Anda di halaman 1dari 38

PAJAK BUMI

DAN BANGUNAN

DASAR HUKUM
Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-undang No. 12
tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1994.

ASAS
Asas Pajak Bumi dan Bangunan ;
1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
2. Adanya kepastian hukum
3. Mudah dimengerti dan adil
4. Menghindari paja berganda

PENGERTIAN - PENGERTIAN
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. permukaan
bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambah,
perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia.

Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap
pada tanah dan atau perairan.

Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :


a. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan kompleks bangunan
b. Jalan tol
c. Kolam renang
d. pagar mewah
e. tempat olahraga
f. galangan kapal, dermaga
g. Taman mewah
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas pipa minyak.
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh
wajib pajak untuk melaporkan data objek menurut ketentuan undang-undang
pajak.

Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan


oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang
kepada wajib pajak. Direktorat Jenderal pajak meberbitkan SPPT (Sura7t
pemberitahuan Pajak Terutang) berdasarkan SPOP (Surat Pemberitahuan Objek
Pajak) wajib pajak.

NILAI JUAL OBJEK PAJAK


Nilai jual objek pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual-beli yang secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual
beli, nilai jual objek pajak ditentukan melalaui perbandingan harga dengan objek
lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jula objek pajak pengganti.
Yang dimaksud dengan :
 Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis adalah suatu
pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara
membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis, yang letaknya
berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
 Nilai perolehan baru adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual
suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan yang
dikurangi dengan penysutuan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
 Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan / metode penentuan nilai jual
suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak
tersebut.
Besarnya NJOP ditentukan berdasarkan kalsifikasi :
1. Objek Pajak Sektor Pedesaan dan Perkotaan
2. Objek Pajak Sektor Perkebunan
3. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan, Hak
Pengusahaan hasil hutam, Izin Pemanfaatan Kayu serta izin sah lainnya
selain Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Indsutri.
4. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri
5. Objek Pajak Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
6. Objek Pajak Sektor Pertambangan Energi Panas Bumi
7. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi
Panas Bumi dan Galian C
8. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Galian C
9. Objek Pajak Sektor pertambangan yang dikelola berdasarkan Kontrak karya
atau Kontrak kerjasama
10. Objek Pajak usaha bidaing perikanan laut
11. Objek pajak usaha bidang perikanan darat
12. Objek pajaka yang bersifat khusus

OBJEK PAJAK
1. yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan
2. yang dimaksud klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi
dan bangun menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta
untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang.
Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai
berikut :
a. Letak
b. peruntukan
c. permanfaatan
d. kondisi lingkungan dan lain-lain
Dalam menentukan klasifikasi dengan diperhatikan faktor-faktor sebagai
berikut :
a. Bahan yang digunakan
b. Rekayasa
c. Letak
d. Kondisi lingkungan dan lain-lain
3. Pengecualian Objek Pajak
Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek
pajak yang;
a. Digunakan semata-mata untuk melyani kepentingan umum dan tidak untuk
mencari keuntungan, antara lain :
1) dibidang ibadah, contoh : masjid, gereja, vihara
2) di bidang kesehatan, contoh : rumah sakit
3) di bidang pendidikan, contoh : madrasah, pesantren
4) di bidang sosial contoh : panti asuhan
5) dibidang kebudayaan nasional contoh : museum, candi
b. Digunakan untuk keburuan, peninggalan purbakala atau yang sejenis
dengan itu
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
tanah penggembalan yang dikuasai oleh desa
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.
4. Objek Pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintah
penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Yang dimasksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang
dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah
dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah
pajak negara yang sebagian besar penerimaanya meupakan pendapatan
daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasiliyas yang juga
dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu
wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas melalaui
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Besarnya nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) ditetapkan
untuk masing-masing Kabupaten/Kota dengan besar setinggi-tingginya Rp.
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Apabila
seorang wajib pajak mempunyai beberapa objek pajak, yang diberikan
NJOPTKP hanya salah satu objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan
Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri
Keuangan menetapkan besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangkan
pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.
Untuk lebih jelasnya diberikan contoh berikut ini :
a. Seorang Wajib Pajak mempunyai Ojek Pajak berupa bumi dengan nilai
Rp. 4.000.000,00 dan besarnya NJOPTKP untuk Objek Pajak wilayah
tersebut adalah Rp. 6.000.000,00. Karena NJOP berada di bawah batas
NJOPTKP (Rp. 6.000.000,00), maka Objek Pajak tersebut tidak
dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
b. Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dan
bangunan di Desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut :
Desa A :
NJOP Bumi Rp. 13.000.000,00
NJOP Bangunan 9.000.000,00
Desa B :
NJOP Bumi Rp. 8.000.000,00
NJOP Bangunan 10.000.000,00
Dan NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp.
10.000.000,00.
Dengan data tersebut di atas, maka NJOP untuk perhitungan PBB-nya
sebagai berikut :
Langkah Pertama adalah mencari NJOP dari dua desa tersebut yang
mempunyai nilai paling besar, yaitu desa A. Maka NJOP untuk
perhitungan PBB adalah :
NJOP Bumi Rp. 13.000.000,00
NJOP Bangunan 9.000.000,00
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Rp. 22.000.000,00
NJOPTK 10.000.000,00
NJOP untuk penghitungan PBB Rp. 12.000.000,00
Kemudian untuk desa B :
NJOP untuk penghitungan PBB :
NJOP Bumi Rp. 8.000.000,00
NJOP Bangunan 10.000.000,00
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Rp. 18.000.000,00
NJOPTKP 0,00
NJOP untuk penghitungan PBB Rp. 18.000.000,00

SUBJEK PAJAK
1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi,
dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti
pemilikan hak.
2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. 1 yang dikenakan kewajiban
membayar pajak menjadi wajib pajak.
3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya,
Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana
dimaksud dalam no.1 sebagai wajib pajak.
Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk
menentukan subjek wajib pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas wajib
pajaknya.
Untuk lebih jelas diberikan contoh berikut ini :
a. Subjek Pajak X memanfaatkan atau menggunakan bumi dan atau
bangunan milik Y karena sesuatu hak berdasarkan undang-undang atau
bukan karena perjanjian, maka X yang memanfaatkan/menggunakan
bumi dan atau bangunan ditetapkan sebagai wajib pajak.
b. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan,
maka orang atau badan yang memanfaatkan/menggunakan objek pajak
tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.
c. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek
pajak, sedang untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada
orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat
ditunjuk sebagai wajib pajak. Penunjukan sebagai wajib pajak oleh
Dirjen Pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no. 3 dapat
memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak bahwa
ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud.
5. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam no. 4 disetujui, maka
Direktur Jendral Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak
sebagaimana dalam no. 3 dalam jangka satu bulan sejak diterimanya surat
keterangan dimaksud.
6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jendral
Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-
alasannya.
7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan
sebagaimana dalam no. 4 Direktur Jendral Pajak tidak memberikan
keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.
Apabila Direktur Jendral Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu 1
(satu) bulan sejak tanggal diterimana keterangan dari wajib pajak, maka
ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak
mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak.

TARIF PAJAK
Tarif pajak yang dikenakan objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima per sepuluh
persen).
DASAR PENGENAAN PAJAK
1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
2. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri
Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota
(Pemerintah Daerah) setempat.
3. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20%
dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
4. Besarnya persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan
memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3 (tiga)
tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan
pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai
jual ditetapkan setahun sekali.
Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral
Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat
Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan
asas self assessment. Yang dimaksud (assessmen value) adalah nilai jual yang
diperguankan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu
dari nilai jual sebenarnya.
Contoh :
1. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp. 2.000.000,00. Persentase misalnya
20%, maka besarnya = 20% x Rp. 2.000.000,00 = Rp. 400.000,00.
2. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp. 2.000.000,00. Persentase misalnya
40%, maka besarnya 40% x Rp. 2.000.000,00 = Rp. 800.000.000,00.
Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani wajib
pajak di daerah pedesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan,
khususnya bagi Pemerintah Derah, maka telah ditetapkan besarnya persentase
untuk menentukan besarnya NJKP, yaitu :
1. Sebesar 40% (empat puluh persen) dari NJOP untuk :
a. Objek Pajak Perkebunan
b. Objek Pajak Kehutanan
c. Objek Pajak lainnya, yang Wajib Pajaknya perorangan dengan NJOP atas
bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
2. Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk :
a. Objek Pajak Pertambangan
b. Objek Pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

CARA MENGHITUNG PAJAK


Besarnya pajak terutang dihitung denganc ara mengkalikan tarif pajak dengan
NJKP.

Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak x NJKP


= 0,5% x [Persentase NJKP x (NJOP-NJOPTKP)]
Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya Rp.
20.000.000,00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp. 12.000.000,00, maka
besarnya pajak yang terutang adalah :
= 0,5% x 20% x (Rp. 20.000.000,00 – Rp. 12.000.000,00)
= Rp. 8.000,00

TAHUN PAJAK, SAAT, DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK


TERUTANG
1. Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwin. Jangka waktu satu
tahun takwin adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
2. Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek
pajak pada tanggal 1 Januari.
Contoh :
a. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2010 berupa tanah dan bangunan.
Pada tanggal 10 Januari 2010 bangunannya terbakar, maka pajak yang
terutang tetap berdasarkan keadaan objek pada tanggal 1 Januari 2010,
yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut terbakar.
b. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2010 berupa sebidang tanah tanpa
bangunan di atasnya. Pada tanggal 20 Agustus 2010 dilakukan pendataan,
ternyata di atas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak
yang terutang untuk tahun 2010 tetap dikenakan berdasarkan keadaan
pada tanggal 1 Januari 2010. Sedangkan bangunannya baru akan
dikenakan pada tahun 2011.
3. Tempat pajak yang terutang.
a. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b. Untuk derah lainnya, di wilayah Kabupaten atau Kota.
Tempat pajak yang terutang untuk Batam, di wilayah Provinsi Riau.

SURAT PEMBERITAHUAN OBJEK PAJAK (SPOP), SURAT


PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG (SPPT), DAN SURAT
KETETAPAN PAJAK (SKP)
1. Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya
dengan mengisi SPOP.
Dalam rangka pendataan, wajib pajak akan diberikan SPOP untuk diisi dan
dikembalikan kepada Direktorat Jendral Pajak. Wajib pajak yang pernah
dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia
menerima SPOP, maka dia wajib mengisinya dan mengembalikannya kepada
Direktorat Jendral Pajak.
2. SPOP harus diisi dengan jelas, lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani
dan disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak
objek pajak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
diterimanya SPOP oleh subjek pajak.
Yang dimaksud dengan jelas dan benar adalah :
Jelas dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat
merugikan negara maupun wajib pajak sendiri.
Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya, seperti luas tanah dan atau bangunan, tahun dan harga perolehan
dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
3. Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya.
SPPT diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membnatu wajib pajak SPPT
dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Direktorat
Jenderal Pajak.
4. Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam
hal-hal sebagai berikut :
a. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaaan atau keterangan lain ternyata
jumlah pajak yang terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak
yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
Wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya, walaupun
sudah ditegur secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu
yang ditentukan dalam Surat Teguran itu, Dirketur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) secara jabatan.
Apabila berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada
Direktorat Jenderal Pajak ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari
jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan
wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SKP secara jabatan.
5. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud dalam nomor
4 huruf a adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar
25% dihitung dari pokok pajak.
Sanksi admainistrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak
menyampai SPOP, dikenakan sanksi sebagai tambahan terhadap pokok pajak
yaitu sebesar 25% dari pokok pajak.
SKP ini berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal pajak memuat
penetapan objek pajak dan besarnya yang terutang beserta denda administrasi
yang dikenakan kepada wajib pajak.
Contoh :
Wajib pajak A tidak menyampaikan SPOP.
Berdasarkan data yang ada, Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan SKPKB
yang berisi :
 Objek pajak dengan luas dan nilai jual
 Luas objek pajak menurut SPOP
 Pokok Pajak Rp. 2.000.000,00
 Sanksi Administrasi :
 25% x Rp. 2.000.000,00 500.000,00
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP Rp. 2.500.000,00
6. Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud dalam no.
4 huruf b, adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan
atau keterangan lain dengan pajak yang terutang yang dihitung berdasarkan
SPOP ditambah denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang
terutang.
Sanksi administrasi dikenakan terhadap wajib pajak yang mengisi SPOP tidak
sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Contoh :
Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT Rp. 2.000.000,00
Berdasarkan pemeriksaan pajak yang
seharusnya terutang 2.500.000,00
Selisih Rp. 500.000,00
Denda adminisnistrasi 25% x Rp. 500.000,00 125.000,00
Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB Rp. 625.000,00
Untuk lebih memperjelas uraian di muka, berikut diberikan bagan mengenai
sistem pengenaan PBB dan bagaimana SPOP, SPPT, dan SKP dikeluarkan.
SPOP hanya diberikan dalam hal :
1. Objek pajak belum terdaftar/data belum lengkap.
2. Objek pajak telah terdaftar tetapi data belum lengkap.
3. NJOP berubah/pertumbuhan ekonomi.
4. Objek pajak dimutasikan/laporan dari instansi yang berkaitan langsung
dengan objek pajak.
Berikut ini diberian beberapa bagan yang menggambarkan SPOP kembali,
SPOP tidak kembali, SPOP kembali tidak benar, dan SPOP ditinjau dari sifat
dan fungsinya.
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
1. Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6
(enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
Contoh :
Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 April 2010, maka jatuh
tempo pembayarannya adalah tanggal 30 September 2010.
2. Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1
(satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak.
Contoh :
Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 2010, maka jatuh
tempo pengembaliannya adalah tanggal 31 Maret 2010.
3. Pajak yang terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar
atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen)
sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Menurut ketentuan ini, pajak yang terutang pada saat jatuh tempo
pembayaran tidak kurang atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi
2% (dua persen) setiap bulan dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar
tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Conroh :
SPPT tahun pajak 2010 diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 2010
dengan pajak yang terutang sebesar Rp. 500.000,00. Oleh wajib pajak baru
dibayar pada tanggal 1 September 2010. Maka terhadap wajib pajak tersebut
dikenakan denda administrasi sebesar 2% yakni :
2% x Rp. 500.000,00 = Rp. 10.000,00
Pajak yang terutang yang harus dibayar pada tanggal 1 September 2010
adalah : Pokok pajak + denda administrasi =
Rp. 500.000,00 + Rp. 10.000,00 = Rp. 510.000,00
Bila wajib pajak tersebut baru membayar utang pajaknya tanggal 10 Oktober
2010, maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda 2 x 2% dari pokok
pajak, yakni :
4% x Rp. 500.000,00 = Rp. 20.000,00
Pajak yang terutang yang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 2010 adalah:
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp. 500.000,00 + Rp. 20.000,00 = Rp. 520.000,00
4. Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam no. 3 di atas, ditambah
dengan utang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat
Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterimanya STP oleh wajib pajak.
Menurut ketentuan ini denda adminstrasi dan pokok pajak seperti dalam no. 3
di atas, ditagih dengan menggunakan STP yang harus dilunasi dalam waktu
satu bulan sejka tanggal diterimanya STP tersebut.
5. Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank, Knator Pos dan Giro, dan tempat
lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
6. Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri Keuangan.
7. Surat Pemberitahuan Pajak Tentang (SPPT), surat ketetapan pajak, dan Surat
Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak.
8. Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada
waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Dalam hal tagihan pajak yang terutang dibayar setelah tempo yang telah
ditentukan, penagihan dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan UU
No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 tahun 2000
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Agar lebih mudah dipahami, berikut
diberikan tata cara pembayaran dan pangihan.

TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN SPPT

Bank
Pos & Giro
Tempat lain yang
Dirjen Pajak ditunjuk oleh Menteri
Keuangan

SPPT Wajib Pajak 6 bulan Pembayaran


KEBERATAN DAN BANDING
Keberatan
1. Wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak
atas:
a. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
b. Surat Ketetapan Pajak (SKP)
Keberatan terhadap SPPT dan SKP harus diajukan masing-masing dalam satu
Surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak.
2. Wajib pajak dapat mengajukan keberatan atas SPPT atau SKP dalam hal :
a. Wajib pajak menganggap luas objek bumi dan atau bangunan, klasifikasi
atau Nilai Jual Objek bumi dan atau bangunan yang tercantum dalam
SPPT atau SKP tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
b. Terdapat perbedaan penafsiran undang-undang dan peraturan perundang-
undangan antara wajib pajak dengan fiskus.
3. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau
SKP dengan menyatakan alasan secara jelas.
4. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterimanya SPPT atau SKP oleh wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak
dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena
keadaan di luar kekuasaannya.
Apabila ternyata batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh
wajib pajak karena keadaan di luar kekuasaannya (Force Major), maka
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan masih dapat
mempertimbangkan dan meminta wajib pajak untuk melengkapi persyaratan
tersebut dalam batas waktu tertentu.
5. Tanda terima Surat Keberatan yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos
tercatat atau sejenisnya merupakan tanda bukti penerimaan Surat Keberatan
tersebut bagi kepentingan wajib pajak.
6. Apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar pengenaan pajak.
7. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
8. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dalam jangka waktu paling lama 12
(dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberikan
keputusan atas keberatan.
9. Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan
tambahan atau penjelasan tertulis.
10. Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak atau Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas keberatan dapat berupa :
a. Tidak dapat diterima
b. Menolak
c. Menerima seluruhnya atau sebagian
d. Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang
11. Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana
dalam surat ketetapan pajak, wajib pajak yang bersangkuta harus dapat
membuktikan ketidakbenaran pajak tersebut.
12. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan tersebut
dianggap diterima.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, bagi wajib
pajak yaitu apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal diterimanya
surat keberatan, Ditjen Pajak tidak memberikan keputusan atas keberatan
yang diajukan berarti keberatan tersebut diterima.

Banding
Ketentuan banding Pajak Bumi dan Bangunan mengikuti ketentuan tentang
banding Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam
buku ini dapat dilihat pada Bab 2.
PENGURANGAN PAJAK
Pengurangan diberikan atas pajak (PBB) terutang yang tercantum dalam SPPT
atau SKP. Pengurangan pajak terutang dapat diberikan kepada dan dalam hal :
1. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan karena kondisi tertentu objek pajak
yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab
tertentu lainnya, seperti :
a. Objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan
yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau
dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi.
b. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai juaalnya
meningkat akibat adanya pembangunan atau perkembangan lingkungan.
c. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak orang pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari
pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi.
d. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah sehingga kewajiban
PBB-nya sulit dipenuhi.
e. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan.
f. Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang
serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin
perusahaan.
Dalam hal ini pengurangan dapat diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh
puluh lima persen) dari besarnya pajak terutang, dan ditetapkan berdasarkan
pertimbangan kondisi objek pajak serta penghasilan wajib pajak.
2. Dalam Pajak Orang Pribadi atau Badan dalam hal objek pajak yang terkena
bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa. Termasuk dalam
pengertian Bencana alam adalah gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung
meletus dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan sebab-sebab lain
yang luar biasa adalah kebakaran, kekeringan, wabah penyakit dan hama
tanaman.
Dalam hal ini dapat diberikan sampai dengan 100% (seratus persen) dari
besarnya pajak terutang.
3. Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela
kemerdekaan. Besarnya pengurangan ditetapkan 75% (tujuh puluh lima
persen) dari besarnya pajak terutang.

Cara Mengajukan Permohonan :


1. Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang
menerbitkan SPPT atau SKP dengan mencantumkan besarnya persentase
pengurangan dimohonkan.
2. Permohonan pengurangan diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan
terhitung :
a. Sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP, atau
b. Sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.
3. Permohonan pengurangan pajak terutang dapat diajukan secara kolektif atau
perseorangan.
4. Permohonan pengurangan pajak terutang secara perseorangan harus
dilampiri:
a. Fotocopy SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan
pengurangannya; dan
b. Fotocopy tanda anggota Veteran bagi anggota veteran
5. Permohonan pengurangan pajak terutang secara kolektif dapat diajukan
sebelum SPPT diterbitkan, selambat-lambatnya tanggal 10 Januari untuk
tahun pajak yang bersangkutan melalaui :
a. Pemerintah Daerah setempat; atau
b. Organisasi Leguin veteran republik Indonesia, bagi anggota Veteran
6. Permohonan pengurangan pajak terutang untuk wajib pajak badan harus
dilampiri dengan :
a. Fotocopy SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan
pengurangannya;
b. Fotocopy SPT PPh tahun pajak terakhir berserta lampirannya; dan
c. Laporan Keuangan
7. Permohonan pengurangan oajak terutang dalam hal objek pajak yang terkena
bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa dilampiri Surat
Keterangan dari Pemerintah Daerah setempat / Instansi terkait.
8. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan pajak terutang
apabila telah melunasi PBB untuk tahun sebelumnya atas objek pajak yang
sama.
9. Permohonan dapat disampaikan secara langsung atau dikirim melalaui pos
10. Tanggal tanda terima Surat Permohonan tersebut diatur sebagai berikut :
a. Apabila disampaikan secara langsung maka tanggal tanda terima adalah
pada saat Surat permohonan tersebut secara lengkap diterima oleh Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.
b. Apabila dikirimkan melalaui pos atau sarana pengiriman lainnya maka
tangal tanda terima adalah pada saat surat permohonan tersebut secara
lengkap diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan,
bukan pada tanggal pengiriman surat permohonan.
Keputusan Pengurangan
1. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT dan
atau SKP, atas nama Menteri Keuangan memberikan Keputusan atas
permohonan pengurangan pajak terutang yang lebih dari Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT
dan atau SKP, atas nama Menteri Keuangan memberikan Keputusan atas
permohonan pengurangan pajak terutang yang tidak lebih dari Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
3. Keputusan pengurangan dapat berupa :
a. Mengabulkan seluruhnya
b. Mengabulkan sebagian
c. Menolak
4. Keputusan atas permohonan pengurangan pajak harus selambat-lambatnya 3
(tiga) bulan sejak diterimanya permohonana pengurangan wajib pajak. Jangka
waktu sebagaimana tersebut terhitung sejak :
a. Tanggal tanda terima Surat Permohonan, dalam hal Surat PErmohonan
disampaikan secara langsung
b. Tanggal stempel pos, dalam hal Surat Permohonan dikirim melalaui pos
(biasa maupun tercatat) atau sarana pengiriman lainnya.
5. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Keputusan belum diterbitkan
maka permohonan pengurangan pajak dianggap dikabulkan.
6. Keputusan pengurangan berlaku untuk tahun pajak yang bersangkutan.

PENGURANGAN DENDA ADMINISTRASI


Atas permintaan wajib pajak Dirjen Pajak dapat mengurangkan denda
administrasi karena hal-hal tertentu.
Ketentuan ini memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk meminta
pengurangan denda administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktur
Jenderal Pajak dapat mengurangkan sebagian atau seluruhnya denda administrasi
tersebut.

PEJABAT
1. Pejabat yang dalam jabatannya atau tugas pekerjaannya berkaitan langsung
dengan objek pajak adalah ;
a. Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
b. Notaris / Pejabat Oembuat Akta Tanah
c. Pejabat Pembuat Akta Tanah
2. Pejabat yang ada hubungannya dengan objek pajak adalah :
a. Kepala Kelurahan atau Kepala Desa
b. Pejabat Dinas Tata Kota
c. Pejabat Dinas Pengawasan Bangunan
d. Pejabat Agraria
e. Pejabat Balai Harta Peniggalan
f. Pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan / Direktoral Jenderal
Pajak.
Kewajiban Pejabat :
1. Yang berkaitan langsung dengan objek pajak, wajin :
a. Menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan
keadaan objek pajak secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya
b. Memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat
Jenderal pajak
2. yang berhubungan dengan objek pajak :
Wajib memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat
Jenderal Pajak yang berwenang

SANKSI
Bagi Wajib Pajak
1. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah secara tertulis tidak disampaikan
sebagaimana dalam Surat Teguran, ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak.
Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak adalah pokok
ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen)
dihitung dari pokok pajak.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan
SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak, ditagih dengan surat ketetapan
pajak. Jumlah pajak yang terhutahng dalam Surat ketetapan Pajak adalah
selisih pajak yang terhutang yang dihitung berdasarkan Surat pemberitahuan
Objek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen)
dari selisih pajak yang terhutang.
2. Pajak yang terhutang yang ada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar,
dikarenakan dendan administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang
dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
3. Karena kealpaannya sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dalam hal :
a. Tidak mengembalikan /menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal
Pajak
b. Menyampaikan SPOP, tetapi isisnya tidak beanr atau tidak lengkap dan atau
melampirkan keterangan tidak benar.
4. Karena kesengajaannya sehingga menimbulkan kerugian pada negara , dalam
hal ;
a. tidak mengembalikan /menyampaikan SPOP kepada DIrektorat Jenderal
Pajak
b. Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau
melampirkan keterangan yang tidak benar.
c. Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu
dan dipalsukan seolah-olah benar
d. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan atau dokumen lainnya
e. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang
diperlukan.
Untuk sebab kealpaan :
Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak yang terurang.
Kealpaan berarti tidak sengaja, lalai, kurang hati-hati sehingga perbuatan tersebut
mengakibatkan kerugikan bagi negara.

Untuk sebab kesengajaan :


Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda
setinggi-tingginya 5 (lima) kali pajak yang terutang.
Sanski pidana ini akan dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindakan
pidana dibisang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak
selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau
sejak dibayarkan denda
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana perpajakan, maka bagi
mereka yang melakukan tindak pidana sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak
selesainya menjalani sebagaian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau
sejak dibayarnya denda, dikenakan pidana lebih berat ialah dua kali lipat dari
ancaman pidana.

Bagi Pejabat
Sanksi Umum
Apabila tidak memenuhi kewajiban seperti yang telah diuraikan di muka
dikenakan sanksi menurut peraturan perundangan yang berlaku, yaitu antara lain :
Peraturan Pemerintah No 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Staatsblad 1860 No. 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris.
Sanksi Khusus
Bagi pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung atau ada hubunganntya
dengan objek pajak ataupun pihak lainnya, yang :
a. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan dokumen yang diperlukan.
b. Tidak menunjukkan data atau tidak meminjamkan keterangan yang
diperlukan.
Dipindana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun atau denda setinggi-
tingginya Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).

SANSI TERHADAP WAJIB PAJAK

SANKSI

ADMINISTRASI PIDANA

Kenaikan Bunga Kealpaan Kesengajaan


SANKSI TERHADAP PEJABAT

- Kurang dari 1 tahun


atau
Pidana - Denda 2 juta rupiah

Sanksi Pejabat

PP No. 53 2010

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PENDAHULUAN
Sesuai dengan pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, bumi air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Prinsip yang dianut dalam Undang-undang BPHTP adalah :
1. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkan sistem self assessment
yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
2. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan objek
pajak kena pajak (NPOPKP)
3. Agar pelaksanaan Undang-undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, maka
baik kepada wajib pajak maupun kepada pejabat-pejabat umum yang
melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya, dikenakan
sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan negara yang sebagian
besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah, untuk meningkatkan pendapatan
daerah guna membiayai pembangunan daerah dan dalam rangka
memantapkan otonomi daerah.
5. Semua pemungutan atas perolehan hak atas tanah atau bangunan di luar
ketentuan ini tidak diperkenankan.

PENGERTIAN-PENGERTIAN
Dalam pembahasan Bea Perolehan Hak atas tanah dan bangunan, akan dijumpai
beberapa pengertian-pengertian yang sudah baku. Pengertian-pengertian tersebut
antara lain adalah :
1. Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam
pembahasan ini. BPHTB selanjutnya disebut pajak.
2. Perolehan hak atas tanah dan atau nbangunan, adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan
oleh orang pribadi atau badan.
3. Hak atas tanah dan atau bangunan, adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.
Untuk pengertian-pengertian atau istilah-istilah selain tersebut di ata, akan
dikaitakan langsung dengan pembahasan selanjutnya.
DASAR HUKUM
Dasar hukum Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah :
1. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan. Undang-undang ini menggantikan Orodonansi Bea
Balik Nama Saatsblad 1924 Nomor 291.
2. Peraturan Pemerintah No. 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena
waris dan hibah.
3. Peraturan Pemerintah No. 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena
pemberian hak Pengelolaan
4. Peraturan Pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya
NPOPTKP BPHTB.

OBJEK PAJAK
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan meliputi :
1. Pemindahan hak karena,
a. Jual-beli
b. Tukar-menukar
c. Hibah
d. Hibah waris
e. Waris
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak
h. Penunjukkan pembeli dalam lelang
i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
j. Penggabungan usaha
k. Peleburan usaha
l. Pemekaran Usaha
m. Hadiah
2. Pemberian hak baru karena :
a. Kelanjutan pelepasan hak
b. Di luar pelepasan hak

TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK


Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh :
1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik
2. Negarau untuk penyelenggaraan pemerintah dan atau pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum
3. Badan perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain
diluar fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut.
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum
lain dengan tidak adanya perubahan nama
5. Orang pribadi atau badan karena wakaf
6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk keperintngan ibadah.

SUBJEK PAJAK
Yang menjadi subjek pajak adalah orang yang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. SUbjek pajak yang dikenakan
kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak BPHTB menurut undang-undnag
BPHTB.

DASAR PENGENAAN PAJAK, NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK


TIDAK KENA PAJAK (NPOPTKP), DAN TARIF PAJAK

Dasar Pengenaan Pajak


Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
NPOP ditentukan sebesar :
1. Harga transaksi dalam hal jual beli
2. Nilai pasar objek dalam hal :
a. Tukar-menukar
b. Hibah
c. Hibah wsiat
d. Waris
e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak
g. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap
h. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
i. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak
j. Penggabungan usaha
k. Peleburan usaha
l. Pemekaran Usaha
m. Hadiah
3. Harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang dalam hal penunjukkan
pembelian dalam lelang
4. Nilai jual objek pajak Bumi dan Bangunan (NJO PBB), apabila besarnya
NPOP sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 tidak diketahui atau NPOP
lebih rendah daripada NJOP PBB.

Contoh :
Tuan Aryo membeli tanah dan bangunan dengan NPOP (harga transaksi) Rp.
100.000.000,00. NJOP PBB tersebut yang digunakan dalam pengenaan PBB
adalah Rp. 120.000.000,00, maka yang dikenakan sebagai dasar pengenaan
BPHTB adalah Rp. 120.000.000,00 dan bukan Rp. 100.000.000,00.

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)


Besarnya NPOPTKP ditetapkan, secara regional padang banyak Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena
waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat
ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Besarnya NPOPTKP dapat diubah dengan
Peraturan Pemerintah dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan
moneter serta perkembangan harga umum tanah dan atau bangunan.

Tarif Pajak
Besarnya tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).

CARA MENGHITUNG BPHTB


BPHTB = Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak x Tarif
= (NPOP – NPOPTKP) x 5%

Contoh :
Tuan Budi membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp.
70.000.000, 00. Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
berlaku di Kabupaten/Kota tersebut Rp. 60.00.000,00.
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp. 70.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp. 10.000.000,00
BPHTB yang terutang = Rp. 10.000.000,00 x 5% Rp. 500.000,00
SAAT TERUTANGNYA PAJAK
Saat yang menentukan terutangnya pajak adalah :
1. Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, untuk :
a. Jual-beli
b. Tukat-menukar
c. Hibah
d. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
e. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
f. Pengabungan usaha
g. Pelebaran usaha
h. Pemekaran usaha
i. Hadiah
2. Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, untuk : lelang
3. Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuasaan hukum yang
tetap, untuk : putusan hakim.
4. Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor
pertanahan, untuk : hibah wasiat dan waris.
5. Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian
hak, untuk :
a. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
b. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak

TEMPAT PAJAK TERUTANG


Tempat pajak terutang adalah di wilayah :
1. Kabupaten
2. Kota, atau
3. Provinsi
Tempat tersebut meliputi letak tanah dan atau bangunan.

TEMPAT PEMBAYARAN
Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui :
1. Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah
2. Kantor Pos dan Giro
3. Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan

SURAT KETETAPAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN


BANGUNAN KURANG BAYAR (SKBKB)
1. Pengertian
SKBKB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pajak yang
terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
2. Penerbitan SKBKB
SKBKB diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksan atau keterangan
lain ternyata jumlah apajk yang terutang kurang dibayar.
SKBKB dapat diteritkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5
tahun sesudah saat terutangnya pajak.
3. Sanksi SKBKB
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan
sanksi admnistrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan (maksimal 24 bulan)
dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.
Contoh :
Tuan Adi memperoleh tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten
Sukamaju pada tanggal 29 Maret 2010 dengan Nilai Perolehan Objek Pajak
Rp. 240.000.000,00. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris atau hibah wasiat yang
diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan
pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten Sukamaju
ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00.
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp. 240.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp. 180.000.000,00
BPHTB yang terutang = Rp. 180.000.000,00 x 5%
= Rp. 9.000.000,00
Berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata ditemukan data yang belum lengkap
yang menunjukkan bahwa Nilai Perolehan Pajak sebenarnya adalah Rp.
310.000.000,00. Oleh karena itu diterbitkan SKBKB pada tanggal 30
Desember 2010. Besarnya BPHTB yang terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp. 310.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp. 250.000.000,00

BPHTB yang seharusnya terutang =


Rp. 250.000.000,00 x 5% = Rp. 12.500.000,00
BPHTB yang telah dibayar 9.000.000,00
BPHTB yang kurang dibayar Rp. 3.500.000,00
Sanksi administrasi berupa bunga dari 29 Maret 2010 sampai dengan 30
Desember 2010 = 10 bulan x 2% Rp. 3.500.000,00 = Rp. 700.000,00. Jadi
jumlah yang harus dibayar menurut SKBKB = Rp. 3.500.000,00 + Rp.
700.000,00 = Rp. 4.200.000,00.

SURAT KETETAPAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN


BANGUNAN KURANG BAYAR TAMBAHAN (SKBKBT)
1. Pengertian
SKBKBT adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah
pajak yang telah ditetapkan.
2. Penertiban SKBKBT
SKBKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula
belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang
setelah diterbitkannya SKBKB. SKBKBT dapat diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak.
3. Sanksi SKBKBT
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari
jumlah kekurangan pajak tersebut.
Contoh (berdasarkan data pada contoh sebelumnya) :
Pada tahun 2010, dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain diperoleh dara
baru bahwa Nilai Perolehan Objek Pajak ternyata adalah Rp360.000.000,00
maka BPHTB yang terutang adalah sebagai berikut :

Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 360.000.000,00


Nilai Perolehan Pajak Tidak Kena Pajak 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 300.000.000,00

BPHTB yang seharusnya terutang =


Rp300.000.000,00 x 5% Rp 15.000.000,00
BPHTB yang telah dibayar 12.500.000,00
BPHTB yang kurang dibayar Rp 2.500.000,00
Sanksi administrasi kenaikan = 100% x Rp2.500.000,00 = Rp 2.500.000,00
Jadi jumlah yang harus dibayar menurut SKBKBT =
Rp2.500.000,00 + Rp2.500.000,00 = Rp5.000.000,00

SURAT TAGIHAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN


BANGUNAN KURANG BAYAR TAMBAHAN (STB)
1. Pengertian
STB adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi
berupa bunga dan atau denda.
2. Penerbitan STB
STB diterbitkan bila :
a. Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
b. Dari hasil pemeriksaan Surat Edaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (PBB) terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akiibat
salah tulis atau salah hitung.
c. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan aau denda.
3. Sanksi SBT
Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam STB
sebagaimana dimaksud dalam poin 2a dan 2b ditambah sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untu jangk waktu paling lama
24 (dua puluh empat) bulan sejak sejak terutangya pajak. Sedangkan untuk
poin 2c tidak ditambah sanksi karena tidak ada sanksi atas sanksi.
4. Kekuatan Hukum STB
STB mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak.
Sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan Surat Paksa.

KEBERATAN DAN BANDING


1. Tata Cara Penyelesaian Keberatan
a. Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal
Pajak atas sesuatu
1) SKBKB
2) SKBKBT
3) SKBLB
4) SKBN
b. Keberatan diajukan dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan
jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan
disertai alasan-alasan yang jelas.
c. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan, kecuali apabila Wajib Pajak
dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena
keadaan di luar kekuasannya.
d. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
poin b dan c tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak
dipertimbangkan.
e. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat
Jenderal Pajak atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat
menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan.
f. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan, keputusan
Direktur Jenderal Pajak dapat berupa :
 Mengabulkan seluruhnya
 Mengabulkan sebagian
 Menolak
 Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
g. Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan
Direktorat Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang
diajukan dianggap dikabulkan.
h. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.
i. Apabila penerima keberatan dikabulkan sebagian atau seleruhnya,
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan tambahan imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama
24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkan
Keputusan Keberatan.
2. Tata Cara Penyelesaian Banding
a. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada
Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.
b. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan keberatan
diterima, dengan cara :
1) Tertulis dan dalam bahasa Indonesia.
2) Mengemukakan alasan-alasan yang jelas.
3) Dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan.
c. Pengajuan permohonan bandng tidak menunda kewajiban membayar pajak
dan pelaksanaan penagihan pajak.
d. Apabila permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya.
Kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkan Putusan Banding.

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN BPHTB


Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan
pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, antara lain dalam hal :
1. Pajak yang dibayarkan lebih besar dari pada yang seharusnya terutang.
2. Pajak yang terutang sudah dibayar oleh Wajib Pajak sebelum akta
ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut
batal.
Setelah melakukan pemeriksaan (baik pemeriksaan kantor maupun pemeriksaan
lapangan), Direktur Jenderal Pajak akan menerbitkan :
1. SKBLB, apabila :
a. Pajak yang dibayar ternyata lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang, atau
b. Dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.
2. SKBN, apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang
terutang.
Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya
permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak, harus memberikan
keputusan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pajak
dianggap dikabulkan serta SKBLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) bulan.
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKBLB. Apabila pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan. Direktur
Jenderal Pajak memberikan imbalan bunga 2% (dua persen) sebulan.

KETENTUAN BAGI PEJABAT


Yang termasuk dalam pengertian pejabat adalah :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Notaris.
2. Pejabat Lelang Negara.
3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan
pemberian hak atas tanah.
4. Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota.
Untuk pejabat-pejabat tersebut akan berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah
dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran
pajak berupa Surat Setoran Bea Pemerolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Bagi pejabat yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi administrasi dan
denda sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap
pelanggaran.
2. Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan. Bagi pejabat yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi
administrasi dan denda sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu
rupah) untuk setiap pelanggaran.
3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan
pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat
keputusan dimaksud pada saat wajib menyerahkan bukti pembayaran pajak
berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pejabat
yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian
hak atas tanah yang melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil.
4. Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat
hanya dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib
Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Bagi pejabat yang melanggar
ketentuan ini dikenakan sanksi menurut ketentuan Perundang-undangan yang
berlaku.
5. PPAT/Notaris dan Pejabat Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau
risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat
Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan berikutnya.
Misalnya, semua peralihan hak pada bulan Januari 2002 harus dilaporkan
selambat-lambatnya tanggal 10 Februari 2002. Bagi PPAT/Notaris yang
melanggar ketentuan ini dikenakan sanksi admnistrasi dan denda sebesar Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.

Anda mungkin juga menyukai