PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
LBM III
“ TEMAN YANG USIL “
Skenario
Seorang anak berusia 7 tahun dibawa oleh ibunya ke Klinik FK UNIZAR
karena guru sekolah mengeluh pasien sering mengganggu teman sekelasnya saat jam
pelajaran berlangsung. Selain itu pasien juga sering terlihat tidak memperhatikan
pelajaran, sering tidak menyelesaikan tugas yang diberikan. Teman-temannya juga
sering mengeluh karena sikap pasien yang usil dan sering mengganggu saat belajar
maupun saat bermain. Dirumah pasien sering menolak untuk belajar dan lebih
tertarik untuk menjalani aktivitas yang menarik perhatiannya.
2.1 Terminologi : -
2.2 Permasalahan :
2.3 Pembahasan :
1. ADHD
1.2 Epidemiologi
DSM IV memperkirakan prevalensi ADHD sebesar 3-5% di
antara anak-anak usia sekolah. Namun dari sampel anak-anak usia
sekolah yang berasal dari komunitas, diperkirakan bahwa prevalensi
ADHD sebesar 4-12%. Di USA prevalensi ADHD pada anak sebesar 3-
7%, sedangkan angka prevalensi pada anak-anak di Negara lain, seperti
Jerman, New Zealand dan Kanada dilaporkan rata-rata 5 – 10%.
1.3 Etiologi
c. Faktor Lingkungan
Saat ini tidak lagi diperdebatkan apakan ADHD disebabkan oleh
lingkungan ataukah gen, namun sekarang lebih mengarah pada
bagaimana hubungan atau interaksi yang terjadi antara faktor genetik
dan lingkungan. Dengan kata lain, ADHD juga bergantung pada
kondisi gen tersebut dan efek negatiflingkungan, bila hal ini terjadi
secara bersamaan maka dapat dikatakan bahwa lingkungan penuh
resiko. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan secara luas,
termasuk lingungan psikologis (relasi dengan orang lain, berbagai
kejadian dan penanganan yang telah diberikan), lingkungan fisik
(makanan, obat-obatan, menyinaran), lingkungan biologis ( cedera
otak, radang otak, komplikasi saat melahirkan).
A. Kurang Perhatian
B. Hiperaktivitas Impulsifitas
1) Hiperaktivitas
2. AUTISME
2.1 Definisi
Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks
menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi.
Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun.
2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali berisiko
lebih tinggi dari wanita. Sementara risiko autisme jika memiliki saudara
kandung yang juga autisme sekitar 3%. Studi lain menunjukkan, saudara
2.3 Etiologi
Autisme disebabkan karena kondisi otak yang secara struktural
tidak lengkap, atau sebagian sel otaknya tidak berkembang sempurna,
ataupun sel-sel otak mengalami kerusakan pada masa perkembangannya.
Penyebab sampai terjadinya kelainan atau kerusakan pada otak belum
dapat dipastikan, namun ada beberapa faktor yang diduga sebagai
penyebab kelainan tersebut, antara lain faktor keturunan (genetika),
infeksi virus dan jamur, kekurangan nutrisi dan oksigenasi, obat-obatan
serta akibat polusi udara, air, dan makanan banyak mengandung
Monosodium Glutamate (MSG), pengawet atau pewarna.
Gangguan atau kelainan otak tersebut terjadi sejak janin dalam
kandungann, yaitu saat fase pembentukan organ-organ (organogenesis)
pada usia kehamilan trimester pertama (0-4 bulan). Hal ini
mengakibatkan neuro-anatomis pada bagian otak berikut ini:
1) Lobus parietalis, menyebabkan anak autisme tidak peduli dengan
lingkungan sekitar
2) Serebelum (otak kecil) terutama pada lobus VI dan VII menimbulkan
gangguan proses sensoris, daya ingat, berpikir, berbahasa dan
perhatian;
3) Sistem limbik yang disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan pada
hipokampus mengakibatkan gangguan fungsi kontrol terhadap agresi
dan emosi serta fungsi belajar dan daya ingat, sehingga anak autisme
kurang dapat mengendalikan emosi, terlalu agresif atau sangat pasif,
timbulnya perilaku atau gerakan yang diulang-ulang, aneh, dan
hiperaktif serta kesulitan menyimpan informasi baru. Kelainan pada
2.4 Patofisiologi
4. Pola yang tidak seimbang pada fungsi mental dan intelektual, anak
autisme sangat peka terhadap perubahan lingkungan, dan bereaksi
secara emosional. Kemampuan intelektual sebagian besar mengalami
kemunduran atau inteligensia yang rendah dan sekitar 20 persen
mempunyai inteligensia di atas rata-rata.
3. GANGGUAN CEMAS
3.1 Definisi
Kecemasan (ansietas/anxiety) adalah gangguan alam perasaan
ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak
mengalami gangguan dalam menilai realistis (reality testing Ability),
masih baik, kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami keretakan
pribadi (spilliting personality), perilaku dapat terganggu tetapi masih
dalam batas-batas normal.
3.3 Etiologi
Diagnosis Kerja
Definisi ADHD
Epidemiologi
DSM IV memperkirakan prevalensi ADHD sebesar 3-5% di
antara anak-anak usia sekolah. Namun dari sampel anak-anak usia
sekolah yang berasal dari komunitas, diperkirakan bahwa prevalensi
ADHD sebesar 4-12%. Di USA prevalensi ADHD pada anak sebesar 3-
7%, sedangkan angka prevalensi pada anak-anak di Negara lain, seperti
Jerman, New Zealand dan Kanada dilaporkan rata-rata 5 – 10%.
Prevalensi menurut Health Maintenance Organization berkisar antara 7-9
%.
Etiologi
a. Faktor genetik (Keturunan)
Dari penelitian faktor keturunan pada anak kembar dan anak
adopsi, tampak bahwa faktor keturunan membawa peran sekitar 80%.
Dengan kata lain bahwa sekitar 80% dari perbedaan antara anak-anak
yang mempunyai gejala ADHD di kehidupan bermasyarakat akan
ditentukan oleh faktor genetik. Anak dengan orang tua yang
menyandang ADHD mempunyai delapan kali kemungkinan
mempunyai resiko mendapatkan anak ADHD. Namun, belum
diketahui gen mana yang menyebabkan ADHD.
c. Faktor Lingkungan
Saat ini tidak lagi diperdebatkan apakan ADHD disebabkan oleh
lingkungan ataukah gen, namun sekarang lebih mengarah pada
bagaimana hubungan atau interaksi yang terjadi antara faktor genetik
dan lingkungan. Dengan kata lain, ADHD juga bergantung pada
kondisi gen tersebut dan efek negatiflingkungan, bila hal ini terjadi
secara bersamaan maka dapat dikatakan bahwa lingkungan penuh
resiko. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan secara luas,
termasuk lingungan psikologis (relasi dengan orang lain, berbagai
kejadian dan penanganan yang telah diberikan), lingkungan fisik
(makanan, obat-obatan, menyinaran), lingkungan biologis ( cedera
otak, radang otak, komplikasi saat melahirkan).
Patofisiologi
Kriteria Diagnosis
A. Kurang Perhatian
B. Hiperaktivitas Impulsifitas
2) Impulsifitas
4. Riwayat sosial
B. Pemeriksaan fisik
D. Pemeriksaan Laboratorium
MRI
PET (Positron Emision Tomography)
Tatalaksana
1. Farmakoterapi (Medikamentosa)
2. Terapi perilaku
3. Kombinasi pengobatan medikamentosa dengan terapi perilaku
4. Edukasi pasien dan keluarga mengenai anak ADHD.
1) Terapi Medikamentosa
Penggunaan obat-obatan dalam terapi ADHD berperan
sebagai CNS stimulant, meliputi sediaan short dan sustained-release
seperti methylphenidate, dextroamphetamine, kombinasi
dextroamphetamine dan amphetamine salt. Salah satu keuntungan
sediaan sustained-release untuk anak-anak adalah satu dosis di pagi
hari akan bertahan efeknya sepanjang hari sehingga anak-anak tidak
perlu minum dosis kedua maupun ketiga saat kegiatan di sekolah
berlangsung. Keuntungan lain adalah dipertahankannya obat ini pada
level tertentu dalam tubuh sepanjang hari sehingga fenomena rebound
dan munculnya iritabilitas dapat dihindari. FDA (The Food and Drug
Administration) menyarankan penggunaan dextroamphetamine pada
anak-anak berusia 3 tahun atau lebih dan methylphenidate pada anak-
anak berusia 6 tahun atau lebih. Kedua obat inilah yang paling sering
dipakai untuk terapi ADHD.
Terapi second line meliputi antidepresan seperti bupropion,
venlafaxine dan juga terdiri dari Agonis reseptor α-Adrenergik seperti
clonidine dan guanfacine. Obat antidepresan sebaiknya diberikan bila
Teman yang usil Page 25
pemberian obat psikostimulan tidak efektif hasilnya untuk anak
ADHD. Psikostimulan menstimuli area yang mengalami penurunan
aktivasi hingga dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi. Ternyata
efek methylphenidate sangat baik terhadap anak ADHD dimana anak
ADHD terjadi hipofungsi dopamin dan adrenalin di sinaps,
sedangkan methylphenidate bekerja untuk menghambat reuptake
dopamin dan noradrenalin kembali ke sel syaraf. Efek
methylphenidate menstimulasi korteks serebral dan struktur sub
kortikal.
Efek samping psikostimulan yang tersering adalah insomnia,
berkurangnya nafsu makan sampai berat badan menurun, kadang-
kadang sakit kepala. Bila sebelum dan saat pengobatan anak ADHD
menunjukkan gejala sukar makan, maka perlu diberikan vitamin
untuk nafsu makan. Bila timbul efek samping sukar tidur, sebaiknya
pemberian malam hari tak dilakukan, dilakukan membaca terlebih
dahulu sebelum tidur (bedtime reading), dapat diberikan obat tidur
bila sangat diperlukan.
2) Terapi Perilaku
1. Intervensi pendidikan dan sekolah
Hal ini penting untuk membangun kemampuan belajar anak.
2. Psikoterapi
Pelatihan ADHD, suport group, atau penggunaan keduanya
pada orang dewasa dapat membantu menormalisasi gangguan dan
membantu penderita agar fokus pada informasi umum. Konselor
terapi perilaku ini dapat melibatkan psikolog, dokter spesialis
tumbuh kembang anak, pekerja sosial dan perawat yang
berpengalaman. Modifikasi prilaku dan terapi keluarga juga
dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Prognosis
Prognosis pasien ADHD umumnya baik bila:
1. Tidak ada faktor komorbid utama
2. Pasien dan yang merawatnya memperoleh cukup edukasi mengenai
ADHD dan manajemen penanganannya
3. Taat dalam melaksanakan terapi
4. Learning disabilities yang menyertai didiagnosa dan ditinjau ulang dan
ditangani.
5. Beberapa dan semua masalah emosional diinvestigasi dan ditangani
dengan baik oleh dokter umum atau pasien dirujuk ke pusat kesehatan
jiwa yang profesional.
3.1 Kesimpulan
Maramis, WF. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa : Gangguan Perilaku Anak.
Cetakan ketujuh. Surabaya: Airlangga University