(Suryanegara, dkk)
Diterima (received): 20 November 2014; Direvisi (revised): 25 April 2015; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 28 Mei 2015
ABSTRAK
Selama berabad-abad, suku Bajo tinggal di atas perahu dan hidup bebas di lautan luas sehingga mereka
dikenal sebagai pengembara laut (sea nomads). Perkembangan zaman membuat suku Bajo yang sebelumnya
hidup nomaden menjadi tinggal menetap di wilayah pesisir dan laut sekitar. Salah satu populasi terbesar suku
Bajo yang telah menetap terletak di Kepulauan Wakatobi dengan jumlah penduduk suku Bajo lebih dari 10.000
jiwa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan sosial yang terjadi pada suku Bajo yang mulanya hidup
berpindah (nomaden) menjadi menetap di suatu wilayah. Dilihat pula faktor pendorong perubahan tersebut dan
dampak dari perubahan sosial tersebut terhadap kehidupan masyarakat Bajo yang telah bermukim. Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif dengan analisis data menggunakan studi kasus di Kepulauan Wakatobi,
Sulawesi Tenggara. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2015 dengan jenis data yang dikumpulkan adalah
data sekunder dan primer. Hasil penelitian menunjukkan perubahan sosial pada masyarakat Bajo yang telah
tinggal menetap yaitu terjadinya perubahan pola perilaku masyarakat, interaksi sosial, nilai yang dianut
masyarakat, organisasi sosial dan susunan lembaga kemasyarakatan, serta perubahan lapisan sosial dalam
masyarakat. Faktor yang mendorong suku Bajo untuk menetap di Kepulauan Wakatobi antara lain penurunan
potensi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup, persediaan kayu untuk perahu yang semakin
langka, didorong dengan adanya program pemerintah, serta adanya pengaruh kebudayaan dari masyarakat
daratan. Dampak positif yang muncul akibat perubahan sosial tersebut yaitu munculnya kesadaran pendidikan,
terciptanya lapangan pekerjaan baru, meningkatnya taraf hidup, dan modernisasi sistem perikanan. Sedangkan
dampak negatif yang ditimbulkan yaitu semakin berkurangnya eksistensi adat istiadat, reorientasi pandangan
hidup, serta mulai munculnya pola hidup konsumtif.
ABSTRACT
For centuries, Bajo tribe lived freely on boats in the ocean. They were known as the sea nomads.
Nowadays, Bajo tribe who previously lived a nomadic life became settled at the coastal areas. One of the
largest populations of Bajo tribe in Indonesia who had been settled located in Wakatobi islands with more than
10,000 inhabitants. This study aims to describe the social changes that occurred in the Bajo tribe who originally
lived a nomadic life became settled in a certain area. This study also looks for the driving factors of these
changes and the impact of social changes that occurred on Bajo tribe. This study is a qualitative research with
data analysis using case studies in Wakatobi, Southeast Sulawesi. The study was conducted in 2015 with the
type of data collected was secondary and primary data. The result showed that there were social changes in
Bajo society who have permanent residence, such as changes in society behavior patterns, social interaction,
society values, social organization, social institutions, and changes in social strata of the society. Driving factors
that encourage Bajo tribe to settle down in Wakatobi are because of the economic demands, decreasing wood
supplies for boat, government program, and get influenced by the landlubber. The social change has also
positive and negative impacts, such as the rise of awareness for formal education, the emergence of new jobs,
increasing standard of living, modernization of fisheries system, reduced the customs existence, reorientation
on life, and the escalation of consumptive lifestyle
67
Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015: 067 - 078
68
Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo .................................................................................................................. (Suryanegara, dkk)
Metode yang digunakan dalam penelitian ini Analisis data dilakukan secara kualitatif
bersifat kualitatif dengan mengambil bentuk studi berdasarkan tipologi Miles dan Huberman (1992),
kasus. John Creswell (2008) dalam Raco (2010), melalui tiga jalur analisis: reduksi data yaitu proses
mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai pemilihan, penyederhanaan, dan transformasi data-
suatu pendekatan atau penelusuran untuk data yang didapat dari lapangan, penyajian data
mengeksplorasi dan memahami suatu gejala yang telah diolah, dan penarikan kesimpulan.
sentral. Pada tulisan ini tujuan digunakan metode Sebagai studi deskriptif, penelitian ini dilakukan
kualitatif adalah pertama untuk mengetahui untuk memastikan dan juga menggambarkan
apa/bagaimana peristiwa atau gejala sosial yang karakteristik dari variabel-variabel penting suatu
sedang terjadi (eksploratif) pada komunitas Bajo situasi. Dengan demikian akan diperoleh gambaran
yang ada di Kepulauan Wakatobi; dan kedua, untuk yang utuh terkait gejala, fakta atau realita perubahan
menerangkan mengapa suatu peristiwa atau gejala sosial yang terjadi di masyarakat pengembara laut
sosial terjadi, dalam hal ini yaitu mengapa Suku Bajo di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi
perubahan sosial terjadi di komunitas Bajo tersebut. Tenggara.
Sedangkan studi kasus atau case study, adalah Pada penelitian ini studi perubahan sosial pada
bagian dari metode kualitatif yang hendak komunitas Bajo di Wakatobi melibatkan dua dimensi
mendalami suatu kasus tertentu secara lebih waktu, dulu (kondisi saat masih hidup mengembara)
mendalam dengan melibatkan pengumpulan dan sekarang (kondisi setelah hidup menetap).
beraneka sumber informasi. Studi kasus Kedua dimensi waktu ini merupakan kunci untuk
didefinisikan sebagai suatu eksplorasi dari sistem- mengamati jalannya perubahan sebuah masyarakat.
sistem yang terkait (bounded system) atau kasus
(Tahara, 2011). Pemetaan Persebaran Suku Bajo
69
Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015: 067 - 078
70
Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo .................................................................................................................. (Suryanegara, dkk)
Mata pencaharian utama suku Bajo adalah sehingga ikan yang akan bertelur tidak akan
mencari ikan dengan cara yang masih terbilang terambil. Hal ini tergambar pada moto yang dianut
tradisional, seperti memancing, memanah, dan para Suku Bajo yaitu lao denakangku yang berarti
menjaring ikan. Ikan-ikan tersebut nantinya dijual lautan adalah saudaraku. Mereka percaya bahwa
kepada penduduk sekitar pesisir atau pulau dengan menjaga lautan maka lautan juga akan
terdekat. Suku Bajo juga dikenal sebagai penyelam menjaga mereka.
ulung, mereka tahan berjam-jam menyelam sedalam
10-20 meter untuk berburu ikan dengan tombaknya Permukiman Suku Bajo
yang berkait dan senjata harpun buatan sendiri.
Selain ikan, mereka juga mencari kerang mutiara Kehidupan masyarakat Bajo pada periode ini,
dan juga mengumpulkan rumput laut, teripang, dan ditandai dengan pola permukiman yang mulai
sirip ikan hiu yang memiliki harga cukup tinggi. menetap di beberapa wilayah di nusantara, dengan
Suku Bajo juga dikenal dengan kearifan lokal mendirikan rumah panggung di atas air pada
dalam mengelola sumber daya kelautan yang kawasan pantai. Salah satu populasi terbesar suku
dipegang teguh oleh masyarakatnya. Mereka Bajo yang telah menetap di Indonesia terletak di
memiliki suatu peraturan dalam hal penangkapan Kepulauan Wakatobi, dengan populasi penduduk
ikan, salah satunya mereka selalu memilih ikan yang diatas 10.000 jiwa. Hal ini sesuai dengan hasil
usianya sudah matang untuk dikonsumsi. Mereka penelitian Kazufumi (2013) pada Gambar 3.
tidak mau menangkap ikan yang masih kecil agar
terjaga keberlanjutannya. Suku Bajo juga paham
akan musim bertelur masing-masing jenis ikan
71
Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015: 067 - 078
72
Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo .................................................................................................................. (Suryanegara, dkk)
Pola permukiman kedua yaitu pola permukiman Perubahan Sosial Pada Komunitas Bajo di
yang letaknya menjorok ke laut lepas tetapi masih Wakatobi
terhubung dengan jembatan ke daratan (pesisir
pantai). Adanya jembatan beton ini semakin Menurut Martono (2014), perubahan memiliki
mempermudah akses dan interaksi masyarakat Bajo makna yang sangat luas, meliputi perubahan secara
dengan masyarakat di daratan. Mayoritas rumah di makro (perubahan dalam sistem sosial) dan mikro
sana masih menggunakan kayu, tetapi beberapa (menyangkut perubahan dalam dimensi interaksi
sudah mulai berbentuk rumah bertembok semen/ antarindividu). Berdasarkan unilinear theories of
beton. evolution dalam Soekanto (2012), disebutkan bahwa
Pola permukiman ketiga yaitu permukiman manusia dan masyarakat (termasuk
suku Bajo yang berada dan menyatu dengan pesisir kebudayaannya) mengalami perkembangan sesuai
pantai, seperti pada Gambar 8. Permukiman ini dengan tahap-tahap tertentu, bermula dari bentuk
dibentuk dengan mereklamasi pantai melalui yang sederhana, kemudian bentuk yang lebih
pemadatan pasir dan batu karang. Menyatunya kompleks sampai pada tahap yang sempurna. Hal
permukiman Bajo dengan daratan ini membuat tidak inilah yang sedang terjadi pada masyarakat Bajo
ada lagi kendala dalam hal akses terhadap yang berada di Kepulauan Wakatobi, cara hidup
infrastruktur dan interaksi dengan orang darat pun tradisional budaya maritim mereka yang sederhana
menjadi sangat intensif. Permukiman ini juga paling perlahan mulai berubah mengikuti pengaruh budaya
"modern" dibanding Permukiman Bajo lain di masyarakat daratan yang lebih modern. Di satu sisi
wilayah Wakatobi. Banyak rumah-rumah sudah perubahan-perubahan ini membawa dampak positif
terbuat dari tembok dan beratap genteng, dan jalan- bagi masyarakat Bajo, namun di sisi lain perubahan
jalan penghubungnya pun sudah dibeton. tersebut juga membawa pengaruh negatif sekaligus
Permukiman Bajo tipe ini terdapat di Desa Mola, semakin melunturkan kearifan-kearifan lokal yang
Kecamatan Wangi-wangi, di mana Desa tersebut mereka miliki.
juga merupakan desa dengan populasi suku Bajo Secara umum, menurut Soekanto (2012),
terbesar di Wakatobi. Hal yang menarik pola-pola perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat
permukiman Suku Bajo yang terdapat di Wakatobi mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial,
yaitu adanya jalur-jalur perahu (kanal) di antara pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga
permukiman sebagai alat transportasi utama dan kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat,
memudahkan mobilitas/hilir mudik perahu di sekitar kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain
permukiman tersebut. sebagainya. Pada Komunitas Bajo di kepulauan
Wakatobi, perubahan sosial dimulai dari perubahan
pola permukiman yang sebelumnya berkelana di
laut dengan perahu soppe (nomaden), menjadi pola
permukiman menetap di pesisir pantai. Menetapnya
Suku Bajo di wilayah pesisir menyebabkan
terjadinya interaksi yang lebih intensif dengan orang
darat. Secara perlahan berbagai unsur kebudayaan
masyarakat darat telah terserap dalam
kebudayaannya (akulturasi).
73
Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015: 067 - 078
suku Bajo, mereka menggunakan kata "sama" Perubahan pola-pola perilaku organisasi dan
sebagai istilah rujukan dan untuk menunjukkan susunan kelembagaan masyarakat
sesama kelompok mereka. Istilah "sama" ini Perubahan pola-pola perilaku organisasi dan
beroposisi dengan “bagai” yang artinya masyarakat susunan kelembagaan masyarakat Bajo di Wakatobi
lain (kelompok berbagai), di luar orang Bajo, terlihat pada berubahnya pola kemasyarakatannya.
khususnya untuk masyarakat daratan. Pada awalnya, Suku Bajo hidup dan berlayar secara
Pemaknaan Suku Bajo ini dijelaskan dalam berkelompok, di mana sekelompok perahu yang
Soekanto (2012) bahwa kelompok sosial merupakan berlayar bersama-sama dan berlabuh bersama-
tempat di mana individu mengidentifikasi dirinya sama pula. Di antara mereka ada hubungan
sebagai in-group-nya. Out-group diartikan oleh kekeluargaan yang sangat dekat. Pada beberapa
individu sebagai kelompok yang menjadi lawan in- kelompok besar berupa dakampungan,
group-nya. Sikap-sikap in-group pada umumnya pengembaraan Suku Bajo dipimpin oleh seorang
didasarkan pada faktor simpati dan selalu Panglima yang merupakan tokoh adat. Setelah
mempunyai perasaan dekat dengan anggota- mulai menetap, kini Suku Bajo mulai tinggal
anggota kelompok. Sikap out-group ditandai dengan menetap dengan membentuk komunitas yang lebih
suatu kelainan yang berwujud antagonism dan besar membentuk masyarakat, menjadi satu desa
antipati. Perasaan in-group dan out-group atau bahkan kecamatan.
perasaan dalam serta luar kelompok dapat Perubahan pola ini juga mempengaruhi
merupakan dasar suatu sikap yang dinamakan perubahan pada lembaga administrasi
etnosentrisme. Pada kasus ini suku Bajo kemasyarakatan. Saat ini pada komunitas suku Bajo
mengidentifikasi in-group-nya dengan sebutan sama di Wakatobi peran pemimpin tidak lagi bertumpu
dan mengidentifikasi out-group-nya dengan sebutan oleh tokoh adat saja, tetapi peran pemimpin
bagai. Jadi sebagai kelompok sosial masyarakat perlahan mulai digantikan dengan kepala desa atau
Bajo memiliki rasa persaudaraan, satu suku, kepala dusun. Terdapat pembagian peran antara
senasib dan sepenanggungan yang kuat, meskipun tokoh adat dan kepala desa. Segala urusan
secara geografis terpisah-pisah. administrasi kependudukan saat ini dipegang oleh
Perubahan pola kehidupan dari mengembara kepala desa sebagai pengambil kebijakan yang sah
ke menetap, menyebabkan perasaan in-group dan secara administratif. Tokoh adat berperan sebagai
out-group pada masyarakat Bajo telah mengalami pemimpin dalam hal penyelenggaraan upacara
pergeseran makna. Konsep sama dan bagai pada maupun ritual adat seperti ritual penyembuhan
masyarakat Bajo yang digunakan untuk duata, penyelenggaraan upacara hajatan, dan lain
membedakan orang Bajo dengan bukan Bajo telah sebagainya. Saat ini perubahan dalam kelembagaan
mengalami perubahan. Hal ini disebabkan interaksi dan kepemimpinan masyarakat suku Bajo ini
dengan Suku Bajo orang bagai semakin intensif dan menjadi semakin demokratis.
tidak dapat dihindari. Untuk memenuhi berbagai Muncul juga pola perilaku organisasi yang
kebutuhannya, orang Bajo harus menjalin kerjasama digerakkan oleh kaum perempuan Bajo, yakni
dengan orang bagai, terutama setelah tinggal munculnya kelompok-kelompok arisan dan
menetap di dekat wilayah daratan. Prinsip budaya organisasi PKK. Munculnya kelompok dan
olai lesse‟e yakni berusaha menghindar dari orang organisasi ini mulai menandakan bahwa gender
bagai pun mulai berubah. Perubahan itu diakibatkan perempuan mulai mempunyai peran yang cukup
oleh adanya interaksi sosial dan kerjasama yang signifikan dalam masyarakat suku Bajo. Hal ini
telah berlangsung antara orang Bajo dengan orang terlihat dari adanya program bantuan Simpan
Bagai yang semakin melunturkan perasaan out- Pinjam Perempuan (SPP) yang disalurkan melalui
group. organisasi PKK dari program PNPM Mandiri.
Pada tatanan nilai-nilai budaya, masyarakat Selain itu, saat ini telah muncul kesadaran
Bajo dari laut ke darat tidak lagi membedakan masyarakat Bajo agar tidak lagi menjadi kaum
dirinya (sama) dengan masyarakat setempat marginal. Suku Bajo menyusun gerakan-gerakan
(bagai). Perubahan makna orang Bajo dan bukan untuk pembentukan kesadaran identitas, misalnya
Bajo, berimplikasi pada perubahan berbagai aspek membentuk Persekutuan Orang Bajo yang diakui
kehidupan masyarakat Bajo, yang berorientasi pada oleh PBB dan persekutuan tersebut mewadahi
budaya orang bukan Bajo atau masyarakat seluruh komunitas orang Bajo di dunia. Mereka juga
setempat. mengangkat presiden sebagai perwakilan suku Bajo
Makna sama dan bagai telah bergeser akibat di seluruh Indonesia. Pada beberapa kesempatan
ketergantungannya pada masyarakat daratan, baik suku Bajo di seluruh dunia mengadakan konferensi
dalam hal pemenuhan kebutuhan sandang, pangan yang dihadiri oleh perwakilan masing-masing
maupun berbagai alat produksi. Hal ini juga ditandai presiden Bajo di negaranya untuk bertemu dan
dengan perubahan bahasa yang digunakan, saat ini merencanakan program pelestarian budaya Bajo.
Suku Bajo tidak hanya menggunakan bahasa Bajo
sebagai bahasa komunikasi sehari-hari tetapi juga Perubahan lapisan-lapisan sosial
berusaha menuturkan bahasa setempat. Oleh Saleh dalam Yuga (2011), mengungkapkan
karena itu, orang Bajo menyesuaikan diri dan mulai terdapat suatu sistem stratifikasi sosial pada
fasih berbahasa Bugis, Buton, Kaledupa dan masyarakat Bajo. Stratifikasi sosial tersebut terbagi
sebagainya. menjadi empat lapisan, yaitu Lolo Same
74
Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo .................................................................................................................. (Suryanegara, dkk)
(bangsawan tertinggi), Ponggawa Same Bajo di Wakatobi. Seseorang dikatakan sukses dan
(bangsawan campuran), Gallarang (golongan berada apabila dia sudah melakukan ibadah Haji.
masyarakat biasa), dan Ate/Ata (golongan sosial Panggilan atau sebutan haji yang melekat pada
paling rendah). Di masa lalu, kedua golongan nama seseorang akan sekaligus menandakan status
pertama menjadi pemimpin dan tidak terlibat dalam sosial ekonomi yang menandakan bahwa ia
kegiatan melaut yang hanya dilakukan oleh para merupaka golongan berada dan terhormat di
Gallarang dan Ate. Ketika sistem negara kerajaan komunitas Bajo.
berhenti maka mulailah mereka ikut ke laut dan
mengembara bersama dengan kedua lapisan di Perubahan interaksi sosial
bawahnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
Sistem stratifikasi sosial ini mengatur peran dan setelah membentuk permukiman interaksi sosial
fungsi dari masing-masing lapisan termasuk dalam orang Bajo dengan masyarakat setempat (daratan)
hal pelaksanaan ritual adat dan perkawinan. Dahulu, mulai berlangsung dengan baik. Sebelumnya, orang
suku Bajo dari lapisan atas jarang diperbolehkan Bajo cenderung dinilai “negatif”, sehingga kadang-
menikah dengan lapisan yang lebih rendah karena kadang dilecehkan. Status sosial sebagai
akan mengakibatkan turunnya kasta orang tersebut. “masyarakat terisolir” yang melekat pada diri orang
Selain itu, dilarang pula menikah dengan suku lain Bajo selama ini. Semakin intensifnya interaksi
(kawin-mawin). Pada masa itu sistem perkawinan antara orang Bajo dengan orang bagai mulai
yang dianggap ideal adalah sistem perkawinan yang membentuk adanya suatu pola kerjasama yang
berdasarkan prinsip endogami (Yuga, 2011). cukup baik dengan penduduk daratan, salah
Seseorang akan memilih jodohnya dan menikah satunya dalam hal perdagangan hasil laut. Pada
dengan orang-orang yang tergolong kerabatnya awalnya, kontak dagang hanya terjadi di tengah laut
agar hubungan kekerabatan dan status di antara dengan sistem selo (barter) antara orang Bajo
meraka lebih terjaga. Pada saat itu yang boleh dengan orang darat. Pada perkembangan
mengadakan hajatan pernikahan juga hanya para selanjutnya, orang Bajo mulai mengembangkan
keturunan kasta tertinggi suku Bajo, mas kawin juga hubungan ekonomi dengan orang-orang yang
diatur sesuai dengan kedudukan masing-masing. berada di sekitar tempat mereka menetap.
Seiring berkembangnya jaman, sistem stratifikasi Kehadiran orang darat (bagai) yang bermukim di
sosial ini mulai hilang. Semua golongan suku Bajo pesisir pantai sangat dibutuhkan oleh orang Bajo
mulai membaur, siapa saja dapat melangsungkan untuk memenuhi segala kebutuhannya, baik
hajatan pernikahan dan suku Bajo juga mulai bebas sandang, pangan maupun pemenuhan alat-alat
melakukan pernikahan dengan suku lain (orang produksi penangkapan ikan. Intensitas
bagai) sehingga terjadi difusi budaya. pertemuannya tidak lagi hanya terjadi di tengah laut
Stratifikasi sosial yang terlihat saat ini adalah atau di pantai dalam kaitannya dengan distribusi
pada pola perekonomian di mana dengan adanya hasil tangkapannya, tetapi orang Bajo telah
kerjasama dengan orang bagai muncul bentuk menjangkau aktivitas perdagangan di pasar, baik
lapisan baru yang bersifat kapitalis, yaitu antara untuk kepentingan menjual hasil tangkapannya
pemilik modal (atasan) dan nelayan (pekerja). Pola maupun untuk memenuhi berbagai kebutuhannya.
dalam hubungan sosial ekonomi antara nelayan Interaksi sosial juga tercermin pada ritual
Bajo dan pedagang/tengkulak (penduduk asli) keagamaan di mana ketika ada acara-acara
sebagai pemilik modal tersebut membentuk keagamaan orang Bajo selalu mengundang orang
keterikatan/pola hubungan patron-klien. Pada sistem darat begitu pula sebaliknya. Terkait akses dan
ini orang daratan datang memberi pinjaman modal infrastruktur juga terdapat relasi yang cukup baik di
dan teknologi alat penangkapan ikan serta berperan mana sumber air masyarakat Bajo yang tinggal di
sebagai pemimpin sekaligus pemilik modal dalam lautan berasal dari sumber air yang disalurkan
kegiatan ekonomi, sementara orang Bajo sebagai masyarakat darat melalui pipa yang disambungkan
anak buah. langsung ke permukiman Bajo maupun
Pola-pola hubungan yang terjadi yaitu orang didistribusikan melalui jerigen-jerigen ke bak
darat sebagai pemilik modal, pemilik perahu, dan penampungan.
pemilik alat tangkap. Orang Bajo sebagai anak buah Terkait akses penduduk Bajo juga mulai
yang hanya mengandalkan tenaga, kemudian memperoleh akses pendidikan dari sekolah-sekolah
menyerahkan ikan-ikan hasil tangkapannya kepada yang ada di daratan. Seiring berjalannya waktu
pemilik modal dan diterapkannya sistem aturan bagi mulai dibangun sekolah di permukiman Bajo dengan
hasil sebelum masuk ke dalam pendapatan rumah kerjasama mendatangkan guru dari penduduk asli.
tangga. Sistem stratifikasi ini menandakan Kemudahan akses dan interaksi dengan budaya
berubahnya pola kerja, berdasarkan penguasaan masyarakat darat, membuat orang Bajo mulai
alat produksi maupun mencakup pula kekuasaan. meningkatkan konsumsi mereka bukan hanya pada
Sistem lapisan sosial yang mulai terbuka juga kebutuhan primer, tetapi juga kebutuhan sekunder,
memungkinkan adanya gerak sosial vertikal yang seperti telepon genggam, televisi dan sebagainya.
luas atau berarti memberi kesempatan kepada para
individu untuk maju atas dasar kemampuan sendiri Faktor Penyebab Perubahan Sosial
dan meningkatkan taraf hidupnya. Salah satunya Dewasa ini cara hidup orang Bajo telah
adalah status „haji‟ yang disandang oleh seorang mengalami perubahan besar terutama setelah mulai
75
Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015: 067 - 078
hidup menetap. Beberapa faktor penyebab masyarakat daratan, beberapa mulai beralih
diantaranya adalah karena adanya usaha profesi menjadi pedagang kecil meskipun
pemerintah yang menghimbau masyarakat Bajo jumlahnya sangat kurang. Aktivitas berdagang ini
untuk tidak lagi berpindah-pindah (nomaden) tetapi dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga dengan
menetap semenjak tahun 1970-an. membuka kios untuk berjualan di dalam rumah,
Persediaan kayu untuk perahu yang semakin seperti pada Gambar 9. Umumnya jenis barang
langka juga mendorong mereka untuk mencari yang diperdagangkan seperti sayur-mayur,
alternatif tempat tinggal yang lebih terjamin. Hal beras, minyak tanah, minyak goreng, telur,
inilah yang menyebabkan komunitas Bajo mulai bawang, terigu, makanan siap saji (instan), ikan
menetap dan menyebar di sepanjang perairan kering, dan beberapa jenis peralatan melaut
kepulauan Wakatobi, yaitu di Pulau Kaledupa, sederhana. Selain itu, beberapa profesi baru
Wangi-wangi, dan Tomia. lainnya yang ditemukan pada komunitas suku
Penyebab utama suku Bajo datang dan Bajo di Wakatobi adalah adalah ojek sampan,
menetap di Kepulauan Wakatobi adalah karena ojek motor, sampai rental/penyewaan playstation.
faktor pemenuhan kebutuhan hidup (ekonomi). Suku Peningkatan taraf hidup
Bajo mengetahui bahwa di Kepulauan Wakatobi Komunitas nelayan Bajo yang pada umumnya
tersedia “lahan” untuk mencari ikan dan hasil laut berada pada kondisi statis dan miskin mulai
yang cukup melimpah di mana terdapat pasi dapat meningkatkan taraf hidupnya. Gambar 10
(karang, atol) yang terbentang luas di sepanjang memperlihatkan beberapa rumah permanen yang
kawasan perairan Wakatobi. sudah menggunakan tembok semen (modern),
Pada saat itu, perairan Wakatobi belum dikenal kepemilikan kendaraan bermotor (mobil/motor).
dengan potensi hasil lautnya yang sangat tinggi Penggunaan teknologi seperti televisi, parabola
yang sehingga belum banyak tersentuh oleh dan telepon genggam juga sudah umum
nelayan lokal. Selain itu faktor pendorong lain digunakan, seperti terlihat pada Gambar 11.
terjadinya perubahan sosial pada komunitas Bajo di Sistem perikanan sudah dimodernisasi dengan
Wakatobi adalah karena masuknya kebudayaan dari adanya perubahan pola kerja dari penggunaan
masyarakat lain. Pertemuan dua kebudayaan atau teknologi lama yang masih sederhana yaitu
lebih yang memiliki perbedaan latar belakang perahu dayung/layar menjadi teknologi baru
budaya dapat menyebabkan perubahan sosial berupa perahu motor tempel yang lebih modern,
budaya. Perubahan tersebut dapat terbentuk melalui efektif dan efisien.
proses asimilasi (penggabungan bebrapa budaya
menjadi budaya baru), atau akulturasi
(penggabungan beberapa budaya tanpa
menghilangkan budaya aslinya). Pada kasus Suku
Bajo di Wakatobi pendorongnya adalah bertemunya
budaya laut/maritim Suku Bajo dengan budaya
masyarakat daratan.
76
Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo .................................................................................................................. (Suryanegara, dkk)
KESIMPULAN
Realitas sosial menunjukkan bahwa terjadi
perubahan sosial yang cukup signifikan pada
kehidupan Suku Bajo yang telah menetap di
wilayah Kepulauan Wakatobi. Hal ini ditunjukan
dengan perubahan pada beberapa aspek di
antaranya: perubahan nilai yang dianut, perubahan
pola-pola perilaku organisasi dan susunan
Gambar 11. Kepemilikan kendaraan, penggunaan kelembagaan, perubahan lapisan-lapisan sosial
teknologi pada Suku Bajo, dalam masyarakat, serta perubahan interaksi sosial
(Dokumentasi penulis, 2015). yang terjadi pada komunitas Bajo di Kepulauan
Wakatobi.
Dampak negatif Perubahan sosial tersebut didorong oleh
Selain menimbulkan kemajuan, di sisi lain beberapa faktor seperti faktor lingkungan (sumber
perubahan sosial pada suku Bajo di Kepulauan daya mulai menipis), intervensi pemerintah,
Wakatobi juga memberikan dampak-dampak pertambahan penduduk, serta pertemuan dengan
negatif, di antaranya adalah: budaya lain (budaya masyarakat daratan). Dampak
Eksistensi adat istiadat mulai berkurang positif di antaranya adalah munculnya kesadaran
Tradisi penuturan sejarah secara lisan berupa pendidikan, terciptanya lapangan pekerjaan baru,
seni “iko-iko” mulai jarang dilantunkan. Pada peningkatan taraf hidup masyarakat serta
zaman dahulu iko-iko dinyanyikan pada saat modernisasi sistem perikanan. Dampak negatif yang
menidurkan anak, saat melaut, dan pada ditimbulkan yaitu mulai berkurangnya eksistensi
upacara-upacara adat. Iko-iko biasanya berkisah adat istiadat budaya Bajo, perubahan orientasi
tentang sejarah dan kehidupan suku Bajo, (reorientasi) pandangan hidup, serta munculnya
disertai nasihat dan petuah terkait pengelolaan pola hidup konsumtif.
sumber daya kelautan. Saat ini regenerasi
pelantun iko-iko berkurang drastis, sehingga UCAPAN TERIMA KASIH
tradisi ini bisa dibilang hampir punah dan jarang
dilakukan oleh masyarakat Bajo. Hal ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada
menyebabkan anak muda Bajo kurang mengenal berbagai pihak yang telah mendukung berjalannya
sejarah suku dan adat istiadatnya. Selain itu, penelitian ini, yakni kepada Dr. Mulyanto Darmawan,
ritual tolak bala ataupun penyembuhan (duata) Prof. Dr. Aris Poniman, dan Drs. Sri Daryaka M.Sc.
juga sudah jarang dilakukan. Masyarakat Bajo serta para staf Pusat Pemetaan Tata Ruang dan
saat ini sudah mengenal praktik pengobatan Atlas dan para peneliti di Badan Informasi
modern (dokter). Geospasial. Tidak lupa kepada Prof. Nagatsu
Reorientasi pandangan hidup Kazufumi dan tim dari Toyo University, Jepang,
Melalui pendidikan, para orang tua suku Bajo yang telah bekerjasama dalam survey di Kepulauan
mengharapkan adanya peningkatan kualitas Wakatobi sekaligus sebagai Narasumber
anak-anak mereka dalam memasuki dunia kerja, pengetahuan masyarakat Bajo. Serta kepada Drs.
agar dapat keluar dari kondisi kemiskinan yang Masyhuri Imron, M.A. selaku pembimbing dalam
mereka jalani. Hal ini menunjukan terjadinya penulisan jurnal pada Diklat Jabatan Fungsional
perubahan pandangan hidup dimana banyak Peneliti Tingkat Pertama.
pemuda Bajo yang tak lagi bercita-cita sebagai
pelaut ulung seperti orangtua dan leluhurnya, DAFTAR PUSTAKA
melainkan ingin memiliki profesi sebagai pegawai
negeri sipil atau karyawan kantoran. Banyak juga CRITC. Coral Reef Information & Training Center (2009).
Laporan Hasil Monitoring Kondisi Terumbu Karang
pemuda Bajo yang sekolah atau bekerja di luar COREMAP II Kab. Wakatobi. Coral Reef Information
daerah namun enggan kembali ke kampungnya And Training Center (CRITC) dan Dinas Kelautan
sehingga menyebabkan berkurangnya dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. Wangi-Wangi
regenerasi kearifan lokal masyarakat Bajo. Hadara, Ali. (2014). Etnografi Suku-Suku di Wakatobi.
Mulai munculnya pola hidup konsumtif Surabaya: Penerbit Mapan. 152 hlm.
Secara berangsur-angsur, pengaruh budaya Kazufumi, Nagatsu. (n.d). Maritime Diaspora and
darat menumbuhkan keinginan dan upaya orang Creolization: A Genealogy of the Sama-Bajau in
Bajo untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan Insular Southeast Asia.
Kazufumi, Nagatsu. (2013). Jalan Tikus on the Sea:
selain kebutuhan pokok walaupun di luar
Persisting Maritime Frontiers and Multi-layered
kemampuannya, misalnya pembelian barang- Networks in Wallacea. Kyoto. Bahan presentasi
barang berteknologi terbaru (kendaraan pribadi, seminar.
parabola, gadget, dan lain sebagainya). Selain Lapian, Adrian B. (2009). Orang Laut-Bajak Laut- Raja
itu terjadi juga perubahan pada model rumah Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.
yang mengarah pada rumah-rumah modern Jakarta: Komunitas Bambu. 284 hlm.
minimalis sehingga mulai menghilangkan ciri Martono, N. (2014). Sosiologi Perubahan Sosial:
khas suku Bajo yang memiliki rumah panggung Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan
yang terapung di lautan. Poskolonial (Edisi Revisi). Rajawali Press. Jakarta.
77
Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015: 067 - 078
Miles, M. B., Huberman, A. Michael. (1992). Analisis Data Masyarakat Pantai, Melestarikan Budaya Bahari
Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode dalam Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.
Baru, UI Press, Jakarta. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Raco, J.R. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Tahara, T. (2011). Politik Identitas Orang Bajo. Dalam:
Grasindo. Yuga, Surya (Ed.). Jagad Bahari Nusantara: Telaah
Rudito, Bambang dan Famiola Melia. (2013). Metode Dinamika Pranata Sosial Terhadap Kearifan Lokal
Pemetaan Sosial. Bandung: Rekayasa Sains. Masyarakat Pantai, Melestarikan Budaya Bahari
Soekanto, S. (2012). Sosiologi: Suatu Pengantar. PT Raja dalam Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.
Grafindo Persada. Jakarta. 404 hlm. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Surowo, B. (2012). KPM Versus Pelni: Persaingan Yuga, S (Ed.). (2011). Jagad Bahari Nusantara: Telaah
Merebut Hegemoni Jaringan Pelayaran di Nusantara Dinamika Pranata Sosial Terhadap Kearifan Lokal
Tahun 1945 – 1960. Semarang: Program Masyarakat Pantai, Melestarikan Budaya Bahari
Pascasarjana Undip. dalam Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.
Suyuti, N. (2011). Interaksi Orang Bajo dan Orang Bugis Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
dalam Konteks Kearifan Lokal-Global. Dalam: Yuga, Zacot, F. R. (2002). Orang Bajo Suku Pengembara Laut:
Surya (Ed.). Jagad Bahari Nusantara: Telaah Pengalaman Seorang Antropolog. Jakarta:
Dinamika Pranata Sosial Terhadap Kearifan Lokal Kepustakaan Populer Gramedia. 488 hlm.
78