KEPERAWATAN KRITIS
SYOK SEPSIS
KELOMPOK 6
Adinda Putri Lestari 1501021008
Ovinda Puji Lestari 1501021015
Eki Fatma Noviani 1501021022
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
hidayahNya kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang Syok Sepsis ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Saya berharap makalah ini dapat berguna dan
menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai materi ini terhadap keperawatan.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami oleh siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi diri sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun masa depan.
Penyusun
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
a.Tujuan Umum
Untuk dapat mengetahui dan menjelaskan tentang asuhan keperawatan kritis klien dengan
Syok Sepsis.
b.Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang definisi syok sepsis.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang etiologi syok sepsis.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pathogenesis syok sepsis.
4. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang patofisiologi syok sepsis.
5. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang gejala klinis syok sepsis.
6. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang syok sepsis.
7. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang penatalaksanaan syok sepsis.
1
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Syok Sepsis
Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi
jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel atau jaringan. Syok septik
merupakan keadaan akibat invasi bakteri atau produk toksisnya dimana terjadi penurunan
tekanan darah (sistolik < 90mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg dari
baseline) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski telah dilakukan resusitasi secara adekuat atau
perlu vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ (Chen dan Pohan,
2007).
Dalam suatu penellitian dimana bakteri disuntikkan pada peritoneal binatang percobaan,
syok sepsis baru teradi setelah 12-24 jam kemudian, dan binatang yang bertahan didapatkan
perbaikan hemodinamik dalam waktu 7-10 hari (Parrillo, 1990). Jadi suatu syok sepsis harus
melewati fase bakterimia, sepsis, sindroma sepsis. Bakteremia adalah suatu keadaan
ditemukannya bakteri dalam kultur darah. Sepsis adalah suatu kejadian infeksi yang disertai
meningkatnya frekwensi nafas lebih dari 20x/m, denyut jantung lebih dari 90x/m, hipertermi
(suhu rectal lebih dari 38,5 C), hipoksemia, peningkatan laktat plasma dan oligouria (urine
<0,5cc/kgBB dalam 1 jam). Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ,
kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:
1. Asidosis laktat
2. Oliguria
3. Atau perubahan akut pada status mental
2
2.2 Komplikasi
Kegagalan akhir-organ merupakan penyumbang utama untuk kematian pada sepsis dan
syok septik. Komplikasi dengan efek buruk terbesar pada kelangsungan hidup ARDS, DIC, dan
cedera ginjal akut (AKI; sebelumnya disebut gagal ginjal akut [ARF]).
Komplikasi lain dari syok septik meliputi berikut ini:
DIC (juga terjadi pada 40% pasien dengan syok septik)
disfungsi ginjal kronis
iskemia mesenterika
iskemia miokard dan disfungsi
Gagal hati
komplikasi lain yang berhubungan dengan hipotensi berkepanjangan dan disfungsi organ.
2.3 Epidemiologi
Sepsis adalah penyakit yang umum di perawatan intensif dimana hampir 1/3 pasien yang
masuk ICU adalah sepsis. Sepsis merupakan satu di antara sepuluh penyebab kematian di
Amerika Serikat. Angka kejadian sepsis meningkat secara bermakna dalam dekade lalu. Telah
dilaporkan angka kejadian sepsis meningkat dari 82 menjadi 240 pasien per 100.000 populasi
antara tahun 1979 – 2000 di Amerika Serikat dimana kejadian Severe sepsis berkisar antara 51
dan 95 pasien per 100.000 populasi (Hurtado, 2009)
Dalam waktu yang bersamaan angka kematian sepsis turun dari 27,8% menjadi 17,9%.
Jenis kelamin, penyakit kronis, keadaan imunosupresi, infeksi HIV dan keganasan merupakan
faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya sepsis. Beberapa kondisi tertentu seperti
gangguan organ secara progresif, infeksi nosokomial dan umur yang lanjut juga berhubungan
dengan meningkatnya risiko kematian. Angka kematian syok septik berkurang dari 61,6%
menjadi 53,1%. Turunnya angka kematian yang diamati selama dekade ini dapat disebabkan
karena adanya kemajuan dalam perawatan dan menghindari komplikasi (Srpinger, 2009).
3
Sejak 2002 The Surviving Sepsis Campaign telah diperkenalkan dengan tujuan awal
meningkatkan kesadaran dokter tentang mortalitas Severe sepsis dan memperbaiki hasil
pengobatan. Hal ini dilanjutkan untuk menghasilkan perubahan dalam standar pelayanan yang
akhirnya dapat menurunkan angka kematian secara bermakna.
2.4 Etiologi
Kebanyakan pasien yang mengembangkan sepsis dan syok septik memiliki keadaan yang
mendasari yang mengganggu mekanisme pertahanan host lokal atau sistemik. Sepsis terlihat
paling sering pada orang tua dan pada mereka dengan kondisi komorbiditas yang mempengaruhi
infeksi, seperti diabetes atau penyakit immunocompromising. Pasien mungkin juga memiliki
kerentanan genetik, membuat mereka lebih rentan untuk mengembangkan syok septik dari
infeksi yang ditoleransi dengan baik pada populasi umum.
Negara-negara penyakit yang paling umum predisposisi sepsis adalah keganasan, diabetes
mellitus, penyakit hati kronis, dan penyakit ginjal kronis. Penggunaan agen imunosupresif juga
merupakan faktor predisposisi umum. Selain itu, sepsis adalah komplikasi umum setelah operasi
besar, trauma, dan luka bakar yang luas. Pasien dengan kateter atau perangkat juga berisiko
tinggi.
Pada kebanyakan pasien dengan sepsis, sumber infeksi dapat diidentifikasi. Pengecualian adalah
pasien yang immunocompromised dengan neutropenia, di antaranya sumber yang jelas sering
tidak ditemukan.
5
2.6 Patogenesis
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk LPSab
(Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan perantara reseptor
CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag mengekspresikan
imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi adalah bakteri gram negatif
yang mempunyai LPS pada dindingnya.
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian
ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari
Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida MHC kelas II
akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T cell receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai
immunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating factor).
Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ merangsang makrofag
mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. IFN-γ, IL-1β dan TNF-α merupakan sitokin proinflamasi, pada
sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1β dan TNF-α dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan
TNF-α selain merupakan reaksi sepsis, dapat merusakkan endotel pembuluh darah, yang
mekanismenya sampai saat ini belum jelas.
6
IL-1β sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk
pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi
oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan
adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah, yaitu:
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang melisiskan dinding
endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal bebas yang mempengaruhi
oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga akibatnya endotel menjadi nekrosis, dan
rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan vascular leak, sehingga menyebabkan
kerusakan organ multipel. Pendapat lain yang memperkuat pendapat tersebut bahwa kelainan
organ multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga
terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian.
Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-10 sebagai
sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-γ, TNF-α dan fungsi APC. IL-10 juga
memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10 meningkat lebih tinggi,
maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah. (Hermawan, 2007).
7
2.7 Patofisiologi Syok Sepsis
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang
melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai
mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana terjadi
keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi melebihi kemampuan
homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses
inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai
organ.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal
sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan pada
tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan, iskemia reperfusi, dan
mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor
humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi kalori protein, translokasi
toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Chen dan
Pohan, 2007).
Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti lemah,
malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering: paru, tractus digestivus,
tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis akan menjadi lebih berat
pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan
granulositopenia.
8
2.9 Tanda – tanda Syok Spesis ( Linda D.U, 2006) :
Peningkatan HR
Penurunan TD
Crakles
Perubahan sensori
Peningkatan temperature
Penurunan SVR
Penurunan PaO2
Penurunan HCO3
(Hermawan, 2007).
9
2.10 Faktor risiko
Faktor risiko sepsis berat dan syok septik termasuk berikut:
Ekstrem usia (<10 tahun dan> 70 tahun)
penyakit primer (misalnya, sirosis hati, alkoholisme, diabetes mellitus, penyakit
cardiopulmonary, keganasan yang solid, dan hematologi keganasan)
Imunosupresi (misalnya, dari neutropenia, terapi imunosupresif [misalnya, dalam organ dan
transplantasi sumsum tulang penerima], terapi kortikosteroid, injeksi atau IV penggunaan
narkoba [lihat gambar di bawah ini], melengkapi kekurangan, asplenia)
Mayor operasi, trauma, luka bakar
prosedur invasif (misalnya, penempatan kateter, perangkat intravaskular, perangkat palsu,
hemodialisa dan kateter dialisis peritoneal, atau tabung endotrakeal)
Sebelumnya antibiotik pengobatan
rawat inap yang berkepanjangan
kerentanan genetik yang mendasari
Faktor-faktor lain (misalnya, melahirkan, aborsi, dan kekurangan gizi).
Syok Ringan
2. Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot
rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa
adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi
urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau ringan.
3. Tanda klinis: rasa dingin, hipotensi postural, takikardi, kulit lembab, urine pekat, diuresis
kurang, kesadaran masih normal
10
Syok Sedang
2. Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organ-organ ini
tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan
ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan tetapi
kesadaran relatif masih baik.
3. Tanda klinis: penurunan kesadaran, delirium/agitasi, hipotensi, takikardi, nafas cepat dan
dalam, oliguri, asidosis metabolik.
Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk
menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua
pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda
hipoksia jantung (EKG abnormal, curah jantung menurun).
2.12 Diagnosis
Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah pasien
immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
1. Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
2. Hipotensi, oliguria, atau anuria
3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
4. Perdarahan
11
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan inflamasi
yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis, dan
genital.
Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, urea
darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,
elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang
terinfeksi harus dilakukan.
12
Penatalaksanaan
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien harus
dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat.
Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah
arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan
norepinefrin.
Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dini
dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel
didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas
luas. Bila telah ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan
agen penyebab sepsis tersebut (Hermawan, 2007).
Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat, misalnya
antara golongan penisilin/penicillinase—resistant penicillin dengan gentamisin.
A. Golongan penicillin
C. Gentamycin
Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan. Beberapa
bakteri gram negatif yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik yang dianjurkan:
Escherichia coli Ampisilin/sefalotin - Sefalotin: 1-2 gram tiap 4-6 jam, biasanya
dilarutkan dalam 50-100 ml cairan,
Klebsiella, Gentamisin diberikan per drip dalam 20-30 menit untuk
Enterobacter menghindari flebitis.
Mima-Herellea Gentamisin
Pseudomonas Gentamisin
Bacteroides Kloramfenikol/klindamisin
14
3.Fokus infeksi awal harus diobati
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu
dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama, dimulai
sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b) circulation;
c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan
dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-
12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam.
1. Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau
kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor
oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi
miokard menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah
akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor
oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi
vaskuler, mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang
mengalami iskemia.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi
oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen
di jaringan.
15
2. Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid
maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar
tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat
terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi
nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan
kesadaran. Perlu diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan
vena jugular, ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit
(PRC) perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada
keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang
akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.
4. Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum bikarbonat <9
meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
16
5. Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun
hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan
gradien tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi
digunakan gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama
perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.
6. Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan
bila tidak memungkinkan beru diberikan secara parenteral.
7. Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi adrenal, dan
diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan tersebut. Hidrokortison dengan
dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol.
(Chen dan Pohan, 2007).
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai mahasiswa keperawatan hendaknya kita dapat lebih spesifik menerapkan
menejemen ABCDE, serta lebih spesifik dalam menganalisa tingkat kritis pasien. Dalam
penanganan syok sepsis, hal ini bertujuan agar kitamampu memberikan pertolongan yang
maksimal, cepat dan tepat dalam pengambilan keputusan dandiagnosa.
3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat membantu mahasiswa dan perawat untuk
memahami tentang defenisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi serta askep syok sepsis.
18
Daftar Pustaka
Bone et al. Sepsis and multiple organ failure . The 12th Asia Pacific congress on diseases of the
chest Seul,1992:8-18
Bone et.al. A controlled clinical trial of high dose methylprednisolone in the treatment of severe
sepsisand septic shock. The NEJM 317: 653-658
Chen K dan Pohan H.T. 2007. Penatalaksanaan Syok Septik dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 187-9
Dobb G. Multiple organ failure, words mean what I say they mean, in intensive care word, 1991
8(4):157-159
Glauser et al. Septic Shock: pathogenesis. Lancet 1991, 338: 732-736
Hermawan A.G. 2007. Sepsis daalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus.
Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 1840-3
Hurtado FJ, Buroni M, Tenzi J. Sepsis: Clinical approach, evidence-based at the bedside. In:
Gallo A, et al, editors. Intensive and Critical Care Medicine.
Parillo et al. Septic shock in humans. Annals of internal medicine, 1991,113: 227-242
Purwadianto A dan Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta: Bina Aksara.
Pp: 55-6
Springer-Verlag Italia, 2009; p. 299-309. 2. Nguyen B, et al. Severe sepsis and septic shock:
Review of the literature and emergency. Department management guidelines. Annals of
Emergency Medicine. 2006; 48(1): 28-54.
19