Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh


pajanan suatu antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang
berbahaya pada pajanan berikutnya. World Allergy Organization (WAO)
menunjukkan prevalensi alergi terus meningkat dengan angka 30-40% populasi
dunia. Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada angka pastinya, namun beberapa
peneliti memperkirakan bahwa peningkatan kasus alergi di Indonesia mencapai
30% per tahunnya.23
Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang berbahaya.
Walaupun kejadian alergi makanan lebih sering ditemui pada anak-anak,
penelitian terbaru melaporkan 1,4-6% populasi dewasa juga pernah mengalami
alergi makanan. Tidak semua reaksi makanan yang tak diinginkan dapat disebut
sebagai alergi makanan. Klasifikasi yang dikeluarkan EAACI (European
Association of Allergy and Clinical Immunology) membagi reaksi makanan yang
tidak diinginkan menjadi reaksi toksik dan reaksi non-toksik. Reaksi toksik
ditimbulkan iritan tertentu atau racun dalam makanan, misalnya jamur, susu atau
daging terkontaminasi atau sisa pestisida dalam makanan. Reaksi non-toksik dapat
berupa reaksi imunologis dan reaksi non-imunologis (intoleransi makanan).
Intoleransi makanan dapat diakibatkan zat yang terdapat pada makanan tersebut,
farmakologi makanan, atau akibat kelainan pada orang tersebut (seperti defisiensi
laktosa), atau idiosinkrasi. Sedangkan alergi makanan adalah respons abnormal
terhadap makanan yang diperantarai reaksi imunologis. Seperti alergen lain, alergi
terhadap makanan dapat bermanifestasi pada satu atau berbagai organ target, dari
reaksi yang ringan hingga berat.
Selain makanan, obat merupakan penyebab lain yang dapat
menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan, termasuk intoleransi dan alergi obat.
Obat adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk eksplorasi atau
mengubah keadaan fisiologik atau patologik dengan tujuan mendatangkan
keuntungan bagi pemakai obat untuk diagnosis, terapi, maupun profilaksis.

1
Perkembangan pengetahuan dan ditemukannya obat-obat baru untuk pengobatan,
pencegahan, maupun diagnosis telah menimbulkan berbagai reaksi obat yang
tidak diinginkan, dengan kata lain adverse drug reaction (ADR).
Adverse drug reaction dapat timbul dari yang paling ringan hingga
1,2
dapat menjadi sangat berat yang dapat menimbulkan kematian. Contoh ADR
yang berat yang dapat menyebabkan kematian antara lain keracunan dan syok
anafilaktik, sedangkan sebagai contoh yang ringan adalah rasa gatal dan
mengantuk. Jenis ADR sangatlah banyak, dari yang dapat diperkirakan akan
timbul sampai yang tidak kita perkirakan yang potensial membahayakan
keselamatan jiwa pasien.3
Adverse drug reaction merupakan masalah kesehatan iatrogenik yang
paling sering terjadi, yang muncul pada 5-15% terapi dengan obat. Rawlin dan
Thompson membagi ADR menjadi 2 kelompok yaitu tipe A dan tipe B. Reaksi
tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim terjadi, bergantung pada dosis,
3,20
berhubungan dengan farmakologi obat, dan dapat terjadi pada tiap individu.
Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari kasus-kasus ADR.21 Reaksi tipe B
merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi, tidak lazim terjadi, tidak
bergantung pada dosis dan sering tidak berhubungan dengan farmakologi obat,
serta hanya terjadi pada individu yang rentan.3,20 Reaksi ini meliputi intoleransi,
reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi dan pseudoalergi. Sekitar 25-30% reaksi tipe B
merupakan reaksi obat alergik.22
Tingginya angka kejadian reaksi adversi, baik intoleransi maupun
alergi, yang dicetuskan oleh obat dan makanan, serta masalah kesehatan yang
ditimbulkannya, menjadi perhatian khusus bagi dokter untuk dapat menguasai
diagnosa dan penatalaksanaannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. INTOLERANSI DAN ALERGI MAKANAN


1. Definisi, Insidensi, dan Prevalensi
Reaksi adverse terhadap makanan merupakan setiap reaksi yang
tidak dikehendaki yang timbul setelah mukosa saluran makanan terpapar
suatu makanan atau bahan tambahan yang terkandung dalam makanan.
EAACI (European Association of Allergy and Clinical Immunology)
membagi reaksi adverse ini menjadi reaksi toksik dan reaksi non toksik
23,24
.
Reaksi toksik ditimbulkan iritan tertentu atau racun dalam
makanan, misal jamur, susu, daging terkontaminasi, atau sisa pestisida
dalam makanan. Sedangkan reaksi non toksik dapat berupa reaksi
imunologis (alergi makanan) dan reaksi non imunologis/fisiologis
(intoleransi makanan). Intoleransi makanan dapat diakibatkan:
a. Zat yang terdapat pada makanan/ farmakologi makanan tersebut,
misal histamin yang terdapat pada ikan yang diawetkan, tiramin pada
keju yang menyebabkan reaksi mual, muntah, dan nyeri kepala, serta
monosodium glutamat yang dapat menyebabkan flushing, sakit
kepala, dan nyeri perut. Intoleransi makanan ini menimbulkan gejala
yang menyerupai keracunan makanan. Secara umum reaksi yang
timbul ringan dan hilang dengan sendirinya. Namun bila berat,
ditatalaksana menyerupai keracunan makanan dengan obat pencahar
atau perangsang muntah, pencucian lambung, rehidrasi bila muntah
berkelanjutan, dan terapi simptomatis lainnya.
b. Kelainan metabolik, misal defisiensi laktosa yang menyebabkan diare
dan keluhan pada perut setelah minum susu yang mengandung
laktosa.

3
c. Pengaruh psikis berupa ketidaksukaan atau respon emosional terhadap
makanan tertentu. Keluhan yang timbul tidak spesifik dan tidak
23,24
muncul ketika penderita dihadapkan pada blinded food challenge .

Tabel 1. Contoh Berbagai Mekanisme Intoleransi Makanan 24


Mekanisme Kategori Contoh
Kelainan Gula Laktosa, sukrosa, manosa
metabolik Alkohol Bir, anggur, alkohol lain
Kafein Kopi, soft drink
Kimiawi Sodium Salad
Metabisulfit Anggur, buah yang dikeringkan
Monosodium glutamat Makanan cina
Nitrit Pengawet
Nitrat Daging, ikan
Histamin Ikan
Feniletilamin Coklat
Serotonin Pisang, tomat
Teobromin Coklat, teh
Triptamin Tomat, plum
Tiramin Keju tua, anggur merah

Intoleransi laktosa merupakan kasus intoleransi makanan akibat


kelainan metabolik yang terbanyak. Prevalensi intoleransi laktosa sangat
bervariasi di seluruh dunia. Prevalensi terbanyak terdapat pada populasi
yang secara kultural tidak mengkonsumsi susu atau produk susu selama
masa penyapihan, yaitu 67-100% pada penduduk asli Amerika dan
Australia, 95% pada sebagian negara di Amerika Selatan (Kolombia, Peru,
dan Suriname), 90% pada sebagian besar negara di Asia (Jepang,
Thailand, Cina, Taiwan, dan Indonesia), serta 85% pada kebanyakan
negara di Afrika (Etiopia, Nigeria, dan Afrika Selatan). Prevalensi
terendah (0-17%) ditemukan pada populasi Kaukasian dari Eropa Utara,
kelompok suku tertentu di Afrika, India Utara dan India Barat. Pada
populasi Timur Tengah, Iran, Jordan, Syria, Israel, India, dan sekitar
Mediteranian, prevalensi berkisar 30-100% 27.

4
Di Amerika Selatan, intoleransi laktosa dilaporkan mulai terlihat
setelah anak berusia 1 tahun, sedangkan pada populasi Kaukasian setelah 5
tahun, dan Finlandia setelah remaja. Di Indonesia, prevalensi malabsorbsi
laktosa pada anak usia 1-6 tahun sebesar 72% dan sebesar 68% pada anak
usia 6-12 tahun. Kejadian pada anak usia 3 tahun sebesar 9,1%, usia 4
tahun 21,7%, dan meningkat pada usia 5 tahun sebesar 28,6% 27.
Alergi makanan merupakan respon abnormal makanan yang
diperantarai reaksi imunologis. Seperti alergen lain, alergi terhadap
makanan dapat bermanifestasi pada satu atau berbagai organ target, seperti
pada kulit (urtikaria, angioedema, dermatitis atopik), saluran nafas
(rhinitis, asma), saluran cerna (nyeri abdomen, muntah, diare), dan sistem
kardiovaskular (syok anafilaktik) 23,24.

Tabel 2. Perbedaan antara alergi dan intoleransi makanan28


Alergi Makanan Intoleransi Makanan
Ada sensitisasi Tidak ada sensitisasi
Imunologik Non-imunologik
Gejala klinis jelas Gejala klinis sering tidak spesifik
Timbul pada dosis rendah Sebagian tergantung dosis
Kadang ada riwayat keluarga Tanpa riwayat keluarga (kecuali
defisiensi enzim)
Sedikit dipengaruhi psikis Dipengaruhi psikis kuat

Kejadian alergi dipengaruhi oleh genetik, umur, jenis kelamin, pola


makan, jenis makanan, dan faktor lingkungan. Berdasarkan data dari
World Allergy Organization (WAO) 2011 22% dari total populasi dunia
menderita alergi makanan dan terus meningkat setiap tahun. Data dari
Center for Disease Control and Prevention (CDC) yang mencatat bahwa
angka kejadian alergi makanan meningkat tiga kali lipat sejak 1993 hingga
2006. Di Indonesia, prevalensi alergi makanan sebanyak 5-11%. Angka
yang masih kecil ini kemungkinan dikarenakan masih banyak masyarakat
yang tidak melakukan tes alergi dan tempat untuk melakukan tes alergi
masih belum banyak ditemukan.26

5
Alergi makanan lebih sering terjadi pada anak di bawah usia 3
tahun karena belum matangnya sistem imunitas mukosa saluran cerna.
Alergi makanan dilaporkan bervariasi di berbagai negara, antara 6-8%.
Dari jumlah tersebut yang terbanyak adalah alergi terhadap susu sapi
(2,5%), alergi telur (1,5%), dan aleri kacang (0,5%). Sedikitnya 2,5% bayi
memiliki reaksi hipersensitivitas terhadap susu sapi sampai usia 25 tahun,
25% di antaranya akan menetap sampai dewasa. Jenis makanan yang
sering menimbulkan reaksi alergi pada pada anak adalah berbagai jenis
protein, seperti susu sapi, telur, kacang-kacangan, ikan, kedelai, dan
gandum (85%) 3. Data dari Poliklinik Alergi-Imunologi Anak RSCM, dari
26
pasien anak yang menderita alergi, 2,4% nya alergi susu sapi . Anak
dengan riwayat atopi dalam keluarganya akan cenderung alergi terhadap
makanan tertentu. Ditemukan 35% anak dengan dermatitis atopi juga
memiliki alergi makanan. Pada 6% anak asma juga dilaporkan mengalami
25
eksaserbasi setelah mengkonsumsi makanan tertentu . Berdasarkan
sebuah penelitian di Indonesia tahun 2011, dari 400 anak umur 3-12 tahun
didapatkan 60% penderita alergi makanan adalah perempuan, dan 40%
adalah laki-laki26.
Insidensi alergi makanan pada orang dewasa tidak banyak
dilaporkan. Di Amerika hanya 2% populasi dewasa yang memiliki alergi
terhadap makanan. Prevalensi perempuan dewasa lebih banyak daripada
laki-laki dewasa. Yang paling sering menimbulkan alergi pada orang
dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, makanan laut, zat pewarna, zat
aditif, dan pemanis buatan. Prevalensi jenis makanan tergantung pada
budaya dan geografis, yaitu nasi di Jepang, ikan di Skandinavia, buah di
Spanyol, serta di Amerika susu sapi, soya, telur, gandum, kacang, dan ikan
25
.

2. Diagnosis Alergi Makanan


Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal terpenting dalam
alergi makanan. Dibutuhkan anamnesis yang menyeluruh unuk

6
membedakan antara reaksi alergi dan intoleransi makanan. Data yang
penting pada evaluasi alergi makanan adalah 23,24:
a. Makanan yang dicurigai.
b. Banyaknya bahan makanan yang diperlukan untuk memicu timbulnya
reaksi.
c. Adanya riwayat timbul reaksi pada setiap kali paparan.
d. Waktu antara paparan dengan timbulnya reaksi.
e. Manifestasi klinis yang sesuai dengan alergi makanan.
f. Hilangnya gejala setelah bahan makanan yang dicurigai dieliminasi.
g. Lama berlangsungnya gejala.
h. Pengobatan yang diperlukan untuk mengatasi reaksi.
Dari gambaran klinis, perlu dibedakan reaksi yang terjadi
diperantarai IgE dan yang tidak diperantai IgE. Gambaran klinis reaksi
yang diperantarai IgE menunjukkan manifestasi pada kulit,
gastrointestinal, mata, kardiovaskular, dan saluran nafas. Manifestasi kulit
merupakan yang paling sering dijumpai. Reaksinya bervariasi mulai dari
urtikaria akut, eritem, pruritis, angioedema hingga bercak kulit
menyerupai morbili. Terbanyak kedua adalah gejala gastrointestinal,
berupa angioedema pada bibir, lidah, dan palatum, pruritus oral, bengkak
lidah, mual, muntah, diare, dan kram perut. Pemeriksaan endoskopi
menunjukkan adanya hyperemia, edema, petekie, peningkatan sekresi
mucus, dan penurunan peristaltic setelah paparan allergen makanan. Pada
mata timbul gejala pruritus, eritem konjungtiva, berair, edema periorbita.
Pada kardiovaskuler timbul takikardi (bradikardi pada reaksi anakfilaksis),
hipotensi, dizziness, dan kehilangan kesadaran Sedangkan gejala
respiratorik dapat berupa kongest nasal, pruritus, bersin, rinorrhea, batuk
kering, spasme otot polos bronkus, edema laring, dan sesak nafas.29
Manifestasi klinis alergi makanan yang tidak dimediasi IgE
meliputi food-induced enterocolitis, food-induced colitis, sindroma
malabsorbsi, dan penyakit celiac. Gejala food-induced enterocolitis
muncul dalam waktu 1-8 jam setelah paparan, berupa diare kronik,

7
eosinofilia, dan malabsorbsi. Gejala yang parah dapat menyebabkan
dehidrasi. Sedangkan pada food-induced colitis tidak ditemui adanya diare
atau dehidrasi, namun dapat terjadi hematochezia atau perdarahan samar
pada feses. Pemeriksaan feses menunjukkan adanya eritrosit, netrofil,
eosinofil, dan zat-zat pereduksi. Biopsi pada segmen usus halus yang
terkena menunjukkan atropi parsial pada vili usus, infiltrasi sel limfosit,
dan sel plasma yang mengandung IgM dan IgA. Sedangkan biopsi kolon
menunjukkan infiltrasi eosinofil pada epitel kripta da lamina propia,
disertai kerusakan kripta. Gejala pertama malabsorbsi makanan biasanya
terjadi pada bayi usia beberapa bulan dengan manifestasi bervariasi, mulai
dari feses yang mengandung lemak, hingga diare, berat badan yang tidak
bertambah dan kegagalan tumbuh kembang.24

Tabel 3. Manifestasi Alergi Makanan pada Berbagai Organ24


Organ target Hipersesitivitas IgE Hipersensitivitas non IgE
Kulit Urtikaria, angioedema Dermatitis atopic
Dermatitis atopik Dermatitis herpetiformis
Saluran cerna Sindroma alergi oral Protokolitis
Anafilaksis Enterokolitis
gastrointestinal
Gastroenteritis eosinofilik Gastroenteritis eosinofilik
alergi alergi, sindrom enteropati,
penyakit celiac
Saluran nafas Asma, rhinitis alergi Sindrom Heiner (pada anak)
Multisistem Food-induced anaphylaxis
Food associated, exercise-
induced anaphylaxis

Beberapa uji (baik secara in vivo, yaitu uji tusuk kulit dan diet
eliminasi, maupun secara in vitro, yaitu pengukuran IgE spesifik) untuk
membuktikan adanya alergi makanan:29
a. Uji tusuk kulit.
Dilakukan pada penderita yang gejalanya dicurigai sebagai reaksi
yang dimediasi oleh IgE. Digunakan ekstrak alergen makanan dalam

8
gliserin (dengan pengenceran 1:20 hingga 1:10), dengan histamine
sebagai kontrol positif dan larutan garam faali sebagai kontrol negatif.
Uji tusuk kulit dianggap positif bila timbul bentol dengan diameter 3
mm lebih besar dari kontrol negatif. Selain uji tusuk kulit, juga dapat
digunakan tes tempel.
b. Diet eliminasi.
Penderita diberi diet selama 7-14 hari, dimana bahan makanan yang
dicurigai dihindari. Bila ada lebih dari 1 makanan yang dicurigai,
maka diet eliminasi dilakukan berturut-turut dengan 1 jenis makanan.
Makanan yang diduga sebagai penyebab harus dibuktikan dengan uji
tusuk kulit.
c. Double blind placebo kontrolled food challenge dianggap sebagai
gold standart untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Penderita
pantang makanan terduga sedikitnya 2 minggu. Semua obat yang
mengganggu interpretasi, seperti histamine dan kortikosteroid
dihentikan. Makanan diberikan dalam bentuk kapsul. Jumlah awal
yang diberikan 125-500 mg, lalu ditingkatkan dua kali lipat setiap 15-
60 menit. Untuk mencegah terjadinya reaksi berat, dipersiapkan
fasilitas gawat darurat, seperti epinefrin, antihistamin, steroid, inhalasi
beta 2 agonis dan peralatan resusitasi kardiopulmoner. Selama diuji,
penderita diawasi untuk perubahan kulit, saluran cerna, dan saluran
nafas. Tes dihentikan bila timbul reaksi. Hasil negatif dikonfirmasi
setelah penderita menelan makanan yang dicurigai sebanyak 10 gram
dan tidak ada reaksi alergi padanya.
d. Pengukuran IgE spesifik dengan teknik RAST. Pemeriksaan ini hanya
dianjurkan bila terdapat dermatitis atopik yang parah atau
dematografisme sehingga uji kulit tidak dapat dilakukan.

Reaksi alergi makanan yang tidak dimediasi oleh IgE dapat


ditegakkan terutama dengan adanya respon terhadap eliminasi alergen dari
target. Food-induced enterocolitis dan colitis membaik dalam 72 jam

9
setelah eliminasi alergen dari diet. Gejala yang menetap mungkin
disebabkan oleh defisiensi disakarida sekunder. Sindroma malabsorbsi
membutuhkan beberapa hari hingga beberapa minggu untuk sembuh.23,24

3. Diagnosis Intoleransi Laktosa


Penderita intoleransi laktosa memiliki batas toleransi untuk
mengkonsumsi laktosa. Beberapa gejala klinis intoleransi laktosa, yaitu
mual, muntah, sakit perut, kembung, sering flatus, dan diare. Rasa penuh
di perut dan mual timbul dalam waktu ±30 menit, sedangkan nyeri perut,
flatus, dan diare timbul dalam waktu 1-2 jam setelah mengkonsumsi
laktosa. Berat ringannya gejala klinis yang timbul tergantung dari aktivitas
lactase, jumlah laktosa, cara mengkonsumsi laktosa, waktu pengosongan
lambung, waktu singgah usus, flora kolon, dan sensitivitas kolon terhadap
asidifikasi. Beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis
intoleransi laktosa, antara lain: 27,28
a. Analisis tinja
Prinsipnya adalah ditemukan asam dan dan bahan pereduksi setelah
mengkonsumsi bahan yang mengandung laktosa. Terdapat 3 macam
metode yang digunakan, yaitu metode Clinitest, kromatografi tinja,
dan pH tinja.
b. Elimination diet, seperti yang dilakukan untuk diagnosis alergi
makanan.
c. Uji toleransi laktosa
Pasien dipuasakan selama 4-8 jam, kemudian diberi larutan laktosa
sebanyak 2 gram/kgBB (maksimal 50 g) dalam konsentrasi 20%.
Kadar gula darah diperiksa setiap 30 menit selama 2 jam. Kenaikan
kadar gula kurang dari 20mg% dari nilai basal dianggap abnormal.
d. Ekskresi galaktosa pada urin
Dengan minum larutan laktosa 2 g/kgBB, dapat diukur kadar
galaktosa dalam urin. Diagnosis intoleransi laktosa tegak apabila

10
ditemukan kadar galaktosa dalam urin sebesar 0,9 mmol/L atau
kurang
e. Hydrogen breath test
Merupakan metode pilihan karena bersifat non invasive, tidak
menyakitkan, dengan sensitifitas 80% dan spesifisitas 100%.
Pengujian dilakukan terhadap jumlah gas hidrogen yang ditiupkan
keluar melalui perrnafasan. Laktosa yang seharusnya dicerna oleh
enzim lactase mengalami fermentasi oleh bakteri di saluran
pencernaan sehingga menyebabkan produksi gas hidrogen lebih
banyak dari keadaan normal. Setelah dipuasakan dan diberi larutan
laktosa, sampel udara nafas diambil setiap 30 menit selama 2 jam.
Konsentrasi gas hydrogen dapat diukur dengan gas kromatografi atau
laktomer. Diagnosis tegak bila kenaikan kadar hydrogen sama atau
lebih dari 20 ppm dibanding nilai basal (saat puasa).
f. Pemeriksaan radiologis minum barium laktosa
Bila terdapat malabsorbsi laktosa, seri foto usus akan memperlihatkan
dilusi barium dan dilatasi lumen usus. Pemeriksaan ini sudah jarang
dilakukan karena adanya paparan radiasi.
g. Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase
Metode ini merupakan baku emas pemeriksaan aktivitas laktase. Nilai
normal untuk neonates 38±4 U/g protein dan 18±4 U/g protein untuk
usia diatas 5 tahun.

4. Terapi dan Pencegahan


a. Alergi Makanan
Terapi utama alergi makanan adalah menghindari makanan
penyebab. Penderita dan keluarganya perlu mendapatkan penyuluhan
untuk menghindari alergen. 23,24
Pada reaksi alergi ringan hanya diberikan antihistamin. Jika perlu
ditambahkan kortikosteroid pada reaksi sedang. Sedangkan pada
serangan anafilaksis terapi utamanya adalah epinefrin atau adrenalin.24

11
Untuk pencegahan, dapat dilakukan upaya menghindari alergen
utama pada makanan ibu selama kehamilan trimester terakhir, seperti
kacang tanah. Anjuran untuk menghindari pemberian susu sapi pada
bayi selama 12 bulan pertama, telur selama 12 hingga 15 bulan, dan
kacang tanah selama 3 tahun, khususnya pada penderita atopik yang
memiliki resiko tinggi terhadap reaksi alergi.23
b. Intoleransi Makanan
Pasien intoleransi laktosa tidak perlu menghindari semua produk
susu karena nilai gizi susu dibutuhkan tubuh. Beberapa anjuran untuk
penderita intoleransi laktosa:28
1) Menghindari atau membatasi bahan seperti padatan susu,
padatan susu bebas lemak, whey, gula susu.
2) Mengkonsumsi produk susu fermentasi, seperti keju matang,
mentega, atau yoghurt karena umumnya ditoleransi lebih baik
dibanding susu.
3) Minum susu yang mengandung banyak lemak karena lemak
memperlambat transportasi susu dalam saluran pencernaan
sehingga memberi waktu yang cukup untuk enzim laktase
memecah gula susu.
4) Memberikan penambahan laktase (Lactacid ®)/yoghurt dalam
susu
5) Mengkonsumsi susu bebas/ rendah laktosa.
6) Minum susu dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, sesuai
dengan toleransinya.
7) Konsumsi produk susu yang diolah dengan proses pemanasan
karena laktosa dipecah menjadi glukosa dan galaktosa dengan
proses pemanasan.
8) Konsumsi produk kedelai karena bebas laktosa dan sumber
kalsium yang baik untuk menggantikan susu dan produk susu
lainnya.

12
B. INTOLERANSI DAN ALERGI OBAT
1. Definisi Adverse Drug Reaction
Beberapa definisi telah dikemukakan untuk adverse drug reaction.
Definisi yang dikemukakan oleh WHO (1972), ADR adalah setiap efek
yang tidak diinginkan dari obat yang timbul pada pemberian obat dengan
dosis yang digunakan untuk profilaksis, diagnosis dan terapi.4 Menurut FDA
(1995), ADR didefinisikan sebagai efek yang tidak diinginkan yang
berhubungan dengan penggunaan obat yang timbul sebagai bagan dari aksi
farmakologis dari obat yang kejadiannya mungkin tidak dapat diperkirakan.5
Definisi lain dikemukakan oleh Laurence (1998), ADR adalah efek
yang membahayakan atau tidak mengenakkan yang disebabkan oleh dosis
obat yang digunakan sebagai terapi (atau profilaksis atau diagnosis) yang
mengharuskan untuk mengurangi dosis atau mennghentikan pemberian dan
meramalkan adanya bahaya pada pemberian selanjutnya.6 Edward dan
Aronson (2000) mengemukakan bahwa ADR adalah reaksi yang berbahaya
atau tidak mengenakkan akibat penggunaan produk medis yang
memperkirakan adanya bahaya pada pemberian berikutnya sehingga
mengharuskan pencegahan, terapi spesifik, pengaturan dosis atau
penghentian obat.7 Sedangkan menurut Safety Monitoring of Medicinal
Products (2000), ADR adalah respons terhadap obat yang berbahaya dan
tidak diinginkan, yang terjadi pada pemberian obat dengan dosis normal.
Pengertian ini ditekankan pada respon pasien, dimana faktor individual
memegang peran utama.8

2. Klasifikasi
Adverse drug reaction dapat dibagi menjadi dua kategori besar,
yaitu yang dapat diperkirakan, umum terjadi dan berhubungan dengan aksi
farmakologis obat (reaksi tipe A) dan yang tidak dapat diperkirakan, jarang
terjadi dan biasanya tidak berhubungan dengan aksi farmakologis obat
(reaksi tipe B).

13
a. Reaksi yang dapat timbul pada setiap orang (reaksi tipe A):
1) Overdosis yang secara langsung berhubungan dengan pemberian
dosis yang berlebihan. Contoh: depresi pemapasan karena obat
sedatif.
2) Efek samping yaitu efek farmakologis suatu obat yang tidak
diinginkan tetapi juga tak dapat dihindarkan yang terjadi pada dosis
terapeutik. Misalnya efek mengantuk pada pemakaian antihistamin.
3) Efek sekunder yaitu reaksi adversi yang secara tidak langsung
berhubungan dengan efek farmakologis primer suatu obat. Contoh:
penglepasan antigen atau endotoksin sesudah pemberian antibiotik
(reaksi Jarisch-Herxheimer)
4) Interaksi obat yaitu efek suatu obat yang mempengaruhi respons
satu atau lebih obat-obat lain misalnya induksi enzim suatu obat
yang mempengaruhi metabolisme obat lain.
b. Reaksi yang hanya timbul pada orang yang suseptibel (reaksi tipe B):
1) Intoleransi yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh efek
farmakologis yang meninggi. Misalnya gejala tinitus pada
pemakaian aspirin dosis kecil.
2) Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak berhubungan dengan
efek farmakologis dan tidak juga disebabkan reaksi imunologis.
Hal ini terjadi karena metabolisme obat ataupun defisiensi enzim,
misalnya primakuin yang menyebabkan anemia hemolitik.
3) Alergi obat
Alergi obat didefinisikan sebagai reaksi yang diperantarai respon
imunologis yang timbul pada populasi subyek yang suseptibel
dengan karakteristik spesifik, transferability oleh antibodi maupun
limfosit dan rekurens pada paparan ulangan.9,10 Alergi dapat
diklasifikasikan berdasarkan sistem klasifikasi Gell dan Coombs,
menjadi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (diperantarai IgE), reaksi
sitotoksik akibat obat, diperantarai oleh antibodi IgG atau IgM
termasuk anemia hemolitik akibat obat, trombositopenia akibat

14
obat serta lekopenia akibat obat, reaksi imun kompleks
(diperantarai IgG dan IgM) dan reaksi tipe lambat (diperantarai
limfosit T). Meskipun kategorinya jelas, tetapi
mengklasifikasikannya amat sulit karena mekanisme yang belum
jelas.1-3
4) Reaksi pseudoalergik/anafilaktoid: reaksi yang secara klinis mirip
dengan reaksi alergi namun tanpa peranan imunologis (tidak
diperantarai IgE). Beberapa obat seperti opiat, vankomisin,
polimiksin B. D tubokurarin dan zat kontras (pemeriksaan
radiologis) dapat menyebabkan sel mast melepaskan mediator
(seperti tipe I).

3. Insidensi
Selama satu dekade beberapa penelitian menunjukkan bahwa
morbiditas dan mortalitas terkait obat merupakan satu dari masalah kesehatan
mayor yang mulai diperhatikan oleh tenaga kesehatan dan publik.8 Masalah ini
merupakan penyakit iatrogenik yang paling sering terjadi, yang muncul pada 5-
15% terapi dengan obat.11
Penelitian di Swiss menunjukkan bahwa dari 5568 pasien rawat inap,
17% diantaranya mengalami efek samping obat. Obat yang tersering adalah
12,13
antibiotik dan obat anti inflamasi non steroid. Banyak mekanisme ADR
yang diperkirakan, tetapi mekanisme pasti reaksi obat yang menimbulkan ADR
belum jelas diketahui. Hal ini menyebabkan sangat sulit untuk membedakan
antara alergi obat dengan bentuk lain reaksi obat serta dalam menilai insiden
alergi obat, mengevaluasi faktor risiko dan menentukan panatalaksanaannya.
Adverse drug reaction diperkirakan terjadi hampir 15% dari pemberian
obat. Hampir 80% ADR adalah tipe A contohnya adalah toksisitas obat, efek
samping, efek sekunder, dan interaksi obat. Tipe B seringkali tidak terlihat
sampai obat tersebut dipasarkan, dependen terhadap faktor genetik dan
lingkungan. Reaksi termediasi sistem imun atau alergi termasuk tipe B, timbul

15
25 – 30 % dari keseluruhan reaksi tipe B dan 6 – 10% dari keseluruhan
ADR.5,22
Faktor risiko terjadinya reaksi adversi1,14 :
a. Berhubungan dengan pasien : usia muda, wanita, genetik, atopi
b. Berhubungan dengan obat : makromolekul, bivalensi, hapten, rute
pemberian, dosis, lama terapi
c. Faktor pendukung : beta bloker, asma, kehamilan

4. Diagnosis
Tes diagnosis untuk reaksi hipersensitivitas yang baik termasuk
anamnesa yang detil dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk
mengklasifikasikan reaksi, menentukan terapi, mengidentifikasi obat yang
menimbulkan reaksi tersebut dan untuk mengetahui insiden alergi terhadap
obat tersebut.
a. Anamnesis
Anamnesis yang mendetail dan pasti harus didapatkan dari pasien. Hal –
hal yang harus didapatkan pada saat anamnesis adalah1:
1) Gejala klinis serta waktu timbulnya gejala serta jarak timbul gejala dari
paparan obat yang dicurigai
2) Kemungkinan onset timbulnya gejala:
• Immediate (segera) timbul beberapa detik hingga 6 jam dari paparan,
gejala klinis yang dapat timbul adalah anafilaksis, urtica, angioudem,
bronkospasme
• Accelerated, timbul antara 6 hingga 72 jam setelah paparan. Gejala
yang mungkin didapatkan antara lain urtika dan asma
• Delayed, timbul gejala lebih dari 72 jam setelah paparan. Gejala yang
mungkin didapatkan antara lain sidrom mukokutan (rash, dermatitis
eksfoliatif) atau tipe hematologis (anemia, trombositopenia,
netropenia)

16
Tabel 4. Skoring Naranjo yang dapat digunakan untuk mengetahui ADR14

Bila skor Naranjo 9 atau 10 menunjukkan bahwa kejadian tersebut “definitely”


ADR; skor 5-8 kemungkinannya “probable”; skor 1-4 “possible”; dan bila skor
kurang dari 1 “doubtful.”

b. Pemeriksaan fisik
Adanya kelainan klinis sesuai dengan jenis masing- masing reaksi.
Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk
kemungkinan alergi disebabkan oleh obat tersebut.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Skin Prick Test (SPT)
Prinsip test ini adalah adanya IgE spesifik pada permukaan basofil atau
sel matosit pada kulit akan merangsang pelepasan histamin, leukotrien
dan mediator lain bila IgE tersebut berikatan dengan alergen yang
digunakan pada uji kulit, sehingga menimbulkan reaksi positif berupa
bentol (wheal) dan kemerahan (flare). Tujuan tes kulit pada alergi

17
adalah untuk menentukan macam alergen sehingga dikemudian hari
bisa dihindari dan juga untuk menentukan dasar pemberian
imunoterapi.
Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam
obat (penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat
yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini karena beberapa hal, antara
lain :
a) Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil
metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya, sehingga bila
dilakukan uji kulit dengan obat aslinya, hasilnya kurang dapat
dipertanggungjawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui
hasil metabolismenya serta obat-obat yang mempunyai berat
molekul besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin yang
mengandung protein telur).
b) Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya
histamin (kodein, tiamin), sehingga terjadi false positive.
c) Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulkan hasil positif
semu.
d) Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga
hanya merupakan hapten, oleh sebab itu sukar untuk
menentukan antigennya.
2) Radio Allergo Sorbent Assay (RAST)
Merupakan solid phase radioimmunoassay yang mengukur
circulating allergen spesific IgE antibodies. Kegunaannya terbatas
sebagai tes diagnosis alergi obat, karena seperti tes kulit,
immunochemistry dari kebanyakan obat belum diketahui. Tes ini telah
dikembangkan untuk penisilin (penicilloyl moiety), insulin,
chymopapain, relaksan otot, thiopental, protamine dan lateks.

18
3) Tes Provokasi
Tes Provokasi dapat menjadi gold standar dalam menentukan adanya
alergi obat. Tes ini harus dikerjakan dengan pengawasan yang ketat
dengan alat bantu resusitasi yang tersedia.
4) Tes untuk reaksi hipersenstivitas tipe II dan III
Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada
anemia hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coomb’s test
direk atau indirek, sedangkan trombositopenia dengan pemeriksaan
fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi. Karena keterbatasannya
(harus menjaga kesegaran eritrosit yang terkonyugasi dengan obat )
sekarang lebih banyak menggunakan metode Enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA). Pemeriksaan hemaglutinasi dan
komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III. Dibuktikan dengan
adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat.
5) Tes untuk reaksi hipersensitivitas tipe IV
Patch test dapat menentukan etiologi reaksi yang diperantarai sel T,
terutama eczematous, erupsi terinduksi obat. Metode ini terbatas
penggunaannya karena terbatasnya reagen yang sesuai dengan
determinan imunogenik dari obat.
6) Tes-tes lain
Biopsi dapat membantu menegakkan diagnosis dan perjalanan respon
inflamasi, tetapi hanya hal umum saja yang bisa didapatkan (tipe
infiltrat seluler, adanya edema). Pemeriksaan imunohistokimia dapat
memeberikan informasi tambahan. Tryptase yang merupakan mast cell
spesific protease dapat meningkat pada reaksi anafilaksis. Konsentrasi
yang meningkat didapatkan pada obat anestesi, lateks dan beberapa
antibiotik. Tes lain yang dapat berguna antara lain basofil histamin
release, proliferasi limfosit, aktivasi komplemen dan tes lymphocyte
cytotoxicity. Tes-tes ini masih dalam penelitian, belum digunakan
untuk evaluasi ADR.

19
5. Penatalaksanaan dan Pencegahan
Pendekatan terhadap pasien alergi obat harus secara metodologis.
Pertama hubungannya dengan obat harus dapat dibuktikan. Setelah hal tersebut
dapat dibuktikan, tipe reaksi harus dapat ditentukan sebisa mungkin. Untuk
reaksi tipe A, modifikasi dosis sebelum diberikan merupakan satu – satunya hal
yang perlu dikerjakan. Toksisitas, serta efek samping dan efek sekunder dapat
membaik dengan menurunkan dosis obat.
Untuk reaksi tipe B, obat masih dapat diberikan kembali bila reaksi
sebelumnya ringan (tinitus pada pemberian aspirin). Pada reaksi yang berat
atau mengancam nyawa penderita, obat tersebut tidak boleh diberikan kembali.
2,3,15-19
Pendekatan yang paling mudah adalah dengan menghindari obat bila
obat alternatif tersedia. Bila obat alternatif tidak ada, challenge test bertahap
dapat dikerjakan bila reaksi yang timbul sebelumnya bukan merupakan reaksi
yang diperantarai IgE dan tidak merupakan reaksi yang berat dan
membahayakan nyawa penderita. Bila reaksi yang sebelumnya timbul
merupakan reaksi yang diperantarai IgE, desensitisasi harus dikerjakan.

a. Avoidance (menghindari paparan)


Merupakan panduan umum, dimana penggunaan obat yang telah diketahui
menyebabkan reaksi alergi pada pasien harus dihindari, kecuali bila obat
tersebut sangat dibutuhkan dan tidak ada obat lain yang dapat
menggantikannya. Dianjurkan pula untuk rnenghindari obat yang
mempunyai struktur kimia dengan obat tersangka (satu golongan). Dapat
juga diberikan obat lain yang rumus imunokimianya berlainan.
b. Premedikasi
Peran obat-obat anti alergi seperti antihistamin, kortikosteroid, dan
simpatomimetik dalam upaya mencegah reaksi alergi amat terbatas. Pada
umumnya pemberian antihistamin dan steroid untuk pencegahan reaksi

20
alergi tidak bermanfaat kecuali untuk mencegah reaksi alergi yang
disebabkan oleh radioaktivitas.

c. Desensitisasi
Prinsip desensitisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang sangat kecil,
kemudian dinaikkan perlahan-lahan sampai dosis terapeutik tercapai.
Prosedur desensitisasi hanya memberi pasien keadaan bebas sensitisasi
sementara, karena bila suatu hari diperlukan pemakaian obat yang sama,
prosedur tersebut hams diulangi kembali.
Karena mengandung risiko yang besar, maka diperlukan beberapa syarat
untuk melakukannya, antara lain :
1). Indikasi kuat dan tak ada obat atau alternatif lain;
2). Pasien dan keluarganya diberitahu perihal tujuan tindakan ini, serta
untung ruginya;
3). Dilakukan di rumah sakit yang mempunyai obat dan peralatan untuk
menanggulangi keadaan darurat;
4). Dilakukan oleh dokter yang berpengalaman;
5). Umumnya rute pemberian obat pada desensitisasi atau provokasi sesuai
dengan rute pemberian yang akan diberikan;
6). Pada desensitisasi pasien dipasang infus, yang sewaktu-waktu bisa
dipergunakan bila terjadi keadaan darurat;
7). Uji kulit dilakukan segera sebelum pemberian obat.
d. Pengobatan simtomatik
Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat.
Gejala yang ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan.
Pengobatan kasus yang lebih berat tergantung pada erupsi kulit yang tejadi
dan derajat berat reaksi pada organ-organ lain. Apapun penyebabnya
pengobatannya lebih kurang sama. Pada kelainan kulit yang berat seperti
pada sindrom Steven Johnson, pasiennya harus dirawat, karena selain
harus mendapat kortikosteroid, yang lebih penting lagi adalah pemasukan
kalori dan cairan perlu dijaga. Perawatan kulit juga memerlukan waktu

21
berhari-hari sampai berminggu-minggu. Kadang-kadang terjadi infeksi
sekunder sehingga pasien perlu diberikan antibiotik.

1) Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I) :


Bila terjadi syok dapat diberikan epinefrin 1 : 1000 sebanyak 0,3 – 0,5
ml secara subkutan atau intravena. Antihistamin dan kortikosteroid
dapat diberikan, tetapi bukan merupakan pengobatan lini pertama.
Umumnya reaksi dapat diatasi dalam waktu 15 – 20 menit, meskipun
penderita masih harus diamati selama 24 jam berikutnya untuk
mencegah komplikasi.
2) Pada reaksi tipe yang lain :
Penghentian penggunaan obat tersangka umumnya cukup memberikan
hasil yang baik. Sesuai dengan berat-ringannya reaksi, pemberian
kortikosteroid dan antihistamin dapat dipertimbangkan. Pada urtikaria
dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah memadai,
tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit
serum, kelainan darah, hati, nefritis interstisial, dan lain-lain
diperlukan kortikosteroid dosis tinggi (60- 100 mg prednison atau
ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan selanjutnya prednison
tersebut diturunkan dosisnya secara bertahap selama satu sampai dua
minggu.

Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi


alergi obat yaitu memberikan obat tepat pada indikasinya. Jika sudah tepat
indikasinya kemudian ditanyakan secara teliti riwayat alergi obat di masa lalu,
terutama yang ada hubungannya dengan yang akan diberikan.
Pada pasien dengan riwayat alergi obat, atau dicurigai alergi obat
sedangkan obat atau tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh, dapat
dilakukan uji kulit atau kalau ada fasilitas dengan pemeriksaan laboratorium.
Jika negatif, obat tadi boleh diberikan namun tetap harus berhati-hati. Tetapi

22
bila hasil uji positif dan obat memang harus diberikan, dipertimbangkan cara
pemberian obat secara desensitisasi.
Pasien yang mempunyai riwayat penyakit alergi tipe I (atopi) lebih besar
3 sampai 10 kali kemungkinannya untuk mengalami reaksi anafilaksis. Sedapat
mungkin obat sebaiknya diberikan secara oral, karena selain jarang
menimbulkan reaksi alergi, juga paling kecil menimbulkan sensitisasi. Tetapi
bila pasien sudah jelas mempunyai riwayat alergi obat, tentu obat tadi tidak
boleh diberikan. Demikian pula pasien yang pernah mendapat reaksi
anafilaktik.
Di samping kewaspadaan untuk mengenal tanda dini reaksi anafilaktik,
sebelum menyuntik sebaiknya disediakan terlebih dahulu obat-obat untuk
menanggulangi keadaan darurat alergik. Obat-obat tersebut adalah adrenalin,
antihistamin, kortikosteroid, aminofilin, dan diazepam yang semuanya dalam
bentuk suntikan. Begitu pula setelah disuntik, pasien diminta menunggu paling
tidak 20 menit sebelum diperbolehkan pulang. Selain perawat dan petugas
kesehatan yang membantu dokter, pasien juga sebaiknya diberitahu mengenai
tanda-tanda dini reaksi anafilaktik.

23
Gambar 1. Skema alur penatalaksanaan ADR

24
25
BAB III

PENUTUP

26
DAFTAR PUSTAKA

1
Vervloet C, Durham S. ABC of allergies Adverse reactions to drugs. BMJ
1998;316:1511-4.
2
Gruchalla R. Drug allergy. J Allergy Clin Immunol 2003;111 Suppl 5:48-59.
3
Gruchalla R. Understanding drug allergies. J Allergy Clin Immunol 2000;105
Suppl 6:37-44.
4
WHO. International drug monitoring: the role of national centres. Tech Rep Ser
WHO 1972, no 498.
5
Harbanu H Mariyono, Ketut Suryana. Adverse drug reaction . J Peny Dalam,
Volume 9 Nomor 2 Mei 2008
6
Laurence D, Carpenter J. A dictionary of pharmacology and allied topics, 2nd
edn. Amsterdam: Elsevier, 1998: 8–9
7
Edwards IR1, Aronson JK. Adverse drug reactions: definitions, diagnosis, and
management. Lancet. 2000 Oct 7;356(9237):1255-9.
8
Uppsala Monitoring Centre - WHO Collaborating Centre for International Drug
Monitoring. Safety Monitoring of Medicinal Products. Guidelines for
setting up and running a Pharmacovigilance Centre. EQUUS, London,
2000.
9
Adkinson F, Essayan D, Gruchalla R, Haggerty H, Kawabata J, Sandler D, et al.
Task force report: future research needs For the prevention and man-
agement of Immune-mediated drug hypersensitiv- ity Reactions The
health and environmental sci- ences institute task force. J allergy clin
immunol 2002;109 Suppl 4:61-78.
10
Aberer W, Bircher A, Romano A, Blanca M, Campi P,Fernandez J, et al. Drug
provocation testing in the diagnosis of drug hypersensitivity reactions:
general considerations. Allergy 2003;58: 854-63.
11
Ditto AM. Drug allergy. In: Grammer LC, Greenberger PA, eds. Patterson's
Allergic diseases. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2002:295.

27
12
Torpet LA, Kragelund C, Reibel J, Nauntofte B. Oral adverse drug reactions to
cardiovascular drugs. Crit Rev Oral Biol Med 2004;15(1):28-46.
13
Weinshilboum R. Inheritance and drug response. N Engl J Med 2004;348;6.
14
Naranjo CA, Busto U, Sellers EM, et al. A method for estimating the probability
of adverse drug re- actions. Clin Pharmacol Ther 1981;30:239-45.
15
Naisbitt D J, Farrell J, Wong G, Dipta J H , Dodd C, Hopkins J, et al.
Characterization of drug- specific t-cells in lamotrigine
hypersensitivity, J Allergy Clin immunol 2003;111:1393-403.
16
Bush WH, Swanson DP. Acute reactions to intravas- cular contrast media: types,
risk factors, recognition, and specific treatment. AJR 1991;157:1153-
61.
17
Sicherer SH, Leung DM. Advances in allergic skin disease, anaphylaxis, and
hypersensitivity reactions to foods, drugs, and insects. J Allergy Clin
Immunol 2006;118:170-7.
18
Sicherer SH, Leung DM. Advances in allergic skin disease, anaphylaxis, and
hypersensitivity reactions to foods, drugs, and insects. J Allergy Clin
Immunol 2005;116:153-63.
19
Papastavros T, Dolovich LR, Holbrook A, Whiehead L, Loeb M. Adverse
events associated with pyrazinamide and levofloxacin in the treat- ment
of latent multidrug-resistant tuberculosis. CMAJ 2002;23:167.1.
20
Gruchalla, RS. Clinical assessment of drug induced disease. Lancet 2000 ; 356;
1506 – 1511
21
Knowles SR, et al. Idiosyncratic drug reactions : the reactive metabolite
syndrome. Lancet 2000; 356; 1587-1591
22
Merk HF. Clinical aspects; drug allergy. Dalam : Brujinzel CAFM, Knol EF.
Immunology and Drug Therapy of Allergic Skin Diseases. Birkhauser
Verlag Basel/Switzerland ; 2000:157-172
23
Baskoro A, Konthen PG, Effendi C, Soegiarto G (2007). Alergi makanan. In:
Tjokoprawiro A, Setiawan PB, Santoso D, Soegiarto G (eds). Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Surabaya: Airlangga University Press, pp: 21-28.

28
24
Rengganis I, Yunihastuti E (2010). Alergi makanan. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid I edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI, pp: 263-266.
25
Christanto A, Oedono T (2011). Manifestasi alergi makanan pada telinga,
hidung, dan tenggorok. CDK, 38 (6): 410-416.
26
Candra Y, Setiarini A, Rengganis I (2011). Gambaran sensitivitas terhadap
allergen makanan. MAKARA, 15(1): 44-50.
27
Yohmi E, Boediarso AD, Hegar B, Dwipurwantoro PG, Firmansyah A (2011).
Intoleransi laktosa pada anak dengan nyeri perut berulang. Sari pediatri,
2(4): 198-204.
28
Egayanti Y (2008). Kenali intoleransi laktosa lebih lanjut. Info POM, 9(1): 1-3
29
Boyce JA, dkk (2010). Guideline for the diagnosis and management for fodd
allergy in the United States. NIAID. US Departement of Health and
Human Services. 10-14

29

Anda mungkin juga menyukai