Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
I. ETIOLOGI
Achalasia esofagus dapat terjadi secara primer (idiopatik) atau secara sekunder.
Achalasia esofagus primer diduga terjadi akibat tidak adanya seluruh atau sebagian sel
ganglion inhibitor pada pleksus Mienterikus (Auerbach’s) pada esofagus. Hal ini
mengakibatkan ketidakseimbangan antara neuron eksitatorik dan neuron inhibitorik yang
menyebabkan spinchter esofagus bawah tidak dapat berelaksasi. Beberapa penelitian telah
mencatat sejumlah ganglion mienterik pada spesimen-spesimen penyakit esofagus dan
menemukan adanya infiltrat limfositik dan deposisi kolagen di dalam ganglion. Berdasarkan
penemuan ini, agen-agen yang dapat menyebabkan penyakit infeksi, seperti virus, dan
beberapa mediator radang akibat respon imunnya, diduga sebagai penyebab dari kehilangan
ganglion, tetapi etiologi pastinya belum diketahui. Penelitian mengenai neurotransmisi dan
penghantaran sinyal yang terjadi pada esofagus distal dan spinchter esofagus bawah pada
achalasia esofagus telah berkembang pesat. Nitrit oksida diduga telah menjadi
neurotransmitter inhibitori yang terbesar, yang mengontrol proses relaksasi dari otot polos
esofagus. Hipotesis yang timbul, bahwa pada proses achalasia esofagus, terjadi kehilangan
yang lebih besar pada neuron inhibitori nitrogenik daripada neuron kolinergik.3
Penyebab sekunder achalasia esofagus yang paling sering adalah penyakit Chagas,
suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh infestasi spesies protozoa, yaitu Trypanosoma
cruzi, yang ditansmisikan oleh seekor serangga, menginfeksi neuron intramural, dan
menyebabkan disfungsi otonom. Penyakit Chagas paling sering terjadi di Amerika Tengah
dan Selatan, dan diduga penyakit ini menjadi penyebab sekunder terbanyak dari achalasia
esofagus. Selain itu, penyebab sekunder dari achalasia esofagus dapat berupa malignansi
(karsinoma lambung, esofagus), postvagotomi, pseudo-obstruksi intestinal kronik tipe
neuropatik, amiloidosis, sarkoidosis, dan penyakit Anderson-Fabrey.3,4
II. EPIDEMIOLOGI
Insiden achalasia esofagus di Amerika Serikat sekitar 1 per 100.000 orang per tahun,
dengan rasio antara pria dan wanita adalah 1:1. Achalasia esofagus lebih sering terjadi pada
orang dewasa, terbanyak sekitar usia 25-60 tahun. Pada anak-anak, penyakit ini juga sangat
jarang ditemukan, dan secara genetik tidak ditemukan hubungan. Kurang dari 5% dari kasus
terjadi pada anak-anak, di mana mengenai anak laki-laki lebih banyak daripada anak
perempuan, dengan rasio 6:1.2,4,5
III. PATOFISIOLOGI
Teori utama yang dapat menjelaskan penyakit ini, antara lain:5
Terjadi abnormalitas neurogenik primer yang disertai dengan tidak berfungsinya neuron
inhibitorik dan terjadi degenerasi progresif dari ganglion sel
Terjadi defisiensi dari ganglion sel pleksus mienterik, dapat juga disebabkan oleh
Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD), penyakit Chagas, dan infeksi virus.
Abnormalitas motorik pada achalasia esofagus merupakan hasil dari penurunan
fungsi pada motor neuron yang terletak pada pleksus mienterikus intramural. Secara
fungsional, kontraksi spinchter esofagus diatur oleh pelepasan neurotransmitter eksitatorik
(asetilkolin dan substansi P) dan relaksasi spinchter esofagus diatur oleh pelepasan
neurotransmitter inhibitorik (nitrit oksida dan vasoactive intestinal peptide). Seseorang yang
menderita achalasia esofagus kehilangan ganglion sel inhibitori yang menyebabkan
ketidakseimbangan dalam transmisi neuron eksitatori dan inhibitori, sehingga
mengakibatkan timbulnya tekanan yang tinggi pada spinchter esofagus dan tidak dapat
berelaksasi.2,4
V. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan
manometrik esofagus, dan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium untuk menegakkan diagnosis achalasia esofagus, seringkali tidak dilakukan
karena tidak memiliki kontribusi yang bermakna.2,11
1) Pemeriksaan radiologi
Secara sederhana, foto toraks dapat menunjukkan bahwa seseorang dicurigai menderita
achalasia esofagus. Pada achalasia esofagus, foto toraks menunjukkan pelebaran
mediastinum yang berasal dari esofagus yang berdilatasi dan tidak adanya gelembung
udara yang normal pada lambung, karena kontraksi spinchter esofagus bawah mencegah
udara untuk masuk ke dalam lambung.12
Gambar 6. Gambaran foto toraks pada achalasia esofagus. Tanda panah menunjukkan esofagus yang
berdilatasi hebat (dikutip dari kepustakaan 13)
2) Manometrik esofagus
Manometrik esofagus adalah pemeriksaan yang terbaik (gold standar) untuk
mendiagnosis achalasia esofagus. Guna pemeriksaan manometrik adalah untuk menilai
fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen dan
spinchter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara
kuantitatif maupun kualitatif. Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa untuk
pemeriksaan manometri melalui mulut atau hidung. Hal-hal yang dapat ditunjukkan
pada pemeriksaan manometrik esofagus, antara lain:11,12
Relaksasi spinchter esofagus bawah yang tidak sempurna
Tidak ada peristaltik yang ditandai dengan tidak adanya kontraksi esofagus secara
simultan sebagai reaksi dari proses menelan.
Tanda klasik achalasia esofagus yang dapat terlihat adalah tekanan yang tinggi pada
spinchter esofagus bawah (tekanan spinchter esofagus bawah saat istirahat lebih
besar dari 45 mmHg), dan tekanan esofagus bagian proksimal dan media saat
istirahat (relaksasi) melebihi tekanan di lambung saat istirahat (relaksasi)
3) Pemeriksaan endoskopi
Pemeriksaan endoskopi direkomendasikan pada penderita achalasia esofagus, untuk
menyingkirkan kausa malignansi pada esophagogastric junction. Pada achalasia
esofagus primer, pemeriksa melihat esofagus yang berdilatasi dan mengandung sisa-sisa
makanan dan spinchter esofagus tidak membuka secara spontan. Jika achalasia esofagus
disebabkan oleh neoplasma atau striktur fibrosis esofagus, spinchter esofagus biasanya
dapat dibuka dengan sedikit memberikan tekanan pada saat melakukan tindakan
endoskopi.12
Gambar 10. Perbandingan achalasia esofagus jika dilihat secara: A. Anatomis, B. Endoskopi, C.
Esofagografi (dikutip dari kepustakaan 14)
VII. PENATALAKSANAAN
Sifat terapi pada achalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak
dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet tinggi kalori,
medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi esofagokardiotomi (operasi
Heller).11
1) Terapi Non-Bedah
a. Medikamentosa
Pemberian obat yang bersifat merelaksasikan otot polos, seperti nitrogliserin 5 mg
sublingual atau 10 mg per oral, dan juga methacholine, dapat membuat spinchter
esofagus bawah berelaksasi sehingga membantu membedakan antara suatu striktur
esofagus distal dan suatu kontraksi spinchter esofagus bawah. Selain itu, dapat juga
diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mg sublingual), dimana dapat
mengurangi tekanan pada spinchter esofagus bawah. Namun demikian, hanya
sekitar 10% pasien yang berhasil dengan terapi ini. Terapi ini sebaiknya digunakan
untuk pasien lanjut usia yang mempunyai kontraindikasi terhadap pneumatic
dilation atau tindakan pembedahan.1,2
b. Injeksi Botulinum Toksin
Suatu injeksi botulinum toksin intra-spinchter dapat digunakan untuk menghambat
pelepasan asetilkolin pada bagian spinchter esofagus bawah, yang kemudian akan
mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik.
Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum
skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut
kemiringan 45°, di mana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas
squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas
proksimal dari spinchter esofagus bawah dan toksin tersebut diinjeksi secara kaudal
ke dalam spinchter. Dosis efektif yang digunakan, yaitu 80-100 unit/ml yang dibagi
dalam 20-25 unit/ml untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari spinchter esofagus
bawah. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini mempunyai
penilaian yang terbatas, di mana 60% pasien yang telah diterapi masih tidak
merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi; persentasi ini selanjutnya turun menjadi
30% walaupun setelah beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian.
Sebagai tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian
gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi menjadi lebih
sulit. Terapi ini sebaiknya diaplikasikan pada pasien lanjut usia, yang mempunyai
kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau tindakan pembedahan.2,10
Baru-baru ini, injeksi intra-sphincter dari toksin botulinum neurotoksin telah
berhasil digunakan pada pasien dengan achalasia. Aman dan efektif pada
kebanyakan pasien, sangat efektif pada orang tua dan telah mendapatkan tempat
dalam penatalaksanaan pasien yang dianggap tidak sesuai untuk dilakukan terapi
dilatasi atau miotomi. Prosedur ini melibatkan suntikan pada spinchter esofagus
bagian bawah yang menyebabkan denervasi kimiawi dari sphincter. Dua puluh
sampai dua puluh lima unit toksin botulinum disuntikkan ke setiap kuadran dari
sfingter esofagus bagian bawah dengan jarum skleroterapi menggunakan teknik
endoskopi. Meskipun yang paling aman dari teknik yang tersedia, injeksi toksin
botulinum memiliki durasi efek terbatas, yang berlangsung rata-rata satu tahun.
Pengobatan harus diulangi diperlukan untuk menjaga efek relaksasi pada spinchter
esophagus bagian bawah. Beberapa pasien mungkin mengalami nyeri dada ringan
dan terdapat ruam kulit setelah perawatan.14
Gambar 10. Teknik injeksi intrasphincteric pada achalasia (dikutip dari kepustakaan 14)
c. Pneumatic Dilation
Pneumatic dilation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-tahun. Suatu
balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang bertujuan untuk
merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase
keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi 50%
pada 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilakukan dilatasi. Rasio
terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke
ruang operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara
thorakotomi kiri. Insidens dari refluks gastroesophageal yang abnormal adalah
sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic dilation biasanya
diterapi dengan miotomi Heller.2
Gambar 11. Teknik pneumatic dilation pada achalasia (dikutip dari kepustakaan 14)
2) Terapi Bedah
Suatu laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication adalah suatu prosedur
pilihan untuk achalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan serat otot
(miotomi) dari spinchter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal lambung (2 cm),
yang diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di
rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktivitas sehari-hari setelah kira-kira 2
minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar 85-
95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%. Oleh
karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan
waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam
penanganan achalasia esofagus. Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini, mungkin
akan membutuhkan tindakan dilatasi, operasi kedua, atau pengangkatan esofagus
(esofagektomi).2
Gambar 12. Tindakan laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication (dikutip dari kepustakaan
2)
VIII. PROGNOSIS
Prognosis achalasia esofagus bergantung pada durasi penyakit dan banyak sedikitnya
gangguan motilitas. Semakin singkat durasi penyakit dan semakin sedikit gangguan
motilitasnya, maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus yang normal setelah
pembedahan (miotomi Heller) memberikan hasil yang sangat baik. Apabila tersedia ahli
bedah, pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam menghilangkan gejala pada
sebagian besar pasien, dan memberikan hasil yang lebih baik daripada tindakan pneumatic
dilation. Obat-obatan dan toksin botulinum sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang
tidak dapat menjalani pneumatic dilation dan laparoskopik miotomi Heller.2
Hipokalemia
A. Definisi
Hipokalemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah
dibawah 3.5 mEq/L yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah kalium total di tubuh
atau adanya gangguan perpindahan ion kalium ke sel-sel. Penyebab yang umum
adalah karena kehilangan kalium yang berlebihan dari ginjal atau jalur
gastrointestinal.15
B. Etiologi
Penyebab Hipokalemia diantaranya ialah:
1. Deplesi Kalium
Hipokalemia juga bisa merupakan manifestasi dari deplesi cadangan kalium tubuh.
Dalam keadaan normal, kalium total tubuh diperkirakan 50 mEq/kgBB dan kalium
plasma 3,5--5 mEq/L. Asupan K+ yang sangat kurang dalam diet menghasilkan
deplesi cadangan kalium tubuh. Walaupun ginjal memberi tanggapan yang sesuai
dengan mengurangi ekskresi K+, melalui mekanisme regulasi ini hanya cukup untuk
mencegah terjadinya deplesi kalium berat. Pada umumnya, jika asupan kalium yang
berkurang, derajat deplesi kalium bersifat moderat. Berkurangnya asupan sampai <10
mEq/hari menghasilkan defisit kumulatif sebesar 250 s.d. 300 mEq (kira-kira 7-8%
kalium total tubuh) dalam 7—10 hari4. Setelah periode tersebut, kehilangan lebih
lanjut dari ginjal minimal. Orang dewasa muda bisa mengkonsumsi sampai 85 mmol
kalium per hari, sedangkan lansia yang tinggal sendirian atau lemah mungkin tidak
mendapat cukup kalium dalam diet mereka16
2. Disfungsi Ginjal
Ginjal tidak dapat bekerja dengan baik karena suatu kondisi yang disebut Asidosis
Tubular Ginjal (RTA). Ginjal akan mengeluarkan terlalu banyak kalium. Obat yang
menyebabkan RTA termasuk Cisplatin dan Amfoterisin B.
3. Kehilangan K+ Melalui Jalur Ekstra-renal
Kehilangan melalui feses (diare) dan keringat bisa terjadi bermakna. Pencahar dapat
menyebabkan kehilangan kalium berlebihan dari tinja. Ini perlu dicurigai pada
pasien-pasien yang ingin menurunkan berat badan. Beberapa keadaan lain yang bisa
mengakibatkan deplesi kalium adalah drainase lambung (suction), muntah-muntah,
fistula, dan transfusi eritrosit.
Hipokalemia bisa terjadi tanpa perubahan cadangan kalium sel. Ini disebabkan
faktor-faktor yang merangsang berpindahnya kalium dari intravaskular ke
intraseluler, antara lain beban glukosa, insulin, obat adrenergik, bikarbonat, dsb.
Insulin dan obat katekolamin simpatomimetik diketahui merangsang influks kalium
ke dalam sel otot. Sedangkan aldosteron merangsang pompa Na+/K+ ATP ase yang
berfungsi sebagai antiport di tubulus ginjal. Efek perangsangan ini adalah retensi
natrium dan sekresi kalium 15.
Pasien asma yang dinebulisasi dengan albuterol akan mengalami penurunan kadar
K serum sebesar 0,2—0,4 mmol/L2,3, sedangkan dosis kedua yang diberikan dalam
waktu satu jam akan mengurangi sampai 1 mmol/L3. Ritodrin dan terbutalin, yakni
obat penghambat kontraksi uterus bisa menurunkan kalium serum sampai serendah
2,5 mmol per liter setelah pemberian intravena selama 6 jam.
Teofilin dan kafein bukan merupakan obat simpatomimetik, tetapi bisa
merangsang pelepasan amina simpatomimetik serta meningkatkan aktivitas Na+/K+
ATP ase. Hipokalemia berat hampir selalu merupakan gambaran khas dari keracunan
akut teofilin. Kafein dalam beberapa cangkir kopi bisa menurunkan kalium serum
sebesar 0,4 mmol/L. Karena insulin mendorong kalium ke dalam sel, pemberian
hormon ini selalu menyebabkan penurunan sementara dari kalium serum. Namun, ini
jarang merupakan masalah klinik, kecuali pada kasus overdosis insulin atau selama
penatalaksanaan ketoasidosis diabetes.
D. Implikasi Klinik pada Pasien Penyakit Jantung 15
Tidak mengherankan bahwa deplesi kalium sering terlihat pada pasien dengan
CHF. Ini membuat semakin bertambah bukti yang memberi kesan bahwa peningkatan
asupan kalium bisa menurunkan tekanan darah dan mengurangi risiko stroke.
Hipokalemia terjadi pada pasien hipertensi non-komplikasi yang diberi diuretik,
namun tidak sesering pada pasien gagal jantung bendungan, sindrom nefrotik, atau
sirosis hati. Efek proteksi kalium terhadap tekanan darah juga dapat mengurangi
risiko stroke.
Deplesi kalium telah dikaitkan dalam patogenesis dan menetapnya hipertensi
esensial. Sering terjadi salah tafsir tentang terapi ACE-inhibitor (misal Kaptopril).
Karena obat ini meningkatkan retensi kalium, dokter enggan menambah kalium atau
diuretik hemat kalium pada terapi ACE-inhibitor. Pada banyak kasus gagal jantung
bendungan yang diterapi dengan ACE-inhibitor, dosis obat tersebut tidak cukup untuk
memberi perlindungan terhadap kehilangan kalium.
Potensi digoksin untuk menyebabkan komplikasi aritmia jantung bertambah jika
ada hipokalemia pada pasien gagal jantung. Pada pasien ini dianjurkan untuk
mempertahankan kadar kalium dalam kisaran 4,5-5 mmol/L. Nolan dkk.
mendapatkan kadar kalium serum yang rendah berkaitan dengan kematian kardiak
mendadak di dalam uji klinik terhadap 433 pasien di UK.
Hipokalemia ringan bisa meningkatkan kecenderungan aritmia jantung pada
pasien iskemia jantung, gagal jantung, atau hipertrofi ventrikel kanan. Implikasinya,
seharusnya internist lebih "care" terhadap berbagai konsekuensi hipokalemia. Asupan
kalium harus dipikirkan untuk ditambah jika kadar serum antara 3,5--4 mmol/L. Jadi,
tidak menunggu sampai kadar < 3,5 mmol/L.
E. Derajat Hipokalemia
Hipokalemia moderat didefinisikan sebagai kadar serum antara 2,5--3 mEq/L,
sedangkan hipokalemia berat didefinisikan sebagai kadar serum < 2,5 mEq/L.
Hipokalemia yang < 2 mEq/L biasanya sudah disertai kelainan jantung dan
mengancam jiwa.
H. Penatalaksanaan Hipokalemia
Untuk bisa memperkirakan jumlah kalium pengganti yang bisa diberikan, perlu
disingkirkan dulu faktor-faktor selain deplesi kalium yang bisa menyebabkan
hipokalemia, misalnya insulin dan obat-obatan. Status asam-basa mempengaruhi
kadar kalium serum.
Koreksi dilakukan berdasarkan kadar kalium, yaitu:
1. Kalium 2,5 – 3,5 mEq/LBerikan 75 mEq/kgBB per oral per hari dibagi tiga dosis.
a. Jumlah Kalium
Walaupun perhitungan jumlah kalium yang dibutuhkan untuk mengganti
kehilangan tidak rumit, tidak ada rumus baku untuk menghitung jumlah kalium yang
dibutuhkan pasien. Namun, 40—100 mmol K+ suplemen biasa diberikan pada
hipokalemia moderat dan berat.
Pada hipokalemia ringan (kalium 3—3,5 mEq/L) diberikan KCl oral 20 mmol
per hari dan pasien dianjurkan banyak makan makanan yang mengandung kalium.
KCL oral kurang ditoleransi pasien karena iritasi lambung. Makanan yang
mengandung kalium cukup banyak dan menyediakan 60 mmol kalium 18.
e. Diet Kalium
Diet yang mengandung cukup kalium pada orang dewasa rata-rata 50-100
mEq/hari (contoh makanan yang tinggi kalium termasuk kismis, pisang, aprikot,
jeruk, advokat, kacang-kacangan, dan kentang).
I. Prognosis
Dengan mengkonsumsi suplemen kalium biasanya dapat mengkoreksi
hipokalemia. Pada hipokalemia berat, tanpa penatalaksanaan yang tepat, penurunan
kadar kalium secara drastis dapat menyebabkan masalah jantung yang serius yang
dapat berakibat fatal. 19
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al, editors.
Harrison’s principles of internal medicine 17thed. New York: McGraw Hill, Health
Professions Division; 2008.
2. Patti MG. Achalasia [online]. 2011 [cited March 17, 2018 ]. Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/169974
3. Williams VA, Peters JH. Achalasia of the esophagus: a surgical disease. American College
of Surgeons 2009; 208: 151.
4. Paterson WG, Goyal RK, Habib FI. Esophageal motility disorders [online]. 2006 [cited
March 17, 2018]. Available from: URL:
http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo20.html
5. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2005. h. 499-501.
6. Netter FH. Atlas of human anatomy 3rd ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2006. p. 220-1,
225-6.
7. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta: EGC; 1996. h. 548-50.
8. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Rastuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, kepala, dan leher edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007. h. 290.
9. Spechler SJ. Esophageal disorders. In: Dale DC, Federman DD, editors. ACP Medicine 3rd
edition. USA: WebMD Inc; 2007.
10. Kalloo A. Gastroesophageal reflux disease: diagnosis [online]. 2012 [cited March 17,
2018]. Available from: URL: http://www.hopkins-
gi.org/GDL_Disease.aspx?CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=551CDCA7-A3C1-49E5-
B6A0-C19DE1F94871&GDL_Disease_ID=197E00D5-029B-48B8-9A68-53077FCC9A0F
11. Hirano I. Pathophysiology of achalasia and diffuse esophageal spasm [online]. 2012 [cited
March 17, 2018]. Available from: URL:
http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo22.html
12. Kalloo A. Swallowing disorders: causes [online]. 2012 [cited March 17, 2018]. Available
from: URL: http://www.hopkins-
gi.org/GDL_Disease.aspx?CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=83F0F583-EF5A-4A24-A2AF-
0392A3900F1D&GDL_Disease_ID=0E11DE8C-7FB7-47AE-BC76-766AC830F7BA
13. BMJ Publishing Group Limited. Achalasia: differential diagnosis [online]. 2011 [cited
March 17, 2018]. Available from: URL: http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/872/diagnosis/differential.html
14. Kalloo A. Swallowing disorders: therapy [online]. 2012 [cited March 17, 2018]. Available
from: URL: http://www.hopkins-
gi.org/GDL_Disease.aspx?CurrentUDV=31&GDL_Cat_ID=AF793A59-B736-42CB-9E1F-
E79D2B9FC358&GDL_Disease_ID=0E11DE8C-7FB7-47AE-BC76-766AC830F7BA