A. Latar Belakang
Berat dan perjalanan asma sulit diramalkan. Sebagian besar anak yang
menderita sebagian kecil akan menderita asma berat yang sulit diobati, biasanya
lebih bersifat menahun daripada musiman. Yang menyebabkan ketidakberdayaan
dan secara nyata mempengaruhi hari-hari sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi
sehari-hari. Sungguh merupakan hal yang tidak menyenangkan apabila dalam
masa-masa bermain dan beraktivitas, anak-anak terganggu karena penyakit yang
diderita. Hal ini tentunya membutuhkan perhatian khusus baik berupa perawatan,
pengobatan dan pencegahan.
Oleh karena itu penyakit asma memerlukan penanganan khusus terlebih lagi
pada anak-anak yang selalu diliputi keceriaan dalam hari-hari dalam bermain dan
beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tenaga kesehatan dari
berbagai bidang multidisipliner. Dalam pelayanan keperawatan, perawat mempunyai
peranan sebagai tenaga profesional yaitu bertindak memberikan asuhan
keperawatan, penyuluhan kesehatan kepada orang tua, memberikan informasi
tentang pengertian, tanda dan gejala, serta pencegahan secara mandiri maupun
secara kolaboratif dengan berbagai pihak.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini agar kita sebagai perawat profesional
mampu:
C. Metode Penulisan
1. Studi Kepustakaan
2. Studi Kasus
D. Sistematika Penulisan
1. Definisi
Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan bronkus oleh
berbagai macam pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan luar saluran nafas bagian bawah
yang dapat berubah-ubah derajatnya secara spontan atau dengan pengobatan (Buku Ilmu Kesehatan
Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI).
2. Anatomi Fisiologi
Sistem pernafasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara yang mengantarkan udara luas
agar bersentuhan dengan membran-membran kapiler alveoli paru. Saluran penghantar udara hingga
mencapai paru-paru adalah hidung, pharing, laring, bronkus dan bronkioulus yang dilapisi oleh
membran mukosa bersilia.
a. Hidung
Ketika udara masuk ke rongga hidung udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan.
Partikel-partikel yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang terdapat di dalam hidung, sedangkan
partikel halus akan dijerat dalam lapisan mukosa, gerakan silia mendorong lapisan mukus ke
posterior di dalam rongga hidung dan ke superior di dalam saluran pernafasan bagian bawah.
b. Pharing
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Terdapat di bawah
dasar tengkorak, di belakang rongga hidung dan mulut setelah depan ruas tulang leher.
Hubungan pharing dengan rongga-rongga lain: ke atas berhubungan dengan rongga hidung dengan
perantaraan lubang yang bernama koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut. Tempat
hubungan ini bernama istmus fausium lubang esophagus.
Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa tempat terdapat folikel getah bening.
Perkumpulan getah bening dinamakan adenoid. Di sebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan
kanan dari tekak. Di sebelah belakang terdapat epiglotis (empang tengkorak) yang berfungsi menutup
laring pada waktu menelan makanan.
Rongga tekak dibagi menjadi 3 bagian:
Bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana disebut nasofaring.
Bagian tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium disebut orofaring.
c. Laring
Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot pita suara. Laring
dianggap berhubungan dengan fibrasi tetapi fungsinya sebagai organ pelindung jauh lebih penting.
Pada waktu menelan laring akan bergerak ke atas glotis menutup.
Alat ini berperan untuk membimbing makanan dan cairan masuk ke dalam esophagus sehingga kalau
ada benda asing masuk sampai di luar glotis maka laring mempunyai fungsi batuk yang membantu
benda dan sekret dari saluran inspirasi bagian bawah.
d. Trakea
Trakea disokong oleh cincin tulang yang fungsinya untuk mempertahankan oagar trakea tatap
terbuka. Trakea dilapisi oleh lendir yang terdiri atas epitelium bersilia, jurusan silia ini bergerak jalan
ke atas ke arah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir halus yang turut masuk bersama
dengan pernafasan dapat dikeluarkan.
e. Bronkus
Dari trakea udara masuk ke dalam bronkus. Bronkus memiliki percabangan yaitu bronkus utama kiri
dan kanan yang dikenal sebagai karina. Karina memiliki syaraf yang menyebabkan bronkospasme
dan batuk yang kuat jika dirangsang. Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris, bronkus kanan
lebih pendek dan lebih besar yang arahnya hampir vertikal, sebalinya bronkus ini lebih panjang dan
lebih sempit. Cabang utama bronkus bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan kemudian
segmentalis. Percabangan ini berjalan terus dan menjadi bronkiolus terminalis yaitu saluran udara
terkecil yang tidak mengandung alveoli.
f. Bronkiolus
Saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus terminalis merupakan saluran penghantar udara
ke tempat pertukaran gas paru-paru setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit
fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorik, duktus
alveolaris, sakus alveolaris terminalis, alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh dinding
septus atau septum.
Alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan yang dapat mengurangi tegangan
pertukaran dalam mengurangi resistensi pengembangan pada waktu inspirasi dan mencegah kolaps
alveolus pada ekspirasi.
Peredaran Darah Paru-Paru
Paru-paru mendapat dua sumber suplai darah yaitu dari arteri bronkialis (berasal dari aorta
thorakhalis dan berjalan sepanjang dinding posterior bronkus) dan arteri pulmonalis. Sirkulasi
bronchial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi sitemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan
metabolisme paru.
Vena bronkialis besar bermuara pada vena cava superior dan mengembalikan darah ke
atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan mengalirkan darah ke vena pulmonalis. Arteri
pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan jantung mengalirkan darah vena campuran ke paru-
paru. Di paru-paru terjadi pertukaran gas antara alveoli dan darah, darah yang teroksigenasi
dikembalikan ke ventrikel kiri jantung melalui vena pulmonalis, yang selanjutnya membagikannya
melalui sirkulasi sistemik ke seluruh tubuh.
Difusi : pertukaran oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan kapiler paru.
3. Etiologi
Faktor Ekstrinsik
Ditemukan pada sejumlah kecil pasien dewasa dan disebabkan oleh alergen yang diketahui karena
kepekaan individu, biasanya protein, dalam bentuk serbuk sari yang hidup, bulu halus binatang, kain
pembalut atau yang lebih jarang terhadap makanan seperti susu atau coklat, polusi.
Faktor Intrinsik
Faktor ini sering tidak ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor non spefisik seperti
flu biasa, latihan fisik atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma instrinsik ini lebih biasanya
karena faktor keturunan dan juga sering timbul sesudah usia 40 tahun. Dengan serangan yang timbul
sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan trakeobronchial.
4. Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus revesible yang disebabkan oleh satu atau lebih dari
faktor berikut ini.
Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum yang kental, banyak dihasilkan
dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan udara terperangkap di dalam paru.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan
ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi menyebabkan pelepasan
produk sel-sel mast (mediator) seperti: histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari
suptamin yang bereaksi lambat.
Pelepasan mediator ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas menyebabkan
broncho spasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus otot bronchial diatur oleh impuls syaraf
pagal melalui sistem para simpatis. Pada asthma idiopatik/non alergi, ketika ujung syaraf pada jalan
nafas dirangsang oleh faktor seperti: infeksi, latihan, udara dingin, merokok, emosi dan polutan.
Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan mengadakan
hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O 2. Hiperventilasi ini akan menyebabkan pengeluaran
CO2 berlebihan dan selanjutnya mengakibatkan tekanan CO 2 darah arteri (pa CO2) menurun
sehingga terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat). Bila serangan asma lebih berat lagi,
banyak alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak ikut sama sekali dalam pertukaran gas. Sekarang
ventilasi tidak mencukupi lagi, hipoksemia bertambah berat, kerja otot-otot pernafasan bertambah
berat dan produksi CO2 yang meningkat disertai ventilasi alveolar yang menurun menyebabkan
retensi CO2 dalam darah (Hypercapnia) dan terjadi asidosis respiratori (pH menurun). Stadium ini kita
kenal dengan gagal nafas.
Hipotermi yang berlangsung lama akan menyebabkan asidosis metabolik dan konstruksi
jaringan pembuluh darah paru dan selanjutnya menyebabkan sunting peredaran darah ke pembuluh
darah yang lebih besar tanpa melalui unit-unit pertukaran gas yang baik. Sunting ini juga
mengakibatkan hipercapni sehingga akan memperburuk keadaan.
5. Tanda dan Gejala
Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengie (wheezing) dan sebagian
penderita disertai nyeri dada). Gejala-gejala tersebut tidak selalu terdapat bersama-sama, sehingga
ada beberapa tingkat penderita asma sebagai berikut:
Tingkat I penderita asma secara klinis normal. Gejala asma timbul bila ada faktor pencetus.
Tingkat II penderita asma tanpa keluhan dan tanpa kelainan pada pemeriksaan fisik tetapi fungsi
paru menunjukan tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
Tingkat III penderita asma tanpa golongan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun fungsi paru
menunjukan obstruksi jalan nafas.
Tingkat IV penderita asma yang paling sering dijumpai mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas
berbunyi.
Pada pemeriksaan fisik maupun spirometri akan ditemukan obstruksi jalan nafas. Pada serangan
asma yang berat gejala yang timbul antara lain:
b. Cyanosis
c. Silent chest
d. Gangguan kesadaran
f. Thacycardi
Tingkat V status asmatikus yaitu serangan asma akut yang berat bersifat refrater sementara
terhadap pengobatan yang langsung dipakai.
6. Test Diagnostik
Tes kulit (+) reaksi lebih hebat, mengidentifikasi alergi yang spesifik.
7. Penatalaksanaan Medik
1. Abenis (Beta)
Medikasi awal untuk mendilatasi otot-otot polos bronchial, meningkatkan gerakan siliarism,
menurunkan mediator kimiawi anafilaktik dan menguatkan efek bronkodilatasi dari kortikosteroid.
2. Methil Santik
Mempunyai efek bronkodilator, merileksasikan otot-otot polos bronkus, meningkatkan gerakan mukus,
dan meningkatkan kontraksi diafragma.
3. Anti Cholinergik
Diberikan melalui inhalasi bermanfaat terhadap asmatik yang bukan kandidat untuk antibodi dan
methil santin karena penyakit jantung.
Contoh: Atrofin
4. Kortikosteroid
Diberikan secara IV, oral dan inhalasi. Mekanisme kerjanya untuk mengurangi inflamasi dan
bronkokonstriktor.
Contoh: natrium bromosin adalah bagian integral dari pengobatan asma yang berfungsi mencegah
pelepasan mediator kimiawi anafilaktik.
8. Komplikasi
1. Pneumothorax
3. Atelektasis
5. Alergi
6. Gagal nafas
7. Bronchitus
8. Fraktur iga.
1. Pengkajian
- Klien kemungkinan dapat mengungkapkan strategi mengatasi serangan, tetapi tidak mampu
mengatasi jika serangan datang.
- Menurunnya libido
- Mengingkari
- Marah
- Putus asa
2. Diagosa Keperawatan
c. Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri b.d sesak dan kelemahan fisik.
d. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d pemasukan yang tidak adekuat:
mual, muntah dan tidak nafsu makan.
f. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi paru selama serangan akut.
g. Resiko tinggi infeksi b.d tidak adekuatnya pertahan utama (penurunan kerja silia dan menetapnya
sekret).
3. Rencana Tindakan
Intervensi:
1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronchi.
R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak
dimanifestasikan adanya bunyi nafas adventisius misalnya: penyebaran, krekels basah (bronkitis),
bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema) atau tidak adanya bunyi nafas (asma berat).
R/ Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama
stress/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang
dibanding inspirasi.
3. Catat adanya derajat dyspnea misalnya keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas, distress pernafasan,
penggunaan otot bantu.
R/ Disfungsi pernafasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses kronis selain proses akut
yang menimbulkan perawatan di rumah sakit. Misalnya infeksi, reaksi alergi.
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk pada
sandaran tempat tidur.
R/ Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal, dll membantu menurunkan kelemahan otot dan dapat
sebagai alat ekspansi dada.
5. Pertahankan polusi lingkungan minimum misalnya: debu, asap dan bulu bantal yang berhubungan
dengan kondisi individu.
R/ Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang dapat, mentriger episode akut.
R/ Memberikan pasien-pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dyspnea dan menurunkan
jebakan udara.
7. Observasi karakteristik batuk misalnya menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk
memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit akut atau kelemahan.
Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah setelah perkusi dada.
HYD: - Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan dalam rentang normal dan
bebas gejala distress pernafasan.
Intervensi:
R/ Kemungkinan cyanosis perifer terlihat pada kuku, bibir dan daun telinga.
R/ Hipoxemia biasanya terjadi pada saat akut keadaan lanjut pCO 2 akan meningkat.
4. Monitor tingkat kesadaran, kelainan sakit kepala dan gangguan penglihatan.
c. Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri b.d sesak dan kelemahan fisik.
Intervensi:
d. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tidur b.d pemasukan yang tidak adekuat akibat
dari mual, muntah, tidak nafsu makan.
Intervensi:
R/ Klien dengan distress pernafasan sering anoreksia dikarenakan dyspnea, produksi sputum dan obat-
obatan.
R/ Penurunan bising usus menunjukan penurunan motilitas gaster dan konstipasi yang berhubungan
dengan penurunan aktivitas.
4. Hindarkan makanan yang menghasilkan sisa gas dan karbonat.
R/ Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk
meningkatkan masukan kalori total.
Intervensi:
R/ Untuk menentukan intervensi selanjutnya dan membantu pasien meningkatkan beberapa perasaan
kontrol emosi.
R/ Memberikan pasien tindakan mengontrol untuk menurunkan ansietas dan ketegangan otot.
3. Beri dukungan emosional, tetap berada di dekat pasien selama serangan akut, antisipasi kebutuhan
pasien, berikan keyakinan lingkungan.
R/ Memberikan pasien untuk tindakan mengontrol untuk menurunkan ansietas dan ketegangan otot.
6. Pertahankan periode istirahat yang telah direncanakan dan kegiatan sehari-hari yang ringan dan
sederhana, jangan anjurkan berbicara bila sedang dyspnea berat, batasi pengunjung bila perlu dan
berikan dorongan untuk melakukan periode istirahat dengan sering.
- Gas-gas darah arteri dalam batasan yang dapat diterima oleh pasien.
Intervensi:
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada serta catat upaya pernafasan termasuk
penggunaan otot bantu atau pelebaran nasal.
R/ Kecepatan biasanya meningkatkan dyspnea dan terjadi peningkatan kerja nafas, kedalaman
pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas.
2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas adventisius seperti krekels, mengi, gesekan
pleural.
R/ Membantu mengeluarkan sputum dimana dapat mengganggu ventilasi dan ketidaknyamanan upaya
bernafas.
R/ Mempercepat penyembuhan.
g. Resiko tinggi infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya
sekret.
HYD: Tidak terjadi infeksi ditandai dengan tidak ditemukannya kemerahan, panas dan pembengkakan.
Intervensi:
1. Observasi TTV.
R/ Menurunkan konsumsi atasu kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan pasien
terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
R/ Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
HYD: Pasien mendemonstrasikan pengetahuan tentang penatalaksanaan perawatan kesehatan seperti yang
dijelaskan tentang prinsip perawatan diri yang berhubungan dengan proses penyakit.
Intervensi:
5. Jelaskan pentingnya diit dan cairan: makan seimbang dan bergizi, hindari penambah berat badan
yang berlebihan, perbanyak cairan 2000-3000 ml/hari kecuali ada kontraindikasi.
6. Diskusikan mengenai obat, nama, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek samping serta pentingnya
minum obat sesuai pesanan.
R/ Meningkatkan pengetahuan pasien dan pasien dapat kooperatif dalam proses penyembuhannya.
4. Discharge Planning
1. Pasien dengan asma kambuhan harus menjalani pemeriksaan, mendeteksi substansi yang
mencetuskan terjadinya serangan.
2. Menghindari agen penyebab serangan antara lain bantal, kasur (kapas), pakaian jenis tertentu,
hewan peliharaan, kuda, sabun, makanan tertentu, jamur dan serbuk sari.
3. Menganjurkan pasien untuk segera melaporkan tanda-tanda dan gejala yang menyulitkan seperti
bangun saat malam hari dengan serangan akut atau mengalami infeksi pernafasan.
4. Hidrasi adekuat harus dipertahankan untuk menjaga sekresi agar tidak mengental.
5. Pasien harus diingatkan bahan infeksi harus dihindari karena infeksi dapat mencetuskan serangan.
DP kecemasan * Infeksi
* Alergi
* Latihan
* Iritasi
Kebutuhan O2
Hiperventilasi paru
Alkalosis respiratorik
Produksi mukus
Hipercapnia
Hipoxemia
Asidosis metabolik
Meninggal
BAB III
PENGAMATAN KASUS
Anak R berusia 7 tahun, agama Islam, bersuku Ambon, pasien adalah anak ke 3 (bungsu)
dalam keluarganya. Masuk ke RS Sumber Waras pukul 23.30 dengan keluhan sesak nafas sejak
pukul 22.00. Anak masuk melalui UGD dengan diagnosa medik saat masuk adalah Asma Bronchiale.
Dalam pengamatan langsung, orang tua anak menceritakan riwayat penyakit anaknya. Orang
tua mengatakan dalam keluarga ada riwayat penyakit asma. Nenek dan kakaknya (anak ke-1)
menderita penyakit yang sama. Orang tua mengatakan anak pernah dirawat dengan penyakit yang
sama saat anak usia 4 tahun.
Orang tua mengatakan pada tanggal 12 November anak sehabis pulang dari sekolah
melakukan aktivitas seperti biasanya yaitu bermain dengan teman-teman di sekitar pukul 21.00 anak
dengan kakaknya sedang latihan nyanyi bersama. Pada pukul 22.00 anak mengalami sesak nafas
dan keringat dingin, batuk hingga dibawa ke UGD, anak masih sesak dan sulit bernafas. Di UGD
anak disarankan dokter untuk dirawat.
Saat pengkajian anak sedang dirawat pada hari pertama di unit RN I, kamar 119 Bed 2.
Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, anak mengatakan masih sesak
nafas. Terpasang infus dextrose 5% in ¼ salin 1500 cc/24 jam (15-16 tetes/menit) di tangan kanan
dan terapi oksigen 2 lt/menit. Observasi tanda-tanda vital TD: 110/70 mmHg, N: 120 x/menit, P: 30
x/menit dengan bunyi nafas tambahan wheezing dan ronchi di paru kiri dan S: 36,8 oC. Hasil foto
thorax tanggal 13 November 2002 adalah asma bronchiale. Hasil laboratorium tanggal 13
November ditemukan Hb: 11,7 g/dl, leukosit 13.600 ul, LED: 20 mm/jam, eosinofil dalam sediaan
hapus 4%.
Adapun rencana perawatan dan rencanan medik adalah anak bedrest, kebutuhan anak
dibantu penuh. Therapi medik yang didapat Aerosol 3x sehari, Solucorterf 3x50 mg, Aminophylin 72
mg, Bisolvon 3x1 sendok teh, Cefat 3x250 mg.
Dari analisa dan pengamatan kasus di atas, masalah yang menjadi prioritas adalah
ketidakefektifan jalan nafas, gangguan pola nafas, intoleransi aktivitas.
Setelah membandingkan antara teori yang telah dipelajari dengan kasus yang diamati dapat
ditemukan adanya persamaan dan perbedaan antara teori dan kasus yang sedang diamati
A. Pengkajian
Dari hasil pengkajian penulis mendapatkan kesamaan tanda dan gejala seperti: dyspnea,
wheezing dan ronchi, di paru kiri, batuk dan badan lemas. Yang tidak ditemui pada pasien adalah
nyeri dada, cyanosis, serta mual dan muntah. Menurut analisa penulis tanda dan gejala di atas tidak
ditemukan karena pasien sudah mendapat terapi oksigen 2 l/menit sejak masuk ke RS Sumber
Waras (di UGD) serta anak yang mengalami tanda dan gejala pada stadium sedang dan segera
dibawa ke RS untuk mendapatkan pengobatan, sehingga tanda seperti tersebut di atas tidak
ditemukan.
Pada etiologi disebabkan oleh berbagai macam faktor yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik,
setelah penulis menganalisa pada pasien disebabkan oleh faktor intrinsik dimana anak mendapat
penyakit asma bisa disebabkan karena dalam keluarga ada riwayat penyakit tersebut (nenek dan
kakak pertamanya). Di samping itu faktor pencetus yang menyebabkan anak terserang asma karena
beraktivitas/latihan fisik yaitu bermain-main dengan teman-temannya. Pada pasien dilakukan
pemeriksaan foto thorax, darah lengkap dan sediaan hapus. Therapi yang diberikan adalah infus
Dextrosa 5% in ¼ salin 1500 cc/24 jam (15-16 tts/menit) ditangan kanan dan diet lunak.
B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data yang ditemukan pada pasien maka diagnosa keperawatan yang diangkat
adalah: ketidakefektifan jalan nafas, diagnosa ini penulis angkat sebagai diagnosa primer karena
pada saat pengkajian pasien mengeluh masih sesak, batuk dan pernafasan 32 x/menit.
Gangguan pola pernafasan, diagnosa keperawatan ini penulis angkat sebagai diagnosa
kedua karena pasien mengeluh masih sesak untuk bernafas dan mengatakan lebih enak bernafas
dalam posisi duduk. Pernafasan pasien 32 x/menit. Intoleransi aktivitas dalam
melakukan perawatan diri berhubungan dengan sesak nafas dan kelemahan fisik, diagnosa ini
diangkat karena pada saat pengkajian pasien dibantu penuh oleh perawat dan orang tua dalam
pemenuhan kebutuhan dasar anak karena anak tampak lemah.
C. Perencanaan
Perencanaan disusun bersama pasien dan keluarga disesuaikan dengan gangguan yang
terjadi. Perencanaan lebih ditekankan mengobservasi tanda-tanda vital terutama pernafasan.
Membantu anak mendapatkan posisi tidur yang nyaman guna lebih meningkatkan pengembangan
paru, melatih nafas dan batuk efektif, membantu anak dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, dan
memberi penyuluhan tentang pentingnya kesehatan, serta memberikan informasi kepada keluarga
guna pencegahan terhadap serangan asma.
D. Implementasi
E. Evaluasi
KESIMPULAN
Asma Bronchiale adalah suatu penyakit serius yang biasa dialami oleh anak-anak pada usia
rata-rata 5 tahun pada tahun pertama. Berat dan perjalanan asma sulit diramalkan. Karena kadang-
kadang hanya terserang ringan sampai sedang.
Penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor terutama karena mempunyai
riwayat genetik/keturunan yang menderita penyakit ini. Penyakit ini dapat dicegah dengan
menganjurkan pasien untuk banyak istirahat (mengurangi aktivitas-aktivitas yang cukup berat),
mengkonsumsi makanan yang tidak menimbulkan alergi, mengurangi stres emosional, serta
menghindari polusi udara seerti asap rokok, dll. Apabila penyakit ini tidak dicegah maka akan
menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut.
Penyakit asma dapat ditangani dengan baik, tergantung dari motivasi anak sendiri dan suport
dari orang tua serta keluarga. Peran perawat sangat dibutuhkan dalam memberikan penyuluhan akan
penyebabnya, cara penanggulangannya dan komplikasinya untuk menambah pengetahuan anak
serta terutama pada orang tua yang mengasuh anak.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth’s. Text Book Medical Surgical Nursing. Buku I. Philadelphia: JB Lippincott Company,
2000.
Doengoes Marilyn. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999.
Nancy M. Holloway. Medical Surgical Nursing Care Plans. Pensylvania: Springhouse Corporation, 1988).
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Bagian 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1988.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Jakarta, 1985.
Sylvia Anderson. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Edisi IV. Jakarta: EGC, 1994.