Anda di halaman 1dari 12

Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo ..................................................................................................................

(Suryanegara, dkk)

PERUBAHAN SOSIAL PADA KEHIDUPAN SUKU BAJO:


Studi Kasus Di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara
(Social Change on Bajo Tribe: Case Study in Wakatobi Islands, Southeast Sulawesi)
1 2 3
Ellen Suryanegara , Suprajaka dan Irmadi Nahib
1
Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas, Badan Informasi Geospasial
2
Pusat Standardisasi dan Kelembagaan Informasi Geospasial, Badan Informasi Geospasial
3
Pusat Penelitian, Promosi dan Kerja Sama, Badan Informasi Geospasial
Jl. Raya Jakarta - Bogor Km. 46, Cibinong 16911
E-mail : suryanegara@big.go.id

Diterima (received): 20 November 2014; Direvisi (revised): 25 April 2015; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 28 Mei 2015

ABSTRAK

Selama berabad-abad, suku Bajo tinggal di atas perahu dan hidup bebas di lautan luas sehingga mereka
dikenal sebagai pengembara laut (sea nomads). Perkembangan zaman membuat suku Bajo yang sebelumnya
hidup nomaden menjadi tinggal menetap di wilayah pesisir dan laut sekitar. Salah satu populasi terbesar suku
Bajo yang telah menetap terletak di Kepulauan Wakatobi dengan jumlah penduduk suku Bajo lebih dari 10.000
jiwa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan sosial yang terjadi pada suku Bajo yang mulanya hidup
berpindah (nomaden) menjadi menetap di suatu wilayah. Dilihat pula faktor pendorong perubahan tersebut dan
dampak dari perubahan sosial tersebut terhadap kehidupan masyarakat Bajo yang telah bermukim. Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif dengan analisis data menggunakan studi kasus di Kepulauan Wakatobi,
Sulawesi Tenggara. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2015 dengan jenis data yang dikumpulkan adalah
data sekunder dan primer. Hasil penelitian menunjukkan perubahan sosial pada masyarakat Bajo yang telah
tinggal menetap yaitu terjadinya perubahan pola perilaku masyarakat, interaksi sosial, nilai yang dianut
masyarakat, organisasi sosial dan susunan lembaga kemasyarakatan, serta perubahan lapisan sosial dalam
masyarakat. Faktor yang mendorong suku Bajo untuk menetap di Kepulauan Wakatobi antara lain penurunan
potensi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup, persediaan kayu untuk perahu yang semakin
langka, didorong dengan adanya program pemerintah, serta adanya pengaruh kebudayaan dari masyarakat
daratan. Dampak positif yang muncul akibat perubahan sosial tersebut yaitu munculnya kesadaran pendidikan,
terciptanya lapangan pekerjaan baru, meningkatnya taraf hidup, dan modernisasi sistem perikanan. Sedangkan
dampak negatif yang ditimbulkan yaitu semakin berkurangnya eksistensi adat istiadat, reorientasi pandangan
hidup, serta mulai munculnya pola hidup konsumtif.

Kata kunci: perubahan sosial, suku pengembara laut, Bajo, Wakatobi

ABSTRACT

For centuries, Bajo tribe lived freely on boats in the ocean. They were known as the sea nomads.
Nowadays, Bajo tribe who previously lived a nomadic life became settled at the coastal areas. One of the
largest populations of Bajo tribe in Indonesia who had been settled located in Wakatobi islands with more than
10,000 inhabitants. This study aims to describe the social changes that occurred in the Bajo tribe who originally
lived a nomadic life became settled in a certain area. This study also looks for the driving factors of these
changes and the impact of social changes that occurred on Bajo tribe. This study is a qualitative research with
data analysis using case studies in Wakatobi, Southeast Sulawesi. The study was conducted in 2015 with the
type of data collected was secondary and primary data. The result showed that there were social changes in
Bajo society who have permanent residence, such as changes in society behavior patterns, social interaction,
society values, social organization, social institutions, and changes in social strata of the society. Driving factors
that encourage Bajo tribe to settle down in Wakatobi are because of the economic demands, decreasing wood
supplies for boat, government program, and get influenced by the landlubber. The social change has also
positive and negative impacts, such as the rise of awareness for formal education, the emergence of new jobs,
increasing standard of living, modernization of fisheries system, reduced the customs existence, reorientation
on life, and the escalation of consumptive lifestyle

Keywords: social change, sea noma, Bajo, Wakatobi

67
Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015: 067 - 078

PENDAHULUAN Mereka tinggal dan beraktivitas di atas perahu yang


disebut dengan „soppe‟ secara berkelompok dalam
Sebagai negara bahari, Indonesia tidak hanya setiap keluarga. Perahu bagi Suku Bajo ibarat
memiliki satu “laut utama” atau heart of sea, tetapi rumah dan merupakan kebutuhan utama yang
terdapat tiga laut utama yang membentuk Indonesia sangat berharga. Di perahu segala aktivitas di
sebagai suatu sea system, yaitu Laut Jawa, Laut lakukan, mulai dari makan, tidur, ritual keagamaan,
Flores, dan Laut Banda (Surowo, 2012). Wilayah bermain untuk anak-anak bahkan melahirkan pun
Indonesia yang mayoritasnya terdiri dari wilayah kadang dilakukan di atas perahu. Mereka menetap
perairan (±70%) menyebabkan banyak masyarakat di dekat pantai hanya pada musim-musim tertentu
Indonesia yang tinggal di wilayah pesisir dan ketika perairannya tenang sambil memperbaiki
menggantungkan hidupnya dari laut serta perahu dan alat-alat untuk menangkap ikan serta
membentuk suatu kebudayaan maritim. hasil laut lainnya, mengadakan kegiatan sosial
Awal kegiatan kemaritiman di Indonesia seperti perkawinan, sunatan, penguburan, dan
tersebut sudah berlangsung sejak jaman prasejarah, upacara lainnya.
dibuktikan dengan keberadaan lukisan perahu yang Perkembangan zaman membuat suku Bajo
terlihat pada gua prasejarah yang ditemukan di yang sebelumnya hidup mengembara (nomaden)
daerah Sulawesi, Sumatra dan Papua. Hal ini menjadi tinggal menetap di wilayah pesisir dan laut
menunjukan bahwa budaya maritim telah melekat sekitar. Sudah banyak suku Bajo yang menyebar di
pada citra bangsa Indonesia. sepanjang pantai dan membuat rumah permanen
Di Indonesia, terdapat beberapa suku bangsa sebagai tempat tinggal. Beberapa permukiman Suku
yang masih menerapkan pola budaya maritim dalam Bajo yang telah menetap dengan jumlah populasi
setiap sendi kehidupannya. Salah satu suku bangsa yang cukup besar ditemukan di sepanjang pesisir
yang sangat terkenal sebagai pendukung pantai Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
kebudayaan maritim yaitu Suku Bajo (Bajau). Suku Seiring meningkatnya jumlah suku Bajo yang
Bajo merupakan suku yang hidup bebas mendirikan rumah di tepian pantai dan mulai
mengembara di lautan luas sehingga sering dikenal menetap, jumlah suku Bajo yang menggantungkan
sebagai pengembara laut (sea nomads). Pada hidupnya di perahu-perahu kayu pun mulai
beberapa literatur bahkan Suku Bajo berkurang. Hal ini merupakan suatu realitas baru, di
diidentifikasikan dengan berbagai julukan di mana perkembangan ini membawa perubahan-
antaranya sebagai manusia perahu atau sea gypsy. perubahan secara sosial dan budaya pada
Suku Bajo banyak ditemukan di perairan selat kehidupan masyarakat Suku Bajo yang sebelumnya
Makassar, Teluk Bone, daerah Nusa Tenggara sudah hidup di atas air selama berabad-abad.
Timur, Kepulauan Banggai, Teluk Tomini, Maluku Fenomena tersebut juga terjadi pada Suku Bajo
Utara dan peraian Laut Sulawesi. di Kepulauan Wakatobi. Saat ini salah satu populasi
Sopher dalam Lapian (2009) telah terbesar suku Bajo yang telah menetap di Indonesia
mengumpulkan toponim yang bernama Bajau atau terletak di Kepulauan Wakatobi, dengan populasi
mengandung nama Bajau dan menggambarkannya penduduk diatas 10.000 jiwa. Kepulauan Wakatobi
dalam sebuah peta. Ternyata jangkauan sendiri merupakan akronim dari nama 4 (empat)
penyebaran orang Bajau meliputi seluruh perairan pulau utamanya, yaitu Wangi-wangi, Kaledupa,
Indonesia, tidak hanya terbatas pada bagian timur Tomia, dan Binongko. Ditinjau dari segi geografinya,
Nusantara saja. daerah ini merupakan penghubung dan salapanga
Orang Bajo ini pun menyebar ke segala penjuru (persilangan) antara daerah-daerah di sekitarnya,
wilayah semenjak abad ke-16 hingga sekitar 40-50 dan telah terintegrasi ke dalam jaringan pelayaran
tahun silam, perpindahan terakhir terjadi di berbagai dan perdagangan maritim nusantara bahkan Asia
wilayah di Nusa Tenggara Timur (Tahara, 2011). Hal Tenggara sejak ratusan tahun silam.
ini menunjukan bahwa Suku Bajo merupakan Wakatobi adalah sebuah gugusan kepulauan
pengembara laut yang ulung dan terbukti telah kecil dan berada di antara Pulau Buton dan
menjelajah Nusantara sejak dahulu kala. Beberapa Sulawesi di bagian barat, Maluku di bagian timur
penemuan bahkan mengungkapkan bahwa jejak dan utara, serta Nusatenggara di bagian selatan.
Suku Bajo ditemukan di berbagai negara seperti Jadi wilayah Kepulauan Wakatobi merupakan
Malaysia, Filipina, dan Australia. Berdasarkan data penghubung dan persilangan antara Nusantara
sensus penduduk pada tahun 2000, estimasi total Bagian Timur (NBT) dan Nusantara Bagian Barat
populasi Suku Bajo di Asia Tenggara adalah sekitar (NBB), antara Nusantara Bagian Utara (NBU) dan
1,077,020 jiwa, di mana 570,857 jiwa tersebar di Nusantara Bagian Selatan (NBS) baik dari aspek
wilayah Filipina, 347,193 jiwa tersebar di Malaysia, geografis maupun aktivitas sosial ekonomi. Budaya
dan 158,970 tersebar di wilayah Indonesia suku Bajo mencerminkan persentuhan antara
(Kazufumi, n.d). budaya-budaya Maluku, Ambon, Sulawesi,
Pada sejarahnya, etnik ini cukup sulit untuk Nusatenggara, Jawa, Melayu serta Filipina (Hadara,
menyatu dengan masyarakat daratan bahkan 2014). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
hampir sepanjang hidupnya masyarakat etnik bajo melihat perubahan sosial dan dampaknya yang
nyaris tidak pernah dan bahkan menghindari untuk terjadi pada suku Bajo yang mulanya hidup
berinteraksi dengan penduduk daratan karena mengembara menjadi menetap di wilayah di
aktivitas mereka mayoritas berlangsung diatas laut. Kepulauan Wakatobi.

68
Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo .................................................................................................................. (Suryanegara, dkk)

METODE Pengolahan dan Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini Analisis data dilakukan secara kualitatif
bersifat kualitatif dengan mengambil bentuk studi berdasarkan tipologi Miles dan Huberman (1992),
kasus. John Creswell (2008) dalam Raco (2010), melalui tiga jalur analisis: reduksi data yaitu proses
mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai pemilihan, penyederhanaan, dan transformasi data-
suatu pendekatan atau penelusuran untuk data yang didapat dari lapangan, penyajian data
mengeksplorasi dan memahami suatu gejala yang telah diolah, dan penarikan kesimpulan.
sentral. Pada tulisan ini tujuan digunakan metode Sebagai studi deskriptif, penelitian ini dilakukan
kualitatif adalah pertama untuk mengetahui untuk memastikan dan juga menggambarkan
apa/bagaimana peristiwa atau gejala sosial yang karakteristik dari variabel-variabel penting suatu
sedang terjadi (eksploratif) pada komunitas Bajo situasi. Dengan demikian akan diperoleh gambaran
yang ada di Kepulauan Wakatobi; dan kedua, untuk yang utuh terkait gejala, fakta atau realita perubahan
menerangkan mengapa suatu peristiwa atau gejala sosial yang terjadi di masyarakat pengembara laut
sosial terjadi, dalam hal ini yaitu mengapa Suku Bajo di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi
perubahan sosial terjadi di komunitas Bajo tersebut. Tenggara.
Sedangkan studi kasus atau case study, adalah Pada penelitian ini studi perubahan sosial pada
bagian dari metode kualitatif yang hendak komunitas Bajo di Wakatobi melibatkan dua dimensi
mendalami suatu kasus tertentu secara lebih waktu, dulu (kondisi saat masih hidup mengembara)
mendalam dengan melibatkan pengumpulan dan sekarang (kondisi setelah hidup menetap).
beraneka sumber informasi. Studi kasus Kedua dimensi waktu ini merupakan kunci untuk
didefinisikan sebagai suatu eksplorasi dari sistem- mengamati jalannya perubahan sebuah masyarakat.
sistem yang terkait (bounded system) atau kasus
(Tahara, 2011). Pemetaan Persebaran Suku Bajo

Pengumpulan Data Peta yang digunakan Peta Administrasi


Wilayah Kabupaten Skala 1 : 50.000. Hasil survei
Pada penelitian ini data yang dikumpulkan dan data sekunder mengenai suku Bajo berbasiskan
berupa data primer dan data sekunder. wilayah administrasi digabungkan dengan peta
Pengumpulan data primer dilakukan pada tanggal 8- administrasi dengan bantuan tool Joins and Relates
14 Maret 2015 dengan melakukan wawancara (pilih Joins). Selanjutnya dapat disajikan data-data
mendalam (in-depth interview) kepada 6 (enam) suku bajo melalui tool properties berdasarkan
orang informan kunci, yaitu kepada beberapa tokoh symbology yang diinginkan, dalam hal ini terkait
masyarakat Suku Bajo yang ada di Pulau Wangi- dengan persebaran suku Bajo.
Wangi dan Pulau Kaledupa di Wakatobi yang
diambil secara sengaja (purposive) di mana peneliti HASIL DAN PEMBAHASAN
telah menentukan informan kunci menjadi
narasumber penelitiannya berdasarkan informasi Secara umum, tidak diketahui secara pasti
yang didapat di lapangan. Pendekatan informan asal-usul Suku Bajo. Tradisi lisan menuturkan
kunci (key informant approach) ini mencoba bahwa orang Bajo yang ada di Wakatobi berasal
mengumpulkan data melalui orang-orang tertentu dari Bugis, daerah Bone, Sulawesi selatan. Konon
yang dipandang sebagai pemimpin, pengambil katanya mereka ini adalah orang-orang yang
keputusan atau juga dianggap sebagai juru bicara ditugaskan oleh seorang raja untuk mencari putrinya
dari kelompok atau komuniti yang jadi obyek yang hilang, tapi mereka tidak berhasil
pengamatan, dan orang tersebut dianggap akan menemukannya. Akibatnya mereka tidak berani lagi
bisa memberikan informasi akurat dalam kembali ke daratan, kemudian mereka berpencar
mengidentifikasi masalah-masalah dalam komuniti menelusuri pantai-pantai sambil mencari makanan
tersebut (Rudito & Melia, 2013). agar mereka bisa tetap hidup dalam perjalanan
Di samping itu dilakukan juga observasi lapang menuju tujuan. Di dalam naskah lontarak dijelaskan
dengan melakukan pengamatan langsung terhadap bahwa orang Bajo di Kendari berasal dari Bajoe
kehidupan Suku Bajo yang telah menetap di Kabupaten Bone yang sebelumnya mereka berawal
Kepulauan Wakatobi. Hal ini dilakukan guna dari Ussu Luwu, kemudian setelah terjadi
mengetahui kondisi sosial budaya masyarakat Suku peperangan, mereka mengungsi ke Kerajaan Gowa.
Bajo di Kepulauan Wakatobi. Data sekunder Setelah Gowa jatuh ke tangan Belanda, maka orang
mencakup informasi yang berkaitan dengan Bajo mengungsi ke Bone atau Bajoe. Selanjutnya
gambaran fisik daerah penelitian serta keragaan pada saat Kerajaan Bone diserang Belanda maka
sosial ekonomi budaya daerah penelitian yang sebagian di antara mereka mengungsi ke berbagai
diperoleh dari dokumen atau arsip tertulis, laporan daerah di Sulawesi Tenggara (Miles & Huberman,
hasil penelitian dan publikasi lainnya. Instansi yang 1992). Pada masa itu, suku Bajo mengembara dan
dikunjungi adalah BAPPEDA Kabupaten Wakatobi hidup di atas perahu. Pengembaraan orang Bajo
dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wakatobi. mengikuti suatu pola tertentu yang berkaitan erat
dengan suasana laut: ada tidaknya jenis ikan yang

69
Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015: 067 - 078

ditangkap, arah angin dan derasnya arus pada


musim tertentu.
Menurut Nimmo dalam Lapian (2009), susunan
masyarakat Bajo yang masih bertempat tinggal di
perahu dapat dibedakan dalam tiga tingkat, yakni (1)
mataan, (2) pagmundah, dan (3) dakampungan.
Mataan adalah unit paling kecil yang biasanya terdiri
dari satu keluarga inti atau keluarga batih.
Pagmundah adalah sekelompok perahu yang
berlayar bersama-sama dan berlabuh bersama-
sama pula. Biasanya antara mereka ada hubungan
kekeluargaan yang sangat dekat, misalnya terdiri
dari saudara kandung suami atau istri (extended
family). Beberapa mataan membentuk suatu
pagmundah, dan beberapa pagmundah membentuk
sebuah dakampungan (Lapian, 2009). Suatu
Dakampungan direpresentasikan dalam kesatuan-
kesatuan perahu sebagai kelompok permukiman
terapung dan dapat berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat-tempat lainnya dengan dipimpin
oleh seorang panglima.
Asal mula pertama kedatangan orang Bajo di
Wakatobi adalah mereka datang dari Bajoe Bone
Sulawesi Selatan. Sebelumnya mereka hidup
berkelana di sekitar perairan Kepulauan Buton.
Kedatangan mereka dengan cara menyusuri pantai
melalui Kapala Nupasi (ujung barat atoll Wakatobi)
hingga sampai di Kaledupa. Kedatangan mereka
secara berkelompok dengan menggunakan jarangka Gambar 1. Ilustrasi riwayat perjananan Suku Bajo
atau semak-semak (perahu cadik). Rombongan menuju Kepulauan Wakatobi.
pertama dipimpin Raja Embu dengan membawa 31
Kepala Keluarga (Miles & Huberman, 1992).
Ilustrasi perjalanan suku Bajo hingga mencapai
Kepulauan Wakatobi disajikan pada Gambar 1.
Sekitar tahun 1950-an akibat pertambahan
penduduk dan adanya konflik gangguan DI/TII
kemudian mendorong Suku Bajo untuk melakukan
migrasi ke wilayah lain di luar Pulau Kaledupa.
Beberapa menyebar ke Pulau Wangi-wangi dan
Tomia. Pada tahun 1980-1990 masyarakat mulai
membangun rumah-rumah permanen dari beton.
Dimulai dengan menimbun kolong rumah dengan
menggunakan terumbu karang dan pasir pantai.
Satu hal yang khas di permukiman orang Bajo
adalah bahwa di situ selalu terdapat karang yang
merupakan unsur penting bagi kehidupan mereka
(Zacot, 2002). Hal ini yang melatarbelakangi Gambar 2. Sebaran lokasi terumbu karang di Kep.
banyaknya populasi Suku Bajo yang menetap di Wakatobi ditandai dengan warna biru
sekitar perairan Wakatobi, karena Wakatobi terletak Sumber: Peta RTRW Kawasan Lindung
pada pusat Segitiga Karang Dunia atau disebut Kab. Wakatobi.
dengan Coral Triangle Center yang memiliki jumlah
keanekaragaman hayati kelautan tertinggi di dunia Merujuk hasil penelitian Coral Reef Information
yakni 750 jenis karang dari 850 spesies karang and Training Center (CRITC), 2009, secara
dunia, 942 jenis ikan dunia dengan 100 diamon dive keseluruhan sebaran terumbu karang berdasarkan
sites teridentifikasi. Wakatobi memiliki 1.180.000 ha metode Point Intransep Transek (PIT) menunjukkan
terumbu karang dan Atol Kaledupa (48 km) sebagai kondisi yang berbeda pada masing-masing DPL di
atol tunggal terpanjang di dunia (Operation setiap kecamatan yaitu sedang dan baik, dengan
Wallacea, 2006). persentase tutupan karang hidupnya berkisar 34% -
64% dengan rata-rata adalah 44,29% (kondisi
sedang) seperti Tabel 1.

70
Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo .................................................................................................................. (Suryanegara, dkk)

Tabel 1. Kondisi Terumbu Karang Wilayah Kabupaten Wakatobi, Tahun 2009.


No Kecamatan Kategori Tutupan Karang Hidup
1 Wangiwangi Sedang 48 %
2 Wangiwangi Selatan Sedang 37 %
3 Kaledupa Sedang 36 %
4 Kaledupa Selatan Sedang 28 %
5 Tomia Bagus 64 %
6 Tomia Timur Bagus 63 %
7 Bionongko dan Togo Binongko Sedang 34 %
Sumber: CRITC, 2009.

Mata pencaharian utama suku Bajo adalah sehingga ikan yang akan bertelur tidak akan
mencari ikan dengan cara yang masih terbilang terambil. Hal ini tergambar pada moto yang dianut
tradisional, seperti memancing, memanah, dan para Suku Bajo yaitu lao denakangku yang berarti
menjaring ikan. Ikan-ikan tersebut nantinya dijual lautan adalah saudaraku. Mereka percaya bahwa
kepada penduduk sekitar pesisir atau pulau dengan menjaga lautan maka lautan juga akan
terdekat. Suku Bajo juga dikenal sebagai penyelam menjaga mereka.
ulung, mereka tahan berjam-jam menyelam sedalam
10-20 meter untuk berburu ikan dengan tombaknya Permukiman Suku Bajo
yang berkait dan senjata harpun buatan sendiri.
Selain ikan, mereka juga mencari kerang mutiara Kehidupan masyarakat Bajo pada periode ini,
dan juga mengumpulkan rumput laut, teripang, dan ditandai dengan pola permukiman yang mulai
sirip ikan hiu yang memiliki harga cukup tinggi. menetap di beberapa wilayah di nusantara, dengan
Suku Bajo juga dikenal dengan kearifan lokal mendirikan rumah panggung di atas air pada
dalam mengelola sumber daya kelautan yang kawasan pantai. Salah satu populasi terbesar suku
dipegang teguh oleh masyarakatnya. Mereka Bajo yang telah menetap di Indonesia terletak di
memiliki suatu peraturan dalam hal penangkapan Kepulauan Wakatobi, dengan populasi penduduk
ikan, salah satunya mereka selalu memilih ikan yang diatas 10.000 jiwa. Hal ini sesuai dengan hasil
usianya sudah matang untuk dikonsumsi. Mereka penelitian Kazufumi (2013) pada Gambar 3.
tidak mau menangkap ikan yang masih kecil agar
terjaga keberlanjutannya. Suku Bajo juga paham
akan musim bertelur masing-masing jenis ikan

Gambar 3. Persebaran permukiman Suku Bajo di Indonesia tahun 2000,persebaran Suku


Bajo di Kepulauan Wakatobi ditandai dengan kotak (Kazufumi, 2013).

71
Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015: 067 - 078

Saat membangun sebuah komunitas baru,


biasanya masyarakat Bajo berlabuh di satu pantai
lebih dahulu. Lama kelamaan mereka menimbun
pantai dengan batu dan mulai mendirikan pancang-
pancang rumah panggung. Isi sebuah rumah terdiri
beberapa anggota keluarga inti, dan pada umumnya
menjadi sebuah keluarga luas yang terdiri dari ipar,
sepupu, dan lain-lain. Gambar 4 menunjukkan salah
satu bentuk pemukiman suku Bajo di Wakatobi.

Gambar 4. Permukiman Suku Bajo yang telah


menetap di kepulauan Wakatobi
(Dokumentasi penulis, 2015).
Gambar 5. Sebaran Suku Bajo di Kabupaten
Saat ini, permukiman Suku Bajo di sepanjang Wakatobi.
perairan Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu
permukiman dengan jumlah populasi suku Bajo Terdapat beberapa pola permukiman suku Bajo
terbesar di nusantara. Lokasi permukiman Suku yang sudah tinggal menetap di Kepulauan
Bajo di Wakatobi tersebar di beberapa pulau, Wakatobi. Pola pertama yaitu permukiman Suku
diantaranya di Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, dan Bajo yang berada di laut lepas dan terpisah dari
Tomia. Perbandingan populasi suku Bajo dengan daratan, bentuk perumahannya berupa rumah
total penduduk per kecamatan di Kepulauan panggung dari kayu yang dengan pondasi batu
Wakatobi ditunjukkan pada Tabel 2. Jumlah karang, seperti pada Gambar 6 dan Gambar 7.
penduduk suku Bajo di Kepulauan Wakatobi sekitar Pola kehidupan masyarakatnya juga masih
10 ribu orang yang tersebar di beberapa desa. Desa sederhana dan masih sangat mengandalkan sumber
Mola yang terletak di Kecamatan Wangi-wangi daya kelautan. Tipe permukiman ini salah satunya
Selatan merupakan desa terbesar komunitas Suku terdapat di Pulau Kaledupa yaitu di Desa Sama
Bajo di Wakatobi, dimana jumlah penduduknya Bahari. Pada tipe permukiman ini interaksi dengan
hampir mencapai 7.000 orang. Sebaran orang darat (bagai) belum terlalu intensif karena
permukiman Suku Bajo di Kepulauan Wakatobi akses untuk dari dan ke permukiman Bajo harus
dapat dilihat pada Gambar 5. ditempuh dengan menggunakan perahu/sampan
(tidak ada jembatan penghubung).
Tabel 2. Populasi Suku Bajo di Wakatobi
%
Luas Pendu Kepad Suku
Kec. Suku
(km2) duk atan Bajo
Bajo
1 Binongko 93,10 8563 92 - -
Togo
2 62,90 4837 77 - -
Binongko
3 Tomia 47,10 7041 149 256 3.6%
Tomia
4 67,90 8593 127 - -
Timur
5 Kaledupa 45,50 10188 224 2306 22.6%
Kaledupa
6 58,50 6781 116 862 12.7%
Selatan
Wangi-
7 241,98 24028 99 - -
Wangi
Wangi2
8 206,02 25126 122 6883 27.4
Selatan
Wakatobi 823,00 95157 116 10307 10.8
Gambar 6. Permukiman Suku Bajo yang terpisah
Sumber: Kab. Wakatobi dalam Angka 2014 dan Laporan dengan daratan (Desa Samabahari,
Kec.Wakatobi 2014 (data diolah) Kaledupa),Sumber: Google Earth, diakses
pada April 2015.

72
Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo .................................................................................................................. (Suryanegara, dkk)

Pola permukiman kedua yaitu pola permukiman Perubahan Sosial Pada Komunitas Bajo di
yang letaknya menjorok ke laut lepas tetapi masih Wakatobi
terhubung dengan jembatan ke daratan (pesisir
pantai). Adanya jembatan beton ini semakin Menurut Martono (2014), perubahan memiliki
mempermudah akses dan interaksi masyarakat Bajo makna yang sangat luas, meliputi perubahan secara
dengan masyarakat di daratan. Mayoritas rumah di makro (perubahan dalam sistem sosial) dan mikro
sana masih menggunakan kayu, tetapi beberapa (menyangkut perubahan dalam dimensi interaksi
sudah mulai berbentuk rumah bertembok semen/ antarindividu). Berdasarkan unilinear theories of
beton. evolution dalam Soekanto (2012), disebutkan bahwa
Pola permukiman ketiga yaitu permukiman manusia dan masyarakat (termasuk
suku Bajo yang berada dan menyatu dengan pesisir kebudayaannya) mengalami perkembangan sesuai
pantai, seperti pada Gambar 8. Permukiman ini dengan tahap-tahap tertentu, bermula dari bentuk
dibentuk dengan mereklamasi pantai melalui yang sederhana, kemudian bentuk yang lebih
pemadatan pasir dan batu karang. Menyatunya kompleks sampai pada tahap yang sempurna. Hal
permukiman Bajo dengan daratan ini membuat tidak inilah yang sedang terjadi pada masyarakat Bajo
ada lagi kendala dalam hal akses terhadap yang berada di Kepulauan Wakatobi, cara hidup
infrastruktur dan interaksi dengan orang darat pun tradisional budaya maritim mereka yang sederhana
menjadi sangat intensif. Permukiman ini juga paling perlahan mulai berubah mengikuti pengaruh budaya
"modern" dibanding Permukiman Bajo lain di masyarakat daratan yang lebih modern. Di satu sisi
wilayah Wakatobi. Banyak rumah-rumah sudah perubahan-perubahan ini membawa dampak positif
terbuat dari tembok dan beratap genteng, dan jalan- bagi masyarakat Bajo, namun di sisi lain perubahan
jalan penghubungnya pun sudah dibeton. tersebut juga membawa pengaruh negatif sekaligus
Permukiman Bajo tipe ini terdapat di Desa Mola, semakin melunturkan kearifan-kearifan lokal yang
Kecamatan Wangi-wangi, di mana Desa tersebut mereka miliki.
juga merupakan desa dengan populasi suku Bajo Secara umum, menurut Soekanto (2012),
terbesar di Wakatobi. Hal yang menarik pola-pola perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat
permukiman Suku Bajo yang terdapat di Wakatobi mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial,
yaitu adanya jalur-jalur perahu (kanal) di antara pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga
permukiman sebagai alat transportasi utama dan kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat,
memudahkan mobilitas/hilir mudik perahu di sekitar kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain
permukiman tersebut. sebagainya. Pada Komunitas Bajo di kepulauan
Wakatobi, perubahan sosial dimulai dari perubahan
pola permukiman yang sebelumnya berkelana di
laut dengan perahu soppe (nomaden), menjadi pola
permukiman menetap di pesisir pantai. Menetapnya
Suku Bajo di wilayah pesisir menyebabkan
terjadinya interaksi yang lebih intensif dengan orang
darat. Secara perlahan berbagai unsur kebudayaan
masyarakat darat telah terserap dalam
kebudayaannya (akulturasi).

Perubahan nilai-nilai sosial


Perubahan pola permukiman dari laut ke darat,
menyebabkan orang Bajo mengalami perubahan
Gambar 7. Permukiman Suku Bajo di atas laut nilai-nilai sosial yang dianut. Hal ini terjadi karena
(Desa Mantigola, Kaledupa), Sumber: secara ekologis, terdapat perbedaan kondisi
Google Earth, diakses pada April 2015. kehidupan di darat dengan kehidupan di laut.
Kehidupan di darat memberikan pemaknaan baru
dengan munculnya konsep „piddi tikkolo‟na lamong
„nggai makale le goya‟ yang berarti kehidupannya
tidak dapat dipisahkan dengan gemuruh ombak. Hal
ini pula berarti bahwa mereka dapat hidup di darat
sepanjang gemuruh ombak masih terdengar. Bagi
masyarakat Bajo, konsep ini merupakan usaha
untuk menjustifikasi kehidupan laut dan darat
melalui suatu perspektif adaptasi dengan
menempatkan perubahan budaya sebagai bagian
dari usahanya untuk beradaptasi terhadap
lingkungannya (Suyuti, 2011).
Gambar 8. Permukiman Suku Bajo di Pulau Pada Suku Bajo, terdapat konsep pemaknaan
Wangi-wangi yang menyatu dengan yang menyebut dirinya sebagai Suku Sama dan
pesisir pantai, Sumber: Google Earth, menyebut orang di luar sukunya dengan Suku
diakses pada April 2015. Bagai. Apabila mereka berada di antara sesama

73
Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015: 067 - 078

suku Bajo, mereka menggunakan kata "sama" Perubahan pola-pola perilaku organisasi dan
sebagai istilah rujukan dan untuk menunjukkan susunan kelembagaan masyarakat
sesama kelompok mereka. Istilah "sama" ini Perubahan pola-pola perilaku organisasi dan
beroposisi dengan “bagai” yang artinya masyarakat susunan kelembagaan masyarakat Bajo di Wakatobi
lain (kelompok berbagai), di luar orang Bajo, terlihat pada berubahnya pola kemasyarakatannya.
khususnya untuk masyarakat daratan. Pada awalnya, Suku Bajo hidup dan berlayar secara
Pemaknaan Suku Bajo ini dijelaskan dalam berkelompok, di mana sekelompok perahu yang
Soekanto (2012) bahwa kelompok sosial merupakan berlayar bersama-sama dan berlabuh bersama-
tempat di mana individu mengidentifikasi dirinya sama pula. Di antara mereka ada hubungan
sebagai in-group-nya. Out-group diartikan oleh kekeluargaan yang sangat dekat. Pada beberapa
individu sebagai kelompok yang menjadi lawan in- kelompok besar berupa dakampungan,
group-nya. Sikap-sikap in-group pada umumnya pengembaraan Suku Bajo dipimpin oleh seorang
didasarkan pada faktor simpati dan selalu Panglima yang merupakan tokoh adat. Setelah
mempunyai perasaan dekat dengan anggota- mulai menetap, kini Suku Bajo mulai tinggal
anggota kelompok. Sikap out-group ditandai dengan menetap dengan membentuk komunitas yang lebih
suatu kelainan yang berwujud antagonism dan besar membentuk masyarakat, menjadi satu desa
antipati. Perasaan in-group dan out-group atau bahkan kecamatan.
perasaan dalam serta luar kelompok dapat Perubahan pola ini juga mempengaruhi
merupakan dasar suatu sikap yang dinamakan perubahan pada lembaga administrasi
etnosentrisme. Pada kasus ini suku Bajo kemasyarakatan. Saat ini pada komunitas suku Bajo
mengidentifikasi in-group-nya dengan sebutan sama di Wakatobi peran pemimpin tidak lagi bertumpu
dan mengidentifikasi out-group-nya dengan sebutan oleh tokoh adat saja, tetapi peran pemimpin
bagai. Jadi sebagai kelompok sosial masyarakat perlahan mulai digantikan dengan kepala desa atau
Bajo memiliki rasa persaudaraan, satu suku, kepala dusun. Terdapat pembagian peran antara
senasib dan sepenanggungan yang kuat, meskipun tokoh adat dan kepala desa. Segala urusan
secara geografis terpisah-pisah. administrasi kependudukan saat ini dipegang oleh
Perubahan pola kehidupan dari mengembara kepala desa sebagai pengambil kebijakan yang sah
ke menetap, menyebabkan perasaan in-group dan secara administratif. Tokoh adat berperan sebagai
out-group pada masyarakat Bajo telah mengalami pemimpin dalam hal penyelenggaraan upacara
pergeseran makna. Konsep sama dan bagai pada maupun ritual adat seperti ritual penyembuhan
masyarakat Bajo yang digunakan untuk duata, penyelenggaraan upacara hajatan, dan lain
membedakan orang Bajo dengan bukan Bajo telah sebagainya. Saat ini perubahan dalam kelembagaan
mengalami perubahan. Hal ini disebabkan interaksi dan kepemimpinan masyarakat suku Bajo ini
dengan Suku Bajo orang bagai semakin intensif dan menjadi semakin demokratis.
tidak dapat dihindari. Untuk memenuhi berbagai Muncul juga pola perilaku organisasi yang
kebutuhannya, orang Bajo harus menjalin kerjasama digerakkan oleh kaum perempuan Bajo, yakni
dengan orang bagai, terutama setelah tinggal munculnya kelompok-kelompok arisan dan
menetap di dekat wilayah daratan. Prinsip budaya organisasi PKK. Munculnya kelompok dan
olai lesse‟e yakni berusaha menghindar dari orang organisasi ini mulai menandakan bahwa gender
bagai pun mulai berubah. Perubahan itu diakibatkan perempuan mulai mempunyai peran yang cukup
oleh adanya interaksi sosial dan kerjasama yang signifikan dalam masyarakat suku Bajo. Hal ini
telah berlangsung antara orang Bajo dengan orang terlihat dari adanya program bantuan Simpan
Bagai yang semakin melunturkan perasaan out- Pinjam Perempuan (SPP) yang disalurkan melalui
group. organisasi PKK dari program PNPM Mandiri.
Pada tatanan nilai-nilai budaya, masyarakat Selain itu, saat ini telah muncul kesadaran
Bajo dari laut ke darat tidak lagi membedakan masyarakat Bajo agar tidak lagi menjadi kaum
dirinya (sama) dengan masyarakat setempat marginal. Suku Bajo menyusun gerakan-gerakan
(bagai). Perubahan makna orang Bajo dan bukan untuk pembentukan kesadaran identitas, misalnya
Bajo, berimplikasi pada perubahan berbagai aspek membentuk Persekutuan Orang Bajo yang diakui
kehidupan masyarakat Bajo, yang berorientasi pada oleh PBB dan persekutuan tersebut mewadahi
budaya orang bukan Bajo atau masyarakat seluruh komunitas orang Bajo di dunia. Mereka juga
setempat. mengangkat presiden sebagai perwakilan suku Bajo
Makna sama dan bagai telah bergeser akibat di seluruh Indonesia. Pada beberapa kesempatan
ketergantungannya pada masyarakat daratan, baik suku Bajo di seluruh dunia mengadakan konferensi
dalam hal pemenuhan kebutuhan sandang, pangan yang dihadiri oleh perwakilan masing-masing
maupun berbagai alat produksi. Hal ini juga ditandai presiden Bajo di negaranya untuk bertemu dan
dengan perubahan bahasa yang digunakan, saat ini merencanakan program pelestarian budaya Bajo.
Suku Bajo tidak hanya menggunakan bahasa Bajo
sebagai bahasa komunikasi sehari-hari tetapi juga Perubahan lapisan-lapisan sosial
berusaha menuturkan bahasa setempat. Oleh Saleh dalam Yuga (2011), mengungkapkan
karena itu, orang Bajo menyesuaikan diri dan mulai terdapat suatu sistem stratifikasi sosial pada
fasih berbahasa Bugis, Buton, Kaledupa dan masyarakat Bajo. Stratifikasi sosial tersebut terbagi
sebagainya. menjadi empat lapisan, yaitu Lolo Same

74
Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo .................................................................................................................. (Suryanegara, dkk)

(bangsawan tertinggi), Ponggawa Same Bajo di Wakatobi. Seseorang dikatakan sukses dan
(bangsawan campuran), Gallarang (golongan berada apabila dia sudah melakukan ibadah Haji.
masyarakat biasa), dan Ate/Ata (golongan sosial Panggilan atau sebutan haji yang melekat pada
paling rendah). Di masa lalu, kedua golongan nama seseorang akan sekaligus menandakan status
pertama menjadi pemimpin dan tidak terlibat dalam sosial ekonomi yang menandakan bahwa ia
kegiatan melaut yang hanya dilakukan oleh para merupaka golongan berada dan terhormat di
Gallarang dan Ate. Ketika sistem negara kerajaan komunitas Bajo.
berhenti maka mulailah mereka ikut ke laut dan
mengembara bersama dengan kedua lapisan di Perubahan interaksi sosial
bawahnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
Sistem stratifikasi sosial ini mengatur peran dan setelah membentuk permukiman interaksi sosial
fungsi dari masing-masing lapisan termasuk dalam orang Bajo dengan masyarakat setempat (daratan)
hal pelaksanaan ritual adat dan perkawinan. Dahulu, mulai berlangsung dengan baik. Sebelumnya, orang
suku Bajo dari lapisan atas jarang diperbolehkan Bajo cenderung dinilai “negatif”, sehingga kadang-
menikah dengan lapisan yang lebih rendah karena kadang dilecehkan. Status sosial sebagai
akan mengakibatkan turunnya kasta orang tersebut. “masyarakat terisolir” yang melekat pada diri orang
Selain itu, dilarang pula menikah dengan suku lain Bajo selama ini. Semakin intensifnya interaksi
(kawin-mawin). Pada masa itu sistem perkawinan antara orang Bajo dengan orang bagai mulai
yang dianggap ideal adalah sistem perkawinan yang membentuk adanya suatu pola kerjasama yang
berdasarkan prinsip endogami (Yuga, 2011). cukup baik dengan penduduk daratan, salah
Seseorang akan memilih jodohnya dan menikah satunya dalam hal perdagangan hasil laut. Pada
dengan orang-orang yang tergolong kerabatnya awalnya, kontak dagang hanya terjadi di tengah laut
agar hubungan kekerabatan dan status di antara dengan sistem selo (barter) antara orang Bajo
meraka lebih terjaga. Pada saat itu yang boleh dengan orang darat. Pada perkembangan
mengadakan hajatan pernikahan juga hanya para selanjutnya, orang Bajo mulai mengembangkan
keturunan kasta tertinggi suku Bajo, mas kawin juga hubungan ekonomi dengan orang-orang yang
diatur sesuai dengan kedudukan masing-masing. berada di sekitar tempat mereka menetap.
Seiring berkembangnya jaman, sistem stratifikasi Kehadiran orang darat (bagai) yang bermukim di
sosial ini mulai hilang. Semua golongan suku Bajo pesisir pantai sangat dibutuhkan oleh orang Bajo
mulai membaur, siapa saja dapat melangsungkan untuk memenuhi segala kebutuhannya, baik
hajatan pernikahan dan suku Bajo juga mulai bebas sandang, pangan maupun pemenuhan alat-alat
melakukan pernikahan dengan suku lain (orang produksi penangkapan ikan. Intensitas
bagai) sehingga terjadi difusi budaya. pertemuannya tidak lagi hanya terjadi di tengah laut
Stratifikasi sosial yang terlihat saat ini adalah atau di pantai dalam kaitannya dengan distribusi
pada pola perekonomian di mana dengan adanya hasil tangkapannya, tetapi orang Bajo telah
kerjasama dengan orang bagai muncul bentuk menjangkau aktivitas perdagangan di pasar, baik
lapisan baru yang bersifat kapitalis, yaitu antara untuk kepentingan menjual hasil tangkapannya
pemilik modal (atasan) dan nelayan (pekerja). Pola maupun untuk memenuhi berbagai kebutuhannya.
dalam hubungan sosial ekonomi antara nelayan Interaksi sosial juga tercermin pada ritual
Bajo dan pedagang/tengkulak (penduduk asli) keagamaan di mana ketika ada acara-acara
sebagai pemilik modal tersebut membentuk keagamaan orang Bajo selalu mengundang orang
keterikatan/pola hubungan patron-klien. Pada sistem darat begitu pula sebaliknya. Terkait akses dan
ini orang daratan datang memberi pinjaman modal infrastruktur juga terdapat relasi yang cukup baik di
dan teknologi alat penangkapan ikan serta berperan mana sumber air masyarakat Bajo yang tinggal di
sebagai pemimpin sekaligus pemilik modal dalam lautan berasal dari sumber air yang disalurkan
kegiatan ekonomi, sementara orang Bajo sebagai masyarakat darat melalui pipa yang disambungkan
anak buah. langsung ke permukiman Bajo maupun
Pola-pola hubungan yang terjadi yaitu orang didistribusikan melalui jerigen-jerigen ke bak
darat sebagai pemilik modal, pemilik perahu, dan penampungan.
pemilik alat tangkap. Orang Bajo sebagai anak buah Terkait akses penduduk Bajo juga mulai
yang hanya mengandalkan tenaga, kemudian memperoleh akses pendidikan dari sekolah-sekolah
menyerahkan ikan-ikan hasil tangkapannya kepada yang ada di daratan. Seiring berjalannya waktu
pemilik modal dan diterapkannya sistem aturan bagi mulai dibangun sekolah di permukiman Bajo dengan
hasil sebelum masuk ke dalam pendapatan rumah kerjasama mendatangkan guru dari penduduk asli.
tangga. Sistem stratifikasi ini menandakan Kemudahan akses dan interaksi dengan budaya
berubahnya pola kerja, berdasarkan penguasaan masyarakat darat, membuat orang Bajo mulai
alat produksi maupun mencakup pula kekuasaan. meningkatkan konsumsi mereka bukan hanya pada
Sistem lapisan sosial yang mulai terbuka juga kebutuhan primer, tetapi juga kebutuhan sekunder,
memungkinkan adanya gerak sosial vertikal yang seperti telepon genggam, televisi dan sebagainya.
luas atau berarti memberi kesempatan kepada para
individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri Faktor Penyebab Perubahan Sosial
dan meningkatkan taraf hidupnya. Salah satunya Dewasa ini cara hidup orang Bajo telah
adalah status „haji‟ yang disandang oleh seorang mengalami perubahan besar terutama setelah mulai

75
Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015: 067 - 078

hidup menetap. Beberapa faktor penyebab masyarakat daratan, beberapa mulai beralih
diantaranya adalah karena adanya usaha profesi menjadi pedagang kecil meskipun
pemerintah yang menghimbau masyarakat Bajo jumlahnya sangat kurang. Aktivitas berdagang ini
untuk tidak lagi berpindah-pindah (nomaden) tetapi dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga dengan
menetap semenjak tahun 1970-an. membuka kios untuk berjualan di dalam rumah,
Persediaan kayu untuk perahu yang semakin seperti pada Gambar 9. Umumnya jenis barang
langka juga mendorong mereka untuk mencari yang diperdagangkan seperti sayur-mayur,
alternatif tempat tinggal yang lebih terjamin. Hal beras, minyak tanah, minyak goreng, telur,
inilah yang menyebabkan komunitas Bajo mulai bawang, terigu, makanan siap saji (instan), ikan
menetap dan menyebar di sepanjang perairan kering, dan beberapa jenis peralatan melaut
kepulauan Wakatobi, yaitu di Pulau Kaledupa, sederhana. Selain itu, beberapa profesi baru
Wangi-wangi, dan Tomia. lainnya yang ditemukan pada komunitas suku
Penyebab utama suku Bajo datang dan Bajo di Wakatobi adalah adalah ojek sampan,
menetap di Kepulauan Wakatobi adalah karena ojek motor, sampai rental/penyewaan playstation.
faktor pemenuhan kebutuhan hidup (ekonomi). Suku  Peningkatan taraf hidup
Bajo mengetahui bahwa di Kepulauan Wakatobi Komunitas nelayan Bajo yang pada umumnya
tersedia “lahan” untuk mencari ikan dan hasil laut berada pada kondisi statis dan miskin mulai
yang cukup melimpah di mana terdapat pasi dapat meningkatkan taraf hidupnya. Gambar 10
(karang, atol) yang terbentang luas di sepanjang memperlihatkan beberapa rumah permanen yang
kawasan perairan Wakatobi. sudah menggunakan tembok semen (modern),
Pada saat itu, perairan Wakatobi belum dikenal kepemilikan kendaraan bermotor (mobil/motor).
dengan potensi hasil lautnya yang sangat tinggi Penggunaan teknologi seperti televisi, parabola
yang sehingga belum banyak tersentuh oleh dan telepon genggam juga sudah umum
nelayan lokal. Selain itu faktor pendorong lain digunakan, seperti terlihat pada Gambar 11.
terjadinya perubahan sosial pada komunitas Bajo di Sistem perikanan sudah dimodernisasi dengan
Wakatobi adalah karena masuknya kebudayaan dari adanya perubahan pola kerja dari penggunaan
masyarakat lain. Pertemuan dua kebudayaan atau teknologi lama yang masih sederhana yaitu
lebih yang memiliki perbedaan latar belakang perahu dayung/layar menjadi teknologi baru
budaya dapat menyebabkan perubahan sosial berupa perahu motor tempel yang lebih modern,
budaya. Perubahan tersebut dapat terbentuk melalui efektif dan efisien.
proses asimilasi (penggabungan bebrapa budaya
menjadi budaya baru), atau akulturasi
(penggabungan beberapa budaya tanpa
menghilangkan budaya aslinya). Pada kasus Suku
Bajo di Wakatobi pendorongnya adalah bertemunya
budaya laut/maritim Suku Bajo dengan budaya
masyarakat daratan.

Dampak Perubahan Sosial Pada Kehidupan


Masyarakat Suku Bajo

Dampak positif Gambar 9. Perempuan Bajo menjajakan


Perubahan sosial memberikan pengaruh dagangannya di bawah rumah,
kemajuan dalam kehidupan masyarakat. Adapun (Dokumentasi penulis, 2015).
dampak positif dari terjadinya perubahan sosial
pada suku Bajo di Kepulauan Wakatobi, yaitu:
 Munculnya kesadaran pendidikan
Dahulu suku Bajo sering mendapat sindiran dan
perlakuan sebagai suku yang terbelakang dalam
hal pendidikan, di mana tingkat pendidikan rata-
rata hanya mencapai pendidikan dasar. Saat ini,
dengan bermukim di sekitar masyarakat daratan
maka akses terhadap pendidikan juga menjadi
semakin dekat dan mudah. Anak-anak suku Bajo
sudah banyak yang bersekolah, bahkan ada
yang sampai perguruan tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa kesadaran mereka tentang
pentingnya pendidikan sudah mulai terbangun.
 Terciptanya lapangan pekerjaan baru
Dahulu mata pencaharian utama dan satu- Gambar 10. Kepemilikan rumah permanen,
satunya Suku Bajo adalah sebagai nelayan. (Dokumentasi penulis, 2015).
Setelah hidup menetap dan terpengaruh budaya

76
Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo .................................................................................................................. (Suryanegara, dkk)

KESIMPULAN
Realitas sosial menunjukkan bahwa terjadi
perubahan sosial yang cukup signifikan pada
kehidupan Suku Bajo yang telah menetap di
wilayah Kepulauan Wakatobi. Hal ini ditunjukan
dengan perubahan pada beberapa aspek di
antaranya: perubahan nilai yang dianut, perubahan
pola-pola perilaku organisasi dan susunan
Gambar 11. Kepemilikan kendaraan, penggunaan kelembagaan, perubahan lapisan-lapisan sosial
teknologi pada Suku Bajo, dalam masyarakat, serta perubahan interaksi sosial
(Dokumentasi penulis, 2015). yang terjadi pada komunitas Bajo di Kepulauan
Wakatobi.
Dampak negatif Perubahan sosial tersebut didorong oleh
Selain menimbulkan kemajuan, di sisi lain beberapa faktor seperti faktor lingkungan (sumber
perubahan sosial pada suku Bajo di Kepulauan daya mulai menipis), intervensi pemerintah,
Wakatobi juga memberikan dampak-dampak pertambahan penduduk, serta pertemuan dengan
negatif, di antaranya adalah: budaya lain (budaya masyarakat daratan). Dampak
 Eksistensi adat istiadat mulai berkurang positif di antaranya adalah munculnya kesadaran
Tradisi penuturan sejarah secara lisan berupa pendidikan, terciptanya lapangan pekerjaan baru,
seni “iko-iko” mulai jarang dilantunkan. Pada peningkatan taraf hidup masyarakat serta
zaman dahulu iko-iko dinyanyikan pada saat modernisasi sistem perikanan. Dampak negatif yang
menidurkan anak, saat melaut, dan pada ditimbulkan yaitu mulai berkurangnya eksistensi
upacara-upacara adat. Iko-iko biasanya berkisah adat istiadat budaya Bajo, perubahan orientasi
tentang sejarah dan kehidupan suku Bajo, (reorientasi) pandangan hidup, serta munculnya
disertai nasihat dan petuah terkait pengelolaan pola hidup konsumtif.
sumber daya kelautan. Saat ini regenerasi
pelantun iko-iko berkurang drastis, sehingga UCAPAN TERIMA KASIH
tradisi ini bisa dibilang hampir punah dan jarang
dilakukan oleh masyarakat Bajo. Hal ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada
menyebabkan anak muda Bajo kurang mengenal berbagai pihak yang telah mendukung berjalannya
sejarah suku dan adat istiadatnya. Selain itu, penelitian ini, yakni kepada Dr. Mulyanto Darmawan,
ritual tolak bala ataupun penyembuhan (duata) Prof. Dr. Aris Poniman, dan Drs. Sri Daryaka M.Sc.
juga sudah jarang dilakukan. Masyarakat Bajo serta para staf Pusat Pemetaan Tata Ruang dan
saat ini sudah mengenal praktik pengobatan Atlas dan para peneliti di Badan Informasi
modern (dokter). Geospasial. Tidak lupa kepada Prof. Nagatsu
 Reorientasi pandangan hidup Kazufumi dan tim dari Toyo University, Jepang,
Melalui pendidikan, para orang tua suku Bajo yang telah bekerjasama dalam survey di Kepulauan
mengharapkan adanya peningkatan kualitas Wakatobi sekaligus sebagai Narasumber
anak-anak mereka dalam memasuki dunia kerja, pengetahuan masyarakat Bajo. Serta kepada Drs.
agar dapat keluar dari kondisi kemiskinan yang Masyhuri Imron, M.A. selaku pembimbing dalam
mereka jalani. Hal ini menunjukan terjadinya penulisan jurnal pada Diklat Jabatan Fungsional
perubahan pandangan hidup dimana banyak Peneliti Tingkat Pertama.
pemuda Bajo yang tak lagi bercita-cita sebagai
pelaut ulung seperti orangtua dan leluhurnya, DAFTAR PUSTAKA
melainkan ingin memiliki profesi sebagai pegawai
negeri sipil atau karyawan kantoran. Banyak juga CRITC. Coral Reef Information & Training Center (2009).
Laporan Hasil Monitoring Kondisi Terumbu Karang
pemuda Bajo yang sekolah atau bekerja di luar COREMAP II Kab. Wakatobi. Coral Reef Information
daerah namun enggan kembali ke kampungnya And Training Center (CRITC) dan Dinas Kelautan
sehingga menyebabkan berkurangnya dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. Wangi-Wangi
regenerasi kearifan lokal masyarakat Bajo. Hadara, Ali. (2014). Etnografi Suku-Suku di Wakatobi.
 Mulai munculnya pola hidup konsumtif Surabaya: Penerbit Mapan. 152 hlm.
Secara berangsur-angsur, pengaruh budaya Kazufumi, Nagatsu. (n.d). Maritime Diaspora and
darat menumbuhkan keinginan dan upaya orang Creolization: A Genealogy of the Sama-Bajau in
Bajo untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan Insular Southeast Asia.
Kazufumi, Nagatsu. (2013). Jalan Tikus on the Sea:
selain kebutuhan pokok walaupun di luar
Persisting Maritime Frontiers and Multi-layered
kemampuannya, misalnya pembelian barang- Networks in Wallacea. Kyoto. Bahan presentasi
barang berteknologi terbaru (kendaraan pribadi, seminar.
parabola, gadget, dan lain sebagainya). Selain Lapian, Adrian B. (2009). Orang Laut-Bajak Laut- Raja
itu terjadi juga perubahan pada model rumah Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.
yang mengarah pada rumah-rumah modern Jakarta: Komunitas Bambu. 284 hlm.
minimalis sehingga mulai menghilangkan ciri Martono, N. (2014). Sosiologi Perubahan Sosial:
khas suku Bajo yang memiliki rumah panggung Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan
yang terapung di lautan. Poskolonial (Edisi Revisi). Rajawali Press. Jakarta.

77
Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015: 067 - 078

Miles, M. B., Huberman, A. Michael. (1992). Analisis Data Masyarakat Pantai, Melestarikan Budaya Bahari
Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode dalam Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.
Baru, UI Press, Jakarta. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Raco, J.R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Tahara, T. (2011). Politik Identitas Orang Bajo. Dalam:
Grasindo. Yuga, Surya (Ed.). Jagad Bahari Nusantara: Telaah
Rudito, Bambang dan Famiola Melia. (2013). Metode Dinamika Pranata Sosial Terhadap Kearifan Lokal
Pemetaan Sosial. Bandung: Rekayasa Sains. Masyarakat Pantai, Melestarikan Budaya Bahari
Soekanto, S. (2012). Sosiologi: Suatu Pengantar. PT Raja dalam Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.
Grafindo Persada. Jakarta. 404 hlm. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Surowo, B. (2012). KPM Versus Pelni: Persaingan Yuga, S (Ed.). (2011). Jagad Bahari Nusantara: Telaah
Merebut Hegemoni Jaringan Pelayaran di Nusantara Dinamika Pranata Sosial Terhadap Kearifan Lokal
Tahun 1945 – 1960. Semarang: Program Masyarakat Pantai, Melestarikan Budaya Bahari
Pascasarjana Undip. dalam Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.
Suyuti, N. (2011). Interaksi Orang Bajo dan Orang Bugis Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
dalam Konteks Kearifan Lokal-Global. Dalam: Yuga, Zacot, F. R. (2002). Orang Bajo Suku Pengembara Laut:
Surya (Ed.). Jagad Bahari Nusantara: Telaah Pengalaman Seorang Antropolog. Jakarta:
Dinamika Pranata Sosial Terhadap Kearifan Lokal Kepustakaan Populer Gramedia. 488 hlm.

78

Anda mungkin juga menyukai