Anda di halaman 1dari 105

BUKU PANDUAN MENTOR

Unit Mentoring Agama Islam


(UMAI)
UNNES
MUQODIMAH

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt.. Selawat dan


salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw.,
keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti
petunjuknya hingga hari akhir.
Ikhwah fillah yang dirakhmati Allah, buku panduan
mentor ini kami susun untuk membantu rekan mentor sebagai
salah satu referensi materi yang diguynakan saat mengisi
mentoring. Buku ini telah disusun berdasarkan kebutuhan materi
mentoring yang disesuaikan dengan kurikulum mentoring yang
tersedia. Isi buku ini secara garis besar meliputi; silabus
mentoring, rencana pelaksanaan mentoring (RPM), dan materi
mentoring.
Diharapkan ikhwah fillah sekalian dapat memanfaatkan
buku ini sebagaimana mestinya dan dijaga dengan baik. Adapun
referensi tambahan pada saat mengisi mentoring masih selalu
diperlukan untuk mengembangkan keilmuan kita. Hanya kepada
Allah kami berharap.

Tim penyusun
Saudaraku,
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Ketahuilah, bahwa wajib bagi kita untuk mendalami empat masalah, yaitu:
1. Ilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal agama
Islam berdasarkan dalil-dalilnya.
2. Amal, yaitu menerapkan ilmu ini.
3. Da’wah, yaitu mengajak orang lain kepada ilmu ini.
4. Sabar, yaitu tabah dan teguh dalam menghadapi segala rintangan dalam
menuntut ilmu, mengamalkan dan berdakwah kepadanya.

Dalilnya, firman Allah ta’ala:


Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan
nasehat-menasehati supaya menta’ati kebenaran dan nasehat-menasehati
supaya menetapi kesabaran,” (Surah Al-‘Ashr: 1-2).1

1
Tiga Landasan Utama oleh Syaikh Muhammad At-Tamimi
Rencana Pelaksanaan Mentoring
(RPM)

Universitas : Universitas Negeri Semarang


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Semester/Tahun : Ganjil/2017
Materi Pokok : Syahadatain
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan ke- :I

A. Standar Kompetensi
Kemampuan memahami syahadatin
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
Kompetensi Dasar Indikator
1. Memahami makna 1.1 Mampu menjelaskan makna
syahadatain. syahadatain.

2. Memahami hal-hal yang 2.1 Mampu menjelaskan hal-hal


mampu membatalkan yang mampu membatalkan
syahadat. syahadat.

3. Memahami rukun iman dan 3.1 Mampu menjelaskan rukun


rukun islam iman dan rukun islam

C. Tujuan pelaksanaan Mentoring


1. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan syahadat
sebagai gerbang pertama seseorang masuk Islam, syahadat sebagai
inti ajaran islam dan sebagai konsep dasar perubahan total dalam
kehidupan manusia.
2. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan hal-hal yang
mampu membatalkan syahadat.
3. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan rukun iman
dan rukun islam.
4. Materi Mentoring
Syahadatain
5. Metode Mentoring
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya Jawab
6. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
1. Media :-
2. Alat :-
3. Sumber belajar: buku panduan mentoring, dan referensi lainnya.
7. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
Langkah Kegiatan Mentoring Alokasi Metode
Waktu

Pendahuluan 1. Mentor menyapa 15 menit Ceramah dan


mentee dengan Tanya Jawab
memberi salam
2. Mentor mengecek
kehadiran mentee
3. Mentor membimbing
mentee agar
mengawali kegiatan
mentoring dengan
tilawah
4. Kultum oleh mentee
tentang adab tidur
(sebelum & bangun
tidur)
5. Mentor mengulas
singkat materi
sebelumnya.
6. Mentor menjelaskan
garis besar materi
yang akan dipelajari
Inti 1. Mentor menjelaskan 60 menit Ceramah dan
pengertian syahadat Diskusi
dan kedudukannya
dalam rukun Islam
sebagai penghambaan
kepada Allah Swt.
serta peranannya
dalam pembentukan
karakter pribadi
muslim.
2. Mentor menjelaskan
makna syahadatain
3. Mentor menjelaskan
hal-hal yang mampu
membatalkan
syahadat.
4. Mentor menjelaskan
rukun iman dan rukun
islam.
5. Mentor bersama
mentee mendiskusikan
sebuah kasus yang
berkaitan dengan
materi mentoring
Penutup 1. Mentor dan mentee 15 menit Ceramah dan
melakukan evaluasi Tanya Jawab
pembelajaran dalam
mentoring
2. Mentor dan mentee
menyimpulkan materi
mentoring
3. Mentor memberikan
refleksi berkait materi
yang telah dipelajari
4. Mentor memberikan
tindak lanjut untuk
metari yang telah
dipelajari
5. Mentor menutup
kegiatan mentoring
dengan salam

Penilaian
1. Tes tertulis (atau lisan)
2. Akhlak mentee saat mentoring.
Lampiran Materi

Syahadatain
Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah…..
(QS. Muhammad: 19)

1. Pengertian Syahadatain
Jumlah umat Islam kini sangat banyak. Sebagian besar mereka
terkategorikan sebagai Islam keturunan atau kebetulan terlahir sebagai
muslim dari orang tua. Kenyataan akan jumlah yang banyak tidak
berkorelasi dengan pemahamannya kepada Islam secara benar, orisinil dan
utuh. Hakikat memahami Islam dimulai dari memahami inti sari ajarannya
yaitu dua kalimat syahadah (syahadatain). Kalimat tersebut terdiri dari Laa
Ilaaha Illallah dan Muhammadun Rasulullah. Memahami keduanya sangat
penting dan mendasar. Karena jika kita tak memahami hakikat kalimat
syahadah, kita dapat terjerembab ke dalam penyakit kebodohan dan
kemusyrikan.
Syahadatain merupakan fondasi atau asas dari bangunan keislaman
seorang muslim. Jika fondasinya tidak kuat maka rumahnya pun tidak
akan kuat bertahan.

2. Pentingnya Syahadatain
Kalimat syahadah sangat penting dipahami karena beberapa hal:
a) Pintu gerbang masuk ke dalam Islam (madkholu ilal Islam)
Islam ibarat rumah atau bangunan atau sistem hidup yang
menyeluruh, dan Allah memerintahkan setiap muslim untuk masuk secara
kaaffah. Untuk memasukinya akan melalui sebuah pintu gerbang,
yaitu syahadatain. Hal ini berlaku baik bagi kaum muslimin atau non
muslim. Artinya, pemahaman Islam yang benar dimulai dari pemahaman
kalimat itu. Pemahaman yang benar atas kedua kalimat ini mengantarkan
manusia ke pemahaman akan hakikat ketuhanan (rububiyah) yang benar
juga. Mengimani bahwa Allah-lah Robb semesta alam.

b) Intisari doktrin Islam (Khulashah ta’aliimil Islam)


Intisari ajaran Islam terdapat dalam dua kalimat syahadah. Asyhadu
allaa ilaaha illallah (Aku bersaksi: sesungguhnya tidak ada Ilaah selain
Allah) dan asyhadu anna muhammadan rasulullah (Aku bersaksi:
sesungguhnya Muhammad Rasul Allah).
Pertama, kalimat syahadatain merupakan pernyataan proklamasi
kemerdekaan seorang hamba bahwa ibadah itu hanya milik dan untuk
Allah semata (Laa ma’buda illallah), baik secara pribadi maupun
kolektif (berjamaah). Kemerdekaan yang bermakna membebaskan dari
segala bentuk kemusyrikan, kekafiran dan api neraka. Kita tidak mengabdi
kepada bangsa, negara, wanita, harta, perut, melainkan Allah-lah yang
disembah (al-ma’bud). Para ulama menyimpulkan kalimat ini dengan
istilah Laa ilaaha illallah ‘alaiha nahnu; “di atas prinsip kalimat laa
ilaaha illallah itulah kita hidup, kita mati dan akan dibangkitkan”.
Rasulullah juga bersabda “Sebaik-baik perkataan, aku dan Nabi-nabi
sebelumku adalah Laa ilaaha illallah” (Hadist).
Maka sering mengulang kalimat ini sebagai dzikir yang diresapi
dengan pemahaman yang benar ¾ bukan hanya melisankan ¾ adalah
sebuah keutamaan yang dapat meningkatkan keimanan. Keimanan yang
kuat, membuat hamba menyikapi semua perintah Allah dengan mudah.
Sebaliknya, perintah Allah akan selalu terasa berat di saat iman kita
melemah. Kalimat syahadatain juga akan membuat keimanan menjadi
bersih dan murni, ibarat air yang suci. Allah akan memberikan dua
keuntungan bagi mereka yang beriman dengan bersih, yaitu hidup
aman atau tenteram dan mendapat petunjuk dari Allah. Sebagaimana
Dia berfirman dalam Al-Qur’an: “Orang-orang yang beriman dan
tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik),
mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan
mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (Al-
An’am: 82).
Kedua, kita bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
berarti kita seharusnya meneladani Rasulullah dalam beribadah kepada
Allah. Karena beliau adalah orang yang paling mengerti cara (kaifiyat)
beribadah kepada-Nya. Sebagaimana disabdakan Nabi SAW:
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat…”.
Selanjutnya hal ini berlaku untuk semua aspek ibadah di dalam Islam.

c) Dasar-dasar Perubahan (Asasul inqilaab)


Perubahan yang dimaksud adalah perubahan mendasar dalam
kehidupan manusia, yaitu perubahan dari kegelapan (jahiliyah) menuju
cahaya (Islam); minazh zhuluumati ilan nuur. Perubahan yang dimaksud
mencakup aspek keyakinan, pemikiran, dan hidupnya secara
keseluruhan, baik secara individu maupun masyarakat. Secara individu,
berubah dari ahli maksiat menjadi ahli ibadah yang taqwa; dari bodoh
menjadi pandai; dari kufur menjadi beriman, dan seterusnya. Secara
masyarakat, di bidang ibadah, merubah penyembahan komunal berbagai
berhala menjadi menyembah kepada Allah saja.
Dalam bidang ekonomi, merubah perekonomian riba menjadi
sistem Islam tanpa riba, dan begitu seterusnya di semua bidang.
Syahadatain mampu merubah manusia, sebagaimana ia telah merubah
masyarakat di masa Rasulullah dan para sahabat terdahulu. Diawali
dengan memahami syahadatain dengan benar dan mengajak manusia
meninggalkan kejahiliyahan dalam semua aspeknya kepada nilai-nilai
Islam yang utuh.

d) Hakikat Dakwah para Rasul (Haqiqatud Da’watir Rasul)


Para nabi, sejak Adam a.s sampai Muhammad saw, berdakwah
dengan misi yang sama, mengajak manusia pada doktrin dan ajaran yang
sama yaitu untuk beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan Thogut.
Itu merupakan inti yang sama dengan kalimat syahadatain, bahwa tiada
Ilaah selain Allah semata. Seperti difirmankan Allah SWT:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhi thagut itu.”
(Q.S. An Nahl:36)

e) Keutamaan yang Besar (Fadhaailul ‘Azhim)


Kalimat syahadatain, jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-
hari, menjanjikan keutamaan yang besar. Keutamaan itu dapat berupa
moral maupun material; kebahagiaan di dunia juga di akhirat;
mendapatkan jaminan surga serta dihindarkan dari panasnya neraka.

3. Hakikat Iman
Keimanan itu bukanlah angan-angan, tetapi mencakup 3 hal:
a) Dikatakan dengan lisan (al-Qaul)
Syahadah diucapkan dengan lisan dengan penuh keyakinan. Semua
perkataan yang keluar dari lisan mukmin senantiasa baik dan
mengandung hikmah.
b) Dibenarkan dengan hati (at-tashdiiq)
Hati adalah lahan menyemai benih-benih keimanan. Semua yang
keluar dari lisan digerakkan oleh hati. Apa yang ada dalam hati akan
dicerminkan dalam perkataan dan perbuatan. Dalam hadits Bukhari
digambar oleh Nabi SAW bahwa:
“Ilmu (hidayah) yang Aku bawa ibarat air hujan, ada jenis tanah yang
subur menumbuhkan tanaman, ada tanah yang tidak menumbuhkan hanya
menampung air, ada jenis tanah yang gersang, tidak menumbuhkan
juga tidak menampung”.
c) Perbuatan (al-‘Amal)
Perbuatan (amal) digerakkan atau termotivasi dari hati yang
ikhlas dan pembenaran iman dalam hati. Seseorang yang hanya bisa
mengucapkan dan mengamalkan tanpa membenarkan di hati, tidak akan
diterima amalnya. Sifat seperti itu dikategorikan sebagai orang munafik,
yang selalu bicara dengan lisannya bukan dengan hatinya. Karena munafik
memiliki tiga tanda: bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia ingkar, bila
diberi amanah ia berkhianat.
Perkataan, pembenaran di hati dan amal perbuatan adalah satu
kesatuan yang utuh. Ketiganya akan melahirkan sifat istiqamah, tetap,
teguh dan konsisten. Sebagaimana dijelaskan dalam (Q.S. 41:30), sikap
istiqamah merupakan proses yang terus berjalan bersama keimanan.
Mukmin mustaqim akan mendapatkan karunia dari Allah berupa:
 Keberanian (asy-Syajaa’ah), yang lahir dari keyakinan kepada
Allah. Berani menghadapi resiko tantangan hidup, siap berjuang
meskipun akan mendapatkan siksaan. Lawan keberanian adalah
sifat pengecut.
 Ketenangan (al-Ithmi’naan), yang lahir dari keyakinan bahwa
Allah akan selalu membela hamba-Nya yang mustaqim secara lahir
batin. Lawannya adalah sifat bersedih hati.
 Optimis (at-Tafaa’ul), lahir dari keyakinan terhadap perlindungan
Allah dan ganjaran Allah yang Maha sempurna. Orang yang
optimis akan tenteram akan kemenangan hakiki, yaitu mendapatkan
keridhaan Allah (mardhatillah).
Ketiga karunia Allah kepada orang mustaqim akan dilengkapi Allah
dengan anugerah kebahagiaan hidup (as-Sa’aadah), baik di dunia dan
akhirat.
4. Hal-hal yang Membatalkan Syahadat
Syahadat adalah pondasi dalam Islam yang juga merupakan rukun
islam yang pertama. Batalnya syahadat berakibat fatal bagi batalnya
keislaman seseorang. Untuk itu setiap mukmin diperintahkan untuk
membaca syahadat minimal 9 kali atau dalam setiap 5 kali sholat setiap
hari agar pondasi keislaman seorang muslim tetap terjaga. Batalnya
syahadat berakibat fatal terhadap batalnya keislaman seseorang.
Para fuqoha’ dalam kitab-kitab fikih telah menulis bab khusus yang
diberi nama “Riddah” (kemurtadan). Dan yang terpenting adalah 10 hal,
yaitu :
a.) Syirik dalam beribadah kepada Allah
Syirik yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal
yang merupakan kekhususan Allah, seperti berdoa kepada selain Allah,
menyembelih kurban untuk selain Allah, seperti untuk jin atau kuburan,
jembatan, rumah, atau lainnya.
Allah berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (An-Nisaa’:48)
b) Orang yang membuat “Perantara” antara dirinya dengan Allah, yang
kepada perantara-perantara itu ia berdoa atau meminta syafaat, serta
bertawakal kepada mereka; maka ia telah kafir berdasarkan ijma’.
“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap selain Allah, maka
mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya
daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka
seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa diantara
mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya
dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Rabbmu adalah sesuatu
yang (harus) ditakuti.” (Al-Isra:56-57)
c) Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau ragu terhadap kekafiran
mereka, atau membenarkan madzab (ideologi) mereka.
Mengapa demikian?
Sebab, Allah telah mengkafirkan mereka melalui sekian banyak ayat
di dalam kitab-Nya serta memerintahkan untuk memusuhi mereka
disebabkan karena mereka telah mengada-adakan kebohongan atas nama
Allah, menjadikan sekutu-sekutu di samping Allah serta menganggap Allah
mempunyai anak laki-laki. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka
katakan. Allah Jalla wa ‘Ala telah mewajibkan atas kaum muslimin untuk
memusuhi dan membenci mereka.
Seseorang tidak bisa disebut sebagai muslim, sehingga ia mengkafirkan
orang-orang musyrik. Jika ia meragukan hal itu, padahal persoalannya
sudah nyata mengenai siapa sebenarnya mereka itu, atau ia bimbang
mengenai kekafiran mereka padahal ia telah memperoleh kejelasan, berarti
ia telah kafir seperti mereka.
Orang yang membenarkan orang-orang musyrik itu dan menganggap
baik terhadap kekufuran dan kezhaliman mereka, maka ia berarti kafir
berdasarkan ijma kaum muslimin. Sebab, ia berarti belum/tidak mengenal
Islam secara hakiki, yaitu berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk
dan patuh kepadaNya dengan ketaatan, berlepas diri dari syirik dan orang-
orang yang berbuat syirik. Sedangkan ia justru berwala’ (memberikan
loyalitas) terhadap ahli syirik, mana mungkin dia akan mengkafirkan
mereka.
Allah berfirman (yang artinya):
“Sesugguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada
kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa
yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah
nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-
lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah: 4)
d) Meyakini ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, atau meyakini ada hukum yang lebih
baik daripada hukum beliau; seperti orang yang lebih mengutamakan
hukum thaghut atas hukum beliau.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Sesungguhnya dien (agama) disisi Allah adalah Islam.” (Ali Imran:19)
“Barangsiapa mencari agama selain dari dien (agama) Islam, maka sekali-
kali tidaklah akan diterima (dien itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imron:85)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yang artinya):
“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Musa berada di
tengah-tengah kalian, kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkanku,
maka pastilah kalian telah tersesat denagn kesesatan yang jauh.” (HR.
Ahmad)
e) Membenci sebagian (apalagi seluruhnya) ajaran yang dibawa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, walaupun ia
mengamalkannya.
“Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah
menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena
sesungguhya mereka benci kepda apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an)
lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.”
(Muhammad: 8-9)
f) Memperolok-olok sebagian ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, atau memperolok pahala dan hukuman Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu
selalu berolok-olok?” Tak usahlah kamu meminta maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman.” (At-Taubah:65-66)
g) Sihir, seperti sharf (jenis sihir yang ditujukan untuk memisahkan
seseorang dengan kekasihnya) dan ‘athaf (di kalangan orang Jawa
dikenal dengan istilah pelet). Ia melakukannya atau rela dengan sihir.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya):
“Keduanya (Harut dan Marut) tidak mengajarkan (sesuatu) kepada
seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan
(bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” (Al-Baqarah: 102)
h) Tolong menolong dengan kaum musyrikin dan bantu membantu
dengan mereka dalam menghadapi kaum muslimin.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Barangsiapa di antara kalian yang tolong-menolong dengan mereka,
maka ia termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah: 51)
i) Meyakini bahwa ada sebagian manusia yang mempunyai kebebasan
keluar dari syariat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
sebagaimana keleluasaan Nabi Khidir untuk tidak mengikuti syariat
Musa alaihi salam.
Dalilnya adalah:
An-Nasa’I dan lainnya meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bahwa beliau melihat lembaran dari kitab Taurat di tangan Umar bin
Al-Khattab Radhiallahu ‘Anhu, lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda (yang artinya):
“Apakah kamu masih juga bingung wahai putera al-Khathab?!, padahal aku
telah membawakan kepadamu ajaran yang putih bersih. Seandainya Musa
masih hidup, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, tentulah kamu
tersesat.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Seandainya Musa masih hidup, maka tiada keleluasaan baginya kecuali
harus mengikutiku,”
lalu Umar pun berkata: “Aku telah ridha bila Allah sebagai Rabb, Islam
sebagai dien (agama), dan Muhammad (Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam)
sebagai nabi.”
j) Berpaling dari dinul (agama) Islam, tidak mau mempelajarinya dan
tidak mau mengamalkannya.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):
“Dan siapakah yang lebih dzalim dari pada orang yang telah
diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling dari
padanya? Sesungguhnya kami akan memberikan pembalasan kepada
orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah: 22)
Syaikh Muhammad at Tamimi berkata, “tidak ada beda dalam hal yang
membatalkan syahadat ini antara orang yang bercanda, yang serius
(bersungguh-sungguh) maupun yang takut, kecuali orang yang dipaksa. Dan
semuanya adalah bahaya yang paling besar serta yang paling sering terjadi.
Maka setiap muslim wajib berhati-hati dan mengkhawatirkan dirinya serta
mohon perlindungan kepada Allah SAW dari hal yang bisa mendatangkan
murka Allah dan siksaNya yang pedih.”
Rencana Pelaksanaan Mentoring
(RPM)

Universitas : Universitas Negeri Semarang


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Semester/Tahun : Ganjil/2017
Materi Pokok : Mengenal Allah ‘Azza Wa Jalla
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan ke- : II

A. Standar Kompetensi
Kemampuan memahami syahadatain, mengenal Allah dan Rasul
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
Kompetensi Dasar Indikator

1. Mengenal Allah dan sifat- 1.1 Mampu menjelaskan maksud


sifat-nya. dari mengenal Allah.
2. Memahami kewajiban 1.2 Mampu menjelaskan
setelah mengenal Allah kewajiban setelah mengenal
3. Meningkatkan keimanan Allah.
dan ketaqwaan kepada 1.3 Dapat menambah keimanan
Allah. dan ketaqwaan kepada Allah.

C. Tujuan pelaksanaan Mentoring


1) Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan maksud dari
mengenal Allah.
2) Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan kewajiban
setelah mengenal Allah.
3) Setelah proses mentoring, mentee dapat menambah keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah.

D. Materi Mentoring
Mengenal Allah

E. Metode Mentoring
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya Jawab

F. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran


1. Media :-
2. Alat :-
3. Sumber belajar : buku panduan mentoring dan referensi lain.

G. Langkah-langkah Pelaksanaan Mentoring


Langkah Kegiatan Mentoring Alokasi Metode
Waktu

Pendahuluan 1) Mentor menyapa mentee 15 menit Ceramah


dengan memberi salam dan Tanya
2) Mentor mengecek kehadiran Jawab
mentee
3) Mentor membimbing mentee
agar mengawali kegiatan
mentoring dengan tilawah
4) Kultum dari salah satu
mentee
5) Mentor mengulas singkat
materi sebelumnya.
6) Mentor menjelaskan garis
besar materi yang akan
dipelajari
Inti 1) Mentor menjelaskan 60 menit Ceramah
pentingnya mengenal Allah dan
Swt. melalui ayat-ayatnya Diskusi
dalam kehidupan manusia.
2) Mentor bersama mentee
mendiskusikan sebuah
kasus yang berkaitan
dengan materi mentoring
Penutup 1. Mentor dan mentee 15 menit Ceramah
melakukan evaluasi dan Tanya
pembelajaran dalam Jawab
mentoring
2. Mentor dan mentee
menyimpulkan materi
mentoring
3. Mentor memberikan refleksi
berkait materi yang telah
dipelajari
4. Mentor memberikan tindak
lanjut untuk metari yang telah
dipelajari
5. Mentor menutup kegiatan
mentoring dengan salam
H. Penilaian
1. Tes tertulis (atau lisan)
2. Akhlak mentee saat mentoring

Lampiran Materi

Mengenal Allah ‘Azza Wa Jalla


Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah…..
(QS. Muhammad: 19)

A. Mengenal Allah
Apabila anda ditanya: “Siapakah Tuhanmu?”, maka katakanlah:
“Tuhanku adalah Allah yang telah memelihara diriku dan memelihara
semesta alam ini dengan segala ni’mat yang dikaruniakan-Nya. Dan Dialah
sesembahanku, tiada bagiku sesembahan yang haq selain Dia.
Allah ta’ala berfirman:
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Fatihah: 2).
Semua yang ada selain Allah disebut alam, dan manusia (red-saya)
adalah bagian dari semesta alam ini.

B. Perantara Mengenal Allah


Jika ditanya, “dengan perantara apakah kita mengenal Allah?”
Perantara kita dalam mengenal Allah sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an:
1. Melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah: malam, siang, matahari dan
bulan.
2. Diantara ciptaan-Nya ialah: tujuh langit dan tujuh bumi beserta segala
makhluk yang ada di langit dan di bumi serta yang ada di antara
keduanya.
Allah ta’ala berfirman:
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang,
matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah
(pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang
menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS.
Fushshilat: 37)

Dan juga firman-Nya: (QS. Al-A’raf:54)

Mengenal Allah:
Lewat Akal
1) Ayat Kauniyah / ayat Allah di alam ini :
Fenomena terjadinya alam.
Setiap sesuatu yang ada pasti ada yang mengadakan, begitu pula
alam semesta ini, tentu ada yang menciptakan (Q.S.52:35).
Fenomena kehendak yang tinggi.
Bila kita perhatikan alam ini, kita akan menemukan bahwa alam ini
tersusun dengan rapinya. Hal ini menunjukan bahwa di sana pasti ada
kehendak yang agung yang bersumber dari Sang Pencipta Yang Maha
Pintar dan Bijaksana (Q.S.67:3). Sesungguhnya pada penciptaan langit
dan bumi, pergantian siang dan malam terdapat ayat-ayat Allah bagi
orang-orang yang berakal (Q.S.3:190).
Fenomena kehidupan (Q.S.24:45).
Kehidupan berbagai makhluk di atas bumi ini menunjukkan bahwa ada zat
yang menciptakan, membentuk, menentukan rizkinya dan meniup ruh
kehidupan pada dirinya (QS.29:20, 21:30). Bagaimanapun pintarnya
manusia, tak akan sanggup menciptakan seekor lalat pun (QS.22:73-74,
46:4).
Fenomena petunjuk dan ilham (Q.S.20:50).
Ketika mempelajari alam semesta ini kita akan melihat suatu petunjuk yang
sempurna, dari yang sekecil-kecilnya sampai yang sebesar-besarnya. Dari
sebuah akar tumbuhan yang mencari air ke dasar bumi, hingga perjalanan
tata surya ini menunjukkan bahwa ada zat yang memberi hidayah
(petunjuk) dan Al-Qur’an menerangkan bahwa ia adalah Allah Yang
Menciptakan lalu memberi hidayah.
Fenomena pengabulan do’a (QS.6:63).
Hal yang logis bila seseorang ketika menghadapi bahaya pasti menghadap
Allah dan berdo’a, walaupun ia orang yang kafir / musyrik (Q.S.17:67,
10:22-23, 6:63-64).

Ayat Qur’aniyah / ayat Allah di dalam Al-Qur’an :


Keindahan Al-Qur’an (Q.S.2:23)
Pemberitahuan tentang umat yang lampau (Q.S.9:70)
Pemberitahuan tentang kejadian yang akan datang (Q.S.30:1-3, 8:7, 24:55)

Lewat memahami Asma’ul Husna


Allah sebagai Al-Khaliq (Q.S.40:62)
Allah sebagai Pemberi Rizqi (Q.S.35:3, 11:6)
Allah sebagai Pemilik (Q.S.2:284)
Dan lain-lain (Q.S.59:22-24)

C. Hal-hal yang menghalangi Ma’rifatullah


1) Kesombongan (Q.S.7:146, 25:21).
Sebagaimana lazimnya orang yang sombong yang tidak mau
mengenal sesamanya, begitu pula manusia yang sombong
terhadap Rabbnya, yang enggan berhubungan dengan-Nya.
2) Zalim (QS.4:153).
Perbuatan zalim yang besar, menyebabkan Allah mengunci hati
manusia. Padahal lewat hati inilah Allah memberikan hidayah-Nya.
Sedangkan awal hidayah seseorang ialah mengenal hakikat-Nya lagi.

3) Bersandar pada panca indera (QS.2:55).


Mereka tidak beriman kepada Allah dengan dalih tidak bisa
melihat Allah, padahal banyak sesuatu yang tidak bisa mereka lihat,
tapi mereka yakin keberadaannya, seperti gaya gravitasi bumi, arus
listrik, akalpikiran, dsb.
4) Dusta (QS.7:176).
Lazimnya seorang yang dusta, yang tidak sama antara hati dan
ucapannya,perbuatannya. Begitu pula manusia yang berdusta
terhadap Allah. Sebenarnya hati mengakui keberadaan Allah, namun
hawa nafsunya menolak dan mengajaknya berdusta.
5) Membatalkan janji dengan Allah (QS.2:26-27)
6) Lalai (QS.21:1-3)
7) Banyak berbuat maksiat.
Satu perbuatan maksiat bagaikan satu titik noda hitam yang
mengotori hati manusia. Bila manusia banyak berbuat maksiat
sedangkan ia tidak bertaubat, niscaya hati tersebut akan tertutup
noda-noda hitam hingga menghalangi masuknya hidayah Allah.
8) Ragu-ragu (QS.6:109-10)
Semua sifat di atas merupakan bibit-bibit kekafiran kepada Allah
yang harus dibersihkan dari hati. Sebab, kekafiranlah yang
menyebabkan Allah mengunci mati, menutup mata dan telinga
manusia serta menyiksa mereka di neraka (QS.2:6-7)
D. Kewajiban setelah mengenal Allah
Sesuai dengan firman Allah ta’ala:
Hai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang telah
menjadikan bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, dan Dia
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan air
hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu,
janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22)
Allah pencipta alam semesta inilah yang wajib kita beribadah kepada-
Nya.
Macam-macam ibadah yang diperintahkan oleh Allah:
1) Doa
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku niscaya akan Ku
perkenankan bagimu”. Sesungguhnya, orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka
Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)
Dan diriwayatkan dalam hadits:
“Do’a itu adalah sari ibadah2
2) Takut (Khauf)
Firman Allah ta;ala:
“karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi
takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang
beriman.” (QS Ali Imran: 175)
3) Raja’ (Pengharapan)
“Untuk itu, barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
shaleh da janganlaeh ia mempersekutukan seseorangpun
dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110)
4) Tawakkal (berserah diri)
Firman Allah ta’ala:

2
Hadits riwayat At-Tirmizi dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, kitab Da’awat, bab
I.
Dan maksud dari hadits ini: bahwa segala macam ibadah, baik yang umum
maupun yang khusus, yang dilakukan seorang mu’min, seperti mencari
nafkah yang halal, menyantuni anak yatim, dll.
“Dan hanya kepada Allah hendaklah kamu bertawakal, jika
kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah:
23)
5) Raghbah (Penuh minat), rahbah (cemas) dan khusyu’
(tunduk)
QS. Al-Anbiya’: 90
6) Inabah (kembali kepada Allah)
QS. Az-Zumar: 54
7) Isti’anah (memohon pertolongan)
(QS. Al-Fatihah: 4), dan hadits,
“Apabila kamu memohon pertolongan, maka mohonlah
pertolongan kepada Allah.”( HR. Tirmizi dalam Al-Jami’ Ash-
Shahih, kitab Syafa’at Al-Qiyamah War-Raqai Wal-Wara’, bab 59,
dan riwayat Imam Ahmad Musnad (Beirut: Al-Maktab Al-Islami,
1403 H), jilid 1, hal. 293, 303, 307.)
8) Isti’adzah (Memohon perlindungan)
QS. Al-Falaq: 1)
QS. An-Nas: 1-2
QS. Al-Anfal: 9)
9) Dan berbagai ibadah lainnya.
Rencana Pelaksanaan Mentoring
(RPM)

Universitas : Universitas Negeri Semarang


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Semester/Tahun : Ganjil/2017
Materi Pokok : Mengenal Rasul
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan ke- : III

A. Standar Kompetensi
Kemampuan dalam mengenal Rasul
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
Kompetensi Dasar Indikator
Memahami definisi Nabi dan 1.1. Mampu menjelaskan definisi
Rasul. Nabi dan Rasul
Memahami sifat-sifat Nabi 3.1. Mampu menjelaskan sifat-sifat
dan Rasul Nabi dan Rasul
Meneladani sifat-sifat Nabi 2.1. Mampu meneladani sifat-sifat
dan Rasul. Nabi dan Rasul

C. Tujuan pelaksanaan Mentoring


1. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan definisi
Nabi dan Rasul
2. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan sifat-sifat
Nabi dan Rasul
3. Setelah proses mentoring, mentee mampu meneladani sifat Nabi
dan Rasul

D. Materi Mentoring
Ma’rifatul Rasul
E. Metode Mentoring
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya Jawab
F. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
1. Media :-
2. Alat :-
3. Sumber belajar : buku panduan mentoring dan referensi lain.
G. Langkah-langkah Pelaksanaan Mentoring
Langkah Kegiatan Mentoring Alokasi Metode
Waktu
Pendahuluan 1. Mentor menyapa mentee 15 Ceramah
dengan memberi salam menit dan
2. Mentor mengecek kehadiran Tanya
mentee Jawab
3. Mentor membimbing
mentee agar mengawali
kegiatan mentoring dengan
tilawah
4. Kultum dari salah satu
mentee
5. Mentor mengulas singkat
materi sebelumnya.
6. Mentor menjelaskan garis
besar materi yang akan
dipelajari
Inti 1. Mentor menjelaskan 60 Ceramah
definisi rasul dan menit dan
fungsinya secara umum, Diskusi
tanda-tandanya dan
contohnya secara tepat
dam mengimaninya.
2. Mentor bersama mentee
mendiskusikan sebuah
kasus yang berkaitan
dengan materi
mentoring
Penutup 1. Mentor dan mentee 15 Ceramah
melakukan evaluasi menit dan
pembelajaran dalam Tanya
mentoring Jawab
2. Mentor dan mentee
menyimpulkan materi
mentoring
3. Mentor memberikan refleksi
berkait materi yang telah
dipelajari
4. Mentor memberikan tindak
lanjut untuk metari yang
telah dipelajari
5. Mentor menutup kegiatan
mentoring dengan salam

H. Penilaian
3. Tes tertulis (atau lisan)
4. Akhlak mentee saat mentoring.

Lampiran
MENGENAL RASUL

1. Definisi Nabi
Dalam bahasa Arab, nabi berasal dari kata naba’ yakni: berita (QS. An-
Naba’:2)
Dinamakan nabi karena ia memberi kabar dan diberi kabar. Ia diberi
kabar dari Allah. (QS. AL-An’am:3)
Nabi juga memberi kabar dari Allah, perintah-Nya dan wahyu-Nya(QS.
Al-Hijr: 49, 51)
Ada juga yang mengatakan: Nubuwah (kenabian) berasal dari kata
Nabwah, yaitu bagian bumi yang tinggi. Hubungan antara lafadz nabi
dan maknanya secara bahasa adalah bahwa nabi mempunyai harkat dan
kedudukan tinggi di dunia dan akhirat.
2. Definisi Rasul
Adapun yang berasal dari kara “isral” yang secara bahasa bermakna
“mengarahkan”.
Allah berfirman ketika mengisahkan Ratu Saba’:
Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan
membawa hadiah, dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa
kembali oleh utusan-utusan itu. (QS. An-Naml: 35).

3. Perbedaan antara Rasul dan Nabi


Alasan yang menjelaskan Nabi dan Rasul itu berbeda adalah dalil yang
menjelaskan jumlah para nabi adalah 124ribu nabi, sedang jumlah rasul
adalah 311 rasul (HR. Ahmad)
Alasan lain yang juga menunjukkan perbedaan antara nabi dan rasul
adalah firman Allah yang menyebutkan perbedaan antara nabi dan rasul
adalah firman Allah yang menyebutkan kata nabi setelah rasul:
Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak
pula seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan,
setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. (QS. Al-
Hajj; 52).
Allah menyebutkan sifat sebagian rasul-Nya dengan kenabian dan
kerasulan. Ini menunjukkan bahwa kerasulan adalah sesuatu yang lebih
khusus daripada kenabian.(QS. Maryam: 51).
Pendapat yang terkenal , dikalangan para ulama adalah bahwa nabi lebih
umum daripada rasul. Sebab, rasul adalah oran gyan gdiberi wahyu dan
di perintakan untuk menyampaikannya. Sedang nabi adalah orang yang
diberi wahyu tapi tidak diperintahkan untuk menyampaikannya. Karena
itu semua rasul adalah nabi. Tapi tidak semua nabi adalah rasul.3
Pendapat ini keliru. Alasannya:

3
Syarh al Aqidah at Tahaawiyah (167), Lawami’ al Anwar al Bahiyah (1/49)
Pertama: Allah menerangkat, dia mengutus para nabi sebagaimana
mengutus para rasul. Firman-Nya:
Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun dan tidak
pula seoran gnabi. (QS. Al-Hajj: 52).
jika perbedaan antara nabi dan rasul adalah perintah untuk
menyampaikan, maka kata “mengutus” seperti tersebut dalam ayat ini
juga mengharuskan nabi untuk menyampaikan.
Kedua: tidak menyampaikan berati menyembunyikan wahyu. Allah
tidak menurunkan wahyu untuk disembunyikan dan disimpan dalam hati
seseorang. Lalu ilmu tersebut hilang dengan meninggalnya orang
tersebut.
Ketiga, sabda Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: Umat-
umat diperlihatkan kepadaku. Ada nabi yan gbersama satu orang
pengikut, ada nabi yang bersama dua orang, ada nabi yang bersama
sekelompok orang. Ada juga nabi yang tidak bersama seorang pengikut
pun. (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan. Para nabi diperintahkan untuk menyampaikan.
Mereka berbeda jumlah pengikutnya. Definisi yang paling tepat adalah
Rasul adalah seorang yang diberi wahyu dengan syariat baru. Sedangkan
nabi adalah orang yang diutus mengokohkan syariat yang telah ada
sebelumnya.4
Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Setiap nabi yang wafat
digantikan oleh nabi yang lain, sebagaimana disebutkan dalam sebuah
hadits (HR. Bukhari)
Karena itu, semua rasul adalah nabi
4. Urgensi Iman Kepada para Rasul
a. Beriman Kepada para Nabi dan Rasul termasuk Dasar Keimanan
Allah berfirman:

4
Tafsir Al Alusi: 7/157
Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub, dan anak-anaknya,
dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa an para Nabi dari Tuhan
mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka
dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri.”(QS. Ali Imran:
84)
Barangsiapa yang tidak beriman kepada para rasul berarti ia telah
sesat dan sangat merugi.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan Hari Kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.(QS. An-Nisa:
136)
b. Hubungan antara Iman kepada Allah dan Iman Kepada para Rasul
dan kerasulan
Orang yang benar-benar beriman kepada Allah tetapi mengingkari
para Rasul ia tidak mengagungkan Allah (Q S. Al-An’am: 91) dan ia
kafir disisi Allah (QS. An-Nisa’: 150-151). Allah mengutus para
Rasul dan menurunkan kitab-kitab. Sebab, ini adalah keniscayaan
sifat-sifat-Nya. Karena Allah tak menciptakan makhluk dengan sia-
sia.(QS. Al-Qiyamah: 36).
c. Wajib beriman kepada semua Rasul
Selalu ada bagian dari umat yang mendustakan rasul-Nya. Tapi
mendustakan seorang rasul dianggarp telah mendustakan semua
rasul. Sebab, para rasul adalah pembawa satu misi. Mereka
mengajak kepada agama yang satu. Para rasul adalah sebuah
kesatuan. Yang terdahulu memberi kabar gembira kepada orang
yang datang kemudian/ lalu rasul yang datang membenarkan rasul
terdahulu.
5. Jumlah Nabi dan Karakter Mereka
Rasulullah memberitahu kita jumlah para nabi dan rasul. Abu Dzar
pernah bertanya: Wahai Rasulullah! Berapakah (jumlah) para Rasul?”
Beliau menjawab: 311. Suatu kali beliau berkata 315.
Dalam riwayat Abu Umamah, abu Dzar bertanya, “Wahai Rasulullah,
berapakah jumlah para Nabi?” Beliau menjawab: 124 ribu, diantara
mereka terdapat 315 Rasul.
Ada Nabi dan Rasul yang tidak diceritakan Allah kepada kita (QS. An-
Nisa’:164, Ghafir: 78)
Para Nabi dan Rasul yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah
menyebutkan dalam kitabnya 25 nabi dan rasul. Dalam beberapa ayat
terpisah, Allah menyebutkan Adam, Hud, Shalih, Syuaib, Ismail, Idris,
Dzulkifli, dan Muhammad Alaihisallam.
Allah berfirman:
Sesungguhnya Allah telah memilih Adam. (QS. Ali Imran :33)
Dan kepada kaun ‘Aad (Kami utus) saudara mereka Hud. (QS. Huud:
50)
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shalih. (QS. Huud:
61)
Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka Syuaib.
(QS. Huud: 85)
Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Dzulkifli. Semua mereka
termasuk orang-orang sabar. (QS. Al-Anbiya’: 85)
Muhammad adalah utusan Allah (QS. Al-Fath: 29)
Allah menyebutkan 18 orang rasul dalam satu tempat di surah Al-
An’am: 83-86)
6. Tugas-tugas para Rasul
 Menyampaikan Dakwah (Al-Ma’idah: 67)
Meyampaikan wahyu memerlukan keberanian dan tidak takut pada
manusia. Karena dia menyampaikan pada mereka sesuatu yang
bertentangan dengan keyakinan mereka, menyuruh mereka sesuatu yang
tidak mereka sukai dan melarang apa yang menjadi kebiasaan mereka.
Menyampaikan adalah dengan membacakan nash-nash yang
diwahyukan Allah tanpa mengurangi atau menambahi.
 Mendakwahkan Ajaran Allah
Tugas rasul bukan hanya sekadar menyampaikan dan menjelaskan
kebenaran. Mereka juga wajib mengajak manusia untuk menerima
dakwah, menerapkannya dalam diri mereka, baik secara keyakinan,
perkataan dan perbuatan. Para rasul telah mencurahkan kesungguhan
dalam rangka mengajak manusia kepada Allah. Dalam masalah ini, anda
cukup membaca surah Nuh untuk melihat bagaimana usaha yang ia
lakukan selama 900 tahun. Ia mengajak mereka siang dan malam,
sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, memakai cara mendorong dan
peringatan, janji dan ancaman, mengarahkannya pada tanda-tanda alam
semesta. Tapi mereka menolak.
 Memberi Kabar Gembira dan Peringatan
Kabar gembira dan peringatan para rasul adalah duniawi dan ukhrawi.
Di dunia mereka memberi kabar gembira pada orang-orang yang taat
berupa kehidupan yang sejahtera.(QS. AN-Nahl: 97)
Rasul menjanjikan mereka dengan kemuliaan dan kekuasaan serta
keamanan.(QS. An-Nuur: 55)
Beliau memperingatkan orang-orang yang menentang dengan
kesengsaraan hidup di dunia. (QS. Thaha: 124)
Beliau memperingatkan mereka dengan azab dan kehancuran di dunia.
(QS. Fushshilat: 13)
Di akhirat, mereka memberik kabar gembira bagi orang-orang yang taat
dengan surga dan kenikmatannya. (QS. An-Nisaa: 13)
 Memperbaiki dan Mensucikan Jiwa
Allah Maha Pengasih terhadap hamba-Nya. Karena kasih sayang-Nya,
maka Allah menghidupkan jiwa mereka dengan wahyu-Nya dan
menyinarinya dengan sinar-Nya. (QS. Asy-Syurura: 52). Dengan wahyu
ini Allah mengeluarkan manusia dari kegelapan menuj cahaya,
kegelapan kafir, syirik, dan kebodohan kepada cahaya Islam dan
kebenaran.
 Meluruskan pemikiran menyimpang dan akidah sesat
Asal penciptaannya, manusia berada pada fitrah yang benar. Mereka
hanya menyembah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesutu [un. Ketika mereka bercerai-berai dan berselisih, Allah
mengutus para Rasul untuk mengembalikan manusia ke jalan yang
benar dan menyelamatkan mereka dari kesesatan.
 Menegkkan Hujjah
Tidak ada yang lebih menyukai hujjah daripada Allah. Dia mengutus
para Rasul dan menurunkan kitab agar manusia tidak punya alasan lagi
pada Hari Kiamat. Sandainya Allah tidak mengutus para rasul, niscaya
pada Hari Kiamat mereka akan membantah Allah.
 Memimpin Umat
Orang-orang yang mengikuti para rasul membentuk jamaah dan umat.
Mereka memerlukan oran gyang memimpin dan mengatur urusan mereka.
Para rasul melakukan tugas tersebut di masa hidup mereka.m mereka
menegakkan hukum Allah ditengah-tengah manusia.
Para rasul dan pngikutnya setelah menegakkan hukum di tengah manusia
memimpin umat di waktu damai dan waktu perang. Mereka memangku
jabatan hakim dan mengurusi masalah umat. Pada semua hal itu mereka taat
pada Allah.
Barangsiapa yang menaati rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
(QS. AN-Nisaa: 80).
Seorang hamba tidak akan bisa mendapat ridha Allah dan kecintaannya
kecuali lewat ketaatan. Karena itu, semboyan seorang muslim yang selalu di
dengung-dengungkan adalah mendengarkan dan menaati.(QS. An-Nur: 51)

Cara Allah memberitahu para Nabi dan Rasul-Nya


Wahyu
Allah menamakan cara yang digunakan untuk memberitahu para nabi dan
rasul-Nya dengan wahyu. (QS. An-Nisaa: 163).
Adapun wahyu dalam arti bahasa adalah “memberitahu dengan pelan dan
cepat walau sebabnya berbeda-beda.”5 Kadang dengan ilham seperti wahyu
Allah kepada Hawariyyin: Dan (ingatlah) ketika Aku ilhamkan kepada
pengikut Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-
Ku.” (QS. Al-Maidah: 111).
Dan Kami ilhamkan kepada ibu musa, “Susuilah dia.” (QS. Al-Qashash: 7)
Kata wahyu paling banyak dipakai dalam Al-Qur’an dengan makna
“pemberitahuan Allah pada siapa yang dipilih dari hamba-Nya.” Juga pada
semua yang ingin diperlihatkan dari berbagai macam hidayah dan ilmu,
dengan cara rahasia dan tersembunyi, dengan cara yang tidak biasa bagi
manusia.
Beberapa metode Wahyu Allah kepada Rasul-Nya:
o Mimpi para Nabi
Yaitu kisah Nabi Ibrahim yang menyembelih anaknya Ismail karena
mimpi (QS. Ash-Shaffat: 102-105)
o Allah berbicara kepada Rasul-Nya dari Balik Tabir
Nabi Musa (QS. AL-A’raf: 143)
Nabi Adam (QS. Al-Baqarah: 35)
o Lewat perantara malaikat (QS. Asy-Syuura: 51)
Cara datangnya malaikat kepada Rasul
Bila memperhatikan nash-nash dalam masalah ini, kita dapatkan bahwa
malaikat mempunyai tiga hal:
Pertama, Rasulullah melihatnya dalam bentuk aslinya, sebagaimana
diciptakan oleh Allah. Hal ini hanya dua kali dialami Rasul.
Kedua, wahyu datang seperti bunyi lonceng. Lalu ketika suara itu
hilang, Rasululla telah paham isinya.

5
Fath Al-Bari, hl. 1/9 dan Al Mishbah AL Munir: 651, 652
Ketiga, malaikat menyerupai seoran glaki-laki. Ia berbicara dengannya.
Rasul memahami perkataanya. Ini adalah cara paling ringan bagi
Rasulullah. Ini telah terjadi bersama Jibril pada pertemua pertama di
Gua Hira.

SIFAT-SIFAT PARA RASUL


1. Kemanusiaan
 Kemampuan manusia mengemban risalah
 Mengapa para Rasul bukan Malaikau?
Pertama, Allah memilih mereka dari jenis manusia bukan dari jenis
malaikat karena lebih besar ujiannya.
Kedua, ini adalah penghargaan bagi yang telah mempunyai
kebaikan.
Ketiga, manusia lebih mampu memimpin dan mengarahkan.
Keempat, sulitnya melihat malaikat.
 Konsekuensi sifat manusia pada Nabi dan Rasul
Mereka makan, minum, tidur, menikah, dan punya anak
Para nabi mendapat ujian
Para nabi melakukan pekerjaan manusia
Mereka sama sekali tidak mempunyai sifat-sifat ketuhanan atau
malaikat
 Kesempurnaan Manusia
Kesempurnaan dalam ciptaan dzahir
Bentuk dzahir berbeda
Kesempurnaan akhlak
Orang yang paling baik nasabnya
Merdeka dan jauh dari perbudakan
Mempunyai kelebihan dan keistimewaan
Kesempurnaan dalam mewujudkan ibadah
Laki-laki.
Rencana Pelaksanaan Mentoring
(RPM)

Universitas : Universitas Negeri Semarang


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Semester/Tahun : Ganjil/2017
Materi Pokok : Thaharah/bersuci
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan ke- :V

A. Standar Kompetensi
Kemampuan dalam memahami dan mengaplikasikan thaharah sesuai
yang Rasulullah ajarkan
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
Kompetensi Dasar Indikator
1. Memahami hakikat 1.1. Mampu menjelaskan hakikat
thaharah thaharah
2. Memahami pentingnya 2.1. Mampu menjelaskan
thaharah pentingnya thaharah.
3. Memahami macam-macam 3.1. Mampu menjelaskan macam-
thaharah macam thaharah
4. Memahami cara-cara 4.1. Mampu menjelaskan cara-cara
thaharah dalam berbagai thaharah dalam berbagai
keadaan. keadaan.
5. Mengaplikasikan thaharah 5.1. Mampu mempraktikkan cara-
sesuai yang Rasulullah cara thaharah dalam berbagai
ajarkan keadaan (wudhu dan tayamum)
C. Tujuan pelaksanaan Mentoring
1. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan pentingnya
thaharah
2. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan macam-
macam thaharah
3. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan cara-cara
thaharah dalam berbagai keadaan.
4. Setelah proses mentoring, mentee mampu mempraktikkan cara-cara
thaharah dalam berbagai keadaan (wudhu dan tayamum)
D. Materi Mentoring
1. Pengertian thaharah
2. Macam-macam thaharah
3. Cara berwudhu
4. Cara bertayamum
E. Metode Mentoring
1. Ceramah
2. Praktik
3. Diskusi
F. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
1. Media :-
2. Alat :-
3. Sumber belajar : buku panduan mentoring dan referensi lain.
G. Langkah-langkah Pelaksanaan Mentoring
Langkah Kegiatan Mentoring Alokasi Metode
Waktu
pendahuluan 1. Mentor menyapa mentee 15 Ceramah
dengan memberi salam menit dan
2. Mentor mengecek kehadiran Tanya
mentee Jawab
3. Mentor membimbing
mentee agar mengawali
kegiatan mentoring dengan
tilawah
4. Kultum dari salah satu
mentee
5. Mentor mengulas singkat
materi sebelumnya.
6. Mentor menjelaskan garis
besar materi yang akan
dipelajari
Inti 1. Mentor menjelaskan 60 Praktik
pengertian thaharah menit dan
2. Mentor menjelaskan Diskusi
macam-macam thaharah
3. Mentor menjelaskan
pentingnya thaharah
4. Mentor menjelaskan cara-
cara thaharah
5. Mentee mempraktikkan
cara-cara thaharah secara
bergiliran

Penutup 1. Mentor dan mentee 15 Ceramah


melakukan evaluasi menit dan
pembelajaran dalam Tanya
mentoring Jawab
2. Mentor dan mentee
menyimpulkan materi
mentoring
3. Mentor memberikan refleksi
berkait materi yang telah
dipelajari
1. Mentor memberikan tindak
lanjut untuk metari yang
telah dipelajari
6. Mentor menutup kegiatan
mentoring dengan salam

H. Penilaian
1. Praktik
2. Akhlak mentee saat mentoring.
Lampiran Materi

THAHARAH
(WUDHU DAN TAYAMUM)

Thaharah artinya bersuci. Thaharah menurut syara’ ialah suci dari


hadats dan najis. Suci dari hadats ialah dengan mengerjakan wudhu, mandi,
dan tayamum. Suci dari najis ialah menghilangkan najis yang ada di badan,
tempat, dan pakaian
A. Wudhu
Wudhu menurut bahasa artinya bersih dan indah, sedang menurut syara’
artinya membersihkan anggota wudhu untuk menghilangkan hadats
kecil. Orang yang hendak melakukan salat, wajib lbih dahulu berwudhu,
karena wudhu adalah menjadi syarat sahnya salat.
1. Fardhu wudhu
Fardhunya wudhu ada enam, yaitu:
a. Niat: ketika membasuh muka
Lafadz niatnya:
ٰ‫ض ِه‬
‫الِلِ تَ َع هالى‬ ً ‫ص َغ ِرفَ ْر‬ ِ ‫ض ْو َءلِ َر ْف ِع ا ْل َح َد‬
ْ َ‫ث ْاْل‬ ُ ‫نَ َويْتُ ا ْل ُو‬
b. Membasuh seluruh muka (mulai dari tumbuhnya rambut
kepala hingga bawah dagu, dan dari telinga kanan hingga
telinga kiri)
c. Membasuh ekdua tangan sampai siku-siku
d. Mengusap sebagian rambut kepala
e. Membasuh kedua belah kaki sampai mata kaki
f. Tertib (berturut-turut), artinya mendahulukan mana yang
harus dahulu, dan mengakhirkan mana yang harus diakhirkan.
2. Syarat-syarat wudhu
Syarat-syarat wudhu ialah:
a. Islam
b. Tamyiz, yakni dapat membedakan baik buruknya sesuatu
pekerjaan
c. Tidak berhadats besar
d. Dengan air suci lagi menyucikan
e. Tidak ada sesuatu yang menghalangi air, sampai ke anggota
wudhu, misalnya getah, cat, dan sebagainya.
f. Mengetahui mana yang wajib (fardhu) dan mana yang
sunnah.
3. Sunnah-sunnah wudhu
Sunnah-sunnah wudhu yaitu:
a. Membaca basmalah pada permulaan wudhu
b. Membash kedua telapak tangan sampai pergelangan
c. Berkumur-kumur
d. Membasuh lubang hidung sebelum berniat
e. Menyapu seluruh kepala dengan air
f. Mendahulukan anggota kanan daripada kiri
g. Menyapu kedua telinga luar dan dalam
h. Menigakalikan membasuh
i. Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki
j. Membaca doa sesudah wudhu
5. Hal-hal yang membatalkan wudhu
Hal-hal yang membatalkan wudhu, yaitu:
- Keluar sesuatu dari kubul dan dubur, kisalnya buang air kecil
maupun besar, atau keluar angin dan sebagainya
- Hilang akal sebelum gila, pingsan, mabuk, dan tidur nyenyak
- Tersentuh kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrimnya dengan memakai tutup, (muhrim artinya keluarga
yang tidak boleh dinikah)
- Tersentuh kemaluan (kubul atau dubur) dengan tapak tangan
atau jari-jarinya yang tidak memakai tutup (walaupun
kemaluannya sendiri)
6. Cara berwudhu
Cara mengerjakan wudhu, yaitu:
1. Membaca basmalah sambil mencuci kedua tangan sampai
pergelangan tangan dengan bersih
2. Selesai membersihkan tangan terus berkumur-kumur tiga kali,
sambil membersihkan gigi
3. Selesai berkumur kemudian mencuci lubang hidung tiga kali
4. Selesai mencuci hidung kemudian mencuci muka tiga kali,
mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala hingga bawah
dagu, dan dari telinga kanan ke telinga kiri, sambil niat
wudhu
5. Setelah membasuh muka (mencuci muka), lalu mencuci
kedua tangan hingga siku-siku tiga kali
6. Selesai mencuci kedua tangan, kemudian menyapu sebagian
rambut kepala tiga kali
7. Selesai menyapu sebagian rambut kepala, kemudian menyapu
kedua telinga tiga kali
8. Terakhir, mencuci kedua kaki tiga kali, dari/sampai mata kaki

Doa sesudah wudhu:

ii. Tayamum
Tayamum adalah bersuci dengan menggunakan debu sebagai
pengganti wudhu dan mandi bagi yang beruzur tidak mendapatkan air
atau termudaratkan oleh penggunaannya. Tayamum hukumnya wajib
bagi yang akan melaksanakan suatu ibadah yang pelaksanaannya harus
dalam keadaan suci dari hadats, seperti salat. Adapun tayamum untuk
suatu ibadah yang pelaksanaannya tidak harus dalam keadaan suci tetapi
disukai dalam keadaan suci seperti halnya tayamum untuk membaca Al
Qur’an tanpa menyentuh mushaf hukumnya sunnah.

Sebab-sebab untuk bertayamum:


1. Tidak mendapatkan air
2. Termudharatkan dengan penggunaan air
3. Dalam perjalanan jauh.
4. Jumlah air tidak mencukupi karena jumlahnya sedikit
5. Air yang ada hanya untuk minum
6. Air berada di tempat yang jauh yang dapat membuat telat shalat
7. Sakit dan tidak boleh terkena air

Syarat Sah Tayamum :


1. Telah masuk waktu salat
2. Memakai tanah berdebu yang bersih dari najis dan kotoran
3. Memenuhi alasan atau sebab melakukan tayamum
4. Sudah berupaya / berusaha mencari air namun tidak ketemu
5. Tidak haid maupun nifas bagi wanita / perempuan
6. Menghilangkan najis yang yang melekat pada tubuh

Sunah / Sunat Ketika Melaksanakan Tayamum :


1. Membaca basmalah
2. Menghadap ke arah kiblat
3. Membaca doa ketika selesai tayamum
4. Medulukan kanan dari pada kiri
5. Meniup debu yang ada di telapak tangan
6. Menggodok sela jari setelah menyapu tangan hingga siku

Rukun Tayamum:
1. Niat Tayamum.
2. Menyapu muka dengan debu atau tanah.
3. Menyapu kedua tangan dengan debu atau tanah hingga ke siku.

Tata cara bertayamum:


1. Niat
َ ‫صالَ ِة فَ ْر‬
‫ض ِلِلِ تَ َعا لي‬ ْ ‫نَ َويْتُ التَّيَ ُّم َم ِْل‬
َّ ‫ستِبَا َح ِة ال‬
2. Renggangkan jari-jemari, tempelkan ke debu, tekan-tekan hingga
debu melekat.
3. Angkat kedua tangan lalu tiup telapat tangan untuk menipiskan
debu yang menempel, tetapi tiup ke arah berlainan dari sumber
debu tadi.
4. Mengusap telapak tangan ke muka secara merata
5. Bersihkan debu yang tersisa di telapak tangan
6. Ambil debu lagi dengan merenggangkan jari-jemari, tempelkan ke
debu, tekan-tekan hingga debu melekat.
7. Angkat kedua tangan lalu tiup telapat tangan untuk menipiskan
debu yang menempel, tetapi tiup ke arah berlainan dari sumber
debu tadi.
8. Mengusap debu ke tangan kanan lalu ke tangan kiri
Rencana Pelaksanaan Mentoring
(RPM)

Universitas : Universitas Negeri Semarang


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Semester/Tahun : Ganjil/2017
Materi Pokok : Tata cara salat sesuai Rasulullah dan salat
sunnah
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan ke- : VIII

A. Standar Kompetensi
Kemampuan memahami dan mempraktikkan pentingnya salat dan tata
cara sesuai yang Rasulullah ajarkan dan memahami keutamaan dan
manfaat salat sunnah dalam kehidupan sehari-hari
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
Kompetensi Dasar Indikator
1. Memahami pentingnya 1.1 Mampu menjelaskan pentingnya
salat salat
2. Memahami bacaan- 2.1 Mampu menjelaskan bacaan-
bacaan salat bacaan salat
3. Memahami gerakan- 3.1 Mampu menjelaskan gerakan-
gerakan salat sesuai gerakan salat sesuai ajaran
ajaran Rasulullah Rasulullah

C. Tujuan pelaksanaan Mentoring


1. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan pentingnya
salat
2. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan bacaan-bacaan
salat
3. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan bacaan-
bacaan salat
4. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan macam-
macam salat beserta niatnya
5. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan keutamaan
salat sunnah
6. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan manfaat yang
didapat apabila mengerjakan salat sunnah
7. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan tips menjaga
salat sunnah
8. Setelah proses mentoring, mentee mampu mempraktikkan gerakan-
gerakan salat wajib dan sunnah
D. Materi Mentoring
1. Bacaan dan gerakan salat
2. Niat salat wajib dan salat sunnah (dhuha, tahajud, dan rawatib)
E. Metode Mentoring
1. Ceramah
2. Praktik
3. Diskusi
F. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
1. Media :-
2. Alat : Perlengkapan salat
4. Sumber belajar : buku panduan mentoring dan buku SIFAT
SHALAT NABI (AL-Muhaddits Muhammad Nashirudin Al-
Albani)
G. Langkah-langkah Pelaksanaan Mentoring
Langkah Kegiatan Mentoring Alokasi Metode
Waktu
Pendahuluan 1. Mentor menyapa mentee 15 menit Ceramah
dengan memberi salam dan
2. Mentor mengecek Tanya
kehadiran mentee Jawab
3. Mentor membimbing
mentee agar mengawali
kegiatan mentoring
dengan tilawah
4. Kultum dari salah satu
mentee
5. Mentor mengulas
singkat materi
sebelumnya.
6. Mentor menjelaskan
garis besar materi yang
akan dipelajari
Inti 1. Mentor menjelaskan 60 menit Praktik,
pentingnya salat Tanya
2. Mentor menjelaskan Jawab,
bacaan-bacaan salat dan
3. Mentor menjelaskan Diskusi
gerakan-gerakan salat
sesuai ajaran
Rasulullah
4. Mentor menjelaskan
macam-macam salat
sunnah beserta niatnya
5. Mentor menjelaskan
keutamaan salat
sunnah
6. Mentor menjelaskan
manfaat yang didapat
apabila mengerjakan
salat sunnah
7. Mentor menjelaskan
tips menjaga salat
sunnah
8. Mentee
mempraktikkan
gerakan-gerakan salat
wajib dan salat sunnah
Penutup 1. Mentor dan mentee 15 menit Ceramah
melakukan evaluasi dan
pembelajaran dalam Tanya
mentoring Jawab
2. Mentor dan mentee
menyimpulkan materi
mentoring
3. Mentor memberikan
refleksi berkait materi
yang telah dipelajari
4. Mentor memberikan
tindak lanjut untuk
materi yang telah
dipelajari
5. Mentor menutup
kegiatan mentoring
dengan salam

H. Penilaian
1. Praktik
2. Akhlak mentee saat mentoring.

Lampiran
FIQIH SALAT
Rasulullah bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku
shalat”.
Yaitu shalat secara sempurna baik rukun, wajib maupun sunnah-
sunnahnya.

A. Syarat sah Salat


Adapun syarat-syaratnya ada sembilan:
1. Islam,
2. Berakal,
3. Tamyiz (dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk),
4. Menghilangkan hadats,
5. Menghilangkan najis,
6. Menutup aurat,
7. Masuknya waktu,
8. Menghadap kiblat,
9. Niat.
Secara bahasa, syuruuth (syarat-syarat) adalah bentuk jamak
dari kata syarth yang berarti alamat sedangkan menurut istilah adalah
apa-apa yang ketiadaannya menyebabkan ketidakadaan (tidak sah),
tetapi adanya tidak mengharuskan (sesuatu itu) ada (sah).
Contohnya, jika tidak ada thaharah (kesucian) maka shalat tidak
ada (yakni tidak sah), tetapi adanya thaharah tidak berarti adanya shalat
(belum memastikan sahnya shalat, karena masih harus memenuhi
syarat-syarat yang lainnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang wajibnya dan
menghindari hal-hal yang membatalkannya).Rukun-Rukun Shalat
Rukun-rukun salat, yaitu:
1. Berdiri (dalam shalat fardhu)
Allah ta’ala berfirman,
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.
(QS. Al Baqarah: 238)
Merupakan suatu kewajiban dalam shalat fardhu
untuk berdiri.Hal ini juga bersandar pada sabda Rasulullah
Saw., “Salatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan
duduk, jika tidak mampu maka dengan berbaring.”Apabila tidak
mampu berdiri karena sakit atau yang lainnya maka salat dengan
semampunya. Jika salat dibelakang imam yang duduk (karena
sakit atau yang lainnya), maka ikut duduk .
2. Takbiratul ihram
Berdasar sabda Rasulullah, “Lalu menghadaplah ke kiblat
dan bertakbir.”Dalam sabda beliau, yang mengharamkannya
(permulaanya) adalah takbir. Lafadz takbiratul ihram
yaitu mengucapkan “Allahu Akbar”, tidak pernah diriwayatkan
dari Nabi Saw. selain ini.
3. Membaca al Fatihah
Berdasar sabda Rasulullah, “Tidak ada shalat bagi yang
tidak membaca Al Fatihah.” Membaca al fatihah merupakan rukun
di antara rukun-rukun shalat. Bagi imam dan orang yang sendirian
maka wajib membacanya, tidak ada khilaf disini. Adapun
bagi orang yang shalat dibelakang imam ada khilaf di kalangan
para ulama. Sebagai bentuk kehati-hatian hendak makmum tetap
membaca al Fatihah dalam shalat-shalat yang sirriyah (yang tidak
dikeraskan bacaanya) dan disaat-saat imam diam/tidak membaca.
4. Rukuk dalam tiap rekaat
Berdasarkan firman Allah Swt.,
Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu,
sujudlah kamu…. QS. al Hajj: 77
Dan juga berdasar apa yang dikerjakan Rasulullah,
banyak hadist yang menunjukkan akan hal ini.
5. dan ke 6 , bangkit dari rukuk dan I’tidal (berdiri tegak)
Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam senantiasa
melaksanakannya. Rasulullah bersabda, “Shalatlah kalian
sebagaimana melihat aku shalat.”
7. Sujud
Berdasar firman Allah ta’ala,
Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah
kamu….(Q.S. al Hajj: 77)
Sujud adalah meletakkan kening ke permukaan bumi (tempat
sujud), dan hendaknya semua anggota sujud yang tujuh sempurna
menyetuh permukaan bumi. Anggota sujud yang tujuh yaitu: kening
serta hidung, dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung kedua
telapak kaki. Sujud merupakan salah rukun shalat yang utama
karena waktu sujud adalah waktu paling dekat antara hamba dengan
Allah.
8. Bangkit dari sujud dan duduk antara dua sujud
Berdasar perkataan ‘Aisyah, ” Jika Rasulullah mengangkat
kepalanya dari sujud maka tidak sujud (kembali) sampai duduk
dengan sempurna.”
9. Tuma’ninah
Yaitu berdiam barang sesaat.Ini yang sering diremehkan
sebagian kaum muslimin.Padahal tuma’ninah termasuk rukun
shalat, tidak sah shalat tanpa tuma’ninah.
10. dan ke 11, tasyahud akhir dan duduk padanya
Yaitu dengan membaca “attahiyaat..” sampai akhir. Hal ini
telah tsabit dari Rasulullah dalam beberapa hadistnya sebagaimana
hadist ‘Aisyah dan Ibnu Mas’ud.
12. Shalawat atas Nabi pada tasyahud akhir
Yaitu dengan mengucapkan “Allahuma shalli ‘ala
muhammad.” Adapun menambahnya maka termasuk sunnah.
13. Tertib antara rukun-rukun tersebut
Karena dahulu Rasulullah shalat dengan tertib antara rukun-
rukunya. Dan juga berdasar hadist tentang musi’i shalah (orang
yang jelek shalatnya), lalu rasulullah mengajarinya dengan kata-
kata “lalu..” yang menunjukan akan urutan.
14. Salam
Berdasar sabda Rasulullah, “….dan penutupnya adalah
salam. Juga sabda beliau, “….dan yang menghalalkannya adalah
salam.”
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa meninggalkan
rukun membatalkan shalat baik secara sengaja ataupun tidak.

Berikut secara ringkas rincian hukum-hukum tentang meninggalkan


rukun shalat:
1. Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram maka belum
dianggap shalat.
2. Jika yang ditinggalkan selain takbiratul ihram, dengan sejaga
maka batal shalatnya.
3. Jika tertinggal (selain takbiratul ihram, seperti rukuk atau sujud)
karena lupa dan ingat sebelum berdiri tegak untuk membaca al
Fatihah rekaat berikutnya maka kembali mengulangi ke rukun
yang ditinggalkan dan yang berikutnya.
4. Jika tertinggal karena lupa dan sudah berdiri tegak untuk membaca
al fatihah rakaat berkutnya maka rakaat yang tadi (yang
tertinggal rukunya) tidak dianggap, sehingga rakaat yang
sekarang menempati kedudukan rakaat sebelumnya. Dan
melakukan sujud sahwi.
5. Jika mengetahui rukun yang ditinggalkan setelah salam maka
jika rukun tersebut adalah tasyahud akhir dan salam
maka langsung mengerjakannya lagi lalu salam lalu sujud sahwi.
Jika selain keduanya (tasyahud akhir dan salam) seperti sujud
dan rukuk maka mengerjakan satu rakaat secara sempurna, lalu
sujud sahwi.
6. Jika ingat setelah salamnya lama maka mengulangi shalat dari
awal. Allahu A’lam
B. Wajib-Wajib Shalat
Wajib-wajib salat, yaitu:
1. Seluruh takbir, kecuali takbiratul ihram
2. Tasmii’
Yaitu membaca “sami’allahu liman hamidah ”.wajib dibaca
oleh imam ataupun orang yang shalat sendirin, adapun makmum
tidak membacanya.
3. Tahmid
Yaitu membaca “rabbana walakal hamd”.Wajib dibaca oleh
imam, makmum, maupun orang yang shalat sendirian.
Berdasarkan sabda Rasulullah, “Jika imam membaca sami’allahu
liman hamidah maka ucapkanlah rabbana walakal hamd .”
4. Bacaan rukuk.
Yaitu seperti bacaan “subhaana rabbiyal ‘adzim”.Yang wajib
sekali, disunnahkan membacanya tiga kali.Jika lebih maka tidak
mengapa.
5. Bacaan sujud.
Yaitu seperti bacaan “subhaana rabbiyal ‘a’la”.Yang wajib
sekali, disunnahkan membacanya tiga kali.
6. Bacaan duduk antara dua sujud.
Yaitu seperti bacaan “rabbighfirliy..”.Yang wajib sekali,
disunnahkan membacanya tiga kali.
7. Tasyahud awal
Yaitu membaca bacaan-bacaan tasyahud yang telah diriwayatkan
dari Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam.
8. Duduk pada tasyahud awal
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa meninggalkan wajib
shalat dengan sengaja membatalkan shalat. Adapun jika tidak sengaja
atau karena jahil maka menggantinya dengan sujud sahwi.
C. Sunnah-Sunnah Shalat
Bagian ketiga dari amalan dan bacaan dalam shalat adalah
sunnah-sunnah shalat, yaitu selain apa-apa yang telah disebutkan dalam
rukun maupun wajib shalat. Sunnah shalat ada dua jenis, ucapan
maupun perbuatan.
1. Sunnah berupa perkataan, bentuknya banyak sekali. Diantaranya:
membaca do’a iftiftah, ta’awudz, membaca basmalah, membaca
surat setelah al Fatihah, membaca bacaan rukuk, sujud, do’a
antara dua sujud lebih dari sekali, do’a setelah tasyahud akhir dan
lainnya.
2. Sunnah berupa perbuatan, bentuknya juga baca. Diantaranya:
mengangkat tangan saat takbiratul ihram serta ketika akan
dan setelah rukuk, meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri
dan meletakkannya di atas dada saat berdiri, melihat tempat sujud,
meletakkan tangan diatas lutut saat rukuk, menjauhkan antara perut
dan paha, paha dan betis saat sujud, dan lainnya.
Sunah-sunah ini tidak harus dikerjakan, tetapi barang siapa
melakukannya maka ada tambahan pahala atasnya, adapun jika
ditinggalkannya maka tidak ada dosa baginya.
Rencana Pelaksanaan Mentoring
(RPM)

Universitas : Universitas Negeri Semarang


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Semester/Tahun : Ganjil/2017
Materi Pokok : Tata cara salat dalam keadaan khusus (sakit dan
bepergian jarak jauh)
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan ke- : IX

D. Standar Kompetensi
Kemampuan memahami dan mempraktikkan cara-cara salat dalam
keadaan khusus (sakit dan bepergian jarak jauh)
E. Kompetensi Dasar dan Indikator
Kompetensi Dasar Indikator
10. Memahami tata 1.1 Mampu menjelaskan tata cara
cara salat dalam keadaan salat dalam keadaan khusus
khusus (sakit dan (sakit dan bepergian jarak jauh)
bepergian jarak jauh)
11. Mempraktikan 2.1 Mampu mempraktikkan cara-cara
cara-cara salat dalam salat dalam keadaan khsusus
keadaan khusus (sakit dan (sakit dan bepergian jarak jauh)
bepergian jarak jauh)

F. Tujuan pelaksanaan Mentoring


1. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan tata cara salat
dalam keadaan khusus (sakit dan bepergian jarak jauh)
2. Setelah proses mentoring, mentee mampu Mampu mempraktikkan
cara-cara salat dalam keadaan khsusus (sakit dan bepergian jarak
jauh)
G. Materi Mentoring
1. Bacaan salat
2. Gerakan salat dalam keadaan khusus
3. Niat salat jama’ dan qasar
H. Metode Mentoring
1. Ceramah
2. Praktik
3. Diskusi
I. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
1. Media :-
2. Alat : Perlengkapan salat
3. Sumber belajar : buku panduan mentoring dan tajwid
J. Langkah-langkah Pelaksanaan Mentoring
Langkah Kegiatan Mentoring Alokasi Metode
Waktu
pendahuluan 1. Mentor menyapa mentee 15 menit Ceramah
dengan memberi salam dan
2. Mentor mengecek Tanya
kehadiran mentee Jawab
3. Mentor membimbing
mentee agar mengawali
kegiatan mentoring
dengan tilawah
4. Kultum dari salah satu
mentee
5. Mentor mengulas
singkat materi
sebelumnya.
6. Mentor menjelaskan
garis besar materi yang
akan dipelajari
Inti 1. Mentor menjelaskan tata 60 menit Praktik,
cara salat dalam keadaan Tanya
khusus (sakit dan Jawab,
bepergian jarak jauh) dan
2. Mentee mempraktikkan Diskusi
cara-cara salat dalam
keadaan khsusus (sakit
dan bepergian jarak
jauh)
Penutup 1. Mentor dan mentee 15 menit Ceramah
melakukan evaluasi dan
pembelajaran dalam Tanya
mentoring Jawab
2. Mentor dan mentee
menyimpulkan materi
mentoring
3. Mentor memberikan
refleksi berkait materi
yang telah dipelajari
4. Mentor memberikan
tindak lanjut untuk
materi yang telah
dipelajari
5. Mentor menutup
kegiatan mentoring
dengan salam
K. Penilaian
1. Praktik
2. Akhlak mentee saat mentoring.
Lampiran Materi

SALAT DALAM KEADAAN KHUSUS


(SAKIT DAN BEPERGIAN JARAK JAUH)

A. Salat Jama’ dan Qasar


1. Salat Qashar
Bagi orang yang dalam perjalanan bepergian, dibolehkan
menyingkat salat wajib yang 4 rekaat menjadi 2 rekaat dengan
syarat sebagai berikut:
a. Jarak perjalanan sekurang-kurangnya dua hari perjalanan kaki
atau dua marhalah (yaitu sama dengan 16 farsah = 138 km)
b. Bepergian bukan untuk maksiat
c. Salat yang boleh diqashar hanya salat yang empat rekaat saja
dan bukan qadha
d. Niat mengqashar pada waktu takbiratul ihram
e. Tidak makmum kepada orang yang bukan musafir
2. Salat Jama’
Salat jama’ ialah salat yang dikumpulkan, misalnya dhuhur dengan
ashar; mahgrib dengan isya’, di dalam satu waktu.
 Cara melakukan salat jama’ ada dua, yaitu:
b. Jika salat dhuhur dengan ashar dikerjakan pada waktu
dhuhur atau maghrib dengan isya’ dilakukan pada waktu
maghrib, maka jama; semacam itu disebut “jama’ taqdim”
c. Jika dilakukan sebaliknya disebut “Jama’ Ta’khir”,
misalnya dhuhur dan ashar dikerjakan pada waktu ashar dan
maghrib dengan isya’ dikerjakan pada waktu isya’
 Syarat jama’ taqdim:
a. Dikerjakan dengan tertib, yakni dengan salat yang
pertama misalnya dhuhur dahulu, kemudian ashar dan
maghrib dahulu kemudian isya’
b. Niat jama’ dilakukan pada salat pertama
c. Berurutan antara keduanya, yakni tidak boleh disela
dengan salat sunnah atau lain-lain perbuatan.
 Syarat jama’ ta’khir:
a. Niat jama’ ta’khir dilakukan pada salat yang pertama
b. Masih dalam perjalanan tempa datangnya waktu yang
kedua
2. Jama’ dan qashar
Musafir yang memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan
di atas boleh mengerjakan salat jama’ dan qashar sekaligus, yaitu
mengumpulkan salat dan memendekkannya.
Lafadz niat salat qashar dengan jama’:
1. Salat dhuhur jama’ taqdim
ُّ ‫ض ال‬
ْ َ‫ظ ْه ِر َرك َعتَ ْي ِن ق‬
ْ ‫ص ًرا َم ْج ُم ْوعًا ِالَ ْي ِه ال َع‬
‫ص ِر اَدَا ًء لِلِ تَ َعالى‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫صلِّي فَ ْر‬
2. Salat ashar jama’ taqdim
ُّ ‫ص ًرا َم ْج ُم ْوعًا اِلي ال‬
‫ظ ْه ِر اَدَا ًء لِلِ تَ َعالى‬ ْ َ‫ص ِر َرك َعتَ ْي ِن ق‬
ْ ‫ض ال َع‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫صلِّي فَ ْر‬
3. Salat dhuhur jama’ ta’khir
‫ص ِر اَدَا ًء لِلِ تَ َعالى‬ ُّ ‫ض ال‬
ْ َ‫ظ ْه ِر َرك َعتَ ْي ِن ق‬
ْ ‫ص ًرا َم ْج ُم ْوعًا اِلي ال َع‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫صلِّي فَ ْر‬
4. Salat ashar jama’ ta’khir
‫ص ًرا َم ْج ُم ْوعًا اِلَ ْي ِه ال ُّظ ْه ِر اَدَا ًء لِلِ تَ َعالى‬
ْ َ‫ص ِر َرك َعتَ ْي ِن ق‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫صلِّي فَ ْر‬
ْ ‫ض ال َع‬
5. Salat maghrib jama’ taqdim
‫ت َم ْج ُم ْوعًا اِلَ ْي ِه العشاء اَدَا ًء لِلِ تَ َعالى‬
ٍ ‫ض المغرب ثالث َرك َعا‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫صلِّي فَ ْر‬
6. Salat isya’ jama’ taqdim
ْ َ‫ض العشاء َرك َعتَ ْي ِن ق‬
‫ص ًرا َم ْج ُم ْوعًا اِلَي المغرب اَدَا ًء لِلِ تَ َعالى‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫صلِّي فَ ْر‬
7. Salat maghrib jama’ ta’khir
‫ت َم ْج ُم ْوعًا اِلَي العشاء اَدَا ًء لِلِ تَ َعالى‬
ٍ ‫ض المغرب ثالث َرك َعا‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫صلِّي فَ ْر‬
8. Salat isya’ jama’ ta’khir
ْ َ‫ض العشاء َرك َعتَ ْي ِن ق‬
‫ص ًرا َم ْج ُم ْوعًا اِلَ ْي ِه المغرب اَدَا ًء لِلِ تَ َعالى‬ َ ُ‫أ‬
َ ‫صلِّي فَ ْر‬
B. Salat dalam Keadaan Sakit
Orang yangs edang sakit wajib pula mengerjakan salat,s elama akal
dan ingatannya sadar.
Tata cara melaksanakan salat dalam keadaan sakit:
1. Kalau tidak dapat berdiri, boleh mengerjakan sambil duduk.
Cara mengerjakan rukuknya ialah dengan duduk membungkuk
sedikit.
Cara mengerjakan sujudnya, seperti cara mengerjakan sujud biasa
2. Jika tidak dapat duduk, boleh mengerjakannya dengan cara dua
belah kakinya diarahkan ke arah kiblat, kepalanya ditinggikan
dengan alas bantal dan mukanya diarahkan ke kiblat.
Cara mengerjakan rukuknya, cukup menggerakkan kepala ke muka
Sujudnya menggerakkan kepala lebih ke muka dan lebih
ditundukkan
3. Jika duduk seperti biasa dan berbaring juga tidak bisa, maka boleh
berbaring dengan seluruh anggota badan dihadapkan ke kiblat.
Rukuk dan sujudnya cukup menggerakkan kepala, menurut
kemampuannya.
4. Jika tidak dapat mengerjakan dengan cara berbaring, maka cukup
dengan isyarat, baik dengan kepala maupun dengan mata. Dan jika
semuanya tidak mungkin, maka boleh dikerjakan dalam hati,
selama akal dan jiwa masih ada.
Rencana Pelaksanaan Mentoring
(RPM)

Universitas : Universitas Negeri Semarang


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Semester/Tahun : Ganjil/2017
Materi Pokok : Salat jenazah, sujud syahwi, sujud syukur, sujud
tilawah
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan ke- :X

C. Standar Kompetensi
Kemampuan memahami dan mempraktikkan cara-cara salat jenazah,
sujud syahwi, sujud syukur, dan sujud tilawah
D. Kompetensi Dasar dan Indikator
Kompetensi Dasar Indikator
1. Memahami hakikat salat 1.1 Mampu menjelaskan hakikat salat
jenazah, sujud syahwi, jenazah, sujud syahwi, sujud
sujud syukur, dan sujud syukur, dan sujud tilawah
tilawah
2. Memahami pentingnya 2.1 Mampu pentingnya salat jenazah,
salat jenazah, sujud sujud syahwi, sujud syukur, dan
syahwi, sujud syukur, dan sujud tilawah
sujud tilawah
3. Memahami bacaan-bacaan 3.1 Mampu menjelaskan bacaan-
salat jenazah, sujud bacaan salat jenazah, sujud
syahwi, sujud syukur, dan syahwi, sujud syukur, dan sujud
sujud tilawah tilawah
4. Memahami tata cara salat 4.1 Mampu menjelaskan tata cara
jenazah, sujud syahwi, salat jenazah, sujud syahwi, sujud
sujud syukur, dan sujud syukur, dan sujud tilawah
tilawah
5. Mempraktikkan salat 5.1 Mampu mempraktikkan salat
jenazah, sujud syahwi, jenazah, sujud syahwi, sujud
sujud syukur, dan sujud syukur, dan sujud tilawah beserta
tilawah beserta bacaannya bacaannya

E. Tujuan pelaksanaan Mentoring


1. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan hakikat salat
jenazah, sujud syahwi, sujud syukur, dan sujud tilawah
2. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan pentingnya
salat jenazah, sujud syahwi, sujud syukur, dan sujud tilawah
3. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan bacaan-bacaan
salat jenazah, sujud syahwi, sujud syukur, dan sujud tilawah
4. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan tata cara salat
jenazah, sujud syahwi, sujud syukur, dan sujud tilawah
5. Setelah proses mentoring, mentee mampu mempraktikkan salat
jenazah, sujud syahwi, sujud syukur, dan sujud tilawah beserta
bacaannya
F. Materi Mentoring
1. Hakikat salat jenazah, sujud syahwi, sujud syukur, dan sujud
tilawah
2. Niat salat jenazah, sujud syahwi, sujud syukur, dan sujud tilawah
3. Bacaan salat jenazah, sujud syahwi, sujud syukur, dan sujud
tilawah
4. Gerakan salat jenazah, sujud syahwi, sujud syukur, dan sujud
tilawah
G. Metode Mentoring
1. Ceramah
2. Praktik
3. Diskusi
H. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
1. Media :-
2. Alat : Perlengkapan salat
3. Sumber belajar : buku panduan mentoring dan tajwid.
I. Langkah-langkah Pelaksanaan Mentoring
Langkah Kegiatan Mentoring Alokasi Metode
Waktu
pendahuluan 1. Mentor menyapa mentee 15 menit Ceramah
dengan memberi salam dan
2. Mentor mengecek Tanya
kehadiran mentee Jawab
3. Mentor membimbing
mentee agar mengawali
kegiatan mentoring
dengan tilawah
4. Kultum dari salah satu
mentee
5. Mentor mengulas
singkat materi
sebelumnya.
6. Mentor menjelaskan
garis besar materi yang
akan dipelajari
Inti 1. Mentor menjelaskan 60 menit Praktik,
hakikat salat jenazah, Tanya
sujud syahwi, sujud Jawab,
syukur, dan sujud dan
tilawah Diskusi
2. Mentor menjelaskan
pentingnya salat jenazah,
sujud syahwi, sujud
syukur, dan sujud
tilawah
3. Mentor menjelaskan
bacaan-bacaan salat
jenazah, sujud syahwi,
sujud syukur, dan sujud
tilawah
4. Mentor menjelaskan tata
cara salat jenazah, sujud
syahwi, sujud syukur,
dan sujud tilawah
5. Mentee jenazah, sujud
syahwi, sujud syukur,
dan sujud tilawah
Penutup 1. Mentor dan mentee 15 menit Ceramah
melakukan evaluasi dan
pembelajaran dalam Tanya
mentoring Jawab
2. Mentor dan mentee
menyimpulkan materi
mentoring
3. Mentor memberikan
refleksi berkait materi
yang telah dipelajari
4. Mentor memberikan
tindak lanjut untuk materi
yang telah dipelajari
5. Mentor menutup kegiatan
mentoring dengan salam

J. Penilaian
1. Praktik
2. Akhlak mentee saat mentoring.
Lampiran

SALAT JENAZAH, SUJUD SYAHWI,


SUJUD SYUKUR, SUJUD TILAWAH

A. Salat Jenazah
1. Syarat-syarat Salat Jenazah
Syarat-syarat salat jenazah, yaitu:
a. Salat jenazah sama halnya dengan salat yang lain, yaitu harus
menutup aurat, suci dari hadats besar dan kecil, suci badan,
pakaian dan tempatnya serta menghadap kiblat
b. Mayit sudah dimandikan dan dikafani
c. Letak mayit sebelah kiblat orang yang menyalatinya, kecuali
kalau salat dilakukan di atas kuburan atau salat ghaib
2. Rukun dan Cara Mengerjakan Salat Jenazah
Salat jenazah tidak dengan rukuk dan sujud serta tidak dengan adzan
dan iqamat, dan caranta sebagai berikut:
Setelah berdiri sebagaimana mestinya akan mengerjakan salat, maka:
a. Niat, menyengaja melakukan salat atas mayit dengan empat
takbir, menghadap kiblat karena Allah.
Niatnya:
Untuk mayat laki-laki:
َ ‫ت فَ ْر‬
‫ضا ْل ِكفَا يَ ِة َماْ ُم ْو ًما لِل تَ َعا لي‬ ِ ِّ‫صلِّي عَلي َه َذا ْل َمي‬
ٍ ‫ت اَ ْربَ َع تَ ْكب ْي َرا‬ َ ُ‫ا‬
Untuk mayat prempuan
َ ‫ت فَ ْر‬
‫ضا ْل ِكفَا يَ ِة َماْ ُم ْو ًما لِل تَ َعا لي‬ ِ ِّ‫صلِّي عَلي هَذه َا ْل َمي‬
ٍ ‫ت اَ ْربَ َع تَ ْكب ْي َرا‬ َ ُ‫ا‬
b. Setelah takbiratul ihram, yakni setelah mengucapkan
“Allahuakbar” bersamaan dengan niat, sambil meletakkan
tangan kanan di atas tangan kiri di atas perut, kemudian
membaca surat Fatihah. Setelah membaca Fatihah, kemudian
takbir membaca “Allaahuakbar”.
c. Setelah takbir yang kedua, kemudian membaca salawat atas
nabi sebagai berikut:
‫صلٰ ِي عَلي ُم َح َّم ٍد‬
َ ‫اَللهُ َّم‬
Lebih sempurna membaca salawat sebagai berikut:
‫صلَّيْتَ عَلي اِ ْب َرا ِه ْي َم َوعَلي اَ ِل اِ ْب َرا ِه ْي َم‬
َ ‫صلٰ ِي عَلي ُم َح َّمد َوعَلي اَ ِل ُم َح َّم ٍد َك َما‬ َ ‫اَلل ُه َّم‬
‫َوبَا ِركْ عَلي ُم َح َّم ٍد َوعَلي اَ ِل ُم َح َّم ٍد َك َما بَا َر ْكتَ عَلي اِ ْب َرا ِه ْي َم َوعَلي َا ِل اِ ْب َرا ِه ْي َم فِي‬
‫ا ْل َعا لَ ِميْنَ اِنَّ َك َح ِم ْي ٌد َم ِج ْي ٌد‬
d. Setelah takbir yang ketiga, kemudian membaca doa sebagai
berikut:
Untuk mayat laki-laki:
ْ ُ‫اللهم ا ْغفِ ْر لَه‬
‫وار َحمهُ وعافِ ِه واعفُ عنه‬
Untuk mayat perempuan:
ْ ‫اللهم ا ْغفِ ْر لَ َها‬
‫وار َحم َها وعافِ َها واعفُ عن َها‬
e. Selesai takbir keempat membaca doa sebagai berikut:
ُ‫اللهُ ٰم ْلتَح ِر ْمنا أَ ْج َرهُ وْلتَ ْفتِنٰا بَع َده‬
f. Kemudian memberi salam sambil memalingkan muka ke kanan
dan ke kiri dengan ucapan sebagai berikut:
ُ‫سالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َر ْح َمةُ هللاِ َوبَ َركَاتُه‬
َّ ‫ال‬
B. Sujud Syahwi
Sujud Syahwi adalah sujud karena lupa. Maksudnya, sujud dua
kali karena terlupa salah satu rukun shalat, baik kelebihan maupun
kekurangan dalam melaksanakannya.
1. Orang yang lupa tidak duduk attahiyat awwal, orang yang lupa
sudah salam padahal masih ada satu atau lebih rakaa’at lagi yang
harus disempurnakan, maupun orang yang shalat kelebihan
rakaa’at dari yang semestinya, maka orang tersebut supaya sujud
sahwi.
2. Jika seseorang ragu-ragu, hendaknya memilih yang ia yakni
kemudian sujud sahwi.
3. Sujud sahwi menggunakan takbir
4. Sujud sahwi bisa dilakukan sebelum maupun sesudah salam. Jika
dilakukan setelah salam, maka setelah sujud sahwi salam (lagi).
5. Tidak ada bacaan khusus untuk sujud sahwi
Contoh
1. Jika seseorang shalat zuhur sebanyak lima rakaa’at baru teringat
atau ada yang mengingatkan setelah salam. Apakah yang harus
dilakukan orang tersebut?
*Setelah ingat kemudian melakukan sujud dua kali (sujud sahwi)
kemudin salam.
2. Jika seseorang shalat ashar kemudian terlupa dan salam di rakaa’at
kedua kemudian baru teringat setelah salam. Apakah yang harus
dilakukan orang tersebut?
*Setelah ingat kemudian menyempurnakan jumlah rakaa’at
dilanjutkan dengan sujud dua kali (sujud sahwi) sebelum salam
dan diakhiri dengan salam.
C. Sujud Syukur
Sujud Syukur ialah sujud terima kasih, yaitu sujud satu kali di
waktu mendapat keuntungan yang menyenangkan atau terhindar dari
kesusahan yang besar
1. Sujud syukur itu dilakukan karena satu keuntungan yang didapat
atau terhindar dari suatu kesusahan.
2. Sujud syukur hanya sekali sujud.
3. Sujud syukur tidak perlu wudlu terlebih dahulu.
4. Hukum sujud syukur adalah sunnah.
5. Tidak disyaratkan Takbir, Attahiyat atau Salam.
6. Tidak ada bacaan yang khusus untuk Sujud Syukur.
D. Sujud Sajadah / Sujud Tilawah
Sujud Tilawah ialah sujud di waktu membaca atau mendengar
ayat-ayat sajdah
1. Hanya dilakukan sekali sujud
2. Hukum sujud tilawah adalah sunnah
3. Tidak perlu wudhu terlebih dahulu
4. Bisa dilakukan di dalam maupun di luar shalat. Jika dilakukan di
dalam shalat berjama’ah maka mengikuti imam.
5. Di dalam sujud membaca :

‫ص َرهُ بِحَوْ ِل ِه َوقُ َّوتِ ِه‬ َّ ‫َس َج َد َوجْ ِهي لِلَّ ِذي َخلَقَهُ َو َش‬
َ ‫ق َس ْم َعهُ َو َب‬
“Sajada wajhii lilladzii kholaqohu wa syaqqo sam'ahu wa
bashorohu bihaulihi wa quwwatihi”
6. Ayat-ayat sajadah ada lima belas
1. Al - A’raaf : 206
2. Ar - Rad : 15
3. An - Nahl : 50
4. Al - Israa’ : 109
5. Masryam : 58
6. Al - Hajj : 18
7. Al - Hajj : 77
8. Al - Furqaan : 60
9. An - Naml : 26
10. As - Sajadah : 15
11. Shaad : 24
12. Fushshilat : 38
13. An - Najm : 62
14. Al - Insyiqaaq : 21
15. Al - ‘Alaq : 19
Rencana Pelaksanaan Mentoring
(RPM)

Universitas : Universitas Negeri Semarang


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Semester/Tahun : Ganjil/2017
Materi Pokok : Urgensi Pendidikan Islam Sepanjang Hayat
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan ke- : XI

A. Standar Kompetensi
Kemampuan memahami urgensi pendidikan Islam sepanjang hayat
sebagai motivasi untuk mengikuti mentoring lanjut
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
Kompetensi Dasar Indikator
1. Memahami hakikat pendidikan 1.1 Mampu menjelaskan hakikat
Islam pendidikan Islam
2. Memahami karakteristik 2.1 Mampu menjelaskan
pendidikan Islam karakteristik pendidikan Islam
3. Memahami pentingnya 3.1 Mampu menjelaskan
pendidikan islam pentingnya pendidikan Islam
4. Menerapkan pendidikan Islam 4.1 Mampu menerapkan
sepanjang hayat dengan pendidikan Islam sepanjang
mengikuti mentoring lanjut hayat
C. Tujuan pelaksanaan Mentoring
1. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan hakikat
pendidikan Islam
2. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan karakteristik
pendidikan Islam
3. Setelah proses mentoring, mentee mampu menjelaskan pentingnya
pendidikan Islam
4. Setelah proses mentoring, mentee mampu menerapkan pendidikan
Islam sepanjang hayat dengan mengikuti mentoring lanjut
D. Materi Mentoring
Hakikat pendidikan Islam sepanjang hayat
E. Metode Mentoring
1. Ceramah
2. Praktik
3. Diskusi
F. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
1. Media :-
2. Alat :-
3. Sumber belajar : buku panduan mentoring dan tajwid.
G. Langkah-langkah Pelaksanaan Mentoring
Langkah Kegiatan Mentoring Alokasi Metode
Waktu
pendahuluan 1. Mentor menyapa mentee 15 menit Ceramah
dengan memberi salam dan
2. Mentor mengecek Tanya
kehadiran mentee Jawab
3. Mentor membimbing
mentee agar mengawali
kegiatan mentoring
dengan tilawah
4. Kultum dari salah satu
mentee
5. Mentor mengulas
singkat materi
sebelumnya.
6. Mentor menjelaskan
garis besar materi yang
akan dipelajari
Inti 1. Mentor menjelaskan 60 menit Praktik,
hakikat pendidikan Islam Tanya
2. Mentor menjelaskan Jawab,
karakteristik pendidikan dan
Islam Diskusi
3. Mentor menjelaskan
pentingnya pendidikan
Islam
Penutup 1. Mentor dan mentee 15 menit Ceramah
melakukan evaluasi dan
pembelajaran dalam Tanya
mentoring Jawab
2. Mentor dan mentee
menyimpulkan materi
mentoring
3. Mentor memberikan
refleksi berkait materi
yang telah dipelajari
4. Mentor memberikan
tindak lanjut untuk materi
yang telah dipelajari
5. Mentor menutup kegiatan
mentoring dengan salam

H. Penilaian
1. Teori
2. Akhlak mentee saat mentoring.

Lampiran
URGENSI PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan Islam menumbuhkan seseorang dari kekanakan


ruh, kekanakan akal, dan kekanankan jasad menuju kematangan dan
kedewasaan. Pendidikan Islam mengembangkan manusia muslim
dalam kemampuan-kemampuan yang dibutuhkannya menjalani
kehidupan. Yaitu sebagai abdullah dan khalifah.
1. Ar-Rasul membimbing umat manusia untuk keluar dari
kebodohan.
2. Kondisi umat Islam sekarang tidak memahami Islam itu sendiri
sehingga akhirnya terjebak dalam kondisi kejahiliyahan modern
dengan kesesatan yang lebih dahsyat dan nyata
3. Jalan keluar dari kesesatan salah satunya melalui
pembinaan yang didalamnya diajarkan tilawah (dibaca &
dibacakan), tazkiyah (pembersihan diri) dan ta’limul kitab wal
hikmah (belajar Al-qur’an dan hadits)
Selain dari aspek internal ajaran Islam, pendidikan Islam juga
penting jika dilihat dari aspek keterbutuhan individu, yaitu:
1. Hakikat jiwa manusia yang yang membutuhkan
pembinaan karena secara fitrah jiwa manusia terdapat
kecenderungan kepada taqwa dan kecenderungan kepada dosa.
2. Dibutuhkan amal jama’i karena diluar sana ada musuh
bebuyutan yang tidak hanya membuat perencanaan yang matang
untuk menghancurkan umat tapi juga
merealisasikannya yang keduanya bagian dari langkah setan.
A. Peranan pendidikan Islam dalam kehidupan
Baiklah, sekarang kita menuju peran pendidikan Islam
dalam kehidupan. Apa saja?
1. Peranannya dalam penerapan sistem Islam.
2. Menjamin konsistensi muslim terhadap jamaahnya.
3. Membentuk generasi Islami, keluarga Islami dan
peradaban Islami.
4. Menumbuhkan kemakmuran yang penuh berkah.
5. Mewujudkan ketentraman dan kestabilan masyarakat.
6. Kebutuhan kemanusiaan.
7. Kewajiban menuntut ilmu syar’i.
B. Ciri-Ciri Pendidikan Islam
Ciri-ciri pendidikan Islam, yaitu:
1. Rabbaniyah, artinya apa yang dilakukan semata-mata mencari
ridho Allah dan memakmurkan bumi dengan aturan Allah
2. Akhlaqiyyatu al-wasa’I, menggunakan sarana dan akhlak islami
3. Syumuliyah, artinya pembinaan secara menyeluruh antara
potensi akal, jasad dan ruh manusia
C. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan Pendidikan Islam, yaitu:
1. Memahami gambaran yang jelas mengenai Islam yang
sempurna dan benar.
2. Membentuk kepribadian muslim secara utuh.
3. Menumbuhkan harga diri dan pribadi yang tidak mudah dipecah
belah
4. Keimanan dan ketakwaan penduduk merupakan asas
terwujudnya kemakmuran yang penuh berkah.
5. Mewujudkan ketentraman dan kestabilan masyarakat.
Rencana Pelaksanaan Mentoring
(RPM)

Universitas : Universitas Negeri Semarang


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Semester/Tahun : Ganjil/2017
Materi Pokok : Post Tes BAQ, Thaharah, dan Salat
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan ke- : XII

A. Standar Kompetensi
Postes BAQ, thaharah (wudhu dan tayamum), dan praktik salat (salat
wajib, sunnah, sakit, dan bepergian jarak jauh)
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
Kompetensi Dasar Indikator
1. Mempraktikkan thaharah 1.1 Mampu mempraktikkan
(wudhu dan tayamum), salat thaharah (wudhu dan
wajib, salat sunnah (dhuha, tayamum), salat wajib, salat
tahajud, rawatib), salat dalam sunnah (dhuha, tahajud,
keadaan khusus (sakit dan rawatib), salat dalam keadaan
bepergian jarak jauh), salat khusus (sakit dan bepergian
jenazah, sujud syukur, sujud jarak jauh), salat jenazah,
syahwi, sujud tilawah, dan sujud syukur, sujud syahwi,
membaca Al Quran sesuai sujud tilawah, dan membaca
dengan hukum tajwid (nun Al Quran sesuai dengan
mati/tanwin, mim sukun, lam, hukum tajwid (nun
ra, dan mad) yang benar mati/tanwin, mim sukun, lam,
ra, dan mad) yang benar
C. Tujuan pelaksanaan Mentoring
1. Setelah proses mentoring, mentee mampu mempraktikkan thaharah
(wudhu dan tayamum), salat wajib, salat sunnah (dhuha, tahajud,
rawatib), salat dalam keadaan khusus (sakit dan bepergian jarak
jauh), salat jenazah, sujud syukur, sujud syahwi, sujud tilawah, dan
membaca Al Quran sesuai dengan hukum tajwid (nun mati/tanwin,
mim sukun, lam, ra, dan mad) yang benar
D. Materi Mentoring
Materi mentoring 5 s.d. 10 (thaharah, tajwid, salat jenazah, sujud
syukur, sujud syahwi, sujud tilawah)
E. Metode Mentoring
1. Ceramah
2. Praktik
3. Diskusi
F. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
1. Media :-
2. Alat : peralatan salat
3. Sumber belajar : buku panduan mentoring dan tajwid.
G. Langkah-langkah Pelaksanaan Mentoring
Langkah Kegiatan Mentoring Alokasi Metode
Waktu
pendahuluan 1. Mentor menyapa mentee 15 menit Ceramah
dengan memberi salam dan
2. Mentor mengecek Tanya
kehadiran mentee Jawab
3. Mentor membimbing
mentee agar mengawali
kegiatan mentoring
dengan tilawah
4. Kultum dari salah satu
mentee
5. Mentor mengulas singkat
materi sebelumnya.
6. Mentor menjelaskan
garis besar materi yang
akan dipelajari
Inti 1. Mentee mempraktikkan 60 menit Praktik,
thaharah (wudhu dan Tanya
tayamum), salat wajib, Jawab,
salat sunnah (dhuha, dan
tahajud, rawatib), salat Diskusi
dalam keadaan khusus
(sakit dan bepergian jarak
jauh), salat jenazah, sujud
syukur, sujud syahwi,
sujud tilawah, dan
membaca Al Quran sesuai
dengan hukum tajwid (nun
mati/tanwin, mim sukun,
lam, ra, dan mad) yang
benar
Penutup 1. Mentor dan mentee 15 menit Ceramah
melakukan evaluasi dan
pembelajaran dalam Tanya
mentoring Jawab
2. Mentor dan mentee
menyimpulkan materi
mentoring
3. Mentor memberikan
refleksi berkait materi
yang telah dipelajari
4. Mentor memberikan
tindak lanjut untuk materi
yang telah dipelajari
5. Mentor menutup kegiatan
mentoring dengan salam

H. Penilaian
1. Teori
2. Akhlak mentee saat mentoring.
Rencana Pelaksanaan Mentoring
(RPM)

Universitas : Universitas Negeri Semarang


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Semester/Tahun : Ganjil/2017
Materi Pokok : Akhlak dalam Islam
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan ke- :

I. Standar Kompetensi
Kemampuan memahami akhlak dalam islam.
J. Kompetensi Dasar dan Indikator
Kompetensi Dasar Indikator
1. Memahami pengertian 1) Mampu menjelaskan
akhlak. pengertian akhlak.
2. Memahami golongan akhlak 2) Mampu menjelaskan
golongan akhlak dalam islam.
dalam islam.
3) Mampu menjelaskan
3. Memahami keutamaan keutamaan akhlak dalam
akhlak dalam islam. islam.
4. Meneladani akhlak 4) Mampu menjelaskan akhlak
Rasulullah dan memberikan Rasulullah dan mampu
contohnya memberikan contohnya

K. Tujuan pelaksanaan Mentoring


Menanamkan akhlak islam pada mentee
L. Materi Mentoring
Adab dan Akhlak dalam kesempurnaan Islam
Adab Bermasyarakat
Menepati Janji
Hidup bertetangga
Figur teladan Rasulullah
Berhias dengan rasa malu
Berbakti kepada orang tua
Hasad
Silaturahim, keindahan Islam
Tawadhu’
M. Metode Mentoring
1. Ceramah
2. Praktik
3. Diskusi
N. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
a. Media :-
b. Alat :-
c. Sumber belajar : buku panduan mentoring
O. Langkah-langkah Pelaksanaan Mentoring
Langkah Kegiatan Mentoring Alokasi Metode
Waktu
pendahuluan 1. Mentor menyapa mentee 15 menit Ceramah
dengan memberi salam dan
2. Mentor mengecek Tanya
kehadiran mentee Jawab
3. Mentor membimbing
mentee agar mengawali
kegiatan mentoring
dengan tilawah
4. Kultum dari salah satu
mentee
5. Mentor mengulas
singkat materi
sebelumnya.
6. Mentor menjelaskan
garis besar materi yang
akan dipelajari
Inti Menjelaskan tentang akhlak 60 menit Tanya
dalam kehidupan sehari-hari Jawab,
dan
Diskusi
Penutup 1. Mentor dan mentee 15 menit Ceramah
melakukan evaluasi dan
pembelajaran dalam Tanya
mentoring Jawab
2. Mentor dan mentee
menyimpulkan materi
mentoring
3. Mentor memberikan
refleksi berkait materi
yang telah dipelajari
4. Mentor memberikan
tindak lanjut untuk
materi yang telah
dipelajari
5. Mentor menutup
kegiatan mentoring
dengan salam

P. Penilaian
1. Teori
2. Akhlak mentee saat mentoring maupun kehidupan sehari-hari
Lampiran

Adab dan Akhlak dalam Kesempurnaan Islam

Adab dan akhlak dalam pandangan agama memiliki kedudukan yang tinggi
dan mulia. Juga di hadapan Allah dan Rasul-Nya bahkan di hadapan seluruh
makhluk. Namun banyak orang mengentengkan masalah ini dan
menjadikannya seakan-akan bagian luar dan jauh dari agama.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:


“Maknanya adalah bahwa pengamalan Al Qur’an, perintah dan larangannya
telah menjadi tabiat dan akhlak beliau dan beliau meninggalkan tabiat
bawaan, sehingga apapun yang Al Qur’an perintahkan maka beliau
melaksanakannya dan apapun yang dilarangan beliau meninggalkan hal
tersebut. Berikut hal-hal yang telah diberikan oleh Allah dari akhlak yang
agung seperti sifat malu, dermawan, pemberani, pemaaf, lemah-lembut
dan semua bentuk akhlak yang baik sebagaimana telah shahih dari Anas
bin Malik Mutafaq ‘alaih: “Aku telah berkhidmat kepada Rasulullah selama
sepuluh tahun. Beliau tidak pernah mengatakan ‘ah’ sama sekali dan tidak
pernah bertanya jika aku melakukan sesuatu kenapa aku melakukannya dan
pada sesuatu yang tidak aku lakukan, beliau tidak mengatakan kenapa kamu
tidak melakukannya? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang
yang paling baik kelakuannya. Aku tidak pernah menyentuh sutra atau
sesuatu pun yang lebih lembut dari tangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Aku pun tidak pernah mencium misk dan minyak wangi yang lebih
wangi dari keringat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 4/485)

Adab Bermasyarakat

Manusia adalah makhluk sosial, satu dengan lainnya saling bergantung dan
membutuhkan. Seseorang akan merasa tentram bila hidup bersama makhluk
sejenisnya dan akan merasa kesepian manakala hidup sendirian.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna bagi manusia.” (HR. Ath-
Thabarani dan Ad-Daruquthni dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 3289)

Apa yang manusia berikan kepadanya adalah salah satu dari dua perkara:
1. Kadang ia diperlakukan baik oleh mereka, maka hendaklah ia berterima
kasih dan membalas kebaikan mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur
kepada Allah.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1954)
2. Adakalanya dia diperlakukan jelek, maka dalam kondisi seperti ini
hendaknya dia bersabar.

Akhlak yang Mulia dan Pengaruhnya dalam Pergaulan


Biasanya orang menilai baik dan buruknya seseorang dengan melihat
perilaku kesehariannya. Mereka tidak akan menaruh simpati kepada
seseorang sedalam apapun ilmunya dan sebesar apapun ketaatannya,
manakala akhlak yang mulia tidak bisa tercermin dalam kehidupannya.
Memang benar, jika lahiriah seseorang tidak menunjukkan kebaikan, itu
merupakan bukti bahwa di batinnya ada kejelekan.

Seseorang bisa jadi tidak diberi kemudahan untuk banyak shalat malam dan
puasa sunnah di siang hari. Namun bila baik akhlaknya, dia bisa menyusul
dan mendapatkan derajat orang-orang yang melakukan shalat dan puasa.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya seorang mukmin mendapat derajat orang yang berpuasa dan
shalat malam dengan sebab baiknya akhlak.” (HR. Abu Dawud dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-
Jami’ no. 1932)

Hendaklah seorang mengaca diri, apakah terhadap orang lain dia berlemah
lembut, berwajah ceria dan murah senyum?! Di mana dengan sikap itu
mereka akan tenteram dengannya, suka berada di sisinya, dan mau
bercengkrama dengannya. Adapun hakikat akhlak yang baik dalam bergaul
bersama masyarakat adalah seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin
Mubarak rahimahullahu yaitu: wajah yang lapang (tersenyum), memberikan
kebaikan, dan menahan diri dari menyakiti orang. (lihat Shahih Sunan At-
Tirmidzi no. 2005)
Berikut ini penjelasannya:

- Berseri-serinya wajah di saat berjumpa dengan orang tidak diragukan


lagi merupakan bentuk meresapkan kebahagiaan kepada orang lain
serta menarik kecintaan mereka, di samping pelakunya juga akan
mendapat pahala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya): “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apapun,
meski kamu berjumpa dengan saudaramu dengan wajah yang berseri-
seri.” (Mukhtashar Shahih Muslim no. 1782).

- Adapun memberikan kebaikan kepada orang maka sangat banyak


bentuknya. Adakalanya dengan memberikan materi kepada orang yang
membutuhkan, atau menyumbangkan tenaga, pikiran dan saran, atau
apa saja yang bisa kita suguhkan dalam rangka mewujudkan maslahat
bersama.

Di masa khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Manusia ditimpa kekeringan


dan paceklik. Tatkala kondisi semakin parah, mereka datang kepada Abu
Bakr dan mengatakan: “Wahai khalifah Rasulullah, langit tidak menurunkan
hujan dan tanah tidak bisa tumbuh. Sementara manusia memperkirakan akan
binasa, lalu apa yang harus kita lakukan?”

Abu Bakr mengatakan: “Beranjaklah kalian dan bersabarlah! Sungguh aku


berharap kalian tidak sampai memasuki sore melainkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan melepaskan derita kalian.” Tatkala sore telah tiba, datang berita
bahwa unta ‘Utsman telah datang dari Syam dan akan sampai Madinah
besok pagi. Tatkala telah sampai, manusia keluar untuk menyambutnya.
Ternyata ada seribu unta yang membawa gandum, minyak, dan kismis, lalu
berhenti di depan rumah ‘Utsman.

Para pedagang mendatanginya dengan mengatakan: “Juallah barang ini


kepada kami, karena kamu tahu manusia sangat membutuhkannya!”
‘Utsman mengatakan: “Dengan penuh kecintaan. Berapa kalian mau
memberi untung barang daganganku?”
Mereka mengatakan: “Setiap kamu beli satu dirham kami membeli darimu
dua dirham.”
‘Utsman berkata: “Ada yang berani memberi untung kepadaku lebih dari
ini?”
Mereka berkata: “Kami beli empat dirham.”
‘Utsman mengatakan: “Ada yang berani lebih dari ini?”
Mereka mengatakan: “Lima dirham.”
‘Utsman mengatakan: “Ada yang berani lebih dari ini?”
Mereka mengatakan: “Wahai Abu 'Amr (‘Utsman), tidak ada di Madinah
para pedagang selain kami? Siapa lagi yang akan bisa membeli dengan harga
ini?”
‘Utsman mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah memberi untung
kepadaku sepuluh setiap satu dirham. Apakah kalian bisa lebih?” Mereka
mengatakan: “Tidak.”
‘Utsman berkata: “Sesungguhnya aku jadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala
sebagai saksi bahwa aku telah menjadikan seluruh yang dibawa unta-unta ini
adalah shadaqah untuk orang-orang fakir miskin dan yang membutuhkan.”
Ya, ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu telah menjualnya kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan laba yang tidak bisa dihitung oleh manusia. (lihat Al-
Khulafa` Ar-Rasyidun wad Daulah Umawiyah hal. 75-76)

Masih adakah orang-orang seperti ‘Utsman dan para pedagang tadi yang
bersegera untuk melepaskan krisis yang hampir menelan banyak korban,
tanpa mereka mencari keuntungan duniawi setitikpun? Padahal kalau mereka
ingin memanfaatkan kesempatan, niscaya mereka meraup keuntungan
sebesar-besarnya. Keinginan untuk mendapat pahala dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan tertanamnya sifat belas kasihan menghalangi mereka dari
nafsu serakah.

- Sedangkan yang ketiga adalah menghindarkan dari menyakiti orang.


Cukuplah jika seseorang belum bisa berbuat baik kepada orang untuk
menahan dirinya dari mengganggu manusia, baik terhadap nyawa,
harta, atau kehormatannya. Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengumumkan haramnya seorang muslim mengganggu orang
lain di saat perkumpulan akbar yaitu ketika haji wada’ (haji
perpisahan).

Siapa saja yang mengganggu orang lain dengan mengambil hartanya,


menipu, mencerca dan semisalnya maka tidak dikatakan baik akhlaknya.
Akan semakin jelek manakala orang yang disakiti memiliki hak yang besar
atasnya. Menyakiti kedua orangtua lebih besar dosanya daripada kepada
orang lain. Mengganggu karib kerabat lebih jahat daripada kepada orang
jauh. Demikian pula terhadap tetangga lebih besar dosanya daripada kepada
selain tetangga.

Menepati Janji

Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang
lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia
dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi
tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sementara seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan
mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak
yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati
janji.

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:


“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai
pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)

Para Rasul Menepati Janji


Sebelum diutus oleh Allah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
dijuluki sebagai seorang yang jujur lagi terpercaya. Maka tatkala beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi rasul, tidaklah perangai yang
mulia ini kecuali semakin sempurna pada dirinya. Sehingga orang-orang
kafir pun mengaguminya, terlebih mereka yang mengikuti dan beriman
kepadanya.
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun keenam Hijriah
berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah beserta
para shahabatnya. Waktu itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy.
Ketika sampai di Al-Hudaibiyah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kaum muslimin dihadang oleh kaum musyrikin. Terjadilah di sana
perundingan antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum
musyrikin. Disepakatilah butir-butir perjanjian yang di antaranya adalah
gencatan senjata selama sepuluh tahun, tidak boleh saling menyerang, bahwa
kaum muslimin tidak boleh umrah tahun ini tetapi tahun depan –di mana ini
dirasakan sangat berat oleh kaum muslimin karena mereka harus
membatalkan umrahnya–, dan kalau ada orang Makkah masuk Islam lantas
pergi ke Madinah, maka dari pihak muslimin harus memulangkannya ke
Makkah.

Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak Suhail –


juru runding orang Quraisy– masuk Islam dan ingin ikut bersama shahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Suhail pun mengatakan
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika anaknya tidak
dipulangkan kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya menandatangani
perjanjian tersebut dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan, dan
muslimin harus membatalkan umrahnya. Namun di balik peristiwa itu justru
kebaikan bagi kaum muslimin, di mana dakwah tersebar dan ada nafas untuk
menyusun kembali kekuatan. Namun belumlah lama perjanjian itu berjalan,
orang-orang kafir lah yang justru mengkhianatinya. Akibat pengkhianatan
tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin pada peristiwa
pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah) sehingga mereka bertekuk lutut
dan menyerah kepada kaum muslimin. Dengan demikian, jatuhlah markas
komando musyrikin ke tangan kaum muslimin. Manusia pun masuk Islam
dengan berbondong-bondong. Demikianlah di antara buah menepati janji:
datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(Zadul Ma’ad, 3/262)

Tanda-tanda Kemunafikan
Menepati janji adalah bagian dari iman.

“Tanda-tanda munafik ada tiga; apabila berbicara dusta, apabila berjanji


mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Muslim, Kitabul Iman,
Bab Khishalul Munafiq no. 107 dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu)

Menjaga Ikatan Perjanjian Walaupun Terhadap Orang Kafir


Dahulu antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhuma ada ikatan
perjanjian (gencatan senjata) dengan bangsa Romawi. Suatu waktu
Mu’awiyah bermaksud menyerang mereka di mana dia tergesa-gesa satu
bulan (sebelum habis masa perjanjiannya). Tiba-tiba datang seorang lelaki
mengendarai kudanya dari negeri Romawi seraya mengatakan: “Tepatilah
janji dan jangan berkhianat!” Ternyata dia adalah seorang shahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Amr bin ‘Absah. Mu’awiyah
lalu memanggilnya. Maka ‘Amr berkata: “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa antara ia
dengan suatu kaum ada perjanjian maka tidak halal baginya untuk melepas
ikatannya sampai berlalu masanya atau mengembalikan perjanjian itu
kepada mereka dengan cara yang jujur.” Akhirnya Mu’awiyah menarik diri
beserta pasukannya. (Lihat Syu’abul Iman no. 4049-4050 dan Ash-Shahihah
5/472 hadits no. 2357)

Menunaikan Nadzar dan Membayar Hutang


Di antara bentuk menunaikan janji adalah membayar hutang apabila jatuh
temponya dan tiba waktu yang telah ditentukan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Barangsiapa yang mengambil harta manusia dalam keadaan ingin
menunaikannya niscaya Allah akan (memudahkan untuk) menunaikannya.
Dan barangsiapa mengambilnya dalam keadaan ingin merusaknya, niscaya
Allah akan melenyapkannya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Ibnu Majah
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, lihat Faidhul Qadir, 6/54)

Janji yang Paling Berhak Untuk Dipenuhi


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Syarat/janji yang paling berhak untuk ditepati adalah syarat yang kalian
halalkan dengannya kemaluan.” (HR. Al-Bukhari no. 2721)

Yakni syarat/janji yang paling berhak untuk dipenuhi adalah yang berkaitan
dengan akad nikah seperti mahar dan sesuatu yang tidak melanggar aturan
agama. Jika persyaratan tadi bertentangan dengan syariat maka tidak boleh
dilakukan, seperti seorang wanita yang mau dinikahi dengan syarat ia (laki-
lakinya) menceraikan isterinya terlebih dahulu. (Lihat Fathul Bari, 9/218)

Larangan Ingkar Janji terhadap Anak Kecil


Sikap mengingkari janji terhadap siapapun tidak dibenarkan agama Islam,
meskipun terhadap anak kecil. Jika ini yang terjadi, disadari atau tidak, kita
telah mengajarkan kejelekan dan menanamkan pada diri mereka perangai
yang tercela.

Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu telah meriwayatkan hadits dari


shahabat Abdullah bin ‘Amir radhiyallahu 'anhuma dia berkata: “Pada suatu
hari ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di tengah-tengah
kami, (tiba-tiba) ibuku memanggilku dengan mengatakan: ‘Hai kemari, aku
akan beri kamu sesuatu!’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan kepada ibuku: ‘Apa yang akan kamu berikan kepadanya?’
Ibuku menjawab: ‘Kurma.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Ketahuilah, seandainya kamu tidak memberinya sesuatu maka ditulis
bagimu kedustaan.” (HR. Abu Dawud bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498,
lihat Ash-Shahihah no. 748)

Larangan Menunaikan Janji Yang Maksiat


Menunaikan janji ada pada perkara yang baik dan maslahat, serta sesuatu
yang sifatnya mubah/boleh menurut syariat. Adapun jika seorang
memberikan janji dengan suatu kemaksiatan atau kemudaratan, atau
mengikat perjanjian yang mengandung bentuk kejelekan dan permusuhan,
maka menepati janji pada perkara-perkara ini bukanlah sifat orang-orang
yang beriman, dan wajib untuk tidak menunaikannya. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak boleh menepati nadzar dalam maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad
dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahihul Jami’ no. 7574)

Surga Firdaus bagi yang Menepati Janji


Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman lagi bersih. Dan surga
bertingkat-tingkat keutamaannya, sedangkan yang tertinggi adalah Firdaus.
Darinya memancar sungai-sungai yang ada dalam surga dan di atasnya
adalah ‘Arsy Ar-Rahman. Tempat kemuliaan yang besar ini diperuntukkan
bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang baik, di antaranya adalah
menepati janji.

Hidup Bertetangga

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah mereka yang
terbaik kepada sahabatnya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah Subhanahu
wa Ta’ala adalah mereka yang terbaik pada tetangganya.” (HR. At-Tirmidzi)

Islam Mengatur Adab Bertetangga


Sebagai makhluk sosial, mustahil bagi kita hidup menyendiri tanpa tetangga
atau orang lain. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan
kita saling membantu di atas kebaikan dan takwa.
Tetangga adalah orang terdekat dalam kehidupan. Tidaklah seseorang keluar
dari rumah melainkan dia lewati tetangganya. Di saat dirinya membutuhkan
bantuan, tetanggalah orang pertama yang dia ketuk pintunya. Bahkan di saat
dia meninggal bukan kerabat jauh yang diharapkan mengurus dirinya, tetapi
tetanggalah yang dengan tulus bersegera menyelenggarakan pengurusan
jenazahnya.

Begitu penting dan mulianya tetangga, Islam datang mengajarkan adab-adab


bertetangga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga
yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-
banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)

Cukuplah ayat ini sebagai hujah atas manusia untuk mereka selalu berbuat
baik dan berakhlak mulia kepada tetangga.

Semakin baik seseorang kepada tetangga, semakin mulia dan tinggi pula
derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.Dalam hadits ini ada isyarat
yang sangat lembut untuk berlomba dalam berbuat baik kepada tetangga
agar menjadi yang terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bagaimana Berbuat dan Berakhlak Baik pada Tetangga?


Seorang dikatakan berbuat baik dan memiliki adab mulia kepada tetangga
jika dia wujudkan dua pokok penting, yang keduanya ditunjukkan dan
dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pertama: Menahan diri dari segala bentuk kezaliman dan perkara yang
mendatangkan mudarat kepada tetangga.
Kedua: Berbuat baik dan menempuh segala sebab syar’i yang mendatangkan
kebaikan bagi tetangga.

Meninggalkan Segala Bentuk Kezaliman dan Perkara yang Memudaratkan


Tetangga
Pokok pertama ini ditunjukkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia sakiti
tetangganya.”7
“Tidak akan tegak hari kiamat hingga tampak perzinaan, perbuatan-
perbuatan keji, pemutusan silaturrahmi, dan jeleknya hubungan
bertetangga.”8
“Hari kiamat tidak akan dibangkitkan hingga seseorang membunuh tetangga,
saudara, dan bapaknya.”
Adapun (kezaliman dalam bentuk) perbuatan, seperti membuang sampah di
sekitar pintu tetangga, mempersempit pintu masuknya, atau perkara
semisalnya yang merugikan tetangga. Termasuk dalam hal ini adalah jika
seseorang memiliki pohon kurma atau pohon lain di sekitar tembok tetangga,
ketika dia menyirami, (airnya berlebih hingga) melampaui tetangganya. Ini
pun sesungguhnya termasuk kezaliman yang tidak halal baginya.” (Syarh
Riyadhis Shalihin, 2/178)

Berbuat Baik Kepada Tetangga dan Menempuh Segala Sebab yang


Mendatangkan Kebaikan Kepadanya
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berbuat baiklah
kepada tetangganya.”15
Di samping perintah yang bersifat umum, secara khusus Islam
memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada tetangga. Bahkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa ihsan kepada mereka
termasuk dari iman dan syarat kesempurnaan iman. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah
tetangganya.”

Sebagai misal, dalam adat masyarakat Jawa, dikenal adanya bahasa halus
yang digunakan sebagai bentuk penghormatan yaitu “krama inggil”.
Biasanya bahasa ini digunakan untuk mengajak bicara orang yang lebih tua
atau dihormati. Maka termasuk ikram (memuliakan) kepada tetangga –allahu
a’lam– adalah mengajak bicara mereka dengan bahasa “krama”, sebagai
bentuk penghormatan, apalagi tetangga yang sudah berumur.

Demikian pula adat-adat lain, selama adat tersebut tidak menyelisihi syariat
dan termasuk perbuatan baik maka adat tersebut masuk dalam bentuk
pemuliaan yang disebut secara mutlak dalam sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

Beberapa bentuk pemuliaan yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wa sallam dalam hadits-haditsnya yang mulia. Di antara bentuk pemuliaan
adalah:
a. Membantu kebutuhan pokok tetangga yang membutuhkan jika dia
memiliki kelebihan.
Membantu kebutuhan pokok tetangga seperti makan jika mereka kelaparan
atau pakaian jika mereka telanjang hukumnya wajib, apabila dia memiliki
kelebihan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidaklah beriman seorang yang kenyang sementara tetangganya lapar di
sisinya.”17

b. Mempersilakan tetangga memasang kayu pada temboknya selama tidak


merugikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian menghalangi tetangganya
untuk memasang kayu di temboknya.”18

c. Memberi hadiah kepada tetangga, seperti memperbanyak kuah ketika


memasak.
Memberi hadiah atau bingkisan kepada tetangga termasuk kebaikan yang
diwasiatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saling memberi
hadiah adalah salah satu sebab di antara sebab-sebab terwujudnya cinta dan
kasih sayang.

FIGUR TELADAN

Tidak ada teladan sebaik Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.


Barangsiapa meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya ia
akan menjadi teladan Seribu lima ratus tahun yang silam. Siapa yang tidak
mengenal sosok Abu Bakar, khalifah pertama pengganti Rasulullah sebagai
imam umatnya? Dialah pribadi paling mulia di antara umat Muhammad.
Siapa pula yang tidak mengenal Umar bin Khaththab, orang terbaik setelah
Abu Bakar? Demikian juga dengan Utsman bin ‘Affan, orang terbaik setelah
Umar, serta Ali bin Abu Thalib, yang merupakan orang terbaik setelah
Utsman?

Rasulullah telah menjadi teladan para shahabatnya, serta menjadi panutan


dalam melangkah dan mengarungi samudera yang dahsyat dengan
gelombangnya. Ini merupakan sinyalemen keberhasilan mereka dalam
menjadikan dan mempraktikkan bimbingan Allah di dalam Al Qur’an:
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik
bagi orang yang berharap kepada Allah, hari akhir dan bagi orang yang
banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Keteladanan Rasulullah
Keteladanan Rasulullah telah dinobatkan sendiri oleh Allah di dalam Al
Qur’an. Ini menunjukkan kesempurnaan Rasulullah dari semua sisi
kemanusiaan yang tidak dimiliki oleh selainnya, dahulu maupun sekarang.

Aisyah radhiallahu 'anha ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, beliau


menjawab: “Akhlaknya adalah Al Qur’an.” (HR. Muslim no. 746)

Penyayang
Di antara bentuk keteladan beliau adalah penyayang. Apakah anda memiliki
sifat kasih sayang kepada sesama? Dan sudahkah anda berhias dengan sifat
ini? Sifat Rasulullah ini telah diceritakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an.
Allah berfirman:
“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari diri-diri kalian.
Sangat bersedih terhadap apa yang memberatkan kalian dan bersemangat
(untuk memberikan hidayah) kepada kalian dan lemah lembut dan
penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (At-Taubah: 128)

Allah berfirman, yang artinya:


“Muhammad adalah Rasul Allah dan orang-orang yang menyertainya
sangat keras terhadap orang kafir dan penyayang antara sesama mereka.”
(Al-Fath: 29)
Sumber bacaan:
1. Al Qur’an
2. Riyadhus shalihin, Imam An-Nawawi
3. Al Fawaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
4. Fiqhul Akhlak, Musthofa Al-Adawy

Berhiaslah dengan Rasa Malu

Ingar-bingar kehidupan remaja kita yang tercermin dari tata pergaulannya


sudah sampai pada taraf yang sangat memprihatinkan. Rasa malu seakan
memunah sementara ‘keberanian’ merambati perilaku mereka.
Sebenarnya apa malu itu? Para ulama menjelaskan, malu hakikatnya adalah
akhlak yang dapat membawa seseorang untuk meninggalkan perbuatan
tercela dan mencegahnya dari mengurangi hak yang lainnya.

Malu yang ada pada diri manusia ada dua macam:


Pertama, malu yang berasal dari tabiat dasar seseorang. Ada sebagian orang
yang Allah Subhanahu wa Ta'ala anugerahi sifat malu, sehingga kita dapati
orang itu pemalu sejak kecil. Tidak berbicara kecuali pada sesuatu yang
penting, dan tidak melakukan suatu perbuatan kecuali ketika ada
kepentingan, karena dia pemalu.

Kedua, malu yang diupayakan dari latihan, bukan pembawaan. Artinya,


seseorang tadinya bukan seorang pemalu. Dia cakap dalam berbicara dan
tangkas berbuat apa pun. Lalu dia bergaul dengan orang-orang yang
memiliki sifat malu dan baik sehingga dia memperoleh sifat itu dari mereka.
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma pernah mengatakan:
“Malu dan iman itu senantiasa ada bersama-sama. Bila hilang salah satu
dari keduanya, hilang pula yang lainnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-
Adabul Mufrad no. 1313, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad: shahih)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri adalah seorang yang


memiliki sifat sangat pemalu. Digambarkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri
radhiyallahu 'anhu sifat malu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada seorang
gadis dalam pingitannya. Bila beliau tidak menyukai sesuatu, kami bisa
mengetahuinya pada wajah beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 6119 dan Muslim
no. 2320)

‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu adalah seorang sahabat yang terkenal
memiliki sifat pemalu, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
malu kepadanya. Dikisahkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha:
“Suatu ketika, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbaring di
rumahku dalam keadaan tersingkap dua paha atau dua betis beliau.
Kemudian Abu Bakr meminta izin menemui beliau. Beliau mengizinkannya
masuk, sementara beliau masih dalam keadaannya. Lalu Abu Bakr bercakap-
cakap dengan beliau. Kemudian ‘Umar datang meminta izin untuk masuk.
Beliau mengizinkannya masuk, sementara beliau tetap demikian
keadaannya. Mereka pun berbincang-bincang. Kemudian ‘Utsman datang
minta izin untuk menemui beliau. Beliau pun langsung duduk dan
membenahi pakaiannya –Muhammad2 berkata: Aku tidak mengatakan
bahwa hal ini terjadi dalam satu hari– ‘Utsman pun masuk dan berbincang-
bincang. Ketika ‘Utsman pulang, Aisyah bertanya, “Abu Bakr masuk
menemuimu, namun engkau tidak bersiap menyambut dan tidak
memedulikannya. Begitu pula ‘Umar masuk menemuimu, engkau juga tidak
bersiap menyambut dan tidak memedulikannya pula. Kemudian ketika
‘Utsman masuk, engkau segera duduk dan membenahi pakaianmu!”
Rasulullah menjawab, “Tidakkah aku merasa malu kepada seseorang yang
malaikat pun merasa malu kepadanya?” (HR. Muslim no. 2401)

Dalam riwayat yang lainnya dari ‘Aisyah dan ‘Utsman radhiyallahu


'anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
“Sesungguhnya ‘Utsman itu orang yang pemalu. Aku khawatir, jika aku
mengizinkan dia masuk dalam keadaan seperti tadi, dia tidak akan bisa
menyampaikan keperluannya kepadaku.” (HR. Muslim no. 2402)

Ini menunjukkan bahwa malu adalah sifat yang terpuji dan termasuk sifat
yang dimiliki oleh para malaikat. (Syarh Shahih Muslim, 15/168)

Di antara perkara yang tidak pantas malu padanya adalah menuntut ilmu.
Demikian yang ada dalam kehidupan para sahabat radhiyallahu 'anhum. Jadi,
belajar agama yang benar tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang ‘tidak
bergengsi’ sehingga orang harus malu melakukannya.

Hasad,

Pengertian Hasad
Ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan hasad. Namun inti ungkapan
mereka, hasad adalah sikap benci dan tidak senang terhadap apa yang
dilihatnya berupa baiknya keadaan orang yang tidak disukainya. (Majmu’
Fatawa, Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, 10/111)

An-Nawawi rahimahullahu berkata:


“Hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat dari yang memperolehnya,
baik itu nikmat dalam agama ataupun dalam perkara dunia.” (Riyadhush
Shalihin, Bab Tahrimil Hasad, no. 270)

Sebab-sebab Terjadinya Hasad


Sebab-sebab terjadinya hasad banyak sekali. Di antaranya
permusuhan, takabur (sombong), bangga diri, ambisi kepemimpinan,
jeleknya jiwa serta kebakhilannya.

Buah dari Sifat Hasad


“Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang
karenanya. Dan jika kamu ditimpa oleh suatu bencana, mereka berkata:
‘Sesungguhnya kami sebelumnya telah memerhatikan urusan-urusan kami
(tidak pergi berperang),’ dan mereka berpaling dengan rasa gembira.” (At-
Taubah: 50)

Orang yang hasad selalu dirundung kegalauan melihat nikmat yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang lain, seolah-olah adzab yang
menimpa dirinya. Rabbnya murka kepadanya, manusia pun menjauh
darinya. Tidaklah anda melihatnya kecuali selalu bersedih hati menentang
keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan takdir-Nya. Seandainya ia
mampu melakukan kebaikan niscaya ia tidak akan banyak beramal dan
berpikir untuk menyusul orang yang dihasadi. Dan seandainya mampu
melakukan kejelekan, pasti ia akan merampas nikmat saudaranya lalu
menjadikan saudaranya itu fakir setelah tadinya kaya, bodoh setelah tadinya
pintar, dan hina setelah tadinya mulia. (Lihat Ishlahul Mujtama’, hal. 103-
104)

Antara Hasad dan Ghibthah


Dari uraian yang telah disebutkan, jelaslah bahwa hasad adalah suatu sifat
yang tercela karena pelakunya mengharapkan hilangnya nikmat yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang lain, serta kebenciannya
memperoleh nikmat tersebut. Adapun ghibthah adalah seseorang
menginginkan untuk mendapatkan sesuatu yang diperoleh orang lain, tanpa
menginginkan hilangnya nikmat tersebut dari orang itu. Yang seperti ini
tidak mengapa dan tidak dicela pelakunya. Jika irinya dalam hal ketaatan
maka pelakunya terpuji. Bahkan ini merupakan bentuk berlomba-lomba
dalam kebaikan. Jika irinya dalam perkara maksiat maka ini tercela,
sedangkan bila dalam perkara-perkara yang mubah maka hukumnya juga
mubah. (Lihat At-Tafsirul Qayyim, 1/167 dan Fathul Bari, 1/167)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Tidak ada hasad atau iri –yang disukai– kecuali pada dua perkara; (yaitu)
seorang yang diberikan pemahaman Al-Qur`an lalu mengamalkannya di
waktu-waktu malam dan siang; dan seorang yang Allah beri harta lalu
menginfakkannya di waktu-waktu malam dan siang.” (HR. Muslim, Kitab
Shalatil Musafirin wa Qashriha, no. 815, dari sahabat Ibnu ‘Umar
radhiyallahu 'anhuma)

Sepuluh Sebab Terhindar dari Kejahatan Orang yang Hasad


1. Berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kejahatan orang yang
hasad, dan membentengi diri dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2. Bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan


perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menjamin penjagaan bagi orang yang bertakwa. (Ali ‘Imran:
120)

3. Bersabar atas musuh, karena tidaklah seorang ditolong dari orang yang
hasad dan musuhnya, sebagaimana orang yang bersabar atasnya dan
bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Tawakal. Karena orang yang bertawakal kepada Allah Subhanahu wa


Ta’ala, Ia akan mencukupinya. Tawakal termasuk faktor terkuat yang
dengannya seorang hamba menangkal apa yang tidak dia mampu berupa
gangguan makhluk dan kedzalimannya.

5. Mengosongkan hati dari sibuk dan memikirkan orang yang hasad kepada
dirinya. Setiap kali terbetik di benak, ia menepisnya dan memikirkan sesuatu
yang lebih bermanfaat. Ia melihat bahwa di antara siksaan batin yang besar
adalah sibuk memikirkan musuhnya.

6. Mengarahkan hatinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ikhlas


kepada-Nya, serta menjadikan kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan keridhaan-Nya di tempat terbetiknya pikiran. Sehingga benaknya penuh
dengan segala yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dzikir kepada-
Nya. Orang yang seperti ini tidak akan ridha bila pikiran dan hatinya
dipenuhi dengan memikirkan orang yang hasad dan dzalim kepadanya, serta
memikirkan untuk membalasnya.

7. Bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala dosa. Seseorang


dikuasai musuh karena dosanya

8. Bersedekah dan berbuat baik semampunya.

9. Yang paling berat adalah memadamkan api orang yang hasad dan dzalim
serta menyakitinya, dengan berbuat baik kepadanya.
10. Memurnikan tauhid.

Silaturahim, Keindahan Akhlak Islami

Silaturahim artinya adalah menyambung tali persaudaraan kepada kerabat


yang memiliki hubungan nasab.
Targhib (Motivasi)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala melengkapi perintah untuk menyambung tali
silaturahim dengan memberikan janji dan ancaman. Di antara janji-janji
tersebut adalah:

1. Surga adalah balasan bagi orang yang menyambung tali silaturahim


Dalam ayat 22-24 dari surat Ar-Ra’d ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala
memberitahukan:
“Orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu)
surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-
orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istri dan anak cucunya, sedang
malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;
(sambil mengucapkan): ‘Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka
alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”

2. Shadaqah kepada kerabat berpahala ganda


“Shadaqah kepada orang miskin itu satu shadaqah. Dan shadaqah kepada
kerabat itu dua shadaqah; shadaqah dan penyambung silaturahim.” (HR. At-
Tirmidzi no. 685, Abu Dawud no. 2335, An-Nasa`I 5/92, Ibnu Majah no.
1844. At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan. Ibnu Hibban
menshahihkannya)

3. Orang yang menyambung tali silaturahim akan dilapangkan rizkinya dan


dipanjangkan umurnya.
Dari Anas radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya,
hendaknya ia menyambung tali silaturahimnya.” (HR. Al-Bukhari 10/348,
Muslim no. 2558, Abu Dawud no. 1693)

Tarhib (Ancaman)
Di samping janji-janji, syariat juga melengkapi perintah untuk
bersilaturahim dengan ancaman-ancaman keras bagi yang memutuskannya.
Di antara ancaman-ancaman tersebut adalah:

1. Laknat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tempat kembali yang buruk


(neraka) bagi yang memutus tali silaturahim.
“Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan.”
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu mengatakan dalam riwayatnya:
“Maksudnya, orang yang memutuskan tali silaturahim.” (HR. Al-Bukhari
10/347 dan Muslim no. 2556)

2. Dijadikan buta dan tuli.


3. Orang yang memutuskan tali silaturahim segera mendapatkan azab di
dunia dan akhirat.
Menyambung Silaturahim Bukan Sekadar Membalas
Banyak orang yang mengakrabi saudaranya setelah saudaranya
mengakrabinya. Mengunjungi saudaranya setelah saudaranya
mengunjunginya. Memberikan hadiah setelah ia diberi hadiah, dan
seterusnya. Dia hanya membalas kebaikan saudaranya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin ‘Amr


radhiallahu 'anhuma, dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Bukanlah penyambung adalah orang yang hanya membalas. Tetapi
penyambung adalah orang yang apabila diputus rahimnya, dia
menyambungnya.” {HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab bab (15) Laisal Washil
bil Mukafi, no. 5991}

Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan:

“Peniadaan sambungan tidak pasti menunjukkan adanya pemutusan. Karena


mereka ada tiga tingkatan:

1. Orang yang menyambung,


2. Orang yang membalas, dan
3. Orang yang memutuskan.

Orang yang menyambung adalah orang yang melakukan hal yang lebih dan
tidak diungguli oleh orang lain. Orang yang membalas adalah orang yang
tidak menambahi pemberian lebih dari apa yang dia dapatkan. Sedangkan
orang yang memutuskan adalah orang yang diberi dan tidak memberi.
Sebagaimana terjadi pembalasan dari kedua pihak, maka siapa yang
mengawali berarti dialah yang menyambung. Jikalau ia dibalas, maka orang
yang membalas dinamakan mukafi` (pembalas). Wallahu a’lam.” (Fathul
Bari, 10/427, cet. Dar Rayyan)

Orang yang terus berbuat baik kepada kerabat mereka meskipun mereka
berbuat jelek kepadanya, tidak akan rugi sedikit pun. Bahkan akan selalu
ditolong oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala . justru kerabat yang tidak mau
membalas kebaikan itulah yang mendapat dosa yang besar akibat perbuatan
mereka.

Silaturahim kepada Kerabat Non Muslim


Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Jadi jelaslah bahwa berbuat baik kepada kerabat adalah suatu hal yang
disyariatkan, meskipun dia non-muslim. Dengan syarat, dia bukan orang
yang memerangi agama kita, dan tentunya tidak ada loyalitas dalam hati kita
terhadap agamanya. Justru kita harapkan dengan sikap dan perilaku kita
yang baik kepada orang semacam ini, menjadi sebab datangnya hidayah
dalam hati kerabat kita tersebut, sehingga ia masuk Islam dan meninggalkan
kekafirannya.

Baktiku kepada Kedua Orang Tua

Bagi seorang anak, orang tua bisa menjadi ladang untuk menggali pahala
akhirat sebanyak-banyaknya. Yaitu dengan cara berbakti, menghormati,
mengasihi, dan juga merawatnya ketika orang tua mencapai usia lanjut.
Namun sayang, tidak banyak yang mengetahui betapa besar nilai kebaktian
seorang anak kepada orang tua.

Untukmu, Wahai Orang Tuaku


1. Durhaka kepadamu berdua termasuk dosa besar dan mengakibatkan
masuk ke dalam neraka.
Diriwayatkan dari Abud Darda` radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang durhaka, orang yang beriman dengan
sihir, orang yang kecanduan khamr, dan orang yang mendustakan taqdir.”1

2. Mencela mereka berdua termasuk kedurhakaan dan perbuatan yang


mendatangkan kutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan apabila keduanya telah lanjut usia atau salah satu dari keduanya, maka
janganlah kamu mengatakan kepada mereka berdua “ah” dan jangan kamu
menghardiknya, dan katakanlah ucapan yang baik. Rendahkan sayap
kehinaanmu di hadapan keduanya dan katakanlah: ‘Wahai Rabbku,
berikanlah kepada keduanya kasih sayang sebagaimana dia berdua telah
memeliharaku semenjak kecilku’.” (Al-Isra`: 24)

3. Doa engkau berdua wahai ibu dan bapakku, cepat diterima oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Maka doakanlah agar hidayah Allah Subhanahu wa Ta'ala tercurah padaku
dan janganlah berdoa kutukan untukku.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah sabda beliau dalam


hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
“Tiga doa yang mustajab (dikabulkan) dan tidak ada keraguan padanya
(yaitu) doa orang tua, doa orang yang sedang safar dan doa orang yang
terdzalimi.”9

4. Bila engkau telah tiada, baktiku akan sampai kepadamu.


Hal ini telah di jelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
dalam sabda-sabdanya berikut:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya melainkan
tiga perkara (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan
anak yang shalih yang mendoakan (kebaikan) baginya.”10

5. Jika engkau berdua kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka


dengarlah nasihat dari Rabbku kepadamu!
“Dan Kami telah wasiatkan kepada manusia agar berbuat baiklah kepada
kedua orang tua, dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku
dan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka janganlah kamu menaati
keduanya dan kepadaku kalian akan dikembalikan dan Aku akan
mengabarkan kepada kalian apa yang telah kalian perbuat.” (Al-’Ankabut: 8)
Diriwayatkan dari Asma` bintu Abu Bakr radhiyallahu 'anhuma, dia berkata:
“Ibuku datang menjengukku dan dia dalam keadaan musyrik di masa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian aku bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku mengatakan: ‘Dia sangat
berkeinginan (untuk bertemu denganku), apakah aku boleh menyambung
hubungan dengan ibuku?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Iya, sambunglah hubungan dengan ibumu’.”12

Tawadhu'

Sikap merendah tanpa menghinakan diri- merupakan sifat yang sangat


terpuji di hadapan Allah dan seluruh makhluk-Nya. Sudahka h kita
memilikinya?

Merendahkan diri (tawadhu’) adalah sifat yang sangat terpuji di hadapan


Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang mencintai
sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat terpuji ini
mencakup dan mengandung banyak sifat terpuji lainnya.

Tawadhu’ adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari


siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya,
janganlah kamu memandang dirimu berada di atas semua orang. Atau
engkau menganggap semua orang membutuhkan dirimu.

Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang sangat
dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mendefinisikan sombong dengan
sabdanya: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap
remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin
Mas’ud radhiallahu 'anhu)

Tawadhu’ di Hadapan Kebenaran


Menerima dan tunduk di hadapan kebenaran sebagai perwujudan tawadhu’
adalah sifat terpuji yang akan mengangkat derajat seseorang bahkan
mengangkat derajat suatu kaum dan akan menyelamatkan mereka di dunia
dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: (Al-Qashash: 83)

Perintah untuk Tawadhu’


Dalam pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan bersandar kepada
firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri
Rasul teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21)

Macam-macam Tawadhu’
Di antara mereka ada yang membagi tawadhu’ menjadi dua:

1. Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan


tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah.
2. Tawadhu’ yang dibenci yaitu tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik
dunia karena menginginkan dunia yang ada di sisinya. (Bahjatun Nazhirin,
1/657).

Anda mungkin juga menyukai