Anda di halaman 1dari 65

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum

Pajak-pajak dapat didekati di-approach dari berbagai segi : dari segi

hukum, segi ekonomi, segi sosiologi, segi keuangan, dan segi pembangunan, segi

administrated dan sebagainya.1 Karena penelitian ini menitikberatkan kepada segi

hukumnya, maka perlu diketahui bagaimana pajak ditinjau dari segi hukumnya.

Dari segi hukum dalam penelitian ini menitikberatkan pada hukum perdata

khususnya perikatan (cerbintenis) hak dan kewajiban Wajib Pajak, subjek Pajak

dalam hubungannya dengan subjek hukum. Hak penguasa untuk mengenakan

pajak, timbulnya utang pajak, hapusnya utang pajak, penatihan pajak dengan

paksa, sanksi administrasi maupun sanksi pidanam penyidikan, pembukuan, soal

keberatan, pengurangan, minta banding dan daluarsa baik pengenaan maupun

penagihan.

Seperti diketahui bahwa hukum perdata yaitu bagian dari keseluruhan

hukum yang mengatur hubungan antara orang-orang pribadi. Disisi lain hukum

pajak banyak sekali berkaitan dengan hukum perdata. Hal ini dapatlah dimengerti

karena kebanyakan hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya

atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan hukum yang bergerak

dalam lingkungan perdata, seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian penyerahan,

1
Rochmat Sumitro, SH. Asas dan Dasar Perpajakan 1, PT. Refika Aditama, Bandung 1998, Hal.50.
pemindahan hak karena waris, dan lain sebagainya. Walaupun demikian

beberapa hali berpendapat bahwa hal yang menyebabkan hukum pajak berkaitan

dengan hukum perdata bukan karenamencari dasar dari hukum perdata, tetapi

karena suatu ajaran (antara lain Prof. Mr. Pal Scholten, guru besar pada

Universitas Amsterdam, dalam buku Burgelijk Recht : Algemen Deel) bahwa

hukum perdata harus dipandang sebagai hukum umum yang meliputi segala-

galanya, kecuali jika hukum public telah menetapkan peraturan meyimpang

daripadanya. Hal tersebut diatas berkaitan erat dengan ketentuan bahwa lx

specialis derogate lex generalis (peraturan yang khusus mengalahkan peraturan

yang umum), maka walaupun pengertian-pengertian atau istilah-istilah yang

dianut oleh hukum perdata dipakai oleh hukum pajak dapat saja artinya menjadi

berbeda.2 Untuk mengetahui itu telah dikenal teori yang disebut :

1. Ajaran Material

2. \Ajaran Formal

1. AJARAN MATERIAL mengatakaan bahwa utang pajak timbul karena

Undang-Undang pada saat dipetahui Tatbestand. Tatbestand adalah istilah

dalam bahasa Jerman yang berarti segala sesuatu yang ada dalam masyarakat

dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun

2
Santoso Brotodihardjo R.S.H. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. PT. ERESCO, 1987 Hal.11.
peristiwa. 3 Menurut teori ini apabila Tatbestand itu sudah dipenuhi maka

dengan sendirinya timbul utang pajak, walaupun belum ada surat ketetapan

pajak. Adapun Tatbestand dimaksud dapat diuraikan dengan contoh sebagai

berikut :

a. Keadaan : kekayaan pada suatu saat tertentu, memiliki tanah dan atau

bangunan dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan, memiliki kendaraan

bermotor dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor.

b. Perbuatan : melakukan penyerahan barang atau jasa dikenakan Pajak

Pertambahan Nilai atas barang dan jasa, melakukan jual beli tanah dan

atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan bagi si penjual dan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan bagi si pembeli,

mengadakan pertunjukan atau keramaian dikenakan Pajak pertunjukkan,

bagi artisnya dikenakan Pajak Penghasilan.

c. Peristiwa : kematian menimbulkan jatuhnya warisan kepada para ahli

waris, atas hatanya yang belum terbagi merupakan objek Pajak

Penghasilan. Terhadap para ahli waris karena adanya pengalihan hak dari

harta waris yang berupa tanah atau bangunan dikenakan Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan atau Bangunan. Pada dasarnya yang menyangkut

peristiwa adalah segala sesuatu yang terjadi diluar kehendak manusia.

3
Prof.Dr.H.Rochmat Soemitro, SH. Asas dan Dasar Perpajakan 1, PT. Refika Aditama, Bandung
1998. Hal.101.
2. AJARAN FORMAL megnatakan bahwa utang pajak baru timbul pada saat

dikeluarkan surat ketetapan. Jadi selama belum ada Surat Tagihan Pajak

(STP) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP) belum ada utang pajak wakupun

TATBESTAND sudah dipenuhi. Sebagai contoh da;dalam pengenaan Pajak

Bumi dan Bangunan, wajib pajak diberitahu jumlah pajaknya melalui Surat

Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pajak perlu

diketahui definisi pajak. Terdapat berbagai ragam mengentai definisi pajak di

kalangan para sarjana ahli dibidang perpajakan. Diantara para sarjana tersebut,

penulis kemukakan dua orang saraja yaitu :

1. Prof.Dr.PJA. Adriani, memberikan definisi yang berbunyi sebagai berikut :

“Pajak adalah iuran pada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan
dengan tugas pemerintah

2. Prof.Dr.Rochmat Soemitro, memberikan definisi sebagai berikut :

“Pajak adalah iuran rakyat kepada Negara berdasarkan undang-undang (dapat


dipaksakan) yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai
pembangunan”.4

3. Ray M. Sommerfield, memberikan definisi sebagai berikut :

“A tax can be defined meaningfully as any nonpelnal yet compulsory transfer


of resources from the private to the public sector, levied on the basis of

4
Bohari,H., iPengantar Hukum Pajak, PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Hal.23.
predetermined criteria and without receipt of a specific benefit of equal value,
in order to accomplish some of a nations economic and social objectives”

B. DASAR HUKUM DAN SEJARAH BERLAKUNYA BPHTB

Seperti yang telah diuraikan secara umum di BAB I bahwa sebelum

UUPA diberlakukan, setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada

di wilayah Indonesia, dipungut Bea Balik Nama berdasarkan Ordonisasi Bea

Balik Nama Staatblad 1924 Nomor 291. Objek Bea Balik Nama (BBN) menurut

Ordonisasi tersebut adalah pemindahan hak yang dilakukan dengan pembuatan

akta berdasarkan Ordonisasi Balik Nama Staatblad 1834 Nomor 27. Berlakunya

UUPA membawa konsekuensi bahwa pungutan BBN atas harta tetap berupa

tanah tidak dapat dilaksanakan, karena pungutan tersebut melekat pada hukum

tanah berdasarkan buku II KUH Perdata, sedangkan Buku II KUH perdata

sepanjang yang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya telah dicabut oleh UUPA. Dengan demikian sejak berlakunya UUPA,

BBN atas tanah tidak dipungut lagi. Sedangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai dasar hukum dalam

upaya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian yang bersifat

nasional yang sederhana, dan memberikan kepastian hukum bagi rakyat

Indonesia.

Dengan pertimbangan hal tersebut, maka Pemerintah bersama DPRD

bersepakat memberlakukan undang-undang nomor 21 tahun 1997 tentang BPHTB

sebagai pengganti Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah.
Undang-Undang tersebut disahkan pada tanggal 29 Mei 1997 yang mulai berlaku

mulai tanggal 1 Januari 1998, dan mencabut Ordonasi Bea Balik Nama Staatblad

1924 Nomor 291.

Pada masa diberlakukannya Undang-Undang ini, keadaan perekonomian

Negara Indonesia sedang dalam keadaan memerlukan pembenahan di segala

sector. Dengan mempertimbangkan usulan-usulan dari berbagai pihak, terutama

pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dengan hal-hal yang berkaitan dengan

tanah dan bangunan sebagai contoh organisasi Real Estate Indonesia, maka

Undang-Undang tersebut ditangguhkan permberlakuannya selama 6 bulan

berdasarkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1997. Perpu tersebut kemudian disetujui oleh DPR dan ditetapkan menjadi

Undang-Undang no 1 Tahun 1998. Dengan demikian pemungutan BPHTB baru

efektif pada tanggal 1 Juli 1998. Prinsip-prinsip yang dianut dalam Undang-

Undang BPHTB adalah :5

a. Pemenuhan kewajiban BPHTB berdasarkan sistem self assessment, yaitu

wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya

b. Besarnya tariff ditetapkan sebesar 5% dari NIlai Perolehan Objek Pajak Kena

Pajak

c. Agar pelaksanaan Undang-Undang ini dapat berlaku secara efektif, maka baik

kepada wajib pajak maupun kepada pejabat-pejabat umum yang melanggar

5
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Pajak Bumi dan
Bangunan, Himpunan Peraturan BPHTB dan Peraturan Terkait, tanpa penerbit, tanpa tahun,
Hal.23.
ketentuan atau tidak melaksanaka kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh

Undang-Undang ini, dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku

d. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan Negara yang sebagian

besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan

daerah guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dalam

rangka memantapkan otonomi daerah

e. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan diluar ketentuan

Undang-Undang ini tidak diperkenankan

Sejalan dengan perkembangan perekonomian dan adanya transaksi-

transaksi atas tanah dan atau bangunan yang terjadi di masyarakat, maka terhadap

Undang[-Undang Nomor 21 tahun 1997 dilakukan penyempurnaan dengan

tujuan6 :

a. Menampung perubahan tatanan dan perolaku ekonomi masyarakat dengan

tetap berpedoman pada tujuan pembangunan nasional di bidang ekonomi yang

bertumpu pada kemandirian bangsa untuk membiayai pembangunan dengan

sumber pembiayaan yang berasal dari penerimaan pajak

b. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat pelaku

ekonomi untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan

kewajibannya.

6
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000.
Sehingga akhirnya diuubah denganUndang-Undang Nomor 20 Tahun

2000. Adapun pokok-pokok perubahan Undang-Undang BPHTB tersebut

meliputi7 :

a. Memperluas cakupan objek pajak untuk mengantisipasi terjadinya perolehan

hak atas tanah dan atau bangunan dalam bentuk dan terminology yang baru

b. Meningkatkan disiplin dan pelayanan kepada masyarakat serta pengenaan

sanksi bagi pejabat dan wajib pajak yangn melanggar

c. Memberikan kemudahan dan perlindungan hukum pada wajib pajak dalam

melaksanakan kewajibannya

d. Menyesuaim ketentuan yang berlaku dengan Undang-Undang Nomor 22

Tahun1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, tambahan Lembaran Negara Nomor 3839)

dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1999 Nomor 72 tambahan Lembaran Negara Nomor 3848)

C. BPHTB Salah Satu Jenis Pajak

Terdapat beberapa pembagian pajak, yaitu :

1. Menurut Golongannya/Cara pemungutannya

7
Ibid
a. Pajak Langsung : yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak

dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh :

Pajak Penghasilan, Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan.

b. Pajak Tidak Langsung : yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan

atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.

2. Menurut sifatnya :

a. Pajak Subjektif : yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada

subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh :

Pajak Penghasilan.

b. Pajak Objektif : yaitu berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan

keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Pertambahan

NIlai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)

3. Menurut Lembaga pemungutannya :

a. Pajak Pusat : yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : Pajak

Penghasilan, Pajak Pertambahan NIlai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah, PBB dan BPHTB (Hasilnya diberikan kepada daerah)

b. Pajak Daerah : yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan

digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri

atas :
i. Pajak Daerah Tingkat I (Provinsi). Contohnya Pajak Kendaraan

Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

ii. Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota). Contoh : Pajak Hotel

dan Restoran, Pajak Hiburan dan Pajak Reklame

Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dikaitkan dengan

pembagian jenis pajak, maka :


1. Menurut golongannya termaduk pajak langsung, karena menurut Pasal 4

Undang-Undang BPHTB bahwa yang menjadi wajib pajak adalah orang

pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan

2. Menurut sifatnya termasuk pajak objektif, karena menurut Pasal 6 Undang-

Undang BPHTB bahwa yang menjadi dasar pengenaan adalah NIlai

Perolehan Objek Pajak. Jadi pajak ini berpangkal pada objeknya

3. Menurut lembaga pemungutannya termasuk pajak pusat, karena dari sejak

proses penerimaan sampai penerbitan surat tagihan pajak serta proses

keberatan/pengurangan sampai dengan banding dan Peninjauan Kembali,

semuanya dikelola oleh Pusat. Selain itu jumlah penerimaan tercantum dalam

RAPBN. Walaupun demikian hasil dari penerimaan, menurut Pasal 23

Undang-Undang BPHTB seluruh penerimaan diberikan kepada daerah

sebagai penerimaan daerah atas Bagi Hasil Pajak.

Seperti yang telah diuraikan sebagian pada Bab pendahuluan bahwa

suatu pemungutan pajak harus dilandasi dengan asas-asas yang merupakan

ukuran untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan pajak. Dari beberapa

pendapat para sarjana mengenai asas-asas, maka yang dikemukakan disini adalah

pendapat Adam Smith. Adapun asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :

Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nation mengemukakan

4 (empat) asas pemungutan pajak yang dikenal dengan “four cannon taxation”
atau sering disebut dengan “The four maxim”

yaitu :

1. Equality. arti kartanya adalah persamaan atau keadilan, sehingga disebut

asas persamaan. Asas ini meneukankan tidak adanya diskriminasi diantara

wajib pajak. Setiap warga Negara atau wajib pajak setiap seharusnya

memberikan sumbangannya kepada Negara sebanding dengan kemampuan

mereka masing-masing

2. Certainty. Asas ini menekankan tentang kepastian hukum dimana saat

terutana, siapa wajib pajak, apa objek pajak serta tata cara pembayarannya

dan lain-lain yang menyangkut hukum perpajakan harus jelas sehingga tidak

menimbulkan persepsi yang berbeda-beda

3. Convenience pf Payment. Asas ini mengharuskan bahwa pemungutan pajak

dilaksanakan pada saat wajib pajak dalam keadaan senang dan dengantata

cara yang menyenangkan pula. Sebagai contoh wajib pajak dipungut

pajaknya pada saat sedang ada uang. Wajib pajak dapat membayar dimana

saja dan dengan media apa saja seperti melalui Bank tempat pembayaran atau

ATM.

4. Economics of Collection. Asas ini mengharuskan bahwa biaya yang

dikeluarkan untuk melaksanakan pemungutan pajak agar lebih kecil apabila

dibandingkan dengan pajak yang dipungut.

Untukn mengetahui apakah suatu undang-yundang perpajakan itu

memenuhi rasa keadilan, perlu diukur sejauh mana asas-asas atau syarat-syarat
pemungutan pajak diintrodusir dalam undang-undang yang bersangkutan.8 Agar

suatu undang-undang pajak dipandang adil, maka syarat yang harus dipenuhi

dalam pembuatan undang-undang pajak adalah sebagai berikut :

1. Syarat Yuridis

Karena hukum pajak adalah bagian dari hukum pajak nasional, maka sudah

seharusnya semua asas-asas peraturan perpajakan mengikuti syarat-syarat

yuridis yang telah digariskan oleh Undang-Undang Dasar dan falsafah hukum

yang berlaku. Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat 2

menyatakan bahwa “Segala pajak untuk kegunaan kas Negara berdasarkan

uNdang-undang. Hal ini dapat dipahami karena pajak merupakan peralihan

kekayaan dari sector swasta ke sector pemerintah (untuk membiayai

peengeluaran Negara) tanpa ada jasa timbale balik (tegen prestasi) yang

langsung ditunjuk, sehingga pemungutan pajak jangan dilaksanakan dengan

sewenang-wenang. Itulah sebabnya di Inggris berlaku suatu dalil yang

berbunyi : no Taxation without representation (tidak ada pajak tanpa

Undang-Undang) dan Amerika : Taxation without representation is robbery

(pajak tanpa Undang-Undang adalah perampokan).

Selain itu peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan harus pula

mengikuti asas-asas di bidang hukum seperti pembuatan undang-undang

perpajakan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, hal

yang khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum,

8
Bohari Hal. 45.
undang-undang yang dikeluarkan kemudian menghapuskan undang-undang

sebelumnya dan lain-lain.

Dalam kaitannya dengan wajib pajak, maka hak-hak dan kewajiban wajib

pajak harus seimbang dengan fiskus. Hak-hak wajib pajak seperti

mengajukan keberatan/pengurangan dan banding,, kemudahan dan kejelasan

dalam menghitung besarnya pajak harus mendapatkan jaminan hukum

sehingga tidak perlu diperlakukan secara tidak adil.

2. Syarat Ekonomis

Dengan adanya pemungutan pajak, sudah berang tentu akan mempengaruhi

kemampuan ekonomisnya. Secara luas akan mempengaruhi ekonomi

nasional. Oleh karena itu pemerintah dalam melaksanakan pemguntan

pajaknya harus memperhatikan dampak yang diakibatkan adanya

pemungutan tersebut. Oleh karena itu kehidupan perekonomian tidak boleh

terganggu karena adanya pungutan pajak.

3. Syarat Finansial

Pajak mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu mengatur dan budgeter. Dalam hal ini,

pajak harus sesuai dengan fungsi budgeter, dimana biaya untuk

melaksanakan pemungutan pajak diusahakan sekecil mungkin. Adapun yang

dimaksudkan dengan biaya adalah biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah

meliputi biaya untuk aparatur pajak, perlengkapan-perlengkapan termasuk

pelayanan.

4. Syarat Sosiologis
Diketahui bahwa pajak merupakan gejala masyarakat artinya bahwa adanya

pajak karena ada masyarakat. Pajak dipungut untuk kepentingan masyarakat

dengan memperhatikan kepentingan individu. Oleh karena pemerintah dalam

melaksanakan pungutan pajak memerlukan adanyab keseimbangan antara

kepntingan individu disatu pihak dan kepentingan masyarakat di pihak lain.

D. Subjek dan Objek BPHTB

Dalam pelaksanaan perpajakan subjek dan objek pajak mutlak harus

ada. Pada dasarnya subjek pajak adalah pihak-pihak (orang maupun badan) yang

akan dikenakan pajak. Subjek pajak menjadi wajib pajak aoabila telah

dipenuhinya syarat-syarat objektif atau jika Tatbestand yang ditentukan oleh

Undang-Undang dipenuhi. 9 Pengertian subjek pajak berbeda dengan subjek

hukum. Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, sedangkan subjek

pajak tidak selalu sebagai pendukung hak dan kewajiban, contohny warisan yang

belum terbagi menjadi subjek pajak tetapi bukan merupakan subjek hukum.

Sedangkan objek pajak adalah segala sesuatu yang dapat dikenakan

paja. Objek pajak banyak sekali macamnya baik yang timbul karena keadaan,

perbuatan, maupun peristiwa.

1. Subjek Pajak

Pengertian subjek BPHT dapat diketahui dengan jelas dalam Pasal 4

ayat (1) undang-undang BPHTB bahwa yang menjadi subjek pajak adalah

9
Rpchmat Soemitro, H. Asas dan Dasar Perpajakan I, Penerbit Refika Utama, 1998, Hal.85.
orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.

Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (2) dijelaskan bahwa subjek pajak dimaksud

menjadi wajib pajak apabila menurut undang-undang tersebut dikenakan

kewajiban membayar pajak. Orang priibadi atau badan yang memperoleh hak

karena membeli hak atas tanah dan atau bangunan, maka orang atau badan

tersebut menjadi wajib pajak. Demikian pula halnya pada perolehan hak

karena biha dan hibah wasiat maka yang menjadi wajib adalah penerima hak.

Lain halnya apabila perolehan hak itu karena tukar menukar, maka kedua

belah pihak menjadi wajib pajak. Dalam hal perolehan hak atas tanah karena

pewarisan maka yang menjadi wajib pajak adalah para ahli waris secara

bersama-sama sejalan dengan ketentuan pasarl 42 ayat (5) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah yang berbunyi

sebagai berikut :

Warisan berupa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang

menurut akta pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa

penerima warisan atau waktu didaftarkan belum ada akta pembagian

warisannya, di daftar peralihan haknya kepada penerima waris yang berhak

sebagai hak bersama mereka berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris

dan/atau akta pembagian waris tersebut.

Dalam Undang-Undang ini tidak dijelaskan lebih rinci apa yang

dimaksud dengan orang pribadi atau badan. Walaupun demikian, dalam Pasal

27 A dijelaskan bahwa terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-


Undang BPHTB, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum

dan tata cara perpajakan. Oleh karena itu pengertian orang pribadi atau badan

dapat diketahui dalam Pasal 1 Undang-Undang KUP, ayat (1) Wajib Pajak

adalahorang pribadi atau badan yang menurut ketentuan-ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban

perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotong pajak tertentu. Ayat

(2) badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merpuakan kesatuan

bai yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi

perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha

milik Negara atau daerah dengan anama dan dalam bentuk apapun, firma,

kongsi, koperasi, dana pendisun, perkeutuan, perkumpulan, yayasan,

organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi yang sejenis,

lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.

2. Objek Pajak

Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa objek pajak adalah segala

sesuatu yang dapat dikenakan pajak baik akrena keadaan, perbuatan, maupun

peristiwa. Penentuan objek pajak pentingm sehingga penentuan objek pajak

harus sangat hati-hati agar tidak menimbulkan salah persepsi yang dapat

menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat.10 Pengertian objek BPHTB dapat

10
Rochmat Soemitro, S.H. Asas dan Dasar Perpajaka n 1, PT. Rafika Aditama, Bandung, 1998.
Hal.101.
diketahui dengan jelas dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang BPHTB bahwa

yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20

tahun 2000 bahwa perolehan hak dimaksud meliputi :

a. Pemindahan hak karena

1) Jual beli;

2) Tukar menukar;

3) Hibah;

4) Hibah wasiat;

5) Waris;

6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;

7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan

8) Penunjukan pembeli dalam lelang

9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap

10) Penggabungan usaha

11) Peleburan usaha

12) Pemekaran usaha

13) Hadiah

b. Pemberian hak baru

1) Kelanjutan pelepasan hak

2) Diluar pelepasan hak


Adapun penjelasan dari subjek BPHTB menurut penjelasan Undang-Undang

BPHTB tersebut adalah sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan pemasukan dalam perseroan terbatas atau badan

hukum lainnya adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dan orang

pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas dan badan hukum lainnya sebagai

penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukukm lainnya tersebut.

Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan

sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau

badan kepada sesame pemegang hak bersama.

Penunjuka pembeli dalam lelang adalah penetapan pemenang lelang

oleh Pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.

Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan

hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan

hakim tersebut.

Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau

lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan

melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.

Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha

dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha

yang bergabung tersebut.


Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua

badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan

mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang

dilakikan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.

Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah

dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada

penerima hadiah.

Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan

pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan

hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.

Yang dimaksud dengan pemberian hak baru diluar pelepasan adalah

pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari

Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Dari penjelasan undang-undang diatas, maka terlihat bahwa tidak ada

penjelasan sama sekali tentang perolehan hak yang disebabkan adanya

“pewarisan”. Bahkan isilah waris yang tertulis dalam undang-undang dimaksud

itu sendiri dirasa kurang tepat karena perkataan waris berasal dari kata bahasa

arab yaitu “Warits”, secara gramatikal berarti “yang tinggal atau yang kekal”,

maka dengan demikian apabila dihubungkan dengan persoalan hukum waris,

perkataan waris tersebut berarti orang-orang yang berhak untuk menerima

pusataka dari harta yang ditinggalkan oleh si mati, dan popular diistilahkan
dengan “ahli waris”. Sedangkan orang yang meninggal dunia dinamakan

“pewaris”. 11 Sedangkan orang yang meninggal dunia dinamakan pewaris. 12

Dalam pasal 833 KUH Perdata yang menerima harta warisan disebut ahli waris.

Hak atas tanah dan atau bangunan yang diperoleh dalam kaitannya

dengan objek BPHTB adalah hak atasa tanah termasuk hak pengelolaan beserta

bangunan diatasnya sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya.

Hak atas tanah yang diperolehannya menjadi objek BPHTB menurut

penjelasan Undang-undang BPHTB adalah :

1. Hak Milik, sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor

5 Yahun 1960, adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang

dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam

Pasal 6;

2. Hak Guna Usaha, sesuai dengan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 adalah hak untuk mengusahakan tanah yang

dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana

11
Suhrawadi K.Lubis,S.H. dan Komis Simanjuntak, S.H. Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis).
Sinar Grafika, 2001.
12
Prof. R. subekti, S.H. Ringkasan tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Penerbit Intermasa,
2002, Halaman 22.
tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau

peternakan;

3. Hak Guna Bangunan, sesuai pasal 35 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam

jangka waktu paling lama 30 tahun;

4. Hak Pakai, sesuai dengan pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1960 adalah: hak untuk menggunakan dan/ atau memungut

hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik

orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan

dalm keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang

memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya,

yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan

tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan

ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.

5. Hak milik atas satuan rumah susun, sesuai dengan pasal 8 Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 1985 :13

Ayat (2): hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik

atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah, dan;

13
Prof. Dr. A. P. Parlindungan, SH. Komentar Atas Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman &
Undang-Undang Rumah Susun. C.V. Mandar Maju, Bandung, 2001, hal 106-107
Ayat (3): hak milik satuan rumah susun sebagaimana dimaksud

dalam ayat (2) meliputi juga hak atas bagian bersama, dan

tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang

tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.

Dengan demikian, pengertian rumah susun adalah bangunan

bertingkat yang dibangun dalm satu lingkungan, yang terbagi

dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional

dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-

satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan

secara terpisah terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi

dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.

6. Hak Pengelolaan, adalah hak menguasai dari negara yang

kewenangan pelaksaaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang

haknya, antara lain berupa perencanaan, perunutukan, dan

penggunaan tanah, penggunaan untuk keperluan pelaksanaan

tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada

pihak ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga 14 . Hak

pengelolaan ini merupakan suatu hak atas tanah yang sama sekali

14
Prof. Dr. A. P. Parlindungan, SH. Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, CV Mandar Maju,
Bandung, 1989, hal 23
tidak ada dalam UUPA, karena itu khusus hak ini demikian pula

luasnya hak terdapat di luar ketentuan UUPA15.

Hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil, dan hak-hak lainnya yang

sifatnya sememtara, perolehannya bukan merupakan objek BPHTB karean hak-

hak tersebut tidak dapat beralih dan dialihkan secara yuridis.

3. Objek Pajak Yang Dikecualikan

Sebagaimana lazimnya dalam perpajakan baik yang sifatnya subjektif

maupun objektif selalu ada objek yang dikecualikan dari pengenaan pajak.

Biasanya setiap objek pajak yang dikecualikan dicantumkan dalam undang-

undang yang mengaturnya. Sebagai contoh: Dikecualikan dari PPh atas

bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat

atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan

para penerima zakat yang berhak. Hak atas tanah dan atau bangunan yang

dikecualikan dari pengenaan BPHTB diatur dalam pasal 3(1) Undang-Undang

Nomor 20 tahun 2000 yaitu hak atas tanah dan atau bangunan yang diperoleh

a. Perwakilan diplomatik, Konsulat berdasarkan asas pelakuan timbal

balik;

b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan atau untuk

pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

15
Ibid, hal 1
c. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan

dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha

atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan usaha

atau perwakilan organisasi tersebut;

d. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan

hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama

e. Orang pribadi atau badan karena wakaf;

f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Pengecualian pengenaan BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan atau

bangunan oleh perwakilan diplomatik didasarkan pada asas timbal balik,

artinya apabila Perwakilan Diplomatik Negara Republik Indonesia di negara

tersebut dikecualikan pengenaan pajaknya atas perolehan hak atas tanah dan

atau bangunan, maka perwakilan negara tersebut dikecualikan pula apabila

memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan di Indonesia

Perolehan hak atas tanah yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan

pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan

umum maksudnya bahwa pengertian negara disini diwakili baik oleh

Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah Propinsi/ Kabupaten/Kota,

sedangkan pengertian pelaksanaan pembangunan adalah kegiatan yang

semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya tanah atau

bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah baik Pusat maupun


Daerah, jembatan, jalan umum, rumah sakit pemerintah, sekolah pemerintah.

Pemerintah dapat memperoleh hak atas tanah baik melalui pemberian hak

baru sebagai kelenjutan pelepasan hak. Perolehan hak melalui pemberian hak

baru sebagai kelanjutan pelepasan hak diawali denga proses pemberian ganti

rugi kepada pemilik tanah, dan pemilik lama melepasakan haknya setelah

diganti rugi. Selanjutnya instansi pemerintah memohon hak kepada Badan

Pertahanan Nasional. Instansi pemerintah dapat pula memperoleh hak atas

tanah yang tanahnya dikuasai langsung oleh Naegara, perolehan ini juga

dikecualikan dari pengenaan BPHTB.

Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang dikecualikan dari

pengenaan BPHTB berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor

630/KMK.04/1997 tanggal 22 Desember 1997. Objek yang dipindahkan atau

diberikan berupa hak atas tanah dan atau bangunan, apabila akan didaftarkan

ke Kantor Pertahanan Kabupaten/Kota, peralihan hak atas tanahnya harus

dilakukan didepan pejabat pembuat akta tanah. Pasal 37 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa :16

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui
jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan
perbuatan pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui
lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat
oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan Perundang-Undangan
yang berlaku.

16
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pajak, Direktorat Pajak Bumi dan
Bangunan, Himpunan Peraturan BPHTB dan Peraturan Terkait, tanpa penerbit, tanpa tahun, hal 459
Sedangkan pemberian hak baru diberikan oleh pejabat Badan Pertahanan

Nasional atas permohonan wajib pajak. Peralihan hak atas tanah yang dibuat

dibawah tangan sekalipun disaksikan oleh pejabat desa/kelurahan, belum

merupakan objek BPHTB karena belum dipenuhinya syarat formal sebagai

berikut :

Berdasarkan hal tersebut, syarat yang harus dipenuhi untuk dapat

dijadikan objek BPHTB adalah sebagai berikut :

1. Adanya perolehan baik berupa pemindahan hak maupun pemberian hak

baru;

2. Perolehan tersebut berupa hak atas tanah atau bangunan;

3. Apabila akan didaftarkan ke Kantor Pertahanan Kabupaten/Kota,

dokumen perolehan tersebut harus dibuat oleh pejabat yang

berwenang, yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat

Lelang, Hakim, dan Pejabat Badan Pertahanan Nasional.

BPHTB menurut sifatnya adalah pajak objaktif, artinya yang pertama-

tama harus dicari adalah objek yang menimbulkan utang pajak, kemudian

dicari subyeknya baik perorangan maupun badan. Subyek yang mempunyai

hubungan hukum tertentu dengan obyek itulah yang ditunjuk sebagai wajib

pajak. Timbulnya utang pajak disebabkan adanya perbuatan hukum atau

peristiwa hukum berupa pemindahan hak atau pemberian hak baru atas tanah
dan bangunan. Secara teoritis apabila pajak tersebut bersifat obyektif,

kemampuan bayar dari wajib pajak tidak diperhatikan, namun mengingat

bahwa salah satu syarat pajak harus memenuhi syarat sosiologis, maka

Undang-Undang BPHTB memberikan fasilitas berupa pengurangan.

Konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru

menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Konversi hak ini pada dasarnya

bukan merupakan perolehan hak atas tanah karena orang/badan hukum yang

memiliki hak atas tanah tersebut, sebelum dilakukan konversi hak adalah

sama dengan orang/badan hukum setelah dilakukannya konversi hak, yang

berubah adalah jenis hak tanahnya. Dengan demikian karena tidak terjadinya

perolehan hak maka konversi hak bukan merupakan obyek BPHTB.

Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan hukum lain yang tidak ada

perubahan nama meliputi:

a. Pembaharuan hak dan perubahan hak yang tidak ada perubahan nama

pemegang haknya;

b. Penggantian nama dari subyek hak yang sama (pasal 56 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah);

Untuk kepentingan ibadah atau kepentingan umum tetap merupakan obyek

BPHTB.

Perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dikecualikan dari

pengenaan BPHTB ini bila dibandingkan dengan Deed Tax, terdapat

perbedaan antara lain:


1. Perolehan hak atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan Pos

dan Telekomunikasi;

2. Perolehan hak atas tanah karena pewarisan;

3. Tukar menukar tanah pertanian keluarga dengan tanah pertanian

serupa yang terletak dalam distrik pertanian yang sama dan harus

disyahkan oleh Pemerintah Kabupaten;

4. Perolehan hak atas dan bangunan karena penggabungan usaha dan

peleburan usaha yang telah disyahkan oleh Menteri di bidang

perekonomian.

E. TARIF PAJAK

Dalam dunia perpajakan, tarif pajak merupakan unsur yang menentukan

jumlah pajak terulang, yang pada gilirannya ikut pula menentukan rasa keadilan

dalam pemungutan pajaknya. Oleh karena itu penentuan tarif pejak merupakan

slah satu cara untuk mencapai keadilan.17 Selain itu tarif berhubungan erat dengan

fungsi pajak dalam masyarakat, yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulerend

(mengatur). Kebijakan pemerintah dalam hal melaksanakan kedua fungsi tersebut

sangat penting terutama fungsi budgeter, dimana pajak merupakan alat utama

untuk memasukkan uang ke kas negara yang sangat diperlukan untuk membiayai

pengeluaran negara. Sedangkan fungsi mengatur merupakan tujuan sampingan

dengan berbagai alasan dan maksud yang ingin dicapai pemerintah seperti untuk

17
Early Suandi, Hukum Pajak, Penerbit Slemba Empat, 2000 Hal. 51
menarik investor, menghambat penggunaan alkohol, rokok, atau melindungi

produksi dalam negeri dan lain-lain. Pada dasarnya untuk mengetahui berapa

besarnya pajak terutang terdapat dua unsur penting yaitu : jumlah dasar

pengenaan pajak dan tarif. Jumlah dasar pengenaan pajak dan cara

mendapatkannya tergantung dari masing-masing jenis pajaknya yang diatur oleh

masing-masing undang-undangnya.

Terdapat beberapa macam tarif pajak yang diberlakukan sesuai dengan jenis pajak

apa yang diterapkan. Adapun macam tarif pajak ada 5 (lima) macam yaitu :

1. Tarif yang Proporsional atau Sebanding

Yang dimaksud denga tarif proporsional atau sebanding adalah tarif yang

berupa persentase yang tetap, terhadap perapapun jumlah yang dikenakan

pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional atau sebanding

terhadap besarnya jumlah yang dikenakan pajak. Oleh karena itu jamlah pajak

yang harus dibayar selalu akan berubah sesuai dengan jumlah yang

dikenakannya. Makin besar jumlah yang dipakai sebagai dasar pengenaan

pajak, semakin besar pula jumlah utang pajak yang dikenakan. Kenaikan ini

diperoleh karena dengan persentase yang sama. Maka tarif semacam ini

dinamakan tarif sebanding atau proporsional. Contoh : Tarif Pajak Bumi dan

Bangunan sebesar 0,5%. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam

daerah pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.


Contoh :

Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Jumlah Pajak


Rp.15.000.000,- 10% Rp.1.500.000,-
Rp.20.000.000,- 10% Rp.2.000.000,-
Rp.30.000.000,- 10% Rp.3.000.000,-
Rp.40.000.000,- 10% Rp.4.000.000,-

2. Tarif Tetap

Tarif tetap adalah tarif pajak yang jumlah nominalnya tetap walaupun dasar

pengenaannya berbeda, sehingga jumlah pajak yang terutang selalu tetap.

Contoh : Bea materai untuk cek dan bilyet giro, berapapun jumlah nominalnya

dikenakan pajak sejumlah Rp.1.000,-

Contoh :

Dasar Pengenaan Pajak Jumlah Pajak


Rp.15.000.000,- Rp.3.000,-
Rp.20.000.000,- Rp.3.000,-
Rp.30.000.000,- Rp.3.000,-
Rp.40.000.000,- Rp.3.000,-

3. Tarif Progresif

Tarif progresif adalah tarif pajak yang prosentasenya semakin besar jika dasar

pengenaan pajaknya meningkat. Jumlah pajak yang terutang akan berubah

sesuai denga perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya. Tarif

progresif debedakan menjadi tiga yaitu :

a. Tarif progresif-proporsional

a.1. Tarif progresif-proporsional absolut


a.2. Tarif progresif-proporsional berlapis

b. Tarif Progresif-progresif

c. Tarif Progresif-degresif

Tarif Progresif-Proporsional

Tarif Progresif-Proporsional adalah tarif pajak yang presentasenya

semakin besar jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya

peningkatan dari tarifnya sama besar. Jumlah pajak yang terutang akan

berubah sesuai dengan perubahantarif dan perubahan dasar pengenaan

pajaknya.

Contoh : Tarif Progresif-Proporsional Absolut

Peningkatan
Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Jumlah Pajak
Tarif
Rp.10.000.000,- 10% - Rp.1.500.000,-
Rp.20.000.000,- 15% 5% Rp.3.000.000,-
Rp.30.000.000,- 20% 5% Rp.6.000.000,-
Rp.40.000.000,- 25% 5% Rp.10.000.000,-
Contoh : Tarif Progresif-Proporsional Berlapis

Peningkatan
Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Jumlah Pajak
Tarif
Rp.1.000.000,-
Rp.10.000.000,- 10% -
(Rp.10.000.000,-x 10%)
Rp.2.000.000,-
Rp.20.000.000,- 15% 5% (Rp.10.000.000,-x 10%+
Rp.10.000.000,-x 15%)
Rp.4.500.000,-
(Rp.10.000.000,-x 10% +
Rp.30.000.000,- 20% 5%
Rp.10.000.000,-x 15% +
Rp.10.000.000,-x 20%)
Rp.7.000.000,-
(Rp.10.000.000,-x 10% +
Rp.40.000.000,- 25% 5% Rp.10.000.000,-x 15% +
Rp.10.000.000,-x 20% +
Rp.10.000.000,-x 25%)

Tarif pajak progresif-proporsional berlapis ini diterapkan dalam pasal 17

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Pajak Penghasilan, yaitu :

Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tarif


Sampai dengan Rp.10.000.000,- 15%
Di atas Rp.10.000.000,- sampai Rp.50.000.000,- 25%
Di atas Rp.50.000.000,- 35%

Tarif Progresif-Progresif

Tarif Progresif-Progresif adalah tarif pajak yang prosentasenya semakin besar

jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya peningkatan tarifnya

besar semakin besar. Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai dengan

perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya.

Contoh Tarif Progresif-Progresif absolut :


Peningkatan
Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Jumlah Pajak
Tarif
Rp.10.000.000,- 10% - Rp.1.000.000,-
Rp.20.000.000,- 15% 5% Rp.3.000.000,-
Rp.30.000.000,- 20% 10% Rp.7.500.000,-
Rp.40.000.000,- 40% 15% Rp.16.000.000,-

Contoh Tarif Progresif-Progresif berlapis :

Dasar Pengenaan Tarif Peningkatan


Jumlah Pajak
Pajak Pajak Tarif
Rp.10.000.000,- 10% - Rp.1.000.000,-(Rp.10.000.000,-x 10%)
Rp.2.500.000,- (Rp.10.000.000,-x 10%+
Rp.20.000.000,- 15% 5%
Rp.10.000.000,-x 15%)
Rp.5.000.000,- (Rp.10.000.000,-x 10% +
Rp.30.000.000,- 25% 10% Rp.10.000.000,-x 15% + Rp.10.000.000,-
x 25%)
Rp.9.000.000,- (Rp.10.000.000,-x 10% +
Rp.40.000.000,- 40% 15% Rp.10.000.000,-x 15% + Rp.10.000.000,-
x 25% + Rp.10.000.000,-x 40%)

Tarif pajk ini diterapkan dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1994 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang

Pajak Penghasilan, yaitu :

Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tarif


Sampai dengan Rp.25.000.000,- 10%
Di atas Rp.25.000.000,- sampai Rp.50.000.000,- 15%
Di atas Rp.50.000.000,- 30%
Tarif Progresif-Degresif

Tarif Progresif-Degresif adalah tarif pajak yang prosentasenya semakin

meningkat jika dasar pengenaan pajaknya meningkat dan besarnya

peningkatan tarifnya semakin kecil. Jumlah pajak yang terutang akan berulah

sesuai dengan perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya.

Contoh :

Peningkatan
Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Jumlah Pajak
Tarif
Rp.10.000.000,- 10% - Rp.1.000.000,-
Rp.20.000.000,- 25% 15% Rp.5.000.000,-
Rp.30.000.000,- 35% 10% Rp.10.500.000,-
Rp.40.000.000,- 40% 5% Rp.16.000.000,-

4. Tarif Degresif

Tarif Degresif adalah tarif pajakn yang prosentasenya semakin kecil jika dasar

pengenaan pajaknya meningkat. Jumlah pajak yang terutang akan berubah

sesuai dengan perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan pajak.

Contoh :

Peningkatan
Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak Jumlah Pajak
Tarif
Rp.10.000.000,- 25% - Rp.2.500.000,-
Rp.20.000.000,- 20% 5% Rp.4.000.000,-
Rp.30.000.000,- 15% 5% Rp.4.500.000,-
Rp.40.000.000,- 10% 5% Rp.4.000.000,-
5. Tarif Betham
Tarif Betham yaitu tarif pajak yang memodifikasi tarif proporsional dengan

memberikan jumlah tertentu sebagai batas tidak kena pajak yang tidak

dikenakan pajak, pajak hanya dikenakan atas jumlah yang melebihi batas

tidak kena pajak.

Dasar Tarif
Batas Tidak Tarif
Objek Pajak Pengenaan Pajak Jumlah Pajak
Kena Pajak Effektif
Pajak
Rp.5.000.000,- Rp.5.000.000,- 0 10% 0 0%
Rp.20.000.000,- Rp.5.000.000,- Rp.15.000.000,- 10% Rp.1.500.000,- 7,5%
Rp.30.000.000,- Rp.5.000.000,- Rp.25.000.000,- 10% Rp.2.500.000,- 8,33%
Rp.40.000.000,- Rp.5.000.000,- Rp.5.000.000,- 10% Rp.3.400.000,- 8,75%

Sistem ini di Indonesia diadaptasi untuk menentukan jumlah Pajak Bumi dan

Bangunan serta Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan. Untuk lebih

jelasnya diuraikan dalam bab berikut.

F. PENGHITUNGAN BPHTB DAN PBB

Seperti telah diuraikan di atas bahwa salah satu komponen yang

menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang adalah tarif. Selain tarif

ditentukan juga oleh objek pajak sebagai dasar pengenaan dan batas tidak kena

pajak. Dalam hal menghitung besarnya BPHTB berkaitan erat dengan PBB,

khususnya dalam hal besarnya nilai objek pajak sebagai dasar pengenaan. Dasar

pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Kalau tidak ada

NPOP maka dipakai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Oleh karena itu perlu di

jelaskan pula tentang pajak Bumi dan Bangunan (PBB).


Diketahui bahwa baik BPHTB maupun PNN merupakan jenis pajak diman

besaran objek pajaknya sebagai dasar pengenaan pajak berdasarkan kepada nilai

dari objek pajak itu sendiri yang disebut Ad Valorem. And an Valorem tax is

based on the principle the the amount of tax paid should depend on the value of

property owned.

Untuk menghitung besarnya PBB adalah :18

Tarif X Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) X (Nilai Jual Objek Pajak – Nilai Jual

Tidak Kena Pajak)

0,5% X 20% (40% apabila NJOP di atas Rp.1 milyar) X NJOP –

NJOPTKP (setinggi-tinginya Rp.12 juta).

Sedangkan menghitung besarnyaBPHTB adalah :

Tarif X (Nilai Perolehan Objek Pajak – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena

Pajak) dengan penjelasan sebagai berikut;

Tarif = 5% (Pasal 5 UU Nomor 21 Tahun 1997 Tentang BPHTB

sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000)

NilaiPerolehan Objek Pajak yang merupakan dasar pengenaan pajak

bermacam-macam disebabkan beragamnya perolehan hak. Pada dasarnya 3 (tiga)

macam BPOP yaitu : Harga Transaksi, Harga Lelang dan Nilai Pasar. Harga

Tarnsaksi menurut penjelasan Undang-Undang adalah harga yang terjadi dan

telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Harga Lelang adalah harga

18
General Editor: Joseph K.Eckert, Ph.D, Senior technical editors: Robert J.Gloudemans, Richard
R.Almy “The International Association of Assessing Officers : Property Appraisal and Assessment
Administrasion”. Page 3
transaksi yang tercantum dalam Risalah lelang. Sedangkan Nilai Pasar adalah

adalah harga rata-rata dari transaksi jual-beli secara wajar yang terjadi di sekitar

letak tanah dan atau bangunan. Dari ketiga jenis NPOP itu, mak Nilai Pasar yang

sulit untuk diketahui dan tidak ada kepastian hukumnya. Demikian sulitnya maka

untuk menetukan nilai pasar diperlukan tata cara dan orang yang profesional,

seperti yang diuraikan dalam Standar Penilaian Indonesia (SPI 2002 bahwa :

“Konsep nilai pasa mencerminkan persepsi dan tindakan kolektif pasar serta
merupakan dasar dalam penilaian sebagai besar sumber daya dalam ekonomi
umumnya yang berdasarkan pasar. Meskipun definisi yang tepat mungkin
bervariasi, konsep ini umumnya telah dimengerti dan diterapkan. Difinisi nilai
pasar adalah perkiraan jumlah uang pada tanggal penilaian, yang dapat
diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti, antara
pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual, dalam
suatu transaksi bebas ikatan, yang penawarannya dilakukan secara layak, dan
keduan pihak masing-masing mengetahui kegunaan properti tersebut,
bertindak hati-hati dan tanpa paksaan”19

Hal tersebut mudah dipahami karena untuk memenuhi sistem self

assessment harus ada kepastian dari nilai dimaksud, sedangkan Nilai Pasar tidak

ada. Oleh karenanya dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang BPHTB mengatur

dimana apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP (PBB),

maka yang dipakai adalah NJOP (PBB). Dari uraian di atas jelas sekali

keterkaitan antara PBB dan BPHTB.

19
Komite Penyusun SPI (KPSI 2001) Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia dan Masyarakat Profesi
Penilai Indonesia, Standar Penilaian Indonesia 2002, Mengacu pada Standar Penilaian Internasional
yang dikerluarkan oleh The International Valuation Standards Committee (IVSC).
NPOPTKP besarnya diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang BPHTB,

dimana NPOPTKP diterapkan secara regional paling banyak Rp.60.000.000,-

kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima

orang probadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis

keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pembeli

hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan secara regional paling

banyak Rp.300.000.000,-

Yang dimaksudkan dengan secara regional adalah NPOPTKP dapat saja

berbeda-beda untuk masing-masing Kabupaten dan Kota karena ditetapkan untuk

Kabupaten dan Kota dengan mempertimbangkan perekonomian regional. Hal

tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah (untuk saat ini adalah PP Nomor 113

Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000)


G. SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK

Pada dasarnya sistem pemungutan ada 3 yang berlaku yaitu :

1. Official assessment system

2. Self assessment system

3. Withholding system

Official assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan

kewenangan kepada pemerintah (fiskul) untuk menentukan besarnya yang

terutang oleh wajib pajak bersifat pasif, sedangkan fiskus bersifat aktif. Utang

pajak baru timbul setelah ada ketetapan pajak dari fiskus. Sebagai contoh :

seorang wajib pajak baru akan membayar pajak PBB setelah menerima Surat

Pemberitahuan pajak Terutang (SPPT). Sistem ini sesuai dengan ajaran formil

dimana utang pajak baru timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak

oleh fiskus.

Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan

kewenangan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan,

membayar, dan melaporkan jumlah pajak yang terutang sendiri. Wajib pajak

bersifat aktif, sedangkan fiskus hanya berugasmelakukan penyuluhan dan

pengawas untuk mengetahui kepatuhan wajib pajak. Sistem ini sesuai dengan

ajaran material dimana utang pajak baru timbul setelah adanya suatu peristiwa,

yang dalam hal Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adanya perlihan
hak atas tanah dan atau bangunan. Self assessment system mengandung hal yang

penting, yang diharapkan ada dalam diri wajib pajak yaitu :

A. Tax consciousness/Kesadaran pajak wajib pajak;

B. Kejujuran wajib pajak;

C. Tax mindedness wajib pajak, hasrat untuk membayar pajak;

D. Tax discipline, discipline wajib pajak terhadap pelaksanaan

Peraturan perpajakan, sehingga pada waktunya wajib pajak dengan sendirinya

memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh undang-

undang seperti memasukan SPT pada waktunya, membayar pajak pada waktunya

dan sebagainya, tanpa diperingatkan untuk melakukan hal itu.20

Dari sisi Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, maka untuk

berhasilnya pelaksanaan perpajakan harus meningkatkan penyuluhan,

pembinaan, bimbingan, serta pengawasan.

BPHTB menganut self assessment system dimana hal ini dapat diketahui dari

beberapa ketentuan dalam undang-undang BPHTB. Menurut pasal 9 bahwa :

(1) Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan

untuk :

a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

b. Tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta;

c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

20
Rochmat Soemitro, SH,Prof.Dr.H. Asas dan Dasar Perpajakan 2. PT.Radika Aditama, Bandung
1998.Halaman 14
d. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mandaftarkan peralihan

haknya ke Kantor Pertanahan;

e. Pemasukan dalam perseroan atau hukum lainnya adalah sejak tanggal

dibuat dan ditandatanganinya akta;

f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal

dibuat dan ditandatanganinya akta;

g. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;

h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang

mempunyai kekuatan hukum tetap;

i. Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan

peralihan haknya ke Kantor Pertahanan.

j. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak

adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan

pemberian hak;

k. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal

ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberi hak;

l. Penggabunan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya

akta;

m. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya

akta;

n. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya

akta;
o. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

(2) Pajak terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak

sebgaimana dimaksud dalam ayat (1).

Menurut pasal 10 bahwa :

(1) Wajib Pajak membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan

pada adanya surat ketetapan pajak.

(2) Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melaui Kantor Pos dan atau

Bank Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau

tempat pembayaran lan yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Menurut pasal 11 bahwa :

Ayat (1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak,

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkanSurat Ketetapan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar apabila

berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah

pajak terutang kurang bayar.

Ayat (2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan sanksi administrasi berupa

bunga 2% (dua persen sebulan untuk Jangka waktu paling lama 24 (dua

puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai


dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan Kurang Bayar.

Menurut Pasal 12 :

Ayat (1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak,

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan

apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap

yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah

diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Peroleh Hak Atas Tanah dan

Bangunan Kurang Bayar.

Ayat (2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan sanksi

administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah

kekurangan pajak tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri

sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

Dengan memperhatikan pasal-pasal tersebut di atas, jelaslah sudah bahwa

BPHTB menganut self assestment system, dimana saat terutang pajak pada

saat perbuatan dan peristiwa terjadi. Sedangkan dalam penjelasan pasal 10

ayat (1) : Sistem pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

adalah Self Assestment dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk

menghitung dan membayar sendiri pajak terutang dengan menggunakan Surat


Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan melaporkannya

tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak.

Witholding System adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan

wewenang kepada pihak ketiga untuk menentukan besarnya pajak yang

terutang oleh wajib pajak.

H. SAAT DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK TERUTANG

Saat terutang BPHTB untuk masing-masing jenis perolehan hak atas

tanah dan bangunan berbeda-beda. Dari keseluruhan obyek BPHTB apabila

dikelompokkan terdapat 5 saat yang menentukan pajak terutang, yaitu :

1. Tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta oleh Pejabat Pembuat Akta

Tanah. Perolehan ini antara lain berupa jual-beli, tukar-menukar, hibah,

pemasukan dalam perseoran, pemisahan hak yang mengakibatkan

peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan

hadiah;

2. Tanggal ditandatanganinya risalah lelang oleh Pejabat Lelang;

3. Tanggal putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

4. Tanggal ditandatanganinya surat keputusan pemberian hak atas tanah;

5. Tanggal didaftarkannya perolehan hak atas tanah ke Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota.

Maksud diaturnya saat pajak terutang yaitu untuk memberikan kepastian hukum

baik wajib pajak maupun fiscus. Manfaat diaturnya saat terutang pajak, yaitu :
1. Untuk menentukan saat pembayaran pajak yang harus dilakukan, karena

pajak yang terutang harus dilunasi pada saat ditandatanganinya akta, atau

risalah lelang, atau keputusan hakim, atau keputusan pemberian hak atas

tanah, dan atau tanggal pendaftaran;

2. Untuk mengetahui besarnya bunga atas keterlambatan pembayaran pajak.

Bagi kepentingan fiscus, sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan

pajak baik berupa SKBKB maupun SKBKBT, sedangkan bagi wajib pajak

untuk mengetahui saat mengajukan keberatan atas penerbitan SKBKB

maupun SKBKBT.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dikenakan terhadap

perolehan hak atas tanah, sedangkan tanah merupakan benda tak bergerak,

sehingga tempat terutangnya BPHTB adalah di wilayah kabupaten/kota atau

propinsi (khusus DKI Jakarta) yang meliputi letak tanah atau bangunan tersebut.

Penentuan tempat terutangnya pajak dimaksudkan untuk :

1. Mengetahui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang

menerbitkan akta peralihan hak atas tanah dan Pejabat Kantor Pertanahan

yang berwenang menerbitkan dan mendaftarkan hak atas tanah;

2. Mengetahui besarnya NPOPTKP di wilayah tersebut mengingat penetapan

NPOPTKP untuk tiap kabupaten/kota dapat berbeda antara

kabupaten/kota yagn satu dengan yang lainnya, yang berakibat pada

besarnya BPHTB yang harus dibayar;


3. Mengetahui kantor yang akan melayani keluhan wajib pajak apabila

terjadi ketidakcocokan besarnya BPHTB berdasarkan surat ketetapan yang

diterbitkan oleh Kantor Pelayanan PBB dengan hasil perhitungan wajib

pajak;

4. Mengetahui besarnya hasil penerimaan BPHTB yang dibagihasilkan

kepada kabupaten/kota tempat obyek berada.

I. SISTEM PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

Sistem pendaftaran tanah sangat berkaitan erat dengan saat terutang

BPHTB khususnya yang berkaitan dengan saat dan tempat terutang, baik melalui

Pejabat Pembuat Akta Tanah, putusan hakim, maupun pejabat lelang. Oleh karena

itu perlu diketahui tata cara pendaftaran tanah yang dilaksanakan di Indonesia.

Seperti diketahui bahwa sistem pendaftaran tanah ada dua macam yaitu sistem

pendaftaran akta (“registration of deeds”) dan sistem pendaftaran hak

(“registration of titles”). Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun sistem

pendaftaran hak tiap pemberian atau menciptakan hak baru serta pemindahan dan

pembebanannya dengan hak lain kemudian, harus dibuktikan dengan suatu akta.

Dalam akta tersebut dengan sendirinya dimuat data yuridis tanah yang

bersangkutan perbuatan hukumnya, haknya, penerima haknya, serta hak apa yang

dibebankan.
Dalam sistem pendaftaran akta yang didaftarkan adalah akta oleh

Pejabat Pendaftaran Tanah, Pejabat dimaksud tidak melakukan pengujian

kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar.

Di Indonesia berlaku sistem pendaftaran hak yang diatur berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yaitu pendaftaran hak

(rechtskadaster) seperti yang dilaksanakan di negara-negara lain seperti Australia

dengan Torrens System-nya, Malaysia, India dan Singapura. Dalam sistem

pendaftaran hak setiap penciptaan hak baru dan perbuatan-perbuatan hukum yang

menimbulkan perubahan kemudian dibuktikan dengan suatu akta yang dalam

penyelenggaraan pendaftarannya, bukan akta yang didaftar tetapi haknya yang

diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian.

Dalam Pasal 19 UUPA bahwa yang dimaksudkan pendaftaran meliputi

1. Pendaftaran, perpetaan dan pembukuan tanah,

2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut,

3. Pemberian surat-surat tanda-bukti-hak,yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

Lebih lanjut diuraikan lebih lanjut bahwa yang dimaksud pendaftaran

tanah menurut pasal 1 PP 24 tahun 1997, disebutkan sebagai berikut :

Pendaftaran Tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah

secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,

pengolahan,pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data


yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah satuan-

satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-

bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta

hak-hak tertentu yang membebaninya.

Hal penting yang berkaitan dengan perolehan hak untuk penentuan

saat terutang BPHTB adalah pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-

hak. Adapun kegiatannya meliputi kegitan pendaftaran untuk pertama kali

(“initial registration”) dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (“maintenance”).

Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui

pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara spesifik.

Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk

pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek

pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu

desa/kelurahan.

Pendaftaran tanah secara sistematik diselenggarakan atas prakarsa

Pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang dan tahunan

serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara/

Kepala BPN.

Pendaftaran tanah secara sporadic adalah kegiatan pendaftaran tanah

untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam

wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.

Pendaftaran tanah secara sporadic dilaksanakan atas permintaan pihak yang


berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas objek pendaftaran tanah yang

bersangkutan atau kuasanya.

Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran

tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran,

daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan

perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Perubahan itu misalnya terjadi

sebgai akibat beralihnya, dibebaninya atau berubahnya nama pemegang hak yang

telah didaftar, hapusnya atau diperpanjangnya jangka waktu yang hak yang sudah

berakhir, pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah yang haknya

sudah didaftar.

Peralihan hak karena pewarisan diatur dalam pasal 42 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan pasal 111 Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Pada dasarnya tata cara pendaftaran disebabkan karena

pewarisan sama dengan tata cara pendaftaran lainnya yaitu bidang tanah hak

harus didaftar terlebih dahulu. Adapun ketentuan khususnya dapat diuraikan

sebagaimana dalam ketentuan pasal 111 Keputusan Nomor 3 tersebut di atas

sebagai berikut :

1. Permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun diajukan oleh ahli waris atau kuasanya dengan

melampirkan :
a. Sertipikat hak atas tanah atau sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun atas nama pewaris, atau apabila mengenai tanah yang belum

terdaftar, bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (tentang pembuktian hak lama);

b. Surat kematian atas nama pemegang hak yang tercantum dalam

sertipikat yang bersangkutan dari Kepala Desa/Lurah tempat tinggal

pewaris waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan, atau

instansi lain yang berwenang;

c. Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa :

i. Wasiat dari pewaris, atau

ii. Putusan Pengadilan, atau

iii. Penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau

1) Bagi warga negara Indonesia penduduk asli, surat keterangan

ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan

oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala

Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu

meninggal dunia;

2) Bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, akta

keterangan hak mewaris dari Notaris;

3) Bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya

surat keterangan waris dari balai Harta Peninggalan.


d. Surat kuasa tertulis dari ahli waris apabila yang mengajukan

permohonan pendaftaran peralihan hak bukan ahli waris yang

bersangkutan;

e. Bukti identitas ahli waris.

2. Apabila pada waktu permohonan pendaftaran peralihan sudah ada putusan

pengadilan atau penetapan hakim/Ketua Pengadilan atau akta mengenai

pembagian waris sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (4) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (penerima warisan lebih dari satu

orang), maka putusan/penetapan atau akta tersebut juga dilampirkan pada

permohonan.

3. Akta mengenai pembagian waris dapat dibuat dalam bentuk akta dibawah

tanggan oleh semua ahli waris dengan disaksikan oleh 2 orang saksi atau

dengan akta notaries.

4. Apabila ahli waris lebih dari 1 (satu) orang dan belum ada pembagian

warisan, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan kepada para ahli

waris sebagai pemilikan bersama, dan pembagian hak selanjutnya dapat

dilakukan sesuai ketentuan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 (pembagian bersama).

5. Apabila ahli waris lebih dari 1 (satu) orang dan pada waktu pendaftaran

peralihan haknya disertai dengan akta pembagian waris yang memuat

keterangan bahwa hak atas tanah tau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

tertentu jatuh kepada 1 (satu) orang penerima warisan, maka pencatatan


peralihan haknya dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan

berdasarkn akta pembagian warisan tersebut.

6. Pencatatan pendaftaran peralihan hak dilakukan sebagaimana umumnya

dilaksanakan seperti pendaftaran lainnya.

J. SISTEM KEWARISAN DI INDONESIA

Hukum perdata di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam,

dimana masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum perdata sendiri.

Demikian halnya dengan hukum waris yang merupakan bagian dari hukum

perdata. Namun demikian pada dasarnya hukum waris yang masih berlaku di

Indonesia ada 3 (tiga) macam yaitu Hukum Waris yang diatur dengan

KUHPerdata, Hukum Adat dan Hukum Islam.

Dalam uraian lebih lanjut akan dijelaskan secara umum hal-hal yang

berkaitan dengan ketiga Hukum Waris dimaksud untuk mendapatkan gambaran

apa saja yang harus diperhatikan oleh pejabat pajak (fiskus).

Sistem Kewarisan Menurut Hukum Adat

Diketahui dengan pasti bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari berbagi suku

bangsa sehingga mempunyai kebudayaan, susunan kekerabatan, bentuk

perkawinan, yang terakhir hukum adat yang berbeda-beda. Demikian halnya

dengan sistem pewarisannya disamping antar daerah yang berbeda-beda, kalau

dibandingkan dengan hukum waris Eropa yang dimuat dalam KUHPerdata


(Burgelijk Wetboek) akan tampak perbedaan yang jauh. Ada tiga macam dasar

sistem keturunan atau pertalian daerah yang pada umumnya mewarnai wilayah

Indonesia yang sangat besar pengaruhnya terhadap hukum adat waris yaitu :21

1. Perwakilan darah menurut garis ibu (matrinial)

Masyarakat yang bersistem ini menganggap anggota-anggotanya menarik

garis ke atas melalui garis ibu, ibu dari ibu, terus ke atsa, sehingga

dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya.

2. Pertalian darah garis Ibu dan Bapak, dimana anggota masyarakat

Hukum adat ini menarik garis keturunan melalui Bapak dan Ibu, terus ke

atas sehingga dijumpai seorang laki-laki dan seorng wanita sebagai

moyangnya.

3. Pertalian darah menurut garis Bapak (patrinial)

Masyarakat yang bersistem ini menganggap anggota-anggotanya menarik

garis ke atas melalui garis Bapak, bapak dari Bapak, terus ke atas,

sehingga dijumpai seorang laki-laki sebagai moyangnya.

Secara umum beberapa pokok-pokok pikiran hukum adat wris dapat

diuraikan sebagai berikut :

1. Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-

21
I.G.N. Sugangga S.H. Prof. Kuliah Satu Semester HUKUM ADAT KHUSUS Hukum Adat Waris
pada Masyarakat Hukum Adat yang Bersistem Patrinial di Indonesia. Semarang 1988.
barang yang tindak berwujud dari suatu generasi kepada turunannya.

Proses itu telah mulai pada orang tua masih hidup.

2. Di dalam suatu harta peninggalan, para ahli waris tidak mendapat bagian-

bagian yang ditentukan menurut ilmu tentang (geen wiskundig to

brekenen erfporties) meskipun pada dasarnya semua anak sama haknya

atas harta peninggalan orang tua mereka. Perbedaan agama dan siapa yang

lahir lebih dahulu tidak menjadikan persoala.

3. Apabila orang meninggal itu memberikan suatu barang dari hartanya

semasa hidupnya kepada seorang atau beberapa dari anak-anaknya, maka

pemberian (pewarisan) itu diperhatikan pada waktu harta peninggalan

bagi-bagi setelah meninggalnya orang tersebut.

4. Harta peninggalan tetap tidak dibagi-bagi, selama masih perlu untuk

penghidupan keluarga yang ditinggalkannya dan keluarga itu (janda dan

anak-anak) masih tetap tinggal berkumpul.

5. Seorang anak yang lahir di luar perkawinan, menurut hukum adat waris

(di Jawa) menjadi ahli waris di dalam harta peninggalan ibunya serta di

dalam harta peninggalan family dari pihak ibu. Seorang anak demikian,

menurut hukum tersebut, tidak mempunyai bapak. Terhadap hubungannya

dengan ibu, maka tidak ada perbedaan antara anak yang sah dan anak di

luar perkawinan.

6. Pembagian harta peninggaln dibagi-bagi berdasarkan asas kerukunan

dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap-tiap ahli waris.


7. Harta peninggalan yang berupa tempat tinggal pada umumnya tidak

dibagi-bagi, selama masih perlu untuk penghidupan keluarga yang

ditinggalkannya dan keluarga itu (janda dan anak-anak) masih tetap

tinggal berkumpul.

Mengenai harta peninggalan (harta warisan) dalam hukum adat khususnya tanah

ada yang dapat diwariskan ada pula yang tidak dapat diwariskan. Sebagai contoh

di Bali ada tanah setelah si pemegang meninggal kembali lagi sebagai tanah desa.

Harta warisan dalam hukum adat waris pada masyarakat yang bersistem patrinial

dikenal adanya istilah-istilah sebagai berikut:22

1. Harta guna kaya : yaitu harga yang diperoleh masing-masing suami-istri

sebelum masuk jenjang perkawinan (harta asal pencaharian). Harta ini

sesudah perkawinan berlangsung 2 atau 5 tahun berubah menjadi harta druwe

gabro (Jawa = gono-gini).

2. Harta jiwa dana : yaitu harta pemberian dari orang tua. Jiwa dana ini tetap

menjadi milik masing-masing istri atau suami.

3. Tatadan (bebekel:Babaktan, bawaan) : yaitu harta kekayaan yang dibawah

oleh salah seorang suami/istri pada waktu perkawinannya dilangsungkan yang

berupa pemberian atau warisan dari orang tuanya. Tatadan ini tetap menjadi

milik masing-masing suami/istri.

22
I.G.N. Sugangga S.H. Prof. Kuliah Satu Semester HUKUM ADAT KHUSUS Hukum Adat Waris
pada Masyarakat Hukum Adat yang Bersistem Patrinial di Indonesia. Semarang 1988.
4. Druwe gabro (Jawa : gono-gini) : yaitu harta yang diperoleh oleh suami atau

istri dengan kerja bersama-sama selama perkawinan secara gotong-royong.

Dalam hal cerai hidup, imbangan besarnya bagian druwe bagi masing-masing

suami atau istri adalah : 2 : 1 (Jawa : sepikul segendong, Bali : Ategen

asuhun). Sesudah kemerdekaan perkembangan pembagian mengalami

perkembangan yaitu dibagi imbangan 1 : 1.

Hibah wasiat dikenal dalam hukum adat yaitu suatu perbuatan hukum yang

bertujuan, agar supaya bagian tertentu dari kekayaan pewaris kepada ahli waris

anaknya atau seseorang lain yang dikehendakinya, supaya sesudah meninggalnya,

bagian tersebut dapat digunakan oleh yang berhak. Adanya hibah wasiat,

dimaksudkan untuk mewajibkan para ahli waris untuk membagi-bagi harta

warisan dengan cara yang layak menurut anggapan pewaris. Maksud lain, ialah

untuk mencegah perselisihan dan dengan hibah wasiat menyatakan secara

mengikat sifat-sifat barang harta yang ditinggalkan seperti : barang pusaka,

barang yang dipegang dengan hak gadai, barang yang disewa, dan sebagainya.

Sistem Kewarisan Hukum Perdata Barat

Sistem ini diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu dalam

Buku II tentang Benda. Dalam kaitannya dengan tesis ini perlu dikemukakan hal-

hal yang penting tentang kewarisan hukum perdata barat sebagai berikut :

1. Pewarisan hanya berlangsung karena kematian (pasal 830 KUH Perdata)


2. Begitu seorang meninggal, maka pada detik itu juga segala hak dan

kewajibannya beralih kepada warisnya, sehingga tidak ada satu detikpun

kekosongan. Asas ini dinamakan “saisin” dan ditegaskan dalam Pasal 833

KUH Perdata (BW) yang berbunyi :” Sekalian ahli waris dengan sendirinya

demi hukum memperoleh hak milik atas semua barang, semua hak dan semua

piutang dari si meninggal.”

3. Setiap waris berhak atas menuntut dari orang yang tanpa menguasai barang

warisan, supaya barang itu diserahkan kepadanya. Hak penuntutan tersebut

diberikan oleh pasal 834 KUH Perdata dan dikenal dengan nama “hereditatis

petition”.

4. Seorang waris (pasal 836 KUH Perdata) harus (dengan mengingat ketentuan

pasal 2 KUH Perdata) sudah ada pada saat si pewaris meninggal. Adapun

pasal 2 KUH Perdata itu mengatakan bahwa : “anak yang ada dalam

kandungan ibunya dianggap sudah dilahirkan, bilaman kepentingan si anak itu

menghendakinya, tetapi bila ia mati sewaktu dilahirkan, ia dianggap tidak

pernah ada”.

5. Seorang ahli waris dapat menolak warisan yang terbuka baginya. Apabila

terjadi penolakan maka saat berlakunya penolakan dianggap terjadi sejak

meninggal pewaris. Ahli waris yang menolak warisan berarti melepaskan


pertanggungjawabannya sebagai ahli waris dan menyatakan tidak menerima

harta peninggalan.23

6. Dikenal ada 2 (dua) cara untuk mendapatkan harta warisan yaitu :

a. Berdasarkan Undang-undang, sebagaimana diatur dalam pasal 832 KUH

Perdata yang menyatakan bahwa yang berhak untuk menjadi ahli waris

ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan si suami atau

istri hidup terlama. Apabila suami istri telah bercerai maka mereka bukan

merupakan ahli waris satu dengan lainnya, tetapi suami istri yang pisah

meja dan tempat tidur masih tetap menjadi ahli waris apabila salah satu

meninggal dunia. Apabila keluarga sedarah maupun suami istriyang hidup

terutama tidak ada, maka segala harta peninggalan pewaris menjadi milik

negara setelah dikurangi dengan kewajiban untuk melunasi utang-utang

pewaris, sepanjang harta peninggalannya masih mencukupi.

b. Secara testamenter sebagaimana diatur dalam pasal 899 KUH Perdata

yang menyatakan bahwa dengan mengindahkan akan ketentuan dalam

pasal 2 KUH Perdata, untuk dapata menikmati sesuatu dari suatu surat

wasiat, seorang harus telah ada, tatkala si pewaris meninggal dunia.

23
Effendi Perangin, SH. Hukum Waris, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2001 halaman 169.
7. Sifat dari kewarisan hukum perdata :

a. Bersifat pribadi, maksudnya bahwa yang menjadi ahli waris adalah

perseorangan, bukan kelompok ahli waris.

b. Bilateral artinya bahwa para ahli waris menerima harta warisan baik dari

pihak ibu maupun dari pihak bapak.

c. Adanya penderajatan, artinya bahwa ahli waris yang hubungan darahnya

lebih dekat kepada pewaris menutup hak ahli waris lainnya yang

hubungan darahnya lebih jauh.

8. Orang-orang yang tidak patut menjadi ahli waris berdasarkan pasal 838 KUH

Perdata adalah sebagai berikut :

a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau

mencoba membuuh si yang meninggal;

b. Mereka yang dengan keputusan hakim pernah dipersalahkan karena secara

fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah

suatu pengaduan telah melakukan suatu kejahatan yang terancam dengan

hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih

berat;

c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang

meninggal untuk membuat atau mencabut surat warisannya;

d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat

si yang meninggal.
Sedangkan harta peninggalan sebagai harga warisan salah satunya berupa

tanah yang dimiliki secara bersama oleh suami istri merupakan pemilikan

bersama yang terikat (gebonden mede eigendom). Maka apabila terjadi putus

persatuan harta kekayaan (pasal 126 BW) yang diakibatkan kematian (suami atau

istri), jumlah harta peninggalan (pasal 128 ayat 1 BW) hanya setengah (1/2).

Selain pewarisan menurut Undang-Undang (ab intestate), dikenal adanya

pewarisan berdasarkan testamen (wasiat)/sesuai dengan pasal 874 KUH Perdata

(BW).

Sistem Kewarisan Menurut Hukum Islam

Hukum kewarisan Islam merupakan hukum dari syariat Islam yang

berdasarkan pada Al Qur’an. Hadits atau Sunnah Nabi Muhammad SAW serta

ijtihad para ulama. Hukum kewarisan Islam mempunyai karakteristik tersendiri

dan sifat yang khas dibandingkan dengan hukum kewarisan lainnya. Hal ini

dapat diiketahui dari uraian singkat sebagai berikut :

1. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

a. Ijbari

Dalm hal hukum waris berarti “terjadinya peralihan harta

seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup

dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan hukum atau

pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris (semasa


hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalan-halangi terjadi

peralihan tersebut.

b. Bilateral

Seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak yaitu

garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki.

c. Individual

Setiap ahli waris (secara individual) berhak atas bagian yang

didapatnya tanpa terkait kepada ahli waris lainnya.

d. Keadilan Berimbang

Keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan

antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.

e. Kewarisan semata akibat kematian

Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan

harta hanya semata-mata disebabkan adanya kematian. Harta

seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan) seandainya ia masih

hidup. Walaupun ia berhak untuk mengatur hartanya, hak tersebut

semata-mata hanya sebatas keperluannya semasa ia masih hidup, dan

bukan untuk penggunaan harga tersebut sesudah ia meninggal dunia.

Hal ini berbeda dengan hukum waris menurut KUH Perdata (BW)

yang dikenal dengan pewarisan secara ab intestate dan secara

testamen.

2. Sebab-sebab Mendapat Warisan


a. Karena hubungan perkawinan

Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris)

disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayat dengan

seseorang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah :

suami atau istri dari si mayat.

b. Karena adanya hubungan darah

Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris)

disebabkan adanya hubungan darah/kekeluargaan dengan si mayat,

yang termasuk dalam klasifikasi ini seperti : ibu, bapak, kakek,

anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara dan lain-lain.

c. Karena sesama Islam

Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan tidak ada

meninggalkan ahli waris sama sekali, maka harta warisannya

diserahkan kepada Baitul Maal, dan lebih lanjut akan dipergunakan

untuk kepentingan kaum muslimin.


3. Sebab-sebab Tidak Mendapat Warisan

a. Karena halangan kewarisan

1) Pembunuhan

Perbuatan membunuh yang dilakukan oleh seseorang ahli waris

terhadap si pewaris menjadi penghalang baginya (ahli waris

yang membunuh tersebut) untuk mendapatkan warisan dari

pewaris.

2) Karena perbedaan /berlainan agama

Yang dimaksud dengan berlainan agama adalah berbedanya

agama yang dianut antara pewaris dengan ahli waris, artinya

seseorang muslim tidaklah mewaris dari yang bukan muslim,

begitu pula sebaliknya seseorang yang bukan muslim tidaklah

mewaris dari seseorang muslim.

b. Kelompok Keutamaan/Hijab

Pengelompokan keutamaan mengakibatkan terhalang (hijab) bagi

yang lainnya, misalnya anak lebih utama dari cucu, ayah, lebih

utama kepada si anak dibandingkan dengan kakek.

Adapun harta peninggalan seseorang yang meninggal dalam menurut

ketentuan Kompilasi Hukum Islam Indonesia adalah terdiri dari :

1. Harta Bawaan
2. Setengah (1/2) dari harta bersama (jika tidak ada perjanjian perkawinan).

Dan apabila ada perjanjian perkawinan sesuai dengan isi perjanjian

perkawinan yang mereka adakan.

Pengertian Pewaris menurut Undang-Undang BPHTB

Menurut Undang-undang BPHTB yang diuraikan dalam penjelasan atas

Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena

waris dan hibah wasiat bahwa yang dimaksud :

1. Perolehan hak ahli waris adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh

ahli waris dari pewaris yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

2. Perolehan hak waris karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan

atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat, yang

berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.

Dapat diketahui dengan penjelasan diatas, bahwa Undang-undang BPHTB

mengakui bahwa ada waris ab intestate dan testamenter, dimana perlakuan

pengenaan BPHTB-nya sama.

Anda mungkin juga menyukai