APENDISITIS
Di Susun Oleh :
2B Keperawatan
Kelompok 1
Novitasari 201601078
PENDAHULUAN
A. Defenisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-
30 tahun (Mansjoer, 2010).
Menurut Gruendemann (2006) (cit Arif dan Kumala, 2013), Apendiks (umbai
cacing) merupakan perluasan sekum yang rata-rata panjangnya adalah 10cm. Ujung
apendiks dapat terletak di berbagai lokasi, terutama di belakang sekum. Arteri
apendisialis mengalirkan darah ke apendiks dan merupakan cabang dari arteri
ileokolika.
Apendisitis adalah kasus bedah abdomen darurat yang paling sering
terjadi. Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering terjadi. Apendiks disebut juga
umbai cacing (Andran & Yessie. 2013, p. 88).
Menurut Price (2006) apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai
semua lapisan dinding organ tersebut yang disebabkan oleh agen infeksi.
Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena
usus yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalam
system imun sektorik di saluran pencernaan, namun pengangkatan apendiks tidak
menimbulkan efek fungsi system imun yang jelas (Syamsyuhidayat, 2005).
Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensi farmakologik juga
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi dan memberikan
implikasi pada perawat dalam bentuk asuhan keperawatan
B. Anatomi dan Fisiologi Appendix
1. Anatomi Appendix
Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada
secum (bagian awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih. Secara anatomi
appendix sering disebut juga dengan appendix vermiformis atau umbai cacing.
Appendix terletak di bagian kanan bawah dari abdomen. Tepatnya di ileosecum dan
merupakan pertemuan ketiga taenia coli. Muara appendix berada di sebelah
postero-medial secum. Penentuan letak pangkal dan ujung appendix yang normal
adalah sebagai berikut :
a) Menurut garis Monroe Pichter
Garis yang menghubungkan SIAS dan umbilicus. Pangkal appendix terletak
pada 1/3 lateral dari garis ini (titik Mc Burney).
b) Menurut garis Lanz
Diukur dari SIAS dextra sampai SIAS sinistra. Ujung appendix adalah pada
titik 1/6 lateral dextra.
Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai
mesenterium. Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan
appendix pada struktur lain pada abdomen. Kedudukan ini memungkinkan
appendix dapat bergerak. Selanjutnya ukuran appendix dapat lebih panjang
daripada normal. Gabungan dari luasnya mesenterium dengan appendix yang
panjang menyebabkan appendix bergerak masuk ke pelvis (antara organ-organ
pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan appendix bergerak ke
belakang colon yang disebut appendix retrocolic.
Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior
dan a. appendicularis. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X.
Karena itu nyeri viseral pada appendicitis bermula disekitar umbilicus.
Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis cabang dari a.ileocolica, cabang
dari a. mesenterica superior.
2. Fisiologi Appendix
Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga
berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix
menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendix dan secum.
Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada patogenesis appendicitis.
Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari yang bersifat basa
mengandung amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke
dalam bumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara
appendiks berperan pada patofisiologi appendiks.
Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks,
ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi
tapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh
sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna
dan seluruh tubuh.
b) Pergerakan Kolon
Pergerakan normal dari kolon sangat lambat, pergerakannya masih
mempunyai karakteristik yang serupa dengan pergerakan usus halus.
1) Gerakan mencampur (haustrasi)
Pada setiap konstriksi kira kira 2,5 cm otot sirkuler akan
berkontraksi, kadang menyempitkan kolon sampai hamper tersumbat. Pada
saat yang sama, otot longitudinal kolon yang terkumpul menjadi taenia cli
akan berkontraksi. Kontraksi gabungan ini menyebabkan bagian usus besar
yang tidak terangsang menonjol keluar memberikan bentuk serupa kantung
(haustrasi).
C. Aspek Epidemiologi
Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi dari pada di negara berkembang.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang terjadi. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak dari pada wanita
(Sandy, 2010).
Angka kejadian apendisitis di dunia mencapai 3442 juta kasus tiap tahun
(Stacroce, 2013). Statistik di Amerika mencatat setiap tahun terdapat 30 – 35
juta kasus apendisitis (Departemen Republik Indonesia, 2013). Penduduk di
Amerika 10% menjalani apendektomy (pembedahan untuk mengangkat apendiks).
Afrika dan Asia prevalensinya lebih rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh
karena pola dietnya yang mengikuti orang barat.
Survey di 15 provinsi di Indonesia tahun 2014 menunjukan jumlah apendisitis
yang dirawat dirumah sakit sebanyak 4.351 kasus. Jumlah ini meningkat drastis
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 3.236 orang. Awal tahun
2014, tercatat 1.889 orang di Jakarta yang dirawat di rumah sakit akibat apendisitis
(Depkes RI, 2013).
D. Etiologi
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi
yang terjadi pada lumen apendiks yang biasanya disebabkan karena adanya timbunan
tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda
asing dalam tubuh, tumor primer pada dinding apendiks dan striktur. Penelitian
terakhir menemukan bahwa ulserasi mukosa akibat parasit seperti E Hystolitica,
merupakan langkah awal terjadinya apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan
lebih sering dari sumbatan lumen. Beberapa penelitian juga menunjukkan peran
kebiasaan makan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari teori
Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor lingkungan, faktor
pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi antara lain usia, jenis kelamin,
ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi akibat obstruksi lumen akibat infeksi
bakteri, virus, parasit, cacing dan benda asing dan sanitasi lingkungan yang kurang
baik. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis baik dilihat dari
pelayan keshatan yang diberikan oleh 13 layanan kesehatan baik dari fasilitas maupun
non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti asupan rendah
serat yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi
lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi (Sjamsuhidajat, De Jong,
2004).
Ada beberapa factor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
1. Faktor sumbatan
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis
akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk
dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari
organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya
yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan
makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan
terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
E. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendistis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Price,
2005).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding 12
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi
(Mansjoer, 2010).
F. Pathway
G. Manifestasi klinis
1. Nyeri kudran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual,
muntah, dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum
lokal di titik McBurney (nyeri tekan, nyeri lepas, defans muskuler)
3. Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung yaitu:
a) Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (tanda Rovsing)
b) Nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan (tanda Blumberg)
c) Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti napas dalam, berjalan,
batuk, mengedan.
4. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5oC Bila suhu lebih
tinggi mungkin sudah terjadi perforasi (Sjamsuhidayat, R & Jong Win De,
1997).
5. Bila apendiks berada dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di
daerah lumbar.
6. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada di dekat rectum
7. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan
kandung kemih atau ureter.
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan. Anak biasanya tidak bisa melukiskan rasa nyerinya.
Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi
lemah dan letargi. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui
setelah perforasi. Pada bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi
perforasi.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia
lanjut yang gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual dan
muntah. Yang perlu diperhatikan adalah, pada kehamilan trimester pertama sering
juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong
ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan diperu kanan bawah tetapi lebih
ke regio lumbal kanan. (De Jong, 2005)
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-
tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses
penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami
ruptur apendiks. Insiden perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena
banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat
pasien-pasien yang lebih muda (Brunner and Suddart, 2001).
H. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis
kronik (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritonieum lokal.
Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai
mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri
akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Apendisitis akut dibagi menjadi :
a) Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa
disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen 9 appendiks
dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran
limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali
dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan
demam ringan (Rukmono, 2011).
d) Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan
peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat
erat satu dengan yang lainnya (Rukmono, 2011).
e) Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal
dan pelvikal (Rukmono, 2011).
f) Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren
yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi
oleh jaringan nekrotik (Rukmono, 2011).
2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding 11 apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel
inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik
kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan
eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat
(Rukmono, 2011).
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operatif.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik (Oswari, 2000).
2. Operatif
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks. Penundaan appendektomi
dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada
abses apendiks dilakukan drainase (Oswari, 2000).
J. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga
berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus.
1. Perforasi
Perforasi disebabkan keterlambatan penanganan terhadap paslen apendisitis
akut. Perforasi disertai dengan nyeri yang lebih hebat dan demam tinggi (sekitar
38,3 0C). Biasanya perforasi tidak terjadi pada 12 jam pertama. Pada
apendiktektomi yang dilakukan pada pasien usia kurang dari 10 tahun dan lebih dari
50 tahun, ditemukan 50 % nya telah mengalami perforasi . Akibat perforasi ini
sangat bervariasi mulai dari peritonitis umum, sampai hanya berupa abses kecil
yang tidak akan mempengaruhi manifestasi kliniknya.
2. Peritonitis
Peritonitis lokal dapat disebabkan oleh mikroperforasi sementara peritonitis
umum dikarenakan telah terjadinya perforasi yang nyata. Bertambahnya nyeri dan
kekakuan otot, ketegangan abdomen dan adinamic ileus dapat ditemui pada pasien
apendisitis dengan perforasi.
3. Apendikal abses (massa apendikal)
Perforasi yang bersifat lokal dapat terjadi saat infeksi periapendikal diliputi
oleh omentum dan viseral yang berdekatan . Manifestasi kliniknya sarna dengan
apendisitis biasa disertai dengan ditemukannya massa di kwadran kanan bawah.
Pemeriksaan USG dan CT scan bermanfaat untuk menegakan diagnosis.
4. Pielofleblitis
Pielofleblitis adalah trombofleblitis yang bersifat supuratif pada sistem vena
portal. Dernam tinggi, menggigil, ikterus yang samar-samar, dan nantinya dapat
ditemukan abses hepar, merupakan pertanda telah tetjadinya komplikasi ini.
Pemeriksaan untuk menemukan trombosis dan udara di vena portal yang paling baik
adalah CT scan.
A. Pengkajian
Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal
yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit maupun
selama pasien dirawat di rumah sakit.
1. Biodata Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/ bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.
2. Lingkungan
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita
akan lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.
3. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus.
b) Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.
c) Riwayat kesehatan sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi, bagaimana sifat
dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang memperberat
dan memperingan.
4. Pemeriksaan fisik
a) Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
b) Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing
(Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan
terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).
c) Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak
apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini
terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis.
Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
d) Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang
meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat
hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan
dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika (Akhyar Yayan, 2008 ).
6. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif
(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%.
Sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian menyilang dengan
apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi
serta pelebaran sekum.
Quality of pain Pengkajian untuk menilai bagaimana rasa keluhan klasik apendisitis ialah
nyeri dirasakan secara subjektif. Ingat nyeri samar-samar dan tumpul
sebagian besar deskripsi sifat dari nyeri yang merupakan nyeri viseral di
sulit di tafsirkan. daerah epigastrium disekitar
1. Seperti apa rasa nyeri yang umbilikus. Keluhan ini sering
dirasakan pasien? disertai mual dan kadang ada
2. Bagaimana sifat nyeri yang muntah. Umumnya nafsu makan
digambarkan pasien? menurun. Dalam beberapa jam,
nyeri akan berpindah ke kanan
bawah ke titik McBurney (lihat
pemeriksaan fisik). Pada bagian
ini nyeri dirasakan lebih tajam
dan letaknya lebih jelas
sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Terkadang
tidak ada nyeri epigastrium,
tetapi terdapat konstipasi
sehingga pasien merasa
memerlukan obat pencahar.
Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa
mempermudah terjadi perforasi.
Bila terdapat perangsanganp
peritoneum, biasanya pasien
mengeluh sakit perut bila
berjalan atau batuk.
Region Pengkajian untuk mengidentifikasi letak Bila letak apendiks retrosekal
radiation, relief nyeri secara tepat, adanya radiasi dan retroperitoneal, karena letaknya
penyebaran nyeri. terlindung oleh sekum, tanda
1. Di mana (dan tunjukan dengan nyeri perut kanan bawah tidak
satu jari) rasa nyeri paling hebat begitu jelas dan tidak ada tanda
mulai dirasakan? rangsangan peritoneal. Rasa
2. Apakah rasa nyeri menyebar pada nyeri lebih ke arah perut sisi
area sekitar nyeri? kanan atau nyeri timbul pada
saat berjalan karena kontraksi
otot psoas yang menegang dari
dorsal.
Apendiks yang terletak di
rongga pelvis, bila meradang
dapat menimbulkan gejala dan
tanda rangsangan sigmoid atau
rektum sehingga peristaltis
meningkat, serta pengosongan
rektum akan menjadi lebih cepat
dan berulang-ulang. Jika
apendiks tadi menempel ke
kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi BAK
karena adanya rangsangan pada
dindingnya.
Severity (scale) Pengkajian untuk menentukan seberapa Skala nyeri pada pasien ulkus
of pain jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien. peptikum bervariasi pada
Pengkajian ini dapat dilakukan rentang 3-4 (nyeri berat sampai
berdasarkan skala nyeri/gradasi dan nyeri tak tertahankan).
pasien menerangkan seberapa jauh rasa Perbedaan skala nyeri ini
sakit memengaruhi kemampuan dipengaruhi oleh berbagai faktor
fungsinya. Berat ringannya suatu keluhan , meliputi: tingkat kerusakan
nyeri bersifat subjektif. mukosa akibat peradangan
1. Seberapa berat keluhan nyeri yang apendiks dan bagaimana pola
dirasakan. pasien dalam menurunkan
2. Dengan menggunakan rentang 0-4 respons nyeri.
biarkan pasien akan menilai
seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan.
Keterangan:
0 = tidak ada nyeri
1 = nyeri ringan
2 = nyeri sedang
3 = nyeri berat
4 = nyeri berat sekali/tidak tertahankan.
Time Pengkajian untuk mendeteksi berapa lama Keluhan nyeri terjadi pada
nyeri berlangsung, kapan, apakah beberapa pasien bervariasi.
bertambah buruk pada malam hari atau Onset nyeri biasanya mulanya
siang hari. samar-samar seperti perasaan
1. Kapan nyeri muncul (onset)? tidak nyaman pada abdomen
2. Tanyakan apakah gejala timbul dan pasien sulit memprediksi
mendadak, perlahan-lahan atau keluhan samar-samar mulai
seketika itu juga? dirasakan. Pada keluhan nyeri
3. Tanyakan apakah gejala-gejala akut, pasien dapat menjelaskan
timbul secara terus-menerus atau kapan mulai dirasakan.
hilang timbul (intermiten). Keluhan nyeri akut biasanya
4. Tanyakan kapan terakhir kali mendadak, nyeri hebat para
pasien merasa nyaman atau paraumbilikal tanpa ada batasan
merasa sangat sehat. waktu.
Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang di dapatkan adanya keluhan lain yaitu
efek sekunder dari peradangan apendiks, berupa gangguan gastrointestinal seperti mual,
muntah, ketidaknyamanan abdomen, diare, dan anoreksia. Kondisi muntah dihubungkan
dengan inflamasi dan iritasi dari apendiks dengan nyeri menyebar ke bagian dekat
doudenum, yang menghasilkan mual dan muntah (Atassi, 2002). Keluhan sistemik biasanya
berhubungan dengan kondisi inflamasi di mana didapatkan adanya peningkatan suhu tubuh.
Pada pemeriksaan fisik, survei umum akan di dapatkan adanya aktivitas kesakitan
hebat sekunder dari ketidaknyamanan abdominal. Pada pemeriksaan TTV didapatkan
takikardi dan peningkatan frekuensi napas. Sementara itu, pada kondisi pediatrik
didapatkan perubahan fisik yang lebih berat daripada orang dewasa.
B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan respons inflamasi apendiks, kerusakan jaringan lunak
pascabedah.
2. Pemenuhan informasi berhubungan dengan adanya evaluasi diagnostik, rencana
pembadahan apendektomi.
3. Aktual/risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kurangnya asupan makanan yang adekuat.
4. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya port de entree luka pascabedah.
5. Hipertensi berhubungan dengan respon sistemik dari inflamasi gastrointestinal.
6. Kecemasan berhubungan dengan prognosis penyakit, rencana pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Hlm 827-829.
Teddy Septianto, dkk. 2010. Buku Panduan Praktikum Anatomi. Surakarta: Laboratorium
Anatomi dan Embriologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Andra & Yessie. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa Teori dan
Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika
Carpenito J.L. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10 Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson.2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses - proses Penyakit. Jilid
6. Jakarta: EGC
Price, Sylvia A & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Edisi 6. Volume 2. Jakarta :EGC
Smeltzer, S. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2
Edisi 8. Jakarta : EGC