Anda di halaman 1dari 6

NURHAINI ZULVANA

15/381971/EK/20552
RANGKUMAN BAB 4

PENERIMAAN PAJAK PEMERINTAH PUSAT

Penerimaan pajak dalam negeri di APBN terdiri dari berbagai kategori sesuai dengan sumber peneimaannya,
yakni: pajak penghasilan; pajak pertambahan nilai; pajak bumi dan bangunan; bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan (BPHTB); cukai; dan pajak lainnya. Peningkatan penerimaan pajak dapat ditingkatkan dengan
cara ekstensifikasi (menambah atau meningkatkan jumlah wajib pajak) dan intensifikasi (mengoptimalkan
penerimaan pajak dari Wajib Pajak yang telah terdaftar). Tiga hal penting dalam pelaksanaan intensifikasi
yang dilakukan oleh DJP (Direktorat Jenderal Pajak) secara terintegrasi, diantaranya: Profiling atau
pembuatan profil dimana masing-masing WP (Wajib Pajak) dibuatkan profil untuk memantau kepatuhannya
dalam membayar pajak, Benchmarking atau pembandingan pembayaran pajak yang dilakukan oleh WP
dengan pembayaran oleh WP lainnya dengan syarat WP tersebut mempunyai profil yang sama, dan Mapping
atau pemetaan yang menggambarkan potensi perpajakan yang mengelompokkan WP berdasarkan wilayah,
sector, subjek, jenis, dan grup WP sesuai dengan kebutuhan atau keunggulan yang terdapat di wilayah kerja.
Tujuannya yakni untuk mendapatkan gambaran umum tentang potensi perpajakan dan keunggulan fiskal di
masing-masing wilayah. Selain itu, DJP juga melakukan Reformasi Perpajakan yang menjadi upaya
intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan perpajakan. Reformasi Perpajakan terbagi dalam 2 periode:
periode pertama yakni pada tahun 2002-2009 (Jilid 1) dan periode kedua yakni pada tahun 2009-2013 (Jilid
2). Reformasi Perpajakan Jilid 1 meliputi 3 kegiatan utama:

a. Pembaruan dan pemutakhiran administrasi perpajakan yang mencakup perombakan struktur organisasi
DJP, e-filling, e-SPT, e-registration, dan pembentukan call center untuk pelayanan informasi dan
pengaduan.
b. Reformasi kebijakan melalui amandemen undang-undang tentang perpajakan.
c. Intensifikasi dan ekstensifikasi.

Reformasi Perpajakan Jilid 2 merupakan kelanjutan dari proses Jilid 1 yang berakhir pada bulan Februari 2009
dan diakhiri dengan program penghapusan sanksi pajak (sunset policy). Reformasi Perpajakan Jilid 2 terdiri
atas beberapa kegiatan, yakni:

a. Pengembangan SDM melalui peningkatan kapasitas dan kompetensi pegawai.


b. Kegiatan mapping, profiling, dan benchmarking yang terotomatisasi.
c. Penyempurnaan pelayanan pembayaran dan kegiatan perbaikan yang meliputi aspek bisnis utama DJP
melalui program yang disebut Project for Indonesian Tax Administration Reform (PINTAR).

PINTAR merupakan program penyempurnaan sistem administrasi perpajakan guna mendukung reformasi
administrasi yang dilakukan oleh DJP. PINTAR terdiri atas 4 komponen, diantaranya:

a. Penyempurnaan sistem dan proses bisnis utama, seperti registrasi WP, pengolahan Surat
Pemberitahuan Pajak (STP Pajak), pembuatan rekening WP, pengembangan manajemen dokumen,
dan pengembangan arsitektur sistem teknologi informasi yang terintegrasi.
b. Manajemen sumber daya manusia.
c. Kepatuhan perpajakan (menerapkan sistem seleksi audit pajak berdasarkan risiko).
NURHAINI ZULVANA
15/381971/EK/20552
d. Manajemen perubahan.

Tiga Undang-undang mengalami perubahan dalam masa reformasi perpajakan, yaitu: UU nomor 28 tahun
2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan; UU nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan; dan UU nomor 42 tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU nomor 8 tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Perubahan tersebut
bertujuan untuk mengakomodasi perkembangan perekonomian. Ada beberapa poin penting dalam perubahan
UU PPh, diantaranya penurunan tarif PPh, pembebasan biaya fiskal ke luar negeri, peningkatan penghasilan
tidak kena pajak (PTKP), dan penerapan tarif PPh lebih tinggi pada WP yang tidak memiliki NPWP.

Program penghapusan sanksi pajak merupakan fasilitas penghapusan sanksi pajak penghasilan bagi orang
pribadi atau badan berupa bunga atas kekurangan pembayaran pajak yang dapat dinikmati oleh masyarakat
yang belum memiliki NPWP maupun yang telah memiliki NPWP pada tanggal 1 Januari 2008 dan program
ini hanya berlaku pada tahun 2008. Ketentuan terkait dengan penghapusan sanksi pajak diatur dalam UU
nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan pada Pasal 37A yang berbunyi: a. WP yang menyampaikan pembetulan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum tahun pajak 2007 dapat diberikan pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.
b. WP orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama 1 tahun
setelah berlakunya UU ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang
dibayar untuk tahun pajak sebelum diperoleh NPWP dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak. Program ini
salah satunya bertujuan untuk mendorong WP agar lebih jujur dpalam memeuhi kewajibannya dan
meningkatkan kepatuhan WP secara sukarela dan menambah jumlah WP. Tahun 2015, pemerintah Indonesia
mengeluarkan paket kebijakan penghapusan sanksi pajak untuk meningkatkan jumlah WP yang akan melunasi
pajaknya, sehingga dapat menaikkan penerimaan negara dari pajak sehingga dapat memperbaiki performa
penerimaan pajak Kuartal I 2015 yang jauh dari target. Selain itu, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan
kebijakan tax amnesty yang jauh berbeda dengan penghapusan sanksi pajak. Tax Amnesty ini dikeluarkan
sebagai pengampunan sanksi pajak bagi seluruh warga negara agar masyarakat mau mendaftarkan diri menjadi
WP.Namun paket kebijakan penghapusan sanksi pajak pada tahun 2015 berbeda dengan tahun 2008. Paket
kebijakan ini diatur dalam UU KUP Pasal 36 ayat 1 serta PMK nomor 91/PMK.03/2015 dan PMK nomor
29/PMK.03/2015. Kelebihan kebijakan penghapusan sanksi pajak pada tahun 2015 diantaranya insentif
diberikan kepada seluruh jenis pajak, WP baru atau SPT Pembetulan, dan atas keterlambatan pembayaran
maupun keterlambatan pelaporan SPT pada tahun 2015. Kemudian ada pelaksanaan sensus pajak nasional
untuk menyempurnakan kegiatan yang selama ini telah dijalankan oleh DJP, disebut dengan penyisiran.
Pelaksanaan sensus dirasa penting agar kepatuhan masyarakat semakin meningkat, baik, dan lancar.
NURHAINI ZULVANA
15/381971/EK/20552
RANGKUMAN BAB 5
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP)
PNBP merupakan seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tdak berasal dari penerimaan perpajakan. PNBP
awalnya diatur dalam UU nomor 20 tahun 1997 yang kemudian diganti menjadi PP nomor 22 tahun 1997,
yang telah diubah menjadi PP nomor 52 tahun 1998 dengan menjabarkan jenis-jenis PNBP yang berlaku
umum di semua departemen dan lembaga nondepartemen, disebut dengan PNBP Umum, diantaranya:

a. Penerimaan kembali anggaran (sisa anggaran rutin dan sisa anggaran pembangunan).
b. Penerimaan hasil penjualan barang/kekayaan negara.
c. Penerimaan hasil penyewaan barang/kekayaan negara.
d. Penerumaan hasil penyimpanan uang negara (jasa giro).
e. Penerimaan ganti rugi atas kerugian negara.
f. Penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah.
g. Penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang.

PNBP yang berasal dari hasil pungutan kementerian/lembaga negara atas jasa yang diberikan sehubungan
dengan tugas pokok dan fungsinya disebut degan “PNBP Fungsional”, yang terdiri dari:

a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah.


b. Penerimaan dari pemanfaatan SDA.
c. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
d. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi.
e. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah.
f. Penerimaan lainnya yang diatur sendiri.

Tarif atas jenis PNBP ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan
kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan dengan jenis PNBP yang
bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. PNBP memiiki beberapa
fungsi, diantaranya:

a. Fungsi budgeter: PNBP merupakan sumber penerimaan engara yang diperoleh setelah memberikan
pelayanan jasa atau menjual barang milik negara oleh kementerian/lembaga negara kepada
masyarakat. Penerimaan dapat bersumber dari iuran, retribusi, sumbangan, atau pungutan.
b. Fungsi regulasi: sarana untuk mengatur kebijakan pemerintah dalam berbagai aspel dalam rangla
menggerakkan roda pembangunan.

PNBP dipungut atau ditagih oleh instansi pemerintah sesuai dengan perintah UU atau PP atau penunjukan
dari Menkeu RI berdasarkan rencana PNBP. Selanjutnya, menurut Surat Edaran Sekretaris Jenderal Depkeu
RI nomor S-389/SJ/2006 tanggal 15 Juni 2006 yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Dirjen
Pajak nomor SE-05/PJ.12/2006 tentang laporan Realisasi PNBP, instansi pemerintah memiliki kewajiban
untuk menyampaikan laporan bulanan realisasi PNBP setiap tanggal 10 bulan berikutnya kepada Sekjend u.p.
NURHAINI ZULVANA
15/381971/EK/20552
Biro Perencanaan dan Keuangan serta tembusan disampaikan kepada Sekjend Pajak u.p. Kepala Bagian
Keuangan. Walaupun PNBP memiliki sifat segera harus disetorkan ke kas negara, namun sebagian dana PNBP
yag telah dipungut dapat digunakan untuk kegiatan tertentu (bidang kegiatan: penelitian dan pengembangan
teknologi, pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, penegakan hokum, pelayanan, dan pelestarian
SDA) oleh instansi yang bersangkutan. Besaran jumlah yang dapat digunakan ditentukan melalui keputusan
Menkeu RI setekah pimpinan instansi pemerintah mengajukan permohonan yang dilengkapi dengan: tujuan
penggunaan dana PNBP, rincian kegiatan pokok dan kegiatan yang dibiayai, jenis PNBP beserta tarif yang
berlaku, dan laporan realisasi serta perkiraan tahun anggaran berjalan. PNBP yang harus dibayar pada waktu
tertentu menurut perundang-undangan yang berlaku disebut “PNBP yang Terutang”. Petunjuk pelaksanaan
PNBP terutang terdapat dalam PP nomor 29 tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran,
dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, dihitung dengan tarif spesifik, advalorem,
dan ketentuan perundang-undangan.

Potensi PNBP yang belum tergali misalnya: pemberian jasa atau kerja sama dengan pihak ketiga yang belum
ada aturan tarifnya dan jenisnya, tarif yang terlalu rendah dan belum pernah direvisi, pemanfaatan aset dan
fasiltas penunjang yang belum maksimal, wajib bayar belum sepenuhnya terdata, peraturan terkait
penyesuaian tarif belum direvisi, dan kementerian/lembaga belum menginventarisasi dan melaporkan potensi
PNBP yang dapat digali. Untuk mengoptimalkan pencapaian target PNBP, hal yang perlu dilakukan oleh
pemerintah yakni langkah-langkah untuk meningkatkan lifting minyak dan efisiensi cost recovery,
optimalisasi penerimaan dividen BUMN, penggalian potensi penerimaan yang berasal dari kegiatan pelayanan
dan hasa oleh kementerian/lembaga, evaluasi ulang kontrak kerja eksploitasi SDA, penggalian potensi sector
kehutanan, optimalisasi pendapatan dari sektor kelautan, pencatatan semua kategori PNBP dan harus masuk
ke kas negara, dan pengelolaan PNBP yang transparan serta akuntabel.

Permasalahan pada PNBP yakni:

a. Perencanaan: K/L menyampaikan target yang kurang realistis dan penyusunan target NBP membutuhkan
biaya dan waktu yang cukup besar. Solusi: membangun database PNBP dan mengembangkan
penyusunan PNBP online.
b. Penetapan Jenis & Tarif: membutuhkan waktu yang lama sehingga beberapa K/L melakukan pemungutan
tanpa dasar hokum. Solusi: kajian penetapan jenis PNBP tertentu dan mendelegasikan persetujuan
perubahan tarif kepada pimpinan instansi kemudian dikukuhkan menjadi PP.
c. Penyetoran: beberapa K/L terlambat melakukan penyetoran ke kas negara. Solusi: penyetoran secara
berkala untuk jenis PNBP tertentu, sistem setor online, dan menggunakan bank tertentu.
d. Pelaporan: ada beberapa K/L yang tidak tertib dalam menyampaikan laporan realisasi triwulan. Solusi:
membuat sitem modul dan pelaporan penerimaan negara untuk PNBP.
e. Penggunaan: hanya dapat digunakan oleh Satker penghasil PNBP dan tanpa mekanisme APBN. Solusi:
memperluas konsep earnmaking dan mempercepat mekanisme pencairan dana.
NURHAINI ZULVANA
15/381971/EK/20552
RANGKUMAN BAB 6

MANAJEMEN PINJAMAN LUAR NEGERI

Dasar hokum utang luar negeri adalah: Pasal 23 ayat 1 dan Pasal 12 ayat 3 Undang-undang nomor 17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 38 Undang-undang nomor 01 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, undang-undang tentang APBN yang ditetapkan setiap tahun, Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10
tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah, Peraturan Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor
Per.005/M.PPN/06/2006 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan Usulan serta Penilaian Kegiatan yang
dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri, dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
514/KMK.08/2010 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2010-2014. Definisi utang luar negeri
menurut Pasal 1 PP nomor 10 tahun 2011 adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh pemerintah
dari pemberi pinjaman luar negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat
berharha negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Prinsip utang luar negeri:
transparan, akuntabel, efisien dan efektif, kehati-hatian, tidak disertai ikatan politik, dan tidak memilki muatan
yang dapat mengganggu stabilitas keamanan negara. Utang luar negeri digunakan untuk membiayai defisit
APBN, kegiatan prioritas kementerian/lembaga, mengelola portofolio utang, diteruspinjamkan kepada
PemDa, diteruspinjamkan kepada BUMN, dan dihibahkan kepada PemDa. Bentuk utang luar negeri yakni
pinjaman program atau tunai dan pinjaman proyek atau kegiatan. Sumber utang luar negeri yakni dari kreditur
multilateral, bilateral, swasta asing, dan lembaga penjamin kredit ekspor.

Pinjaman program merupakan pinjaman yang terkait dengan program yang telah dan akan dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia. Tujuannya yakni untuk budget support dan pencairannya dikaitkan dengan pemenuhan
matriksi kebijakan di bidang kegiatan untuk mencapai MDGs (Millenium Development Goals) yang
mencakup pengentasan kemiskinan, pendidikan, pemberantasan korupsi, pemberdayaan masyarakat,
kebijakan terkait dengan perubahan iklim, dan infrastruktur. Kebijakan perencanaan pinjaman program yakni
memperkecil ketergantungan pada jenis utang luar negeri. Beberapa kebijakan pemerintah terkait dengan
manajemen utang luar negeri yakni mempertimbangkan kemampuan pemerintah untuk membayar kembali
pinjaman tersebut di masa yang akan datang, mempertimbangkan kemampuan kementerian/lembaga
pemerintahan daerah (pemda), maupun BUMN pelaksana kegiatan dalam penyerapan dana pinjaman,
mencapai kemandirian dalam pendanaan pembangunan yaitu dengan cara menurunkan porsi pinjaman luar
negeri dalam pembiayaan APBN, dan pendanaan luar negeri sebagai salah satu alternative sumber pendanaan
pembangunan, perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat meningkatkan kapasitas ekonomi nasional.
Perencanaan pinjaman program melibatkan tiga peran dari pemerintah, yakni Kemenkeu (pemegang otoritas
pengelola keuangan), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (koordinator dari para pengguna
dana pinjaman program dan sebagai partner dari Kemenkeu), dan kementerian/lembaga atau pemerintah
daerah, selaku calon pengguna dana pinjaman program.
NURHAINI ZULVANA
15/381971/EK/20552
Berdasarkan Pasal 32 ayat (2) PP nomor 10 tahun 2011 tetang Perjanjian Pinjaman Luar Negeri memuat paling
sedikit: jumlah, peruntukan, hak dan kewajiban, dan ketentuan dan persyaratan. Kreditur pinjaman program
selama ini adalah World Bank (WB), Asian Development Program (ADB), Japan International Cooperation
Agency (JICA), dan L’Agence Francaise de Developpment (AFD).

Permasalahan pada pinjaman program yakni:

a. Permasalahan biaya-biaya pinjaman yang timbul karena masih kurang kritisnya para negosiator
pemerintah terhadap isi perjanjian penarikan pinjaman program. Hal tersebut dikarenakan negosiator
pemerintah masih kurang bargaining power yang mengakibatkan pihak kreditur dapat memaksakan
berbagai macam biaya tambahan untuk mendapatkan pinjaman tersebut, seperti commitment fee, tied
loan, biaya bunga, dan biaya di muka (up-front fee).
b. Risiko depresiasi yang dicerminkan melalui risiko nilai tukar yang merupakan komponen biaya yang
mestinya sangat diperhitungkan dalam memperoleh pinjaman. Tingkat depresiasi rupiah sangat
bergantung pada jenis valuta asing yang dijadikam denominasi.
c. Penyerapan pinjaman yang belum optimal yang akan memberatkan pemerintah dalam membayar
commitment fee. Faktor rendahnya penyerapan pinjaman ini antara lain karena: a. adanya perbedaan
ketentuan antara satu pemberi pinjaman dengan pemberi pinjaman lainnya, dan juga antara kreditur
dengan peminjam, terhadap mekanisme pelaksanaan kegiatan. b. kurangnya persiapan pengelola
proyek untuk mengimplementasikan kegiatan. c. Keterlambatan atau bahkan belum ada alokasi dana
pendamping dalam proses penyusunan awal APBN. d. pilihan kreditur yang tidak banyak. e.
pengawasan dan koordinasi pelaksana kegiatan belum optimal.

Solusi atas pinjaman program yakni:

a. Mengupayakan kesamaan ketentuan mekanisme pelaksanaan proyek diantara para kreditur.


b. Mengupayakan kesamaan ketentuan antara kreditur, peminjam, dan pelaksana kegiatan.
c. Menuntut kepada kreditur agar menurunkan atau menghilangkan berbagai macam biaya pinjaman.
d. Mengupayakan kesesuaian perencanaan dan pelaksanaan penyediaan dana pendamping, dana
pinjaman, dan jadwal pelaksanaan kegiatan, dan
e. Mengoptimalisasikan sistem pengawasan internal pelaksana kegiatan dan peningkatan koordinasi
diantara Kemenkeu, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, dan pelaksana
pinjaman program.

Sumber:
Halim, Abdul. 2016. Manajemen Keuangan Sektor Publik. Jakarta: Karya Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai