Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

TOURETTE’S SYNDROME

Pembimbing :

dr. Dyah Nuraini, Sp.S

Disusun oleh :

Angela Leona

406162126

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

RSUD KRMT WONGSONEGORO SEMARANG

UNIVERSITAS TARUMANGARA

PERIODE 19 MARET – 21 APRIL 2018

0
BAB I

PENDAHULUAN

Tourette syndrome atau Gilles de la Tourette syndrome merupakan suatu

gangguan gerakan yang onsetnya pada masa kanak-kanak berupa adanya

gengguan tik motorik dan fonik. Selain tik, sindrom ini sering dikaitkan dengan

gejala obsesif-kompulsif, kurangnya perhatian, perilaku impulsif, gelisah dan

gejala motorik. Tik pada gangguan ini dapat terjadi dengan spektrum yang luas

dari yang ringan sampai berat. Gangguan fungsi adaptif pada Tourette syndrome

mungkin berhubungan dengan tik atau adanya kondisi terkait seperti attention-

deficit/hyperactivity disorder (ADHD), gangguan obsesif-kompulsif (OCD),

ketidakmampuan belajar (LD), dan gangguan perilaku lainnya (1).

Dalam banyak kasus, gangguan penyerta tersebut mungkin lebih penting

secara klinis daripada gejala tik. Dampak Tourette syndrome terhadap keluarga,

pendidikan, pekerjaan, atau hubungan dengan teman sebaya sangatlah besar.

Dengan demikian, manajemen klinis pada Tourette syndrome membutuhkan

perhatian pada keparahan gangguan tik, kondisi terkait, respon terhadap penyakit

kronis, dan fungsi secara keseluruhan (1).

Fenomena Tourette syndrome pertama kali dilaporkan oleh dokter Jean-

Marc Gaspard Itard, pada seorang wanita Perancis berusia 26 tahun. Selanjutnya

George Beard melaporkan 50 penderita tik motorik dan echolalia. Pada tahun

1885, 60 tahun setelah Itard mempublikasikan kasus itu, Georges Gilles de la

Tourette (1857-1904), mempublikasikan artikel tentang delapan penderita tik

1
motorik atau vokal, dan ia menamai sindrom ini “maladie (illness) of tics”. Di

kemudian hari, sindrom ini dikenal sebagai Tourette syndrome / sindrom Tourette

(2,3)

Pada mulanya insidens Tourette syndrome dilaporkan 4,6 per 1 juta

penduduk, jumlah ini terus bertambah sesuai pertumbuhan penduduk dan

berkembangnya metodologi riset. Riset terbaru menunjukkan insiden Tourette

syndrome mencapai 1-10 per 1000 orang. Prevalensi sekitar 0,03–3%. Referensi

lain menyebutkan prevalensi berkisar dari 1:20.000 hingga 1:2000. Prevalensi

internasional rata-rata 1% di mayoritas kebudayaan dunia. Tourette syndrome

dapat mengenai semua ras, lebih dominan pada pria, dengan rasio anak

lelaki:anak wanita = 3-5:1. Banyak kasus ringan yang luput dari perhatian medis.

Onset biasanya pada usia 7-8 tahun, puncaknya antara 8-12 tahun. Sumber lain

menyebutkan, Tourette syndrome umum terjadi di usia 5-9 tahun, mencapai

puncak di usia 10-12 tahun, dan berkurang di usia 13-16 tahun. Rentang usia

penderita Tourette syndrome antara 2-21 tahun. Terutama terjadi di usia 10 tahun,

namun hanya 5% yang menetap hingga dewasa. Sekitar dua pertiga penderita

Tourette syndrome mengalami perbaikan gejala saat dewasa, namun perbaikan

total jarang terjadi. Prevalensi tik di populasi pediatrik diperkirakan 6–12%.

Prevalensi Tourette syndrome pada 447 pelajar dengan autisme anak-anak dan

remaja di sembilan sekolah di London mencapai 8,1%. (4,5,6,7,8,9,10,11,12).

Faktor genetik dan lingkungan memainkan peran dalam etiologi Tourette

syndrome, namun penyebab pasti tidak diketahui, diduga multifaktor. Faktor

neurokimiawi, yaitu: lemahnya pengaturan dopamin di nukleus kaudatus; juga

2
ketidakseimbangan serta hipersensitivitas terhadap neurotransmiter, terutama

dopamin dan serotonin. Diagnosis yang akurat, termasuk mengidentifikasi

kondisi komorbiditas, merupakan langkah penting menuju perawatan yang tepat

untuk pasien dengan Tourette syndrome. Perawatan klinis juga edukasi pada

pasien dan keluarga, advokasi di lingkungan sekolah dan pekerjaan, serta

penanganan gejalanya. Pada banyak pasien dengan Tourette syndrome,

penanganan gejalanya membutuhkan farmakoterapi, terutama gangguan tik atau

gangguan lain yang menyertainya. Hasil bukti klinis yang mendukung dan

keamanan obat yang digunakan pada pasien dengan Tourette syndrome cukup

bervariasi. Tetapi hal tersebut dapat menjadi panduan untuk praktek klinis dan

juga menjadi lahan untuk penelitian di masa depan. (1,13,14).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tourette syndrome adalah gangguan perilaku-perkembangan saraf-kejiwaan

(psychoneurogenobehavioral disorder) berbasis neurotransmiter, dicirikan oleh

aksi tak disadari, berlangsung cepat, bersifat genetik, diwariskan, dengan onset di

masa anak, dan memiliki pola tik vokal-motorik yang menetap-menahun.

Tourette syndrome merupakan gangguan neurodevelopmental-neuropsychiatric

dengan dasar neurogenetik. Tourette syndrome disebut juga Tourette’s disorder

atau Gilles de la Tourette syndrome (15)

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia,

edisi III (PPDGJ-III), tik yang terdapat pada Tourette syndrome merupakan

campuran antara tik motorik dan vokal multipel. Tourette syndrome menyebabkan

hendaya yang signifikan pada area fungsi yang penting. Sindroma ini timbul

sebelum usia 18 tahun, dan tidak disebabkan oleh suatu zat atau keadaan medis

umum tertentu (16,17)

2.2 Epidemiologi

Insiden Tourette syndrome mencapai 1-10 per 1000 orang. Prevalensi sekitar

0,03–3%. Referensi lain menyebutkan prevalensi berkisar dari 1:20.000 hingga

1:2000. Prevalensi internasional rata-rata 1% di mayoritas kebudayaan dunia.

4
Tourette syndrome dapat mengenai semua ras, lebih dominan pada pria, dengan

rasio anak lelaki:anak wanita = 3-5:1(5,6,7).

Onset biasanya pada usia 7-8 tahun, puncaknya antara 8-12 tahun. Sumber

lain menyebutkan, Tourette syndrome umum terjadi di usia 5-9 tahun, mencapai

puncak di usia 10-12 tahun, dan berkurang di usia 13-16 tahun. Rentang usia

penderita Tourette syndrome antara 2-21 tahun. Terutama terjadi di usia 10 tahun,

namun hanya 5% yang menetap hingga dewasa. Sekitar dua pertiga penderita

Tourette syndrome mengalami perbaikan gejala saat dewasa, namun perbaikan

total jarang terjadi. Prevalensi tik di populasi pediatrik diperkirakan 6–12%.

Prevalensi Tourette syndrome pada 447 pelajar dengan autisme anak-anak dan

remaja di sembilan sekolah di London mencapai 8,1% (8,9,10,11,12)

2.3 Etiologi

2.3.1 Faktor Genetik

Walaupun faktor resiko dan penyebab dari TS tidak diketahui, penelitian baru-
baru ini menunjukkan bahwa gen memainkan peranan penting.

1. Penelitian genetik menunjukkan bahwa TS diturunkan sebagai gen


dominan dengan 50% kemungkinan orangtua menurunkan gennya pada
anaknya
2. Anak laki-laki dengan gen memiliki 3 sampai 4 kali kemungkinan terkena
gejala TS daripada anak perempuan
3. TS dapat dipacu dengan metabolisme abnormal dari zat kimiawi pada
otak yang disebut Dopamin.

Dari penelitian juga diperoleh bahwa Tourette syndrome secara autosomal

dominan. Selain mengalami Tourette syndrome, 50% pasien juga mengalami

5
gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas (ADHD) dan 40% lainnya memiliki

gangguan obsesif-kompulsif (OCD) pula.

2.3.2 Faktor Neurokimia dan Neuroanatomis

Faktor neurokimiawi, yaitu: lemahnya pengaturan dopamin di nukleus

kaudatus; juga ketidakseimbangan serta hipersensitivitas terhadap

neurotransmiter, terutama dopamin dan serotonin. Peran neurotransmiter dopamin

amat penting; pada studi neuroimaging, ada ketidaknormalan sistem

dopaminergik di dalam korteks prefrontal dan striatum otak. Pada penderita

Tourette syndrome, terjadi peningkatan densitas transporter dopamin presinaps

dan reseptor dopamin D2 postsinaps, yang berarti terjadi peningkatan uptake dan

release dopamin. Hipotesis supersensitivitas dopamin menjelaskan mengapa

Tourette syndrome begitu responsif terhadap penghambat reseptor dopamin atau

neuroleptik. Riset terbaru menunjukkan tidak ada bukti peningkatan inervasi

dopaminergik striatal pada penderita Tourette syndrome (14).

Di sistem saraf pusat, neurotransmiter dopamin (DA) memperantarai

bermacam-macam fungsi fisiologis termasuk pengaturan aktivitas lokomotorik,

proses kognitif, sekresi (pengeluaran) neuroendokrin, dan pengendalian perilaku

yang termotivasi (motivated behaviors) termasuk mekanisme emosi, afek, dan

pemberian penghargaan (18,19)

Saat penderita Tourette syndrome mengalami serangan tik, terjadi aktivasi

multifokal di otak seperti di korteks premotorik lateral dan medial, korteks ciaguli

anterior, korteks prefrontal dorsolateral-rostral, korteks parietal interior, putamen,

nukleus kaudatus, korteks motorik primer, area Broca, girus temporal superior,

6
insula, and klaustrum. Hal ini menunjukkan keterlibatan daerah paralimbik,

bahasa, dan sensorimotorik. Secara spesifik, ketidaknormalan sirkuit kortiko-

striato-talamo-kortikal melibatkan inhibitory interneurons di ganglia basal, yang

dapat berhubungan dengan patogenesis dan persistensi beragam kasus Tourette

syndrome. Malfungsi sirkuit ini dapat berkontribusi terhadap perilaku semi-

otonom fragmenter yang bermanifestasi sebagai tik. Ganglia basal, terutama

nukleus kaudatus dan korteks prefrontal inferior, berhubungan dengan

perkembangan Tourette syndrome. Sirkuit ganglia basal dan kortikal juga

berperan pada fungsi motorik dan pembentukan kebiasaan; disfungsi ganglia

basal telah lama diketahui sebagai penyebab utama gejala tik. Selain itu, di otak

penderita Tourette syndrome, terjadi penurunan 5% volume nukleus kaudatus,

namun abnormalitas seluler yang mendasarinya belum jelas. Selain itu juga

dijumpai 50% – 60% penurunan parvalbumin dan kolin asetiltransterase

interneuron kolinergik di nukleus kaudatus dan putamen. Penurunan interneuron

kolinergik terlihat jelas di regio asosiatif dan sensorimotorik, namun tidak terlihat

di regio limbik. Hal ini diketahui dari hasil penilaian densitas berbagai tipe

interneuron dan medium spiny neurons di striatum otak postmortem penderita

Tourette syndrome dengan analisis stereologis (20,21)

2.3.3 Faktor Imunologis dan Pascainfeksi

Menurut teori autoimun, Tourette syndrome ditimbulkan oleh gangguan

autoimun pada anak yang berhubungan dengan infeksi streptokokus (pediatric

autoimmune neuropsychiatric disorder associated with streptococcal infections,

PANDAS). Infeksi group A beta-haemolytic streptococcal (GABHS) juga

7
berkaitan dengan Tourette syndrome. Hipotesis disregulasi sistem imun,

termasuk: disregulasi sitokin, peranan interleukin (IL), misalnya: IL-1beta, IL-2,

IL-6, IL-12, serta tumor necrosis factor (TNF)-alfa masih memerlukan riset

lanjutan (22).

Sindrom pasca streptokokus juga dikaitkan dengan satu faktor penyebab

yang potensial di dalam timbulnya OCD, yang terdapat pada hampir 40 persen

orang dengan Tourette syndrome (23,24)

2.4 Patofisiologi

Patofisiologi yang mendasari TS masih belum diketahui. Biokimia,

pencitraan, neurofisiologis dan genetik studi mendukung hipotesis bahwa TS

adalah genetik, gangguan perkembangan neurotransmisi.

Ganglia basalis dan korteks frontalis inferior termasuk dalam patogenesis TS

termasuk kombinasi dari Obsessive-Compulsive Disorder (OCD) dan Attention

Deficit-Hyperactivity Disorder (ADHD). Studi secara neuropatologi telah gagal

untuk mengungkapkan kelainan struktural yang konsisten di daerah-daerah

tersebut.

Studi Volumetric MRI menunjukkan bahwa ketidak-simetrisan dari ganglia

basalis hilang dalam individu yang terkena. Seseorang yang sehat yang dominan

menggunakan tangan kanan biasanya cenderung tampak pada putamen kiri

namun dalam hal ini pada kasus TS tidak ditemukan, hal ini mendukung

kemungkinan anomali pada saat perkembangan.

8
Sedikit yang diketahui tentang peran thalamus dalam patogenesis TS. Sebuah

studi baru-baru ini dengan langkah-langkah konvensional volume dan morfologi

permukaan thalamus menunjukkan pembesaran thalamus lebih dari 5% pada

pasien dengan TS dari segala usia. Hasil ini meningkatkan kemungkinan

keterbatasan aktifitas hipertrofi dan kemungkinan TS termasuk dalam jalur

motorik yang sebelumnya tidak diketahui.(9)

Pengetahuan tentang primata ganglia basalis berdasarkan anatomi dan

fisiologi telah diringkas (Gambar 1). Dalam pandangan ini, pola motorik yang

dihasilkan di otak korteks dan batang otak. Kinerja gerakan yang dimaksudkan

tertentu tidak hanya mencakup pemilihan gerakan yang diinginkan, tetapi juga

menghambat gerakan antagonis dan gerakan serupa pada sisi tubuh lainnya.(10)

Ganglia basalis diatur untuk menghambat, atau menerapkan "rem" pada

pergerakan motorik yang tidak diinginkan tersebut. Biasanya, ganglia basalis

memungkinkan pelepasan selektif rem dari tindakan yang diinginkan. Tics dapat

disebabkan dari cacat pada fungsi pengereman ini. Hal ini mungkin disebabkan

oleh episode overaktif dalam subset fokus neuron striatal, mungkin di matrisomes

striatal. Kelebihan aktivitas berkelanjutan mungkin merupakan hasil dari salah

satu berbagai mekanisme yang bekerja pada salah satu bagian lokasi pada korteks

ke talamus.

9
Gambar 1. Anatomi dan Fisiologi Primata Ganglia Basalis

Sindrom Tourette dan gangguan tics lainnya. Skema reorganisasi hipotetis

output ganglia basalis pada gangguan tics, dengan proyeksi rangsang (panah

terbuka) dan proyeksi penghambatan (panah hitam). Ketebalan garis mewakili

10
besarnya relatif aktivitas. Ketika satu set diskrit neuron striatal menjadi aktif tidak

tepat (kanan), penghambatan menyimpang dari set diskrit segmen globus

pallidusinternal (GPI) neuron terjadi. Neuron GPI normal menghambat

mekanisme disinhibit talamokortikal terlibat dalam pola motorik tertentu yang

tidak diinginkan bersaing, sehingga gerakan spontan stereotip terjadi.

Akhirnya, teori ini sebagian besar berasal dari studi tentang sirkuit

motorikyang melibatkan korteks motorik, striatum, nucleus pallidum,

nucleussubthalamicum, dan thalamus ventral. Namun, sirkuit saraf paralel

mempengaruhi daerah lain pada korteks frontalis, termasuk orbitofrontalis,

prefrontalis medial dan dorsolateral prefrontal cortex. Jalur ini relatif terpisah di

korteks, namun mereka secara fisik lebih dekat bersama-sama di ganglia basalis,

thalamus, dan mesensefalon.

Lesi dan data berdasarakan neuroimaging pada seseorang dengan

OCDatau ADHD melibatkan kelainan pada non-motorik daerah korteks frontal.

Mungkin sering, namun tidak secara bersamaan, terjadinya kompleks gejala ini

pada pasien dengan tics merupakan proses patologi yang sama namun

secaraanatomi berbeda.

2.5 Diagnosis dan Gambaran Klinis

Klinis Tourette syndrome berupa tik motorik dan vokal, dapat berlangsung

selama lebih dari satu tahun, biasanya muncul saat menyaksikan peristiwa

tertentu. Tik motorik dapat sederhana (misalnya: mengejapkan mata berkali-kali,

sering mengangkat-angkat bahu) atau kompleks (misalnya: meniru gerakan orang

11
lain atau echopraxia). Tik motorik bisa juga multipel, misalnya: blinking

(mengejapkan mata), grimacing (meringis, menyeringai, atau memainkan

ekspresi wajah), jumping (melompat-lompat). Tik vokal dapat berupa kata-kata

sederhana atau kata tunggal. Tik vokal klasik termasuk berkata jorok (coprolalia)

dan menirukan atau mengulangi frase (palilalia), atau ucapan orang lain

(echolalia). Tik fonik berupa suara atau bunyi, seperti: suara membersihkan

tenggorokan/kerongkongan dari lendir atau benda asing, batuk, pilek. Setidak-

tidaknya dijumpai satu tik vokal atau fonik, misalnya: grunting (mendengkur,

mengorok) atau sniffing (seolah pilek, menghirup-hirup, atau mencium-cium

bau). Tik seringkali diperburuk oleh stres fisik atau emosional, membaik saat

sendirian dan relaks. Tik juga dapat terjadi selama tidur dan berkaitan dengan

berbagai problem tidur, termasuk insomnia, tidak cukup tidur, tidur gelisah,

parasomnia (tidur berjalan dan sleep terrors). Tik selama tidur umumnya

dikendalikan oleh thalamo-cortical oscillating dysrhythmia (24).

Manifestasi lain yang penting namun kurang umum, seperti: meniru

tingkah laku (echophenomena), suka mengulang-ulang sendiri (pali phenomena),

menyumpah tanpa sadar, di luar kemauan, dan tidak pantas (swearing

involuntarily and inappropriately), perilaku melukai diri sendiri (self-injurious

behaviours). Perilaku membahayakan atau mencederai diri ditemukan pada

penderita malignant Tourette syndrome (MTS), misalnya: berulang-ulang

memukul perut hingga memar dan merusakan organ dalam, memukul-mukul

mata sendiri, menikam leher sendiri, menelan benda asing, menggigiti bibir/

mulutnya hingga berdarah, menghentak-hentakkan kaki dengan kuat hingga

12
terjadi dislokasi pinggul, menggeleng-gelengkan kepala dan leher dengan kuat

hingga cedera leher (25).

Beragam komorbiditas penderita Tourette syndrome antara lain: cemas,

depresi, kesulitan belajar, gangguan tidur, OCD, hiperaktif atau ADHD, gangguan

perilaku, tik nervous, masalah pengendalian impuls, rasa malu, isolasi, dan

ketakmampuan (disability) atau hendaya (impairment) fungsi sosial. Pada

Tourette syndrome dan ADHD, diduga terjadi abnormalitas noradrenergik.

Sebagian komorbiditas antara lain: alergi, aritmia jantung, asma, autisme, ADHD,

bruxism, cemas, depresi, kejang, coprolalia, copropraxia, mengamuk/marah

(rage), meningkatnya sensitivitas terhadap stimulus sensoris, migren, OCD,

autoimunitas, perilaku mencederai diri-sendiri, reaksi yang mengejutkan dan

berlebihan, restless leg syndrome (26).

Untuk menegakkan diagnosis Tourette syndrome, ada tiga ciri khas yang

sering muncul, yaitu: tik multipel, berkata jorok (coprolalia), dan latah atau suka

membeo (echolalia). Kriteria yang dipakai secara internasional adalah Diagnostic

and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-

IV-TR).
Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Gangguan Tourette

a. Tic motorik multipel dan satu atau lebih tic vokal telah ada pada suatu saat
selama penyakit, meskipun tidak harus bersamaan.
b. Tic terjadi beberapa kali dalam sehari (biasanya dalam serangan) hampir
setiap hari atau secara intermitten sepanjang suatu periode lebih dari 1 tahun,
dan selama periode ini tidak pernah ada periode bebas tic selama lebih dari 3
bulan berturut-turut.
c. Onsetnya sebelum usia 18 tahun.
d. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis lansung dari suatu zat

13
(misalnya stimulan) atau keadaan medis umum (misalnya penyakit Huntington).
Sumber: American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder.. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association
Di dalam gangguan Tourette, tik awal terjadi di wajah dan leher. Seiring

waktu, tik cenderung terjadi dengan arah ke bawah. Tik yang paling lazim

digambarkan adalah tik yang mengenai leher dan kepala, lengan dan tangan,

tubuh dan ekstremitas bawah, serta sistem pernapasan dan pencernaan. Obsesi,

kompulsi, kesulitan atensi, impulsivitas, dan masalah kepribadian terkait dengan

gangguan Tourette. Kesulitan atensi sering mendahului onset tik, sedangkan

gejala obsesif-kompulsif sering muncul setelah onsetnya. Banyak tik memiliki

komponen agresif atau seksual yang dapat menimbulkan konsekuensi sosial yang

serius pada pasien. Secara fenomenologis, tik menyerupai kegagalan untuk

menyensor, baik disadari atau tidak disadari, dengan meningkatnya impulsivitas

dan ketidakmampuan untuk menghambat suatu pikiran untuk diwujudkan ke

dalam tindakan (1,13).

Tidak ada tes diagnostik laboratorium khusus untuk gangguan Tourette;

tetapi banyak pasien dengan gangguan Tourette memiliki temuan

elektroensefalogram (EEG) abnormal nonspesifik. Kira-kira 10 persen dari semua

pasien dengan gangguan Tourette menunjukkan beberapa kelainan khusus pada

pemindaian computed tomography (CT). Melalui pemeriksaan MRI (magnetic

resonance imaging), diketahui penderita Tourette syndrome memiliki area

dorsolateral prefrontal yang lebih besar dan peningkatan substantia alba di lobus

frontal kanan. Volume nucleus caudatus yang lebih kecil pada MRI di masa anak

berhubungan dengan meningkatnya derajat keparahan tik di masa dewasa

(1,13,27,28).

14
2.6 Penatalaksanaan

Bila gejala ringan, penderita dan anggota keluarganya hanya memerlukan

edukasi dan konseling. Berbagai teknik psikoterapi, seperti: psikoterapi suportif,

terapi kognitif, assertiveness training, dan self-monitoring dapat juga diberikan.

Pendekatan comprehensive behavioral intervention for tics (CBIT), berdasarkan

habit reversal training/therapy, efektif mengurangi tik serta perburukan yang

berhubungan dengan tik (tics-related impairment) pada anak dan remaja penderita

TS dengan tingkat keparahan sedang atau berat. Terapi suportif dan edukasi dapat

sebagai pelengkap dan pendukung CBIT (29).

Banyak anak TS yang berhasil ditangani tanpa terapi obat. Farmakoterapi

diberikan sesuai indikasi. Berikut beberapa pilihan terapi TS (26):

a. Golongan neuroleptik atau penyekat dopamin seperti haloperidol, pimozid,

aripiprazol, olanzapin, risperidon.

b. Golongan obat serotonergik, seperti fluoxetine,clomipramine.

c. Golongan agonis alfa-2, seperti: clonidine,guanfacine.

d. Golongan antagonis dopamin, sepertimetaclopramid.

e. Golongan lain, seperti benzodiazepin (misalnya: klonazepam, diazepam),

antipsitatik atipikal (misalnya: olanzapin, quetiapin, ziprasidon), penyakit kanal

kalsium (misalnya: nifedipin, verapamil, fl unarizin), obat GABAnergic

(misalnya: baklofen, levetirasetam, topiramat, vigabatrin, zolpidem), agonis

dopamin (misalnya: pergolid, pramipeksol), antagonis 5-HT2 (ketanserin) dan 5-

15
HT3 (ondansetron) reseptor, obat yang beraksi pada reseptor kanabinoid (Δ-9-

tetrahidrokanabinol), penghambat androgen dan androgen (fl utamid dan fi

nasterid), baklofen, nalokson.

Umumnya, terapi dimulai dengan agonist clonidine dosis rendah dan

ditingkatkan dosis dan frekuensinya secara bertahap, sampai hasilnya

memuaskan. Guanfacin (0,5–2 mg/ hari) merupakan golongan agonis baru yang

disukai karena dosisnya hanya sekali sehari. Bila tidak efektif, dapat diberi

antipsikotik. Neuroleptik atipikal (risperidon 0,25–16 mg/hari, olanzapine 2,5–15

mg/hari, ziprasidon 20–200 mg/hari) dipilih karena rendahnya risiko efek

samping ekstrapiramidal. Jika tidak efektif, dapat diberikan neuroleptik klasik,

seperti haloperidol, fluphenazin, atau pimozid (30).

Tabel 2.2 Terapi farmakologis TS (1)

16
BAB III

PENUTUP

17
Fenomena sindrom Tourette (TS) pertama kali dilaporkan dokter Perancis

Jean-Marc Gaspard Itard. Istilah TS populer setelah pada tahun 1885, neurolog

Perancis, Georges Gilles de la Tourette, mempublikasikan (kembali) kasus itu.

Insiden TS mencapai 1-10 per 1000 orang. Prevalensi internasional sekitar 1%.

Etiopatogenesis belum diketahui pasti, diduga multifaktor, meliputi:

faktor neurokimiawi, autoimun, epigenetik, genetika. Potret klinis TS: tics

motorik-vokal, berlangsung lebih dari setahun. Komorbiditas tersering adalah

OCD dan ADHD. Diagnosis TS ditegakkan dengan DSM-IV-TR. Pemeriksaan

penunjang TS misalnya: kuesioner (YGTSS, DISC, dsb),pemeriksaan darah

lengkap, pencitraan (MRI, VBM, MTI) dilakukan sesuai indikasi.

Farmakoterapi diberikan sesuai indikasi, misal: neuroleptik (tipikal-

atipikal), agonis alfa-2, dsb. Strategi pencegahan TS dilakukan secara bertahap

dan berkesinambungan. Penanganan komprehensif, holistik, dan paripurna perlu

melibatkan kerjasama multisektor dan lintas disiplin ilmu.

DAFTAR PUSTAKA

18
1. Scahill, Lawrence et al. Contemporary Assessment and Pharmacotherapy of
Tourette Syndrome. The Journal of the American Society for Experimental
NeuroTherapeutics. 2006 April; (3): 192–206

2. Kushner HI. Medical fi ctions: The case of the cursing marquise and the
(re)construction of Gilles de la Tourette Syndrome. Bulletin of the History of
Medicine 1995;69:224–54.

3. Tourette G. Etude sur une aff ection nerveuse caracaterisee par de


l’incoordination motrice accompagenee d’echolalie et de coprolalie. Archives
de Neurologie 1885;9:19–42.

4. Robertson MM. Annotation: Gilles de la Tourette syndrome—An update.


Journal of Child Psychology and Psychiatry 1994;35:597–611.

5. Apter A, Pauls DL, Bleich A, Zohar AH, Kron S, Ratzoni G, Dycian A, Kotler
M, Weizman A, Gadot N, et al. An epidemiologic study of Gilles de la
Tourette’s syndrome in Israel. Arch Gen Psychiatry 1993;50:734–8.

6. Robertson MM: Diagnosing Tourette syndrome: is it a common disorder? J


Psychosom Res 2003;55:3-6.

7. Robertson MM, Eapen V, Cavanna AE. The international prevalence,


epidemiology, and clinical phenomenology of Tourette syndrome: A cross-
cultural perspective. Journal of Psychosomatic Research. 2009;67:475–83.

8. Leckman JF, Zhang H, Vitale A, Lahnin F, Lynch K, Bondi C, Kim YS,


Peterson BS. Course of tic severity in Tourette’s syndrome: the fi rst two
decades. Pediatrics 1998;102:14–9.

9. Miller AM, Bansal R, Hao X, Sanchez-Pena JP, Sobel LJ, Liu J. Enlargement
of thalamic nuclei in Tourette syndrome. Arch Gen Psychiatry. Sep
2010;67(9):955-64. Available from:
http://reference.medscape.com/medline/abstract/20819989

10. Mink JW. Neurobiology of basal ganglia circuits in Tourette syndrome:


faulty inhibition of unwanted motorik patterns?. Adv Neurol. 2001;85:113-
22. Available from:
http://reference.medscape.com/medline/abstract/11530421

11. Robertson MM. The Prevalence and Epidemiology of Gilles de la Tourette


syndrome. Part 1: The epidemiological and prevalence studies. Journal of
Psychosomatic Research 2008;65:461–72.

19
12. Kurlan R, McDermott MP, Deeley C, Como PG, Brower C, Eapen S,
Andresen EM, Miller B. Prevalence of tics in schoolchildren and association
with placement in special education. Neurology 2001;57:1383–8.

13. CDC. Prevalence of diagnosed Tourette syndrome in persons aged 6–17 years
– United States, 2007. Morb Mortal Wkly Rep (MMWR). 2009;58:581–5)

14. Baron-Cohen S, Scahill VL, Izaguirre J, Hornsey H, Robertson MM. The


prevalence of Gilles de la Tourette syndrome in children and adolescents with
autism: a large scale study. Psychological Medicine Sept 1999;29(05):1151-9.

15. Singer, HS. Tourette syndrome and other tic disorders. Handb Clin Neurol.
2011;100:641-57.
16. Albin RL, Koeppe RA, Wernette K, Zhuang W, Nichols T, Kilbourn MR, Frey
KA. Striatal [11C]dihydrotetrabenazine and [11C]methylphenidate binding in
Tourette syndrome. Neurology 2009;72:1390–6.

17. Walkup JT, Mink JW, Hollenbeck PJ. Advances in neurology: Tourette
syndrome. First edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2006.

18. Sadock, B.J. & Sadock, V. A., 2010. Gangguan Tik. Dalam: Sinopsis Psikiatri,
Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara.

19. Maslim, Rusdi., 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Nuh-Jaya.

20. Cohen JD, Braver TS, Brown JW. Computational perspectives on dopamine
function in prefrontal cortex. Curr Opin Neurobiol 2002;12:223-9.

21. Heise CA, Wanschura V, Albrecht B, Uebel H, Roessner V, Himpel S, et.al.


Voluntary motor drive: possible reduction in Tourette syndrome. J Neural
Transm 2008;115:857–61

22. Leckman JF. Tourette’s syndrome. Lancet 2002;360:1577−86.

23. Mink JW. Basal ganglia dysfunction in Tourette’s syndrome: A new


hypothesis. Pediatric. Neurol, 2001;25:190–8.)

24. Gabbay V, Coff ey BJ, Guttman LE, Gottlieb L, Katz Y, Babb JS. A cytokine
study in children and adolescents with Tourette’s disorder. Prog
Neuropsychopharmacol Biol Psychiatry. 2009 August 31;33(6):967–71

25. Bjorklund, Ruth., 2009. What is Tourette syndrome?. Dalam: Tourette


Syndrome. Malaysia: Marshall Cavendish.

26. Hawley, Jason S., 2012. Pediatric Tourette Syndrome. Available in:
http://emedicine.medscape.com/article/289457-overview)

20
27. Cheung MY, Shahed J, Jankovic J. Malignant tourette syndrome. Movement
Disorders 2007;22:1743–50

28. Singer HS, Walkup JT. Tourette syndrome and other tic disorders. Diagnosis,
pathophysiology, and treatment. Medicine 1991;70(1):15-32.

29. J S Stern, S Burza, M M Robertson. Gilles de la Tourette’s syndrome and its


impact in the UK. Postgrad Med J 2005;81:12–19

30. Bohlhalter S, Goldfine A, Matteson S, Garraux G, Hanakawa T, Kansaku K,


et al. Neural correlates of tic generation in Tourette syndrome: an event-
related functional MRI study. Brain. Aug 2006;129:2029-37.).

31. Piacentini J, Woods DW, Scahill L, Wilhelm S, Peterson AL, Chang S, et. al.
Behavior therapy for children with Tourette disorder: A Randomized
Controlled Trial. JAMA. 2010;303(19):1929- 37.

32. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J (Eds).
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th Edition. The McGraw-Hill
Companies, Inc. USA. 2012. Chapter 372.

21

Anda mungkin juga menyukai