Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agroekosistem pada hakekatnya merupakan ekosistem alam yang dikelola

untuk kepentingan tertentu dan disebut sebagai ekosistem binaan. Agroekosistem

memegang faktor kunci dalam pemenuhan kebutuhan pangan suatu bangsa. Setiap

agroekosistem memiliki sifat berbeda sesuai dengan kondisi ekosistem asalnya,

jenis tanah, elevasi lahan, topografi, iklim, edafik, manusia dan sosioekonomi

(Southwood dan Way, 1970). Variasi jenis vegatasi, baik yang berupa tanaman

budidaya maupun tumbuhan liar atau gulma, anthropoda, dan mikroorganisme

dapat dipandang sebagai suatu keanekaragaman dalam konteks agroekosistem.

Ada dua komponen penting keanekaragaman hayati yang dikenal dalam

agroekosistem. Komponen pertama adalah keanekaragaman hayati yang

terencana, meliputi tanaman dan hewan yang secara sengaja dimasukkan oleh

petani ke dalam agroekosistem, variasinya tergantung dari manajemen dan

pengaturan tanaman secara sementara. Komponen kedua adalah gabungan dari

keanekaraagaman hayati, terdiri dari seluruh tumbuhan dan hewan baik herbivora

karnivora, maupun pengurai dari lingkungan sekitar yang berkoloni dalam

agroekosistem, yang berhubungan atau berinteraksi (Vandermeer dan Perfecto,

1995).

Tingkat interaksi antara berbagai komponen biotik dan abiotik menentukan

sifat optimal agroekologik. Gabungan antara fungsi-fungsi keanekaragaman

hayati akan memicu sinergisitas yang dapat membantu di dalam agroekosistem

40
dengan meningkatkan faktor-faktor yang berpengaruh, antara lain: aktivitas

biologi tanah, siklus nutrisi, peningkatan arthropoda dan antagonis yang

mengunungkan, yang seluruhnya penting untuk memelihara kestabilan maupun

keutuhan agroekosistem. Apabila faktor-faktor tersebut dimanfaatkan dengan

baik, maka populasi hama dapat diturunkan dibawah ambang ekonomi dan

penyakit pun juga dapat dicegah (Altieri dan Nicholls, 2004). Oleh sebab itu perlu

dilakukan analisis jaring-jaring makanan di sebuah lahan pertanian untuk

memelihara dan meningkatkan pengaruh-pengaruh ekologis, dan memberikan

perlakuan terbaik dalam peningkatan komponen keanekaragaman hayati.

Selain menganalisis jaring-jaring makanan, mahasiswa pertanian juga perlu

melakukan analisis vegetasi di suatu lahan pertanian untuk mengetahui keragaman

vegetasi dalam suatu agroekosistem. Adapun teknik yang digunakan dalam

praktikum ini yaitu dengan Teknik Penelusuran Lokasi (Transek). Transek

merupakan suatu plot sample yang diperpanjang, dimana data-data vegetasi

dicatat agar spesies-spesies yang ada dalam plot terhitung. Hal ini berguna untuk

menentukan keadaan transisi dari tumbuhan/ vegetasi yang berada di antara

asosiasi-asosiasi, misalnya: pada suatu lereng yang mempunyai daerah-daerah

vegetasi yang berbeda (Heddy, 2012). Informasi-informasi yang biasanya muncul

antara lain: topografi, tataguna lahan, pola usaha tani serta teknologi setempat dan

cara pengelolaan sumber daya alam.

41
B. Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui distribusi dan jenis vegetasi

budidaya maupun gulma yang tumbuh berdasarkan hamparan agroekosistem yang

berbeda serta pengamatan terhadap faktor-faktor lingkungannya.

42
II. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat

Kegiatan ini merupakan acara praktikum yang dilakukan di lapangan maka

sebagai bahan praktikum adalah aneka vegetasi yang tumbuh pada berbagai

macam tipe agroekosistem. Alat yang dibutuhkan yaitu: tali rafia, roll meter, anir,

bamboo, buku identifikasi vegetasi, pH meter, thermohygrometer, altimeter dan

alat tulis.

B. Prosedur Kerja

1. Alat dan bahan disiapkan

2. Tujuan penelusuran lokasi, proses kegiatan yang akan dilakukan, dan titik

lokasi disampaikan oleh asisten dan disepakati oleh praktikan sebelum

berangkat

3. Setelah sampai dilokasi, praktikan diberi pengarahan oleh aisten mengenai hal

apa saja yang harus diamati serta lintasan penelusuran yang diambil

4. Hasil pengamatan dicatat dan didiskusikan

5. Hasil pengamatan digambar dan dibuat bagan di kertas manila

6. Hasil yang sudah digambar dipresentasikan di depan asisten dan rombongan

lain

43
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 1. Transek Analisis Vegetasi

44
Gambar 2. Jaring-jaring Makanan

45
B. Pembahasan

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuhan dan terdiri dari beberapa jenis

yang hidup bersama-sama di suatu tempat. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda

dengan vegetasi di tempat lain karena faktor penyusun lingkungannya berbeda.

Tanah dan iklim merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan

dan perkembangan vegetasi (Kimmins, 1987). Sebagai contoh, hutan tersusun atas

vegetasi tanaman tahunan yang umumnya mempunyai batang tinggi dan kokoh,

serta perakaran yang kuat dan panjang. Vegetasi pembentuk hutan merupakan

komponen alam yang mampu mengendalikan iklim melalui pengendalian

fluktuasi atau perubahan unsur-unsur iklim yang ada di sekitarnya, misalnya

temperatur, kelembapan, angin, dan curah hujan, serta menetukan kondisi iklim

setempat dan iklim makro. Sebaliknya, unsur-unsur iklim tersebut adalah

komponen alam yang memengaruhi kehidupan (Indriyanto, 2010). Vegetasi

penyusun hutan antara lain: meranti, rotan, damar putih, ketapang hutan, kayu

cina, gufasa dan sebagainya (Tulalessy, 2012). Sedangkan vegetasi penyusun

pantai antara lain: mangrove, cemara dan pohon kelapa (Wiyanto dn Elok, 2011)

Ada dua fase dalam kajian vegetasi ini, yaitu mendeskripsikan dan

menganalisa, yang masing-masing menghasilkan berbagai konsep pendekatan

yang berlainan. Metode manapun yang dipilih yang penting adalah harus

disesuaikan dengan tujuan tersebut, luas atau sempitnya yang ingin diungkapkan,

keahlian dalam bidang botani dari pelaksana, dan variasi vegetasi secara alami itu

sendiri (Umar, 2013).

46
Analisis vegetasi tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau

komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Tujuan yang ingin dicapai

dalam analisis vegetasi adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur

komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari. Bentuk pertumbuhan adalah

penggolongan tetumbuhan menurut bentuk pertumbuhannya, habitat, atau

menurut karakteristik lainnya. Bentuk pertumbuhan yang umum dan mudah

disebut misalnya pohon, semak, perdu, herba, dan liana (Indriyanto, 2010).

Salah satu metode dalam analisis vegetasi tumbuhan yaitu dengan

menggunakan metode transek. Transek adalah jalur sempit melintang lahan yang

akan dipelajari atau diselidiki. Tujuannya untuk mengetahui hubungan perubahan

vegetasi dan perubahan lingkungan (Kimmins, 1987). Metode transek biasanya

digunakan untuk mengetahui vegetasi tertentu seperti padang rumput dan atau

suatu vegetasi yang sifatnya masih homogen. Metode transek dibagi menjadi dua

yaitu Belt Transect (transek sabuk) dan Line Transect. Belt transek merupakan

jalur vegetasi yang lebarnya sama dan sangat panjang. Line transect (transek

garis) yaitu metode ini merupakan garis-garis petak contoh (plot). Tanaman yang

berada tepat pada garis dicatat jenisnya dan berapa kali terdapat atau dijumpai

(Syafei, 1990).

Komponen ekosistem yang berperan dalam pertumbuhan tanaman dibagi

menjadi dua yaitu komposisi biotik dan abiotik. Komponen biotic adalah

komponen lingkungan yang terdiri atas makhluk hidup. Komponen abiotik adalah

komponen lingkungan yang terdiri atas benda mati. Contoh komponen biotik yang

ada dilahan pertanaman berdasarkan praktikum yang telah kami laksanakan antara

47
lain: pohon pisang, singkong, durian, timun, caisim, talas, cabai, buncis, papaya,

serai, bawang daun, rumput gembala, putri malu, labu siam, ulat, jangkrik,

burung, kadal, burung, dan kepik. Contoh komponen abiotik yang kami amati

dilahan pertanaman berdasarkan praktikum meliputi: tanah, suhu, kelembaban,

dan cahaya matahari.

Ekosistem terbentuk karena adanya interaksi atau hubungan antara organism

(biotic) dengan lingkungannya (abiotik). Hubungan dalam ekosistem tersebut

menyebabkan terjadinya aliran energi. Hubungan tersebut dapat bersifat

merugikan (negative) dan dapat pula bersifat menguntungkan (positif). Suatu

interaksi dapat bersifat positif apabila satu komponen mendukung komponen

lainnya, sedangkan interaksi yang bersifat negative terjadi apabila suatu

komponen menghambat pertumbuhan komponen lainnya (Pawana, dkk., 2012).

Berdasarkan hasil analisis transek, diketahui bahwa komponen biotic dan

abiotik saling berhubungan. Kepadatan populasi tanaman mempengaruhi suhu dan

kelembaban. Semakin tinggi kerapatan populasi tanaman maka suhu semakin

rendah dan kelembaban semakin tinggi. Hal ini dikarenakan sinar matahari

terhalang oleh daun. Kerapatan populasi tanaman juga berpengaruh terhadap

ketersediaan unsure hara dalam tanah. Kerapatan populasi tanaman yang semakin

tinggi tanpa diimbangi dengan pemberian pupuk mengakibatkan ketersediaan

unsure hara dalam tanah semakin berkurang. Keadaan tersebut mengakibatkan

produktivitas lahan menurun (Sumardi, 2010).

Tidak hanya tanaman (biotic) yang berpengaruh terhadap lingkungan

(abiotik) namun lingkungan juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

48
Komponen abiotik yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan

antara lain: unsure hara, air, cahaya matahari, suhu, kelembaban, dan angin.

Tanaman tidak akan memberikan hasil yang maksimal apabila unsure hara yang

diperlukan tidak tersedia (Hayati, dkk., 2011). Air berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena air merupakan bagian dari

protoplasma. Selain itu air merupakan pelarut unsure hara, stabilitator suhu dan

tekanan turgor sel. Oleh karena itu ketersediaan air perlu diperhatikan agar tidak

mengganggu pertumbuhan tanaman. Persebaran air hujan juga mempengaruhi

macam/jenis tanaman yang dapat dibudidayakan di suatu daerah (Jumin, 2002).

Kisaran suhu untuk pertumbuhan tanaman pada umumnya berkisar antara

15-400C. Suhu suatu tempat ditentukan oleh altitude (ketinggian) dan latitude

(garis lintang). Suhu atmosfer yang tinggi akan mempercepat pertumbuhan

tanaman dan respirasi. Akan tetapi juga dapat merugikan tanaman apabila

kelembaban kurang memadai sehingga dapat menyebabkan keguguran bunga,

buah muda maupun daun. Suhu tanah juga dapat mempengaruhi penyerapan air

oleh tanaman (Jumin, 2002).

Kelembaban udara pada umumnya dinyatakan dalam kelembaban relative

yang mempengaruhi evapotranspirasi tanaman. Evapotranspirasi akan meningkat

atau lancer apabila kelembaban udara disekitar tanaman rendah. Transpirasi

tanaman sangat erat hubungannya dengan penyerapan unsure hara dari dalam

tanah. Apabila transpirasi cepat, penyerapan unsure hara juga cepat. Akan tetapi

kelembaban udara tinggi mengakibatkan respirasi menjadi lambat sehingga

penyerapan unsure hara juga lambat (Jumin, 2002).

49
Angin sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, terutama angin yang tidak

terlalu kencang karena angin merupakan penyedia gas CO2 yang sangat

dibutuhkan oleh tanaman dalam proses fotosintesis. Dalam budidaya tanaman,

pengaturan arah barisan tanaman harus memperhatikan arah angin. Apabila arah

barisan tegak lurus dengan arah datangnya angin, akan terjadi turbulensi udara

sehingga tanaman menjadi rusak. Selain itu, angin juga berperan dalam

penyerbukan bunga (Jumin, 2002).

Cahaya matahari mempunyai hubungan yang erat dalam budidaya tanaman.

Hal ini dikarenakan cahaya matahari merupakan sumber utama energy yang

diperlukan dalam pross fotosintesis tanaman. Cahaya matahari mempengaruhi

kehidupan tanaman karena 4 hal yaitu intensitasnya, kkualitasnya, durasi serta

arah datangnya cahaya. Selain itu cahaya matahari juga berhubungan erat dengan

komponen abiotik lainnya. Semakin tinggi intensitas matahari maka suhu semakin

tinggi. Apabila suhu semakin tinggi kelembaban semakin rendah sehingga akan

berakibat pada evaporasi dan transpirasi. Evapotranspirasi yang tinggi berakibat

pada ketersediaan air didalam tanah (Jumin, 2002).

Berdasarkan hasil analisis jaring-jaring makanan (food web) diketahui

bahwa dalam lahan yang kami amati, yang berperan sebagai produsen yaitu semua

jenis tumbuh-tumbuhan yang ada dalam lahan budidaya tersebut. Menurut Heddy

(2012) produsen adalah semua makhluk hidup yang dapat membuat makanannya

sendiri. Konsumen tingkat satu antara lain belalang sangit, ulat, belalang daun,

kepik, dan jangkrik. Konsumen tingkat dua yaitu kadal. Dan konsumen tingkat

50
tiga yaitu burung. Menurut Heddy (2012) konsumen merupakan semua makhluk

hidup yang bergantung pada produsen sebagai sumber energinya.

Sebuah ekosistem terjadi sebuah peristiwa makan dan dimakan. Peristiwa

tersebut mengakibatkan terjadinya perpindahan energy yang ada pada tingkat

trofik tertentu menuju trofik lainnya yang disebut aliran energy. Hubungan transek

dan jaring-jaring makanan yaitu adanya tumbuhan dalam suatu ekosistem akan

mendatangkan binatang herbivore yang berperan sebagai konsumen tingkat satu,

kemudian bila ada konsumen tingkat satu maka aka nada konsumen tingkat dua,

dan seterusnya. Hal tersebut perlu diketahui agar masyarakat khususnya petan

dapat mengenal dan mengamati secara lebih tajam mengenai potensi sumber daya

alam dan permasalahan-permasalahannya, terutama sumber daya pertanian. Selain

itu juga agar petani dapat mengendalikan hama secara tepat dengan

memperhatikan aspek lingkungan.

51
IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah kami laksanakan, vegetasi yang kami

temukan antara lain: pohon pisang, singkong, durian, timun, caisim, talas, cabai,

buncis, papaya, serai, bawang daun, rumput gembala, putri malu, dan labu siam.

Konsumen yang terdapat di lahan yang kami amati antara lain: ulat, jangkrik,

burung, kadal, burung, dan kepik.

B. Saran

Diharapkan untuk praktikum lebih teliti dalam melakukan pengamatan.

52
DAFTAR PUSTAKA

Altieri, M.A. 1999. The ecological role of biodiversity in agroecosystem.


Agriculture, Ecosystems and Environment 74:19-31.

Heddy, S. 2012. Metode Analisis Vegetasi dan Komunitas. PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

Indriyanto. 2010. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.

Jumin, H. B. 2002. Agronomi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. Macmillan Publishing Co. New York.

Pawana, G. dkk. 2012. Interkasi Pseudomonas Pendarflour Indigenous dengan


Glomus aggregatum Terhadap Serangan Penyakit Batang Berlubang dan
Pertumbuhan Tanaman Tembakau. Agrovigor. Vol. 5 No. 2:80-93.

Southwood, T.R.E. & M.J. Way. 1970. Ecological background to pest


management. Dalam Concepts of Pest Management, pp.7-13. R.L. Rabb &
F.E. Guthrie, eds. North Carolina State University, Raleigh.

Sumardi. 2010. Prouktivitas Padi Sawah pada Kepadatan Populasi Berbeda. JIPI.
Vol. 12 No. 1: 49-54.

Syafei, E. S. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Penerbit ITB. Bandung

Tulalessy, A.H. 2012. Potensi Flora Di Kabupaten Seram Bagian Barat. Ekosains.
Vol. 01 No. 01:1-5.

Umar, M. R. 2013. Ekologi Umum dalam Praktikum. Jurusan Biologi.


Universitas Hasanuddin. Makassar.

Vandermeer, J. & I. Perfecto. 1995. Breakfast of biodiversity. Food First Books,


Oakland, California.

Wiyanto, D.B. dan Elok F. 2011. Analisis Vegetasi dan Struktur Komunitas
Mangrove di Teluk Benoa-Bali. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Vol. 3
No. 1:99-107.

53

Anda mungkin juga menyukai