Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

Oleh:

WILDA ZAKKIAH

PO.71.3.201.15.1.191

CI LAHAN CI INSTITUSI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MAKASSAR

PRODI DIII KEPERAWATAN MAKASSAR

2017
BAB I

KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di
sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Isolasi sosial
merupakan upaya klien untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan orang lain
(Keliat et al, 2005).
Isolasi sosial adalah pengalaman kesendirian dari seorang individu dan
diteriam sebagai perlakuan dari orang lain serta kondisi yang negatif atau
mengancam (Judith M Wilinson, 2007)
Isolasi Sosial adalah kondisi kesepian yang diekspresikan oleh individu dan
dirasakan sebagai hal yang ditimbulkan oleh orang lain dan sebagai suatu
keadaan negatif yang mengancam. Dengan karakteristik : tinggal sendiri dalam
ruangan, ketidakmampuan untuk berkomunikasi, menarik diri, kurangnya kontak
mata. Ketidak sesuaian atau ketidakmatangan minat dan aktivitas dengan
perkembangan atau terhadap usia. Mengekspresikan perasaan penolakan atau
kesepian yang ditimbulkan oleh orang lain. Mengalami perasaan yang berbeda
dengan orang lain, merasa tidak aman ditengah orang banyak. (Mary C.
Townsend, Diagnose Kep. Psikiatri, 1998; hal 252).
B. Etiologi
Menurut Stuart (2007), Terjadinya factor ini dipengaruhi oleh factor
predisposisi di antaranya perkembangan dan social budaya. Kegagalan
perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya
dengan orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan
dengan orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, keadaan menimbulkan
prilaku tidak ingin berkmunikasi dengan orang lain. Adapun gejala klinis sebagai
berikut:
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri
3. Gangguan hubungan social
4. Percaya diri kurang
5. Mencederai diri
C. Tanda dan Gejala
1. Menyendiri dalam ruangan
2. Tidak berkomunikasi, menarik diri, tidak melakukan kontak mata atau kontak
mata kurang
3. Sedih, afek datar
4. Perhatian dan tindakan tidak sesuai dengan usia
5. Apatis
6. Mengekspresikan penolakan atau kesepian pada orang lain
7. Menggunakan kata-kata yang tidak berarti
8. Tidak mau menatap lawan bicara
9. Harga diri rendah
D. Akibat dari Isolasi Sosial
Klien dengan isolasi social dapat berakibat terjadinya resiko perubahan sensori
presepsi (halusinasi) atau bahkan prilaku kekerasan mencederai diri (Akibat dari
harga diri rendah disertai dengan harapan yang suram, mungkin klien akan
mengakhiri hidupnya).
E. Proses Terjadinya Isolasi Sosial
Faktor-faktor yang mungkin menyebabkan isolasi sosial dibedakan menjadi 2,
yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi.
1. Faktor predisposisi
a. Faktor tumbuh kembang
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat
dipenuhi, maka akan menghambat masa perkembangan selanjutnya.
Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi
individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya
stimulasi, kasih saying, perhatian, dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada
bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat
terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat
mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan
dikemudian hari. Oleh karena itu, komunikasi yang hangat sangat penting
dalam masa ini, agar anak tidak merasa diperlakukan sebagai objek.
b. Faktor komunikasi dalam keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi penting
dalam mengembangkan gangguan tingkah laku seperti sikap
bermusuhan/hostilitas, sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-
jelekkan anak, selalu mengkritik, menyalahkan, dan anak tidak diberi
kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya, kurang kehangatan,
kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaraan anak, hubungan
yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang
terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan secara
terbuka dengan musyawarah, ekspresi emosi yang tinggi, double bind, dua
pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang membuat
bingung dan kecemasannya meningkat
c. Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga seperti
anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
d. Faktor biologis
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif. Penurunan
aktivitas neorotransmitter akan mengakibatkan perubahan mood dan
gangguan kecemasan. Menurut Townsend (2003, hlm.59) neurotransmitter
yang mempengaruhi pasien dengan isolasi sosial adalah sebagai berikut:
 Dopamin
Fungsi dopamin sebagai pengaturan mood dan motivasi, sehingga
apabila dopamin menurun pasien akan mengalami penurunan mood
dan motivasi
 Norepineprin
Norepineprin yang kurang dapat mempengaruhi kehilangan memori,
menarik diri dari masyarakat dan depresi
 Serotonin
Pasien dengan menarik diri/ isolasi sosial, serotonin cenderung
menurun sehingga biasanya dijumpai tanda tanda seperti lemah, lesu
dan malas melakukan aktivitas
 Asetokolin
Apabila terjadi penurunan asetokolin pada pasien dengan isolasi sosial
cenderung untuk menunjukkan tanda-tanda seperti malas, lemah dan
lesu.
2. Faktor presipitasi
a. Faktor eksternal
Stress sosiokultural : Stress dapat ditimbulkan oleh karena menurunya
stabilitas unit keluarga seperti perceraian, berpisah dari orang yang berarti,
kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dan
dirawat di rumah sakit atau di penjara. Semua ini dapat menimbulkan
isolasi sosial.
b. Faktor internal
Stress Psikologis : Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya.Tuntutan untuk
berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tingkat tinggi.
F. Penilaian Terhadap Stressor
Rasa sedih karena suatu kehilangan atau beberapa kehilangan dapat sangat
besar sehingga individu tidak tidak mau menghadapi kehilangan dimasa depan,
bukan mengambil resiko mengalami lebih banyak kesedihan. Respon ini lebih
mungkin terjadi jika individu mengalami kesulitan dalam tugas perkembangan
yang berkaitan dengan hubungan (Stuart, 2007, hlm. 280).
G. Sumber Koping
Menurut Stuart (2007, hlm. 280) sumber koping yang berhubungan dengan
respon sosial maladaptif adalah sebagai berikut :
1) Keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luas dan teman.
2) Hubungan dengan hewan peliharaan yaitu dengan mencurahkan perhatian
pada hewan peliharaan.
3) Penggunaan kreativitas untuk mengekspresikan stres interpersonal (misalnya:
kesenian, musik, atau tulisan)
Menurut Stuart & Laraia (2005, hlm. 432 ) terkadang ada beberapa orang
yang ketika ada masalah mereka mendapat dukungan dari keluarga dan teman
yang membantunya dalam mencari jalan keluar, tetapi ada juga sebagian orang
yang memiliki masalah, tetapi menghadapinya dengan menyendiri dan tidak mau
menceritakan kepada siapapun, termasuk keluarga dan temannya.
H. Mekanisme Koping
Menurut Stuart (2007, hlm. 281) Individu yang mengalami respon sosial
maladaptif menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya mengatasi ansietas.
Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik
yaitu sebagai berikut:
1) Proyeksi merupakan Keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan
emosi kepada orang lain karena kesalahan sendiri( Rasmun, 2004, hlm. 35).
2) Isolasi merupakan perilaku yang menunjukan pengasingan diri dari
lingkungan dan orang lain (Rasmun, 2004, hlm. 32).
3) Spiliting atau memisah merupakan kegagalan individu dalam
menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk (Rasmun, 2001, hlm.
36).
I. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri Menyendiri Menarik diri

Otonomi Otonomi Ketergantungan

Bekerja sama Bekerja sama Manipulasi

Interdependen Interdependen Curiga

Berdasarkan gambar rentang respon sosial di atas, menarik diri termasuk


dalam transisi antara respon adaptif dengan maladaptif sehingga individu
cenderung berfikir kearah negatif.
1. Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma sosial dan kultural
dimana individu tersebut menjelaskan masalah dalam batas normal.
a. Menyendiri (Solitude)
Respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah
dilakukan di lingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara mengevaluasi
diri dan menentukan langkah berikutnya
b. Otonomi
Kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide
pikiran dan perasaan dalam hubungan social
c. Bekerjasama (Mutuality)
Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut
mampu untuk saling memberi dan menerima, merupakan kemampuan
individu yang saling membutuhkan satu sama lain
d. Interdependen
Kondisi saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal
2. Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan
kebudayaan suatu tempat.
a. Menarik diri
Seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara
terbuka dengan orang lain, merupakan gangguan yang terjadi apabila
seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain untuk
mencari ketenangan sementara waktu
b. Ketergantungan (Dependen)
Terjadi bila individu gagal mengembangkan rasa percaya diri atau
kemampuannya untuk berfungsi secara sukses sehinggan tergantung
dengan orang lain
c. Curiga
Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain
d. Manipulasi
Seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu, hubungan
terpusat pada masalah pengendalian dan berorientasi pada diri sendiri atau
pada tujuan, bukan berorientasi pada orang lain sehingga tidak dapat
membina hubungan sosial secara mendalam
e. Impulsif
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan
cenderung memaksakan kehendak.
f. Narcissisme
Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan
penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah
jika orang lain tidak mendukung
J. Penatalaksanaan
1. Terapi Psikofarmaka
a. Chlorpromazine
b. Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai
realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial dan tilik diri
terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental: faham, halusinasi.
Gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya
berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja,
berhubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. Mempunyai efek
samping gangguan otonomi (hypotensi) antikolinergik/parasimpatik, mulut
kering, kesulitan dalam miksi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra
okuler meninggi, gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal
(distonia akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan endoktrin
(amenorhe). Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya
untuk pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati,
penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
c. Haloperidol (HLP)
d. Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental serta
dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek samping seperti
gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung tersumbat mata kabur ,
tekanan infra meninggi, gangguan irama jantung. Kontraindikasi terhadap
penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
e. Trihexyphenidil (THP)
f. Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan idiopatik,
sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan fenotiazine.
Memiliki efek samping diantaranya mulut kering, penglihatan kabur,
pusing, mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi, takikardia, dilatasi,
ginjal, retensi urine. Kontraindikasi terhadap hypersensitive
Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut sempit, psikosis berat
psikoneurosis (Andrey, 2010).
2. Terapi Individu
Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat diberikan
strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan masing-masing
strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu, perawat
mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan pasien mengenai
keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan tidak berinteraksi dengan
orang lain, mengajarkan cara berkenalan, dan memasukkan kegiatan latihan
berbiincang-bincang dengan orang lain ke dalam kegiatan harian. Pada SP
dua, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi
kesempatan pada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang,
dan membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat
mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan untuk
berkenalan dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan pasien
memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk. 2008)
3. Terapi kelompok
Menurut (Purba, 2009), aktivitas pasien yang mengalami ketidakmampuan
bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Activity Daily Living (ADL)
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
sehari-hari yang meliputi:
1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien sewaktu
bangun tidur.
2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk
tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.
3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan
mandi dan sesudah mandi.
4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan
berganti pakaian.
5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu,
sedang dan setelah makan dan minum.
6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan
kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan
pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan dapat
menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak menggunakan/
menaruh benda tajam sembarangan, tidak merokok sambil tiduran,
memanjat ditempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.
8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk pergi
tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini perlu
diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang muncul
padagangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala insomnia
(gangguan tidur) tetapi bagaimana pasien mau mengawali tidurnya.
b. Tingkah laku sosial
Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial pasien
dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:
1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya menegur
kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.
2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk
melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa,
menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan
sebagainya.
3) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu berbicara
dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai
tanda adanya kesungguhan dalam berkomunikasi.
4) Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kemampuan
bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).
5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan
ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.
6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama
atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.
7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang bersifat
mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak
meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan
dan sebagainya.
BAB II
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Asuhan Keperawatan
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor
presipitasi, penilaian stressor , suberkoping yang dimiliki klien. Setiap
melakukan pengajian ,tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat isi
pengkajian meliputi:
1. Identitas klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama,
tangggal MRS , informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat
klien.
2. Keluhan utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi
kurang atau tidak ada , berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang
lain ,tidak melakukan kegiatan sehari – hari , dependen.
3. Factor predisposisi
Kehilangan , perpisahan , penolakan orang tua ,harapan orang tua yang tidak
realistis ,kegagalan / frustasi berulang , tekanan dari kelompok sebaya;
perubahan struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus
dioperasi , kecelakaan dicerai suami , putus sekolah ,PHK, perasaan malu
karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan , tituduh kkn, dipenjara tiba –
tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif
terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
4. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB, BB) dan
keluhan fisik yang dialami oleh klien.
5. Aspek Psikososial
6. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
7. Konsep diri
a. Citra tubuh
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak
menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi.
Menolak penjelasan perubahan tubuh , persepsi negatip tentang tubuh .
Preokupasi dengan bagia tubuh yang hilang , mengungkapkan keputus
asaan, mengungkapkan ketakutan.
b. Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri , sukar menetapkan keinginan dan tidak
mampu mengambil keputusan.
c. Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit , proses
menua , putus sekolah, PHK.
d. Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya : mengungkapkan
keinginan yang terlalu tinggi
e. Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri ,
gangguan hubungan sosial , merendahkan martabat , mencederai diri, dan
kurang percaya diri.
6. Status mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata , kurang
dapat memulai pembicaraan , klien suka menyendiri dan kurang mampu
berhubungan dengan orang lain , Adanya perasaan keputusasaan dan kurang
berharga dalam hidup.
7. Kebutuhan persiapan pulang
a. Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
b. Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan
WC,membersikan dan merapikan pakaian.
c. Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
d. Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan
diluar rumah
e. Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
8. Mekanisme koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada
orang orang lain( lebih sering menggunakan koping menarik diri).
9. Aspek medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT,
Psikomotor, therapy okopasional, TAK , dan rehabilitas.
B. Pohon Masalah
Skema pohon masalah isolasi social adalah sebagai berikut:

Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Defisit Perawat Diri Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi

Malas Beraktifitas Isolasi Sosial

Gangguan Konsep Diri : HDR

Mekanisme Koping Tidak Efektif


C. Diagnosa Keperawatan
1. Diagnosa utama : Isolasi Sosial
2. Diagnosa lain yang menyertai diganosa isolasi social menurut Kusumawati
dan Hartono (2010) adalah sebagai berikut:
a. Kerusakan integritas social : Menarik diri
b. Gangguan Persepsi sensori : Halusinasi Pendengaran
c. Resiko Prilaku kekerasan terhadap diri sendiri
d. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
e. Koping individu tidak efektif
f. Defisit Perawatan Diri
D. Rencana Asuhan Keperawatan
Menurut Izzudin (2005), intervensi keperawatan untuk pasien dengan isolasi
social adalah:
1. Tujuan :
a. Pasien dapat membina hubungan saling percaya
b. Pasien dapat menyadari penyebab interaksi social
c. Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain
d. Pasien menunjukkan keterlibatan social
2. Intervensi keperawatan untuk pasien
Intervensi keperawatan untuk pasien menurut Keliat dan Akemat (2010)
adalah sebagai berikut:
a. Membina hubungan saling percaya
b. Membantu pasien mengenal penyebab isolasi social yaitu dengan cara:
1) Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan
orang lain
2) Tanyakan penyebab pasien tidak ingin berinteraksi dengan orang lain
c. Bantu pasien untuk mengenal manfaat berhubungan dengan orang lain
dengan cara mendiskusikan manfaat jika pasien memiliki banyak teman
d. Membantu pasien mengenal kerugian jika tidak berhubungan dengan
orang lain yaitu dengan cara:
1) Diskusikan kerugian jika pasien hanya mengurung diri dan tidak
bergaul dengan orang lain
2) Jelaskan pengaruh isolasi social terhadap kesehatan fisik klien
e. Membantu pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap yaitu
dengan cara:
1) Memberikan kesempatan pada pasien memperhatikan cara berintraksi
dengan orang lain yang dilakukan dihadapan perawat
2) Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan teman sekamarnya
3) Jika pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah
interaksi dengan 2,3 atau lebih orang disekitarnya
4) Berilah pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan
oleh pasien
5) Motivasi pasien untuk terus berinteraksi dengan orang lain dan
tingkatkan jadwal aktivitas pasien secara bertahap
3. Intervensi Keperawatan untuk Keluarga
a. Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
b. Jelaskan tentang masalah isolasi social dan dampaknya, penyebab isolasi
social, dan cara-cara merawat pasien dengan isolasi social
c. Bantu keluarga mempraktekkan cara merawat dan diskusikan masalah
yang dihadapi
d. Susun rencana pulang bersama keluarga
Daftar Pustaka
Izzudin. 2005. Buku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Keliat, 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri, Edisi
3. Jakarta : EGC
Kusumawati dan Hartono. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Jakarta : Salemba
Medika
Maramis, W.f. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya : Airlangga
University Press
Rasmun. 2001. Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatrik Terintegrasi Dengan
Keluarga, Edisi I. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai