Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH DAN ASUHAN KEPERAWATAN

“COLELITIASIS”

DISUSUN OLEH : KELOMPOK III


1. Anggraeni Dewi R. (PK 115 016 003)
2. Desak Ayu Sinta Sari (PK 115 016 005)
3. Mutiara Septianty (PK 115 016 020)
4. Mega Ulva (PK 115 016 077)
5. Jersi Inneke (PK 115 016 014)
6. Ariani (PK 115 016 004)
7. Moh. Yaser (PK 115 016 018)
8. Rajif De Sugandi (PK 115 016 028)

KELAS : IV A

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA JAYA

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Palu, 11 April 2018

Kelompok 3

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... 2
DAFTAR ISI ..........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
1.1 Latar Belakang............................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................4
1.3 Tujuan.........................................................................................................5
BAB II TINJAUAN TEORI.................................................................................5
2.1 Definisi.......................................................................................................6
2.2 Etiologi …….….........................................................................................6
2.3 Patofisologi.................................................................................................8
2.5 Manifestasi Klinis.....................................................................................12
2.6 Klasifikasi.................................................................................................13
2.7 Komplikasi................................................................................................19
2.8 Pemeriksaan Diagnostik...........................................................................19
2.9 Penatalaksanaan........................................................................................20
2.10 Pencegahan.............................................................................................21
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN .............................................................22
3.1 Pengkajian …………………………………………………………….. 23
3.2 Diagnosa………………………………………………………………...23
3.3 Intervensi .................................................................................................23
BAB IV PENUTUP.............................................................................................29
4.1 Kesimpulan...............................................................................................29
4.2 Saran.........................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................30

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting


di negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis,
sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas.

Sekitar 5,5 juta penderita batu empedu ada di Inggris dan 50.000
kolesistektomi dilakukan setiap tahunnya. Kasus batu empedu sering
ditemukan di Amerika, yaitu pada 10 sampai 20% penduduk dewasa. Setiap
tahun beberapa ratus ribu penderita ini menjalani pembedahan. Dua per tiga
dari batu empedu adalah asimptomatis dimana pasien tidak mempunyai
keluhan dan yang berkembang menjadi nyeri kolik tahunan hanya 1-4%.
Sementara pasien dengan gejala simtomatik batu empedu mengalami
komplikasi 12% dan 50% mengalami nyeri kolik pada episode selanjutnya.
Risiko penderita batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi relatif
kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu menimbulkan masalah
serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan
penyulit akan terus meningkat.

Insiden batu kandung empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti,


karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung empedu tanpa
gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos
abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain

Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu


tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu
menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu
sekunder. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk
primer di dalam saluran empedu intra-atau ekstra-hepatik tanpa melibatkan

4
kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada
pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat.

Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi


komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu
asimtomatik.

Pada sekitar 80% dari kasus, kolesterol merupakan komponen terbesar dari
batu empedu. Biasanya batu - batu ini juga mengandung kalsium karbonat,
fosfat atau bilirubinat, tetapi jarang batu- batu ini murni dari satu komponen
saja.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang kelompok angkat dalam makalah ini, antara
lain :

1. Apa definisi kolelitiasis ?


2. Bagaimana etiologi kolelitiasis ?
3. Bagaimana patofisiologi kolelitiasis.
4. Bagaimana manifestasi klinis kolelitiasis ?
5. Bagaimana klasifikasi batu empedu ?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostic kolelitiasis ?
7. Bagaimana penatalaksanaan kolelitiasis ?
8. Bagaimana komplikasi kolelitiasis ?
9. Bagaimana pencegahan kolelitiasis ?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan kolelitiasis ?

5
1.3 Tujuan

1. Mengetahui definisi kolelitiasis.


2. Mengetahui etiologi kolelitiasis.
3. Mengetahui patofisiologi kolelitiasis.
4. Mengetahui manifestasi klinis kolelitiasis.
5. Mengetahui klasifikasi batu empedu.
6. Mengetahui pemeriksaan diagnostic kolelitiasis.
7. Mengetahui penatalaksanaan kolelitiasis.
8. Mengetahui komplikasi kolelitiasis.
9. Mengetahui pencegahan kolelitiasis.
10.Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan kolelitiasis.

6
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi

Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah


kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang
membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung
empedu. Batu Empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu
atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung
empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut
koledokolitiasis (Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2011).

Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk


dalam kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari
kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70%
batu saluran empedu adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol
dan sisanya dengan komposisi yang tidak diketahui. Di negara-negara Barat,
komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian batu
empedu mengandung kolesterol lebih dari 80% (Majalah Kedokteran
Indonesia, volum 57, 2007).

2.2 Etiologi

Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis


dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:

7
a. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis


dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eksresi kolestrol oleh kandung empedu.
Kehamilan yang meningkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko
terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolestrol dalam kandung empedu dan
penuruan aktivitas pengosongan kandung empedu.

b. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya


usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.

c. Obesitas

Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin,


diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan
peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama
untuk pengembangan batu empedu kolesterol.

d. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu.
Kondisi yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang
belakan (medulla spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian diet
nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan berat badan yang
berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah
lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan
produksi garam empedu, serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke
intestinal.

e. Obat-obatan

8
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker
prostat meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat
fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui
sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol.
Analog somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu
empedu dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.

f. Diet

Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik.
Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol
empedu. Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.

g. Keturunan

Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya


adalah turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar
identik fraternal.

h. Infeksi Bilier

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian


pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan
pembentukan mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler
sebagai pusat presipitasi.

i. Gangguan Intestinal

Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan
atau kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan
agen pengikat kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan
meningkatkan konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu
empedu.

9
j. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya


kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.

k. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak


terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.

2.3 Patofisiologi

Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada


umumnya merupakan satu proses yang bersifat multifaktorial. Kolelitiasis
merupakan istilah dasar yang merangkum tiga proses litogenesis empedu
utama berdasarkan lokasi batu terkait:

1. Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)


2. Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus)
3. Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal
percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri)

Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe
berpigmen pada dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme
yang berbeda sehinggakan patofisiologi batu empedu turut terbagi atas:

1. Patofisiologi batu kolesterol


2. Patofisiologi batu berpigmen

A. Patofisiologi Batu Kolestrol

10
Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek
utama yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan:
1) Supersaturasi kolesterol empedu
2) Hipomotilitas kantung empedu
3) Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol
4) Hipersekresi mukus di kantung empedu

a. Supersaturasi kolesterol empedu

Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada


metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam
empedu akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas
detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin).
Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel, vesikel,
campuran misel dan vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan
normal dengan saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol wujud dalam
bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid
seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel dan
tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian
hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel.

Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi


kolesterol yang akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu
misel dan vesikel. Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat
lebih besar daripada misel dan memiliki fosfolipid dwilapisan tanpa
mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen berpolar vesikel
turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair
ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk
bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier
diangkut dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam
bentuk vesikel. Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi terhadap
pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi

11
dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal.. Empedu yang
tersupersaturasi dengan kolesterol akan berwujud lebih dari satu fase
yaitu dapat dalam bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal
dan cenderung mengalami presipitasi membentuk kristal yang
selanjutnya akan berkembang menjadi batu empedu.

Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam


bentuk vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami
fusi dan agregasi hingga membentuk vesikel multilamelar (kristal
cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan
akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses
nukleasi. Teori terbaru pada saat ini mengusulkan bahwa keseimbangan
fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor utama yang
menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu
empedu.

Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama


yang menentukan litogenisitas empedu. Faktor-faktor yang mendukung
supersaturasi kolesterol empedu termasuk:

1. Hipersekresi kolesterol.
2. Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan
asam empedu.
3. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid.

Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama


supersaturasi kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol dapat
disebabkan oleh:

1. Peningkatan uptake kolesterol hepatik


2. Peningkatan sintesis kolesterol
3. Penurunan sintesis garam empedu hepatik
4. Penurunan sintesis ester kolestril hepatik

12
Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki
aktivitas koenzim A reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA)
yang lebih tinggi dibanding kontrol. Aktivitas HMG-CoA yang tinggi
akan memacu biosintesis kolesterol hepatik yang menyebabkan
hipersekresi kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol mengakibatkan
konsentrasi kolesterol yang melampau tinggi dalam empedu hingga
terjadi supersaturasi kolesterol dan ini menfasilitasi pembentukan
kristal kolesterol sesuai dengan gambaran pada diagram keseimbangan
fase.

Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai


dengan perannya sebagai pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam
empedu misalnya pada keadaan mutasi pada molekul protein transpor
yang terlibat dalam sekresi asam empedu ke dalam kanalikulus (disebut
protein ABCB11) akan menfasilitasi supersaturasi kolesterol yang
berlanjut dengan litogenesis empedu. Komposisi dasar garam empedu
merupakan asam empedu di mana terdapat tiga kelompok asam empedu
utama yakni:

1. Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam
kenodeoksikolik.
2. Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam
litokolik.
3. Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik.

Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile


acid pool) dan masing-masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang
berbeda. Sifat hidrofobisitas yang berbeda ini akan mempengaruhi
litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam empedu, semakin besar
kemampuannya untuk menginduksi sekresi kolesterol dan mensupresi
sintesis asam empedu. Kombinasi dari kedua-dua hal ini akan menjurus
kepada empedu yang litogenik. Konsentrasi relatif tiap asam empedu

13
yang membentuk cadangan asam empedu tubuh akan mempengaruhi
CSI karena memiliki sifat hidrofobisitas yang berbeda. Asam empedu
primer dan tertier bersifat hidrofilik sementara asam empedu sekunder
bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu umumnya mempunyai
cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik yang
lebih besar. Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu
meningkatkan CSI dengan meninggikan sekresi kolesterol dan
mengurangi waktu nukleasi. Sebaliknya, asam ursodeoksikolik dan
kenodeoksikolik merupakan asam empedu hidrofilik yang berperan
mencegah pembentukan batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan
sekresi kolesterol. Asam ursodeoksikolik turut menurunkan CSI dan
memperpanjang waktu nukleasi, diduga dengan cara melemahkan
aktivitas protein pronukleasi dalam empedu.

Sembilan puluh lima persen dari pada fosfolipid epedu terdiri atas
lesitin. Sebagai komponen utama fosfolipid empedu, lesitin berperan
penting dalam membantu solubilisasi kolesterol. Mutasi pada molekul
protein transpor fosfolipid (disebut protein ABCB4) yang berperan
dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin) ke dalam empedu
terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa muda.

b. Hipomotilitas kantung empedu


Motilitas kantung empedu normal merupakan satu proses fisiologik
yang mencegah litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu secara
berterusan dari kantung empedu ke dalam usus sebelum terjadinya
proses litogenik. Hipomotilitas kantung empedu memperlambat
evakuasi empedu ke dalam usus menerusi duktus empedu secara
optimal dan ini menfasilitasi pembentukan kristal kolesterol halus yang
cenderung bernukleasi dan berkembang menjadi batu empedu.
Perlambatan evakuasi kantung empedu membolehkan absorpsi air dari

14
empedu oleh dinding mukosa secara melampau hingga terjadi
peningkatan konsentrasi empedu dan ini mempergiat proses litogenesis
empedu. Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat:

1. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi: Perubahan


tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK),
meningkatnya somatostatin dan estrogen. Perubahan kontrol neural
(tonus vagus).

2. Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu


normal.

Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung


empedu pada batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun
begitu, diduga hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat efek
toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot polos
dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal yang dimediasi
oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema
sel otot tersebut. Secara klinis, penderita batu empedu dengan defek
pada motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai
gangguan pola makan terutamanya penurunan selera makan serta
sering ditemukan volume residual kantung empedu yang lebih besar.

Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis


kantung empedu. Stasis merupakan faktor resiko pembentukan batu
empedu karena gel musn akan terakumulasi sesuai dengan
perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan
gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan
gangguan pada sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam
empedu dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian
supersaturasi.

15
Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur
bilier (biliary sludge) terutamanya pada penderita dengan kecederaan
medula spinalis, pemberian TPN untuk periode lama, terapi
oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat
badan mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama
mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi empedu
yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium
bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang
mendasari pembentukan batu empedu. Kristal kolesterol dalam
lumpur bilier akan mengalami aglomerasi berterusan untuk
membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier
merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu.

c. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol


Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk
mengalami proses nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi
atau agregasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat
mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu
supersaturasi.
Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh
keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan
senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu. Penelitian in
vitro model empedu mendapatkan bahwa faktor pronukleasi
berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi
berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi
yang paling penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya
komponen empedu yang terbukti menginduksi pembentukan batu pada
keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah
hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin.
Pengikatan vesikel yang kaya dengan kolesterol kepada regio hidrofilik
glikoprotein musin ini diduga memacu proses nukleasi.

16
Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem
empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N,
haptoglobin dan glikoprotein asam. Penelitian terbaru menganjurkan
peran infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H.
pylori) menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut
dapat diinduksi oleh adanya mikropresipitat garam kalsium inorganik
maupun organik.2 Faktor antinukleasi termasuk protein seperti
imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA –II. Mekanisme fisiologik
yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini
masih belum dapat dipastikan.
Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan kristal kolesterol
monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu telah
terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal.
Waktu nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan
menfasilitasi proses litogenesis empedu.

d. Hipersekresi mukus di kantung empedu


Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian
prekursor yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model
empedu hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan
konkresi kolesterol makroskopik karena mukus dalam kuantitas
melampau ini berperan dalam memerangkap kristal kolesterol dengan
memperpanjang waktu evakuasi empedu dari kantung empedu.
Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor
utama yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi
aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus
yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun
prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.

17
B. Patofisiologi batu berpigmen
Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam
dan batu berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda.

a. Patofisiologi batu berpigmen hitam


Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin
terkonjugat (khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada
keadaan hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga
mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin
terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase endogenik
membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu yang sama, defek
pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang dinding
mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas “buffering” asam
sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi
supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan
terjadi pada keadaan empedu dengan PH yang lebih rendah.
Supersaturasi berlanjut dengan pemendakan atau presipitasi kalsium
karbonat, fosfat dan bilirubin tak terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi
kemudian akan menghasilkan kristal dan berakhir dengan pembentukan
batu berpigmen hitam.

b. Patofisiologi batu berpigmen coklat


Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu,
sesuai dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan
mikroskopik batu. Infeksi traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli,
Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau parasit cacing seperti
Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis
sinensis mendukung pembentukan batu berpigmen.
Patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu.
Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim

18
glukuronidase, fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat.
Peran ketiga-tiga enzim tersebut didapatkan seperti berikut:

1. Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga


menyebabkan pembentukan bilirubin tak terkonjugat.
2. Fosfolipase a menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam
stearik dan asam palmitik).
3. Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.

Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan


senyawa kalsium dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat
terendap lalu berkristalisasi sehingga terbentuk batu empedu. Proses
litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis empedu dan konsentrasi
kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan glikoprotein
bakteri diduga dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus
yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi pada musin
endogenik.

19
Pathway

20
2.4 Manifestasi Klinis

Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya


gejala. Lebih dari 80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala
asimptomatik. Gejala klinik yang timbul pada orang dewasa biasanya
dijumpai gejala dispepsia non spesifik, intoleransi makanan yang
mengandung lemak, nyeri epigastrium yang tidak jelas, tidak nyaman pada
perut kanan atas. Gejala ini tidak spesifik karena bisa terjadi pada orang
dewasa dengan atau tanpa kolelitiasis.

Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui adalah adanya nyeri
bilier dan obstructive jaundice. Nyeri bilier yang khas pada penderita ini
adalah kolik bilier yang ditandai oleh gejala nyeri yang berat dalam waktu
lebih dari 15 menit sampai 5 jam. Lokasi nyeri di epigastrium, perut kanan
atas menyebar sampai ke punggung. Nyeri sering terjadi pada malam hari,
kekambuhannya dalam waktu yang tidak beraturan. Nyeri perut kanan atas
yang berulang merupakan gambaran penting adanya kolelitiasis. Umumnya
nyeri terlokalisir di perut kanan atas, namun nyeri mungkin juga terlokalisir
di epigastrium. Nyeri pada kolelitiasis ini biasanya menyebar ke bahu atas.
Mekanisme nyeri diduga berhubungan dengan adanya obstruksi dari duktus.
Tekanan pada kandung empedu bertambah sebagai usaha untuk melawan
obstruksi, sehingga pada saat serangan, perut kanan atas atau epigastrium
biasanya dalam keadaan tegang.

Studi yang dilakukan oleh Kumar et al didapatkan gejala nyeri perut kanan
atas yang berulang dengan atau tanpa mual dan muntah mencapai 75% dari
gejala klinik yang timbul, sisanya meliputi nyeri perut kanan atas yang akut,
jaundice, failure to thrive, keluhan perut yang tidak nyaman. Hanya 10%
dijumpai dengan gejala asimptomatik. Mual dan muntah juga umum terjadi.
Demam umum terjadi pada anak dengan umur kurang dari 15 tahun. Nyeri
episodik terjadi secara tidak teratur dan beratnya serangan sangat bervariasi.
Pada pemeriksaan fisik mungkin tidak dijumpai kelainan. Pada sepertiga

21
pasien terjadi inflamasi mendahului nekrosis, kemudian diikuti perforasi atau
empiema pada kandung empedu.

Lewatnya batu pada kandung empedu menyebabkan obstruksi kandung


empedu, kolangitis duktus dan pankreatitis. Manifestasi pertama gejala
kolelitiasis sering berupa kolesistitis akut dengan gejala demam, nyeri perut
kanan atas yang dapat menyebar sampai ke skapula dan sering disertai teraba
masa pada lokasi nyeri tersebut. Pada pemeriksaan fisik dijumpai nyeri tekan
pada perut kanan atas yang dapat menyebar sampai daerah epigastrium.
Tanda khas (Murphy’s sign) berupa napas yang terhenti sejenak akibat rasa
nyeri yang timbul ketika dilakukan palpasi dalam di daerah subkosta kanan.

2.5 Klasifikasi

Menurut Lesmana L, 2000 dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I


gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan:

a. Batu kolesterol

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang
mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol
diperlukan 3 faktor utama :

1. Supersaturasi kolesterol
2. Hipomotilitas kandung empedu
3. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.

b. Batu pigmen

Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang
mengandung <20% kolesterol. Jenisnya antara lain:

22
1) Batu pigmen kalsium bilirubinat (pigmen coklat)

Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan


mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu
pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran
empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi,
striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran
empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal
dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam
glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat
yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya
hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen
cokelat. Umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu
dalam empedu yang terinfeksi.

2) Batu pigmen hitam.

Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk


dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen hitam
adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis
kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari
derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum
jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu
dengan empedu yang steril.

c. Batu campuran

Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%


kolesterol.

2.6 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :

23
1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
5. Perikolesistitis
6. Peradangan pankreas (pankreatitis)
7. Perforasi
8. Kolesistitis kronis
9. Hidrop kandung empedu
10. Empiema kandung empedu
11. Fistel kolesistoenterik
12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali
dan batu empedu muncul lagi)
13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan


menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam
kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus
secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi
maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu
dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga
membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus
dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat
mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan
dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi
perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada
saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan

24
kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya
ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui
terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat
menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan
menimbulkan ileus obstruksi

2.7 Pemeriksaan Diagnostik

1. Radiologi

Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur


diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat
dan akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus.
Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi
inisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien
sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada
dalam keadan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada
gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat
mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang
mengalami dilatasi.

2. Radiografi: Kolesistografi

Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan
pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya.
Oral kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak
dapat menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang mengalami
obstruksi. (Smeltzer dan Bare, 2002).

25
3. Sonogram

Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding


kandung empedu telah menebal. (Williams 2003)

4. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)

Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang


hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi
endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai
duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus
koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan
ke dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di duktus dan
memungkinkan visualisassi serta evaluasi percabangan bilier.

(Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).

5. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kenaikan serum kolesterol
2) Kenaikan fosfolipid
3) Penurunan ester kolesterol
4) Kenaikan protrombin serum time
5) Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal < 0,4 mg/dl)
6) Penurunan urobilirubin
7) Peningkatan sel darah putih: 12.000 - 15.000/iu (Normal : 5000 -
10.000/iu)
8) Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di
duktus utama (Normal: 17 - 115 unit/100ml)

2.8 Penatalaksanaan

Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non


bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala

26
yang menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis
simptomatik dan kolelitiasis yang asimptomatik.

A. Penatalaksanaan Nonbedah

1. Penatalaksanaan pendukung dan diet

Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu


sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik,
analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala
akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika
kondisi pasien memburuk (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).

Manajemen terapi :

1) Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein


2) Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
3) Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
4) Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok.
5) Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati).

2. Disolusi medis

Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan


pemberian obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam
pengobatan daripada chenodeoxycholic karena efek samping yang
lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya
diare, peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang

Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60%


pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka
kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun
setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria
terapi nonoperatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm,

27
batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik
paten. Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-
anak dengan risiko tinggi untuk menjalani operasi.

3. Disolusi kontak

Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan


batu kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam
kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau
alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah
methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus
ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu
kandung empedu dalam 24 jam.

Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan


batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat
menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan
terbentuknya kembali batu kandung empedu.

4. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)


Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang
(Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam
kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah
batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer,SC dan
Bare,BG 2002).

ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis


biaya-manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya
terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk
menjalani terapi ini.

5. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,


kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras

28
radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di
dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak
lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah
ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada
90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal
dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman
dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif
dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang
kandung empedunya telah diangkat

B. Penatalaksanaan Bedah
1. Kolesistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga


kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat
terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien.
Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.

2. Kolesistektomi laparaskopi

Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan


sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi.
80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena
memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5%
untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan
paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat
sayatan kecil di dinding perut.

29
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak
ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan
kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara
teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional
adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang
dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan
perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan
dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti
cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama
kolesistektomi laparoskopi.

2.9 Pencegahan

1. Menghidari diet secara ketat


2. Komsumsi makanan yang kaya akan serat
3. Olah raga secara rutin
4. Batasi makanan yang tinggi akan lemak
5. Konsultasikan dengan dokter mengenai penggunaan terapi sulih hormon,
kb oral. Karena obat-obatan tersebut bisa meningkatkan pelepasan kadar
kolesterol kedalam empedu.

30
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Data yang dikumpulkan meliputi :

a. Identitas
1. Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,


pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa
medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk
menentukan tindakan selanjutnya.

2. Identitas penanggung jawab

Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan


jadi penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul
meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien
dan alamat.

b. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan utama

Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri
abdomen pada kuadran kanan atas.

2. Riwayat kesehatan sekarang

31
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode
PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien,
quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh
klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu
posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien
merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan
nyeri/gatal tersebut.

(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak

(Q): Nyeri dirasakan hebat

(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke
punggung atau bahu kanan.

(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi

(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu

3. Riwayat kesehatan yang lalu

Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah
di riwayat sebelumnya.

4. Riwayat kesehatan keluarga

Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit


kolelitiasis.

c. Pola Aktivitas

1. Aktivitas/Istirahat

Gejala : kelemahan.

Tanda : geilsah.

32
2. Sirkulasi

Gejala/Tanda : takikardia, berkeringat.

3. Eliminasi

Gejala : perubahan warna urine dan feses.

Tanda : distensi abdomen, teraba massa pada kuadran kanan atas, urine
gelap, pekat, feses warna tanah liat, steatorea.

4. Makanan/Cairan

Gejala : anoreksia, mual/muntah, tidak toleran terhadap lemak &


makanan pembentukan gas, regurgitasi berulang, nyeri epigastrium,
tidak dapat makan, flatus, dyspepsia.

Tanda : kegemukan, adanya penurunan berat badan.

5. Nyeri/Kenyamanan

Gejala : nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau


bahu kanan, kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan, nyeri
mulai tiba-tiba & biasanya memuncak dalam 30 menit.

Tanda : nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas
ditekan, tanda Murphy positif.

6. Pernapasan

Tanda : peningkatan frekuensi pernapasan, penapasan tertekan ditandai


oleh napas pendek, dangkal.

7. Keamanan

Tanda : demam, menggigil, ikterik, dan kulit berkeringat & gatal


(pruritus), kecendrungan perdarahan (kekurangan vit. K).

8. Penyuluhan dan Pembelajaran

33
Gejala : kecenderungan keluarga untuk terjadi batu empedu, adanya
kehamilan/melahirkan ; riwayat DM, penyakit inflamasi usus,
diskrasias darah.

d. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

Pada hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan :

a. Inspeksi : datar, eritem (-), sikatrik (-)


b. Auskultasi : peristaltik (+)
c. Perkusi : timpani
d. Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio kuadran kanan atas, hepar-lien
tidak teraba, massa (-)
e. Sistem endokrin

Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu. Biasanya pada


penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan teraba oleh tangan karena
terjadi pembengkakan pada kandung empedu.

3.2 Diagnosa

1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen cedera biologis : obstruksi/spasme


duktus, proses inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis.
2. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kehilangan cairan melalui pengisapan gaster berlebihan : muntah, distensi,
dan hipermotilitas gaster.
3. Risiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia.
4. Kurang Pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan
berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.

34
3.3 Intervensi

1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen cedera biologis : obstruksi/spasme


duktus, proses inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis.

Hasil yang diharapkan :

 Melaporkan nyeri hilang.


 Menunjukkan penggunaan keterampilan
relaksasi dan aktivitas hiburan sesuai indikasi
untuk situasi individual.

Intervensi :

1) Observasi dan catat lokasi, beratnya (skala 0-10) dan karakter nyeri
(menetap, hilang timbul, kolik).
Rasional : membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan
informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi
dan keefektifan intervensi.

2) Catat respon terhadap obat, dan laporkan pada dokter bila nyeri hilang.
Rasional : nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat
menunjukkan terjadinya komplikasi/kebutuhan terhadap intervensi
lebih lanjut.

3) Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.


Rasional : tirah baring pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan
intra abdomen, namun pasien akan melakukan posisi yang
menghilangkan nyeri secara alamiah.

4) Control suhu lingkungan.

35
Rasional : dingin pada sekitar ruangan membantu meminimalkan
ketidaknyamanan kulit.

5) Dorong menggunakan tehnik relaksasi, contoh : bimbingan imajinasi,


visualisasi, latihan nafas dalam, berikan aktivitas senggang.
Rasional : meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian,
dapat meningkatkan koping.

6) Sediakan waktu untuk mendengar dan mempertahankan kontak dengan


pasien sering.
Rasional : membantu dalam menghilangkan cemas dan memusatkan
kembali perhatian yang dapat menghilangkan nyeri.

7) Berikan obat sesuai indikasi.


Rasional : menghilangkan reflex spasme/kontraksi otot halus dan
membantu dalam manajemen nyeri.

2. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan


kehilangan cairan melalui pengisapan gaster berlebihan : muntah, distensi,
dan hipermotilitas gaster.

Hasil yang diharapkan :

 Menunjukkan keseimbangan cairan adekuat dibuktikan oleh tanda vital


stabil.
 Membrane mukosa lembab.
 Turgor kulit baik.
 Pengisian kapiler baik.
 Secara individu mengeluarkan urin cukup dan tak ada muntah.

Intervensi :

36
1) Pertahankan masukan dan haluaran akurat, perhatikan haluaran kurang
dari masukan, peningkatan berat jenis urin, nadi perifer, dan pengisian
kapiler.
Rasional : memberikan informasi tentang status cairan/volume sirkulasi
dan kebutuhan penggantian.

2) Awasi tanda/gejala peningkatan/berlanjutnya mual/muntah, kram


abdomen, kelemahan, kejang, kejang ringan, kecepatan jantung tak
teratur, parestesia, hipoaktif, atau tak adanya bising usus, depresi
pernapasan.
Rasional : muntah berkepanjangan, aspirasi gaster, dan pembatasan
pemasukan oral dapat menimbulkan deficit natrium, kalium, dan
klorida.

3) Hindarkan dari lingkungan yang berbau.


Rasional : menurunkan rangsangan pada pusat muntah.

4) Lakukan kebersihan oral dengan pencuci mulut ; berikan minyak.


Rasional : menurunkan kekeringan membrane mukosa, menurunkan
risiko perdarahan oral.

5) Gunakan jarum kecil untuk injeksi dan melakukan tekanan pada bekas
suntikan lebih lama dari biasanya.
Rasional : menurunkan trauma, risiko perdarahan/pembentukan
hematom.

6) Kaji perdarahan yang tak biasanya, contoh perdarahan terus-menerus


pada sisi injeksi, mimisan, perdarahan gusi, ekimosis, ptekie,
hematemesis/melena.

37
Rasional : protombin darah menurun dan waktu koagulasi memanjang
bila aliran empedu terhambat, meningkatkan risiko
perdarahan/hemoragik.

7) Pertahankan pasien puasa sesuai keperluan.


Rasional : menurunkan sekresi dan motilitas gaster.

3. Risiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan anoreksia.

Hasil yang diharapkan :

 Melaporkan mual/muntah hilang.


 Menunjukkan kemajuan mencapai berat badan
atau mempertahankan berat badan individu yang
tepat.

Intervensi :

1) Hitung masukan kalori, jaga komentar tentang nafsu makan sampai


minimal.
Rasional : mengidentifikasi kekurangan/kebutuhan nutrisi, berfokus
pada masalah membuat suasana negative dan mempengaruhi masukan.

2) Timbang sesuai indikasi.


Rasional : mengevaluasi keefektifan rencana diet.

3) Konsul tentang kesukaan/ketidaksukaan pasien, makanan yang


menyebabkan distress, dan jadwal makan yang disukai.
Rasional : melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien
memiliki rasa kontrol dan mendorong untuk makan.

38
4) Berikan suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan
rangsangan berbau.
Rasional : untuk meningkatkan nafsu makan/menurunkan mual.

5) Berikan kebersihan oral sebelum makan.


Rasional : mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.

6) Ambulasi dan tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.


Rasional : membantu dalam mengeluarkan flatus, penurunan distensi
abdomen, mempengaruhi penyembuhan dan rasa sehat dan menurunkan
kemungkinan masalah sekunder sehubungan dengan imobilisasi.

7) Konsul dengan ahli diet/tim pendukung nutrisi sesuai indikasi.


Rasional : berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi individual
melalui rute yang paling tepat.

4. Kurang Pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan


berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.

Hasil yang diharapkan :

 Menyatakan pemahaman proses penyakit,


pengobatan, prognosis.
 Melakukan perubahan pola hidup dan
berpartisipasi dalam program pengobatan.

Intervensi :

1) Berikan penjelasan/alasan tes dan persiapannya.


Rasional : informasi menurunkan cemas, dan rangsangan simpatis.

39
2) Kaji ulang proses penyakit/prognosis, diskusikan perawatan dan
pengobatan, dorong pertanyaan, ekspresikan masalah.
Rasional : memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat
membuat pilihan berdasarkan informasi. Komunikasi efektif dan
dukungan turunkan cemas dan tingkatkan penyembuhan.

3) Diskusikan program penurunan berat badan bila diindikasikan.


Rasional : kegemukan adalah fakor risiko yang dihubungkan dengan
kolesistitis, dan penurunan berat badan menguntungkan dalam
manajemen medik terhadap kondisi kronis.

4) Anjurkan pasien untuk menghindari makanan/minuman tinggi lemak


(contoh : susu segar, es krim, mentega, makanan gorengan, kacang
polong, bawang, minuman karbonat), atau zat iritan gaster (contoh :
makanan pedas, kafein, sitrun).
Rasional : mencegah/membatasi terulangnya serangan kandung
empedu.

40
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kolelitiasis/koledokolitiasis merupakan adanya batu di kandung empedu,


atau pada saluran kandung empedu yang pada umumnya komposisi utamanya
adalah kolesterol. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa
unsure yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam
kandung empedu. Penyebab terjadinya kolelitiasis/batu empedu belum
diketahui secara pasti. Penatalaksanaan dari kolelitiasis ini dapat dilakukan
dengan pembedahan maupun non pembedahan serta menjalani diet rendah
lemak, tinggi protein, dan tinggi kalori agar tidak terbentuk batu empedu di
dalam kandung empedu. Oleh karena itu, asuhan keperawatan yang baik
diperlukan dalam penatalaksanaan kolelitiasis ini sehingga dapat membantu
klien untuk dapat memaksimalkan fungsi hidupnya kembali serta dapat
memandirikan klien untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.

4.2 Saran

Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan mahasiswa


keperawatan pada khususnya mengetahui lebih dalam tentang penyakit
kolelitiasis.

41
DAFTAR PUSTAKA

http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-94796-Kep%20Endokrin-
Askep%20Kolelitiasis.html#popup

http://hesa-andessa.blogspot.co.id/2011/01/asuhan-keperawatan-
kolelitiasis.html

http://perawatinsanulfitri.blogspot.co.id/2014/12/asuhan-keperawatan-
kolelitiasis.html

42

Anda mungkin juga menyukai