Anda di halaman 1dari 14

PENYUSUNAN LANDASAN TEORITIS DALAM KAJIAN LIVING

QUR’AN

A. Pendahuluan
Living Qur’an adalah kajian atau penelitian ilmiah tentang berbagai peristiwa sosial

terkait dengan kehadiran Qur’an dan keberadaan Qur’an di sebuah komunitas muslim tertentu.2
Qur’an diinginkan untuk tidak hanya dikenal atau dimengerti sebagai sebuah kitab suci saja,
tetapi juga sebuah kitab yang isinya terwujud atau berusaha untuk diwujudkan dalam kehidupan

sehari- hari.3

3Heddy Shri Ahimsa, “The Living Al Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi,” 236.

1
B. The Living Al Qur’an

Sejumlah peneliti sebenarnya telah memberikan banyak mengenai definisi dari The Living
al-Qur’an Syamsuddin misalnya, mengatakan bahwasannya teks Qur’an yang “hidup” dalam
masyarakat itulah yang disebut dengan living Qur’an. Sementara pelembagaan hasil penafsiran
tertentu dalam suatu cakupan masyarakat disebut dengan “The living Tafsir”. Kemudian apakah
yang dimaksud dengan “Teks Qur’an yang hidup dalam masyarakat?” tidak lain merupakan
suatu bentuk respons masyarakat terhadap teks Qur’an dan hasil penafsiran seseorang. Termasuk
dalam pengertian respons masyarakat adalah resepsi mereka terhadap teks tertentu dan hasil
penafsiran tertentu. Sedangkan penulis lain M. Mansur berpedapat bahwa pengertian The Living
Qur’an sebenarnya berawal dari Qur’an in everyday life, yang tidak lain adalah fungsi Qur’an
yang riil dilakukan dan dialami oleh seluruh masyarakat muslim. Living Qur’an juga dapat
diartikan sebagai sebuah fenomena yang timbul atau yang hidup di tengah kalagan masyarakat
muslim terkait dengan Qur’an ini sebagai objek studinya. Oleh karena itu objek kajian living
Qur’an dapat diartikan sebagai suatu bentuk kajian mengenai berbagai peristiwa sosial terkait

dengan kehadiran Qur’an dan keberadaan Qur’an disebuah komunitas muslim tertentu.7
Dalam kajian agama, kajian living Qur’an adalah bagian dari kajian lived religion,
practical religion, popular religion, lived Islam yang bertujuan untuk menggali bagaimana
manusia dan masyarakat memahami dan menjalani agama mereka, untuk tidak mengutamakan
kaum elit agama (pemikir, otoritas agama, pengkhotbah dan sebagainya). Metode-metode
saintifik sosial memiliki wilayah kajian agama dan para sarjana beralih dari kajian-kajian naskah
kepada kajian-kajian masyarakat beriman pada masa kini (present-day living communities of
faith). Dalam kitab suci perbandingan (comparative scripture), living Qur’an menjadi kajian the
uses of scripture, yang belum begitu berkembang. Kajian-kajian antropologis umumnya
melakukan pendekatan aspek praktis pemahaman dan pengamalan agama, seperti symbol, mitos,
ritual, samanisme, magis tapi belum banyak yang membahas aspek pemahaman.penggunakan,
dan pengamalan kitab suci dalam kehidupan sehari-hari.
Ada tiga macam penggunaan kitab suci:Pertama, penggunaan kognitif, pemikiran dan
pemahaman tentang kata dan maknanya penggunaan kognitif ini mencakup beberapa macam
salah satu nya kitab suci menjadi sumber membangun dan mempertahankan doktrin-doktrin atas
ajaran-ajaran, kebenaran-kebenaran tentang siesta dan cara yang benar untuk hidup di

dalamnya.8
2
Kedua, penggunaan non kognitf kitab suci terjadi dalam banyak situasi, kitab suci di
pajang di rumah-rumah dan bangunan-bangunan publik, dan ditulis dalam kaligrafi. Selain itu
kitab suci memiliki kekuatan memberikan berkah, menyembuhkan penyakit dan penolak bala
dan kejahatan, digunakan sebagai mantra dan jimat, ketika diam dan juga ketika bepergian.Bagi
umat Dao, misalnya, kitab suci Dao diletakkan pendetanya di tangan ibu yang sedang melahirkan
agar di berikan kemudahan. Dalam tradisi Islam, kitab suci Qur’an atau potongan ayat digunakan
atau dibacakan kepada orang yang sakit. Ketika kitab suci digunakan untuk
7Heddy Shri Ahimsa, “The Living Al Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi,” 237–38.

8Muhamad Ali, “Kajian Naskah Dan Kajian Livin Qur’an Dan Living Hadits,” 150–52.

3
memperkirakan masa depan dan membimbing orang bersangkutan bagaimana menghadapi masa
depan itu. Orang Shikh misalnya membuka halaman berapa saja dari kitab guru girant pada satu

hari dan menjadikannya sebagai petunjuk kehidupan pada hari itu.9

9Ibid., 151.

Pendekatan living Qur’an menekankan fungsi aspek Qur’an sebagai petunjuk dan rahmat
bagi manusia dan orang beriman, tetapi ini juga bisa memasukkan peranan Qur’an dalam
berbagai konteks dan kepentingan kehidupan, baik yang beriman maupun yang tidak beriman.
Pendekatan ini juga mengkaji dan menekankan produk penafsiran dan relevansinya bagi
persoalan kini dan di sini. Dalam kaitan ini Qur’an yang dibaca dalam kegiatan sehari-hari
muslim menjadi bagian dari kajian living Qur’an bagi muslim yang bertujuan menjadikan Qur’an
tetap relevan di zaman sekarang. Perspektif living Qur’an menjadikan Qur’an lebih membumi.
Kajian living Qur’an yang berorientasi akademis ilmiah, tidak terlalu memperhatikan
perdebatan otentisitas Qur’an, perdebatan perbedaan metode, dan produk tafsir zaman klasik,
pertengahan dan modern, dan perdebatan pemaksaan dan bukan pemaksaan. Dalam kajian living
Qur’an tidak ada perhatian pada penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran Qur’an seperti
yang ditulis Muhammad Husain al-Zhahabi. Al-Zhahabi menguraikan penyimpangan-
penyimpangan tafsir sejarawan, ahli tata bahasa arab, mu’tazilah, syiah imammiyah, khawarij,

sufi, ilmuan dan pembaharu.13Penulis yang lain lagi Muhammad yusuf, mengatakan bahwa
respons sosial; terhadap Qur’an dapat dikatakan living Qur’an. Baik itu living Qur’an dilihat
masyarakat sebagai ilmu dalam wilayah profane (tidak keramat) di satu sisi dan sebagai buku
petunjuk (huda) dalam yang bernilai sakral di sisi yang lain.
Studi mengenai living Qur’an adalah studi tentang Qur’an tetapi tidak bertumpu pada
eksistensi tekstualnya. Melainkan studi tentang fenomena sosial yang lahir dengan kehadiran al-
Qur’an dalam wilayah geografi tertentu yang mungkin masa tertentu pula. Menawarkan The
Living Qur’an sebagai objek kajian pada dasarnya adalah menawarkan fenomena tafsir atau
penulisan Qur’an dalam arti yang lebih luas daripada yang selama ini dipahami, untuk dikaji
dengan menggunakan perspektif yang jug lebih luas, lebih bervariasi. Sementara itu, mengusung
pemaknaan gejala sosial budaya ke kancah sebuah perbincangan.

Di tengah- tengah antara manusia yang merupakan animal syimbolicum, sebuah benda
seperti kitab Qur’an tidak dapat hadir tanpa makna. Begitu pula perlakuan manusia terhadap
8
Qur’an sebagai sebuah jaringan dan sebuah susunan simbol-simbol, yaitu huruf-huruf Arab,
sebuah teks, demikian pula halnya dengan berbagai macam perlakuan manusia terhadap Qur’an
sebagai jaringan dan susunan simbol. Dari sudut pandang ini, The Living Al Qur’an adalah
sebuah jagad simbolis, sebuah syimbolic universe, dan juga sebuah teks, yang dapat dimaknai.
Sebagai sebuah sistem simbol, Qur’an tidak hanya dijadikan objek penafsiran para ahli tafsir,
tetapi juga ditafsirkan oleh setiap muslim, dan bahkan juga oleh mereka yang non muslim.
Dilihat dari perspektif antropologi, setiap individu sebagai animal symbolicum adalah seorang
penafsir. Masing-masing individu tentu memiliki kerangka pemaknaannya sendiri, sehingga
tafsir masing-masing individu adalah benar atau masuk akal dalam kerangka tafsir yang
digunakan. Oleh karena itu pula, disini tidak ada lagi tafsir yang dianggap paling benar. Dengan

demikian setiap individu dapat belajar dari individu lain tentang tafsir-tafsir yang berbeda.15
Dialektika antara Al Qur’an dengan realita akan banyak melahirkan beragam penafsiran.
Ragam penafsiran ini pada gilirannya akan melahirkan wacana dalam ranah pemikiran, serta
tindakan reaksis dalam kehidupan social. Farid Esack dalam bukunya The Qur’an: a Short
Introduction menegaskan, Qur’an fulfilis many of function on lives of muslims. Pendapat ini
benar adanya Al Qur’an memang mampu memenuhi banyak fungsi dalam kehidupan umat
muslim. Dalam ranah publik, Qur’an bisa berfungsi sebagai pengusung perubahan, pembebas
masyarakat tertindas, pencerah masyarakat dari kegelapan dan kejumudan, pendobrak sistm
pemerintahan yang zalim dan amoral, penebar semangat emansipasi dan penebar transformasi

15Ibid., 241.

9
masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Sedangkan dalam ranah privat, Qur’an bisa
menjadi syifa (obat penawar, pemberi solusi) untuk pribadi yang tengah dirundung kesedihan,
tertimpa musibah serta ditimpa persoalan hidup. Dalam hal ini ayat-ayat Qur’an berperan sebagai
terapi psikis, penawar dari persoalan hidup yang dialami seseorang. Jiwa yang sebelumnya
merasa resah gelisah menjadi tenang ketika membaca dan meresapi ayat-ayat tersebut.
Di sisi lain, ada juga yang menjadikan ayat atau surat tertentu sebagai shifa atau obat
dalam arti yang sesungguhnya, yaitu untuk mengobati penyakit fisik. Salah satu ayat yang
diyakini bisa dijadikan obat untuk me-ruqyah orang yang sakit.
Haddy Shri ahimsa Putra mengklasifikasikan pemaknaan terhadap teori living Qur’an
menjadi tiga katagori. Pertama, living Qur’an adalah sosok Nabi Muhammad saw yang
sesungguhnya. Hal ini didasarkan pada keterangan Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Nabi
Muhammad saw yang sesungguhnya. Maka beliau menjawab bahwa akhlak Nabi saw adalah
Qur’an. Dengan demikian Nabi Muhammad saw adalah “Qur’an yang hidup”atau living Qur’an
kedua, ungkapan living Qur’an juga bisa mengacu kepada masyarakat yang kehidupan sehari-
harinya menggunakan Qur’an sebagai kitab acuannya. Mereka hidup dengan mengikuti apa-apa
yang di perintahkan oleh Qur’an dan menjauhi hal-hal yang dilarang di dalamnya sehingga
masyarakat tersebut seperti Qur’an yang hidup. Qur’an yang mewujud dalam kehidupan sehari
hari mereka. Ketiga ungkapan tersebut dapat berarti Qur’an bukanlah hanya sebuah kitab, tetapi
sebuah kitab yang hidup yaitu yang perwujudan dalam kehidupan sehari-harinya begitu terasa

dan nyata, serta beraneka ragam, tergantung pada bidang kehidupannya.18


18Dedi Junaedi, “Living Qur’an: Sebuh Pendekatan Baru Dalam Kajian Al-Qur’an,” 173.

10
1. Observasi

Dalam melakukan penelitian, observasi adalah salah satu cara untuk memperoleh data
dengan akurat. Secara umum observasi diartikan dengan mengamati dalam rangka memahami,
mencari jawaban, serta mencari bukti terhadap fenomena sosial tanpa mempengaruhi fenomena
yang diobservasi.
Observasi adalah pengumpulan data langsung dari lapangan, data yang diobservasi bisa
berupa gambaran tentang sikap perilaku serta tindakan kesalahan interaksi antar manusia. Data
observasi bisa hanya terbatas pada interaksi antar masyarakat tertentu.
Proses observasi dimulai dengan mengidentifikasi tempat yang akan diteliti. Dilanjutkan
dengan penelitian sehingga diperoleh gambaran umum tentang sasaran penelitian, kemudian
menentukan siapa yang akan diobservasi, kapan, berapa lama dan bagaiamana.
Dalam ranah penelitian living Qur’an ini, metode observasi memegang peranan yang
sangat penting, yang akan memberikan gambaran situasi riil di lapangan.
Observasi partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang
digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana

observer atau peneliti benar-benar terlihat dalam keseharian responden.19


Observasi tidak terstruktur adalah observsi yang dilakukan tanpa menggunakan guide
observasi. Pada observasi ini peneliti atau pengamat harus mampu mengembangkan daya
pengamatannya dalam mengamati suatu objek.Kemudian observasi kelompok, adalah observasi
yang dilakukan secara berkelompok mengenai sesuatu atau beberapa objek sekaligus.Dalam hal
ini peneliti dapat menjadi observer yang aktif artinya peneliti bisa menjadi bagian dalam
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat yng menjadi objek penelitian. Dengan cara seperti ini,
maka penelitin akan jauh lebih leluasa untuk mendapat data penelitian karena telah dianggap
menjadi bagian dari masyarakat yang menjadi objek dalam suatau penelitian tersebut. Dan
kemudian si peneliti tidak akan dicurigai karena akan mengganggu praktek atau ritual yang biasa
dilakukan oleh masyarakat setempat.

19Muhamad Ali, “Kajian Naskah Dan Kajian Livin Qur’an Dan Living Hadits,” 219.

12
2. Wawancara

Wawancara adalah sutu proses dalam pengumpulan data melalui cara Tanya jawab antara
narasumber dan si pencari berita (reporter) yang dilaksanakan dengan cara yang sistematis dan
berlandaskan kepada kepentingan penelitian. Metode wawancara dalam penelitian living qur’an
adalah sesuatu yang niscaya. Seorang peneliti tidak akan mendapatkan data atau informasi yang
akurat dari sunber utamanya. Jika dalam peneliyian aktivitas yang berkaitan dengan fenomena
living qur’an di suatu komunitas tertentu, tidak melakukan wawancara dengan poresponden atau
partisipan.
Dalam penelitian living qur’an yang bertujuan untuk mengetahui fenomena interaksi
masyarakat dengan Al Qur’an maka metode wawancara ini sangat mutlak diperlukan. Jika
seorang peneliti ingin melkukan penelitian tentang oraktek pembacaan surat tertentu di dalam Al
Qur’an yang harus dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat tertentu, maka seorang peneliti
dalam melakukan wawancara dengan para responden atau partisipan yang terlihat dalam
pelaksanaan ritual tersebut.
Peneliti bisa menanyakan apa tujuan dari ritual pembacaan surat atau ayat tersebut, apa
motivasinya, kapan pelaksanaannya, berapa kali dibaca, siapa saja peserta nya, dari mana sumber
dananya, apa saja factor pendukung serta factor penghambatnya, serta bagaimanakah dampak
yang di timbulkan atau pengaruh nya terhadap kehidupan kita sehari-hari. Serta pertanyaan
lainnya yang relevan dengan maksud dan tujuan penelitian. Untuk mendapatkan jawaban yang
akurat dan valid, maka seseorang peneliti sudah harus menentukan tokoh-tokoh kunci yang akan
diwawancarai dan digali informasinya. Mereka inilah yang dianggap memiliki data yang akurat
dan valid mengenai ritual yang menjadi objek penelitian kita.Mereka bisa para tokoh agama,
tokoh masyarakat, sesepuh, para pendiri kegiatan, pengurus kegiatan ritual tersebut, dan bisa
juga para jamaah atau anggota yang masuk dalam lingkup ritual tersebut.
3. Dokumentasi

Metode dokumentasi merupakan salah satu alam pengumpulan data dengan cara
menghimpun serta menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun
dokumen elektrik. Penelitian mengenai living qur’an tentang ritual keagamaan yang terjadi di
masyarakat akan semaki kuat apabila disertai dengan dokumentasi. Dokumentasi yang dimaksud
bisaberupa dokumen tertulis, seperti agenda kegiatan, tempat kegitan, daftar hadir peserta, materi

13
kegiatan, tempat kegiatan dan sebagainya. Bisa juga dengan dokumen yang tervisualisasikan
seperti dalam bentuk foto, rekaman dalam bentuk video, maupun bisa juga menggunakan bentuk
audio.
Dengan melihat dokumen tersebut yang ada, maka peneliti akan dapat mengamati dan melihat
perkembangan kegiatan tersebut dari waktu ke waktu. Sehingga peneliti akan mampu
menganalisa bagaimanakah respon masyarakat dengan adanya kegiatan ritual tersebut.

Urgensi penelitian living Qur’an

Selama ini kajian tentang Qur’an lebih di tekankan kepada aspek tekstual dari pada aspek
kontekstual. Dari hasil kajian ini maka munculah karya yang berupa tafsir atau buku yang ditulis
oleh para pengkaji Qur’an tersebut. Mainstream kajian Qur’an selama ini memberi kesan bahwa
tafsir harus dipahami secara teks yang tersurat dalam berbagai karya ulama dan sarjana muslim.
Padahal kita semua mafhum bahwa Qur’an tidak hanya terbatas pada suatu bentuk teks semata.
Tetapi, ada konteks lain yang melingkupinya. Dengan demikian, maka sesungguh nya sebuah
penafsiran itu bisa berupa tindakan, sikap serta perilaku masyarakat yang merespons kehadiran

Qur’an sesuai dengan tingkat pemahamannya masing-masing.20


Respons masyarakat terhadap ajaran-ajaran serta nilai-nilai Qur’an yang kemudian mereka
aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari, masih sangat kurang mendapatkan perhatian dari
para pengkaji Qur’an. Pada titik inilah pengkajian serta penelitian living Qur’an menemukan
relevansi dan urgensinya. Kajian dalam bidang living Qur’an ini memberikan kontribusi yng
sangat signifikan bagi pengembangan study Qur’an. Penelitian living Qur’an ini sangatlah
penting untuk kepentingan di bidang dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sehingga mereka
lebih maksimal dalam mengapresiasi Qur’an. Urgensi dari living Qur’an yang lainnya adalah
menghadirkan paradigma baru dalam kajian Qur’an kontemporer, sehingga studi Qur’an tidak
hanya berkutat pada wilayah kajian teks saja. Pada wilayah living Qur’an kajian tafsir akan lebih
banyak mengapresiasi respons dan tindakan masyarakat terhadap kehadiran Qur’an, sehingga
tafsir tidak lagi bersifat elitis melainkan bersifat emansipatoris yang mengajak partisipasi

masyarakat.21

14
20 Dedi Wahyudi, “Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Konsep Learning

Revolution,” n.d., 12.


21 Dedi Wahyudi, “Studi Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences

Dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam,” 260.

15
Langkah-langkah penelitian living Qur’an

Kajian living Qur’an berusaha memotret fenomena sosial berupa praktek keagamaan dalam
sebuah masyarakat yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Qur’an. Dengan kata lain,
praktek-praktek ritual keagamaan berupa pembacaan ayat atau surat tertentu, misalnya seperti
yang dilakukan oleh suatu masyarakat berdasarkan keyakinan mereka yang bersumber dari hasil
interaksi mereka dengan Qur’an. Karena yang dikaji dalam living Qur’an ini fenomena sosial
maka, model penelitian yang dipakai adalah model penelitian social, dalam hal ini, metode
penelitian kualitatif lebih tepat digunakan dalam metode kajian living Qur’an ini. Untuk itu maka
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam penelitian ini merujuk pada langkah-langkah serta
prosedur penelitian kualitatif sebagai berikut:
1. Lokasi

Peneliti menjelaskan lokasi penelitian yaitu dengan menyebutkan tempat penelitian,


misalnya di sebuah desa, komunitas, kelompok, atau masyarakat tertentu. Berikutnya peneliti
mengungkapkan alasan tentang adanya fenomena living Qur’an, misalnya seperti judul peelitian:
living Qur’an di pesantren, selanjutnya peneliti mengungkapkan keunikan atau kekhasan lokasi
penelitian tersebut, yang tidak dimiliki lokasi lain yang berkaitan dengan tema yang akan

diteliti.22
2. Metode dan pendekatan

Peneliti menjelaskan metode serta pendekatan yang digunakan dalam penelitian yang akan
dilakukannya. Dalam contoh kasus penelitian diatas, misalnya maka peneliti harus
mengungkapkan bahwa metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan
menggunakan pendekatan deskriptif. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang ditujukan
untuk memahmi fenomena social dari sudut atau perspektif partisipan, partisipan adalah orang-
orang yang diajak berwawancara, diobservasi, diminta memberikan data, pendapat, pemikiran
dan persepsinya. Sedangkan pendekatan deskriptif adalah pendekatan penelitian yang bertujuan
untuk mengenali dan mempelajari secara intensif suatu unit social: individu, lembaga, kelompok
atau masyarakat.
3. Sumber data

Sumber data yang dimaksud adalah subjek dari mana data itu di peroleh. Subjek atau
sumber data tersebut antara lain:

16
22 Siti Fajriah, “Al-Falah Dan Al-Farah (Studi Ma’anil Qur’an Dan Tafsir Tematik Dalam Tafsir Al-

Azhar,” 110.

17
a. Pimpinan pondok

b. Pengurus pon-pes

c. Kyai atau ustaz pon-pes

d. Santri di pon-pes

e. Masyarakat di sekitar lingkungan pon-pes

4. Metode pengumpulan data

Untuk mendapatkan daa-data yang terkait dengan tema penelitian digunakan beberapa metode
pengumpulan data sebagai berikut:
Observasi
Wawancara
Dokumentasi
C. Penutup

Dalam tulisan ini saya mencoba menunjukkan bahwa dalam kehidupan manusia sebagai
animal symbolicum, Qur’an bukan lagi hanya sebuah kitab yang dimaknai dengan cara yang
sama, tetapi telah menjadi sebuah kitab dengan beraneka ragam pemaknaan, beraneka-ragam
tafsir. Masing-masing tafsir yang diberikan sangat dipengaruhi oleh sistem budaya yang ada
sebelum al-Qur’an itu sendiri muncul atau masuk ke dalam budaya tersebut. Dilihat dari
perspektif ini, setiap bentuk pemaknaan pada dasarnya adalah sah dan dapat dibenarkan,
sehingga tidak ada pemaknaan yang dapat dikatakan paling benar. ‘Kebenaran’ pemaknaan di
sini memang bersifat relatif. Mengingat Qur’an secara empiris merupakan sebuah perangkat
simbol yang terdiri dari berbagai simbol berupa fonem-fonem bahasa Arab dalam tulisan Arab,
yang tersusun menjadi satuan-satuan tertentu (fonem, morfem, kata, frasa, dst. hingga juz), maka
Qur’an juga dapat didekati mengikuti satuan-satuannya, yang seringkali menimbulkan kesan
sebagai pendekatan yang sepotong-sepotong
Kehidupan manusia yang telah diwarnai atau dipengaruhi oleh apa yang ada dalam al-
Qur’an dapat kita katakan sebagai fenomena “al-Qur’anisasi kehidupan” atau “al-Qur-’an yang
hidup,” The Living al-Qur’an. Qur’anisasi kehidupan atau kehidupan yang qur’ani merupakan
wujud lain dari al-Qur’an sebagai sebuah kitab atau teks. Meskipun demikian, karena ciri-ciri
dan sifat gejala ini berbeda dengan kitab atau teks dalam arti yang sebenarnya, maka upaya-
upaya untuk mempelajari, menjelaskan atau memahaminya, memerlukan metode-metode yang
18
berbeda pula. Di sinilah kajian al-Qur’an, sebagai sebuah teks yang ‘hidup’ dalam masyarakat,
perlu memanfaatkan paradigma-paradigma yang telah berkembang dalam ilmuilmu sosial-
budaya, seperti antropologi dan sosiologi. Beberapa paradigma dalam antropologi yang dapat
digunakan untuk meneliti, menelaah, atau menafsir “al-Qur’an yang hidup” antara lain adalah
paradigma akulturasi, paradigma fungsional, paradigma struktural, paradigm fenomenologi dan
paradigma hermeneutik. Penggunaan paradigma ini tentunya menuntut pemahaman yang
memadai mengenai paradigmaparadigma ini sendiri. Masalahnya kemudian adalah, memadaikah
pengetahuan kita saat ini mengenai paradigma-paradigma tersebut? Jawabnya ada pada diri kita
sendiri.
Demikianlah pemaparan sekilas tentang Living Qur’an sebagai sebuah metode baru dalam
penelitian serta pengkajian al-Qur’an. Tentu, metode ini masih jauh dari sempurna, sehingga
pembenahan tentang metode ini sebagai salah satu alternatif dalam mengkaji al-Quran harus
terus dilakukan.
D. Referensi

Dedi Junaedi. “Living Qur’an: Sebuh Pendekatan Baru Dalam Kajian Al-Qur’an,” No.2, Vol. 4
(n.d.).
Dedi Wahyudi. “Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Konsep Learning
Revolution” Vol. 26 (n.d.).
Dedi Wahyudi, Habibatul Azizah. “Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Konsep
Learning Revolution” Vol. 26 (n.d.).
Dedi Wahyudi, Tuti Alafiah. “Studi Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple
Intelligences Dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam” Vol. 8 (n.d.).
Heddy Shri Ahimsa, Putra. “THE LIVING AL-QUR’AN: Beberapa Perspektif
Antropologi,” No.1, Vol.20 (Mei 2012).
M. Khoiril Anwar. “Living Hadits” Vol. 12 (June 2015).
Muhamad Ali. “Kajian Naskah Dan Kajian Livin Qur’an Dan Living Hadits” Vol.4 (n.d.).
Muhammad Nurudin. “Aktualisasi Pemahaman Hadits Hukum Dalam Kehidupan Global”
Vol.1 (March 2015).
Saifuddin Zuhri Qudsy. “Living Hadis: Genealogi, Teori, Dan Aplikasi,” No.1, Vol. 1 (Mei
2016). Siti Fajriah, M. Maimun. “Al-Falah Dan Al-Farah (Studi Ma’anil Qur’an Dan Tafsir
Tematik Dalam
Tafsir Al-Azhar” Vol. 4 (Desember 2016).

19

Anda mungkin juga menyukai