Anda di halaman 1dari 14

ISSN 0216-8138

MKG Vol. 18, No.1, Juni 2017 (40 - 53)


© 2017 FHIS UNDIKSHA dan IGI

PERENCANAAN KELUARGA DAN FERTILITAS


SUKU BAJO DI ERA PERUBAHAN (STUDI KASUS:
SUKU BAJO DI PERKAMPUNGAN MOLA
KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN
KABUPATEN WAKATOBI)
Subardjan
Masuk: 01 02 2017 / Diterima: 01 04 2017 / Dipublikasi: 30 06 2017
© 2017Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial UNDIKSHA dan IGI

Abstract The purpose of this research was to know the family planning and fertility Bajo
ethnic with focus on: (1) wife husband views to family planning, (2) identify social
conditions, economy, demography and culture in its bearing with family planning, (3)
analyzing KB contraceptive device purpose and fertility. Analyzed by quantity statistic
technique (crosstab) and qualitative analysis technique. Result of this research showed
that: (1) point of family on wife husband couple of Bajo ethnic at changing era was value
of “extended family”; (2) social aspects, economy, demography, and culture were
prescriptive aspects families in “changing era” in this case total of child desirable and
preference to man stills high. (3) from condition of point (1 and 2) causing lush age of
woman (15-49) years old of Bajo ethnic majority didn‟t use KB contraceptive device. So
begets fertility in this case total of average born life child (ALH) and child Is still live (AMH)
tended higher.

Key words: Family Planning, Fertility, Bajo Ethnic, Transition

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap perencanaan keluarga dan fertilitas
suku Bajo dengan fokus: (1) pandangan suami-istri terhadap perencanaan keluarga, (2)
mengidentifikasi kondisi sosial, ekonomi, demografi dan budaya dalam kaitannya dengan
perencanaan keluarga, (3) menganalisis penggunaan alat kontrasepsi KB dan fertilitas.
Analisis dilakukan dengan tekhnik statistik kuantitaif (crosstab) dan tekhnik analisis
kualitatif (Miller dan Huberman). Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) nilai keluarga
yang berlaku pada pasangan suami-istri suku Bajo di era perubahan adalah nilai
“keluarga besar”; (2) aspek- aspek sosial, ekonomi, demografi, dan budaya merupakan
aspek-aspek yang menentukan ukuran keluarga di “era perubahan” dalam hal ini jumlah
anak yang diinginkan dan preferensi terhadap anak laki-laki yang masih tinggi. (3) dari
kondisi tersebut (1 dan 2) sehingga menyebabkan wanita usia subur (15-49) tahun suku
Bajo mayoritas tidak menggunakan alat kontrasepsi KB. Dengan demikian,
mengakibatkan fertilitas dalam hal ini jumlah rata-rata Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak
Masih Hidup (AMH) cenderung lebih tinggi.

Kata-kata kunci : Perencanaan Keluarga, Fertilitas, Suku Bajo, Era Perubahan

1. Pendahuluan pemerintahan ke otonomi daerah,


Seiring dengan perjalanan segala kewenangan di limpahkan ke
waktu dengan perubahan struktur daerah. Harapan pemerintah pusat
adalah dengan pelimpahan
Subardjan kewenangan tersebut pemerintah
STKIP Pelita Buton daerah dapat melanjutkan program
Sulawesi Tenggara
bayubarjan@yahoo.co.id
yang ada dengan konsistensi pada
Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan ... Subardjan

penurunan TFR. Namun harapan itu bangsa ini mendiami wilayah pesisir
tidak sesuai dengan kenyataan yang Kecamatan Wangi-Wangi Selatan.
ada, pemerintah daerah justru Suku Bajo biasa juga disebut suku
terkosentrasi pada pertumbuhan Sama atau Bajau yaitu pelaut
ekonomi semata sementara tangguh. Pada umumnya mereka
pembangunan kependudukan memilih hidup atau bermukim di
seakan terlupakan. Kondisi ini bukan lautan baik secara nomaden
hanya terjadi di satu daerah namun maupun menetap dengan
hampir di setiap daerah. Hal ini membangun rumah-rumah tiang di
dapat terlihat TFR Indonesia atas lautan yang terpisah dari
mengalami peningkatan dari 2,26 daratan. Menurut Mahmud (1980)
pada SUPAS 2005 menjadi 2,6 pada suku Bajo diidentikkan dengan suku
SDKI 2007 namun pada SP 2010 pelaut yang memiliki banyak anak.
TFR Indonesia stagnan pada angka Suku Bajo di perkampungan
2,6 (BPS, 2010). Sementara itu Mola adalah suku bangsa yang
pertumbuhan penduduk 1,49% pada berbeda dengan suku Bajo pada
tahun 2010 pertahun. Jika umumnya. Ada beberapa hal yang
memperhatikan penurunan yang membedakan suku Bajo di
dicapai sebelumnya maka dapat perkampungan Mola dengan suku
dikatakan bahwa perlu ada evaluasi Bajo yang lain; pertama, dengan
kebijakan yang terkait dengan adanya perubahan sistem
penurunan TFR. pemerintahan dari sentralisasi ke
Kabupaten Wakatobi adalah desentralisasi (otonomi), Wakatobi
salah satu kabupaten yang terletak mengalami pemekaran menjadi
di Propinsi Sulawesi Tenggara kabupaten pada tahun 2002 yang
memiliki jumlah penduduk sebesar menjadikan permukiman suku Bajo
87.793 jiwa pada SP 2000 menjadi di perkampungan Mola ke dalam
10.3422 pada SP 2010, dengan laju wilayah administratif ibu kota
pertumbuhan 1,92% pertahun pada kabupaten Wakatobi. Tentunya hal
SP 2010. Sementara TFR ini sedikit memudahkan mereka
kabupaten Wakatobi pada SP 2010 menjangkau fasilitas publik seperti,
adalah 3,1 dan rata- rata ALH fasilitas pendidikan, kesehatan,
kabupaten Wakatobi 3,098 (BPS perekonomian dan lain sebagainya
Kab. Wakatobi 2010). Data ini jika di yang diharapkan dapat
banding dengan TFR nasional pun meningkatkan status sosial,
masih jauh melampaui. Kondisi ini ekonomi, tingkat kesehatan, dan lain
tidak terlepas dari produk faktor- sebagainya.
faktor yang mempengaruhi tingkat Kedua, Suku Bajo di
fertilitas penduduk setempat dengan perkampungan Mola merupakan
latar belakang suku, budaya, agama, suku Bajo yang sebagian besar
termasuk faktor demografi yang lain. sudah mendarat dan membaur
Salah satu suku bangsa yang dengan masyarakat yang ada di
terdapat di Kabupaten Wakatobi darat. Dengan demikian dari dua hal
adalah suku Bajo dimana suku tersebut dapat diasumsikan bahwa

41 | Media Komunikasi Geografi, Vol 18, No. 1, Juni 2017: 40-53


Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan ... Subardjan

dengan perubahan kearah akan adanya serangan wabah


moderenisasi yaitu dengan penyakit yang menimpa anak,
peningkatan status sosial, ekonomi, sehingga jika satu atau dua yang
dan keterbukaan dengan meninggal masih ada anak yang lain
masyarakat di darat seyogyanya serta (3) banyak anak banyak rezeki.
dapat merubah pola pikir mereka Menurut Becker (1995) jika dilihat
diantaranya adalah perencanaan dari aspek permintaan bahwa harga
keluarga dan fertilitas. anak lebih besar pengaruhnya
Berdasarkan hasil observasi dibandingkan dengan income.
awal yang dilakukan peneliti yaitu Disamping itu nilai anak dipandang
dengan wawancara dengan aspek produksi. Berdasarkan aspek
beberapa tokoh suku Bajo, peneliti produksi, utilitas anak berbeda
memperoleh data bahwa pada dengan aspek konsumsi. Karena
umumnya suku Bajo di utilitas anak lebih dilihat dari aspek
perkampungan Mola menginginkan kuantitas dan bukan kualitas. Artinya
anak lebih dari 2 orang. Adapun semakin memandang bahwa anak
alasan klasik yang mendasari adalah merupakan modal maka
mereka adalah sebagai berikut: (1) permintaan akan anak menjadi
adanya pandangan dari mereka meningkat. Dengan demikian jika
bahwa anak merupakan aset masa permintaan akan anak tinggi diduga
depan bagi orang tua terutama anak tingkat fertilitas dalam hal ini Total
laki-laki, (2) adanya kekhawatiran Fertility Rate (TFR) ikut meningkat.

Tabel 1.
Jumlah Anak Lahir Hidup Perkecamatan di Kabupaten Wakatobi Tahun 2010
No Kecamatan Anak Lahir Hidup Jumlah Penduduk
Usia 0-5 Tahun
1 Wangi-wangi 503 2.623
2 Wangi-wangi Selatan 482 3.277
3 Kaledupa 151 592
4 Kaledupa Selatan 112 506
5 Tomia 156 773
6 Tomia Timur 162 942
7 Binongko 171 768
8 Togo Binongko 115 481
Jumlah 1852 9962
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Wakatobi, 2010

Data kuantitatif menunjukkan merupkan angka yang tertinggi jika


di kecamatan Wangi-Wangi Selatan di bandingkan dengan wilayah
jumlah anak Lahir Hidup (ALH) kecamatan lain.
mencapai 482 dengan jumlah Data ini menunjukkan bahwa
penduduk 24.534 jiwa. Sementara di kecamatan Wangi-Wangi Selatan
jumlah anak pada kelompok umur 0- (daerah penelitian) diduga memiliki
5 menunjukkan 3.277 jiwa. Angka ini tingkat fertilitas yang tinggi. Data

42 | Media Komunikasi Geografi, Vol 18, No. 1, Juni 2017: 40-53


Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan ... Subardjan

lain yang menjadi acuan adalah 4.241 pada tahun 2008, selanjutnya
adanya tren peningkatan Pasangan meningkat lagi menjadi 5.015 pada
Usia Subur (PUS). Pasangan Usia tahun 2010. Fenomena ini
Subur (PUS) di Kecamatan Wangi- merupakan peningkatan yang paling
Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi tinggi jika di bandingkan dengan
pada tahun 2007 menunjukkan kecamatan lain yang ada di
angka 3.100, meningkat menjadi Kabupaten Wakatobi.

Tabel 2
Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) Kabupaten Wakatobi Perkecamatan
No Kecamatan Jumlah PUS
2007 2008 2010
1 Wangi-wangi 3707 4259 4997
2 Wangi-wangi Selatan 3100 4241 5015
3 Kaledupa 1436 1498 1938
4 Kaledupa Selatan 287 1511 2077
5 Tomia 1740 1463 1298
6 Tomia Timur 665 1802 1781
7 Binongko 1835 1680 1346
8 Togo Binongko - 1207 912
Jumlah 12.770 17.661 19.364
Sumber : BKKBN Kabupaten Wakatobi

Menagacu pada beberapa terhadap perencanaan keluarga


konsep di atas jika dihubungkan (jumlah anak ideal yang diinginkan,
dengan data yang mendeskripsikan preferensi anak); (2) Untuk
lokasi penelitian, maka penulis mengidentifikasi kondisi sosial
tertarik untuk meneliti faktor- faktor (pendidikan), ekonomi (status
apa yang menentukan perencanaan pekerjaan, penghasilan), demografi
keluarga suku Bajo Mola dalam (umur, umur kawin pertama) dan
kaitannya dengan fertilitas dimana sosial budaya (upacara adat, nilai
suku Bajo di perkampungan Mola anak, mata pencaharian, pola
sudah mulai mendarat. Adapun judul perkawinan, religi dan kepercayaan-
dari penelitian ini adalah kepercayaan, sistem pengetahuan,
“Perencanaan Keluarga dan sistem kekerabatan) dan kaitannya
Fertilitas Suku Bajo di Era dengan perencanaan keluarga; (3)
Perubahan”. Penelitian ini Untuk menganalisis penggunaan
difokuskan pada masyarakat suku kontrasepsi KB dan fertilitas (anak
Bajo di perkampungan Mola lahir hidup) suku Bajo.
Kecamatan Wangi-Wangi Selatan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk 2. Metode
mengetahui perencanaan keluarga Pendekatan utama dalam
dan fertilitas suku Bajo. Selanjutnya penelitian ini adalah menggunakan
tujuan penelitian ini secara rinci metode gabungan (mix metode)
sebagai berikut: (1). Untuk yaitu kuantitatif (survey explanatory)
mengetahui pandangan suami-istri dan kualitatif (eksplorasi parsitipatif)

43 | Media Komunikasi Geografi, Vol 18, No. 1, Juni 2017: 40-53


Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan ... Subardjan

yang dilakukan dengan tekhnik menghasilkan 31 orang terdapat di


wawancara mendalam dan desa Mola Utara dan 69 orang di
parsitipatif. Hal ini dilakukan untuk desa Mola Selatan.
mengungkap dan menggali informasi Mengingat pendekatan
tentang status sosial-ekonomi, utama adalah kualitatif, maka
demografi, dan budaya yang berlaku selanjutnya ditetapkan sebanyak 15
pada masyarakat suku Bajo terkait informan yang dianggap lebih tahu
dengan perencanaan keluarga dan dan mudah ditemui untuk
fertilitas. wawancara dengan kriteria
Metode survey explanatory, berdasarkan: 1) kelompok umur, 2)
dilakukan dengan tujuan untuk tingkat pendidikan, 3) umur kawin
mengindentifikasi sampel, pertama, 4) status pekerjaan, 5) pola
memperoleh gambaran umum perkawinan. Selanjutnya untuk lebih
karasteristik sampel, dan sebagai mendalami budaya yang berkaitan
kualifikasi/seleksi informan. Selain dengan fertilitas ditetapkan 4
itu juga metode survey tersebut (empat) tambahan informan kunci.
bertujuan sebagai validasi data dari Untuk menentukan informan kunci
informan yang dilakukan dengan dalam penelitian, peneliti terlebih
cara crosscek, yaitu data yang dahulu berkonsultasi dengan tokoh
disampaikan oleh informan dicek yang ada di perkampungan Mola
kembali kepada responden apakah dalam hal ini adalah kepala desa
yang disampaikan oleh informan Mola Selatan dan kepala desa Mola
kunci cenderung sama ataukah ada Utara.
hal-hal yang baru. Terkait dengan Dari hasil konsultasi tersebut
survey, penentuan sampel dalam ditetapkan 4 (empat) informan kunci
penelitian ini menggunakan teknik yang salah satu diantaranya adalah
sampling meliputi: (1) area sampling dukun beranak “pangileh” dan yang
ditentukan dengan tekhnik purposif lain adalah orang yang lebih
dilakukan dengan pertimbangan mengetahui budaya dan sejarah
bahwa kasus yang diteliti secara suku Bajo. Langkah pertama yang
spesifik terjadi pada dua desa yaitu dilakukan pada analisis data pada
Desa Mola Utara dan Desa Mola penelitian ini adalah menganalisis
Selatan, (2) responden adalah data kuantitatif (survey) yaitu dengan
wanita usia subur umur (15-49) crosstab dalam bentuk presentase,
tahun yang ditentukan dengan dan rata-rata (mean). Variabel yang
tekhnik quota sampling yaitu 100 dianalisis secara kuantitatif antara
orang dengan pertimbangan bahwa lain; sosial, ekonomi dan demografi
sejumlah sampel tersebut dipandang serta pengaruhnya terhadap
sudah cukup mewakili karakteristik penggunaan alat kontrasepsi KB dan
populasi. Dari jumlah tersebut fertilitas. Hasil dari analisis tersebut
kemudian masing-masing desa dijadikan sebagai dasar analisis
ditentukan dengan proportional selanjutnya (kualitatif) yaitu dengan
random sampling, dengan menelusuri dari berbagai informasi
menggunakan skenario perhitungan dari informan. Sedangkan variabel

44 | Media Komunikasi Geografi, Vol 18, No. 1, Juni 2017: 40-53


Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan ... Subardjan

budaya dianalisis secara kualitatif 2010, Melalui perkembangan atau


murni menggunakan analisis data
kemajuan masyarakat berdampak
kualitatif yang dikembangkan oleh
Miler dan Huberman (1992, dalam positif terhadap perubahan status
Basrowi dan Suwandi, 2008). wanita. Wanita lebih banyak bekerja
di luar rumah daripada bekerja
3. Hasil dan Pembahasan domestik baik dengan maksud
tambahan pendapatan maupun
Pengaruh Sosial, Ekonomi,
carier. Mereka ingin
Demografi Terhadap Perencanaan
Keluarga, Penggunaan Alat mengembangkan dirinya sehingga
Kontrasepsi dan Fertilitas mereka ingin mempunyai jumlah
Faktor sosial, ekonomi dan anak yang kecil, dan tidak terus
demografi termasuk budaya menerus dikungkung oleh urusan
merupakan faktor yang dapat dapur dan anak-anak. Hal ini
mempengaruhi fertilitas melalui disebabkan karena kehidupan kota
sebelas variabel antara (Blake, 1956 dicirikan oleh masalah perumahan
dalam Mantra 2000). Disamping itu dan kebutuhan hidup yang
penggunaan alat kontrasepsi senantiasa meningkat. Keadaan
merupakan faktor yang secara kehidupan seperti ini, keluarga kecil
langsung dapat mempengaruhi lebih menguntungkan (kualitas
fertilitas. Kesebelas faktor- faktor itu anak).
masing-masing mempunyai
Secara perlahan, suku Bajo
pengaruh (nilai) positif dan negatif
sudah tersentuh oleh modernisasi.
sendiri- sendiri terhadap fertilitas.
Hal itu dapat terlihat pada
Pengaruh dari variabel-variabel di
penggunaan alat-alat teknologi
atas terhadap masyarakat yang satu
canggih seperti kendaraan bermotor,
dengan yang lain berbeda-beda.
alat komunikasi, sampai pada alat-
Masyarakat suku Bajo merupakan
alat elektronik canggih lainnya.
masyarakat dengan latar belakang
Kondisi tersebut semestinya diikuti
sosial, ekonomi dan demografi serta
dengan peningkatan pendidikan,
budaya yang berbeda dari
derajat kesehatan serta bidang-
masyarakat lain. Dengan perubahan
bidang lain yang diharapkan dapat
pola permukiman dari laut ke
memperbaiki kesejahteraan
daratan, suku terasing menjadi
termasuk fertilitas. Hal tersebut
orang kota merupakan era baru (era
berbeda dengan harapan dan
perubahan) bagi suku Bajo yang ada
kenyataan. Pendidikan pada wanita
di perkampungan Mola. Sesuai
usia subur (15-49) tahun di suku
dengan hasil penelitian dari Suandi ,
Bajo yang ada di perkampungan

45 | Media Komunikasi Geografi, Vol 18, No. 1, Juni 2017: 40-53


Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan ... Subardjan

Mola, ditemukan mayoritas mayoritas tidak menggunakan alat


kontrasepsi KB, sehingga
berpendidikan rendah. Hal ini
berdampak pada jumlah anak lahir
disebabkan oleh karena di lokasi hidup (ALH) dan anak masih hidup
penelitian fasilitas pendidikan (AMH) cenderung lebih tinggi.
tertinggi hanya sampai pada tingkat Kondisi ini mengindikasikan bahwa
Sekolah Dasar (SD). tingkat fertilitas di daerah penelitian
juga tinggi.
Disamping itu tingkat Status pekerjaan wanita usia
kesadaran dari masyarakat suku subur (15-49) tahun di desa Mola
Bajo yang masih rendah terhadap Utara dan Mola Selatan mayoritas
pendidikan. Sebagai akibat dari berstatus tidak bekerja. Hal ini
pengetahuan yang cenderung disebabkan karena tingkat
rendah tesebut, wanita usia subur pendidikan yang rendah juga
(15-49) tahun suku Bajo cenderung pekerjaan utama yang ada di suku
menginginkan anak yang lebih Bajo adalah nelayan, yang mana
banyak. Jumlah anak yang hanya mampu dikerjakan oleh laki-
diinginkan wanita usia subur (15-49), laki (suami). Sehingga para suami
pada tingkat pendidikan yang rendah cenderung melarang para istri untuk
cenderung tinggi sedangkan pada bekerja. Secara umum, jumlah anak
tingkat pendidikan yang tinggi dan preferensi anak laki-laki yang
cenderung rendah (hubungan diinginkan oleh wanita usia subur
negatif). Hal yang sama juga terlihat (15-49) yang bekerja cenderung
pada keinginan terhadap anak laki- lebih tinggi sedangkan wanita usia
laki dan anak perempuan. Wanita subur (15-49) yang tidak bekerja
usia subur pada semua tingkat cenderung lebih rendah (pola
pendidikan, kecenderungan hubungan positif). Hal tersebut
terhadap anak laki-laki lebih tinggi disebabkan karena pada wanita
dibandingkan anak perempuan. Hal yang bekerja rata-rata bekerja pada
ini disebabkan karena pada wanita sektor informal, sehingga anak yang
usia subur (15-49) tahun dengan diinginkan selain sebagai tenaga
tingkat pendidikan rendah, mereka kerja untuk melaut juga sebagai
cenderung tertutup dengan keadaan tenaga kerja pada sektor informal.
luar sehingga minim informasi dan Selain itu pada wanita usia
pengetahuan. Sedangkan pada subur (15-49) tahun, keputusan anak
wanita usia subur (15-49) tahun merupakan keputusan bersama
dengan pendidikan yang tinggi, antara suami dan istri. Sehingga
disamping memiliki pola pikir dan mereka tidak mempermasalahkan
pemahaman yang lebih rasional, jumlah anak. Dengan demikian anak
juga sangat intens berinteraksi yang diinginkan cenderung lebih
dengan orang- orang diluar suku tinggi. Sedangkan pada wanita usia
Bajo (bagai). Sebagai akibat dari hal subur (15-49) tahun yang tidak
tersebut, wanita usia subur (15-49) bekerja anak yang diinginkan hanya
tahun dengan pendidikan rendah sebagai tenaga kerja untuk melaut,

46 | Media Komunikasi Geografi, Vol 18, No. 1, Juni 2017: 40-53


Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan ... Subardjan

sehingga anak yang diinginkan tinggi. Dengan demikian mereka


cenderung lebih rendah jika lebih mempertimbangkan jumlah
dibandingkan dengan wanita yang anak, sehingga cenderung
bekerja. Kondisi tersebut membatasi jumlah anak yang
mengakibatkan wanita usia baik diingikan dan preferensi anak (anak
yang bekerja maupun tidak bekerja laki-laki) lebih rendah. Hal ini
cenderung tidak menggunakan alat tentunya berakibat pada
kontrasepsi KB. Akibatnya adalah penggunaan alat kontrasepsi KB.
Anak Lahir Hidup dan Anak Masih Pada wanita usia subur (15-49)
Hidup cenderung lebih tinggi. tahun dengan penghasilan rendah
Penghasilan wanita usia dan tinggi cenderung tidak
subur (15-49) tahun suku Bajo menggunakan alat kontrasepsi KB.
mayoritas memiliki penghasilan yang Sementara pada wanita usia subur
rendah. Secara umum menunjukkan (15-49) tahun dengan penghasilan
jumlah anak dan preferensi anak sedang cenderung menggunakan
laki-laki yang diinginkan wanita usia alat kontrasepsi KB. Sehingga
subur (15-49) tahun pada kondisi tersebut menyebabkan
penghasilan rendah cenderung perbedaan ALH dan AMH.
tinggi, sementara pada wanita usia Wanita usia subur (15-49)
subur (15-49) dengan penghasilan tahun pada penghasilan rendah dan
sedang cenderung rendah tinggi, ALH maupun AMH cenderung
sedangkan pada wanita usia subur rendah sementara pada penghasilan
(15-49) cenderung tinggi (pola sedang cenderung rendah. Umur
hubungan model kurva”U”). Hal ini wanita usia subur (15-49) tahun
disebabkan karena pada mayoritas berada pada kelompok
penghasilan rendah yang mayoritas umur (25-29) tahun. Secara umum
bekerja sebagai nelayan, memiliki menunjukkan jumlah anak yang
kualifikasi pendidikan yang rendah diinginkan dan preferensi anak laki-
sehingga masih menganggap anak laki yang diinginkan wanita usia
sebagai aset tenaga kerja. Dengan subur (15-49) tahun pada umur
demikian jumlah anak yang muda cenderung lebih rendah,
diinginkan maupun preferenasi anak sedangkan wanita usia subur (15-
(laki-laki) cenderung tinggi. 49) pada umur tua cenderung lebih
Sementara pada penghasilan tinggi, tinggi (pola hubungan positif). Hal
mayoritas bekerja sebagai tersebut disebabkan oleh karena
pengusaha penjual ikan tuna dan pada umur muda disamping rata-
teripang, yang mana masih rata memiliki pendidikan menengah
menganggap anak sebagai aset juga memiliki mobilitas yang cukup
tenaga kerja untuk mengurus usaha tinggi, intens berinteraksi dengan
sehingga jumlah anak yang diingikan orang diluar suku Bajo. Sehingga
serta preferensi anak lebih tinggi. mereka lebih “up to date” akan
Sedangkan pada penghasilan informasi dan pengetahuan.
sedang mayoritas bekerja sebagai Sedangkan wanita usia subur (15-
PNS dengan kualifikasi pendidikan 49) tahun disamping mayoiritas

47 | Media Komunikasi Geografi, Vol 18, No. 1, Juni 2017: 40-53


Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan ... Subardjan

berpendidikan rendah/tidak sekolah, disebabkan oleh karena sering


juga lebih banyak bekerja di dalam terjadinya budaya kawin lari pada
rumah dan cenderung tertutup kalangan suku Bajo dan budaya
dengan keadaan luar. Sehingga menjodohkan. Secara umum
minim informasi dan pengetahuan. menunjukkan jumlah anak dan
Disamping itu, wanita usia subur preferensi anak laki-laki yang
(15-49) tahun pada umur tua anak- diinginkan wanita usia subur (15- 49)
anak telah banyak yang bekerja pada usia kawin muda (<16 tahun)
sehingga orang tua telah merasakan cenderung lebih tinggi, sedangkan
kontribusi anak terhadap ekonomi wanita usia subur (15-49) pada usia
keluarga (terutama anak laki-laki). perkawinan tua (24+ tahun)
Juga orang tua merasa kesepian cenderung lebih rendah (pola
karena anak-anaknya sebagian telah hubungan negatif). Hal ini
menikah dan tinggal di tempat lain. disebabkan oleh karena wanita usia
Hal lain yang ditemuai pada wanita subur (15-49) pada perkawinan
usia tua adalah adanya rasa trauma muda belum mapan baik secara
terhadap kematian anak terdahulu. usia, pendidikan dan pola pikir
Dengan demikian ada sehingga tidak ada perencanaan
kecenderungan untuk menambah keluarga (dalam hal ini jumlah anak)
anak lagi. Hal tersebut berakibat yang mantap. Sehingga yang
pada pemakaian alat kontrasepsi ditemukan pada wanita usia subur
KB. Pada umur muda cenderung (15-49) tahun dengan usia kawin
menggunakan alat kontrasepsi KB muda (<16) tahun keinginan
sedangkan pada umur tua terhadap jumlah anak berdasarkan
cenderung tidak menggunakan alat riwayat keluarga terdahulu (jumlah
kontrasepsi KB. Dengan demikian saudara kandung). Sedangkan
menyebabkan perbedaan ALH dan wanita usia subur (15-49) pada umur
AMH. Pada wanita dengan perkawinan (24+ tahun) rata-rata
kelompok umur muda, ALH dan berpendidikan menengah dan tinggi.
AMH cenderung lebih rendah. Sehingga lebih matang dalam
Sementara wanita usia subur (15- merencanakan keluarga (jumlah
49) tahun, ALH dan AMH cenderung anak) sehingga anak yang
lebih tinggi. Dengan kata lain dapat diinginkan cenderung lebih sedikit.
dikatakan bahwa fertilitas wanita Beertolak dari kondisi tersebut
usia subur (15-49) tahun pada berakibat pada penggunaan alat
kelompok umur muda cenderung kontrasepsi KB. Pada wanita usia
tinggi, sebaliknya fertilitas wanita subur (15-49) tahun dengan usia
usia subur (15-49) tahun cenderung perkawinan yang muda (<16) tahun
lebih rendah. cenderung tidak menggunakan alat
Usia kawin pertama wanita kontrasepsi KB dengan alasan ingin
usia subur (15-49) tahun yang ada di menambah jumlah anak. Sedangkan
desa Mola Utara dan Mola Selatan wanita usia subur (15-49) tahun
mayoritas berada pada kelompok cenderung menggunakan alat
usia kawin (16- 19) tahun. Hal ini kontrasepsi KB karena kematangan

48 | Media Komunikasi Geografi, Vol 18, No. 1, Juni 2017: 40-53


Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan ... Subardjan

pengetahuan. Sehingga yang terjadi suku Bajo. Dengan latar belakang


adalah perbedaan jumlah Anak Lahir budaya sebagai suku laut, mayoritas
Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup bekerja sebagai nelayan tentunya
(AMH). Wanita usia subur (15-49) akan berbeda dengan masyakat
tahun dengan usia kawin pertama yang tinggal di darat pekerjaan
muda(<16) tahun, ALH dan AMH utama bukan sebagai nelayan.
cenderung tinggi. Sementara wanita Namun secara khusus suku Bajo
usia subur (15-49) tahun dengan yang ada di perkampungan Mola,
perkawinan tua (24+) tahun, ALH merupakan suku Bajo yang sedang
dan AMH cenderung lebih rendah. menuju perubahan. Sebab mereka
Dengan kata lain tingkat fertilitas sudah bermukim di darat dan
cenderung tinggi pada wanita usia menjadi bagian dari masyarakat
subur (15-49) tahun dengan usia perkotaan. Bentuk-bentuk upacara
kawin pertama muda, sementara adat pada masyarakat Bajo yang
tingkat fertilitas cenderung rendah ada di desa Mola Utara dan Mola
pada wanita usia subur (15-49) Selatan boleh dikata cukup banyak.
tahun dengan usia kawin pertama Namun pada penelitian ini
yang lebih tua. Dengan demikian, yang sempat diidentifikasi hanya
secara umum dapat disimpulkan beberapa bentuk upacara saja,
bahwa faktor sosial, ekonomi dan antara lain;
demografi serta penggunaan alat  massuro merupakan bentuk
kontrasepsi suku Bajo di era upacara adat yang dilakukan
perubahan (dimana mereka sudah untuk memulai suatu perkawinan
mendarat) dapat menentukan yang biasa di sebut “lamaran“
fertilitas. Hal tersebut sebagai akibat atau “pinangan“ pada masyarakat
dari keinginan terhadap jumlah anak Bajo,
yang tinggi dan preferensi anak laki-  duata, dilakukan jika ada salah
laki yang cenderung tinggi. Sehingga satu diantara mereka mengalami
norma keluarga yang berlaku adalah sakit keras dan tidak lagi dapat
“norma keluarga besar”. disembuhkan dengan cara lain
termasuk pengobatan medis,
Pengaruh Aspek Budaya  upacara bagi wanita hamil,
Terhadap Perencanaan Keluarga terdapat (3-4) kali upacara yang
dan Fertilitas dikenal yaitu pada usia kehamilan
Aspek budaya merupakan 40 hari, 3 bulan, 5 bulan, dan 7
salah satu aspek yang bulan.
mempengaruhi fertilitas. Aspek Dari beberapa bentuk
budaya selalu terkait dengan nilai upacara tersebut tidak ditemukan
anak yaitu motivasi untuk memiliki keterlibatan anak baik anak laki-laki
anak. Di suatu masyarakat dengan maupun anak perempuan untuk
kondisi budaya tertentu akan kepentingan upacara. Artinya jika
berbeda dengan masyarakat yang anak sering dilibatkan dalam
lain dengan budaya yang berbeda. upacara maka ada motivasi untuk
Salah satunya adalah masyarakat memiliki anak untuk kepentingan

49 | Media Komunikasi Geografi, Vol 18, No. 1, Juni 2017: 40-53


Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan ... Subardjan

upacara adat. Misalnya seperti di pengetahuan suku Bajo cenderung


Nepal motivasi untuk memiliki anak masih merunut pada sistem
laki-laki sangat tinggi karena hanya pengetahuan tradisional. Sebagai
anak laki-laki yang dapat melakukan masyarakat yang mengandalkan
upacara kematian untuk orang tua penghasilan dari melaut (nelayan),
serta upacara lainnya setelah orang mereka percaya bahwa kelimpahan
tua meninggal. Dengan demikian hasil tangkapan (rezeki) tergantung
upacara adat yang terjadi di Suku pada ridhonya sang istri. Sehingga
Bajo Mola tidak mempengaruhi “jika ingin hasil tangkapannya
keinginan terhadap jumlah anak berlimpah maka sebelum melaut
serta fertilitas. Pada masyarakat harus terlebih dahulu berhubungan
suku Bajo yang ada di desa Mola istri”. Hal ini menunjukkan frekuensi
Utara dan Mola Selatan, memiliki hubungan seks. Jika setiap hari
kepercayaan “jika memiliki anak lima melaut bahkan dalam sehari dua kali
orang berarti sudah menjalankan melaut, tidak dapat dibayangkan
rukun Islam, jika memiliki anak enam frekuensi hubungan seks yang
orang telah menjalankan rukun terjadi. Namun hal itu sulit untuk
iman”. Tidak dapat dibayangkan jika dibuktikan. Sebagaimana yang
masyarakat suku Bajo semua diungkapkan oleh Davis dan Blake
menjalankan kepercayaan tersebut. bahwa salah satu di antaranya yang
Artinya bahwa rata-rata anak yang mempengaruhi fertilitas adalah
dimiliki minimal lima orang. Setelah frekuensi hubungan seks. Walaupun
ditelusuri ke beberapa informan menurut Davis dan Blake variabel
yang menjalankan kepercayaan tersebut merupakan variabel yang
tersebut menunjukkan rata-rata anak lemah, namun minimal frekuensi
yang dimiliki adalah 6 orang dan hubungan seks dapat memberi
mereka masih ingin menambah anak peluang terjadinya kehamilan.
lagi. Selain kepercayaan tersebut Apalagi tidak diikuti dengan
kepercayaan pengobatan yang pemakaian alat kontrasepsi, maka
masih menggunakan jasa dukun. tidak menutup kemungkinan ada
Dengan pengobatan serba peluang dari seorang wanita untuk
tradisional, mengandalkan mantra hamil.
yang ditiupkan ke segelas air lalu Mata pencaharian sebagai
diminum, menyebabkan kematian nelayan, suku Bajo sering
anak cenderung tinggi disamping melibatkan anak-anak terutama
sanitasi yang buruk. Sehingga anak laki-laki untuk melaut. Sejak
dengan kematian anak tersebut, kecil anak laki-laki sudah
orang tua cenderung ingin disosialisasikan dengan kehidupan
menambah anak yang lebih banyak laut. Sehingga sejak umur (7-10)
karena adanya kekhawatiran akan tahun, anak laki-laki sudah sering
kematian anak. Dengan demikian diajak untuk temani bapak atau
sistem kepercayaan (belief) pada pamannya untuk mencari ikan. Jika
masyarakat suku Bajo dapat anak laki-laki melaut pada umur
mempengaruhi fertilitas. Sistem tersebut maka mereka sudah

50 | Media Komunikasi Geografi, Vol 18, No. 1, Juni 2017: 40-53


Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan ... Subardjan

menjadi bagian yang dianggap Di samping itu ada nilai


mempunyai hak dan kewajiban yang kepemilikan dari orang tua terhadap
sama dengan orang dewasa dalam anak. Orang tua merasa bahwa jika
proses produksi. Jika anak laki-laki memiliki anak lak-laki berarti mereka
ikut pamannya melaut, hasil memiliki sepanjang masa,
tangkapan yang merupakan bagian sedangkan perempuan merasa
dari anak tersebut akan dibawa memilikinya hanya sesaat. Orang
pulang ke orang tuanya. Sehingga tua merasa memiliki anak laki-laki
pada masyarakat suku Bajo sebelum kawin dan setelah kawin.
keinginan terhadap anak Orang tua masih berani meminta
diantaranya adalah karena anak tolong (berupa materi) kepada anak
dipandang sebagai faktor ekonomi. laki-laki karena menurut mereka
Terlebih sudah mendarat dan yang bekerja adalah anak laki-laki.
menjadi bagian masyarakat kota, Sementara anak perempuan hanya
kebutuhan cenderung meningkat memilikinya sebelum kawin namun
sementara pekerjaan utama hanya setelah kawin, orang tua merasa
sebagai nelayan. Dengan demikian bukan lagi milik mereka (milik
untuk menambah penghasilan suami). Orang tua tidak berani
keluarga, anak sering dilibatkan meminta tolong (materi) kepada
sebagai faktor produksi (tenaga anak perempuannya yang kawin
kerja). Sehingga keinginan terhadap karena yang bekerja adalah
jumlah anak terutama anak laki-laki suaminya. Dengan demikian
cenderung tinggi. keinginan terhadap jumlah anak
Nilai anak merupakan aspek cenderung tinggi. Hal ini tentunya
yang tidak kalah pentingnnya karena dapat mempengaruhi fertilitas.
menyangkut motivasi untuk Pola perkawinan yang terjadi
mempunyai jumlah anak pada suku Bajo setelah mendarat
banyak/sedikit dan nilai- nilai tentang dan menjadi bagian dari orang kota
anak itu sendiri. Pada masyarakat (era perubahan) adalah sesama
suku Bajo yang ada di desa Mola suku (endogami) dan antara suku
Utara dan Mola Selatan anak (eksogami). Sesama suku
merupakan pembawa rezeki. (endogami) terjadi antara Bajo
Sehingga mereka masih meyakini dengan bajo atau di sebut “sama vs
bahwa banyak anak berarti banyak sama“ sedangkan antara etnis
rezeki. Selain itu anak memiliki disebut “sama vs bagai“. Mayoritas
makna bahwa dengan jumlah anak perkawinan antara suku (sama vs
yang lebih banyak, terutama bagi sama) biasa terjadi antara laki-laki
kaum laki-laki menunjukkan diluar etnis Bajo (bagai) dan
kepercayaan diri (keperkasaan) perempuan berasal dari suku Bajo.
terutama memiliki anak laki-laki. Pola perkawinan sesama
Apabila tidak demikian, maka akan fertilitasnya cenderung tinggi. Hal
ada rasa minder atau kurang tersebut disebabkan karena masih
percaya diri terutama bagi yang tidak dominannya budaya suku Bajo
memiliki anak. mengenai nilai-nilai anak yang

51 | Media Komunikasi Geografi, Vol 18, No. 1, Juni 2017: 40-53


Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan ... Subardjan

berlaku. Sementara perkawinan 4. Penutup


antara suku cenderung menurunkan
fertilitas. Hal tersebut disebabkan Simpulan
oleh dominasi suami dalam Berdasarkan hasil dan
pengambilan keputusan tentang pembahasan tersebut dapat
anak. Sehingga nilai-nilai tentang disimpulkan:
anak yang belaku dalam suku Bajo  perencanaan keluarga yang ada
sudah mulai berubah. Mereka lebih pada pasangan suami-istri suku
memandang dari sisi “cost” karena Bajo di desa Mola Utara dan Mola
mereka memikirkan kelanjutan masa Selatan adalah semata-mata
depan anak terutama dari segi masih berdasarkan atas
pendidikan. Dengan demikian dapat keuntungan dari keluarga besar,
dikatakan bahwa percampuran dua sehingga yang berlaku adalah
budaya yang berbeda bisa nilai keluarga besar,
menurunkan fetilitas.  aspek- aspek yang menentukan
Sistem kekerabatan pada perencanaan keluarga suku Bajo
masyarakat suku Bajo merupakan di era perubahan adalah aspek
sistem kekerabatan dekat dan sosial-ekonomi, demografi dan
kekerabatan jauh. Secara umum budaya,
nampak bahwa pada masyarakat  kondisi tersebut (1 dan 2)
suku Bajo, ide tentang “keluarga berimplikasi pada penggunaan
besar” nampaknya masih kuat. alat kontrasepsi KB yang mana
Banyak keluarga yang dekat dan mayoritas wanita usia subur (15-
jauh masih dianggap 49) tahun mayoritas tidak
menguntungkan. menggunakan alat kontrasepsi
Norma keluarga besar masih KB.
merupakan pilihan dibandingkan Dengan demikian,
dengan norma “keluarga kecil”. mengakibatkan jumlah Anak Lahir
Mereka masih menganggap bahwa Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup
dengan banyak anggota keluarga (AMH) pada wanita usia subur (15-
sistem kekerabatan mereka akan 49) tahun lebih tinggi, yaitu di daerah
semakin erat dan saling penelitian menunjukkan rata-rata
membutuhkan. Anak Lahir Hidup (ALH) adalah (3-4)
Hal tersebut sebagaimana orang dan Anak Masih hidup adalah
yang dikatakan oleh Singarimbun 2,9 atau 3 orang.
(1978) bahwa penilaian yang tinggi
kepada “keluarga besar” Rekomendasi
mencerminkan kenyataan Suku Bajo sebagai
berlakunya “loyalitas primodial” yakni masyarakat dengan karasteristik
loyalitas kepada keluarga, suku dan budaya yang sedikit tertutup harus
golongan. Dengan demikian jika mendapatkan perhatian khusus
yang berlaku adalah “nilai keluarga terutama pada pengalokasian
besar” maka secara otomatis tingkat sarana dan prasaran pendidikan
fertilitas akan semakin tinggi. mulai dari pendidikan dasar sampai

52 | Media Komunikasi Geografi, Vol 18, No. 1, Juni 2017: 40-53


Perencanaan Keluarga Dan Fertilitas Suku Bajo Di Era Perubahan ... Subardjan

ke pendidikan tingkat menengah Basroni & Suwandi, 2008.


atas dan fasiitas kesehatan yang Memahami Penelitian
memadai di tengah perkampungan Kualitatif. Rineke Cipta:
Mola. Dengan demikian tidak ada Jakarta.
lagi alasan atas keterbatasan akan Becker, 1995. An Economic Analysis
akses pendidikan dan kesehatan of Fertility. Dalam The
terutama dari segi jangkauan. Essence of B.E.C.K.E.R.
Perlu ada sosialisasi yang Ramon Febrero dan Pedro S.
intens dengan masyarakat, terutama Schwartz. Hoover Institution
dari petugas KB yang ada di Press. Stanford University,
kabupaten/kota agar tidak terjadi Stanford, California.
pemaknaan yang salah terhadap Badan Pusat Statistik. 2010,
alat kontrasepsi KB. Para petugas Sulawesi Tenggara Dalam
KB yang ada harus mengkader Angka. BPS Propinsi Sulawesi
masyarakat setempat agar dalam Tenggara.
melakukan sosialisasi atau Badan Pusat Statistik. 2010.
pendekatan terutama masyarakat Wakatobi Dalam Angka. BPS
Bajo yang sedikit tertutup bisa lebih Kabupaten Wakatobi.
cepat diterima. Mahmud, 1980. Pentingnya
Perlu ada kebijakan yang Pembinaan Pendidikan Islam
komprehensif untuk mengendalikan Bagi Masyarakat Desa Mola
penduduk suku Bajo yang ada di Kecamatan Wangi-Wangi.
desa Mola Utara dan Mola Selatan. Universitas Alauddin : Baubau.
Mengingat suku Bajo Mola Mantra, I.B. 2000. Demografi Umum.
menempati wilayah konservasi Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Taman Nasional Wakatobi. Yogyakarta.
Sehingga tidak menutup Singarimbun, M. 1978. Faktor-Faktor
kemungkinan, dengan laju Sosial dan Kebudayaan yang
pertumbuhan yang tinggi akan Mempengaruhi Fertilitas dan
berdampak pada lingkungan. Hal ini Mortalitas. Lembaga
sangat terkait dengan aktifitas Kependudukan Universitas
mereka yang mengeksploitasi batu Gadjah Mada: Yogyakarta.
karang laut bahkan terumbu karang Suandi. 2010. Status Sosial
untuk permukiman mereka. Ekonomi dan Fertilitas (A
Latent Variable Approach).
Daftar Pustaka Jurnal Piramida, Vol 6 No 1
Juli 2010.
Anonim. 2010. Etnografi Suku Bajo.
STAIN Salatiga Press.
Salatiga.
-----------. 2011. Orang Bajo Di
Tengah Perubahan. Ombak:
Yogyakarta.

53 | Media Komunikasi Geografi, Vol 18, No. 1, Juni 2017: 40-53

Anda mungkin juga menyukai