Anda di halaman 1dari 2

Pengolahan pangan pada industri komersial umumnya bertujuan mem- perpanjang masa

simpan, mengubah atau meningkatkan karakteristik produk (warna, cita rasa, tekstur), mempermudah
penanganan dan distribusi, memberikan lebih banyak pilihan dan ragam produk pangan di pasaran,
meningkatkan nilai ekonomis bahan baku, serta mempertahankan atau meningkatkan mutu, terutama
mutu gizi, daya cerna, dan ketersediaan gizi. Kriteria atau komponen mutu yang penting pada komoditas
pangan adalah keamanan, kesehatan, flavor, tekstur, warna, umur simpan, kemudahan, kehalalan, dan
harga (Andarwulan dan Hariyadi 2004)
Menurut Institute of Food Science and Technology (1974), umur simpan produk pangan adalah
selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi di mana produk berada dalam kondisi yang
memuaskan. berdasarkan karakteristik penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Sementara itu,
Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh
produk pangan dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu
tertentu.
Pada saat baru diproduksi, mutu produk dianggap dalam keadaan 100%,
dan akan menurun sejalan dengan lamanya penyimpanan atau distribusi. Selama penyimpanan dan
distribusi, produk pangan akan mengalami kehilangan bobot, nilai pangan, mutu, nilai uang, daya
tumbuh, dan kepercayaan (Rahayu et al. 2003).
Susu merupakan bahan makanan yang berasal dari ternak yang bernilai gizi tinggi. Selain kaya
akan protein juga kaya akan kalori, mineral, dan hampir semua zat yang dibutuhkan oleh manusia, zat
ini sangat mudah dicerna dan diserap oleh darah dengan sempurna. Susunan zat gizi yang sempurna
dari susu ini merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba, sehingga susu sangat peka
terhadap kontaminasi mikroba serta sangat mudah busuk (Idris 1992).
Seperti pernyataan Hadiwiyoto (1994), bahwa penyimpanan seperti susu dalam waktu lama
memberikan peluang besar untuk mempercepat pertumbuhan mikroba sehingga mengakibatkan
penurunan kadar protein susu. Di tambahkan oleh Sotya (2005) bahwa pengolahan susu dengan cara
pemanasan dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizi susu. Selama proses pemanasan susu
dengan suhu tinggi hingga mendekati titik didih menyebabkan beberapa perubahan terhadap kandungan
nutrisi susu, seperti karamelisasi, reaksi millard, penggumpalan protein, oksidasi lemak,
terdegradasinya vitamin dan perubahan warna pada produk susu.
Pengolahan bahan pangan merupakan pengubahan bentuk asli kedalam bentuk yang mendekati
bentuk untuk dapat segera dimakan. Salah satu proses pengolahan bahan pangan adalah menggunakan
pemanasan (Winarno 2004). Pengolahan pangan dengan menggunakan pemanasan dikenal dengan
proses pemasakan yaitu proses pemanasan bahan pangan dengan suhu 100⁰ C atau lebih dengan tujuan
utama adalah memperoleh rasa yang lebih enak, aroma yang lebih baik, tekstur yang lebih lunak, untuk
membunuh mikrobia dan menginaktifkan semua enzim. Dalam banyak hal, proses pemasakan
diperlukan sebelum kita mengonsumsi suatu makanan. Pemasakan dapat dilakukan dengan perebusan
dan pengukusan (boiling dan steaming pada suhu 100⁰ C), broiling (pemanggangan daging), baking
(pemanggangan roti), roasting (pengsangraian) dan frying (penggorengan dengan minyak) dengan suhu
antara 150⁰ 300⁰ C. Penggunaan panas dalam proses pemasakan sangat berpengaruh pada nilai gizi
bahan pangan tersebut. (Wardayati 2012).
Semua cara masak atau pengolahan makanan juga dapat mengurangi kandungan gizi makanan.
Secara khusus, memaparkan bahan makanan kepada panas yang tinggi, cahaya, dan atau oksigen akan
menyebabkan kehilangan zat gizi yang besar pada makanan. Zat gizi juga dapat tercuci keluar oleh air
yang digunakan untuk memasak, misalnya merebus kentang dapat menyebabkan migrasi vitamin B dan
C ke air rebusan. Di tingkat rumah tangga proses pemasakan dengan menggoreng termasuk paling
sering dilakukan. Suhu menggoreng biasanya mencapai 160⁰ C, oleh karena itu sebagian zat gizi
diperkirakan akan rusak, diantaranya vitamin dan protein. Penurunan mineral berkisar antara 5-40%,
terutama kalsium, yodium, seng, selenium dan zat besi. (Khomsan 2002)
Selain proses pengolahan (pemasakan) dapat merusak zat-zat gizi yang terkandung dalam
bahan pangan, proses pengolahan dapat bersifat menguntungkan terhadap beberapa komponenzat gizi
bahan pangan tersebut yaitu perubahan kadar kandungan zat gizi, peningkatan daya cerna dan
penurunan berbagai senyawa antinutrisi. Proses pemanasan bahan pangan dapat meningkatkan
ketersedian zat gizi yang terkandung didalamnya, contohnya perebusan kacang kedelai mentah dapat
meningkatkan daya cerna dan ketersediaan protein. (Almatsier 2002). Pada perebusan, lemak dapat
terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Faktor pengolahan juga sangat berpengaruh terhadap
kandungan karbohidrat. Pemasakan karbohidrat diperlukan untuk mendapatkan daya cerna pati yang
tepat. Bila pati dipanaskan, granula-granula pati membengkak dan pecah sehingga pati tergalatinisasi.
(Khomsan 2002)

Idris, L. 1992. Pengantar Teknologi Pengolahan Susu. Universitas Brawijaya, Malang.


Hadiwiyoto, S. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Liberty.
Yogyakarta
Sotya. 2005. Bahwa Dha sulit diserap bayi, jangan terpengaruh iklan susu. Kids Health. Jakarta.
Diakses tanggal 11 April 2018.
Khomsan A. Susut gizi akibat proses pemasakan. Diakses pada tgl 14 April 2015 dari
http://www. kompas.com/kesehatan/news/0204/23/015943.htm. 2002.
Almatsier S. Prinsip dasar ilmu gizi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Cetakan Ke 9.
2010.
Winarno FG. Kimia pangan dan gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2004.
Wardayati KT. Cara mengurangi susut gizi. Diakses pada tgl 11 April 2018 dari http://
intisari-online.com/read/cara-mengurangi-susutgizi. 2012.
Khomsan A. Susut gizi akibat proses pemasakan. Diakses pada tgl 14 April 2015 dari
http://www. kompas.com/kesehatan/news/0204/23/015943. htm. 2002.
Andarwulan, N. dan P. Hariyadi. 2004. Perubahan mutu (fisik, kimia, mikrobiologi) produk
pangan selama pengolahan dan penyimpanan produk pangan. Pelatihan Pendugaan Waktu Kedaluwarsa
(Self Life), Bogor, 1-2 Desember
Institute of Food Science and Technology. 1974. Shelf life of food. J. Food Sci. 39: 861-865
Floros, J.D. and V. Gnanasekharan. 1993. Shelf life prediction of packaged foods: chemichal,
biological, physical, and nutritional aspects. G. Chlaralambous (Ed.). Elsevier Publ.,
London.

Anda mungkin juga menyukai