Anda di halaman 1dari 24

BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.K
Umur : 60 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Bangsa/suku : Makassar
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. Kumala
Tanggal Pemeriksaan : 19 September 2017

ANAMNESIS
Keluhan utama : Batuk
Anamnesis Terpimpin : Batuk dialami sejak 1 bulan yang lalu memberat 3 hari
terkhir. Lendir ada berwarna hijau tanpa disertai darah. Keluhan ini sudah berulang
kali dialami sejak 1 tahun yang lalu dan telah berobat kemudian sembuh dan sakit
kembali. Pasien pernah diperiksa dahaknya sekitar sebulan lalu namun hasilnya
negatif.
Anamnesis Sistematis :
Pasien kadang menggigil namun kurang jelas waktu-waktu kapan saja, berkeringat
malam disangkal, pasien merasa lemas dan cepat lelah. Pasien merasa sesak pada
waktu-waktu tertentu dan utamanya saat beraktifitas harian seperti mencuci baju dan
agak membaik jika beristirahat namun keluhan tidak sepenuhnya hilang. Sakit kepala
tidak ada, pusing tidak ada, mual tidak ada, muntah muntah tidak ada, nafsu makan
makan baik namun menurut pasien beratnya menurun tapi tidak pernah timbang
badan. BAB lancar, BAK biasa.
Riw. Penyakit Sebelumnya :
Sebelum keluhan saat ini, pasien jarang sakit atau pun dirawat dengan penyakit
tertentu. Riwayat hipertensi juga tidak diketahui karena jarang cek tekanan darah.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Dalam keluarga tidak ada yang menderita keluhan batuk lama seperti seperti yang
dialami pasien. Begitu juga dengan orang tua pasien yang sudah meninggal dunia
tidak mengalami keluhan yang sama.

PEMERIKSAAN FISIS
a. Keadaan Umum
Sakit : Sedang
Kesadaran : Compos mentis | GCS = E4 M6 V45
Gizi : BB : 58 TB : 170 | IMT: 177,4 (kurang)
b. Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/80 mm Hg
Nadi : 108 kali/menit
Pernafasan : 24 kali/menit
Suhu : 36,5oC
c. Kepala
Bentuk Kepala
Konjungtiva : Tidak ada anemis
Sklera : Tidak ada ikterus
Lagoftalmus : Tidak ada
Ptosis : Tidak ada
Exopthalmus : Tidak ada
Pupil : 2,5 mm/2,5 mm
Bibir : Sianosis tidak ada
Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada
Jejas : Tidak ada
d. Leher
Pembesaran KGB : Tidak ada
Trakea : Dalam batas normal
JVP : + 2 cm
e. Thoraks
Paru
- Inspeksi : Normochest, simetris kiri kanan, pengembangan ikut
gerak nafas, retraksi ada di daerah intercostal dan supraclavicular
- Palpasi : Vocal fremitus sama kiri kanan, Massa tumor tidak
ada, Nyeri tekan tidak ada
- Perkusi : Sonor
- Auskultasi : Bunyi Nafas Vesikuler, Rhonki tidak ada, Wheezing
+|+
Jantung
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
- Palpasi : Thrill tidak terab
- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : Bunji jantung murni reguler, Bising tidak ada, Suara
tambahan tidak ada
Abdomen
- Inpeksi : Dalam batas normal
- Palpasi : Massa tumor tidak ada, nyeri tekan tidak ada, hepar
dan lien tidak teraba
- Perkusi : Tympani
- Auskultasi : Peristaltik ada kesan normal
Ekstremitas
- Edema tidak ada, deformitas tidak ada
f. Status Psychicus
- Cara berpikir dan tingkah laku : Dalam batas normal
- Kecerdasan, perasaan hati dan ingatan : Dalam batas normal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto X Ray Thorax
- Kesan : PPOK

RESUME
Pasien datang dengan batuk sejak 1 tahun terakhir memberat beberapa hari terakhir
disertai lendir berwarna hijau yang berulang. Pasien merasa sesak, terutama saat
beraktifitas harian. Pasien perah dirawat dengan keluhan yang sama kemudian
sembuh dan sakit kembali. Pasien memiliki riwayat merokok sejak urang lebih 20
tahun, sebungkus sehari, sudah berhenti sejak 1 tahun lalu. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan status gizi kurang, dengan IMT = 17,4, tanda vital Nadi = 88 kali/menit,
Suhu = 36,70 C, Nafas = 24 kali/menit, dan Tekanan darah = 110/80 mmHg.
Didapatkan wheezing = +|+. Pada pemeriksaan radigrfi x ray thoraks didapatkan
kesan PPOK.
DIAGNOSIS
- PPOK

PENATALAKSANAAN
- Symbicort /6 jam/inhalasi
- Paracetamol 500 mg/8 jam/oral
- Amoxicilin 500 mg/8 jam/oral
PROGNOSIS
Ad Functionam : Dubia ad malam
Ad Sanationam : Dubia ad malam
Ad Vitam : Dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Bedasarkan GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Diseases) yang dikeluarkan oleh WHO (World Health Organization) dan
merujuk pada definisi bahasa Indonesia dalam buku Pedoman Praktis
Diagnosis dan penatalaksaan di Indonesia dari PDPI yang telah direvisi pada
2010, PPOK merupakan penyakit paru yang dapat icegah dan ditanggulangi,
ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat
progresif dan berhubungan denganrespons inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi
terhadap derajat berat penyakit. Kelainan saluran napas yang ditandai oleh
batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya
dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.2,3
Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan istilah yang mengacu
pada sekelompok besar penyakit paru yang dicirikan sebagai obstruksi aliran
udara yang mengganggu pernafasan normal. Emfisema dan bronkhitis kronik
merupakan kondisi paling penting yang membentuk PPOK dan biasanya
terjadi secara bersamaan. Bronkhitis kronik merupakan sebuah inflamasi
kronik dari bronkus (saluran udara ukuran sedang) di paru. Secara klinis
didefinisikan sebagai batuk persisten yang memproduksi sputum (phlegm)
dan mukus, untuk setidaknya tiga bulan pe tahun dalam dua tahun konsekutif.
Sedangkan sebagai pembeda, emfisema adalah penyakit paru obstruksi
progresif jangka panjang yang dimana alveolus yang menyediakan pertukaran
oksigen antara udara dan aliran darah rusak.4

B. Epidemiologi
Di amerika serikat PPOK merupakan penyebab kematian tertinggi
ketiga dibawah kanker dan penyakit jantung. Pada tahun 2009, 133.965 orang
meninggal karena PPOK, dimana ini merupakan peningkatan yang cukup
signifikan dibandingkan 10 tahun sebelumnya (1999) yaitu sebesar 119.524
orang.4
Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%),
diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan
masing-masing 6,7 persen. Tingkat kejadian PPOK lebih tinggi pada laki-laki
dibanding perempuan. Selain itu, terjadi PPOK lebih tinggi di pedesaan
dibandingkan perkotaan. Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi pada
masyarakat dengan pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan
terbawah.5

C. Patogenesis
Karakteristik perubahan patologi pada PPOK ditemukan pada saluran nafas
proksimal, perifer, parenkim paru dan vaskulatur pulmoner. Perubahan
patologi yang terjadi mencakup inflamasi kronik disertai peningkatan jumlah
sel inflmatorik spesifik pada berbagai bagian paru berbeda dan perubahan
struktural diakibatkan oleh cedera berulang. Secara umum, perubahan
struktural dan inflamatorik pada saluran nafas meningkat seiring dengan
keparahan penyakit dan menetap pada saat merokok.6
Inflamasi traktus respiatorik pasien PPOK tampaknya merupakan
sebuah amplifikasi respon inflamasi normal dari traktus respiratorik terhadap
iritan ronik seperti asap rokok. Mekanisme belum sepenuhnya dipahami tapi
secara genetik dapat ditentukan. Beberapa pasien mengalami PPOK tanpa
merokok, tapi sifat alami respon inflamasi pada pasien ini tidak diketahui.
Inflamasi paru diamplifikasi lebih lanjut lagi oleh stres oksidatif dan
berlebihannya proteinase pada paru. Secara bersama, mekanisme ini
mengakibatkan perubahan patologis pada PPOK.6
Gambar…. Patogenesis PPOK
Saat ini telah dikeathui bahwa proses penyakit yang mendasari PPOK
mengakibatkan abormalitas dan gejala khas PPOK. Sebagai contoh,
penunruna FEV1 utamanya terjadi akibat inflamasi dan penyempitan saluran
nafas perifer, sementara penurnunan transfer gas meningkat akibat destruksi
parenkim akibat efisema.6

D. Gejala Klinis
Meskipun terdapat penegcualian, pola umum gejala PPOK dapat ditentukan
dengan baik, antara lain:
- Stadium I: PPOK ringan , batuk kronik dan produksi spuutum. Gejala ini
dapat timul selama bertahun-tahun sebelum berkemangnya keterbatasan
saluran nafas dan seringkali diabaikan oleh pasien dan dihubungkan dengan
penuaan pasien sendiri.
- Stadium II : PPOK sedang, pasien kadang mengalami dyspneu, yang dimana
dapat mengganggu aktifitas hariannya. Secara khas, stadium ini adalah
dimana pasien mulai mencari pertolongan dan didiagnosa PPOK.
- Stadium III : PPOK berat, gejala batuk dan produksi sputum berlajut, dyspneu
memberat dan gejala tambahan yang merupakan manifestasi komplikasi
seperti gagal nafas, gaggal jantung kanan, penurunan berat badan dan
hipoksemia artri dapat terjadi.
Dyspneu, adalah alasan kebanyakan pasien mencari pertolongan medis
dan merupakan penyebab utama disabilitas dan ansietas yang dihubungkan
dengan penyakit ini. Pasien PPOK mendeskripsikan dyspneunya sebagai
suatu peningatan usaha untuk bernafas, rasa berat, ekyrangan udara atau
terengah-engah. Namun, istilah yang digunakan untuk mendeskrisikan
dyspneu bervariasi baik oleh individu dan kultur.
Batuk kronik seringkali merupakan gejala PPOK yang berkembang
pertama kali, seringkali diremehkan oleh pasien sebagai suatu konsekuensi
dari merokok dan atau paparan lingkungan tertentu. Awalnya, batuk mungkin
terjadi secara intermitten, namun seiring wktu menjadi persisten setiap
harinya. Produksi sputum juga seringkali meningkat, dimana terjadinya batuk
dengan produksi sputum selama setidaknya 3 bulan dalam 2 thun berurutan
seringkali merupaka definis epidemiologis bronkhitis kronik, tentunya jika
tidak terdapat kondisi tertentu yang dapat menjelaskannya.
Wheezing merupakan gejala yang tidak spesifik yang dimana dapat
bervariasi dari hari ke hari, bahkan dapat berubah dalam sehari. Gejala ini bisa
saja timbul pada stadium I namun sangat mungkin untuk saling bertumpang
tindih dengan asma, namun juga lebih jeas pada stadium III. Wheezing yang
terdengar bisa didapatkan didaerah laring baik pada inspirasi maupun
ekspirasi. Retraksi otot-otot pernafasan juga dapat terjadi, utamanya saat
beraktifitas. Tidak adanya wheeing maupun retraksi otot dada tidak
mengesampingkan diagnosis PPOK, serta juga tidak mengkonfirmasi adanya
asma.
Penurunan berat badan dan anoreksia merupakan masalah utama pada
PPOK lanjut. Secara prognosis penting dan dapat menjadi suatu tanda
penyakit lainnya seperti tuberkulosis maupun tumor bronkus, sehinggga
seharusnya selalu diperiksa dengan baik.6
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi
saluran nafas pasien PPOK, dan mungkin dicetuskan oleh infeksi bakteri atau
virus atau oleh poluta lingkingan. Masih sangat sedikit yang diketahui
bagaimana eksaserbasi bisa terjadi.6

E. Diagnosis
Penyakit Paru Obstruktif Kronik harus dipetimbangkan pada setiap pasien
yang mengalami dyspneu, batuk kronik atau produksi sputum, dan atau
riwayat terpapar faktor resiko penyakit. Riwayat medis terperinci dari pasien
yang diketahui aau dicurigai menderit PPOK penting. Spirometri dibutuhkan
untuk membuat diagnosis pada konteks klinis ini, nilai FEV1/FVC < 0,70
pasca pemberian bronkodilator mengkonirmasi adanya keterbatasan aliran
udara persisten dan oleh karena itu diangggap PPOK pada pasien yang
memiliki gejala dan paparan yang signifikan. Meskipun dengan sensitifitasnya
yang bagus, spiometri tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya uji
diagnostik karena spesifitasnya yang rendah.7

GOLD 1 Mild FEV1 >80%


GOLD 2 Moderate 50%<FEV1<80%
GOLD 3 Severe 30%<FEV1<50%
GOLD 4 Very Severe <30%
Tabel Klasifikasi GOLD keparahan hambatan aliran udara pada PPOK,
berdasarkan FEV1 pasca bronkodilator, jika didapatkan FEV1/FVC = 0,70
Pemeriksaan radiografi dada dapat menjadi alat untuk menilai PPOK.
Temuan yang bisa didapatkan pada foto X-ray dada berupa hiperinflasi dari
paru, pendataran kubah dari hemidiafragma, penurunan atau hilangnya
vaskulatur, hilangnya pola percabangan vaskuler, daerah lusens fokal yang
besar menandakan adanya bulla, dan penebalan dinding bronkus. Radiografi
dada tidak digunakan sebagai alat diagnosis PPOK, namun digunakan untuk
mengesampingkan diagnosis lain seperti pneumonia, gagal jantung kongestif,
efusi pleura dan pneumothoraks. Radiogrfai tidak sensitif dan spesifik untuk
diagnosa PPOK, meskipun dapat membantu mendiagnosis bullae. Computed
Tomografi (CT) lebih baik daripada x-ray dada dalam hal mendemonstrasikan
luas, jenis dan distribusi spasial emfisema.8

F. Diagnosa Banding
Diagnosa banding utama dari PPOK adalah asma bronkial. Pada
beberapa pasien yang menderita asma kronik, perbedaan yang mencolok dari
PPOK ialah tidak memungkinkannya dilakukan teknik pencitraan dan uji
fisiologis saat itu. Pada seorang pasien PPOK manajemen saat ini ialah sama
dengan asma. Berikut ini merupakan diagnosa pembanding lain PPOK.7,8
Diagnosis Ciri
Terjadi usia pertengahan hingga tua
Gejala berangsur-angsur secara perlahan
Terdapat riwayat paparan
Asma Onset pada usia awal (seringkali anak-anak)
Gejala sangat bervariasi dari hari ke hari
Gejala memburuk di malam hari atau pagi hari
Kadang disertai alergi, rinitis dan atau eksema
Riwayat keluarga asma
Kadang obesitas
Gagal jantung X ray dada menunjukkan dilatasi jantung, edema
kongestif pulmoner
Uji fungsi paru menandakan restriktif, bukan hambatan
Bronkiektasis Sputum purulen dalan jumlah besar
Biasa terkait dengan infeksi bakteri
X Ray dada/CT menunjukkan dilatasi bronkus, penebalan
dinding bronkus
Tuberkulosis Paru Onsetnya semua usia
X ray dada menunjukkan infiltrat paru
Konfirmasi mikrobiologis
Prevalensi lokal TB Paru yang tiggi
Brokhiolitis Onset usia muda, bukan perokok
obliteratif Memiliki riwayat artritis reumatoid atau paparan fume
akut
Terlihat setelah transplantasi paru atau susm-sum tulang
CT pada ekspirasi menunjukkan daerah hipodens
Panbronkhiolitis Paling sering pada pasien keturunan asia
Difusa Keanyakan pasien pria dan bukan perokok
Hampir semuanya menderita sinusitis kronik
X ray dada dan HRCT menunjukkan opasitas nodul
centrilobuler kecil difus dan hiperinflasi
Tabel Diagnosis Banding PPOK
G. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mencegah
eksaserbasi berulang memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru,
meningkatkan kualiti hidup penderita. Penatalaksanaan secara umum PPOK
meliputi :
1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan
perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel,
menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau
tujuan pengobatan dari asma. Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut
secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun
bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan
di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi
diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan
waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat
diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan
semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti
dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup
pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat
berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi
ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan
ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
Macam obat dan jenisnya, cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau
nebuliser ), waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu
atau kalau perlu saja ), dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
Kapan oksigen harus digunakan, berapa dosisnya, mengetahui efek samping
kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,
langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian
edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu
banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam
pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan
penyakit kronik progresif yang ireversibel
Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow
release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser
dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk
penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan
obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan
pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin dan makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid
baru
Perawatan di Rumah Sakit :
dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi

d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati
Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler
dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep
apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi
oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat
dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada
PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU.
Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari,
pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada
waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita
tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak
napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan
analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai
saturasi oksigen di atas 90%. Alat bantu pemberian oksigen
- Nasal kanul
- Sungkup venturi
- Sungkup rebreathing
- Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi
analisis gas darah pada waktu tersebut.
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK
derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di
rumah sakit di ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat dilakukan
dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi
hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena
berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas
darah. Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak
akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan
keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila
perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings)dengan
pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak
rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi
terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas
kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena
berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari
gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
- Hipofosfatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian
nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu
pemberian yang lebih sering.
6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke
dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan
pengobatan optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan
psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial
dan latihan pernapasan.
1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi
oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan
a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan
b. Endurance exercise
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan Latihan ini
diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot
pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang
cukup untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan
khusus pada otot pernapasan akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan
ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas.
Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot
pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut
bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu
bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan
kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan
diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan
ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.
Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK.
Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak
sebesar pada orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan
berakibat meningkatnya toleransi latihan karena meningkatnya toleransi
karena meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi
oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya
pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat. Sesak
napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOK
menghenikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan otot
kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor
yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan
fungsi otot
skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan
kekuatan otot,
diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik.
Berbaring ditempat
tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen
uptake dan kontrol
kardiovaskuler.
Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :
• Di rumah
- Latihan dinamik
- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda
• Rumah sakit
- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu.
Tipe
latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan
subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting
daripada hasil pemeriksaan subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah
6-
8 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang obyektif tentang
beban latihan yang sudah dilaksanakan.
- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di
rumah
adalah ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada
walkingjogging.
Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit,
yang cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu
dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung 60%-70% maksimal
selama
10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa
minggu
latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu. Denyut
nadi
maksimal adalah 220 - umur dalam tahun.
- Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat
diperkecil. walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat
berakibat kelainan fatal, dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :
- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan
koordinasi
atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan
2. Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila
diperlukan dapat diberikan obat
3. Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas.
Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna
memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks.
Serta berguna juga untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot
ekstrimiti.9
Pengobatan penderita PPOK di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif
meliputi istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung
penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi
dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur
saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat
kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu
diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien. 9
Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan
intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun
kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan.
Kortikosteroid perlu diberikan pada renjatan septik. 9

Pengobatan Medikamentosa
Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan
kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat
pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
•Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4
kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi
kontra pemberian kloramfenikol diberi:
•Ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.
Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau
•Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali.
Pemberian, oral/intravena selama 21 hari
•Kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali
pemberian, oral, selama 14 hari.
Pada kasus berat, dapat diberi Seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan
diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama
5-7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika
adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.
DAFTAR PUSTAKA
1. Victor Kim, Gerad J Criner. Chronic Bronchitis and Ahronis Obstructive
Pulmonary Disease. Concise Clinical Review. American Thoracic Society.
Am J Respir Crit Care Med. Vol 187, 2013: 228-237
2. Suwoto Y. Arto, Hendarsyah Suryadinata. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik, Update Knowledege in Respirology. Divisi Respirologi dan Kritis
Respirasi, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran. Ina J Chest Crit and Emerg Med. Vol. 1 No. 2,
2014 : 83-88
3. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan Republik Indnesia. 2013 : 85-86
4. American Lung Ascociation. COPD trend Report. Trends in COPD
(Chronic Bronchitis and Emphysema): Morbidity and Mortality. American
Lung Ascociation. 2013
5. Perhimpunan Dokter Paru Indoesia. Penyakit Paru Obstruktif Kronik,
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia 2003
6. Global Initiative for Obstructive Lung Disease. Global Strategy for the
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. 2006
7. Global Initiative for Obstructive Lung Disease. Pocket Guide, Global
Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. 2017
8. Pipavath Sudakhar, Schimdt Rodney, Takasugi Julie et al. Chronic
Obstructive Pulmonary Disease, Radiology-Pathology Correlation. J
Thorac Imaging. Vol. 24 No.3, 2009: 171-173

Anda mungkin juga menyukai