Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

Ovum yang telah dibuahi oleh sperma (blastokista) secara normal akan berimplantasi
pada lapisan endometrium di dalam kavum uteri. Pada kehamilan ektopik, ovum yang telah
dibuahi berimplantasi pada jaringan selain endometrium di dalam kavum uteri. Menurut
American Collage of Obstreticans and Ginecologists. sekitar 2% dari seluruh kehamilan pada
trimester pertama di Amerika Serikat adalah kehamilan ekstopik dan sekitar 95% pada tuba
fallopii. Pada setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan atau keterlambatan haid
yang disertai nyeri perut yang hebat bagian bawah, perlu dipikirkan kehamilan ektopik
terganggu.1
Bentuk lain pada kehamilan ektopik yaitu kehamilan servikal, kehamilan ovarikal, dan
kehamilan abdominal. The Centers for Disease Controland Prevention (CDC) melaporkan
insiden kehamilan ektopik sebesar 17.800 kasus dan pada tahun 1992, meningkat menjadi
108.800 kasus. Namun,angka kematian menurun dari 35,5 kematian per 10.000 kasus pada
tahun 1970 menurun menjadi 2,6 per 10.000 kasus pada tahun 1992. Sedangkan insidensi
kehamilan ektopik di Indonesia terjadi pada 5-6 per 1000 kehamilan.2
Prognosis keberhasilan kehamilan setelah mengalami kehamilan ektopik sebelumnya
menurun pada wanita yang pernah menderita kehamilan ektopik. Hanya 1 dari 2 wanita yang
kemudian dapat melahirkan janin hidup,sebagian tidak pernah hamil dan hingga 14,6%
mengalami kehamilan ektopik lagi.2

1
BAB II
KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU
I. Definisi
Kehamilan ektopik terjadi ketika ovum yang telah dibuahi oleh sperma (blastokista)
berimplantasi dan tumbuh di luar atau selain di endometrium kavum uteri. Kehamilan
ekstrauterin tidak sama dengan kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars interstisial
tuba dan kanalis servikalis masih termasuk dalam uterus, tetapi jelas bersifat ektopik.1
Berdasarkan tempat implantasinya, kehamilan ektopik dapat dikelompokan dalam
berbagai macam, yaitu:
1. Kehamilan Tuba, meliputi 95-96%: pars ampularis (70%), pars isthmus (12%),
pars fimbrae (11%) dan pars interstisial (2-3%)
2. Kehamilan ektopik lain (<5%) antara lain terjadi di serviks uterus (<1%),
ovarium (3%) atau abdominal (1%).
3. Kehamilan intraligamenter, jumlahnya sangat jarang
4. Kehamilan heteropik, merupakan kehamilan ganda dimana satu janin berada di
kavum uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik dengan
insidensi satu per 15.000-40.000 kehamilan.
5. Kehamilan ektopik bilateral, sangat jarang terjadi.

Jadi berdasarkan pengelompokan kehamilan ektopik di atas, kehamilan ektopik


paling sering terjadi di tuba (95-96%), di mana meliputi pars ampularis (70%), pars isthmus
(12%), pars fimbrae (11%) dan pars interstisial (2-3%). Urutan selanjutnya di serviks uterus
(<1%), ovarium (3%) atau abdominal (1%).2

Gambar 1. Lokasi implantasi dari kehamilan ektopik


II. Epidemiologi

2
Denominator yang umumnya digunakan dalam menentukan insidensi kehamilan
ektopik adalah jumlah konsepsi yang diketahui, yang digambarkan dengan jumlah
kehamilan ektopik per 1000 konsepsi. Faktor lain yang berpengaruh adalah jumlah wanita
dalam usia produktif, yang digambarkan sebagai jumlah kehamilan ektopik per 10.000
wanita dalam rentang usia 14 - 44 tahun, dan jumlah total kelahiran yang digambarkan
sebagai jumlah kehamilan ektopik per 1000 kelahiran.3
Kehamilan dan persalinan setiap ibu akan mengalami resiko kematian, kesakitan
ketidakpuasan baik pada bayi maupun pada ibu. Data dari World Health Organization
(WHO) menunjukan bahwa pada tahun 2003 terdapat kasus kehamilan ektopik sebesar
0,04% kelahiran didunia ini menderita kehamilan ektopik. Jenis kehamilan ektopik
sebagian besar (80%) dialami oleh wanita yang berusia diatas 35 tahun, serta dialami wanita
dengan paritas pertama atau kedua (60%).
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dalam Profil Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia pada
tahun 2010 sebesar 214 per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2007 Angka Kematian Ibu
(AKI) 12 pada tahun 2010 sudah jauh menurun dibandingkan dengan Angka Kematian Ibu
(AKI) pada tahun 2007, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. AKI disebabkan oleh
perdarahan (53,23%), eklampsia (27,42%), infeksi (11,29%), dan lain-lain (8,06%).
Penggunaan terapi antibiotika dapat meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik.
Antibiotika dapat mempertahankan terbukanya tuba yang mengalami infeksi, tetapi
perlekatan menyebabkan pergerakan silia dan peristaltik tuba terganggu dan menghambat
perjalanan ovum yang dibuahi dari ampulla ke uterus, sehingga implantasi terjadi pada
tuba.4
Selain itu kontrasepsi juga dapat mempengaruhi frekuensi kehamilan ektopik
terhadap jumlah kelahiran di rumah sakit atau masyarakat. Banyak wanita dalam masa
reproduksi tanpa faktor predisposisi untuk kehamilan ektopik membatasi kelahiran dengan
kontrasepsi, sehingga jumlah kelahiran menurun, dan frekuensi kehamilan ektopik terhadap
kelahiran secara relatif meningkat. AKDR dapat mencegah secara efektif kehamilan
intrauterin, tetapi tidak mempengaruhi kejadian kehamilan ektopik. 4,5

3
III. Etiologi
Insiden terjadinya kehamilan ektopik meningkat dengan adanya beberapa faktor
risiko, termasuk riwayat infertilitas, riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, operasi pada
tuba, infeksi pelvis, paparan Diethylstil-bestrol (DES), dan penggunaan IUD.
Faktor-faktor tersebut dipengaruhi mekanisme umum yang dapat berupa mekanisme
anatomis, fungsional, atau keduanya.

Tabel 1.
Pada kehamilan ovarium, spermatozoa memasuki folikel de Graaf yang baru pecah dan
membuahi ovum yang masih tinggal dalam folikel, atau apabila ovum yang dibuahi bernidasi
di daerah endometriosis di ovarium. Kemudian kehamilan intraligamenter biasanya terjadi
secara sekunder dari kehamilan tuba atau kehamilan ovarial yang mengalami ruptur dan
mudigah masuk di antara 2 lapisan ligamentum latum.
Sedangkan pada kehamilan servikal berkaitan dengan faktor multiparitas yang
beriwayat pernah mengalami abortus atau operasi pada rahim termasuk seksio sesarea. Lalu
kehamilan abdominal biasanya terjadi secara sekunder dari kehamilan tuba, walaupun ada yang
primer terjadi di rongga abdomen.2

4
Adapun faktor-faktor pada tuba yang dapat mendukung terjadinya kehamilan ektopik:
1. Faktor dalam lumen tuba :
a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping, sehingga lumen tuba
menyempit atau membentuk kantong buntu;
b) Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada hipoplasia uteri. Hal ini
dapat disertai kelainan fungsi silia endosalping;
c) Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tidak
sempurna.
2. Faktor pada dinding tuba:
a) Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam tuba;
b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan ovum yang
dibuahi ditempat itu.
3. Faktor diluar dinding tuba:
a) Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat perjalanan
telur;
b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba.
4. Faktor lain:
a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba kiri - atau sebaliknya -
dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus. Pertumbuhan telur yang
terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi premature;
b) Fertilisasi in vitro, yakni penyatuan ovum dan spermatozoa terjadi di ampulla tuba, dari
sini ovum yang telah dibuahi digerakkan ke kavum uteri dan di tempat yang akhir ini
mengadakan implantasi di endometrium. Keadaan pada tuba yang menghambat atau
menghalangi gerakan ini dapat menjadi sebab terjadinya implantasi pada endosalping
dan bila ada kelainan pada ovum, maka akan memberi predisposisi terjadinya implantasi
di luar kavum uteri.5

Infeksi dalam rongga panggul


Penyakit radang atau infeksi dalam pelvis dapat menyebabkan obstruksi pada saluran
telur. Makin sering episode infeksi pelvis makin tinggi prevalensi obstruksi tuba 13% setelah
infeksi pertama, 35% setelah infeksi kedua , 75% setelah infeksi ketiga. Telah lama diketahui
hubungan antara penyakit infeksi dalam rongga panggul, obstruksi tuba, dan kehamilan
ektopik. Chlamydia diketahui sebagai infeksi yang penting yang menyebabkan kerusakan pada
tuba.

5
Terdapat hubungan yang kuat antara infeksi chlamydia dengan kehamilan ektopik
dalam tuba. Pada titer antichlamydia trachomatis ≥ 1 : 64 didapatkan kehamilan ektopik pada
tuba 3 kali lipat lebih sering daripada wanita yang titernya negative.4

Akseptor kontrasepsi
AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim) yang mengandung Cu dan yang inert mencegah
kehamilan intrauterin dan juga ekstrauterin. Namun, karena AKDR dapat mencegah lebih efektf
kejadian implantasi pada uterus daripada di tuba, seorang wanita akseptor AKDR yang menjadi
hamil berpeluang 6 sampai 10 kali lebih besar kehamilannya terjadi di tuba dari pada kalau
terjadi kehamilan tanpa AKDR.
Dengan AKDR yang mengandung progesteron, 17% kegagalan kontrasepsi adalah
kehamilan ektopik dalam tuba. Risiko kehamilan ektopik pada pemakaian kontrasepsi
kombinasi oral dikalkulasi sebesar 0,5 - 4%. Pada pemakai pil mini yang menjadi hamil
4peluang kejadian kehamilan ektopik 4% - 10%, dan untuk pemakai norplant sampai 30%.5

Sterilisasi dan pembedahan lain pada tuba dan abdomen


Risiko terbesar untuk menjadi hamil, termasuk kehamilan ektopik, terjadi dalam 2
tahun pertama setelah sterilisasi. Pembedahan-pembedahan lain pada tuba juga meninggikan
risiko kehamilan ektopik. Tidak jelas apakah ini sebagai akibat prosedur operasi sendiri atau
ada hal lain yang menjadi latar belakangnya.5 Kehamilan ektopik setelah ligasi tuba mengikuti
pola akseptor AKDR. Ligasi tuba dapat mencegah kehamilan dengan efektif, tetapi bila terjadi
kehamilan, kemungkinan terjadi kehamilan ektopik itu 9,3 kali lebih besar dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang hamil.5
Risiko kehamilan ektopik lebih besar setelah elektrokoagulasi dari pada bentuk
sterilisasi lain pada tuba, mungkin sebagai akibat terbentuknya rekanalisasi spontan atau fistula
uteroperitoneal. Dilaporkan terdapat 75% fistula uteroperitoneal pada 42 spesimen histerektomi
dari wanita yang sebelumnya telah dilakukan elektrokoagulasi pada tuba.5
Banyak pasien yang menderita kehamilan ektopik mempunyai riwayat pernah
mengalami pembedahan pada abdomen. Peran pembedahan itu dalam kejadian kehamilan
ektopik tidak jelas, mungkin sebagai akibat pembentukan parut sekitar tuba.4

6
Teknologi reproduksi bantuan
Insiden kehamilan ektopik setelah IVF-ET (in-vitro fertilization & embryo transfer)
dilaporkan berkisar 2,1% sampai 9,4%. Hal ini diyakini sebabnya karena pemakaian bahan
pendukung dalam proses tersebut yang mengganggu motilitas tuba yaitu klomifen dan
progesteron sehingga memudahkan terjadi kehamilan ektopik.
Pada penelitian dari 849 kehamilan ektopik didapati induksi ovulasi merupakan faktor
risiko untuk kehamilan ektopik yang pecah dengan risiko relativ 2,5. Menurut laporan
penelitian lain risiko kehamilan ektopik naik 3,88 kali lipat setelah pemindahan embrio yang
sulit pada mana manipulasi tuba terpaksa dilakukan, dan naik 5,41 kali lipat bila mana
sebelumnya pernah kehamilan ektopik. Teknologi reproduksi bantuan juga meningkatkan
kejadian kehamilan interstisial, abdominal dan heterotopik.4,6
Pada kehamilan yang terjadi lewat teknologi reproduksi bantuan atau IVF terdapat
kehamilan ektopik pada saluran telur 2% sampai 8%. Faktor infertilitas dari tuba menambah
risiko kehamilan ektopik menjadi 17%. Faktor predisposisinya belum jelas, mungkin sekali
terkait dengan penempatan kembali embrio yang terlalu tinggi di dalam uterus, refluks cairan
ke dalam tuba, dan faktor tuba sendiri yang mencegah embrio yang terdorong oleh refluks untuk
kembali ke dalam rongga rahim.4

Sebab-sebab lain
Pasca abortus ilegal terdapat kehamilan ektopik 10 kali lipat lebih besar. Mungkin
sebabnya sebagai akibat infeksi sekunder pasca prosedur dan prosedur yang tidak benar. Tidak
ada kaitan antara abortus spontan dengan kejadian kehamilan ektopik. Infertilitas sedikit
meniggikan risiko kehamilan ektopik. Risiko tambahan pada infertilitas adalah berkaitan
dengan penanganan khusus seperti prosedur rekanalisasi, tuboplasti, induksi ovulasi, dan IVF.
Induksi ovulasi dengan klomifen dan gonadotropin berpengaruh kepada
keseimbangan hormonal yang membuat kemudahan terjadi implantasi pada tuba. Sekitar 1,1%
sampai 4,6% dari konsepsi yang terjadi melalui induksi ovulasi mengalami kehamilan ektopik.
Hiperstimulasi, dengan kadar estrogen tinggi, berperan dalam kejadian kehamilan dalam
saluran telur.4
Pemaparan diethylstilbestrol (DES) dalam kehidupan intrauterin dapat merubah
morfologi tuba, jaringan fimbriae tidak ada atau minimal, ostium yang kecil, panjang dan
diameter tuba berkurang. Anatomi yang abnormal ini berperan pada kejadian kehamilan
ektopik yang meningkat sampai 5 kali lipat,1 dan kehamilan pada tuba dua kali lipat.4

7
Kebiasaan merokok menyebabkan gangguan pada motilitas tuba, kegiatan bulu getar,
dan implantasi balstokista atas pengaruh nikotin. Merokok sampai 10 batang sehari berisiko
relatif 1,3 untuk kehamilan tuba, merokok lebih dari pada 20 batang sehari risiko relatifnaik
menjadi 2,5.4,5

IV. Patofisiologi
Ovum di tuba bernidasi secara kolumner atau intrakoluumner. Pada kolumner, ovum
berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan ovum selanjutnya
terganggu oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya ovum mati secara dini dan diresorbsi.
Pada nidasi secara interkolumner ovum bernidasi antara 2 jonjot endosalping. Kemudian
setelah tempat nidasi tertutup, ovum dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang
menyerupai desidua dan disebut pseudokapsularis. Pembentukan desidua di tuba tidak
sempurna dan tidak tampak, dengan mudah villi korialis menembus endosalping dan masuk ke
dalam lapisan otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Selanjutnya
perkembangan janin bergantung pada beberapa faktor seperti, tempat implantasi, tebalnya
dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas.1
Estrogen dan progesteron dari korpus luteum gravidatis dan trofoblas mempengaruhi
perkembangan uterus menjadi lebih besar dan lembek serta endometrium dapat pula berubah
menjadi desidua. Terjadi perubahan-perubahan pada endometrium yang disebut fenomena
Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan
berbentuk tidak teratur. Sitoplasma sel dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-
kadang ditemukan mitosis. Perubahan ini hanya terjadi pada sebagian kehamilan ektopik.2
Tuba bukan merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan hasil konsepsi, tidak
mungkin janin dapat tumbuh secara utuh seperti di uterus. Sebagian besar kehamilan tuba
terganggu pada umur kehamilan antara 6 minggu sampai 10 minggu. Kemungkinan itu antara
lain :
1. Kehamilan tuba
Fertilisasi dapat terjadi semua bagian tuba fallopi, sekitar 95-96% terjadi di
ampulla, 25% di ismus, dan 17% di fimbrae. Lapisan submukosa dari tuba fallopi yang
tipis dapat membuat ovum yang telah dibuahi dapat menembus ke lapisan epitel, bahkan
zigot akan sampai terimplantasi sampai lapisan muskuler. Kemudian trofoblas akan
berprolifreasi dengan cepat dan menginvasi daerah sekitarnya.

8
Pembuluh darah maternal menjadi ruptur dan menyebabkan perdarahan di ruang
antara trofoblas, atau antara trofoblas dengan jaringan di bawahnya. Pada dinding tuba
fallopi yang merupakan tempat implantasi zigot mempunyai ketahanan yang rendah
terhadap invasi trofoblas. Embrio pada kehamilan ektopik sering kali tidak berkembang.
2. Ruptur Tuba
Implantasi ovum pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda, Sebaliknya
ruptur pada pars interstisialis terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama
yang menyebabkan ruptur ialah penembusan villi koriales ke dalam lapisan muskularis
tuba kemudian ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau karena trauma
ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan
dalam rongga perut dengan jumlah sedikit sampai banyak, yang dapat menimbulkan
syok sampai kematian. Bila pseudokapsularis ikut pecah maka terjadi pula perdarahan
dalam lumen tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba
abdominale.
Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan ostium tuba
tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis karena invasi dari trofoblas,
akan pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi pada daerah
ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter. Jika janin hidup terus,
terdapat kehamilan intraligamenter. Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat
keluar dari tuba, tetapi bila robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi
dikeluarkan dari tuba. Bila pasien tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin
bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan
masih kecil, dapat diresorbsi kembali, namun bila besar, kelak dapat diubah menjadi
litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak mati dengan masih diselubungi oleh
kantong amnion dan dengan plasenta yang utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam
rongga abdomen sehingga terjadi kehamilan abdominal sekunder. 2,10
3. Abortus ke dalam lumen tuba
Abortus tuba ialah gangguan yang umumnya tidak begitu mendadak, dan dapat
memberi gambaran yang beraneka ragam.Timbul perdarahan dari uterus yang berwarna
hitam, dan rasa nyeri di samping uterus bertambah keras. Perdarahan yang terjadi karena
pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat
implantasi dapat melepaskan mudigah dari koriales pada dinding tersebut bersama-sama
dengan robeknya pseudokapsularis.
Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, tergantung dari derajat perdarahan
yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam
9
lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah kearah ostium tuba abdominale. Frekuensi
abortus dalam tuba tergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum
terjadi pada kehamilan tuba pars ampullaris, sedangkan penembusan dinding tuba oleh villi
koriales kearah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars isthmika. Perbedaan ini
disebabkan karena lumen pars ampullaris lebih luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah
pertumbuhan hasil konsepsi dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit.1
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan terus
berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sampai berubah menjadi mola kruenta.
Perdarahan akan keluar melalui fimbriae dan masuk rongga abdomen dan terkumpul secara
khas di kavum Douglas dan akan membentuk hematokel retrouterina. Bila fimbriae tertutup,
tuba fallopii dapat membesar karena darah dan membentuk hemato retrouterina.2

Gambar 3 : abortus ke dalam tuba

V. Gambaran Klinik
Pada umumnya penderita menunjukkan gejala-gejala kehamilan muda, dan mungkin
merasa nyeri sedikit pada perut bagian bawah. Pada pemeriksaan vaginal toucher uterus
membesar dan lembek, walaupun mungkin tidak sebesar tuanya kehamilan. Tuba yang
mengandung hasil konsepsi karena lembeknya sukar diraba pada pemeriksaan bimanual.1
Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu dimulai dari perdarahan banyak yang
tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala-gejala klinik klasik, tergantung pada
lamanya kehamilan, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang
terjadi, dan keadaan umum penderita sebelum hamil.
Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias KET yaitu nyeri
abdomen, amenore, dan perdarahan pervaginam. Gambaran tersebut menjadi sangat
penting dalam memikirkan diagnosis pada pasien yang datang dengan kehamilan di trimester

10
pertama. Namun sayangnya, hanya 20% pasien dengan kehamilan ektopik ini yang
menampilkan gejala-gejala tersebut secara khas. Pasien yang lain mungkin muncul gejala-
gejala yang umumnya terjadi pada masa kehamilan awal termasuk mual, lelah, nyeri abdomen
ringan, nyeri bahu, dan riwayat disparenoe baru-baru ini. Sedangkan gejala dan tanda
kehamilan ektopik terganggu, seperti tersebut diatas, dapat berbeda-beda, dari yang khas
sampai tidak khas sehingga sukar untuk mendiagnosisnya.2
Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu.Sekitar 75% pasien
yang datang mengeluh nyeri terutama di daerah abdomen. Pada ruptur tuba nyeri perut bagian
bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan
penderita pingsan dan jatuh ke dalam syok. Rasa nyeri berawal pada satu sisi, setelah darah
masuk ke dalam rongga perut rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut
bawah.. Darah dalam rongga perut dapat merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri
bahu dan bila membentuk hematokel retrouterina menyebabkan nyeri defekasi.1
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik
terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal dari kavum uteri karena pelepasan
desidua. Perdarahan jumlahnya tidak banyak dan berwarna coklat tua. Frekuensi perdarahan
dikemukakan dari 51 – 93%. Perdarahan berarti gangguan pembentukan human chorionic
gonadotropin.
Amenorea merupakan juga tanda yang penting pada kehamilan ektopik. Lamanya
amenorea tergantung pada kehidupan janin. Sebagian penderita tidak mengalami amenorea
karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Frekuensi amenoreadikemukakan dari
23 – 97%.4
Pada kehamilan ektopik terganggu ditemukan pada pemeriksaan vaginal bahwa usaha
menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri , yang disebut dengan nyeri goyang (+)
atau slinger pijn (bahasa belanda). Demikian pula kavum Douglasi menonjol dan nyeri pada
perabaan oleh karena terisi darah. Pada abortus tuba biasanya teraba dengan jelas suatu tumor
di samping uterus dalam berbagai ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel
retrouterina dapat diraba sebagai tumor di kavum Douglasi. Pada ruptur tuba dengan perdarahan
banyak tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat, bila perdarahan banyak dapat terjadi
syok.5
Pada pemeriksaan bimanual, teraba massa pelvik dengan ukuran 5 sampai 15 cm, yang
mana teraba pada sekitar 20% wanita hamil. Massa tersebut terdapat pada posterior atau lateral
dari uterus dan biasanya lembek dan elastis. Tetapi dengan adanya infiltrasi darah ke dinding
tuba, massa tersebut dapat menjadi keras.

11
Adanya tanda-tanda peritoneal, nyeri gerakan serviks, dan nyeri lateral atau bilateral
abdomen atau nyeri pelvik meningkatkan kecurigaan akan kehamilan ektopik dan merupakan
temuan yang bermakna.6

VI. Diagnosis
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik yang belum
terganggu sangat besar, sehingga pasien harus mengalami rupture atau abortus dahulu sehingga
menimbulkan gejala.1
Anamnesis.
Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan terlambat haid untuk beberapa waktu dan
kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda. Terdapat nyeri perut bagian bawah,
nyeri bahu, dan kadang-kadang tenesmus. Perdarahan pervaginam dapat terjadi, dan biasanya
terjadi setelah muncul keluhan nyeri perut bagian bawah, berapa jumlah perdarahannya, warna
dari darahnya, apakah mengalir seperti air atau hanya seperti tetesan saja, dan apakah keluar
gumpalan-gumpalan. Ditanyakan juga riwayat kehamilan sebelumnya, bila sudah pernah hamil,
riwayat menstruasinya.2

Pemeriksaan umum.
Pada pemeriksaan umum, penderita dapat tampak pucat dan kesakitan. Pada perdarahan
dalam rongga perut aktif dapat ditemukan tanda-tanda syok dan pasien merasakan nyeri perut
yang mendadak yang mana mirip dengan keluhan pada penderita appendisitis akut. Pada jenis
yang tidak mendadak, mungkin hanya terlihat perut bagian bawah yang sedikit menggembung
dan nyeri tekan.2
Pemeriksaan ginekologi.
Pada pemeriksaan dalam mungkin ditemukan tanda-tanda kehamilan muda. Perabaan
serviks dan gerakannya menyebabkan nyeri. Bila uterus dapat diraba, maka akan teraba sedikit
membesar dan kadang-kadang teraba tumor disamping uterus dengan batas yang sukar
ditentukan. Kavum Douglas juga teraba menonjol dan nyeri raba yang menunjukkan adanya
hematokel retrouterina. Kadang terdapat suhu yang naik, sehingga menyulitkan perbedaan
dengan infeksi pelvik.4

Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam menegakkan
diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga
perut. Penurunan haemoglobin baru terlihat setelah 24 jam. Penghitungan leukosit secara
12
berturut menunjukkan adanya perdarahan bila leukosit meningkat. Juga dinilai kadar leukosit
untuk membedakan apakah terjadi infeksi yang bisa disebabkan oleh kehamilan ektopik ini atau
dugaan adanya infeksi pelvik. Pada infeksi pelvik biasanya lebih tinggi hingga dapat lebih dari
20.000.2 Tes kehamilan berguna bila positif. Akan tetapi, tes kehamilan bisa saja negatif, hal
ini terjadi karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas yang menyebabkan produksi
human chorionic gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negatif.7

VII. Diagnosa Banding


Beberapa keadaan patologik, seperti infeksi pelvik, abortus imminens, kista folikel,
korpus luteum yang pecah, kista ovarium dengan putaran tangkai dan appendisitis dapat
memberikan gejala yang hampir sama.

VIII. Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis awal diperlukan untuk perawatan yang maksimal terhadap ketahanan tuba
dan mencegah potensi terjadinya perdarahan intraperitoneal. Menemukan bahwa perdarahan
menjadi penyebab terbesar (88%) kematian pada kasus kehamilan ektopik. Pada saat ini, yang
merupakan acuan untuk mendiagnosis kehamilan ektopik adalah Transvaginal Ultrasonography
dan pemeriksaan kadar hCG serial. Transvaginal Ultrasonography sekarang ini telah
menggantikan posisi Laparaskopi karena lebih menguntungkan.8
Beberapa prosedur yang dapat digunakan untuk membantu mendiagnosis kehamilan
ektopik adalah berikut ini :

1. Tes kehamilan
Yang dimaksud dengan tes kehamilan dalam hal ini ialah reaksi imunologik untuk
mengetahui ada atau tidaknya hormon human chorionic gonadotropin (hCG) dalam air
kemih, dimana juga dapat membantu menentukan potensi pasien mengalami kehamilan
ektopik.
Jaringan trofoblas kehamilan ektopik menghasilkan hCG dalam kadar yang lebih rendah
daripada kehamilan intrauterin normal dan dapat dideteksi dalam serum pada kira-kira 1
minggu sebelum haid berikutnya, sehingga dibutuhkan tes yang mempunyai tingkat
sensitifitas yang tinggi. Jika tes hCG mempunyai nilai sensitifitas 25 iu/l, maka 90-100%
kehamilan ektopik akan memberi hasil positif. Faktor sensitifitas dipengaruhi oleh berat
jenis air kemih yang diperiksa. Yang lebih penting ialah bahwa tes kehamilan tidak dapat
membedakan kehamilan intrauterin dengan kehamilan ektopik.9

13
2. Kuldosentesis 5
Kuldosentesis adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum
douglas ada darah atau cairan lain. Cara ini tidak digunakan pada kehamilan ektopik belum
terganggu.

Gambar 4: Kuldosentesis

Teknik
a. Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi
b. Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
c. Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan tenakulum, kemudian
dilakukan traksi ke depan sehingga forniks posterior ditampakkan
d. Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum douglas dan dengan semprit 10 ml
dilakukan pengisapan.
Hasil
a. Positif, apabila dikeluarkan darah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak
membeku, atau yang berupa bekuan kecil-kecil. Darah ini menunjukkan adanya
hematokel retrouterina.

b. Negatif, apabila darah yang diisap bersifat:


- Cairan jernih, yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal atau kista ovarium
yang pecah;
- Nanah, yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau radang apendiks yang
pecah;
- Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku, darah ini
berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
c. Nondiagnostik, apabila pada pengisapan tidak berhasil dikeluarkan darah atau cairan
lain.

14
Hasil positif palsu dijumpai pada 5-10% kasus yang disebabkan oleh karena korpus
luteum yang rupture, abortus inkomplit, menstruasi retrograd, atau endometriosis. Hasil
negative palsu dijumpai pada 11-14% kasus, oleh karena banyaknya darah dalam kavum
Douglas sangat sedikit.

3. Ultrasonografi
Aspek yang terpenting dalam penggunaan ultrasonografi pada penderita yang diduga
mengalami kehamilan ektopik ialah evaluasi uterus. Atas dasar pertimbangan bahwa
kemungkinan kehamilan ektopik yang terjadi bersama-sama kehamilan intrauterin adalah
1:30000 kasus, maka dalam dalam segi praktis dapat dikatakan bahwa apabila dalam
pemeriksaan ultrasonografik ditemukan kantung gestasi intrauterin, kemungkinan
kehamilan ektopik dapat disingkirkan.10,11

Gambar 5. USG kehamilan ektopik

4. Laparoskopi
Laparoskopi merupakan cara pemeriksaan untuk diagnosis kehamilan ektopik pada
umumnya. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum douglas dan
ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mempersulit visualisasi alat
kandungan, tetapi hal ini menjadi indikasi dilakukannya laparotomi.10

5. Dilatasi kuretase
Saat serum kadar hCG lebih dari 1500 mIU/ml, usia gestasi lebih dari 38 hari, atau
serum kadar progesterone kurang dari 5 mg/ml dan tidak ada kantong gestasi interauterin
15
yang terlihat dengan transvaginal USG, kuretase kavum endometrial dengan pemeriksaan
histologi pada jaringan yang dikerok, dengan potong beku bila mau, dapat dikerjakan untuk
menentukan apakah ada jaringan gestasi. Spandorfer dkk. melaporkan bahwa potong beku
93 % akurat dalam mengenali villi koriales. Jika tidak ada jaringan villi koriales yang
terlihat pada jaringan yang diangkat, maka diagnosis kehamilan ektopik dapat dibuat dan
dilakukan tindakan.10

IX. Penatalaksanaan
Banyak opsi yang dapat dipilih dalam menangani kehamilan ektopik, yaitu terapi bedah
dan terapi obat. Ada juga pilihan tanpa terapi, namun hanya bisa dilakukan pada pasien yang
tidak menunjukkan gejala dan tidak ada bukti adanya rupture atau ketidakstabilan
hemodinamik.9

16
Algoritma : Diagnosa dan Penanganan Kehamilan Ektopik 6

17
Terapi bedah:
Tindakan bedah dapat radikal (salpingektomi) atau konservatif (biasanya salpingotomi)
dan tindakan itu dilakukan dengan laparaskopi atau laparatomi. Laparatomi merupakan teknik
yang lebih dipilih bila pasien secara hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak terlatih
dengan laparaskopi, fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang, atau ada
hambatan teknik untuk melakukan laparaskopi. Pada banyak kasus, pasien-pasien ini
membutuhkan salpingektomi karena kerusakan tuba yang banyak, hanya beberapa kasus saja
salpingotomi dapat dilakukan. Salpingotomi laparaskopik diindikasikan pada pasien hamil
ektopik yang belum rupture dan besarnya tidak lebih dari 5 cm pada diameter transversa yang
terlihat komplit melalui laparaskop.9

Gambar 6: Teknik Salpingotomi Insisi 1 – 2 cm di buat di bagian antimesenterik tuba


menggunakan jarum electrode.

Linier salpingektomi pada laparaskopi atau laparatomi dikerjakan pada pasien hamil
ektopik yang belum rupture dengan menginsisi permukaan antimesenterik dari tuba dengan
kauter kecil, gunting, atau laser. Kemudian diinjeksikan pitressin dilute untuk memperbaiki
hemostasis. Gestasi ektopik dikeluarkan secara perlahan melalui insisi dan tempat yang
berdarah di kauter. Pengkauteran yang banyak didalam lumen tuba dapat mengakibatkan
terjadinya sumbatan, dan untuk itu dihindari. Penyembuhan secara sekunder atau dengan
menggunakan benang menghasilkan hasil yang sama. Tindakan ini baik untuk pasien dengan
tempat implantasi di ampulla tuba. Kehamilan ektopik ini mempunyai kemungkinan invasi
trofoblastik kedalam muskularis tuba yang lebih kecil dibandingkan dengan implantasi pada
isthmus.9

18
Gambar 7 : Teknik Salpingektomi. Pedicel di potong dan diligasi dengan ligasi sutura.

Pasien dengan implantasi pada isthmus akan mendapatkan hasil yang lebih baik dari
reseksi segmental dan anastomosis lanjut. Bagaimanapun juga, jika diagnosis ditegakkan lebih
awal, maka pada tempat isthmus dapat dilakukan salpingotomi. Pada kehamilan ektopik yang
berlokasi pada ujung fimbriae, dapat dilakukan gerakan seperti memeras (milking) untuk
mengeluarkan jaringan trofoblastik melalui fimbriae.9
Secara umum, perawatan pada laparaskopi lebih cepat dan lebih sedikit waktu yang
hilang dalam penanganannya dibandingkan laparatomi. Parsial atau total salpingektomi
laparaskopik mungkin dilakukan pada pasien dengan riwayat penyakit tuba yang masih ada
dan diketahui mempunyai faktor resiko untuk kehamilan ektopik. Komplikasi bedah yang
paling sering adalah kehamilan ektopik berulang (5-20 %) dan pengangkatan jaringan
trofoblastik yang tidak komplit. Disarankan pemberian dosis tunggal methotrexate post operasi
sebagai profilaksis para pasien resiko tinggi.10

Terapi Obat:
Diagnosis dini yang dapat ditegakkan membuat pilihan pengobatan dengan obat-obatan
memungkinkan. Keuntungannya adalah dapat menghindari tindakan bedah beserta segala
resiko yang mengikutinya, mempertahankan potensi dan fungsi tuba, dan biaya yang lebih
murah. Zat-zat kimia yang telah diteliti termasuk glukosa hiperosmolar, urea, zat sitotoksik
(misal: methotrexate dan actinomycin), prostaglandin, dan mifeproston (RU486). Disini akan
dibahas lebih jauh mengenai pemakaian methotrexate sebagai pilihan untuk terapi obat.10

19
METHOTREXATE
Perdarahan intra-abdominal aktif merupakan kontraindikasi bagi pemakaian
methotrexate. Ukuran dari massa ektopik juga penting, oleh Pisarska dkk. (1997)
direkomendasikan bahwa methotrexate tidak digunakan pada massa kehamilan jika ukuran
lebih dari 4 cm. Keberhasilannya baik bila usia gestasi kurang dari 6 minggu, massa tuba kurang
dari 3,5 cm diameter, janin sudah mati, dan β-hCG kurang dari 15.000 mIU. Menurut American
College of Obstetricians and Gynaecologist (1998), kontraindikasi lainnya termasuk menyusui,
imunodefisiensi, alkoholisme, penyakit hati atau ginjal, penyakit paru aktif, dan ulkus peptik.
Methotrexate merupakan suatu obat anti neoplastik yang bekerja sebagai antagonis
asam folat dan poten apoptosis induser pada jaringan trofoblas. Pasien yang akan diberikan
methotrexate harus dalam keadaan hemodinamika yang stabil dengan hasil laboratorium darah
yang normal dan tidak ada gangguan fungsi ginjal dan hati.
Methotrexate diberikan dalam dosis tunggal (50 mg/m2 IM) atau dengan menggunakan
dosis variasi 1 mg/kgBB IM pada hari ke 1,3,5,7 ditambah Leukoverin 0,1 mg/kgBB IM pada
hari ke 2,4,6,8. Setelah pemakaian methotrexate yang berhasil, β-hCG biasanya menghilang
dari plasma dalam rata-rata antara 14 dan 21 hari. Kegagalan terapi bila tidak ada penurunan β-
hCG, kemungkinan ada massa ektopik persisten atau ada perdarahan intraperitoneal.6,10

Gambar 8. Kontra indikasi penggunaan Metotreksat pada KET.

20
TERAPI EKSPEKTAN
Terapi ekspektan adalah salah satu pilihan terapi pada KET. Terapi ini diberikan pada
pasien yang meiliki kadar β-hCG rendah. Keberhasilan terapi ini sekitar 80 % pada pasien
dengan kadar awal β-hCG < 1000 IU/L dan menurun setidaknya 13% dalam 48 jam.
Wanita denganterapi ekspektan pada KET harus di follow up selama 7 hari. Hal yang
harus di follow up adalah kadar β-hCG, penurunan kadar β-hCG dan perubahan massa yang
terdapat pada adneksa selama 7 hari.

X. Prognosis
Kematian ibu karena kehamilan ektopik terganggu cenderung menurun dengan
diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Namun bila pertolongan terlambat, maka
angka kematian akan meningkat. Sedangkan janin pada kehamilan ektopik biasanya akan mati
dan tidak dapat dipertahankan karena tidak berada pada tempat dimana ia seharusnya tumbuh.
Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral.
Sebagian wanita dapat menjadi steril setelah mengalami kehamilan ektopik atau dapat
mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang
berulang dilaporkan antara 0-14,6 %. Dengan kemajuan terapi yang ada sekarang,
kemungkinan ibu untuk dapat hamil kembali besar, namun ini harus didukung kemampuan
untuk menegakkan diagnosis dini sehingga dapat diintervensi secepatnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG. Hauth JC. Leveno KJ et al. Ectopic Pregnancy. Williams


Obstetrics. 24th ed. McGraw-Hill Companies, Inc. New York. 2014
2. Cunningham FG. et al. Reproductive Succes and Failure. Williams Obstetrics,
24th ed. Prentice Hall International Inc. Appleton and Lange. Connecticut. 2014.
3. Josie T. Ectopic Pregnancy. www.aafp.org. 2014.
4. Sepilian V, et al. Ectopic pregnancy. 2015. http://emedicine.medscape.com.
5. Hadijanto B. Perdarahan pada Kehamilan Muda. Ilmu Kebidanan edisi keempat.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta.2012.
6. Wiknjosastro H. Gangguan Bersangkutan Dengan Konsepsi. Ilmu Kandungan
edisi ketiga. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta.2011.
7. Joshua H, et al. Diagnosis and Management of Ectopic Pregnancy. American
Family Physician. 2014
8. Wiknjosastro H. Kehamilan Ektopik. Ilmu Bedah Kebidanan edisi pertama.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta.2010.
9. Nathan L. Ectopic Pregnancy. A Lange’ medical book. Current Obstetric &
Gynecologic Diagnosis and Treatment ninth edition. Internal Edition 2003.
10. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Kehamilan
Ektopik. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.Jakarta. 2013.
11. Jazayeri A, Coussons HS. Surgical Management of Ectopic Pregnancy. www.
Emedicine. Medscape.com/article/267384.

22

Anda mungkin juga menyukai