Anda di halaman 1dari 19

Paham Gagal Penulis Buku “Hizbut Tahrir Indonesia

Gagal Paham Khilafah”1

Beberapa hari sebelum diadakannya acara Launching dan Bedah Buku Hizbut Tahrir
Indonesia Gagal Paham Khilafah oleh HMJ Ilmu al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN
Jakarta, kami menerima broadcast via Whatsapp tentang info tersebut. Setelah kami
membacanya, kami menyimpulkan ada bentuk ketidakadilan –bila enggan disebut kedzaliman-
di acara itu. Hal ini didasarkan karena objek yang menjadi pembahasan adalah produk
pemikiran Hizbut Tahrir yang semestinya menghadirkan pula pembicara dari Hizbut Tahrir
Indonesia. Wajar bila kami meragukan objektifitas acara tersebut.

Dengan fenomena ini, kami kami mengingatkan kepada panitia acara, civitas akademik
dan seluruh yang terlibat untuk merenungi ayat ke 8 surah al-Maidah yang berbunyi,

‫ْا َّا‬
‫َْا‬ٍَُّٛ ‫شااثِ َّبارَ ْؼ‬١ِ‫ّللاَا َخج‬ ‫اا َّا‬ُٛ‫ارَّم‬َٚ ‫ا‬َٜٛ ‫اأَ ْل َشةُااٌٍِازَّ ْم‬ٛ‫ااُ٘ َا‬ٌُٛ‫ااا ْػ ِذ‬ٌُٛ‫لارَ ْؼ ِذ‬
‫ّللاَاإِ َّا‬ ‫اأَ َّ ا‬ٍَٝ‫ْ َاا َػ‬َٛ‫َجْ ِش ََِّٕ ُى ْاُا َشَٕآُْاال‬٠‫لا‬
‫ َ ا‬َٚ

“janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku
adil. Berlaku adilah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan”.

Dengan demikian, kami aktifis Hizbut Tahrir Indonesia Chapter UIN Jakarta berhak
memberikan klarifikasi dan kritik terhadap buku tersebut. Alhamdulillah, setelah beberapa hari
sebelum diadakan launching, kami telah membaca buku Makmun Rasyid dan memberikan kritik
dalam makalah ini. Kritik yang kami ajukan terdiri dari dua bagian penting. (1) kritik
materi/substansi pemikiran penulis yang cenderung belum memahami argumentasi Hizbut
Tahrir secara komprehensif, (2) kritik metodologi baik metodologi kepenulisan atau metodologi
penelitian.

Dengan dua model kritik yang dimaksud, mudah-mudahan memberikan gambaran


kepada audience mengenai pemaparan Muhammad Makmun Rasyid yang tidak sepenuhnya
benar –kalau enggan dikatakan salah. Sehingga nantinya audience dapat menimbang dan
mengambil sikap objektif terhadap Hizbut Tahrir yang selama ini berupaya keras tiada henti
mewujudkan kehidupan Islam yang rahmatan lil ‘aalamin dengan terwujudnya Syariah dan al-
Khilafah al-Islamiyah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.

Demikian,

Ciputat, 6 Oktober 2016

Aktifis Hizbut Tahrir UIN Jakarta

1
Makalah Andi Badren Aktifis Hizbut Tahrir UIN dari Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Siyasah Syar’iah
A. Kritik Materil

Paham Gagal MMR #1

“Pendapat yang bisa kita jadikan yakni istilah yang ditempelkan kepada sebuah pemimpin
tertinggi tidak hanya monopoli Hizbut Tahrir dengan stempel Khilafah, karena
kepemimpinan sifatnya tidak terikat hanya pada satu istilah semata. Urgensitas sebuah
nama tidak bisa mengalahkan fungsionalitas dan substansi nama, dalam agama Islam sangat
ditekankan yakni realisasi sebuah nilai-nilai keislaman tidak pada komersialisasi nama
sebuah institusi. Khilafah hanyalah sebuah nama bentukan sebuah produk budaya,
lahirnya nama khilafah tidak beriringan dengan munculnya Islam” (HTI Gagal Paham
Khilafah. Hlm 27 sesuai teks asli)

Kritik Paham Gagal MMR #1

Khilafah secara bahasa adalah masdar dari fiil madhi khalafa yang berarti menggantikan
atau menempati tempatnya. Ibrahim Mustafa menganggapnya sebagai orang yang datang
setelah orang lain lalu menggantikan posisinya (Mu’jam al-Wasith hlm. 251)

Makna ini juga terdapat dalam al-Quran Q.S. al-a’raf : 142 ِٝٛ‫ ال‬ٝ‫ اف‬ٕٝ‫ْ ااخٍف‬ٚ‫ٗ ا٘بس‬١‫ األخ‬ٝ‫ع‬ِٛ‫لبي ا‬ٚ
/Berkata Musa kepada saudaranya, Harun, “gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku”.

Menurut at-Thobari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-Shulton al-
‘adzim (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena ia menggantikan penguasa
sebelumnya lalu menggantikan posisinya. (Jaami al-bayan an Ta’wil aay al-Quran 1/476)

Untuk mengetahui makna Khilafah, maka tidak cukup mengandalkan makna bahasa.
Terlebih lagi kata Khilafah memiliki makna syara’. Misalnya dalam sebuah hadits dikatakan, ‫إْ ا‬
‫خ ا‬٠‫ْ اٍِىب اججش‬ٛ‫ى‬٠‫سحّخ اثُ ا‬ٚ‫ْ اخالفخ ا‬ٛ‫ى‬٠‫سحّخ اثُ ا‬ٚ‫ح ا‬ٛ‫ٕىُ اثذأ أج‬٠‫ي اد‬ٚ‫ أ‬/Sesungguhnya (urusan) agama kalian
berawal dengan kenabian dan rahmat, lalu akan ada khilafah dan rahmat, kemudian ada
kekuasaan tirani (al-Bazzar hadits nomor 1282/IV/108).

Kata khilafah dalam hadits ini bermakna sistem kekuasaan/pemerintahan, pewaris


pemerintahan kenabian. Dikuatkan lagi dengan hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang
berbunyi, ‫ْ ا‬ٚ‫ىثش‬١‫ْ اخٍفبء اف‬ٛ‫ى‬١‫ع‬ٚ‫ ا‬ٞ‫ اثؼذ‬ٟ‫إٔٗ ال أج‬ٚ‫ ا‬ٟ‫ اخٍفٗ أج‬ٟ‫بء اوٍّب اٍ٘ه أج‬١‫ُ ااألٔج‬ٙ‫ع‬ٛ‫ً ارغ‬١‫ا اإعشائ‬ٕٛ‫ وبٔذ اث‬/Dulu bani
Isrel dipimpin/diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang wafat, nabi lain menggantikannya.
Namun, tidak ada nabi setelahku dan yang akan ada adalah para khalifah yang berjumlah
banyak. (Shahih Bukhari no 3455/IV/169, Shahih Muslim no 44/III/1471, Ibn Majah no
2871/II/958)

Jadi, Khalifah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi Saw. Dalam
kepemimpinan Negara Islam (Daulah Islamiyah). hukum mengangkatnya merupakan kewajiban
syara’ menurut empat Madzhab (lihat Syarh Shahih Muslim VI/446, Badai’u as-Shonaa’I fii
Tartiib as-Syarai’ VII/I, al-Jaami’ li Ahkam al-Quran I/264, al-Lubaab fii Uluum al-Kitaab I/501)

H. Sulaiman Rasyid (Rektor IAIN Lampung, w. 1976) menjelaskan al-Khilafah adalah suatu
susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran Islam, sebagaimana yang dibawa dan
dijankan oleh nabi Muhammad Saw semasa beliau hidup dan kemudian dijalankan oleh al-
Khulafa al-Rasyidun. Kepala negaranya dinamakan Khalifah. (Fiqh Islam, hlm 494). Singkatnya,
kewajiban mengangkat khalifah adalah pendapat jumhur. Adapun yang keluar dari pendapat
jumhur berarti khuruj min ahl as-Sunnah wa al-Jmaa’ah.

Hanya saja yang menimbulkan GAGAL PAHAM MMR adalah, apakah kewajiban mengangkat
khalifah tersebut akan gugur dengan adanya presiden atau pemimpin lain dalam pemerintahan
apa saja. Penulis MMR (Muhammad Makmun Rasyid) berpandangan bahwa khalifah tidak mesti
menempel pada sistem Khilafah sebagaimana argumentasi Hizbut Tahrir. Bahkan MMR
menyebutnya khilafah hanya sebuah nama bentukan produk budaya yang tidak beriringan
dengan kehadiran Islam.

Letak GAGAL PAHAM MMR yang berpandangan demikian adalah sebagai berikut,

1. MMR tidak memahami fakta Khalifah dan Presiden/selain Khalifah


2. MMR tidak melakukan Tahqiiq al-Manath sehingga mengakibatkan menghukumi
presiden atau pemimpin lainnya sebagai khalifah.
3. MMR juga tidak menggunakan hadits-hadits shahih dalam memahami kewajiban Umat
Islam hanya memiliki satu pemimpin tunggal.
4. MMR juga tidak memahami Isim (sebuah nama) dan Musamma Bihi (yang ditunjuk oleh
nama tersebut)

Pada point pertama, kita akan membahas perbandingan tugas dan fungsi khalifah dengan
presiden/pemimpin selain khalifah, juga akad pengangkatan khalifah dengan
presiden/pemimpin selain khalifah. Dua perbandingan ini saja akan mengantarkan kita pada
pengetahuan terang apakah khalifah sama dengan pemimpin selain khalifah.

Adapun tugas dan fungsi khalifah adalah untuk melaksanakan hukum syara’ dan mengatur
urusan dunia (al-Ahkam as-Shultoniyah hlm 15) serta mengemban dakwah Islam ke pelosok
dunia (Mukaddimah ad-Dustur hlm 124). Hal ini berbeda dengan tugas dan fungsi selain
khalifah baik presiden ataupun raja. Presiden misalnya, sebagai lembagai eksekutif, ia berfungsi
melaksanakan Undang-Undang yang dikehendaki rakyat. Dalam pelaksanaanya, presiden juga
dibatasi oleh konstitusi yang kemudian dikontrol oleh lembaga yudikatif. Presiden tidak
bertugas melaksanakan hukum syara’, melindungi umat Islam apalagi mengemban dakwah ke
seluruh pelosok dunia. Ini fakta pertama yang menunjukan perbedaan jelas antara Khalifah dan
Pemimpin selain khalifah. MMR gagal paham dalam hal ini.

Kemudian bila ditinjau dari segi akad pengangkatan, kita akan melihat perbedaan mendasar
dari keduanya. Akad pengangkatan khalifah oleh umat adalah akad untuk menerapkan hukum
syara’, bukan akad ijaroh/transaksi jasa sehingga ujroh/gaji tidak berlaku padanya. Umat tidak
menggaji khalifah dan khalifah tidak boleh meminta gaji dari umat. Hanya saja karena
kesibukannya yang tidak sempat mencari nafkah, maka baitul mal akan memberikan tunjangan
sesuai kebutuhannya. Tunjangan itu bukan gaji. Hal ini tentu berbeda dengan presiden. Dalam
akad pengangkatannya, presiden dituntut melaksanakan kehendak rakyat, dan akad ini
termasuk akad ijaroh/transaksi jasa sehingga presiden berhak menuntut ujroh/gaji. Bahkan
boleh mengusulkan kenaikan gaji.

Pada point kedua, apabila MMR menghukumi sama antara khalifah dengan presiden/selain
khalifah sebagai pemimpin, semestinya dia melakukan Tahqiiq al-Manath sehingga kewajiban
mengangkat khalifah terwakili dengan adanya pemimpin-pemimpin dalam sistem
pemerintahan apa pun. Tapi faktanya tidak. Dia tidak melakukan Tahqiiq al-Manath yang
mengakibatkan GAGAL PAHAM dalam persoalan ini.

Kemudian pada point ketiga, MMR tidak menggunakan hadits-hadits shahih yang
memerintahkan kaum Muslimin hanya memiliki satu khalifah. Misalnya hadits yang sudah
masyhur riwayat Imam Muslim berbunyi, ‫ّب ا‬ِٕٙ‫ا ااألخش ا‬ٍٛ‫ٓ افبلز‬١‫فز‬١ٍ‫غ اٌخ‬١‫إرا اث‬/Jika dibaiat dua khalifah,
maka bunuhlah oleh kalian salah satunya dari keduanya. Ini menujukan bahwa kaum muslimin
hanya wajib memiliki satu khalifah. Bagaimana mungkin sistem nation state yang terdiri dari
banyak pemimpin tidak bertentangan dengan hadits di atas. Semestinya MMR membahas hadits
ini bila memang memiliki penafsiran lain.

Adapun point keempat pada komentar ke-1, MMR GAGAL PAHAM tentang Ism wa musamma
bihi. Khalifah adalah pemimpin dalam sistem khilafah, kata yang ditunjuk oleh nama khalifah
adalah sistem khilafah. Raja adalah pemimpin untuk sistem kerajaan/monarki. Sementara
presiden adalah pemimpin dalam sistem republik. Tidak pernah ada pemahaman dan faktanya
yang menunjuk nama khalifah untuk sistem republik. Sebaliknya, tidak ada pemahaman dan
fakta yang menunjukan presiden –sekalipun memang belum muncul- sebagai pemimpin dalam
sistem khilafah. Coba saja panggil Jokowi dengan Khalifah Jokowi, pasti anda disebut melanggar
konstitusi.

Paham Gagal MMR #2

“Dalam teks-teks al-Quran tidak ada satu pun pola dan sistem pemerintahan dijelaskan secara
detail, tetapi nilai-nilai yang terdapat di dalamnya membuat para pemikir dan kelompok-
kelompok menjustifikasi pendapatnya sesuai kepentingan kelompok. Nabi Muhammad Saw
telah mengatakan di dalam hadits populernya yaitu untuk urusan dunia kamu lebih pintar
dariku” (HTI Gagal Paham Khilafah hlm 29)

Kritik Paham Gagal MMR #2

Ini salah satu bentuk inkonsistensi kaum liberal, pengagum atau yang memiliki pandangan
yang sama dengan kaum tersebut. Maksudnya, di satu sisi terkadang mereka menganjurkan
memahami kitab suci secara kontekstual tetapi pada kali lain –khususnya tentang khilafah-
mereka menanyakan secara tekstual.

Dalam al-Quran memang tidak akan pernah ditemukan sistem pemerintahan secara detail
sebagaimana tidak ditemukan pula tata cara shalat secara detail. Tetapi bukan berarti tidak ada
dalil kewajiban mengangkat khalifah. Imam Qurthubi ketika menafsirkan Q.S. 2:30 misalnya,
beliau mengatakan ..‫طغ‬٠‫ا‬ٚ‫غّغاٌٗا‬٠‫فخا‬١ٍ‫اخ‬ٚ‫أصتاإِبَا‬ٟ‫خاأصًاف‬٠‫ ٘زٖااأل‬/ayat ini (Q.S. 2:30) adalah dalil asal
atas kewajiban mengangkat seorang imam dan khalifah yang didengar dan ditaati (al-Jaami’ li
Ahkam al-Quran I/264).

Belum lagi dalil-dalil yang sifatnya global yang kemudian dirincikan dalam hadits
Rasulullah Saw. Baik pendirian negaranya ataupun pasca berdiri, hal itu sangat detail dalam as-
Sunnah. Bahkan setelah Rasulullah Saw wafat, sistem pemerintahan tersebut terus berlangsung
oleh para khalifah. Khalifah saat itu berfungsi pengganti kenabian dalam urusan kaum muslimin
dan menegakan hukum yang ditegakkan Rasulullah. Bedanya, mereka bukan penerima risalah.
Bagaimana mungkin dikatakan tidak ada sistem yang detail sementara Islam mengatur semua
aspek kehidupan. Ada sistem penarikan dan distribusi zakat, jizyah, kharaj, ‘usyur, pengelolaan
harta kekayaan alam yang sifatnya milkiya ‘ammah, mengatur status orang kafir yang ingin
bernaung di bawah negara Islam, mengatur etika peperangan, memperlakukan tawanan,
mengatur pos kesehatan, bahkan hubungan diplomatik mancanegara diatur sedemikian rupa
sampai status negara tersebut dan sikap Daulah Islamiyah terhadapnya. Bagi yang mempelajari
secara komprehensif akan menemukan kesimpulan ini, Islam mengatur secara detail sistem
pemerintahan.

Sementara pembahasan hadits ُ‫بو‬١ٔ‫ أٔزُ اأػٍُ اثؤِش اد‬/kalian lebih tahu urusan dunia kalian
(Hadits no 141/IV/1836 Shahih Muslim) yang dipahami salah kaprah oleh MMR, bahkan
dijadikan justifikasi sistem kufur, penjelasannya sebagai berikut;

1. Memang ada kaidah ushul fiqh berbunyi ‫ص ااٌغجت‬ٛ‫َ ااٌٍفظ ال اثخص‬ّٛ‫ اٌؼجشح اثؼ‬/yang jadi
pertimbangan memahami dalil adalah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab. Tetapi
umum yang dimaksud bukanlah umum tanpa batas. Sebab bila umum tanpa batas akan
terjadi pertentangan dengan berbagai dalil. Sebagai contoh, hadits ‫ اأِشُ٘ اإِشأح‬ٌٛٚ‫َ ا‬ٛ‫فٍح ال‬٠‫ٌٓ ا‬
/Selamanya tidak akan bahagia bila menyerahkan urusan kepada perempuan. Jika
menggunakan ushul fiqh tersebut (tanpa batas) maka berakibat fatal. Artinya, berarti
semua jabatan haram dipimpin wanita. Padahal ada juga jabatan-jabatan yang wanita
diperbolehkan memimpin, seperti penunjukan as-Syifa misalnya oleh Umar Bin Khattab
untuk mengawasi pasar. Artinya, keumuman itu dibatasi.
2. Pertanyaannya, apa batas keumuman tersebut? Taqiyuddin an-Nabhani dalam Ushul
Fiqhnya (as-Syaksiyah al-Islamiyah Juz III hlm 243, yang tidak tersentuh MMR)
mengatakan, ‫ اوً ا‬ٟ‫ِب اف‬ّٛ‫ظ اػ‬١ٌٚ‫اي ا‬ٛ‫اٌغ‬ٚ‫ع ااٌحبدثخ ا‬ٛ‫ظ‬ِٛ‫ ا‬ٟ‫َ اف‬ّٛ‫ اػ‬ٛ٘‫ص ااٌغجت ا‬ٛ‫ اخص‬ٟ‫َ ااٌٍفظ اف‬ّٛ‫ػ‬
‫ء‬ٟ‫ش‬/keumuman lafadz dalam kekhususan sebab maksudnya keumuman dalam topik
peristiwa dan pertanyaan, bukan umum dalam semua hal.
3. Oleh karena itu, karena hadits no 141 shahih Muslim tersebut berkaitan dengan
penyerbukan kurma (pertanian dan sains) maka cakupan hukumnya (hak prerogative
manusia) adalah sebatas yang berkaitan dengan sains. Tidak melebar dalam konteks
hukum. Begitu juga keharaman wanita menjadi pemimpin, karena hadits tersebut
berkaitan dengan alhukm (pemerintahan), maka cakupannya pun sebatas maa yu’tabar
minal hukkam.
4. Jadi, akan GAGAL PAHAM bila memahami hadits tersebut sebagai justifikasi kebolehan
sistem kufur demokrasi dan sistem-sistem selain sistem Islam dengan dalih –bukan
dalil- “urusan manusia”.

Paham Gagal MMR #3

Dalam menafsirkan Q.S. 2:30 MMR menanggap HTI Inkonsistensi karena Khalifah terkadang
disebut wakil tuhan, terkadang juga disebut wakil umat atau bahkan wakil Rasulullah. (HTI
Gagal Paham Khilafah hlm 50-52)

Kritik Paham Gagal MMR #3

Para mufassir telah sepakat, yang dimaksud ‫فخ‬١ٍ‫ خ‬pada ayat ‫فخ‬١ٍ‫ ااألسض اخ‬ٝ‫ اجبػً اف‬ٝٔ‫إ‬
/sesungguhnya Aku menjadikan seorang khalifah di bumi , adalah nabi Adam as. Hanya saja,
menjadi khalifah untuk siapakah nabi Adam as, ini yang menimbulkan pendapat beragam.
1. Khalifah untuk bangsa Jin/banu al-Jaan (Jaami’ albayan an ta’wil ay al-Quran 1/237, at-
Tafsir al-Munir 1/138)

2. Khalifah untuk para malaikat (Fath al-Qadir 1/77, Madaarik al-Tanzil wa Haqaaiq al-
Ta’wil 1/33, al-Wasith 1/113)

3. Khalifah bagi semua manusia. Maksudnya Adam beserta keturunannya disebut khalifah
karena mereka menjadi kaum sebagian mereka menggantikan sebagian yang lain. (Tafsir
al-Quran al-Adzim 1/90, Mahaasin al-Ta’wil 1/284)

4. Khalifah bagi Allah di bumi dalam rangka menerapkan hukum-hukumNya (al-Maalim al-
Tanzil 1/31, Ruh al-Ma’ani 2/222, Fath al-Bayan 2/126, al-Futuhat al-Islaamiyah 1/61, at-
Tasyiil li ‘Ulum al-Tanzil 1/60, Adwa al-Bayan 1/20). Kesimpulan ini juga didasarkan pada
Qs. Shad/38: 26 yang berbunyi ‫ ا‬َٜٛ ٌَٙ‫ل ارَزَّجِ ِاغ ا ْا‬ ‫بط اثِ ْبٌ َح ِّا‬
‫ َ ا‬َٚ ‫ك ا‬ ‫َْٓا اإٌَّ ِا‬١َ‫ض افَبحْ ُى ْاُ اث‬‫ ا ْاألَسْ ِا‬ِٟ‫فَخا ااف‬١ٍِ‫ن ا َخ‬
‫ ُاد اإَِّٔب ا َج َؼ ٍَْٕب َا‬ُٚٚ ‫َب ادَا‬٠
‫ْ َاَا ْاٌ ِح َغب ِا‬َٛ٠‫اا‬ُٛ‫ذااثِ َّبأَغ‬٠‫ُ ْاُا َػ َزاةاا َش ِذ‬ٌَٙ‫ّللاِا‬
‫ة‬ ‫ًا َّا‬ ‫َْااػ ْا‬ٍُّٛ‫ع‬
‫ ِا‬١ِ‫َٓا َعج‬ ِ َ٠‫َٓاا‬٠‫ْااٌَّ ِز‬ ‫ًا َّا‬
‫ّللاِاإِ َّا‬ ‫هاػ ْا‬
‫ ِا‬١ِ‫َٓا َعج‬ ‫عٍَّ َا‬
ِ ُ١َ‫ ف‬/Hai Daud, sesungguhnya
Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti nafsumu. Nabi Daud termasuk
keturunan Adam as.

Dari keempat pendapat tersebut, Hizbut Tahrir cenderung pada pendapat keempat.
Sebab, tugas khalifah adalah melaksanakan hukum-hukum Allah. Meski demikian, ada
perbedaan antara khalifah (penguasa) para nabi dengan para khalifah (penguasa) yang bukan
nabi. Setiap para nabi diutus sebagai penguasa, mereka juga membawa syariat tertentu yang
berbeda dengan syariat nabi lain. Adapun para khalifah setelah kerasulan Muhammad, tugas
mereka hanya melaksanakan risalah, bukan menerima risalah. Mereka juga diangkat bukan oleh
Allah sebagaimana para nabi. Mereka diangkat oleh umat –sehingga wajar disebut wakil umat-
untuk melaksanakan hukum-hukum Allah di bumi –sehingga wajar disebut wakil Allah swt.
Mereka juga menggantikan posisi kenabian (bukan dalam risalah) sehingga wajar jika disebut
khalifah/pengganti –dalam pengertian Bahasa- Muhammad Saw. Jadi tidak ada kontradiksi
antara pengertian wakil umat, wakil Allah Swt dan wakil Muhammad Saw sebagaimana yang
dituduhkan MMR.

Paham Gagal MMR #4

“Khalifah tunggal yang diinginkan oleh kelompok Hizbut Tahrir dengan melihat kondisi dan
situasi saat ini merupakan sebuah utopis belaka. Maksudnya, asumsi-asumsi dimana Negara-
negara bersatu dalam sebuah tampuk sistem pemerintahan khilafah hanyalah asumsi yang
tidak berdasar dan sungguh suatu yang tidak mudah dicerna oleh akal manusia yang sehat.
Mengaitkan kata khalifah dalam Qs. Al-Baqarah/2:30 menunjukkan penafsiran yang keluar
dari alur logika penafsiran yakni teks-konteks-kontekstualisasi. (HTI Gagal Paham Khilafah
hlm 55)

Kritik Paham Gagal MMR #4

Mengangkat Khalifah/‫فخ‬١ٍ‫ ٔصت ااٌخ‬adalah kewajiban syara’ (lihat Syarh Shahih Muslim
VI/446, Badai’u as-Shonaa’I fii Tartiib as-Syarai’ VII/I, al-Jaami’ li Ahkam al-Quran I/264, al-
Lubaab fii Uluum al-Kitaab I/501) yang terambil dari al-Quran dan as-Sunnah, dan umat Islam
dalam memandang aktifitasnya tidak lagi mendasarkan pada “tidak sesuai jaman”, tetapi “yang
penting sesuai al-Quran dan as-Sunnah”. Sebab, dengan al-Quran dan as-Sunnah itu kita
mendapat jaminan tidak akan tersesat selama-lamanya. Jadi, apabila MMR memandang Khilafah
Islamiyah tidak sesuai jaman, bagi kita tidak masalah. Yang penting sesuai al-Quran dan as-
Sunnah.

Adapun dari sisi lain, sebetulnya kewajiban syara’ tidak akan berubah dengan
berubahnya jaman. Contohnya kewajiban shalat tidak akan berubah sebegitu pun berubahnya
jaman. Adapun yang dimaksud hukum syara’ yang berubah –jika memang ada- seperti dalam
kaidah fiqh ْ‫ش ااٌضِب‬١‫ش ااألحىبَ اثزغ‬١‫ٕىض ارغ‬٠‫ ل ا‬/berubahnya beberapa hukum karena perubahan waktu
tidak diingkari, adalah hukum yang dibangun berdasarkan maslahat dan ‘urf. Turunan kaidah
tersebut adalah ْ‫ش ااٌضِب‬١‫اٌؼشف اثزغ‬ٚ‫ ااٌّصٍحخ ا‬ٍٝ‫خ اػ‬١ٕ‫ش ااألحىبَ ااٌّج‬١‫ٕىش ارغ‬٠‫ ل ا‬/berubahnya hukum yang
didasarkan pada maslahat dan ‘urf karena berubahnya waktu tidak diingkari (Dr. Ahmad
Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyah. Hlm. 52). Sementara kewajiban mendirikan
Khilafah Islamiyah sama sekali bukan terbangun karena mashlahat dan ‘urf. Kewajiban tesebut
dasarnya al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Pertanyaannya kemudian, apakah mungkin bisa mengangkat pemimpin tunggal (baca:


Khalifah) kaum muslimin dan negeri-negeri umat Islam disatukan sebagaimana yang diragukan
MMR, bahkan disebutnya tidak masuk akal? Jawabannya sebagai berikut.

1. Memandang mustahil terwujud pemimpin tunggal (khalifah) karena situasi nation state
sesungguhnya bukan tidak masuk akal. Tetapi akalnya belum masuk. Hal ini didasarkan
pada beberapa fakta, diantaranya negara China dan India atau juga Indonesia adalah
negara yang memiliki penduduk beragam, bahkan letak geografisnya juga sangat luas.
Tetapi perbedaan itu ternyata bisa disatukan dalam satu negara. Dan itu tidak mustahil,
karena faktanya ada. Lalu, mengapa umat Islam yang jumlahnya 1,5 Milyar lebih yang
sudah memiliki kesamaan akidah dan kesatuan al-Quran diasumsikan tidak bisa
disatukan?
2. Secara historis, bangsa-bangsa lain yang waktu itu belum memeluk Islam saja dapat
ditaklukan dengan dakwah dan Jihad dan disatukan dalam satu kepemimpinan yang
terbentang luas dari utara ke selatan, barat ke timur, padahal saat itu hanya berbekal
sarana ‘tinta’ dan ‘onta’, mengapa sekarang tidak? Padahal tidak perlu lagi
mengislamkan penduduknya –karena sudah muslim.
3. Tidak ada yang musthail dalam teori perubahan. Jangankan perubahan yang memiliki
landasan aqidah (seperti Khilafah Islamiyah), perubahan yang didasarkan pada basis
klan saja, atau basis paham kufur lainnya, bisa diwujudkan selama ada aktor-aktor
pejuangnya. Seperti pegiat sekulerisme misalnya yang berhasil meruntuhkan Khilafah
Islamiyah tahun 1942, kaum ilmuan yang berhasil merontokan monarki absolut di
Eropa, reformasi yang menumbangkan diktator rezim Suharto dan contoh lainnya. Nah,
pun dengan era Kapitalisme-Demokrasi sekarang ini, bisa diubah menuju era Khilafah
Islamiyah yang memiliki landasan teologis dan juga pejuang-pejuangnya. So, tidak ada
kata ‘mustahil’ dalam kamus perubahan.

Prof. Noah Feldman, Dosen Law School, Harvard University, AS dalam buku yang
berjudul, The Rise dan The Down of Islamic State. Disebutkan, “Dapat ditegaskan bahwa
meningkatnya dukungan rakyat (Islam) terhadap syariah Islam dewasa ini—meskipun pernah
mengalami keruntuhan—akan dapat mengantarkan pada terwujudnya Khilafah Islamiah yang
sukses.”

Noah Feldman dalam buku tersebut juga mengatakan, saat suatu kerajaan dan sistem
pemerintahan itu telah mengalami keruntuhan, sesungguhnya kerajaan dan sistem
pemerintahan itu tidak akan kembali, sebagaimana yang terjadi pada Sosialisme dan Monarki,
kecuali dalam dua keadaan saja, yaitu sistem demokrasi yang dulu telah pernah mendominasi di
Kerajaan Romania, dan dalam keadaan negara tersebut adalah Negara Islam (Khilafah).”

Pernyataan Prof. Noah didukung banyak fakta. Di antaranya, Pusat Kajian Strategi di
Universitas Yordan pernah melakukan sebuah survei pada tahun 2007 di empat negara besar di
dunia Islam (Marokko, Mesir, Indonesia dan Pakistan) seputar: a) Dukungan penerapan syariah
Islam di Dunia Islam; b) Bersatu dengan negara-negara lain di bawah bendera seorang khalifah
atau Khilafah; c) Menolak penjajahan asing dan politik negara-negara Barat secara umum; d)
Menolak penggunaan kekerasan melawan rakyat sipil. Hasil survei ini membuktikan bahwa
dukungan terhadap ide-ide di atas mencapai lebih 75%. Di Maroko para pendukung penerapan
Islam, syariah dan Khilafah mencapai 76%, di Mesir 74%, di Pakistan 79% dan di Indonesia
53%. (http://www.hizb.org.uk./hizb/resources/ issu…slim-word.html)

Selain itu, NIC (National Inteligent Council) yang berpusat di Washington dalam The
Global Futue Mapping 2020 di antara prediksinya adalah memperkirakan bakal berdirinya The
New Islamic Chaliphate. dalam buku Rusia Emperium Ketiga Ketua Dewan Duma (Parlemen
Rusia) Mikael Boreyev memperkirakan bahwa pada tahun 2020 mayoritas negara-negara di
dunia akan mengalami kehancuran dan nanti hanya akan ada lima negara besar, yakni: Rusia,
yang telah menggabungkan Eropa ke dalamnya; Cina, yang akan mendominasi negara-negara
Asia Timur dengan kekuatan ekonomi dan militernya; Khilafah Islamiah, yang akan
membentang dari Jakarta hingga Tangier dan mayoritas daerah Afrika selatan padang pasir; dan
Konfederasi yang menggabungkan benua Amerika Utara dan Amerika Selatan. Boreyev melihat
bahwa India juga mungkin akan menjadi negara besar jika ia mampu menghadapi kekuatan
Islam yang meliputinya.

Bahkan kesadaran akan possibilitas (kemungkinan) dan rasionalitas dari ide khilafah
telah memicu sejumlah pemimpin dunia memperingatkan tentang Khilafah sebagai ancaman
buat mereka., George W. Bush Pada September 2006 berkomentar tentang Khilafah. Bush
mengatakan, “Mereka itu sesungguhnya berusaha menegakkan kembali negara mereka yang
amat unggul, Khilafah Islamiah. Semuanya akan dipimpin dengan ideologi yang sangat dibenci
itu. Sistem Khilafah itu akan mencakup seluruh negeri-negeri Islam yang ada saat ini.”

Perdana Menteri Inggris waktu itu, Tony Blair, berkata di hadapan Konferensi Umum
Partai Buruh pada 16 Juni 2005 , “Kita sesungguhnya sedang menghadapi sebuah gerakan yang
berusaha melenyapkan negara Israel dan mengusir Barat dari Dunia Islam serta menegakkan
Daulah Islam tunggal yang akan menjadikan syariah Islam sebagai hukum di Dunia Islam
melalui penegakan Khilafah bagi segenap umat Islam.”

Maka tidak mengherankan jika Prof. Hassan Ko Nakata, cendekiawan Muslim Jepang,
ahli teori politik Islam, menyebutkan bahwa konsep khilafah bukanlah konsep yang tidak
realistis/utopis. Konsep yang sedang diperjuangkan Hizbut Tahrir sebagai sebuah “gerakan
politik Islam” adalah ide yang realibel. Ide ini bertumpu pada dalil yang kokoh. Bahkan baginya,
“Indonesia mempunyai syarat untuk tegaknya Khilafah itu.”

Berikut ayat tentang janji Allah akan memberikan kekuasaan (khilafah) kepada orang-
orang beriman, dan juga kabar gembira (bisyarah) Rasulillah Saw akan kembalinya khilafah ‘ala
minhaj an-Nubuwwah;

َ َ‫ااسْ ر‬ٞ‫ُ ُاُااٌَّ ِز‬َٕٙ٠‫ُ ْاُا ِد‬ٌَٙ‫َٓا‬


‫ُ ْاُا‬ٌَٙ‫ا‬ٝ‫ع‬ ‫َٓاا ِِ ْا‬٠‫ضا َو َّباا ْعز َْخٍَفَاااٌَّ ِز‬
‫ُ َّ ِّىٕ َّا‬١ٌََٚ ‫ ْاُا‬ِٙ ٍِ‫ٓالَ ْج‬ ‫ا ْاألَسْ ِا‬ِٟ‫ُ ْاُاف‬ََّٕٙ‫َ ْغز َْخٍِف‬١ٌَ‫دا‬
‫اااٌصَّبٌِ َحب ِا‬ٍُِّٛ ‫ َػ‬َٚ ‫اا ِِ ْٕ ُى ْاُا‬َُِٕٛ ‫َٓااآ‬٠‫ّللاُااٌَّ ِز‬‫ َػ َاذا َّا‬َٚ
)55‫ا‬:‫سا‬ٌٕٛ‫َْاا(ا‬ُٛ‫هاُ٘ ُاُا ْاٌفَب ِعم‬ ‫ٌَئِ َا‬ُٚ‫هافَؤ‬ ‫ َِ ْا‬َٚ ‫ْئبا‬١‫ا َش‬ِٟ‫َْااث‬ٛ‫ُ ْش ِش ُو‬٠‫لا‬
‫ٓا َوفَ َاشاثَ ْؼ َاذا َرٌِ َا‬ ‫ا َ ا‬َُِٟٕٔٚ‫َ ْؼجُذ‬٠‫ ْاُاأَ ِْٕبا‬ِٙ ِ‫ْ ف‬ٛ‫ٓاثَ ْؼ ِاذا َخ‬
‫ُ ْاُا ِِ ْا‬ٌََّٕٙ‫ُجَ ِّذ‬١ٌََٚ

‫ ُاشاثَْٓاا َعؼْذااأَرَحْ فَ ا‬١‫َباثَ ِش‬٠‫ا‬:‫ي‬


‫ظُا‬ ‫افَمَب َا‬ٟ ‫اثَ ْؼٍَجَ اخَااٌْ ُخ َشِٕ ُّا‬ُٛ‫افَ َجب َاءاأَث‬،َُٗ‫ث‬٠‫فا َح ِذ‬
‫َ ُى ُّا‬٠‫ ُاشا َسجُالاا‬١‫ َوبَْااثَ ِش‬َٚ ‫ا‬،‫ا ْاٌ َّ ْغ ِج ِذ‬ِٟ‫دااف‬ُٛ‫ا ُوَّٕبالُؼ‬:‫ي‬ ‫شاالَب َا‬١‫ٓاثَ ِش‬ ‫ٓاإٌُّ ْؼ َّب ِا‬
‫ْا ْث ِا‬ ‫َػ ِا‬
‫ا َّا‬ٍَّٝ‫ص‬
‫ّللاُا‬ ‫يا َّا‬
َ ‫ّللاِا‬ ‫ ُا‬ُٛ‫يا َسع‬ ‫الَب َا‬:ُ ‫فَ اخ‬٠ْ ‫يا ُح َز‬ ‫اثَ ْؼٍَجَ اخَافَمَب َا‬ُٛ‫ظاأَث‬ ْ ‫ظُا ُخ‬
‫طجَزَ اُٗافَ َجٍَ َا‬ ‫ا ْاألُ َِ َشا ِاءا؟افَمَب َا‬ِٟ‫ َعٍ َّ َاُاف‬َٚ ‫ ِاٗا‬١ْ ٍَ‫ّللاُا َػ‬
‫اأََٔباأَحْ فَ ا‬:ُ ‫فَ اخ‬٠ْ ‫يا ُح َز‬ ‫ا َّا‬ٍَّٝ‫ص‬ ‫يا َّا‬
َ ‫ّللاِا‬ ‫ ِا‬ُٛ‫ثا َسع‬٠ ‫َح ِذ َا‬
‫ُْاا َِباشَب َاءا َّا‬ٛ‫افَزَ ُى‬،‫ ِح‬َّٛ ُ‫بجاإٌُّج‬
‫ّللاُا‬ ‫َباإِ َرااشَب َاءاأَ ْا‬ٙ‫َشْ فَ ُؼ‬٠‫اثُ َّاُا‬، َْٛ‫ْارَ ُى‬
‫َ ِا‬ْٕٙ ِِ ‫ا‬ٍَٝ‫ُْاا ِخ َالفَخاا َػ‬ٛ‫اثُ َّاُارَ ُى‬،‫َب‬ٙ‫َشْ فَ َؼ‬٠‫ْا‬ ‫ّللاُاأَ ْا‬
‫ ُى ْاُا َِباشَب َاءا َّا‬١ِ‫ احُاف‬َّٛ ُ‫ُْااإٌُّج‬ٛ‫ا"ارَ ُاى‬:ُ‫ َعٍَّ َا‬َٚ ‫ ِاٗا‬١ْ ٍَ‫َػ‬
، َْٛ‫ْارَ ُى‬ ‫أَ ْا‬

Terkait tafsiran Qs. Al-Baqoroh 2:30, akan kami jelaskan pada bagian akhir. Silahkan
merujuk ke sana.

Paham Gagal MMR #5

“Survei ini (Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP UMJ tentang Relasi Islam dan Pancasila)
membuktikan bahwasanya masyarakat Indonesia masih memerlukan Pancasila dibandingkan
dengan sistem impor Khilafah Islamiyah yang secara historis belum teruji di sebuah Negara
seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika Indonesia diterapkan sistem Khilafah
maka kacau balau akan terjadi dengan sendirinya, dan Indonesia akan terbelah menjadi dua
wilayah.” (HTI Gagal Paham Khilafah hlm 72)

Kritik Paham Gagal MMR #5

Tuduhan khilafah Islamiyah sebagai system impor –dalam pengertian sesungguhnya-


adalah tuduhan yang tak mendasar. Tuduhan itu biasanya hanya muncul dari anak muda yang
‘menggebu-gebu’ ketika memberikan argumentasi sehingga kehilangan akal sehatnya.
Nampaknya pepatah lama masih relevan semut di seberang kelihatan, gajah di pelupuk mata
raib. Artinya, MMR lupa bahwa hampir keseluruhan system di Indonesia adalah produk impor.
Tidakkah ia tahu bahwa demokrasi adalah sistem impor? Tidakkah ia paham bahwa
KUHPidana/perdata adalah produk impor penjajah Belanda? Tidakkah ia juga sadar, bahwa
proses legislasi undang-undang di DPR seringkali didahului dengan study banding ke luar
negeri. Kalau bukan impor, lantas apa namanya?

Adapun membenturkan Islam dengan Pancasila adalah upaya yang tidak memiliki tujuan
kecuali memecah belah umat semata. Semestinya yang MMR benturkan adalah Islam dan
Kapitalisme-Liberalisme yang kini hari sedang menjajah negeri ini. Atau setidaknya MMR
membenturkan Islam dengan Sosialisme-komunisme. Karena memang secara akar dan daun
ketiga ideologi tersebut berbenturan.
Kapitalisme yang merupakan anak kandung sekularisme adalah paham yang
mengharuskan pemisahan agama dengan kehidupan, sosialisme adalah paham yang menjadikan
materi sebagai asal segala sesuatu dan tidak mengakui adanya pencipta/al-Khaliq. Jelas. Kedua
paham tersebut bertabrakan dengan Islam yang mengakui adanya Pencipta/al-khaliq dan
mengharuskan terikat dengan perintah dan larangaNnya dalam semua aspek kehidupan baik
politik, ekonomi, sosioal, pendidikan, pemerintahan dan sebagainya.

Ungkapan yang tidak memiliki pijakan ilmiah lagi adalah “kalau Khilafah diterapkan,
secara otomatis kacau balau akan terjadi. Indonesia akan terpecah jadi dua wilayah”. Ingat,
peneliti boleh salah tetapi tidak boleh membohongi publik. Atas dasar apa MMR mengatakan
demikian kalau bukan sekedar hipotesa yang faktanya tidak ada tetapi dihadirkan untuk
menakut-nakuti orang lain. Perhatikan saja, apakah ada fakta dalam dakwah Hizbut Tahrir
melakukan pengrusakan, kekacauan, menghancurkan pagar, bahkan sejengkal tanah pun HT
tidak pernah merampok dari Indonesia. Lantas, apa yang dimaksud Indonesia akan terpecah
menjadi dua wilayah?

Memberikan Pemahaman Objektif Terkait,

1. Q.s. an-Nisa/4:59
2. Q.s. al-Baqarah/2:30
3. Q.s. an-Nisa/4:65
4. Q.s. al-Midah/5: 48-49

1. Q.s. an-Nisa/4:59

‫َْااثِ َّا‬ُِِٕٛ ‫ْا ُو ْٕزُ ْاُارُ ْؤ‬


‫بّللِا‬ ‫ياإِ ْا‬ ‫ا َّا‬ٌَِٝ‫ اُٖاإ‬ٚ‫ءاافَ ُش ُّد‬َٟ
‫ ِا‬ُٛ‫اٌ َّشع‬َٚ ‫ّللاِا‬ ‫ا ْاألَ ِْ ِاشا ِِ ْٕ ُى ْاُافَئ ِ ْا‬ٌُِٟٚ‫أ‬َٚ ‫يا‬
ْ ‫اش‬ِٟ‫ْارََٕب َص ْػزُ ْاُاف‬ ‫ َا‬ُٛ‫اااٌ َّشع‬ُٛ‫ؼ‬١‫أَ ِغ‬َٚ ‫ّللاَا‬
‫اا َّا‬ُٛ‫ؼ‬١‫ااأَ ِغ‬َُِٕٛ ‫َٓااآ‬٠‫َبااٌَّ ِز‬ُّٙ٠َ‫َباأ‬٠
‫الا‬٠ِٚ ْ‫أَحْ َغُٓاارَؤ‬َٚ ‫ْشاا‬١‫ها َخ‬
‫ ِخ ِاشا َرٌِ َا‬٢‫ْ ِاَا ْا‬َٛ١ٌ‫ ْا‬َٚ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(Q.s. an-Nisa/4 :59)

Pada penggalan kalimat ulil amri, MMR memberikan komentar sebagai berikut
“penggalan ayat athiiullaaha wa athiiu al-Rasuul wa ulil amri minkum ini yang dimaksud adalah
orang-orang yang kompetensi dalam bidang fikih, ahli agama dan taat kepada Tuhan, mereka itu
orang-orang yang bekerja untuk masyarakat, melaksanakan perkara yang baik dan menghalangi
atau mencegah perbuatan yang jelek, dengan demikian maka masyarakat tersebut harus taat
kepada pemerintah.” MMR juga memberikan hadits yang berkaitan dengan ini (HTI Gagal
Paham, hlm 57)

Setelah memaparkan beberapa pandangan para ulama terkait siapa yang dimaksud ulil
amri, MMR sependapat dengan penafsiran Abdul Karim Khatib (w. 2008) dan Muhammad
Abduh (w. 1905) yang memahami kata ulil amri adalah orang-orang yang menegakan
kemaslahatan bagi masyarakat. Namun ketaatannya tidak bersifat mutlak, melainkan ketaatan
hanya kepada perintah-perintah yang bernuansa keadilan dan kebaikan. Jika terjadi
perselisihan, maka mesti dikembalikan kepada al-Quran dan as-Sunnah.

“Penafsiran ini sangat menjunjung tinggi aspek pluralism (bukan partai isme) agama,
seorang penguasa tidak dibatasi kepada orang muslim tetapi yang lebih dipertimbangkan
yakni kompetensi dan kapabilitas di dalam menjalankan perintah-perintah agama. Maka ulil
amri tidak dimonopoli oleh kelompok atau pihak tertentu, tetapi bisa disematkan kepada
individu yang mempunyai wewenang, baik dalam keluarga, masyarakat terkecil hingga
negara” (HTI Gagal Paham, hlm 59)

MMR juga mengkritik pendapat Hizbut Tahrir yang mengharuskan ulil amri seorang
muslim bahkan menjadikan dalil ini sebagai pilar pemerintahan Islam. Menurutnya yang
terpenting bagi ulil amri adalah mampu sebagaimana dalam hadits “bila persoalan diserahkan
kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. Dalam konteks negara
Indonesia, yang majemuk dan banyaknya agama-agama maka seorang pemimpin dimonopoli
oleh seorang muslim merupakan sikap egois. (HTI Gagal Paham Khilafah, hlm 60-61)

Meninjau Kembali

Seruan ayat ke 59 surat an-Nisa adalah kepada seluruh kaum muslimin. Mereka
diperintahkan untuk taat kepada Allah swt dengan cara menjankan perintahNya dan menjauhi
laranganNya. (al-Jaami’ li ahkaam al-Quran 3/167). Taat dalam hal ini adalah mengikuti al-
Quran.

Kedua, taat kepada Rasulullah Saw sebagai seorang rasul yang diutus dengan membawa
risalah dari Allah Swt dan risalah itu wajib ditaati. Oleh karena itu, taat kepada Rasul berarti
taat pula kepada Dzat yang mengutusnya. (lihat Q.s. [3]:32, 132, [5]:92, [8]: 1,20,26, [24]:54,
[47]:33 [58]:13).

Ketiga diperintahkan taat kepada ulil amri. Dan siapa yang dimaksud ulil amri, para
mufassir terjadi perbedaan pendapat.

1. Maknanya ulama/ahli fiqh. Pendapat ini diwakili oleh Jabir bin Abdillah, Ibn Abbas, al-
Hasan, Atha dan Mujahid. (Ahkam al-Quran 2/298)
2. Maknanya khulafa’. Pendapat ini diwakili oleh Ibnu Abbas dalam suatu riwayat, Abu
Hurairah, al-Sudi, dan Ibn Zayd (al-Bahr al-Muhith 3/290) menurut Ibn ‘Athiyah dan al-
Qurthubi, pendapat ini pendapat jumhur (al-Muharrar al-Wajiz 2/70)

Hizbut Tahrir cenderung mengambil pendapat kedua. Hal ini didasarkan pada konteks
asbab an-nuzul ayat tersebut berkaitan dengan komandan pasukan (kepemimpinan), yakni
ketika Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin Adi diutus oleh Rasulullah dalam sebuah ekspedisi
perang (sariyah) dimana ketika Ibnu Hudzafah meminta pasukannya menyerang, tetapi
sebagian pasukan tidak mematuhinya.

Kedua, karena ada beberapa hadits yang berkaitan dengan ini (konteks kepemimpinan).
Diantaranya, “Mendengar dan taat terhadap seseorang (pemimpin) muslim adalah wajib….”(HR.
Bukhari) “Barang siapa yang taat kepadaku, maka sungguh dia telah taat kepada Allah. Barang
siapa yang maksiat kepadaku, maka sungguh dia juga telah maksiat kepada Allah. Brang siapa
yang taat kepada pemimpin, maka sungguh dia telah taat kepadaku. Barangsiapa yang maksiat
kepada pemimpin maka sungguh ia telah maksiat kepadaku” (HR. Ibn Abi Hatim dari Abu
Hurairah)

Ini pemahaman satu sisi terkait siapa yang dimaksud ulil amri. Selanjutnya terkait
pemimpin harus muslim yang diambil dari ayat tersebtu (Qs 4:59), hal ini didasarkan pada
kalimat minkum yang kembali kepada dlamir ‫أمنوا‬/orang-orang beriman. Dalam Q.s. 3:28, orang-
orang beriman dilarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin/auliya. Berarti ulil amri yang
dimaksud mesti beriman. Ditambah lagi pada potongan ayat berikut, ‫ّللاِا‬ ‫ ا َّا‬ٌَِٝ‫ اُٖاإ‬ٚ‫ءا افَ ُش ُّد‬َٟ
ْ ‫ اش‬ِٟ‫ْ ارََٕب َص ْػزُ ْاُ اف‬
‫فَئ ِ ْا‬
‫ ِخش‬٢‫ْ ِاَا ْا‬َٛ١ٌ‫ ْا‬َٚ ‫بّللِا‬
‫َْا اثِ َّا‬ُِِٕٛ ‫ْا ُو ْٕزُ ْاُارُ ْؤ‬
‫ياإِ ْا‬
‫ ِا‬ُٛ‫اٌ َّشع‬َٚ /apabila terjeadi perselisihan, maka kembalikanlah kepada Allah
dan RasulNya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Bila pemimpin non muslim
diperbolehkan, maka mengapa harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya jika terjadi
perselisihan? Andaikata pun istidlal ayat ini disanggah oleh MMR yang membolehkan pemimpin
kafir/non muslim, maka sebetulnya ayat keharaman pemimpin kafir terdapat dalam berbagai
ayat lain.

1. Q.S. Ali Imran/3; 28

‫لاأَ ْا‬
‫ُ ْاُارُمَبحا‬ْٕٙ ِِ ‫اا‬ُٛ‫ْارَزَّم‬ ‫ءااإِ َّ ا‬َٟ ‫ْظا َِِٓاا َّا‬
ْ ‫اش‬ِٟ‫ّللاِاف‬ ‫ َا‬١ٍََ‫هاف‬ ‫ َِ ْا‬َٚ ‫َٓاا‬١ِِِٕ ‫ْا ْاٌ ُّ ْؤ‬
‫َ ْف َؼًْاا َرٌِ َا‬٠‫ٓا‬ ‫َب َاءا ِِ ْا‬١ٌِ َْٚ‫َٓااأ‬٠‫َْاا ْاٌ َىبفِ ِش‬ُِِٕٛ ‫َزَّ ِخ ِازا ْاٌ ُّ ْؤ‬٠‫لا‬
‫ ِا‬ُٚ‫ٓاد‬ ‫َا‬

ِ َّ ٌ‫ّللاِا ْا‬
‫ ُاش‬١‫ص‬ ‫ا َّا‬ٌَِٝ‫إ‬َٚ ‫ّللاُأَ ْف َغ اُٗا‬
‫ُ َح ِّز ُس ُو ُاُا َّا‬٠َٚ ‫ا‬

2. Q.S. Ali Imran/3; 118

‫ ُسُ٘ ْاُاأَ ْوجَ ُاشالَ ْاذا‬ُٚ‫صذ‬


ُ ‫ا‬ِٟ‫ َِبارُ ْخف‬َٚ ‫ ْاُا‬ِٙ ِ٘ ‫ا‬َٛ ْ‫ٓاأَف‬
‫عب ُاءا ِِ ْا‬ ‫اا َِبا َػِٕزُّ ْاُالَ ْاذاثَ َذ ِا‬ٚ‫ ُّد‬َٚ ‫َٔ ُى ْاُا َخجَبلاا‬ٌُْٛ‫َؤ‬٠‫لا‬
َ ‫دا ْاٌجَ ْغ‬ ‫ااثِطَبَٔخاا ِِ ْا‬ٚ‫لارَزَّ ِخ ُز‬
‫ِٔ ُى ْاُا َ ا‬ُٚ‫ٓاد‬ ‫اا َ ا‬َُِٕٛ ‫َٓااآ‬٠‫َبااٌَّ ِز‬ُّٙ٠َ‫َباأ‬٠
‫َْا‬ٍُِٛ‫ْا ُو ْٕزُ ْاُارَ ْؼم‬ ‫َب ِا‬٠٢‫ََّّٕباٌَ ُى ُاُا ْا‬١َ‫ث‬
‫داإِ ْا‬

3. Q.S. Ali Imran/3; 149-150

‫)اثَ ِا‬149(‫َٓاا‬٠‫ااخَب ِع ِش‬ُٛ‫اأَ ْػمَبثِ ُى ْاُافَزَ ْٕمٍَِج‬ٍَٝ‫ ُو ْاُا َػ‬ٚ‫َ ُش ُّد‬٠‫اا‬ُٚ‫َٓاا َوافَش‬٠‫اااٌَّ ِز‬ُٛ‫ؼ‬١‫ْارُ ِط‬
‫ًا َّا‬
‫ ُاشا‬١ْ ‫ا َخ‬ٛ‫ُ٘ َا‬َٚ ‫ْ َل ُو ْاُا‬َِٛ ‫ّللاُا‬ ‫ااإِ ْا‬َُِٕٛ ‫َٓااآ‬٠‫َبااٌَّ ِز‬ُّٙ٠َ‫َباأ‬٠
َٓ٠‫ص ِش‬ ِ ‫إٌَّب‬

4. Q.S. An-Nisa/4 : 138-139

‫َْاا ِػ ْٕ َذُ٘ ُاُا ْاٌ ِؼ َّض احَافَئ ِ َّا‬ٛ‫َ ْجزَ ُغ‬٠َ‫َٓااأ‬١ِِِٕ ‫ْا ْاٌ ُّ ْؤ‬
‫ْا‬ ‫َب َاءا ِِ ْا‬١ٌِ‫ْا‬َٚ‫َٓااأ‬٠‫َْاا ْاٌ َىبفِ ِش‬ٚ‫َزَّ ِخ ُز‬٠‫َٓاا‬٠‫)ااٌَّ ِز‬138(‫ّبا‬١ٌَِ‫ُ ْاُا َػ َزاثباأ‬ٌَٙ‫ْا‬
‫ ِا‬ُٚ‫ٓاد‬ ‫َٓااثِؤ َ َّا‬١ِ‫ثَ ِّش ِاشا ْاٌ َُّٕبفِم‬
‫ْاٌ ِؼ َّض احَا ِ َّا‬
‫ؼب‬١ِّ ‫ّللِا َج‬

5. Q.s. an-Nisa/4 :141

‫ ُى ْاُا‬١ْ ٍَ‫ ْارا َػ‬ِٛ ْ‫ااأٌََ ْاُأَ ْغزَح‬ٌُٛ‫تاالَب‬١‫ص‬ ِ َٔ‫َٓاا‬٠‫ْا َوبَْااٌِ ٍْ َىبافِ ِش‬
‫إِ ْا‬َٚ ‫ٓا َِ َؼ ُى ْاُا‬‫ااأٌََ ْاُأَ ُى ْا‬ٌُٛ‫ّللاِالَب‬
‫ْا َوبَْااٌَ ُى ْاُافَ ْزحاا َِِٓاا َّا‬ ‫َْااثِ ُى ْاُافَئ ِ ْا‬ُٛ‫َزَ َشثَّص‬٠‫َٓاا‬٠‫اٌَّ ِز‬
‫ًا‬١ِ‫َٓاا َعج‬١ِِِٕ ‫ا ْاٌ ُّ ْؤ‬ٍَٝ‫َٓاا َػ‬٠‫ّللاُاٌِ ٍْ َىبفِ ِش‬
‫ًا َّا‬ ‫َجْ َؼ َا‬٠‫ٓا‬ ‫ٌَ ْا‬َٚ ‫َب َِ ِاخا‬١ِ‫ْ َاَا ْاٌم‬َٛ٠‫َٕ ُى ْاُا‬١ْ َ‫َحْ ُى ُاُاث‬٠‫بّللُا‬
‫َٓاافَ َّا‬١ِِِٕ ‫َٔ َّْٕ ْؼ ُى ْاُا َِِٓاا ْاٌ ُّ ْؤ‬َٚ

‫ا‬

6. Q.s. al-Maidah/5 :51

‫ْا َّا‬
‫ّللاَا َ ا‬
‫ا‬ٞ‫ ِذ‬ْٙ َ٠‫لا‬ ‫ َِ ْا‬َٚ ‫َب ُاءاثَؼْطاا‬١ٌِ َْٚ‫ُ ْاُاأ‬ٙ‫ع‬
‫ُ ْاُاإِ َّا‬ْٕٙ ِِ ‫ُ ْاُا ِِ ْٕ ُى ْاُافَئَِّٔ اُٗا‬ٌََّٙٛ َ‫َز‬٠‫ٓا‬ ُ ‫َب َاءاثَ ْؼ‬١ٌِ َْٚ‫اأ‬ٜ‫صب َس‬
َ ٌَّٕ‫ا‬َٚ ‫ َادا‬َُٛٙ١ٌ‫اا ْا‬ٚ‫لارَزَّ ِخ ُز‬
‫اا َ ا‬َُِٕٛ ‫َٓااآ‬٠‫َبااٌَّ ِز‬ُّٙ٠َ‫َباأ‬٠
‫َٓا‬١ِّ ٌِ‫ْ َاَااٌظَّب‬َٛ‫ْاٌم‬
2. Q.s. Al-Baqarah/2 :30

Para mufassir telah sepakat, yang dimaksud ‫فخ‬١ٍ‫ خ‬pada ayat ‫فخ ا‬١ٍ‫ ااألسض اخ‬ٝ‫ اجبػً اف‬ٝٔ‫إ‬
/sesungguhnya Aku menjadikan seorang khalifah di bumi , adalah nabi Adam as. Hanya saja,
menjadi khalifah untuk siapakah nabi Adam as, ini yang menimbulkan pendapat beragam.

1. Khalifah untuk bangsa Jin/banu al-Jaan (Jaami’ albayan an ta’wil ay al-Quran 1/237,
at-Tafsir al-Munir 1/138)
2. Khalifah untuk para malaikat (Fath al-Qadir 1/77, Madaarik al-Tanzil wa Haqaaiq al-
Ta’wil 1/33, al-Wasith 1/113)
3. Khalifah bagi semua manusia. Maksudnya adam beserta keturunannya disebut
khalifah karena mereka menjadi kaum sebagian mereka menggantikan sebagian
yang lain. (Tafsir al-Quran al-Adzim 1/90, Mahaasin al-Ta’wil 1/284)
4. Khalifah bagi Allah di bumi dalam rangka menerapkan hukum-hukumNya (al-
Maalim al-Tanzil 1/31, Ruh al-Ma’ani 2/222, Fath al-Bayan 2/126, al-Futuhat al-
Islaamiyah 1/61, at-Tasyiil li ‘Ulum al-Tanzil 1/60, Adwa al-Bayan 1/20).
Kesimpulan ini juga didasarkan pada Qs. Shad/38: 26 yang berbunyi ‫ن ا‬ ‫ ُاد اإَِّٔب ا َج َاؼ ٍَْٕب َا‬ُٚٚ ‫َب ادَا‬٠
‫ً ا َّا‬
‫ُ ْاُا‬ٌَٙ‫ّللاِ ا‬ ‫َْا اػ ْا‬ٍُّٛ‫ع‬
‫ ِا‬١ِ‫َٓ ا َعج‬ ِ َ٠‫َٓا ا‬٠‫ْ ااٌَّ ِز‬ ‫ً ا َّا‬
‫ّللاِ اإِ َّا‬ ‫ ِا‬١ِ‫َٓ ا َعج‬ ِ ُ١َ‫ اف‬َٜٛ ٌَٙ‫ل ارَزَّجِ ِاغ ا ْا‬
‫عٍَّ َا‬
‫ه اػ ْا‬ ‫بط اثِ ْبٌ َح ِّا‬
‫ َ ا‬َٚ ‫ك ا‬ ‫ ا ْاألَسْ ِا‬ِٟ‫فَخا اف‬١ٍِ‫َخ‬
‫َْٓا اإٌَّ ِا‬١َ‫ض افَبحْ ُى ْاُ اث‬
‫ْ َاَ ا ْاٌ ِح َغب ِا‬َٛ٠‫ا ا‬ُٛ‫ذا اثِ َّب أَغ‬٠‫ َػ َزاةا ا َش ِذ‬/Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
‫ة‬
(penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti nafsumu. Nabi Daud termasuk keturunan Adam as.

Dari keempat pendapat tersebut, Hizbut Tahrir cenderung pada pendapat keempat.
Sebab, tugas khalifah adalah melaksanakan hukum-hukum Allah. Meski demikian, ada
perbedaan antara khalifah (penguasa) para nabi dengan para khalifah (penguasa) yang bukan
nabi. Setiap para nabi diutus sebagai penguasa, mereka juga membawa syariat tertentu yang
berbeda dengan syariat nabi lain. Adapun para khalifah setelah kerasulan Muhammad, tugas
mereka hanya melaksanakan risalah, bukan menerima risalah. Mereka juga diangkat bukan oleh
Allah sebagaimana para nabi. Mereka diangkat oleh umat –sehingga wajar disebut wakil umat-
untuk melaksanakan hokum-hukum Allah di bumi –sehingga wajar disebut wakil Allah swt.
Mereka juga menggantikan posisi kenabian (bukan dalam risalah) sehingga wajar jika disebut
khalifah/pengganti –dalam pengertian Bahasa- Muhammad Saw. Jadi tidak ada kontradiksi
antara pengertian wakil umat, wakil Allah Swt dan wakil Muhammad Saw sebagaimana yang
dituduhkan MMR.

1. Q.s. an-Nisa/4:65

َ َ‫ ْاُا َح َشجبا ِِ َّّبال‬ِٙ ‫اأَ ْٔفُ ِغ‬ِٟ‫ااف‬ُٚ‫َ ِجذ‬٠‫لا‬


‫ّب‬١ٍِ‫اارَ ْغ‬ُّٛ ٍِّ‫ُ َغ‬٠َٚ ‫ْذَاا‬١‫ع‬ ‫ُ ْاُاثُ َّاُا َ ا‬َٕٙ١ْ َ‫ َّبا َش َج َاشاث‬١ِ‫ناف‬
‫ َا‬ُّٛ ‫ُ َح ِّى‬٠‫ا‬َّٝ‫َْاا َحز‬ُِِٕٛ ‫ ُْؤ‬٠‫لا‬
‫ها َ ا‬ ‫فَ َ ا‬
‫ َسثِّ َا‬َٚ ‫الا‬

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya”

Ringkasnya, ayat ini kewajiban memadukan antara keimanan (kepercayaan) dengan


ketundukan berhukum pada syariah. Adapun bila ditarik pada dalil kewajiban adanya khalifah
dan sistem khilafah, penjelasannya sebagai berikut,
1. Syariah Islam meliputi tiga dimensi (dimensi pribadi/taklifnya kepada individu, dimensi
jamaah/taklifnya kepada jamaah, dimensi negara/taklifnya kepada negara)
2. Umat Islam dilarang mengambil sebagian dan membuang sebagian dari hukum syariah.
Umat Islam wajib mengambil dan menerapkan secara keseluruhan.
3. Maka keberadaan negara menjadi wajib karena seperangkat hukum syariah yang
taklifnya kepada negara tidak bisa dilaksanakan kecuali adanya negara. Kaidah
masyhur, ‫اجت‬ٚ‫ ا‬ٛٙ‫اجت األ اثٗ اف‬ٌٛ‫ ِب ال اثزُ اا‬/sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban terwujud,
maka keberadaan sesuatu tersebut menjadi wajib.
4. Adapun negara seperti apa yang bisa menerapkan syariah secara kaffah, silahkan MMR
lakukan lagi Tahqiiq al-Manath sehingga ditemukan ada negara selain khilafah yang
mampu menerapkan syariah secara kaffah. Rujuk lagi ke kritik point 2.

4. Q.s. al-Midah/5: 48-49

‫ُ ْاُا‬َٙ‫ج‬١‫ص‬ ‫ّللاُاأَ ْا‬


ِ ُ٠‫ْا‬ ‫ ُاذا َّا‬٠‫ ُِش‬٠‫ْ اافَب ْػٍَ ْاُاأََّٔ َّبا‬ٌََّٛٛ َ‫ْار‬ ‫ َا‬١ْ ٌَِ‫ّللاُاإ‬
‫هافَئ ِ ْا‬ ‫ْطا َِباأَ ْٔ َض َا‬
‫يا َّا‬ ‫َٓاثَؼ ِا‬ ‫ناػ ْا‬ ‫ َا‬ُٕٛ‫َ ْفزِا‬٠‫ْا‬ ‫احْ َزسْ ُ٘ ْاُاأَ ْا‬َٚ ‫ا َءُ٘ ْاُا‬َٛ ْ٘ َ‫لارَزَّجِ ْاغاأ‬
‫ َ ا‬َٚ ‫ّللاُا‬ ‫ُ ْاُاثِ َّباأَ ْٔ َض َا‬َٕٙ١ْ َ‫ْااحْ ُى ْاُاث‬
‫يا َّا‬ ‫أَ ِا‬َٚ
‫َْا‬ُِٕٛ‫ل‬ُٛ٠‫ْ َاا‬َٛ‫ّللاِا ُح ْاىّباٌِم‬ ‫ٓاأَحْ َغُٓاا َِِٓاا َّا‬ ‫ َِ ْا‬َٚ ‫َْاا‬ٛ‫َ ْج ُغ‬٠‫َّ ِاخا‬١ٍِِ٘ ‫)اأَفَ ُح ْى َاُا ْاٌ َجب‬49(‫َْاا‬ُٛ‫بطاٌَفَب ِعم‬ ‫شاا َِِٓااإٌَّ ِا‬١ِ‫ْا َوث‬ ‫إِ َّا‬َٚ ‫ ْاُا‬ِٙ ِ‫ث‬ُٛٔ‫ْطا ُر‬ ‫ثِجَؼ ِا‬

“Dengan pelbagai pendapat tentang sebab akibat ayat di atas muncul, tidak ditemukan
adanya indikasi tranformasi makna dari kata “hakim” menjadi sebuah sistem ke Khilafah-an.
Pesan yang perlu dipraktekkan dari kedua ayat di atas yakni tentang keputusan dan
pengambilan hokum sesuai dengan agama yang dianut oleh hakim tersebut. Esensi dan
substansi agamalah yang harus dimasukan kedalam sebuah undang-undang dan sistem
kenegaraan, dengan melihat multikulturalisme agama di Indonesia maka pintu kepentingan
kelompok yang selalu memperjuangkan simbolisme –atau aliran simbolik- agak susah
menerapkan gagasannya” (HTI Gagal Paham Khilafah. Hlm 46)

Pernyataan MMR di atas sangat asumtif dan tidak berdasar. Nampaknya MMR tidak
menyeluruh melihat penafsiran ulama seputar dua ayat tersebut. pertama MMR berasumsi
bahwa kedua ayat di atas menunjukan bahwa keputusan dan pengambilan hukum harus
disesuai dengan agama yang di anut hakim. Ini adalah kesimpulan serampangan, justru melalui
ayat tersebut jelas bahwa hukum yang harus diterapkan adalah Alquran baik kepada muslim
maupun kafir. Firman Allah SWT Wa anzalna ilaykal kitab bil haqq (dan Kami telah menurunkan
kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran).

Seruan ayat ini ditunjukan kepada Nabi Muhammad saw. oleh sebab itu, kata al-kitab
bermakna al-Quran. Ditegaskan, al Kitab membawa kebenaran. Menurut al Khazin dan AlQasimi,
ungkapan bi al-haqq memberikan pengertian bahwa di dalamnya berisi kebenaran dan tidak
ada keraguan, berasal dari sisi Allah SWT (AlKhazin, Lubab al Tawil wa fi Maani at Tanzil vol 2
hlm 50, Al Qasimi, Mahasin Al Tawil Vol 4 hlm 156 ). Begitu juga Assyaukani ketika menafsirkan
fahkum baynakum bima anzalallah (dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah) Ia memaknainya dengan bima anzalallah ilaiyka fil
quran (dengan apa yang diturunkan Allah kepadamu didalam Alquran) (AsSyaukani Fath
alQadir, vol. 2 hlm 638 ).

Sementara dhamir hum –pihak yang menjadi objek diterapkannya hukum- apabila
dikaitkan dengan sabab nuzul dan ayat-ayat sebelumnya, merujuk kepada yahudi atau ahli
kitab. Demikian pendapat beberapa mufassir, seperti al Thabari, Abu Hayyan Al Andalusi, dan
lain-lain (Jami Al Bayan vol 4 hlm 613, Tafsir Al Bahr Al Muhith, vol 3 hlm 512). Ini menunjukan
bahwa Alquran tidak hanya berlaku kaum muslim saja namun juga berlaku bagi kafir. Ditambah
lagi pada frasa berikutnya walaa tattabi ahwaahum amma jaaka (dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu).
Menurut Ibnu Athiyyah, kata al-hawa biasa digunakan untuk sesuatu yang didalamnya tidak
ada kebaikan (Al Muharrar Alwajiz vol 2 hlm 202). Sedangkan kata amma jaaka minal haq
menurut Abu Hayyan Al Andalusi adalah Al Quran (Tafsir AlBahru AlMuhith vol 3 hlm 512). Ini
menunjukan larangan meninggalkan Alquran dengan mengikuti hawa nafsu mereka. Apalagi
khitab dalam ayat ini ditujukan kepada Rasulullah, dan sebagaimana dipahami dalam ushul fiqh
bahwa seruan kepada Rasulullah juga merupakan seruan bagi seluruh umatnya selama tidak
ada qarinah yang menunjukan perintah ini khusus untuk beliau.

Terkait dengan asumsi bahwa dua ayat di atas tidak ada hubungannya dengan Khilafah atau
sistem ketatanegaraan lagi lagi MMR jatuh pada pemahaman gagal dalam memahami konsep
Khilafah secara komprehensif. ini sudah dijelaskan pada poin 1 dan 2 silahkan rujuk kembali.

Paham Gagal MMR # 6

“Melihat konteks historis-sosiologis Hizbut Tahrir Indonesia yang suka mempolitisasi ayat-ayat
al-Quran, maka hadits ini cukup menjadi dan disematkan kepada mereka. Rasulullah bersabda
‫ُا‬ٙ‫ّشقااٌغ‬٠‫ْآِااإلعالَاوّبا‬ٛ‫ّشل‬٠‫ا‬،‫خ‬٠‫يااٌجش‬ٛ‫شال‬١‫ْآِاخ‬ٌٛٛ‫م‬٠‫ا‬،َ‫بءااألحال‬ٙ‫اعف‬،ْ‫َاحذثبءااألعٕب‬ٛ‫اآخشااٌضِبْال‬ٟ‫اف‬ٟ‫ؤر‬٠
‫بِخ‬١‫َااٌم‬ٛ٠‫ُا‬ٍٙ‫ُاأجشاآٌّالز‬ٍٙ‫الز‬ٟ‫افئْاف‬،ٍُ٘ٛ‫ُ٘افبلز‬ٛ‫ز‬١‫ّٕباٌم‬٠‫افؤ‬،ُ٘‫ُاحٕبجش‬ٙٔ‫ّب‬٠‫صاإ‬ٚ‫جب‬٠‫الا‬،‫خ‬١ِ‫ "ِٓااٌش‬/Akan datang
di akhir zaman suatu kaum yang usianya masih muda-muda, bodoh-bodoh, mereka berkata
dengan sebaik-baik firman Allah, mereka lepas dari Islam seperti panah lepas dari busurnya,
dan iman mereka tidak melewati tenggorokannya. Jika kalian berjumpa dengan mereka maka
bunuhlah. Karena pembunuhan mereka memiliki pahala di hari kiamat (HR. Al-Baihaqi
VIII/187-188). (HTI Gagal Paham Khilafah hlm 65)

Kritik Paham Gagal MMR #6

Hizbut Tahrir Indonesia dan Hizbut Tahrir lahir bukan untuk mempolitisasi al-Quran –
jika politisasi yang dimaksud mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian dari hokum al-
Quran-. Tapi jika yang dimaksud politisasi al-Quran adalah keinginan menerapkan al-Quran
dalam sebuah system politik Islam (baca: Khilafah Islamiyah), maka hal itu tidak berlebihan
bahkan semestinya diperjuangkan pula oleh seluruh kaum muslimin.

Terlepas dari itu, sebagaimana yang tertuang dalam lembaran kitab-kitab Hizbut Tahrir,
HT didirikan sebagai bentuk memenuhi seruan dakwah berjamaah Qs. Ali Imran: 3:104 ‫ٌزىُإِىُ ا‬ٚ
‫ٔٓ ا‬ٛ‫ٌئه اُ٘ ااٌّفٍح‬ٚ‫أ ا‬ٚ‫ْ اػٓ اإٌّىش ا‬ٕٛٙ٠ٚ‫ف ا‬ٚ‫ْ اثب اٌّؼش‬ٚ‫ؤِش‬٠ٚ‫ش ا‬١‫ ااٌخ‬ٌٝ‫ْ اإ‬ٛ‫ذػ‬٠‫ أِخ ا‬/dan hendaklah di antara kamu
ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan
mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Manhaj Hizb at-
Tahrîr fî Taghyîr hlm. 36) tidak hanya itu, Hizbut Tahrir juga dalam semua aktifitasnya,
pendapat-pendapatnya, standarisasi dan cabang pemikirannya, tak satupun diambil kecuali
berdasarkan sumber Islam. Bukan yang lain.

Hizbut Tahrir adalah Partai Politik yang menjadikan Islam sebagai mabda/ideologinya.
Politik adalah aktifitsnya dan Islam adalah Ideologinya. Hizbut Tahrir bukan kelompok
kerohanian, bukan juga kelompok sosial atau kelompok ilmiah/pendidikan. Hizbut Tahrir
bergerak di tengah-tengah umat untuk menjadikan Islam hadir dalam kehidupan masyarakat
dan negara, perkara ini merupakan perkara terpenting agar kepemimpinan umat terwujud
dengan berdirinya Khilafah dan berhukum dengan hokum Allah Swt. (Manhaj Hizb at-Tahrîr fî
Taghyîr hlm. 28)

Dalam upaya merealisasikan tujuan tersebut, Hizbut Tahrir menempuh metode dakwah
Rasulullah sebagai bentuk at-taasi/ikutan kepadanya. Sebab dalam al-Quran kita diperintahkan
untuk meneladani Rasulullah Saw seperti terkutip dalam ayat ‫حاحغٕخآٌّاوبْا‬ٛ‫ياّللااأع‬ٛ‫اسع‬ٝ‫ٌمذاوبْاٌىُاف‬
‫شا‬١‫روش اّللا اوث‬ٚ‫َ ااألخش ا‬ٛ١ٌ‫ اا‬ٚ‫ا اّللا ا‬ٛ‫ش اج‬٠ /sungguh telah ada bagi kalian dalam diri Rasulullah Saw teladan
yang baik bagi siapa saja yang mengharapkan ridho Allah Swt dan hari akhir dan banyak
menyebut nama Allah Swt. Frasa liman kaana yajullah dst adalah qarinah yang menujukan wajib
meneladani Rasulullah. Pun dalam perkara mendirikan Daulah Islamiyah.

Oleh karena penjelasan di atas, sosiologis-historis apa yang dimaksud MMR sehingga
menuduh Hizbut Tahrir senantiasa ‘mempolitisasi’ al-Qur’an? Bahkan lebih ekstrem dari itu,
MMR menyematkan hadits di atas yang secara langsung membolehkan membunuh aktifis
Hizbut Tahrir?

Di dalam beberapa kitab hadits dan penjelasannya, hadits tersebut sebetulnya ditujukan
kepada kelompok al-Khawarij dan Syiah ekstrem. Sebab, mereka telah mengkafirkan kaum
muslim yang melakukan dosa besar, dan mereka juga saling membunuh satu sama lain.

‫ف‬١‫ااٌغ‬ٍٝ‫ااػ‬ٛ‫اجزّؼ‬ٚ‫االعُا‬ٟ‫ااف‬ٛ‫اسجااخزٍف‬ٛ‫اإْااٌخ‬:‫ي‬ٛ‫م‬٠ٚ‫اسجا‬ٛ‫اأصحبةااٌجذعاخ‬ّٟ‫غ‬٠‫ةا‬ٛ٠‫وبْاأ‬.
‫ْا‬ٍٛ‫غزح‬٠ٚ‫ُا‬ٙ‫اثذػز‬ٟ‫ُاف‬ٙ‫ْآِاخبٌف‬ٚ‫ىفش‬٠ٚ‫ةا‬ٛٔ‫ْاثبٌز‬ٚ‫ىفش‬٠‫ٓا‬١ٍّ‫يآِاوفشااٌّغ‬ٚ‫اسجاُ٘اأ‬ٛ‫اٌخ‬ٚ‫ا‬:‫خ‬١ّ١‫خااإلعالَااثٓار‬١‫لبياش‬
‫ْا‬ٛ‫ؼ‬١‫ط‬٠ٚ‫اٌغٕخا‬ٚ‫ْااٌىزبةا‬ٛ‫زجؼ‬٠‫اٌجّبػخا‬ٚ‫أً٘ااٌغٕخا‬ٚ‫با‬ٙ١‫ُاف‬ٙ‫ْآِاخبٌف‬ٚ‫ىفش‬٠ٚ‫ْاثذػخا‬ٛ‫جزذػ‬٠‫٘زٖاحبياأً٘ااٌجذعا‬ٚ‫ِباٌٗا‬ٚ‫دِٗا‬
‫شا‬١ِ‫اأثٕبءاخالفخاأ‬ٟ‫ؼخاحذثزباف‬١‫اٌش‬ٚ‫اسجا‬ٛ‫ااإلعالَاثذػخااٌخ‬ٟ‫ياثذػخاحذثذاف‬ٚ‫أ‬ٚ‫ا‬،‫ْااٌخٍك‬ّٛ‫شح‬٠ٚ‫ْااٌحكا‬ٛ‫زجؼ‬١‫ٌٗاف‬ٛ‫سع‬ٚ‫ّللاا‬
‫غٍتالزًا‬ٚ‫ا‬،‫ُاثبٌٕبس‬ٙ‫ز‬١ٌ‫ؼخافحشقاغب‬١‫أِبااٌش‬ٚ‫ا‬،ٍُٙ‫افمز‬،ٍٖٛ‫اسجافمبر‬ٛ‫اأِبااٌخ‬،ٓ١‫افؼبلتااٌطبئفز‬،‫اغبٌت‬ٟ‫اثٓاأث‬ٍٟ‫ٓاػ‬١ِٕ‫اٌّؤ‬
‫شا٘زٖااألِخاثؼذا‬١‫شحاأٔٗالبياخ‬١‫ٖاوث‬ٛ‫ج‬ٚ‫اػٕٗآِا‬ٜٚ‫س‬ٚ‫ػّشا‬ٚ‫اثىشا‬ٟ‫اأث‬ٍٝ‫فعٍٗاػ‬٠‫أِشاثجٍذآِا‬ٚ‫ا‬،ِٕٗ‫شةا‬ٙ‫ػجذّللااثٓاعجؤاف‬
)572‫اصا‬.‫األرجبعا‬ٚ‫حٗا(اإلخالصا‬١‫اصح‬ٟ‫اف‬ٞ‫اٖاػٕٗااٌجخبس‬ٚ‫س‬ٚ‫اثىشاثُاػّشا‬ٛ‫باأث‬ٙ١‫ٔج‬

Qadhi Abu Bakar al-‘arabi dalam Syarh at Tirmidzi mengatakan bahwa kelompok yang
dimaksud adalah orang-orang kafir. Sebab frasa ‫خ‬١ِ‫ُ آِ ااٌش‬ٙ‫ّشق ااٌغ‬٠ /keluarnya panah dari
busurnya dalam hadits, ‫ْ آِ ا‬ٛ‫ّشل‬٠‫ ا‬،‫خ‬٠‫ي ااٌجش‬ٛ‫ش ال‬١‫ْ آِ اخ‬ٌٛٛ‫م‬٠‫ ا‬،َ‫بء ااألحال‬ٙ‫ اعف‬،ْ‫َ احذثبء ااألعٕب‬ٛ‫ اآخش ااٌضِبْ ال‬ٟ‫ اف‬ٟ‫ؤر‬٠
‫بِخ‬١‫َ ااٌم‬ٛ٠‫ُ ا‬ٍٙ‫ُ اأجشا آٌّ الز‬ٍٙ‫ الز‬ٟ‫ افئْ اف‬،ٍُ٘ٛ‫ُ٘ افبلز‬ٛ‫ز‬١‫ّٕب اٌم‬٠‫ افؤ‬،ُ٘‫ُ احٕبجش‬ٙٔ‫ّب‬٠‫ص اإ‬ٚ‫جب‬٠‫ ال ا‬،‫اإلعالَ اوّب ايمرق السهم من الرمية‬.
maksudnya keluarnya seseorang dari Islam. Begitu juga kalimat dimana saja kamu menemukan
mereka, maka bunuhlah. Tidak mungkin disematkan kepada Hizbut Tahrir. Sebab pembunuhan
yang diperbolehkan dalam Islam adalah pembuhan yang dibolehkan hokum syara’, diantaranya
karena murtad, karena membunuh atau karena berzina bagi yang sudah kawin.

Perlu diingat, salah satu bentuk kekafiran adalah mengkafirkan saudaranya yang tidak
kafir. Dalam hadits riwayat Imam Muslim Rasulullah Saw bersabda, ‫َب ا‬ِٙ‫ ِاٗ ا َوبفِشا افَمَ ْاذ اثَب َاء اث‬١‫ي ا ِألَ ِخ‬ ‫ُّ َّب اا ِْ ِشاا الَب َا‬٠َ‫أ‬
‫إِ َّ ا‬َٚ ‫يا‬
‫لا َس َج َؼ ْا‬
ٗ‫ ِا‬١ْ ٍَ‫ذا َػ‬ ‫ أَ َح ُذُ٘ َّباإِ ْا‬/siapa saja yang mengatakan kafir kepada saudaranya. Maka kata-
‫ْا َوبَْاا َاو َّبالَب َا‬
kata itu akan mengenai salah satunya. Jika kata-kata itu benar, maka yang dituduh memang
kafir. Tetapi jika kata-kata itu salah, maka kekafiran akan kembali kepada yang mengatakan.
(Sya’b al-Iman juz 9 hlm. 44) Tentu dalam hadits ini kami tidak menuduh MMR kafir, kami
hanya mengingatkan agar hati-hati mencap kelompok sebagai orang yang halal darahnya
sebagaimana hadits yang dicapkan MMR kepada Hizbut Tahrir dalam karyanya Hizbut Tahrir
Indonesia Gagal Paham Khilafah hlm. 65)
Paham Gagal MMR #7

“Kesimpulan. Pertama, terdapat dalil-dalil al-Quran yang digunakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, lepas
dari substansi ayat. Ayat Qs al-Maidah/5: 48-49 melalui kata hakama atau fahkum diartikan institusi
atau sistem khilafah islamiyah. Ayat Qs al-Baqarah/2:30 melalui kata khalifah diartikan wakil umat
sekaligus berada dalam naungan sistem khilafah islamiyah. Ayat Qs an-Nisa/3:59 melalui kata ulil amri
telah disempitkan maknanya dan dibatasi hanya kepada seorang muslim. Ayat Qs. An-Nisa/3:65
dijadikan senjata pamungkas untuk mendirikan Negara Islam dan menggantikan sistem demokrasi di
Indonesia.

Kedua, implikasi dari transformasi makna dapat memiliki dampak negatif buat di Negara
Indonesia. Karena Indonesia selama ini menjalankan nilai-nilai Pancasila –yang tidak
bertentangan dengan Islam- dan juga tidak menganut sistem legalistik-formalistik, tetapi lebih
kepada tujuan Maqashid as-Syariah.

Meskipun demikian, doktrin khilafah islamiyah akan terus diboomingkan oleh organisasi
Hizbut Tahrir Indonesia. Ideologi transnasional tersebut merupakan sebuah kekhawatiran
tersendiri jika terjadi dan diterapkan di Indonesia, unifikasi Indonesia hakikatnya menafikan
terjadinya Khilafah Islamiyah. Dengan demikian, ada beberapa rekomendasi yang dapat kita
ajukan. Yaitu:

Pertama, kita perlu meyakinkan kepada masyarakat bahwa Pancasila dan Islam tidak ada yang
bertentangan. Dan kita harus selalu kritis terhadap dalil-dalil normative berupa al-Quran, yang
sering digunakan Hizbut Tahrir Indonesia, karena dari pengamatan dan penelitian ini
ditemukan bahwasanya ayat-ayat tersebut hanyalah legitimasi ideology mereka, untuk
menarik simpatik masyarakat.

Kedua, dalam rangka mematangkan ideologi Pancasila, dibutuhkan kerjasama yang intensif
dan terstruktur dari semua kalangan. Pemerintah, institusi atau universitas dan kampus-
kampus, pondok pesantren, dan para ulama yang otoritatif atau diakui keilmuannya di
Indonesia, untuk segera memformulasikan dan membahas ayat-ayat yang memiliki bias
negatif dan ditafsirkan khilafah Islamiyah. Pengamatan selama ini, para ulama hanya
menafsirkan sebagian kecil dan tidak menyeluruh. Dan umat Islam memiliki wewenang
mengeluarkan fatwa, untuk hati-hati dan tidak terjebak dalam parsialisme pemikiran. Demi
menjaga keutuhan internel dan eksternal dalam tubuh agama.

Ketiga, melanjutkan temuan Ainur Rofiq al-Amin (2012), tulisan ini mengingatkan khalayak
agar lebih kritis dalam mendengarkan argumentasi pegiat khilafah dan agar ada pembahasan
yang lebih komprehensif semua ayat-ayat al-Quran yang digunakan oleh kelompok Hizbut
Tahrir Indonesia.” (HTI Gagal Paham Khilafah hlm 100)

Kritik Paham Gagal MMR #7

Pertama, terdapat dalil-dalil al-Quran yang menunjukan kewajiban mengangkat


Khalifah. Diantaranya Q.s. al-Baqarah2/30, Qs. An-Nisa/4: 59, Q.s. an-Nisa/4: 65, Qs. Al-
Maidah/5: 48-49. Kedua, pemaknaan tersebut berimplikasi pada kewajiban memperjuangkan
adanya seorang Khalifah yang akan menerapkan hukum-hukum Allah Swt. Ditambah lagi
dengan berbagai hadits yang menjelaskan perkara tersebut. Oleh karena itu, upaya
mewujudkannya merupakan suatu kewajiban. Berkaitan dengan itu pula, beberapa hal mesti
kami rekomendasikan,

Pertama, meskipun kaum liberal berupaya keras menghalangi tegaknya Syariah-Khilafah, hal itu
tidak akan mematahkan semangat perjuangan umat. Sebab, sejatinya panggilan/dorongan
perjuangan tersebut lahir dari keimanan seorang muslim.

Kedua, kita juga musti mewaspadai setiap gerakan mereka dengan berbagai bentuk dan
namanya. Sebab, gerakan mereka bersifat massif, sistemik namun terkadang tidak terstruktur.
Artinya motivasi gerak masih didasarkan pada suatu sebab rasional (baca:ekonomi)

Ketiga, umat Islam mesti saling kerja sama bahu membahu dari semua elemen, baik akademisi,
ormas, tokoh masyarakat bahkan panglima militer. Perlu kita ingat selalu ungkapan ini, “Musuh-
musuh Islam akan mengalahkan kita dengan kekuatannya, tetapi kita akan mengalahkan
mereka dengan ketaatan kita (pada hukum Syara’).

B. Kritik Formil (Methodologi)

Dari berbagai kritik yang telah kami sampaikan terkait buku ‘gegabah’ Hizbut Tahrir
Indonesia Gagal Paham Khilafah karya Makmun Rasyid yang terpaksa kami sebut Makmun
Ghairu Rasyid, sebetulnya ada kritik yang lebih penting lagi, yaitu kritik metodologi, baik
metodologi kepenulisan atau metodologi penelitian. Dalam tradisi akademisi, bila metodologi
sebuah penilitan cacat, maka dengan sendirinya substansi atau hasil penelitian tersebut menjadi
cacat. Dosen penguji tidak layak meluluskan penelitian seperti ini.

Adapun kritik metodologi kepenulisan, kami masih menjumpai banyak kekeliruan atau
ketidaktelitian penulis. Diantaranya,

1. Mencantumkan dua kitab Hizbut Tahrir di Daftar Pustaka, padahal tidak terdapat di
catatan kaki/catatan akhir. Dua kita tersebut adalah Mukaddimah ad-Dustur dan
kitab Manhaj Hizb at-Tahrir Fii Taghyiir.
2. Referensi kitab primer Hizbut Tahrir sangat minim. Kami menghitungnya hanya
berjumlah 6 kitab primer Hizbut Tahrir, dan 7 kitab sekunder Hizbut Tahrir. Padahal
pada catatan kaki/akhir halaman 22 penulis mengatakan telah memiliki sebanyak
34 kitab Hizbut Tahrir. Tapi mengapa hanya sebagian kecil yang digunakan. Dengan
jumlah yang sangat minim itu, sulit menghasilkan kesimpulan yang objektif.
3. Masih banyak keteledoran penulis dalam mengedit dan menempatkan urutan.
Misalnya pada halaman 92, penulis mengatakan “pertama, ayat al-Baqarah/2:30 ini
akan penulis jelaskan panjang lebar pada bab IV nanti, silahkan rujuk ke sana”.
Setelah kami periksa, ternyata buku HTI Gagal Paham Khilafah hanya memuat tiga
pembahasan. Tidak ditemukan bab IV. Yang ada hanyalah Epilog Membongkar Nalar
Penafsiran Politis dan Politisasi Tafsir yang ditulis oleh Dr. Muhammad Ulinnuha
Khusnan Lc., M.A.

Sementara kritik metodologi penelitian, dalam hal ini penulis menggunakan metode
Tafsir Tematik/Maudui’, kami melihatnya masih kurang sempurna. Salah satu alasannya karena
penulis tidak membubuhi dalil-dalil normatif Hizbut Tahrir dengan berbagai hadits-hadits
shahih. Bagaimana mungkin tafsir tematik bisa menghasilkan pemahaman yang baik tanpa itu.

Kekeliruan metodologi kedua, penulis menjadikan Hermeneutika sebagai metode


memahami nash al-Quran. Padahal Hermeneutika adalah metode untuk memahami tulisan
manusia, dalam hal ini bibel (perjanjian lama) yang ditulis dengan Bahasa Hebrew 2000 tahun
setelah pewahyuannya, dan Bahasa Greek untuk perjanjian baru. Padahal Yesus sendiri
berbicara dengan Bahasa Aramaic. (MQS, Kaidah Tafsir, hlm 431-432). Terlebih lagi penulis
tidak membahas Hermeneutika jenis apa yang digunakan. Apakah Hermeneutika Klasik,
Romansis atau Filosopis.

Kami akan sangat menghargai bila metodologi yang digunakan adalah Ushul Fiqh.
Terlepas ushul fiqh madzhab mana pun. Sebab, satu-satunya metodologi memahami nash al-
Quran yang terkait dengan ahkam adalah Ushul Fiqh, bukan Hermeneutika dalam pengertian
yang sesungguhnya.

Pertanyaan kami kepada publik, dari sekian banyak kritik kami terhadap materi buku
tersebut, ditambah lagi metodologi yang keliru –kalau enggan dikatakan salah-, maka patutkah
kita menilai objektif?

Anda mungkin juga menyukai