Anda di halaman 1dari 9

Gangguan mental emosional adalah masalah psikiatri yang paling sering

terjadi. Salah satu bentuk gangguan mental emosional adalah kecemasan. Di


Amerika Serikat gangguan mental emosional berupa kecemasan terjadi pada lebih
dari 23 juta individu setiap tahunnya, dengan prevalensi satu dari empat individu
(Stuart, 2006) dalam Putri (2014). Durand & Barlow (2006) menjelaskan bahwa
kecemasan berkaitan dengan kekhawatiran pada kemalangan yang akan terjadi di
masa yang akan datang. Kecemasan mengacu pada orientasi masa depan tentang
suatu stimulus yang sebenarnya belum tentu membahayakan namun dipersepsi
sebagai sesuatu yang berbahaya atau membuat diri tidak berdaya (Halgin &
Whitebourne, 2010). Menurut Yosep (2009) dan World Health Organization (2007
dikutip dari Harner dkk., 2010) mengatakan bahwa seseorang yang terlibat dalam
masalah hukum seperti menjadi narapidana penjara merupakan salah satu sumber
stress yang dapat menyebabkan seseorang rentan mengalami masalah mental
termasuk kecemasan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fahruliana (2011)
ditemukan bahwa munculnya kecemasan pada narapidana umumnya saat
menjelang masa pembebasan. Masa depan yang belum jelas, label sebagai mantan
narapidana membuat seorang narapidana berpikir tentang stigma-stigma negatif
yang akan masyarakat berikan kepadanya sehingga akan terjadi konflik emosional
yang menimbulkan kecemasan pada diri narapidana menjelang bebas (Utari, dkk.,
2012). Secara umum, dapat dikatakan bahwa kecemasan menghadapi masa
pembebasan pada narapidana adalah suatu kondisi emosi yang meliputi rasa tidak
nyaman, khawatir, perasaan-perasaan negatif seperti rasa takut, gelisah dan rasa
tidak aman yang muncul ketika seorang narapidana menghadapi masa bebas karena
adanya pikiran-pikiran buruk tentang respon masyarakat terhadapnya yang
sebenarnya belum tentu akan terjadi ketika tiba masa bebas tersebut.
Data yang menyebutkan tingkat kecemasan pada narapidana pada beberapa
jurnal dalam penelitian yang dilakukan oleh Joseph (2017) didapatkan data bahwa
lima narapidana yang menjelang pembebasan mengalami kecemasan yang terkait
dengan perasaan takut dan bersalah terhadap situasi dan kondisi yang akan
dialaminya ketika kembali ke masyarakat. Kecemasan yang mereka alami
berdampak pada perilaku keseharian selama menjalani pembinaan di dalam Lapas.
Kecemasan yang dialami oleh para narapidana seperti mudah marah, sedih, kurang
percaya diri, malas mengikuti kegiatan dan berfikiran negatif. Dalam jurnal
Rahmah (2016) didapatkan nilai yang tinggi pada kecemasan yang dialami oleh
narapidana sebelum dilakukana intervensi. Kecemasan yang dialami narapidana
seperti sulit untuk tidur nyenyak, melamun dan berandai-andai hal itu disebabkan
karena tidak siap dengan status mantan narapidana yang akan disandangnya setelah
keluar dari Lapas juga merasa takut akan dikucilkan oleh masyarakat setelah keluar
dari Lapas. Utari (2012) menunjukkan bahwa hasil penelitian tingkat kecemasan
pada warga binaan wanita menjelang bebas sebanyak 38% kecemasan berat,
sebanyak 28% kecemasan sedang, dan sebanyak 34% kecemasan ringan. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh University Of South Wales menyatakan bahwa
sebanayak 36 % masalah kesehatan mental yang dirasakan oleh penguni Lapas
adalah anxietas dan wanita lebih tinggi tingkat kejadianya dibandingkan dengan
pria yaitu 61% : 39% (Butler, dkk. 2005).
Shienkfild (2010), menyebutkan bahwa gangguan cemas yang terjadi pada
narapidana menjelang bebas dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia, lama
hukuman, waktu menjelang bebas, dukungan keluarga dan dukungan sosial
masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengahnya
(30,62%) dari warga binaan pemasyarakatan menjelang bebas di tahun 2014 yang
mengalami kecemasan akan bebas pada waktu 1 bulan. Stuart (2007), menyatakan
bahwa kecemasan timbul karena adanya ancaman terhadap integritas fisik dan
ancaman terhadap sistem diri, faktor waktu menjelang bebas merupakan ancaman
yang besar bagi diri warga binaan terhadap sistem diri terkait dengan kemampuan
seseorang menelaah rangsangan atau besarnya rangsangan yang diterima. Waktu
menjelang bebas yang semakin dekat merupakan stimulus eksternal yang
menyebabkan timbulnya kecemasan. Menurut peneliti, kecemasan yang kian terasa
oleh warga binaan pemasyarakatan di waktu menjelang bebas merupakan ancaman
terhadap sistem diri berupa ancaman identitas diri, harga diri, dan hubungan
interpersonal, kehilangan serta perubahan status atau peran. Sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Kartono, (2005) masa hukuman yang lama menimbulkan
kecemasan bagi warga binaan karena minimnya kontak dengan dunia luar yang
mengakibatkan semakin sedikit untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Hukuman pemenjaraan yang sangat lama akan menimbulkan tekanan-tekanan yang
menyebabkan menurunnya kepercayaan dan harga diri warga binaan
pemasyarakatan yang akan bebas.
Pada beberapa hasil penelitian menunjukkan persentase faktor yang paling
besar mempengaruhi kecemasan warga binaan pemasyarakatan menjelang masa
bebas adalah faktor dukungan sosial yakni 77,66% dan 70,25% dipengaruhi oleh
faktor dukungan keluarga. Usia warga binaan pemasyarakatan antara 18–40 tahun
yakni 61,23%, lama hukuman >3 tahun yaitu 46,95% dan waktu menjelang bebas
1 bulan sebelumnya sebanyak 30,62%. (Salim, 2016)
Kecemasan pada umumnya dialami oleh narapidana wanita menjelang masa
bebas, hal tersebut dapat disebabkan adanya stigma negatif dari masyarakat,
penolakan dari keluarga, dan persepsi negatif narapidana. Kecemasan yang dialami
narapidana akan memberikan dampak saat mereka kembali ke masyarakat maupun
memberikan dampak psikologis, seperti munculnya rasa rendah diri, sehingga perlu
dilakukan penanganan untuk meminimalisir kecemasan narapidana. Berdasarkan
penelitian penyebab kecemasan partisipan cukup beragam, kecemasan yang mereka
alami pada umumnya disebabkan faktor eskternal, sebagian besar disebabkan
adanya kekhawatiran akan pandangan dari masyarakat terkait dengan status mereka
sebagai narapidana. Selain itu kecemasan yang mereka alami tidak hanya
disebabkan oleh satu faktor namun dapat disebabkan oleh dua faktor sekaligus.
(Oktaviany, 2014)
Kecemasan ini terjadi karena warga binaan memiliki ketakutan dan
kekhawatiran dalam menghadapi masa depan saat kembali dalam lingkungan
masyarakat baik itu lingkungan keluarga, pekerjaan maupun lingkungan sekitar.
Narapidana mengalami kecemasan mengenai masa depannya bebas dari lapas.
Mereka memiliki ketakutan karena belum siap ketika menghadapi dunia luar
setelah menjalani masa hukuman di lapas. Mereka cenderung takut lingkungannya
tidak dapat menerimanya kembali dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap
warga binaan. Warga binaan juga bingung tentang apa yang harus dilakukan dan
apakah rencana yang telah mereka susun akan berhasil setelah warga binaan bebas
dari lapas. (Konghoiro, 2017)
Pada penelitian (Tulus) berdasarkan pengukuran skala TMAS dalam pre-
test, bahwasannya ketiga subjek tersebut yang mempunyai tingkat kecemasan
dengan kategori berat. Hasil penelitian mengenai derajat social anxiety pada
narapidana di Lapas Brebes Jawa Tengah menunjukkan bahwa dari 7 orang subjek
penelitian diketahui memiliki derajat social anxiety yang tinggi. Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa narapidana di Lapas Brebes Jawa
Tengah memiliki derajat social anxiety yang tinggi ketika akan kembali ke
masyarakat. Artinya, penerimaan masyarakat terhadap mantan narapidana berperan
besar dalam memunculkan tingginya derajat social anxiety (Kusumaningsih, 2016).
Pada penelitian Andriawati (2012) didapatkan hasil terdapat 70% atau 21
narapidana memiliki kecemasan menghadapi masa depan kategori rendah, 27%
atau 8 narapidana sedang dan 3% atau 1 narapidana tinggi. Sedangkan (Martha,
2014) sebaran tingkat kecemasan menghadapi masa pembebasan memiliki tingkat
yang rendah (68%) dan sebagian yang lain berada pada kategori sedang (18%),
kategori sangat rendah (10%) sedangkan kategori tinggi (4%) dan kategori sangat
tinggi sebanyak 0%. Sejalan dengan Hasil penelitian Putri (2014) menunjukkan
bahwa sebanyak (48,5%) narapidana mengalami kecemasan ringan, dan
menyatakan tidak merasa tenang dan tidak dapat duduk istirahat dengan mudah.
Menurut Zung (1971, dikutip dari Nursalam, 2013) salah satu tingkat kecemasan
yang dapat terjadi pada individu ialah kecemasan ringan. Kecemasan ringan
berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari hari (Stuart, 2006),
dimana kecemasan ringan akan membuat individu menjadi waspada, lapang
persepsi meningkat, dapat mengidentifikasi masalah, dan membuat individu
mampu bekerja secara efektif. Menurut Varcarolis (2010) kecemasan ringan dapat
menimbulkan gejala fisik berupa merasa kurang nyaman, gelisah, mudah
tersinggung, serta adanya perilaku yang menunjukkan ketegangan ringan. Gejala
fisik diatas, berdasarkan identifikasi jawaban respoden juga ditemukan dalam
penelitian ini,
Berdasarkan hasil observasi yang dilaksanakan oleh pada sebuah jurnal
pada bulan Maret 2011 di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo, kebanyakan
para narapidana anak cenderung merasa cemas dalam menghadapi masa bebas. Hal
ini dikarenakan sebagian anak kurang mendapatkan perhatian maupun pengarahan
dari orangtuanya, sehingga narapidana anak cenderung merasa cemas dalam
menghadapi masa bebas. Selain itu, di Lembaga Pemasyarakatan Anak tersebut
tidak terdapat layanan psikologis seperti konselor, sehingga kecemasan tersebut
masih sering muncul pada narapidana anak, khususnya bagi mereka yang akan
bebas.
Dari salah satu jurnal dilakukan wawancara pada salah satu narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Semarang, didapat data bahwa narapidana dalam
kesehariannya pada saat mengingat masa depannya atau masa setelah mereka bebas
sering mengalami kecemasan. Yang dirasakan narapidana ketika teringat masa
depannya adalah perasaan malu pada orang-orang disekitarnya. Kepikiran
bagaimana nanti kalau pulang takut diejek oleh orang-orang ketika kembali kepada
keluarga dan masyarakat. Karena orang biasanya menilai narapidana negatif.
Rendah diri terhadap lingkungan sosialnya ketika akan keluar dari penjara, bingung
harus bagaimana atau melakukan apa, dan mengalami kebingungan jika harus
berinteraksi kembali dengan masyarakat serta khawatir terhadap masa depannya
berkaitan dengan statusnya sebagai narapidana.
Wawancara selanjutnya juga dilakukan kepada salah satu narapidana.
Subjek mengatakan kalau dia masih bingung dan takut dengan keadaanya nanti
ketika keluar dari tahanan. Apakah nanti jika sudah di lingkungan masyarakat
mereka masih mau bergaul dengannya atau tidak. Subjek merasakan khawatir
dengan tetangga-tetangganya akan menjauhi atau menghina dia kalau dia adalah
seorang mantan narapidana. Kekhawatiran itu juga ditakutkan jika anak-anaknya
nanti akan malu dengan keadaan ibunya yang sebagai mantan narapidana dan akan
menjauhi ibunya. Ada pula dari mereka yang takut jika bebas nanti masih ada yang
mau menikah denganya. Bahwa riwayat hidupnya sebagai mantan narapidana. Juga
ada yang mengatakan keluarganya tidak bisa menerimanya karena telah
mempermalukan nama baik keluarga. Sehingga subyek saat mengingat menjelang
bebas merasa cemas karena takut keluarganya tidak mau menerimanya kembali.
Peningkatan jumlah narapidana di Indonesia semakin hari mengalami
peningkatan yang cukup tajam, sehingga lembaga pemasyarakatan serta rumah
tahanan negara tidak mampu lagi menampung warga binaan itu (Hermawan, 2017).
Menkum HAM Yasonna Laoly mengungkapkan peningkatan jumlah narapidana di
lembaga pemasyarakatan (lapas) menjadi 214.675 pada Maret 2017. Jumlah ini
meningkat sekitar 12 ribu napi berdasarkan data pada Januari 2017 (Prasetia, 2017).
Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian
Hukum dan HAM, jumlah narapidana di Kantor Wilayah (Kanwil) Sumatera Utara
mencapai 27 ribu jiwa. Wilayah Jawa Timur menempati peringkat dua di Indonesia
dimana terdapat 22 ribu jumlah narapidana.
Beberapa tindakan atau intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi
cemas menurut beberapa jurnal dalam penelitian yaitu salah satu contoh kegiatan
yang ada di Lembaga Pemasyarakatan yakni kegiatan “melukis pelangi di luar
jeruji”. Merupakan kegiatan yang memang khusus untuk mengurangi kecemasan
para narapidana menjelang bebas dengan tekhnik cognitive behavioral therapy
(CBT) (Martha, 2014)
Expressive Writing merupakan salah satu teknik yang memungkinkan untuk
dapat dilaksanakan di LAPAS, mengingat situasi LAPAS tidak memungkinkan
untuk memberikan tugas rumah dan mengukur kemampuan intelektual partisipan
karena adanya aturan mengenai larangan menyimpan senjata tajam dan sejenisnya
di LAPAS (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2013). Manfaat Expressive
Writing dapat dirasakan dalam waktu cukup singkat, yaitu selama 4 (empat) sesi
dengan minimal waktu tiap sesi adalah 10 menit, dan dapat dilakukan oleh semua
individu baik yang memiliki tingkat pendidikan, ekonomi, dan usia yang berbeda-
beda (Pennebaker & Chung, 2007). Kegiatan Expressive Writing diyakini mampu
memberikan efek terapeutik, khususnya memberikan pengaruh pada emosi karena
dapat memfasilitasi individu untuk melakukan penyingkapan emosi dan sekaligus
meregulasi emosi (Lepore, 1997). Di samping itu mengatasi trauma maupun stresor
dengan menulis tentang permasalahan serta mengakui emosi diperkirakan dapat
menurunkan aktivitas fisiologis sehingga secara bertahap menurunkan kecemasan
dan membantu mengatasi pikiran yang dapat meningkatkan kecemasan
(Pennebaker, dalam Baike & Wilhelm, 2005). (Oktaviany, 2014)
Metode lain yang digunakan adalah terapi kelompok Gestalt. Penerapan
terapi kelompok gestalt secara efektif membantu menurunkan tingkat kecemasan
pada lima warga binaan di Lapas Narkotika X. Hal ini terlihat pada kelima
partisipan selama menjalani proses intervensi. Selain itu juga terlihat dari
penurunan skor posttest. (Konghoiro, 2017)
Pada penelitian (Tulus, 2015) yang dilakukan adalah terapi dzikir dan
didapatkan hasil semakin tinggi tingkat terapi dzikirnya maka semakin rendah
tingkat kecemasannya. Penurunan yang signifikan terhadap kecemasan pada
kelompok eksperimen terjadi secara menyeluruh pada semua subyek.
Penelitian Joseph (2017) memiliki fokus pada peran terapi penerimaan dan
komitmen dalam mengurangi kecemasan. Pada penelitian ini, narapidana yang
mengikuti terapi menunjukan pengurangan tingkat kecemasan. Melalui terapi
penerimaan dan komitmen, narapidana dapat memiliki insight untuk menerima
kondisi saat ini dan merubah perilaku mereka dalam keseharian.

Rumusan Masalah
1. Tingkat kecemasan narapidana terhadap penerimaan masyarakat dan
lingkungan tentang dirinya setelah mereka keluar dari Lembaga
Permasyarakatan.
2. Tingkat kecemasan narapidana menjelang masa bebas karena dihadapkan
pada sesuatu yang belum jelas mengenai masa depan yang akan dilaluinya.
DAFTAR PUSTAKA

Andriawati, S. (2012). Hubungan konsep diri dengan kecemasan narapidana


menghadapi masa depan di Lembaga Pemasyarakatan wanita Malang.
Skripsi. Universitas Negeri Malang.

Hermawan. 2017. Menkumham: Jumlah Napi di Indonesia Terus Meningkat.


http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/03/17/omysyb354-
menkumham-jumlah-napi-di-indonesia-terus-meningkat [20 Februari 2018]

Joseph. 2017. Penerapan Terapi Penerimaan Dan Komitmen Untuk Mengurangi


Kecemasan Pada Narapidana Menjelang Pembebasan Bersyarat Di Lapas
X. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni. Vol 1

Konghoiro, dkk. 2017. Penerapan Group Gestalt Therapy Bagi Warga Binaan
Lapas Narkotika X Yang Mengalami Kecemasan Menjelang Bebas. Jurnal
Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni. Vol 1

Kusumaningsih. 2016. Studi Kasus : Derajat Social Anxiety Pada Narapidana Di


Lapas Brebes. Intuisi jurnal psikologi ilmiah

Martha, 2014. Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kecemasan Menghadapi


Masa Pembebasan Pada Narapidana. Jurnal Psikologi Integratif. Vol. 2

Oktaviany. 2014. Pendekatan Expressive Writing Pada Narapidana Wanita Yang


Mengalami Kecemasan Menjelang Masa Bebas. Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya

Prasetya, A. 2017. Menkum HAM: Jumlah Napi di Lapas Capai 214 Ribu hingga
Maret 2017. https://news.detik.com/berita/d-3470072/menkum-ham-jumlah-
napi-di-lapas-capai-214-ribu-hingga-maret-2017 [20 Maret 2018]

Putri, E. 2014. Hubungan Dukungan Sosial dengan Tingkat Kecemasan


Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Muaro Padang Tahun
2014. Ners Jurnal Keperawatan. Vol. 10
Rahmah. 2016. Efektivitas Logo Terapi Kelompok Dalam Menurunkan Gejala
Kecemasan Pada Narapidana. Jurnal Intervensi Psikologi Vol. 8

Salim. 2016. Gambaran Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan WBP Menjelang


Bebas Di LP Wanita Kelas IIA Bandung. Jurnal Ilmu Keperawatan. Vol. IV

Tulus. 2015. Efektifitas Terapi Dzikir Terhadap Tingkat Kecemasan Ibu Hamil Di
Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Kelas II A Sukun Malang.

Utari. 2012. Gambaran Tingkat Kecemasan Pada Warga Binaan Wanita


Menjelang Bebas Di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Bandung.
Jurnal Universitas Padjadjaran

Anda mungkin juga menyukai