Anda di halaman 1dari 5

Adanya bencana adalah sebuat fitrah bagi setiap negara di bumi ini, tak pandang negara maju atau

berkembang. Keberadaannya tak bisa ditolak dan dilawan. Negara hanya bisa mencegahnya, pun jika
bencana terlanjur terjadi, kebijakan manajemennya yang kemudian menjadi pilihan negara tersebut.
Konsep manajemen bencana pun berkembang di setiap negara. Tak ketinggalan negara berkembang
seperti Indonesia. Pengalaman bencana alam yang semakin deras menghampiri bangsa ini, membuat
negara berpikir keras untuk mencari solusi dalam mengatasi bencana. Bencana besar seperti tsunami
yang menghantam Aceh dan Nias tahun 2004 silam, kemudian gempa yang meluluhlantahkan DIY-Jateng
ditahun 2006, serta berbagai bencana lainnya sepertinya telah menyadarkan bangsa ini bahwa kita berdiri
diatas negara yang memang rawan bencana. Berbagai konsep menajemen bencana pun diangkat, mulai
dari konsep siklus bencana, manajemen bencana berbasis komunitas, desa siaga bencana, early warning
system) dan masih banyak lagi. Tak ketinggalan regulasi tentang penanganan bencana, dan pembentukan
badan nasional penanganan bencana menjadi kebijakan pemerintah. Tampaknya bangsa ini mulai sadar
untuk belajar berkawan dengan bencana.
Lepas dari kewajiban negara dalam menangani bencana, sisi penting yang tak kalah penting disorot
adalah solidaritas kemanusiaan yang makin erat di era ini. peran media yang semakin mengglobal, batas-
batas negara yang telah hilang, telah menghimpun rasa kemanusiaan bukan hanya level nasional,
melainkan internasional. Berbagai bantuan kemanusiaan mulai dari pangan, sandang, infrastruktur, medis,
maupun dalam bentuk uang mengalir deras. Jumlah sangat banyak bahkan fantastis. Dana yang terkumpul
tersebut digunakan untuk menangani korban bencana dari tanggap darurat sampai kepada rehabilitasi dan
rekonstruksi, karena tentu akan mengalami kesulitan ketika hanya mengandalkan dana dari pemerintah.
Dalam pembiayaan proses penanganan bencana, mulai dari keadaan tanggap darurat sampai kepada
tahap kesiap-siagaan (sebelum bencana) pun sebenarnya masih banyak permasalahan. Namun dalam
makalah ini, saya hanya akan memaparkan dari sisi akuntabilitas penggunaan dana bencana saja. Hal ini
sangat penting mengingat langkah penggunaan dana tersebut tidak diikuti dengan akuntabilitas,
transparansi, dan laporan penggunaan dana yang memuaskan terutama ke publik. Ini adalah masalah
yang sering terjadi, karena terkadang masyarakat juga kurang kritis terhadap penggunaan dana dan
penyaluran dana oleh lembaga/badan yang menangani bencana. Fenomena ini akan menyebabkan
kondisi lain yang memicu kerusuhan dan kegelisahan masyarakat seperti protesnya masyarakat korban
bencana terhadap dana rekonstruksi, program pemulihan sarana yang mandeg, dan lain sebagainya.

Makalah ini setidaknya ingin menjelaskan dua ide utama yaitu mengenai pemetaan sumber-sumber
pembiayaan untuk proses tanggap darurat kebencanaan, dan mengelaborasi serta menganalisa
akuntabilitas pengelolaan dana bencana. Pemaparan ini dilengkapi dengan analisis aktor-aktor yang
terlibat terutama dalam penyumbang dana, dan pengelola dana, serta bagaimana mekanisme akuntabilitas
tersebut coba untuk dibangun. Namun sebelum sampai ke ide utama, saya akan memaparkan secara
singkat terlebih dahulu apa itu bencana dan bagaimana logika negara harus bertanggung jawab
terhadapnya.

PEMBAHASAN
Apa itu bencana dan tanggung jawab negara
Menurut UU No 24 tahun 2007, yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Salah satu dari jenis
bencana itu sendiri adalah bencana alam. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana akan membuat manusia dalam
keadaan krisis, keterbatasan dalam mengakses berbagai sumber penghidupan karena rusaknya berbagai
sarana fisik maupun non fisik dan sarana pelayanan negara terhadap masyarakat seperti pendidikan,
kesehatan, dan lain-lainnya.

Mengingat konstitusi negara kita, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dan negara yang bertujuan
untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan. Sehingga negara dalam hal ini
harus bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan bangsanya termasuk dalam keadaan bencana yang
terjadi. Hal ini juga senada dengan pendapat Wolfgang Friedman menyebutkan bahwa fungsi negara
adalah sebagai: provider (penyedia), regulator (pengatur), entrepreneur (mensejahterakan),
dan umpire (penengah).[1] Dalam kondisi bencana seperti inilah kemudian negara seharusnya bisa lebih
responsif dan kritis terhadap tugasnya karena memang kondisi krisis yang dialaminya saat bencana terjadi
ditambah wilayah NKRI yang memang rawan bencana.
Penganggaran Bencana
Antara tugas/kewajiban negara dan pengalaman yang banyak karena telah ditimpa bencana yang tak
kunjung berhenti, negara dalam hal ini pemerintah pusat (eksekutif dan legislatif) telah memperlihatkan niat
baiknya untuk menangani bencana secara lebih serius. Dalam tataran regulasi misalnya, kita bisa
mengetahui produk-produk hukum yang telah dikeluarkan negara seperti UU Penanggulangan Bencana,
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Proses Penganggaran, Pengelolaan Pendanaan, dan produk
hukum lainnya untuk menciptakan pengelolaan bencana yang efektif, efisien, dan tepat sasaran. Terutama
dalam produk pendanaan bencana, Pemerintah telah mengeluarkan regulasi khusus untuk mengatasi
masalah pendanaan. Regulasi ini ditujukan untuk mendukung upaya penanggulangan bencana sehingga
berdaya guna, berhasil guna, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan dukungan finansial inilah
kemudian program manajemen bencana dibiayai. Baik yang berupa sarana fisik seperti jalur-jalur evakuasi,
penyediaan unit-unit teknis tanggap darurat (ambulans, mobil pengungsi,
dll), detectortsunami, detector longsor, dan lain-lainnya. Maupun program yang non fisik seperti sosialisasi
pengurangan resiko bencana, sosialisasi kebijakan desa siaga/tangguh, pelatihan dan simulasi bencana,
dan lain sebagainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dana penanggulangan bencana adalah dana yang digunakan bagi
penanggulangan bencana untuk tahap prabencana, tanggap darurat dan/atau pasca bencana. Sangat luas
memang skope pembiayaannya. Sehingga jenis pendanaanyapun bisa kita bagi sesuai dengan ketentuan
produk hukum yang berlaku yaitu Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2008:

1. Dana kontinjensi bencana adalah dana yang dicadangkan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya
bencana tertentu atau pra bencana. Dana ini berasal dari penganggaran APBN untuk tahap kesiap-
siagaan pada tahap pra bencana.
2. Dana siap pakai adalah dana yang selalu tersedia dan dicadangkan oleh Pemerintah untuk digunakan
pada saat tanggap darurat bencana sampai dengan batas waktu tanggap darurat berakhir. Dana ini
berasal dari penganggaran APBN namun ditempatkan pada BNPB (Badan Nasional Penanganan
Bencana). Pemerintah Daerah juga bisa menyiapkan dana siap pakai dengan menganggarkan dari
APBD nya dan ditempatkan dalam BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah).
3. Dana bantuan sosial berpola hibah adalah dana yang disediakan Pemerintah kepada pemerintah
daerah sebagai bantuan penanganan pascabencana. Dana ini bersumber dari APBN.
Dana-dana tersebut bersumber dari:

1. Pemerintah (APBN dan APBD)


2. Masyarakat, lembaga donor baik dalam maupun luar negeri, bantuan asing.

Pembiayaan Tanggap Darurat


Dalam proses tanggap bencana, dana yang dipakai untuk mengelola bencana adalah dana siap pakai.
Dana ini memang dana yang harus siap dan cepat cair, mengingat proses tanggap darurat yang memang
membutuhkan penanganan serba cepat. Berbeda dengan jenis dana lainnya yang relatif membutuhkan
waktu lama dan proses pengajuan yang lama pula. Karena karakter jenis dana yang berbeda ini maka
pengelolaan dan penggunaannya harus efektif dan efisien, namun prosedur juga berbeda dan tidak
berbelit-belit karena dihadapkan pada kondisi yang tidak biasa (genting). Untuk menjaga akuntabilitas dan
transparansi agar sesuai peraturan yang berlaku, maka kepala BNPB mengeluarkan Perka BNPB No 6
Tahun 2008 yang mengatur pedoman penggunaan dana siap pakai pada proses tanggap darurat.

Dana ini berasal dari APBN/APBD yang telah ditempatkan dalam anggaran BNPB/BPBD. Beberapa
mendapatkan sumber dana tambahan dari DAK yang besarannya telah disesuaikan. Dan sesuai dengan
kewenangannya, pengelolaan dan penggunaan dana tersebut dikelola oleh BNPB/BPBD. Untuk daerah
kabupaten/propinsi yang belum mempunyai lembaga tersebut, maka pengelolaannya diserahkan ke
lembaga yang menangani penanggulangan bencana. Di Propinsi Yogyakarta misalnya dikelola oleh Badan
Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Dana siap pakai ini digunakan untuk:

1. Pelaksanaan pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya.
2. Kegiatan penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.
3. Pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana.
4. Pelaksanaan perlindungan terhadap kelompok rentan
5. Dan kegiatan pemulihan darurat prasarana dan sarana.
Dana siap pakai tersebut diusulkan oleh pemerintah terkait kepada kepala BNPB dengan menyampaikan
laporan kejadian, jumlah korban, kerusakan dan bantuan yang diperlukan. Penetapan besar bantuan (uang
tunai, barang, jasa) dapat dilakukan berdasarkan usulan dari daerah instansi/lembaga terkait, laporan Tim
Reaksi Cepat (TRC), hasil koordinasi, atau inisiatif dari BNPB sendiri. Jadi prosedurnya adalah ketika
BNPB mendapatkan laporan bencana, maka tim dari BNPB (TRC) akan mengecek lapangan dan
memverifikasi data yang diperoleh sebagai pedoman mengeluarkan dana. Bantuan dana tersebut
langsung diserahkan kepada pemerintah propinsi/kabupaten untuk segera didistribusikan dan digunakan
untuk keperluan penanganan bencana. Logika teknokratis administratif sangat kental dalam proses ini.
Setiap proses penyerahan harus terekam dan terdokumentasikan dalam sebuah catatan administrasi.

Untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana penanggulangan bencana, maka
penerima bantuan dana siap pakai harus memberikan laporan pertanggung jawaban sesuai ketentuan
yang berlaku. Pertanggungjawaban kinerja dan keuangan tersebut harus segera dilaporkan ke
BNPB/BPBD selambat-lambatnya tiga bulan setelah masa tanggap darurat. Jika terdapat sisa dalam
pemakaian dana penanggulangan bencana tersebut maka wajib untuk dikembalikan ke kas negara dengan
bukti setoran disampaikan kepada BNPB. Penyetoran sisa dana tersebut dilakukan bersamaan dengan
masa pertanggungjawaban dana siap pakai.

Analisa Akuntabilitas Pengelolaan Dana Bencana


Seperti yang telah sempat disinggung di awal pembahasan, bahwa persoalan akuntabilitas pengelolaan
dana penanggulangan bencana masih sangat minim. Salah satu faktor utamanya adalah karena sifat
bencana itu sendiri yang merupakan kondisi extraordinary, sehingga seringkali program yang digulirkan
berjalan di luar standar operasional prosedur yang ada dalam kondisi normal.[2] Permasalahan seperti ini
hampir merata di seluruh wilayah/daerah. Penanganan untuk distribusi bantuan bagi masyarakat korban
bencana juga terjadang kurang maksimal dan penuh kekeliruan karena kesalahan administratif dan
terkendala keadaan situasi krisis, sedangkan bagi instansi penyelenggara administrasi seperti bukti
penerimaan bantuan, kartu tanda penduduk sangatlah penting. Banyak sekali permasalahan yang terjadi
ketika mis-alokasi dana bantuan, atau penumpukan dana bantuan karena memang sulitnya keadaan dan
kurangnya koordinasi.
Berikut ini beberapa contoh penyimpangan dana bantuan bencana yang terjadi dengan berbagai macam
modusnya:[3]
1. Penggelembungan data administrasi penduduk yang menjadi korban. Menggelembungkan data
jumlah penduduk yang menjadi korban bertujuan mendapatkan alokasi dana bantuan lebih besar dari
yang sebenarnya. Setelahnya, pelaku korupsi akan mengambil selisih dana bantuan berdasarkan
angka nyata dan angka manipulasi.
2. Penyunatan dana bantuan oleh aparat birokrasi kepada warga korban. Dengan berbagai dalih, kerap
aparat birokrasi memaksa warga korban untuk menandatangani bukti penerimaan yang tidak sesuai
dengan jumlah uang yang diterima. Situasi yang mendesak, kebutuhan atas dana bantuan, dan
ketidakberdayaan korban bencana dimanfaatkan oleh pelaku untuk menekan. Hasilnya, warga korban
dengan sangat terpaksa menandatangani bukti penerimaan uang yang tidak benar.
3. Proyek fiktif. Data yang tidak valid serta berbeda-beda antara satu unit dan unit lainnya turut
menyuburkan berbagai macam proyek fiktif, terutama dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Dobel
alokasi anggaran, ulah kontraktor yang nakal, serta aparat birokrasi yang korup menjadi salah satu
faktor menjamurnya proyek fiktif dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk satu proyek
pembangunan infrastruktur sangat mungkin akan dilaporkan oleh dua instansi yang berbeda.
4. Wanprestasi kontraktor atas berbagai macam pekerjaan untuk membangun kembali infrastruktur serta
pengadaan sarana dan prasarana pascabencana. Banyak gedung, jalan, rumah pengungsi, serta
fasilitas sosial dan umum lainnya yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan standar kualitas yang telah
ditentukan. Dengan memanfaatkan situasi darurat, tiadanya mekanisme tender dalam pengerjaan
proyek pemerintah telah memberi kontribusi bagi terjadinya salah urus dalam penanganan proyek.
Bahkan terkadang aparat birokrasi yang mengendalikan pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi terlibat
sekaligus sebagai kontraktor.
Walaupun banyak permasalahan yang terjadi dalam penanganan korban bencana, bukan lantas kewajiban
akuntabilitas lembaga/instansi penyelenggara penanggulangan bencana gugur. Lembaga/instansi tersebut
harus tetap menegakkan akuntabilitasnya. Berikut ini beberapa contoh proses untuk meningkatkan
akuntabilitas sebuah lembaga:[4]
1. Kejelasan arus penerimaan, baik itu berupa besar dana bantuan maupun asal dari dana bantuan
tersebut. Instansi/lembaga harus terbuka terhadap publik dengan data-data pemasukan dana bantuan
yang ada.
2. Proses penyaluran dana bantuan juga menjadi penting dalam menegakkan akuntabilitas
instansi/lembaga. Transparan disini bukan hanya persoalan besaran pengeluaran saja, tetapi juga
program yang akan atau sudah dilakukan kaitannya dalam penanganan bencana. Program apa saja
yang telah dilakukan untuk menangani proses tanggap darurat, dimana tempat, dan informasi warga
korban bencana yang mendapatkan bantuan dana.
3. Pelibatan instansi-instansi terkait. Penanganan bencana bukanlah penanganan yang bersifat sendiri-
sendiri. Tapi koordinasi antar instansi sangatlah penting untuk menangani bencana. Dengan
koordinasi antar instansi seperti ini akuntabilitas akan lebih baik terbangun, karena masing-masing
akan saling mengawasi.
4. Pelibatan penerima manfaat (beneficiaries) atau korban bencana itu sendiri. Di sisi ini lembaga perlu
membuat kajian yang mendalam atas dampak bantuan yang telah disalurkan. Kaji dampak ini bisa
dilakukan secara reguler dan diinformasikan kepada publik.
Dari keempat proses diatas, boleh kiranya saya menganggap bahwa proses pertama dan kedua lebih ke
teknokratis administratif, sedangkan proses ketiga dan keempat adalah proses yang lebih kearah politis.
Dalam implementasinya kedua proses baik itu teknokratis administratif maupun politis sama-sama lemah di
Indonesia.

Analisa Aktor
Dalam proses akuntabilitas pengelolaan dana bantuan bencana tersebut setidaknya ada:

1. BNPB/BPBD adalah badan bentukan pemerintah nasional (BNPB) dan pemerintah daerah (BPBD)
yang mempunyai tugas dan wewenang untuk menangani penanganan bencana yang terjadi di
Indonesia, baik dalam pengelolaan dana bantuan maupun program.
2. Inspekrorat jenderal BNPB/BPBD adalah lembaga inspektorat eksekutif yang mengawasi internal dari
BNPB/BPBD
3. Pemerintah Daerah bisa berperan sebagai institusi yang menangani penanganan bencana dan dana
bantuan yang telah diusulkan sebelumnya ke BNPB/BPBD
4. BPK atau Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga yang mengawasi penggunaan dana bantuan
yang telah dicairkan dari kas negara. BPK akan melakukan pengawasan terhadap institusi yang
menggunakan uang negara tersebut.
5. Lembaga donor/kemanusiaan non pemerintah adalah lembaga yang melengkapi dan berkolaborasi
dengan negara dalam menangani dan membantu korban bencana. Lembaga ini mempunyai
mekanisme akuntabilitas sendiri.
6. Media massa juga mempunyai peran dalam membantu mewujudkan akuntabilitas dari
lembaga/institusi tertentu, karena pada dasarnya media massa adalah penghubung publik.

PENUTUP
Pengelolaan dana bantuan bencana mempunyai skope yang sangat luas sekali. Penanganan bencana
tidak hanya dipandang hanya dalam masa tanggap darurat saja, melainkan ada sebuah siklus atau proses
yang sangat kompleks. Di siklus tersebut ada proses prabencana atau kesiap-siagaan, proses tanggap
darurat, proses pasca bencana atau rekonstruksi dan rehabilitasi. Semua tahapan proses tersebut
sebenarnya penting semua dan patut kita perhatikan semua. Pengalaman di Indonesia, proses
penanggulangan bencana terkadang baru fokus ke proses tanggap darurat saja. Sedangkan proses yang
lain sering kurang perhatian baik itu program maupun dukungan financial. Untuk itu perlu kiranya negara
mulai memperhatikan tahapan yang lain sehingga proses penanggulangan bencana bisa berjalan dengan
baik.

Dalam proses penanggulangan bencana, dukungan financial sangatlan penting untuk menangani bencana
dan merehabilitasi serta merekonstruksi kembali. Bahkan tak sedikit bantuan baik dari masyarakat dalam
negeri maupun bantuan negara asing yang masuk ke dalam dana bantuan yang dikelola negara. Kini
saatnya pemerintah kembali meningkatkan akuntabilitas sebagai bukti kepercayaan publik dan
transparansinya terhadap penggunaan dana bantuan sebagai pertanggungjawaban pemerintah. Kendala
teknokratis-administratif memang sering lambat dalam kondisi krisis saat bencana. Ini perlu diperhatikan
karena aturan administrasi memang penting sebagai data dalam pertanggungjawaban atau laporan
nantinya. Point yang juga tak kalah penting adalah akuntabilitas secara politis. Pemerintah dalam hal ini
perlu menjalin hubungan dengan instansi lain, selain untuk koordinasi agar penanganan bencana lebih
efektif dan efisien juga bisa memunculkan mekanisme saling mengawasi antar instansi. Hubungan dengan
masyarakat korban bencana juga perlu dijalin sehingga pemerintah juga mengenal benar apa yang
dibutuhkan masyarakat korban bencana dan informasi keterbukaan publik juga tersampaikan.

[1] Essay oleh Geneng Dwi Yoga Isnaini yang berjudul Penanggulangan Bencana, Antara Regulasi dan
Implementasi dalam Jurnal Transisi Volume 3 No. 2 tahun 2009
[2] Diakses dari http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=62 pada hari Selasa, 30
November 2010 pada pukul 20.10 WIB
[3]Diakses dari http://www.antikorupsi.org/antikorupsi/?q=content/18658/mewaspadai-penyimpangan-dana-
bencana pada hari Selasa, 30 November pada pukul 20.15 WIB
[4] Diakses dari http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=62 pada hari Selasa, 30
November 2010 pada pukul 20.10 WIB

Anda mungkin juga menyukai