengolaan secara holostik dengan mengajarkan perubahan gaya
hidup dan perawatan mandiri. Pilar penatalaksaan Diabetes Melitus:

 Edukasi
Edukasi mengenai pengertian DM, promosi prilaku hidup sehat, pemantauan
glukosa darah mandiri, serta tanda dan gejala hipoglikemia beserta cara
mengatasinya perlu di pahami oleh pasien.

 Terapi nutrisi medis (TNM)


TNM merupakan aspek penting dari penatalaksanaan DM secara menyeluruh,
yang membutuhkan keterlibatan multi disiplin (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan, pasien, keluarga pasien). Prinsip pengaturan diet pada penyandang D<
adalah menu seimbang sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
pasien, serta perlu di tekan kan pentingnya keteraturan jadwal, jenis dan jumlah
makan. Kebutuhan kalori dilakukan dengan memperhitungkan kalori basal.
Kebutuhan kalori ini besarnya 25(perempuan), 30kalori (laki-laki)/KgBB ideal.
Ditambah atau di kurangi tergantung dari bebrapa faktor seperti jenis kelamin,
umur, aktivitas, berat badan, ddl. Perhitungan berat badan ideal atau BBI
dilakukan dengan rumus broca yang di modifikasi yaitu:

1. BBI= 90% X (tinngi badan dalam CM-100) X 1kg


2. Bagi pria dengan tinggi badan ≤ 160cm dan perempuan ≤150 cm, rumus di
modifikasi menjadi: BBI + (tinngi badan dalam cm -100) X 1kg.
3. BB normal : BBI ± 10%, kurus : < BBI - 10% gemuk > BBI + 10%.

Komposisi yang dianjurkan terdiri dari:


1. Karbohidrat :45-65% total asupan energi (karbohifrat non olahan berserat
tinggi, dibagi dalam 3x makan perhari)

17
2. Lemak : 20-25% dibutuhkan kalori(batasi lemak jenuh dan lemak trans,
seperti daging berlemak dan wole milk. Konsumsi kolestrol kurang dari 200
mg perhari.
3. Protein: 10-20 % total asupan energi (seafod, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe).
4. Natrium :< 3g ataau 1 sdt garam dapur (pada hipertensi natrium dibatasi 2,4
gr).
5. Serat : ± 25 g perhari(kacang-kacangan, buah, dan sayuran dan serta
karbohidrat tinggi serat)
6. Pemanis alternatif : tetap perlu di perhitungkan kandungan kalorinya sebagai
bagian dari kebutuhan kalori sehari.

 Aktivitas fisik

Kegiatan jasmani yang di anjurkan adalah intensitas sedang (50-70% denyut


nadi maksimal) minimal 150 menit per minngu atau erobik 75 menit per minngu.
Aktivitas dibagi dalam tiga hari perminggu dan tidak ada dua hari berturut-turut
tanpa aktifitas fisik. Jika tidak ada kontra indikasi, pasien DMT 2 di edukasi
melakukan latihan resistensi sekurangnya 2x perminggu. Untuk penyandang DM
dengan penyakit kardiovaskuler, latihan jasmani di mulai dengan intensitas rendah
dan durasi singkat lalu secara perlahan di tingkatkan. Aktivitas fisik sehari-hari
dapat dilakukan, misalnya berjalan kaki ke tempat kerja, mengunakan tangga
(tidak menggunakan elevator).

 Farmakologis

Terapi farmakplogis di terapkan bersama-sama dengan pengaturan diet dan


latihan jasmani. Terapi farmakologis dapat berupa ADO atau insulin. Berdasarkan
cara kerjanya ADO di bagi menjadi 5 golongan :

1. Pemicu sekrei insulin ( insuline secretagogue) : sulfonilurea dan glinid


2. Peningkat sensitivitas insulin : metformin dan tiazolidindion
3. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
4. Penghambat absorbsi glukosa : penghambat glukosidase alfa (acarbose)

18
5. DPP-IV inhibitor
6. Penghambat SGLT-2 (sodium glucose co- transporter 2)

1. Golongan Sekretagok Insulin


Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemikdengan cara stimulasi
sekresi insulin oleh sel beta penkreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan
glinid.

 Sulfonylurea
Sulfonylurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun
1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan
diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi
gangguan pada sekresi insulin. Sulfonylurea sering digunakan sebagai terapi
kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan
sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit efek
samping (termasuk hipoglikemi) dan relatif murah. Berbagai macam obat
golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga
efek klinis dan mekanisme kerjanya.
Pada pemakaian sulfonylurea, umumnya selalu dimulai dari dosis rendah,
untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu di mana
kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonylurea dengan dosis yang
lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa ahri sudah dapat
diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan
kadar glukosa darah yang cukup bermakna.
Dosis permulaan sulfonylurea tergantung pada beratnya hiperglikemia.
Bila konsentrasi glukosa puasa < 200 mg/dL, Sulfonylurea sebaiknya dimulai
dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu
sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dL. Bila glukosa darah puasa >
200 mg/dL dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan
setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang
diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.

19
 Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati, tidak
dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya
proses tersebut maka metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari
dalam bentuk extended release. Pengobatan dengan dosis maksimal akan dapat
menurunkan A1C, sebesar 1-2%. Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis
laktat dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (kreatinin > 1.3 mg/dL pada perempuan dan > 1.5 mg/dL
pada laki – laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus
diberikan denga hati – hati pada orang lanjut usia.
Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi
dengan SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alpha glikosidase dan glitazone.
Efektivitas metformin menurunkan glukosa darah pada orang gemuk sebanding
dengan kekuatan SU. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin,
mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metofrmin
sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan
dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan
monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat
anti diabetic lain.
 Glitazone
Golongan Thiazolidinediones atau Glitazone adalah golongan obat yang
mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.
Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak
berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazone dapat
memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dL dan A1C 1.4 –
2.6% dibandingkan dengan placebo. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat
digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan metformin dan
sekretagok insulin.
Rosiglitazone dan pioglitazone saat ini dapat digunakan sebagai
monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.
Secara klinik rosiglitazon dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis

20
terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dL
dan A1C sampai 1.5% dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazon juga
mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai
monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dL dosis
tunggal.

2. Penghambat Alfa Glukosidase


Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat enzim alfa glukosidase di
dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan
glukosa dan menurunkan hiperglikemik postprandial. Obat ini bekerja di lumen
usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada
kadar insulin.
Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala
gastrointestinal seperti meteorismus, flatulens, dan diare. Flatulens adalah efek
yang paling tersering terjadi pada hamper 50% pengguna obat ini. Penghambat
Alfa Glukosidase dapat menghambat bioavailibilitas metformin jika bersamaan
dengan orang normal.
Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja local pada saluran
pencernaan. Acarbose mengalami metabolism di dalam saluran pencernaan,
metabolism terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas
enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira – kira 2 jam pada orang
sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses.

Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai kombinasi


dengan insulin metformin, glitazone, atau sulfonylurea. Untuk mendapatkan efek
maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini perlu
karena merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja
enzimatik pada saat yang sama karbohidrat berada di usus halus. Dengan
memberikannya 15 menit sebelum atau sesudahnya makan akan mengurangi
dampak pengobatan terhadap glukosa postprandial. Monoterapi dengan acarbose

21
dapat menurunkan rata – rata gluokosa postprandial sebesar 40-60 mg/dL dan
glukosa puasa rata – rata 10-20 mg/dL dan A1C 0.5-1%. Dengan terapi kombinasi
bersama sulfonylurea, metformin dan insulin maka acarbose dapat menurunkan
lebih banyak terhadap A1C sebesar 0.3-0.5% dan rata – rata glukosa postprandial
sebesar20-30 mg/dL dari keadaan sebelumnya.
Sasaran pengelolaan DM bukan hanya glukosa darah saja, tetapi juga
termasuk factor – factor lain yaituberat badan, tekanan darah, dan profil lipid,
seperti tampak pada sasaran pengendalian DM yang dianjurkan dalam Konsensus
Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia tahun 2006 (Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia).

3. Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (Penghambat DPP-IV).


Terdapat dua macam penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu
sitagliptin dan vildagliptin. Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat
menurunkan HbA1c sebesar 0,79-0,94% dan memiliki efek pada glukosa puasa
dan post prandial. Penghambat DPP-IV dapat digunakan sebagai terapi alternative
bila terdapat intoleransi pada pemakaian metformin atau pada usia lanjut. DPP-IV
tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun kenaikan berat badan. Efek samping
yang dapat ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran
kemih dan sakit kepala. Reaksi alergi yang berat jarang ditemukan.

Selain terapi farmakologi lainnya OHO farmakologi lainnya adalah


insulin. Insulin merupakan salah satu modalitas penting dalam pengelolaan
diabetes. Penggunaan insulin secara tepat dapat meningkatan keberhasilan terapi
serta menurunkan mortalitas dan mordibitas pasien. Insulin dapat diberikan pada
pasien rawat jalan maupun rawat inap. Pemberian insulin pada pasien rawat inap
merupakan kopetensi dokter spesialis penyakit dalam, jenis insulin yang saat ini
banyak beredar adalah insulin manusia/ human insulin, berdasarkan lama kerja,
insulin terbagi menajdi lima jenis:

1. Insulin kerja cepat (rapid-acting insulin)


2. Insulin kerja pendek (short-acting insulin)

22
3. Insukine kerja menengah (intermediet insulin)
4. Insulin kerja panajng ( long-acting insulin)
5. Insulin kerja ultra panjang ( ultra long-acting)

Terapi insulin dapat di sesuaikan dengan basal 1x/hari, campuran/premixed 1-


2x/hari, prandial 1-3x/hari, dan basal bolus. Insulin basal diberikan dengan dosis
awal 10 unit/hari, di berikan saat sebelum tidur (kerja menengah atau panjang)
atau pagi hari (kerja panjang), insulin prandial di berikan mulai dari dosis 4 unit
dan dapat di naikkan 2 unit setiap 3 hari bila sasaran belum tercapai. Apabila
setelah pemberian insulin basal dengan dosis titrasi yang optimal glukosa darah
masih belum bisa di kendalikan. Pasien perlu di rujuk ke spesialis penyakit dalam
untuk intensifikasi terapi insulin.

Terapi insulin diindikasi kan pada:

 DM tipe 1
 Gagal OHO
 DM dengan kehamilan

23
 DM dengan pemakai steroid jangka panjang
 DM dengan perawatan luka operasi
 DM dengan komplikasi

3.1.8 Komplikasi
Komplikasi-komplikasi pada Diabetes mellitus dapat dibagi menjadi dua
yaitu:
1. Komplikasi Metabolik akut terdiri dari dua bentuk yaitu hipoglikemia dan
hiperglikemia. Hiperglikemia dapat berupa, Keto Asidosis Diabetik (KAD),
Hiperosmolar Non Ketotik (HNK) dan Asidosis Laktat (AL). Hipoglikemi
yaitu apabila kadar gula darah lebih rendah dari 60 mg % dan gejala yang
muncul yaitu palpitasi, takhicardi, mual muntah, lemah, lapar dan dapat terjadi
penurunan kesadaran sampai koma. Hiperglikemi yaitu apabila kadar gula
darah lebih dari 250 mg % dan gejala yang muncul yaitu oliuri, polidipsi
pernafasan kussmaul, mual muntah, penurunan kesadaran sampai koma.

2. Komplikasi Metabolik Kronik pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh


darah di seluruh bagian tubuh (Angiopati diabetik). Angiopati diabetik untuk
memudahkan dibagi menjadi dua yaitu: makroangiopati (makrovaskuler) dan
mikroangiopati (mikrovaskuler), yang tidak berarti bahwa satu sama lain saling
terpisah dan tidak terjadi sekaligus bersamaan.

Komplikasi kronik DM yang sering terjadi adalah sebagai berikut:


- Makrovaskuler(makroangiopati):
- Jantung coroner
- Penyakit arteri perifer
- Penyakit serebrovaskuler

24
- Kaki diabetik
- Mikrovaskuler(mikroangiopati):
- Retinopati diabetik
- Nefropati diabetik
- Disfungsi ereksi
- Neuropati
- neuropati perifer
- Neuropati otonom

3.2 Ulkus Diabetikum


3.2.1 Defenisi
Ulkus diabetikum adalah salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes
melitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya
kematian jaringan setempat. Ulkus diabetik merupakan luka terbuka pada
permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi
vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita
yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan
oleh bakteri aerob maupun anaerob.

3.2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi melaporkan lebih dari satu juta amputasi pada
penyandang diabetes setiap tahun. Sekitar 68% penderita gangren diabetik adalah
laki-laki, dan 10% penderita gangren mengalami rekuren. Sebagian besar
perawatan di RS Cipto Mangunkusumo menyangkut gangren diabetes, angka
kematian dan angka amputasi masing-masing sebesar 16% dan 25% (2003).
Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi dan 37% akan
meninggal tiga tahun pasca-operasi.

3.2.3 Etiologi
Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati, dan infeksi.
Neuropati menyebabkan gangguan sensorik yang menghilangkan atau

25
menurunkan sensasi nyeri kaki, sehingga ulkus dapat terjadi tanpa terasa.
Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot tungkai sehingga mengubah titik
tumpu yang menyebabkan ulserasi kaki. Angiopati akan mengganggu aliran darah
ke kaki; penderita dapat merasa nyeri tungkai sesudah berjalan dalam jarak
tertentu. Infeksi sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya aliran darah
atau neuropati. Ulkus diabetik bisa menjadi gangren kaki diabetik. Penyebab
gangren pada penderita DM adalah bakteri anaerob, yang tersering Clostridium.
Bakteri ini akan menghasilkan gas, yang disebut gas gangren. Faktor Risiko
Identifikasi faktor risiko penting, biasanya diabetes lebih dari 10 tahun, laki-laki,
kontrol gula darah buruk, ada komplikasi kardiovaskular, retina, dan ginjal. Hal-
hal yang meningkatkan risiko antara lain neuropati perifer dengan hilangnya
sensasi protektif, perubahan biomekanik, peningkatan tekanan pada kaki, penyakit
vaskular perifer (penurunan pulsasi arteri dorsalis pedis), riwayat ulkus atau
amputasi serta kelainan kuku berat. Luka timbul spontan atau karena trauma,
misalnya kemasukan pasir, tertusuk duri, lecet akibat sepatu atau sandal sempit
dan bahan yang keras. Luka terbuka menimbulkan bau dari gas gangren, dapat
mengakibatkan infeksi tulang (osteomielitis).

3.2.4 Patofisiologi
Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga faktor yang sering disebut trias, yaitu:
iskemi, neuropati, dan infeksi. Kadar glukosa darah tidak terkendali akan
menyebabkan komplikasi kronik neuropati perifer berupa neuropati sensorik,
motorik, dan autonom.
Neuropati motorik mempengaruhi semua otot, mengakibatkan penonjolan
abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas khas seperti hammer
toe dan hallux rigidus. Deformitas kaki menimbulkan terbatasnya mobilitas,
sehingga dapat meningkatkan tekanan plantar kaki dan mudah terjadi ulkus.

Neuropati autonom ditandai dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan


peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat pintasan arteriovenosus kulit. Hal
ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit, sehingga kaki rentan terhadap
trauma minimal. Hal tersebut juga dapat karena penimbunan sorbitol dan fruktosa

26
yang mengakibatkan akson menghilang, kecepatan induksi menurun, parestesia,
serta menurunnya refleks otot dan atrofi otot.
Penderita diabetes juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi. Hal ini
disebabkan proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi jaringan yang
ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi arteri dorsalis pedis, arteri
tibialis, dan arteri poplitea; menyebabkan kaki menjadi atrofi, dingin, dan kuku
menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis jaringan, sehingga timbul ulkus yang
biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.

Kelainan neurovaskular pada penderita diabetes diperberat dengan


aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan kondisi arteri menebal dan menyempit
karena penumpukan lemak di dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki
dapat mempengaruhi otot- otot kaki karena berkurangnya suplai darah,
kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka lama dapat mengakibatkan
kematian jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses

27
angiopati pada penderita DM berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh
darah perifer tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal
tungkai berkurang.
DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika intima
(hiperplasia membran basalis arteri) pembuluh darah besar dan kapiler, sehingga
aliran darah jaringan tepi ke kaki terganggu dan nekrosis , yang mengakibatkan
ulkus diabetikum. Peningkatan HbA1C menyebabkan deformabilitas eritrosit dan
pelepasan oksigen oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan sirkulasi
dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya
menjadi ulkus. Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas
trombosit meningkatkan agregasi eritrosit, sehingga sirkulasi darah melambat dan
memudahkan terbentuknya trombus (gumpalan darah) pada dinding pembuluh
darah yang akan mengganggu aliran darah ke ujung kaki.

3.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi Wagner dikembangkan pada tahun 1970-an, digunakan secara luas
untuk mengklasifikasi lesi pada kaki diabetes:

28
 Derajat 0 : Tidak ada ulkus pada penderita tinggi.
 Derajat 1 : Ulkus superfisial
 Derajat 2 : Ulkus yang meluas ke ligamen, tendon, kapsula sendi, atau
facia dengan tanpa abses atau osteomielitis
 Derajat 3 : Ulkus sampai mengenai tulang, atau ulkus yangdalam
dengan abses atau osteomielitis
 Derajat 4 : Gangren pada sebagian kaki
 Derajat 5 : Gangren luas pada seluruh kaki.
3.2.6 diagnosis
a. Pemeriksaan ulkus dan keadaan umum ekstremitas
b. Penilaian risiko insufisiensi vaskular
c. Penilaian risiko neuropati perifer

a. Ekstremitas
Ulkus diabetes cenderung terjadi di daerah tumpuan beban terbesar, seperti
tumit, area kaput metatarsal di telapak, ujung jari yang menonjol (jari pertama dan
kedua). Ulkus di malleolus terjadi karena sering mendapat trauma. Kelainan lain
yang dapat ditemukan seperti callus hipertropik, kuku rapuh/pecah, kulit kering,
hammer toes, dan fissure.

a. Insufisiensi Arteri Perifer


Pemeriksaan fisik akan rnendapatkan hilang atau menurunnya nadi perifer.
Penemuan lain yang berhubungan dengan aterosklerosis meliputi bising (bruit)
arteri iliaka dan femoralis, atrofi kulit, hilangnya rambut kaki, sianosis jari kaki,
ulserasi dan nekrosis iskemik, serta pengisian arteri tepi (capillary refill test) lebih
dari 2 detik.
Pemeriksaan vaskular non-invasif meliputi pengukuran oksigen transkutan,
ankle- brachial index (ABI), dan tekanan sistolik jari kaki. ABI dilakukan dengan
alat Doppler. Cuff dipasang di lengan atas dan dipompa sampai nadi brachialis
tidak dapat dideteksi Doppler. Cuff kemudian dilepas perlahan sampai Doppler
dapat mendeteksi kembali nadi brachialis. Tindakan yang sama dilakukan pada
tungkai, cuff dipasang di bagian distal dan Doppler dipasang di arteri dorsalis
pedis atau arteri tibialis posterior. ABI didapat dari tekanan sistolik ankle dibagi

29
tekanan sistolik brachialis. Bila ankle brachial index <0,3, pasien didiagnosis
critical limb ischemia, yang berarti iskemi berat.

b. Neuropati Perifer
Tanda neuropati perifer meliputi hilangnya sensasi rasa getar dan posisi,
hilangnya refleks tendon dalam, ulserasi trofik, foot drop, atrofi otot, dan
pembentukan callus hipertropik khususnya di daerah penekanan misalnya tumit.
Status neurologis dapat diperiksa menggunakan monofilamen Semmes-
Weinsten untuk mendeteksi “sensasi protektif”. Hasil abnormal jika penderita
tidak merasakan sentuhan saat ditekan sampai monofilamen bengkok. Alat
pemeriksaan lain adalah garpu tala 128 Hz untuk sensasi getar di pergelangan kaki
dan sendi metatarsofalangeal pertama. Pada neuropati metabolik intensitas paling
parah di daerah distal. Pada umumnya, seseorang tidak merasakan getaran garpu
tala di jari tangan lebih dari 10 detik setelah pasien tidak dapat merasakan getaran
di ibu jari kaki. Beberapa penderita normal menunjukkan perbedaan antara sensasi
jari kaki dan tangan pemeriksa kurang dari 3 detik.

3.2.7 Penatalaksanaan
Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu
pencegahan kaki diabetes dan ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi
perlukaan kulit) dan pencegahan kecacatan yang lebih parah (pencegahan
sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren diabetik).

- Pencegahan Primer
Penyuluhan cara terjadinya kaki diabetes sangat penting, harus selalu
dilakukan setiap saat. Berbagai usaha pencegahan sesuai dengan tingkat risiko
dengan melakukan pemeriksaan dini setiap ada luka pada kaki secara mandiri
ataupun ke dokter terdekat. Deformitas (stadium 2 dan 5) perlu sepatu/ alas kaki
khusus agar meratakan penyebaran tekanan pada kaki.

30
- Pencegahan Sekunder
Pengelolaan Holistik Ulkus/Gangren Diabetik Kerjasama multidisipliner
sangat diperlukan. Berbagai hal harus ditangani dengan baik dan dikelola
bersama, meliputi:
1. Wound control
2. Microbiological control-infection control
3. Mechanical control-pressure control
4. Educational control

- Terapi Farmakologis
Jika mengacu pada berbagai penelitian aterosklerosis (jantung, otak), obat
seperti aspirin yang dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk kaki DM.
Namun, sampai saat ini belum ada bukti kuat untuk menganjurkan pemakaian
obat secara rutin guna memperbaiki patensi pembuluh darah kaki penyandang
DM.

- Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau kondisi klaudikasio
intermitten hebat, maka tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum
tindakan, diperlukan pemeriksaan arteriografi. Untuk oklusi panjang dianjurkan
operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi pendek dapat dipikirkan prosedur
endovaskular. Pada keadaan sumbatan akut dapat dilakukan tromboarterektomi.
Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat
diperbaiki, sehingga pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik.
Terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat memperbaiki vaskularisasi
dan oksigenisasi jaringan luka pada kaki diabetes sebagai terapi adjuvan. Masih
banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada pengelolaan
umum kaki diabetes.

- Wound Control
Perawatan luka sejak awal harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi
luka harus secermat mungkin. Klasifikasi ulkus pedis dilakukan setelah

31
debridement adekuat. Jaringan nekrotik dapat menghalangi proses penyembuhan
luka dengan menyediakan tempat untuk bakteri, sehingga dibutuhkan tindakan
debridement. Debridement yang baik dan adekuat akan sangat membantu
mengurangi jaringan nekrotik, dengan demikian akan sangat mengurangi produksi
pus/cairan dari ulkus/gangren. Debridement dapat dilakukan dengan beberapa
metode seperti mekanikal, surgikal, enzimatik, autolisis, dan biokemis. Cara
paling efektif adalah dengan metode autolysis debridement.
Autolysis debridement adalah cara peluruhan jaringan nekrotik oleh tubuh
sendiri dengan syarat utama lingkungan luka harus lembap. Pada keadaan lembap,
enzim proteolitik secara selektif akan melepas jaringan nekrosis, sehingga mudah
lepas dengan sendirinya atau dibantu secara surgikal atau mekanikal. Pilihan lain
dengan menggunakan maggot. Saat ini terdapat banyak macam dressing
(pembalut) yang dapat dimanfaatkan sesuai keadaan luka dan letak luka. Dressing
mengandung komponen zat penyerap, seperti carbonated dressing, alginate
dressing akan bermanfaat pada luka yang masih produktif. Hydrophilic fiber
dressing atau silver impregnated dressing bermanfaat untuk luka produktif dan
terinfeksi.
Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada
luka, cairan normal saline sebagai pembersih luka, senyawa silver sebagai bagian
dari dressing. Berbagai cara debridement non-surgikal seperti preparat enzim
dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembersihan jaringan nekrotik. Jika luka
sudah lebih baik dan tidak terinfeksi lagi, dressing seperti hydrocolloid dressing
dapat dipertahankan beberapa hari. Untuk kesembuhan luka kronik seperti luka
kaki diabetes, suasana kondusif sekitar luka harus dipertahankan. Selama proses
inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranjak ke proses
selanjutnya. Untuk menjaga suasana kondusif dapat dipakai kasa yang dibasahi
dengan normal saline. Berbagai sarana dan penemuan baru dapat dimanfaatkan
untuk wound control, seperti: dermagrafi, apligraft, growth factor, protease
inhibitor, dan sebagainya, untuk mempercepat kesembuhan luka. Terapi
hiperbarik oksigen efikasinya masih minimal.

- Microbiological Control

32
Data pola kuman perlu diperbaiki secara berkala, umumnya didapatkan
infeksi bakteri multipel, anaerob, dan aerob. Antibiotik harus selalu sesuai dengan
hasil biakan kuman dan resistensinya. Lini pertama antibiotik spektrum luas,
mencakup kuman gram negatif dan positif (misalnya sefalosporin), dikombinasi
dengan obat terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazole).

- Pressure Control
Jika tetap dipakai untuk berjalan (menahan berat badan/weight bearing),
luka selalu mendapat tekanan, sehingga tidak akan sempat menyembuh, apalagi
bila terletak di plantar seperti pada kaki. Berbagai cara surgikal dapat dipakai
untuk mengurangi tekanan pada luka seperti:
A. Dekompresi ulkus/gangren dengan insisi abses
B. Prosedur koreksi bedah seperti operasi untuk hammer toe, metatarsal head
resection, Achilles tendon lengthening, partial calcanectomy.

3.2.8 Prognosis
Prognosis kaki diabetik bergantung pada berbagai faktor yang terlibat dalam
patofisiologi, komplikasi, dan penyakit yang menyertai. Penatalaksanaan holistik
harus ditekankan untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas kaki diabetik.

33
BAB 5
KESIMPULAN

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk


Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun
2003 diperkirakan terdapat penderita DM di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di
daerah rural sejumlah 5,5 juta. Studi epidemiologi melaporkan lebih dari satu juta
amputasi pada penyandang diabetes setiap tahun. Sekitar 68% penderita gangren
diabetik adalah laki-laki, dan 10% penderita gangren mengalami rekuren.

Klasifikasi DM terbagi menjadi DM Tipe yaitu Diabetes Melitus yang


tergantung pada insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus), DM Tipe II
Diabetes mellitus yang tidak tergantung insulin (Non-Insulin Dependent Diabetes
Mellitus).

Untuk penegakan diagnosa diawali dengan anamnesa yang dapat di


temukan keluhan klasik atau non klasik. Keluhan klasik berupa bannyak makan
(polyphagia) Banyak minum (polydipsia), Banyak kencing (polyuria), dan
penurunan berar badan yang tidak jelas sebabnya. Keluhan lain (non klasik) dapat
berupa badan lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, nyeri pada ekstremitas yang
tidak diketahui sebabnya. Luka yang sulit sembuh, disfungsi ereksi pria, serta
pruritus vulva perempuan.

34
Penatalaksanaan penyakit diabetes melitus terbagi menjadi bebrapa point
yaitu: edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani yang teratur, dan interfensi
farmakologis, jika hal ini sudah di lakukan secara adekuat tatapi kadar glukosa
darah penderita tetap meningkat maka pasien perlu di rujuk ke spesialis penyakit
dalam.

Komplikasi-komplikasi pada Diabetes mellitus dapat dibagi menjadi dua


yaitu makrovaskular dan mikrovaskular. Dalam laporan kasus ini juga di bahas
adalah tentang komplikasi DM yang termasuk dalam kelompok makrovaskular
yaitu Ulkus diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya
komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati,
yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan, dan
dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun
anaerob.

Prognosis kaki diabetik ini bergantung pada berbagai faktor yang terlibat
dalam patofisiologi, komplikasi, dan penyakit yang menyertai. Penatalaksanaan
holistik harus ditekankan untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas kaki
diabetik.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru (2011), Buku ajar penyakit dalam jilid 1 edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerrbitan ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2. Chris tanto, et al., (2014), kapita selekta kedokteran. Ed IV. Jakarta :
media aeskulapius.
3. PERKENI (2015). Konsensus pengolaan dan pencegahan Diabetes Melitus
tipe 2 di indonesia. Jakarta. PB PERKENI.
4. American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes
mellitus. Diabetes Care 2004 .p. 5-10.
5. Waspadji S. Kaki diabetes. In: Sudoyo, Setiyohadi, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2011 .p.1961-2.
6. Tjokroprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya: Airlangga
University Press; 2007.
7. The Journal of Diabetic Foot Complication 2012; 4(1): 2.
8. Powers A. Diabetes mellitus. In: Longo, Fauci, Kasper, editors. Harrison’s
principles of internal medicine. 18th ed. USA: McGraw Hill; 2012
9. Ismiarto YD. Aspek bedah penanganan luka diabetes. In: Kariadi SHKS,
Arifin AYL, Adhiarta IGN, Permana H, Soetedjo NNM, editors. Naskah
lengkap forum diabetes nasional V. Bandung; 2011
10. Widyatmoko S, Sulistiyani, Ulum M. Hubungan perawatan kaki pasien
diabetes melitus tipe 2 dengan kejadian ulkus diabetik di RSUD Dr.
Moewardi. Surakarta: Penerbit Universitas Muhammadiyah Surakarta;
2012 .p. 5.

36
11. Suyono S. Masalah Diabetes di Indonesia. Dalam : Noer, dkk, editors,
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi ketiga, Penerbit FK UI, Jakarta, 1999.
12. Soegondo S. Penatalaksanaan Pasien Diabetes Mellitus, Penerbit FK UI,
Jakarta,1998.
13. Hadisaputro S, Setyawan H. Epidemiologi dan Faktor-Faktor Risiko
Terjadinya Diabetes Mellitus tipe 2. Dalam : Darmono, dkk, editors.
Naskah Lengkap Diabetes mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit
dalam dalam rangka Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2007. p.133-154.
14. Kruse I, Edelman S. Evaluation dan Treatmen of Diabetic Foot Ulcer.
Clinical Diabetes Vol24, Number 2, 2006. p 91-93

37

Anda mungkin juga menyukai