Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


SLE/ LES (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit rematik
autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibody dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan
(Sudoyo Aru & dkk, 2009).
Sampai saat ini, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia.
SLE sebagian besar menyerang wanita dengan insiden puncak pada usia produktif
antara 15 sampai 40 tahun dengan rerata usia 34,3 tahun (Urowitz dkk., 2010).
Dalam proporsi yang lebih kecil SLE dapat pula menyerang usia dibawah 15 tahun
maupun diatas 40 tahun. Rasio pria dan wanita adalah 1 : 6 - 10. Pada distribusi usia
pediatrik atau geriatrik rasio pria dan wanita adalah 1: 2. Secara umum kejadian
SLE sebesar 2 per 2000 pasien rawat jalan walaupun prevalensi ini bervariasi
berdasarkan ras dan etnis.
Penyakit SLE yang terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imuno regulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia produktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klopromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE akibat senyawa kima atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan
produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal
sehingga timbul penumpukan komples imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi
akan menstimulasi antigen yang selanjutnya akan merangsang pembentukan
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Berbagai upaya dilakukan untuk pengobatan SLE tetapi pengobatan SLE
hanya memiliki tujuan adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah
terjadinya inflamasi, dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien,

1
memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari
penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi
dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam
manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat
individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas didapat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian dari SLE?
2. Apa saja etiologi dari SLE?
3. Bagaimana patofisologi dari SLE?
4. Bagaimana pathway dari SLE?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari SLE?
6. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien SLE?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas didapat tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari SLE.
2. Untuk mengetahui etiologi dari SLE.
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari SLE.
4. Untuk mengetahui pathway dari SLE.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari SLE.
6. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien SLE.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian SLE


1. SLE/ LES (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit rematik
autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibody dan kompleks imun, sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan (Sudoyo Aru & dkk, 2009).
2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun bersifat
sistemik yang terkait dengan adanya autoantibodi terhadap komponen inti
sel (Buyon, 2008). Manifestasi SLE dapat beragam melibatkan berbagai
organ dan sistem. Manifestasi organ yang beragam dapat terjadi secara
simultan maupun tidak. Gejalanya yang tidak khas seringkali membuat
diagnosis SLE seringkali terlewatkan dari perhatian klinisi.
3. Penyakit lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat
kelainan system imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa
organ dan sistem tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat
membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan organism asing (misalnya
bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan
tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi
pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam
jaringan (Syamsi Dhuha Foundation, 2003, dalam syafi’I, 2012).
Dari 3 definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Penyakit Sistemik
Lupus Eritematosus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat
kelainan system imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan
sistem tubuh. Kelainan ini disebabkan oleh produksi antibodi dalam jumlah
besar sehingga menyebabkan sistem imun tidak dapat membedakan antara
jaringan tubuh sendiri dan organisme asing.

3
2.2 Etiologi SLE
Penyebab dari SLE belum diketahui dengan pasti. Diduga melibatkan interaksi
yang kompleks dan multifaktorial antara bervariasi genetic dan faktor lingkungan:
1. Faktor genetic
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%)
dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SLE
pada keluarga penderita SLE dibandingkan dengan kontrol sehat dan
peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan
dugaan bahwa faktor genetic berperan dalam pathogenesis SLE.
2. Faktor hormonal
SLE merupakan penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan.
Serangan pertama kali jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah
menopause.
3. Autoantibodi
Autoantibodi ini ditunjukkan kepada self molekul yang terdapat pada
nucleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terdapat molekul terlarut
seperti IgG dan faktor koagulasi.
4. Faktor lingkungan
a. Faktor fisik/kimia
 Amin aromatic
 Hydrazine
 Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid,
fenitoin, penisilamin).
b. Faktor makanan
 Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan
 L- canavanine (kuncup dari elfalfa)
c. Agen infeksi
 Retrovirus
 DNA bakteri/endotoksin
d. Hormone dan estrogen lingkungan (environmental oestrogen)
 Terapi sulih (HRT), pil kontrasepsi oral
 Paparan estrogen prenatal

4
2.3 Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel
B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia,
produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003).
Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik
yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus,
fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA.
Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan
antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi
peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T
akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk
membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs
dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. Sel Th1
berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel
tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE
ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi
menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity. Sel T pada SLE
juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya
respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu
meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa
gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi
seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel
B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang
berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2,
mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and Isenberg, 2001). Hal
ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+.
Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan
menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+
(supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan
sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu

5
menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signalbagi CD8+ (Isenberg
and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya
subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan
menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya
kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-)
mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok andLau, 2003). Ciri khas
autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan
merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan
inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu
pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran
jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang
terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan
jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran
dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau
autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan
menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan
jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks
imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-
takekompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun
dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada
IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini
juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya
gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem
imun dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai
macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator
inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan
seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).

6
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi
apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang
menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel
yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi
dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang
secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian
luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP,
dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui
reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4),
reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang
menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah
ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR
yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang
dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang
disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2.
Etiopatogenesis SLE hingga saat ini belum jelas. Berbagai studi menunjukkan
etiopatogenesis SLE bersifat multifaktorial melibatkan faktor genetik, endokrin dan
neuroendokrin, respon imun dan lingkungan. Salah satu karakteristik SLE adalah
terbentuknya autoantibodi yang menargetkan antigen yang terutama terletak pada
inti sel. Antigen sasaran ini dapat berupa molekul deoxyribonucleic acid (DNA),
protein histon maupun nonhiston. Karakteristik autoantigen ini adalah sifatnya yang
tidak tissue-specific dan adalah komponen integral dari semua jenis sel.
Autoantibodi ini secara kolektif disebut sebagai anti nuclear antibody (ANA).
Selain terbentuknya autoantigen dan autoantibodi yang nantinya akan membentuk
kompleks; pada SLE juga terjadi gangguan pada sistem retikulo endotelial yang
bertugas mengeliminasi kompleks antigen-antibodi ini. Kompleks antigen antibodi
dalam sirkulasi kemudian dapat terdeposisi di berbagai organ dan menginisiasi
rangkaian proses inflamasi serta menimbulkan manifestasi klinis yang organ
specific.

7
2.4 Pathway

8
2.5 Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis dari SLE adalah:
1. Ruam Malar
Eritema menetap, datar atau meninggi pada area malar, cenderung tidak
melibatkan lipatan nasolabial.
2. Ruam discoid
Eritema meninggi dengan penebalan keratotik dan follicular plugging,
parut atropik dapat terjadi pada lesi yang lama.
3. Fotosensitifitas
Ruam kulit sebagai reaksi yang tidak biasa, dinilai berdasarkan anamnesis
atau observasi dokter
4. Ulserasi dimulut atau nasofaring
Ulkus mukosa oral atau nasofaringeal, biasanya tidak nyeri, berdasarkan
observasi dokter.
5. Arthritis
Artritis non erosif melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai dengan
nyeri, bengkak atau efusi sendi
6. Serositis
a. Pleuritis : riwayat yang jelas tentang adanya nyeri pleuritik atau
adanya pleural friction rub berdasarkan pemeriksaan dokter atau bukti
lain adanya efusi pleura.
b. Perikarditis : terdokumentasi oleh elektrokardiogram, atau adanya
friction rub atau bukti lain adanya efusi pericardium.
7. Gangguan ginjal
a. Proteinuria persisten > 500 mg/ hari atau > 3+ pada pemeriksaan
kualitatif.
b. Cellular casts : dapat berupa sel darah merah, hemoglobin, granular,
tubular atau campuran.
8. Gangguan neurologic
a. Kejang : setelah disingkirkan kemungkinan adanya pengaruh obat
obatan atau gangguan metabolik lain seperti uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit.

9
b. Psikosis : setelah disingkirkan kemungkinan adanya pengaruh obat
obatan atau gangguan metabolik lain seperti uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit.
9. Gangguan hematologic
a. Anemia hemolitik : disertai dengan retikulositosis.
b. Lekupenia : leukosit < 4000/ mm3 total.
c. Limfopenia : limfosit < 1500/ mm3 pada dua atau lebih pemeriksaan.
d. Trombositopenia : trombosit < 100.000/mm3 setelah disingkirkan
kemungkinan adanya pengaruh obat obatan.
10. Gangguan immunologic
a. Anti-DNA : antibody terhadap native DNA dalam titer yang abnormal.
b. Anti-SM : antibody terhadap antigen sel otot polos.
c. Temuan positif adanya antibody antifosfolipid berdasarkan (1) kadar
serum yang abnormal dari antibodi antikardiolipin baik IgG maupun
IgM, (2) temuan positif antikoagulan Lupus berdasarkan metode
pemriksaan standar, (3) hasil false positif tes serologis sifilis selama 6
bulan dan dikonfirmasi oleh tes imobilisasi Treponema pallidum atau
tes absorbsi antibody treponema.
11. Antibody antinukleus
Kadar ANA yang abnormal berdasarkan imunofluoresen atau tes lain yang
setara pada pemeriksaan sewaktu, setelah menyingkirkan kemungkinan
adanya pengaruh obat-obatan yang dapat menginduksi sindrom lupus.

Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 atau lebih keterlibatan orga
seperti:
1. Jender wanita pada rentang usia produktif.
2. Gejala konstitusional : kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
3. Muskoloskeletal : nyeri otot (myalgia),nyeri sendi (atralgia), myositis.
4. Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly atau ruam malar), fotosensitivitas,
alopenia, fenomena raynaud, purpura, urtikaria, vasculitis.
5. Paru-paru : pleurisy, hpertensi pulmonal.

10
6. Jantung : pericarditis, miokarditis, endocarditis.
7. Ginjal : hematuria, proteinuria, cetakan, sindrom nefrotik.
8. Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri abdomen.
9. Retikulo-endo organomegali (limfadenopati, splenomegaly,
hepatomegaly).
10. Hematologi : anemia, leucopenia, dan trombositopenia.
11. Neuropsikiatri : psikosis, kejang, sindrom otak organic, myelitis
transfersa, neuropati cranial dan perifer.

2.6 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan SLE


A. Pengkajian
1. Identitas pasien (nama, No, RM, agama, alamat, suku bangsa,
diagnose medis).
2. Umur : biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun.
3. Jenis Kelamin : Perbandingan penderita penyakit Lupus ini antara
wanita dan pria adalah 9:1, dan 80% dari kasus ini menyerang wanita
dalam usia produktif.
4. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/
panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup
serta citra diri pasien.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien biasanya mengeluh mudah lelah, nyeri dan kaku, tetapi
respon tiap orang berbeda terhadap tanda dan gejala SLE
tergantung imunitas masing-masing.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu walaupun tidak terlalu spesifik biasanya
akan didapatkan adanya keluhan mudah lelah, nyeri, kaku,
anorksia dan penurunan berat badan secara signifikan.
d. Riwayat Penyakit Keluarga

11
Pasien yang mempunyai keluarga yang pernah terkena penyakit
Lupus ini dicurigai berkecenderungan untuk terkena penyakit ini,
lebih kurang 5-12% lebih besar dibanding orang normal.
5. Pola fungsi Gordon
a. Persepsi – Manajemen Kesehatan
Biasanya klien tidak sadar akan penyakitnya, meski gejala
demam dirasakan klien menganggap hanya demam biasa.
b. Nutrisi – Metabolik
Biasanya, penderita SLE akan banyak kehilangan berat badan
karena kurang nafsu makan serta mual muntah yang dirasakan.
c. Eliminasi
Secara klinis, penderita SLE akan mengalami diare.
d. Aktivitas – Latihan
Penderita SLE biasanya mengeluhkan kelelahan serta nyeri pada
bagian sendinya, sehingga pola aktivitas – latihan klien
terganggu.
e. Istirahat – Tidur
Klien dapat mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri sendi
yang dirasakannya.
f. Kognitif – Persepsi
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu
bila terdapat lesi pada jari – jari tangannya. Pada sistem
neurologis, penderita dapat mengalami depresi dan psikologis.
g. Konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversible yang
menimbulkan bekas dan warna yang buruk pada kulit, penderita
SLE akan merasa terganggu dan malu.
h. Peran – Hubungan
Penderita SLE tidak mampu melakukan pekerjaan seperti
biasanya selama sakit, namun masih dapat berkomunikasi.
i. Seksual – Reproduksi

12
Biasanya, penderita SLE tidak mengalami gangguan dalam
aktivitas seksual dan reproduksi.
j. Koping – Stress
Biasanya penderita mengalami depresi dengan penyakitnya dan
juga stress karena nyeri yang dirasakan. Untuk menghadapi
penyakitnya, klien butuh dukungan dari keluarga serta
lingkungannya demi kesembuhan klien.
k. Nilai – Kepercayaan
Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan
aktivitas karena nyeri yang dirasakan.
6. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum pasien
GCS normal 15, tingkat kesadaran compossmentis.
b. Kulit
c. Ruam kupu-kupu (butterfly atau ruam malar), fotosensitivitas,
alopenia, fenomena raynaud, purpura, urtikaria, vasculitis.
d. Kardiovaskuler
Frictionrub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi
pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi
nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari
tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan.
e. Sistem Muskuloskeletal
Nyeri otot (myalgia),nyeri sendi (atralgia), myositis.
f. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem Renal
Hematuria, proteinuria, cetakan, sindrom nefrotik.
h. Sistem saraf
Psikosis, kejang, sindrom otak organic, myelitis transfersa,
neuropati cranial dan perifer.

13
B. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada penyakit SLE adalah:
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas ditandai
dengan paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), ortopnea, batuk,
terdengar suara jantung S3 dan/atau S4, ejection fraction (EF)
menurun, cardiac index (CI) menurun, left ventricular stroke work
index (LVSWI) menurun, stroke volume index (SVI) menurun.
2. Ketidakefektifamn pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru
menurun ditandai dengan dyspnea, penggunaan otot bantu
pernapasan, fase ekspirasi memanjang, pola nafas abnormal (mis.
Takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes),
ortopnea, pernapasan pursed-lip, pernapasan cuping hidung, ventilasi
semenit mnurun, kapasital vital menurun, tekanan ekspirasi menurun,
tekanan inspirasi menurun, ekskursi dada berubah.
3. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera fisiologis ditandai
dengan mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif, gelisah,
frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah meningkat, pola
napas berubah, nafsu makan berubah, menarik diri, berfokus pada diri
sendiri.
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan lesi pada kulit ditandai
dengan kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit, nyeri, perdarahan,
kemerahan, hematoma.
5. Keletihan berhubungan dengan penurunan suplai O2 ditandai dengan
merasa energy tidak pulih walaupun telah tidur, merasa kurang tenaga,
mengeluh lelah, tidak mampu mempertahankan aktivitas rutin,
tampak lesu, kebutuhan istirahat meningkat.
6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur kulit
ditandai dengan mengeungkapkan kecatatan atau kehilangan bagian
tubuh, fungsi/struktur tubuh berubah/hilang, mengungkapkan
perasaan negative tentang perubahan tubuh, mengungkapkan
kekhawatiran pada penolakan/ reaksi orang lain, mengungkapkan
perubahan gaya hidup, menyembunyikan/ menunjukkan bagian tubuh

14
secara berlebihan, respon nonverbal pada perubahan dan persepsi
tubuh, focus pada penampilan dan kekuata masa lalu, hubungan sosial
berubah.
7. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
ditandai dengan menanyakan masalah yang dihadapi, menunjukkan
perilaku tidak sesuai anjuran, menunjukkan persepsi yang keliru
terhadap masalah, menunjukkan perilaku yang berlebihan (mis.
Apatis).

C. Intervensi Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas ditandai
dengan paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), ortopnea, batuk,
terdengar suara jantung S3 dan/atau S4, ejection fraction (EF)
menurun, cardiac index (CI) menurun, left ventricular stroke work
index (LVSWI) menurun, stroke volume index (SVI) menurun.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. X 24 jam
penurunan curah jantung pasien dapat teratasi
Kriteria hasil:
a. TTV dalam rentang normal
 TD (100/60 – 130/99 mmHg)
 Nadi (60 -100 x/menit)
 RR (12-24 x/menit)
 Suhu (36,5-37,5 0C)
b. Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak ada sites
c. Tidak ada penurunan kesadaran
d. Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan.
Intervensi Rasional
Nic Label : Cardiac Care Nic Label : Cardiac Care
1. Evaluasi nyeri dada (seperti, 1. Melihat karakteristik nyeri
intensitas, lokasi, radiasi, yang dialami klien, sehingga
durasi dan presipitasi dan akan mempengaruhi tindakan
faktor yang memberatkan.

15
2. Dokumentasikan adanya keperawatan dan diagnosa
disritmia jantung. yang akan ditegakkan.
3. Catat tanda dan gejala yang 2. Dokumentasi ditujukan
mengarah pada penurunan sebagai bukti tertulis dalam
kardiak output. tindakan keperawatan tentang
4. Monitor status respirasi untuk kondisi dan tindakan yang
gejala gagal jantung. telah diberikan kepada klien.
5. Intruksikan kepada pasien 3. Penurunan kardiak output
tentang pentingnya akan sangat berpengaruh
menginformasikan jika terhadap sistemik tubuh,
terdapat ketidaknyamanan mencatat itu berguna dalam
pada dada. memberikan pengarahan
6. Kaji toleransi pasien terhadap dalam melakukan tindakan
aktivitas terhadap perubahan: keperawatan.
nafas pendek,nyeri, palpitasi, 4. Status respirasi yang buruk
pusing. bisa saja disebabkan oleh
7. Auskultasi bunyi nafas: bunyi edema paru dan ini erat
tambahan dan bunyi jantung : kaitannya dengan terjadinya
murmur. gagal jantung.
8. Pertahankan posisi tirah 5. Perawat atau tenaga medis
baring pada posisi yang bisa memberikan penanganan
nyaman selama episode akut. dan pengobatan yang tepat.
9. Berikan oksigen tambahan 6. Untuk melihat keterbatasan
dengan kanula nasal/masker klien yang diakibatkan
dan obat sesuai indikasi penyakit yang diderita klien,
(kolaborasi). dan dapat ditegakkan grade
10. Berikan periode istirahat dari suatu gangguan klien.
dalam melakukan aktivitas 7. S4 umum terdengar pada
keperawatan. pasien hipertensi berat karena
11. Pantau dan catat efek adanya hipertrofi atrium.
terapeutik /efek samping Adanya krakel, mengi dapat
selama pemberian kalsium mengindikasikan kongesti

16
antagonis, beta bloker dan paru sekunder terhadap
nitrat. terjadinya atau gagal jantung
12. Kolaborasi: Pemberian kronik.
kalsium antagonis. 8. Dengan posisi tirah baring
diharapkan ekspansi dada
NIC Label : Circulatory Care : klien lebih optimal.
Arterial Insufficiency 9. Meningkatkan sediaan
1. Melakukan penilaian yang oksigen untuk kebutuhan
komprehensif dari sirkulasi miokard untuk melawan efek
perifer (misalnya: memeriksa hipoksia/iskemia. Banyak
nadi perifer, edema, obat dapat digunakan untuk
pembuluh kapiler, warna meningkatkan volume
kulit, dan temperature). sekuncup, memperbaiki
2. menentukan indeks branchial kontraktilitas danm
pergelangan kaki, secara enurunkan kongesti.
tepat. 10. Klien bisa saja mengalami
3. Evaluasi edema perifer dan sesak mendadak karena
nadi. aktivitas yang dilakukan,
4. Monitor status cairan, aktivitas ini bisa memberat
termasuk masukan dan sesak napas klien termasuk
keluaran. aktivitas ketika dilakukan
tindakan keperawatan
NIC Label : Circulatory Care: 11. Karena efek samping yang
Venous Insufficiency ditimbulkan bisa saja
1. Meninggikan anggota badan membahayakan klien.
yang berpengaruh sebesar 20 12. Memenuhi kebutuhan klien
derajat atau lebih di atas level atas pengobatannya
dari jantung, secara tepat.
2. Mendorong latihan gerakan NIC Label : Circulatory Care :
pasif atau aktif terutama pada Arterial Insufficiency
ektremitas bawah selama 1. Mengkaji status sirkulasi
terbaring. perifer pasien.

17
2. Untuk memeriksa nadi
brakial pasien
3. Untuk memantau
perkembangan kondisi pasien
4. Memantau status cairan
pasien
NIC Label : Circulatory Care:
Venous Insufficiency
1. Melancarkan sirkulasi darah
ke jantung untuk mengurangi
beban kerja jantung.
2. Untuk mencegah adanya
penumpukan cairan di
ekstremitas bawah.

2. Ketidakefektifamn pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru


menurun ditandai dengan dyspnea, penggunaan otot bantu
pernapasan, fase ekspirasi memanjang, pola nafas abnormal (mis.
Takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes),
ortopnea, pernapasan pursed-lip, pernapasan cuping hidung,
ventilasi semenit mnurun, kapasital vital menurun, tekanan ekspirasi
menurun, tekanan inspirasi menurun, ekskursi dada berubah.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam
ketidakefektifan pola nafas dapat teratasi.
Kriteria hasil:
NOC Label : Respiratory Status: Airway patency
1. Frekuensi, irama, kedalaman pernapasan dalam batas normal
2. Tidak menggunakan otot-otot bantu pernapasan
NOC Label : Vital Signs
1. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan) (TD 100/60 – 130/99 mmHg, nadi 60-100 x/menit, RR :
12-24 x/menit, suhu 36,5 – 37,5 C)

18
Intervensi Rasional
NIC Label : Airway NIC Label : Airway
Management Management
1. Posisikan pasien semi fowler. 1. Untuk memaksimalkan
2. Auskultasi suara nafas, catat potensial ventilasi.
hasil penurunan daerah 2. Memonitor kepatenan jalan
ventilasi atau tidak adanya napas.
suara adventif. 3. Memonitor respirasi dan
3. Monitor pernapasan dan keadekuatan oksigen
status oksigen yang sesuai NIC Label : Oxygen Therapy
NIC Label : Oxygen Therapy 1. Menjaga keadekuatan ventilasi
1. Mempertahankan jalan napas 2. Meningkatkan ventilasi dan
paten asupan oksigen
2. Kolaborasi dalam pemberian 3. Menjaga aliran oksigen
oksigen terapi mencukupi kebutuhan pasien
3. Monitor aliran oksigen NIC Label : Respiratory
NIC Label : Respiratory Monitoring
Monitoring 1. Monitor keadekuatan
1. Monitor kecepatan, ritme, pernapasan
kedalaman dan usaha pasien 2. Melihat apakah ada obstruksi
saat bernafas di salah satu bronkus atau
2. Catat pergerakan dada, adanya gangguan pada
simetris atau tidak, ventilasi
menggunakan otot bantu 3. Mengetahui adanya sumbatan
pernafasan pada jalan napas.
3. Monitor suara nafas seperti 4. Memonitor keadaan
wheezing, ronkhi. pernapasan klien
4. Monitor pola nafas:
bradypnea, tachypnea,
hiperventilasi, respirasi
kussmaul, respirasi cheyne-
stokes.

19
3. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera fisiologis ditandai
dengan mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif,
gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah
meningkat, pola napas berubah, nafsu makan berubah, menarik diri,
berfokus pada diri sendiri.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam
nyeri pasien dapat teratasi.
Kriteria Hasil:
a. Melaporkan bahwa nyeri berkurang atau terkontrol.
b. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
c. Skala Nyeri 0-1 dalam rentang skala NRC.
d. Mampu mengontrol nyeri.
Intervensi Rasional
1. Kaji nyeri termasuk lokasi, 1. Untuk mengetahui tingkat
karakteristik, durasi, nyeri klien.
frekuensi, kualitas, intensitas 2. Untuk mengetahui tingkat
nyeri dan faktor presipitasi. ketidaknyamanan dirasakan
2. Observasi reaksi oleh klien.
ketidaknyaman secara 3. Untuk mengalihkan
nonverbal. perhatian klien dari rasa
3. Gunakan strategi komunikasi nyeri.
terapeutik untuk 4. Untuk mengetahui apakah
mengungkapkan pengalaman nyeri yang dirasakan klien
nyeri dan penerimaan klien berpengaruh terhadap yang
terhadap respon nyeri. lainnya.
4. Tentukan pengaruh 5. Untuk mengurangi factor
pengalaman nyeri terhadap yang dapat memperburuk
kualitas hidup (nfsu makan, nyeri yang dirasakan klien.
tidur, aktivitas,mood, 6. Pemberian “health
hubungan sosial). education” dapat mengurangi
tingkat kecemasan dan

20
5. Tentukan faktor yang dapat membantu klien dalam
memperburuk nyeri dan membentuk mekanisme
lakukan evaluasi dengan klien koping terhadap rasa nyeri.
dan tim kesehatan lain tentang 7. Untuk mengurangi tingkat
ukuran pengontrolan nyeri ketidaknyamanan yang
yang telah dilakukan. dirasakan klien.
6. Berikan informasi tentang 8. Agar nyeri yang dirasakan
nyeri termasuk penyebab klien tidak bertambah.
nyeri, berapa lama nyeri akan 9. Agar klien mampu
hilang, antisipasi terhadap menggunakan teknik
ketidaknyamanan dari nonfarmakologi dalam
prosedur. memanagement nyeri yang
7. Control lingkungan yang dirasakan.
dapat mempengaruhi respon 10. Pemberian analgetik dapat
ketidaknyamanan klien (suhu mengurangi rasa nyeri
ruangan, cahaya dan suara). pasien.
8. Hilangkan faktor presipitasi
yang dapat meningkatkan
pengalaman nyeri klien
(ketakutan, kurang
pengetahuan).
9. Ajarkan cara penggunaan
terapi non farmakologi
(distraksi, guide imagery,
relaksasi).
10. Kolaborasi pemberian
analgetik.

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan lesi pada kulit ditandai


dengan kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit, nyeri,
perdarahan, kemerahan, hematoma.

21
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam
kerusakan integritas kulit dapat teratasi.
Kriteria Hasil:
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
b. Perfusi jaringan baik
c. Mempu melindungi kulit dan mempertahankankelembaban kulit dan
perawatan alami.
Intervensi Rasional
NIC: Pressure management: NIC: Pressure management :
Observasi/monitoring Observasi/monitoring
1. Monitor kulit akan adanya 1. Untuk mengetahui keadaan
kemerahan kulit pasien.
Edukasi/penyuluhan Edukasi/penyuluhan
2. Anjurkan pasien untuk 2. Untuk mencegah terjadinya
menggunakan pakaian yang iritasi pada bagian kulit yang
longgar. lainnya.
Tindakan mandiri keperawatan Tindakan mandiri keperawatan
3. Jaga kebersihan kuliat pasien 3. Untuk mencegah terjadinya
agar tetap bersih dan kering. infeksi yang dapat
4. Oleskan lotion atau menyebabkan rusaknya kulit.
minyak/baby oil pada daerah 4. Untuk membantu
sekitar lesi. melembabkan kulit pasien.
5. Memandikan pasien dengan 5. Untuk membersihkan kotoran
sabun dan air hangat. dan keringat yang menempel.

5. Keletihan berhubungan dengan penurunan suplai O2 ditandai dengan


merasa energy tidak pulih walaupun telah tidur, merasa kurang
tenaga, mengeluh lelah, tidak mampu mempertahankan aktivitas
rutin, tampak lesu, kebutuhan istirahat meningkat.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam
keletihan pasien dapat teratasi.
Kriteria hasil:

22
a. Memverbalisasikan peningkatan energy merasa lebih baik.
b. Menjelaskan penggunaan energy untuk mengatasi kelelahan.
c. Kecemasan menurun.
d. Glukosa darah adekuat.
e. Kualitas hidup meningkat.
f. Istirahat cukup.
g. Mempertahankan kemampuan untuk berkonsentrasi
Intervensi Rasional
NIC Energy management NIC Energy management
1. Observasi adanya pembatasan 1. Untuk mengetahui aktivitas
klien dalam melakukan yang dapat membatasi pasien
aktivitas. bergerak.
2. Dorong pasien untuk 2. Agar perawat mengetahui apa
mengungkapkan perasaan yang dirasakan pasien
terhadap keterbatasan. mengenai keterbatasannya.
3. Kaji adanya faktor yang 3. Untuk mengetahui penyebab
menyebabkan kelelahan. kelelahan yang dialami
4. Monitor nutrisi dan sumber pasien.
energy yang adekuat. 4. Untuk mengetahui nutrisi
5. Monitor pasien akan adanya yang tepat diberikan kepada
kelelahan fisik dan emosi pasien.
secara berlebihan. 5. Untuk mengetahui apakah
6. Monitor respon pasien mengalami keleahan
kardiovaskuler terhadap fisik dan emosi yang dialami
aktivìtas. secara tidak normal.
7. Monitor pola tidur dan 6. Untuk mengetahui respon
lamanya tidur/istirahat kardovaskuler saat pasien
pasien. beraktivitas itu meningkat
8. Dukung pasien dan keluarga atau tidak, ada gangguan atau
untuk mengungkapkan tidak.
perasaan, berhubungan 7. Untuk mengetahui pola
tidur/istirahat pasien apakah

23
dengan perubahan hidup yang terjadi gangguan selama
disebabkan keletihan. tidur/istirahat.
9. Bantu aktivitas sehari hari 8. Untuk membantu pasien dan
sesuai dengan kebutuhan. keluarga mengatasi
10. Tingkatkan tirah baring dan masalahnya sehingga tidak
pembatasan aktivitas terjadi kesalahan informasi.
(tingkatkan periode istirahat). 9. Untuk memenuhi kebutuhan
11. Konsultasi dengan ahli gizi dasar pasien.
untuk meningkatkan asupan 10. Dengan tirah baring dapat
makanan yang berenergi membantu pasien membatasi
tinggi. aktivitasnya sehingga energy
yang dikelurkan pasien lebih
hemat dan pasien tidak
merasa kelelahan.
11. Untuk membantu memenuhi
kebutuhan nutrisi pasien.

6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur kulit


ditandai dengan mengeungkapkan kecatatan atau kehilangan
bagian tubuh, fungsi/struktur tubuh berubah/hilang, mengungkapkan
perasaan negative tentang perubahan tubuh, mengungkapkan
kekhawatiran pada penolakan/ reaksi orang lain, mengungkapkan
perubahan gaya hidup, menyembunyikan/ menunjukkan bagian
tubuh secara berlebihan, respon nonverbal pada perubahan dan
persepsi tubuh, focus pada penampilan dan kekuata masa lalu,
hubungan sosial berubah.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam
gangguan citra tubuh pasien dapat teratasi.
Kriteria Hasil :
NOC label: Adaptation to Physical Disability
a. Mampu beradaptasi dengan keterbatasan fungsional (skala 4 dari 1
– 5).

24
NOC label : Body Image
a. Puas dengan penampilan tubuh (skala 4 dari 1 – 5).
b. Mampu menyesuaikan dengan perubahan fungsi tubuh (skala 4 dari
1 – 5)
NOC Label : Self Esteem
a. Merasa dirinya berharga (skala 4 dari 1 – 5)
Intervensi Rasional
NIC label : Body Image NIC labeb : Body Image
Enhancement Enhancement
1. Monitor frekuensi kalimat 1. Untuk mengetahui seberapa
yang mengkritik diri sendiri. besar klien mampu menerima
2. Bantu klien untuk mengenali keadaan dirinya.
tindakan yang akan 2. Untuk meningkatkan percaya
meningkatkan diri klien.
penampilannya. 3. Untuk meningkatkan percaya
3. Fasilitasi hubungan klien diri dan semangat klien.
dengan individu yang 4. Untuk mengetahui kekuatan
mengalami perubahan citra pribadi klien
tubuh yang serupa. NIC: Self Esteem Enhancement
4. Identifikasi dukungan 1. Agar klien tahu seberapa
kelompok yang tersedia untuk kekuatan pribaidnya.
klien 2. Agar klien lebih percaya diri.
NIC label : Self 3. Agar klien bisa melakukan
Esteem Enhancement aktivitas.
1. Anjurkan klien untuk menilai 4. Memantau kondisi klien
kekuatan pribadinya.
2. Anjurkan kontak mata dalam
berkomunikasi dengan orang
lain.
3. Fasilitasi lingkungan dan
aktifitas yang akan

25
meningkatkan harga diri
klien.
4. Monitor tingkat harga diri
klien dari waktu ke waktu
dengan tepat

7. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi


ditandai dengan menanyakan masalah yang dihadapi, menunjukkan
perilaku tidak sesuai anjuran, menunjukkan persepsi yang keliru
terhadap masalah, menunjukkan perilaku yang berlebihan (mis.
Apatis).
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama … x 24 jam
defiSit pengetahuan pasien dapat teratasi.
Kriteria hasil:
a. Pasien mampu menjelaskan kembali tentang penyakit.
b. Pasien mampu mengenal kebutuhan perawatan dan pengobatan tanpa
cemas
Intervensi Rasional
NIC: Pengetahuan penyakit NIC: Pengetahuan Penyakit:
Aktifitas: Aktivitas:
1. Kaji pengetahuan pasien 1. Mempermudah dalam
tentang penyakitnya. memberikan penjelasan pada
2. Jelaskan tentang proses pasien.
penyakit (tanda dan gejala), 2. Meningkatan pengetahuan
identifikasi kemungkinan dan mengurangi cemas.
penyebab. 3. Agar paien dan kelurga
3. Jelaskan kondisi tentang mengetahui setiap kondisi
pasien. pasien dan jika terjadi
4. Jelaskan tentang program perubahan kondisi kelurga
pengobatan dan alternatif tidak menjadi kaget dan
pengobantan. marah.

26
5. Diskusikan perubahan gaya 4. Agar keluarga dan pasien
hidup yang mungkin mengetahui program
digunakan untuk mencegah pengobatan apa saja yang
komplikasi. dilakukan kepada pasien.
6. Diskusikan tentang terapi dan 5. Bersma-sama keluarga
pilihannya. menentukan intervensi untuk
7. Eksplorasi kemungkinan membantu merubah gaya
sumber yang bisa digunakan/ hidup pasien dalam mencegah
mendukung. komplikai.
8. Tanyakan kembali 6. Untuk membantu pasien dan
pengetahuan klien tentang keluarga memilih terapi
penyakit, prosedur perawatan sesuai dengan hak pasien.
dan pengobatan 7. Bantu pasien dan keluarga
menggunakan sumber-
sumber informasi untuk
mendukung wawasan pasien
dan keluarga mengenai
pnenyakit pasien.
8. Untuk mengevaluasi
keberhasilan intervensi
apakah pasien dan keluarga
telah paham akan informasi
yang diberikan.

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah
ditentukan.

E. Evaluasi
Evaluasi dilakukan setelah melakukan intervensi yang telah dibuat untuk
mengetahui respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah diberikan.

27
Berdasarkan diagnose keperawatan di atas, evaluasi hasil yang diharapkan
adalah sebagai berikut:
1. Penurunan curah jantung dapat teratasi.
2. Ketidakefektifan pola nafas pasien dapat teratasi.
3. Nyeri akut pasien teratasi.
4. Kerusakan integritas kulit pasien dapat teratasi.
5. Keletihan yang dialami pasien dapat teratasi.
6. Gangguan citra tubuh yang dialami pasien dapat teratasi.
7. Defisit pengetahuan pasien dapat teratasi.

28
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Penyakit Sistemik Lupus Eritematosus merupakan penyakit autoimun kronis
dimana terdapat kelainan system imun yang menyebabkan peradangan pada
beberapa organ dan sistem tubuh. Kelainan ini disebabkan oleh produksi antibodi
dalam jumlah besar sehingga menyebabkan sistem imun tidak dapat membedakan
antara jaringan tubuh sendiri dan organisme asing. Penyakit SLE ini penyebabnya
belum pasti tetapi serng dikaitkan dengan faktor ginetik. Gejala SLE yang khas
adalah adanya ruam diwajah berbentuk seperti kupu-kupu.

3.2 Saran
Diharapkan dengan perawat mengetahui patofisiologi dan konsep asuhan
keperawatan pada pasien SLE sehingga di dalam menangani pasien di rumah sakit
nanti akan tepat dalam memberikan intervensi kepada pasien. Kami menyadari
makalah kami kurang sempurna sehingga memerlukan masukan dari pihak lain.

29
DAFTAR PUSTAKA
Bulecheck, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, J. McCloskey.
2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Iowa :
Mosby Elsavier.
Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan :Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendekumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta:
EGC.
Jhonson, Marion. 2016. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC). St.
Louis ,Missouri ; Mosby.
NANDA. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis.
Yogyakarta: Medi Action.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Jogjakarta :
Mediaction.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry
Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC.
Sudoyo Aru, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi 4. Jakarta:
Internal Publishing.
Tim Pogja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
PPNI.

30

Anda mungkin juga menyukai