Disusun oleh:
11 2017 060
Pembimbing :
1
STATUS PASIEN THT
I. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. Pata
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh Kasar
Pendidikan : SMA
Status menikah : Sudah menikah
Alamat : Koja
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara auto-allo anamnesis pada tanggal 12 Maret 2018 pada pukul 10.45
WIB.
a. Keluhan Utama
Ketika buang ingus disertai darah sejak > 1 bulan yang lalu
b. Keluhan Tambahan
Pendengaran telinga kiri berkurang sejak 2 minggu yang lalu
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang laki-laki datang ke poliklinik THT RSUD KOJA dengan keluhan adanya
darah ketika membuang ingus sejak > 1 bulan yang lalu. Sejak 1 bulan yang lalu
pandangan pasien terganggu seperti berbayang ketika melihat sesuatu dan Kepala
sebelah kiri pasien juga terasa sakit. Pasien juga mengeluh pendengaran telinga kiri
berkurang sejak 2 minggu yang lalu. Saat ini pasien tidak sedang menderita batuk,
dan nyeri tenggorokan.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Paien mengaku tidak pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit Hipertensi, kencing manis(Diabetes Melitus), Batuk
berdarah (Tuberkulosis Paru).
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal serupa.
2
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Tanda vital : Suhu : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 100x / menit
Pernapasan : 20x / menit
Tekanan darah : 198/92 mmHg
Kesadaran : Compos mentis
Kepala : Normocephali
Mata : Strabismus
Leher : Tidak dilakukan pemeriksaan
Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Tidak dilakukan pemeriksaan
B. Status THT
1. Pemeriksaan Telinga
KANAN KIRI
Normotia, Nyeri tekan tragus Daun Telinga Normotia, Nyeri tekan tragus
(-) (-)
Nyeri tekan RA (-), Nyeri Retroaurikuler Nyeri tekan RA (-), Nyeri
tekan Mastoid (-) tekan Mastoid (-)
Nyeri tarik auricula (-), tidak Preaurikuler Nyeri tarik auricula (-), tidak
hiperemis, tidak oedem hiperemis, tidak oedem
LIANG TELINGA
Lapang Lapang/sempit Lapang
Tidak hiperemis Warna Tidak hiperemis
epidermis
(-) Sekret (-)
(+) Serumen (+)
(-) Kelainan lain (-)
3
Membran
Timpani
Intak (+) refleks cahaya (+), Intak (+) refleks cahaya (+),
retraksi (-), bulging (-), retraksi (-), bulging (-),
hiperemis (-) hiperemis (-)
3. Pemeriksaan Hidung
KANAN KIRI
Tidak ada Deformitas Tidak ada
Daerah sinus frontalis (-), Nyeri tekan Daerah sinus frontalis (-),
sinus ethmoidalis (-), sinus sinus ethmoidalis (-), sinus
maxillaris (-) maxillaris (-)
(-) Krepitasi (-)
RINOSKOPI ANTERIOR
4
Sulit dinilai Konka superior Sulit dinilai
Sulit dinilai Meatus nasi Sulit dinilai
Lapang Kavum nasi Lapang
Tidak hiperemis Mukosa Tidak hiperemis
(-) Sekret (-)
tidak deviasi Septum tidak deviasi
Normal Dasar hidung Normal
RINOSKOPI POSTERIOR
4. Pemeriksaan Faring
Arkus Faring : Tenang dan simetris
Pilar anterior : Tidak ada kelainan
Palatum molle : Tidak ada kelainan
Mukosa Faring : Tenang, tidak bergranula, tidak ada post nasal drip
Uvula : Tenang dan letak ditengah
Tonsil palatina : Besar : T1-T1
Warna : Merah muda
Kripta : (-)
Detritus : (-)
Perlekatan: Tidak ada
Pilar posterior : Tidak ada kelainan
Gigi geligi : Dalam batas normal
5
5. Hipofaring
Tidak dilakukan pemeriksaan
6. Pemeriksaan Laring
Tidak dilakukan pemeriksaan
7. Leher
Tidak dilakukan pemeriksaan
IV. RESUME
Seorang laki-laki datang ke poliklinik THT RSUD KOJA dengan keluhan adanya
darah ketika membuang ingus sejak > 1 bulan yang lalu. Sejak 1 bulan yang lalu
pandangan pasien terganggu seperti berbayang ketika melihat sesuatu dan Kepala
sebelah kiri pasien juga terasa sakit. Pasien juga mengeluh pendengaran telinga kiri
berkurang sejak 2 minggu yang lalu. Pada pemeriksaan Fisik pasien tampak sakit sedang,
compos mentis, tekanan darah 198/92 mmHg, dan yang lain dalam batas normal. Pada
permrikasaan hidung menggunakan rhinoskopi posterior pada bagian naso faring daerah
fossa rosenmuller terdapat Terdapat massa bulat berukuran + 2 x 3 cm, dan bercak
bercak darah.
V. DIAGNOSIS KERJA
Suspek Karsinoma Nasofaring
6
Ibuprofen
VIII. PROGNOSIS
7
TINJAUAN PUSTAKA
Batas nasopharing3 :
Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
Posterior : - vertebra cervicalis I dan II
- fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
- mukosa lanjutan dari mukosa atas
Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
- muara tuba eustachii
- Fossa rosenmulleri
Bangunan yang penting pada nasopharing4
Torus tubarius
Fossa Rosenmulleri
Adalah dataran kecil dibelakang torus tubarius. Daerah ini merupakan tempat predileksi
karsinoma nasofaring, suatu tumor yang mematikan nomor 1 di THT.
Fornix nasofaring
Adalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat tumor angiofibroma
nasopharing
8
lateral bursa pharyngeal. Fungsinya sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman-
kuman yang lewat jalan napas hidung.
Nasofaring akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu
menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu seperti hak.
Fungsi nasopharing4 :
Sebagai jalan udara pada respirasi
Jalan udara ke tuba eustachii
Resonator
Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
B. DEFINISI
Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang
cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis. Karsinoma
nasofaringeal merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis ruangan dibelakang
hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi di Cina bagian selatan.5
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7
kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia (survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
“pathology based”). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM,
pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relatif lebih banyak dari suku bangsa lainya.1
Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan
apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan
faktor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain.
9
Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda. Pada daerah dengan insiden rendah,
insiden KNF meningkat sesuai dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden
tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan
menurun setelahnya.6
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup
tinggi pada pendduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia. Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah
dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai
angka kejadian KNF pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara
turun temurun di China town (pecinan) di San Fransisco, Amerika Serikat. Terdapat
perbedaan yang bermakna dalam terjadinya KNF antara para imigran dari daratan Tiongkok
ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (kaukasian), kulit hitam
dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi.
Sebaliknya, apabila orang Tionghoa imigran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang
masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal
terjadinya KNF pada kelompok imigran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah,
bahwa kelompok imigran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’ untuk terjadinya
KNF, tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor
yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh.
Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari
mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi
yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur
ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine
yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.1,7
Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat people)
yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak mencolok
pada saat terjadi pelarian besar-besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti epidemiologik
lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura.6
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah
mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang
peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi
IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan
10
tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit
keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa
menimbulkan manifestasi penyakit.2
Ada peneliti yang mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara umum resiko
terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok. Ditemukan juga
bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil
dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan
dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang
tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton
(Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya
mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai
digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.2
Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien
KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu contoh terkenal di Cina selatan, satu
keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita
tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring
menderita keganasan organ lain.1
Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu
kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami
(Chinese herbal medicine = CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara
terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beberapa tanaman dan bahan CHB
dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yang laten. Seperti pada TPA
(Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yang ada di alam dan tumbuhan jika
dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukan
di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi
cell-mediated immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF (genesis).2
1. Bentuk ulseratif
Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fosa
rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba eustachius dan pada
bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan yang nekrotik
11
dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Gambaran histopatologik
bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa dengan diferensiasi baik.
2. Bentuk noduler/lubuler/proliferatif
Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara tuba
eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah anggur atau polipoid jarang dijumpai
adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil. Gambaran histopatologik
bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.
3. Bentuk eksofitik
Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai adanya
ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan permukaannya licin. Tumor jenis ini biasanya
tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor ini dapat
mendorong palatum molle ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke dalam rongga
hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma.
D. VIRUS EPSTEIN-BARR
Virus Epstein-Barr, juga disebut Virus herpes human 4 adalah virus dari famili herpes
(yang juga terdapat virus herpes simplex dan Sitomegalovirus), dan merupakan salah satu
virus yang paling umum pada manusia. Banyak orang terinfeksi dengan Virus Epstein-Barr
yang sering asimtomatik tetapi umumnya menyebabkan mononukleosis. Virus Epstein-Barr
berasal dari nama Michael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama dengan Bert Achong,
menemukan virus ini tahun 1964.8
Klasifikasi EBV :
Kelas: Kelas I (dsDNA)
Famili: Herpesviridae
Genus: Lymphocryptovirus
Spesies: Human herpesvirus 4 (HHV-4)
E. PATOLOGI
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan
termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa
penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring
(KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu
12
pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor
yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu2 :
1. Adanya infeksi EBV
2. Faktor lingkungan
3. Genetik
1) Virus Epstein-Barr2
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.
Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel
limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,
yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul
EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan
rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan
selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan
pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke
dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel
yang terinfeksi oleh virus Epstein-Barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel
menjadi mati bila terinfeksi dengan virus Epstein-Barr dan virus mengadakan replikasi, atau
virus Epstein-Barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel
kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus
sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformasi sel
menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,
EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan
virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen
tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein
LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6
segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi
(C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis
factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat
respon imun lokal.
13
2) Genetik2
Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode
enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang
terkait nitrosamine dan karsinogen.
3) Faktor lingkungan2
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai
daerah di Asia dan Amerika Utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain
yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-
nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor
karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yang terkena
paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui
faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
a. Nasal sign :
Pilek lama yang tidak sembuh.
Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit
dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu.
Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.
b. Ear sign :
14
Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba oklusi,
karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa Rosenmulleri. Tekanan dalam
kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinnitus.
Gangguan pendengaran hantaran
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
a. Eye sign :
Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan
gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan
kebutaan.
b. Tumor sign :
Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau metastase
dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
Letak Kelenjar limfe leher menurut sloan kattering Memorial Cancer Center
Classification dibagi menjadi beberapa daerah, yaitu :
c. Cranial sign
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada penderita.
Gejala ini berupa :
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara
hematogen.
15
Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni akibat paralisis dari pita suara
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N.
X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o Lidah
o Palatum
o Faring atau laring
o M. sternocleidomastoideus
o M. trapezeus
G. DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium
tumor2:
1. Anamnesis/pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF).
2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop.
3. Biopsi nasofaring1,2,4
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila
dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy
dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring
umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga
16
kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop
yang dimasukan melalui mulut, masa tumor akan terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
5. Pemeriksaan Radiologi1,4,9
a. Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
17
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue
technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
b. CT Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos
adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bila kecil mungkin
tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal
ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika
penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-
kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan CT Scan dibandingkan dengan
foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam densitas pada
daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada
tulang, dengan kriteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil.
Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai apakah sudah ada perluasan tumor ke
jaringan sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya
penyebaran intrakranial.
6. Pemeriksaan Neuro-Oftalmologi
7. Pemeriksaan Serologi1
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen)
untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.
Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium
lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan
titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya
100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk
menetukan prognosis pengobatan, titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan
terbanyak 160.
18
H. DIAGNOSIS BANDING2,9
a. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak
hiperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa
jaringan lunak pada atap nasofaring umumya berbatas tegas dan umunya simetris serta
struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda-tanda infiltrasi seprti tampak pada karsinoma.
b. Angiofibroma juvenilis
Baisanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF. Tumor
ini kaya akan pembuluh darah dan biasanya tidak infiltratf. Pada foto polos akan didapat
suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada
penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanya erosi saja
karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang
sinus maksilaris yang dikenal sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vaskular maka
arteriografi carotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik.
Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenilis dengan polip hidung pada
foto polos.
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor sudah
sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk pemeriksaan pertama.
d. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai
keganasan di dinding lateral nasofaring. Secara CT Scan, pendesakan ruang para faring
kearah medial dapat membantu membedakan kelompok tumor ini dengan KNF.
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam
mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring. pada sebagian besar
kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kearah medial yang tampak pada pemeriksaan CT
Scan.
19
f. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF pun
sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk membedakannya.
Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat
membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma
umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering
bermetastasis ke kelenjar getah bening.
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang meyerupai KNF
dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT meningioma cukup
karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi
sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteriografi juga
sangat membantu diagnosis tumor ini.
I. STADIUM1
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union
Internationale Contre Cancer) pada tahun 2002 adalah sebagai berikut :
20
N1 : Metastase kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang
atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula
N2 : Metastase kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang
atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula
N3 : Metastase kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6
cm, atau terletak di dalam supraklavikula.
N3a: ukuran lebih dari 6 cm
N3b: didalam fossa supraklavikula
Stadium 0 : Ts N0 M0
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2a N0 M0
Stadium IIa : T1 N1 M0
Stadium IIb : T1 N0 M0
T2a N0 M0
T2b N,N1 M0
Stadium III : T1 N2 M0
T2a,T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVa : T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IVb : Tiap T, N3 M0
Stadium IVc : Tiap T, Tiap N, M1
21
J. PENATALAKSANAAN
a. Radioterapi1,9,10
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Radiasi ini ditujukan pada kanker primer di daerah nasofaring dan ruang
parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah serta klavikula.
Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak
dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber
radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis
maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan
sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh
dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada
kasus kambuh lokal. Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah
memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan
menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT
(Intersified Modulated Radiotion Therapy) telah digunakan dibeberapa negara maju.
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA “Ribose
Nucleic Acid“ dan (2) DNA “ Desoxy Ribose Nucleic Acid “. DNA terutama terdapat pada
kromosom “ionizing radiation“ menghambat metabolisme DNA dan menghentikan
aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel
menjadi granular serta timbul vakuola-vakuola yang akhirnya berakibat sel akan mati dan
menghilang. Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium
profase mitosis merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring
dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga
leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah
penyinaran dari lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan
sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita
dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil
setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk
menghindari bagian susunan saraf pusat.
22
Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis
seluruh antara 6000- 7000 rad. Pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan
radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan
ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad.
Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada
metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis
4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah
tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran
terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan
supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah
didaerah leher tengah.
Dosis radiasi
Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7 minggu
dengan periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”). Alat yang biasanya dipakai ialah
“cobalt 60”, “megavoltage”, “orthovoltage”
Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer
di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
Komplikasi dini
23
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar
parotis yang terkena radiasi)
- Eritema
Komplikasi lanjut
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama
pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter.
Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi
kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk
mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung
adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak
tanda-tanda moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan
yang mengandung anestesi local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan.
Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan sebgainya bisa diberikan obat-obatan
simptomatik terhadap keluhan ini seperti avomit, avopreg.
b. Kemoterapi9,11
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif.
- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi (oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
24
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher
dibagi menjadi :
neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi
mendahului pembedahan dan radiasi)
concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan
bersamaan dengan penyinaran atau operasi)
post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan
atau radiasi )
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan sel pada traktus
gastrointestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sumsum tulang yang
memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah
anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan
kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sumsum
tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika.
Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih
lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung,
yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada
paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi
faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping
pemberian kemoterapi.
Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil
terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan
radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa
tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.
25
Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap
radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki
manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat
terpapar radiasi.
Kelemahan Kemoradioterapi
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,
leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan
sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat
fatal.
26
Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan
dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak
diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal
pemberian.
c. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal
dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi
atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan
suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu
pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.2
d. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.6
K. PROGNOSIS2
27
L. KOMPLIKASI2
a. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N. II yang memberikan
kelainan:
Neuralgia trigeminus (N. V) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri pada
wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas
pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.
Ptosis palpebra (N. III)
Ophthalmoplegia (N. III, N. IV, N. VI)
b. Retroparidean sindrom
a. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang,
hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam
penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan
metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke
hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.
28
M. PENCEGAHAN1
Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr
yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko
tinggi.
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan
faktor penyebab.
Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang
akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak di temukan di Indonesia. Diagnosis dini dari karsinoma nasofaring cukup sulit
karena letak nasofaring tersembunyi berada di belakang tabir langit- langit dan terletak di
bawah dasar tengkorak sehingga sering kali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan
metastasis ke leher sebagai gejala pertama.
Oleh karena banyaknya ditemukan kasus karsinoma nasofaring, diharapkan kesadaran
tenaga kesehatan utntuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang karsinoma
nasofaring serta untuk masyarakat untuk lebih mengenali tanda gejala dari kanker
nasofaring dan segera berobat jika mengalami tanda gejala tersebut. Karena stadium
menentukan prognosis dari penyakit tersebut.
29
DAFTAR PUSTAKA
30