Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa


(PBB) di New York pada September 2000 mendeklarasikan kesepakatan global
yang disebut Deklarasi Milenium. Deklarasi Milenium disetujui oleh 189 negara dan
ditandatangani oleh 147 kepala negara dan kepala pemerintahan yang menghasilkan
delapan sasaran pembangunaan milenium atau yang disebut Millennium
Development Goals (MDG’s). Salah satu negara yang hadir pada Deklarasi
Milenium adalah Indonesia. Oleh sebab itu, Indonesia memiliki tanggung jawab
melaksanakan komitmen tersebut sebagai upaya mensejahterakan masyarakat
(Maryam 2012).
Millennium Development Goals (MDG’s) tidak hanya tanggung jawab kepala
negara, tetapi seluruh pemerintah (terutama unit kesehatan) dan juga masyarakat.
Suksesnya MDG’s tak lepas dari keterlibatan seluruh profesi kesehatan untuk saling
bekerja sama mendukung dan mewujudkan MDG’s. Selain itu peran serta dan
partisipasi masyarakat sangat diharapkan demi kesuksesan MDG’s pada tahun 2015.
Masyarakat merupakan kunci awal dan inti keberhasilan pada suatu harapan besar
dalam memajukan suatu negara (Maryam, 2012).
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan
salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan suatu negara. Angka kematian
ibu dan anak juga merupakan bagian target yang telah ditentukan dalam tujuan
pembangunan millenium yaitu tujuan ke 4 dan 5 yaitu meningkatkan kesehatan ibu
dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾
resiko jumlah kematian ibu, Angka Kematian bayi (AKB) 23 per 100.000 kelahiran
hidup dan Angka Kematian Balita (AKABA) 32 per 100.000 kelahiran hidup. Dari
hasil survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari tahun 1994 (390
kematian ibu) turun menjadi 228 di tahun 2007, namun demikian upaya untuk
mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan
komitmen dan usaha keras yang terus menerus. Indonesia masih harus berjuang
keras untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) saat melahirkan. Survei

1
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan AKI melahirkan
menunjukan peningkatan berjumlah 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Hal tersebut
sangat jauh dari target pemerintah dalam percepatan pencapaian target Millenium
Development Goal (MDGs), yakni menurunkan AKI menjadi 102 per 100 ribu
kelahiran hidup pada tahun 2015.

Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyebab
langsung kematian ibu hampir 90 persen terjadi pada saat persalinan dan segera
setelah persalinan. Sementara itu, risiko kematian ibu juga makin tinggi akibat
adanya faktor keterlambatan, yang menjadi penyebab tidak langsung kematian ibu.
Ada tiga risiko keterlambatan, yaitu terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk
(termasuk terlambat mengenali tanda bahaya), terlambat sampai di fasilitas kesehatan
pada saat keadaan darurat dan terlambat memperoleh pelayanan yang memadai oleh
tenaga kesehatan. Sedangkan pada bayi, dua pertiga kematian terjadi pada masa
neonatal (28 hari pertama kehidupan). Penyebabnya terbanyak adalah bayi berat
lahir rendah dan prematuritas, asfiksia (kegagalan bernapas spontan) dan infeksi.

Angka Kematian Ibu seharusnya dapat dicegah dengan melakukan deteksi


secara dini kehamilan beresiko dengan memberikan pelayanan antenatal care pada
ibu hamil. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan AKI dan AKB di
Indonesia, antara lain peningkatan program Kesehatan Ibu dan Anak melalui
peningkatan pelayanan antenatal di semua fasilitas pelayanan kesehatan dengan mutu
baik serta menjangkau semua kelompok sasaran, peningkatan pertolongan persalinan
oleh tenaga profesional secara berangsur dan melaksanakan sistem rujukan serta
peningkatan pelayanan neonatal dengan mutu yang baik (Depkes RI, 2010).
Pemerintah sudah berupaya untuk mengurangi atau mengantisipasi jumlah
kematian pada kaum wanita dan anak. Mengurangi Angka Kematian Ibu (AKI) dan
Angka Kematian Bayi (AKB) ini perlu penanganan bersama-sama mulai dari
pemerintahan pusat sampai ke daerah harus saling bekerja sama, begitu juga dengan
provinsi riau perlu untuk mengkaji, menganalisis pelaksanaan program Kesehatan
Ibu Anak dengan cara mengetahui apa saja yang menjadi penyebab dari masalah
tingginya kematian ibu dan bayi serta strategi dan intervensi apa saja yang harus
dilakukan untuk meningkatkan cakupan pelayanan terutama terhadap kesehatan ibu
dan anak di Provinsi Riau. Sehingga dapat menurunkan AKI dan AKB. Oleh karena
itu penulis tertarik untuk melakukan analisis SWOT mengenai implementasi
2
kebijakan pemerintah provinsi Riau tentang upaya akselerasi penurunan angka
kematian ibu dan bayi untuk mencapai tujuan MDGs 4 dan 5 yang menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk menganalisis kebijakan pemerintah tentang akselerasi penurunan AKI dan
AKB untuk mencapai tujuan MDGs 4 dan 5 di Provinsi Riau.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui cakupan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Provinsi


Riau.

b. Untuk mengetahui implementasi berdasarkan strategi akselerasi penurunan


AKI dan AKB di Provinsi Riau

c. Untuk mengatahui kebijakan strategis apa yang bisa diterapkan dengan


melakukan analis SWOT dan kajian literatur agar upaya penurunan AKI dan
AKB dapat dicapai sesuai dengan tujuan yang di inginkan.

C. Manfaat Penulisan

1. Dapat dijadikan sebagai masukan dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan
angka kematian bayi

2. Dapat dijadikan Sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan tentang


strategi akselerasi AKI dan AKB selanjutnya.

3
BAB II

GAMBARAN UMUM PROVINSI RIAU

A. Kondisi Georafis

Provinsi Riau secara geografis terletak pada jalur yang sangat strategis baik
pada masa kini maupun pada masa yang akan datang karena terletak pada jalur
perdagangan Regional dan Internasional. Provinsi Riau memiliki luas area sebesar
8.915.016 Hektar. Keberadaannya membentang dari lereng Bukit Barisan
sampai dengan Selat Malaka, terletak antara 01o05'00’’ Lintang Selatan
sampai 02o25'00’’ Lintang Utara atau antara 100 o00'00’’Bujur Timur-
105o05'00’’ Bujur Timur. Batas-batas daerah Riau adalah:

 Sebelah Utara : Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara


 Sebelah Selatan : Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat
 Sebelah Timur : Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka
 Sebelah Barat : Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara

B. Kependudukan

Berdasarkan sensus terakhir jumlah penduduk Bumi Lancang Kuning


menempati peringkat 11 dari 33 provinsi di Indonesia. Berdasarkan sensus penduduk
tahun 2010 jumlah penduduk Riau mencapai 5.538.367 jiwa. Artinya selama 10
tahun bertambah sebesar 1.630.604 jiwa jika dibandingkan sensus penduduk tahun
2000 sebesar 3.907.763.
Berdasarkan data hasil pengolahan, jumlah penduduk Provinsi Riau tahun 2012
sebesar 5.935.430 jiwa. Daerah dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kota
Pekanbaru ( 964.558 jiwa), Kabupaten Kampar (739.655 jiwa) dan Kabupaten
Indragiri Hilir (689.938 jiwa), sedangkan jumlah penduduk paling sedikit di Kota
Dumai (271.522 jiwa ) dan Kabupaten Meranti (183.135 jiwa).
Penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan salah satu ciri demografi
Provinsi Riau. Hal ini menjadikan kepadatan penduduk yang berbeda di
Kabupaten/Kota. Kepadatan penduduk Provinsi Riau tahun 2012 sebesar 67
jiwa/km. Kepadatan penduduk di kota umumnya lebih tinggi dibandingkan
dengan kabupaten dan Kota Pekanbaru dengan kepadatan penduduk tertinggi

4
1.524 jiwa/km serta kepadatan penduduk terendah di Kabupaten Pelalawan
24 jiwa/km.
Tingginya persentase penduduk usia produktif merupakan potensi sumber
daya manusia bagi Provinsi Riau. Perbandingan jumlah penduduk usia tidak
produktif terhadap jumlah penduduk usia produktif ini menunjukkan rasio beban
tanggungan. Rasio beban tanggungan di Provinsi Riau Tahun 2012 sebesar 62.
Rasio beban tanggungan terendah di Kota Pekanbaru (52) dan tertinggi di
Kabupaten Rokan Hulu (72) yang berarti di Rokan Hulu setiap 100 orang usia
produktif menanggung 72 orang usia tidak produktif sedangkan di Kota
Pekanbaru setiap 100 orang usia produktif menanggung 52 orang usia tidak
produktif.

Di Provinsi Riau penduduk laki-laki berjumlah lebih banyak dari pada


penduduk perempuan (sex ratio 104). Jumlah penduduk laki-laki lebih banyak
dari pada perempuan terdapat di seluruh Kabupaten/Kota. Berdasarkan
komposisi penduduk, kelompok umur produktif (usia 15 – 64 tahun) masih
mendominasi presentase dengan jumlah terbanyak di kelompok usia 25–29 tahun ,
sedangkan kelompok bayi merupakan yang terkecil.

C. Status Pendidikan Dan Angka Melek Huruf


Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi, BPS Provinsi Riau Tahun 2011
diketahui tingkat pendidikan penduduk di Provinsi Riau sudah baik karena
angka buta huruf sangat kecil (2,19 %) sedangkan angka melek huruf sebesar 97,87
%. Status penduduk yang masih berstatus sekolah di Provinsi Riau SD/SDLB 28,3
%, MI 0,4%, paket A 0,2%, SMP/SMPLB 18,4%, M.Tsanawiyah 1,9%, Paket B
0,1 %, SMA/SMLB 17,5%, M.Aliyah 1,3 %, SMK 5,2%, Paket C 0,2 %, D1/D2
0,9%, D3/Sarjana muda 1,7%, S1 3,6%, S2/S3 0,2 %. Penduduk yang harus menjadi
perhatian dari pemerintah adalah penduduk yang tidak punya ijazah SD sekolah
sebesar 20,2 %.

D. Visi dan Misi Dinas Kesehatan Provinsi Riau


1. Visi Dinas Kesehatan :
Mewujudkan Masyarakat Riau yang Mandiri untuk Hidup Sehat Pada Tahun 2020

5
2. Misi :

a. Meningkatkan upaya pelayanan kesehatan yang terjangkau, bermutu,


berkeadilan dan berbasis bukti ilmiah dengan pengutamaan pada upaya
promotif-preventif.
b. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan terutama untuk
mewujudkan jaminan kesehatan sosial masyarakat.
c. Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan.
d. Meningkatkan ketersediaa, pemerataan dan keterjangkauan obat serta
menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat
kesehatan dan makanan.
e. Meningkatkan manajemen kesehatan mendukung desentralisasi yang
akuntabel, transparan, berdaya guna dan berhasil guna.
f. Meningkatkan kerjasama dan pemberdayaan masyarakat yang melibatkan
berbagai unsur pemangku kepentingan dalam pembangunan kesehatan

6
BAB III

ANALISA PERMASALAHAN

A. Status Derajad Kesehatan

Dalam menilai derajat kesehatan masyarakat, terdapat beberapa indikator yang


dapat digunakan. Indikator-indikator tersebut pada umumnya tercermin dalam
kondisi angka kematian, angka kesakitan dan status gizi. Pada bagian ini, derajat
kesehatan masyarakat di Provinsi Riau digambarkan melalui Angka Kematian Bayi
(AKB), Angka Kematian balita (AKABA), Angka Kematian Ibu (AKI), angka
morbiditas beberapa penyakit dan status gizi. Derajat kesehatan masyarakat juga
dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut tidak hanya berasal dari
sektor kesehatan seperti pelayanan kesehatan dan ketersediaan sarana dan prasarana
kesehatan, melainkan juga dipengaruhi faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan
sosial, keturunan dan faktor lainnya.
1. Angka Kematian Bayi (AKB)
Di Provinsi Riau AKB cenderung menurun dari tahun 1994 – 2012,
walaupun dibandingkan dengan angka nasional masih lebih besar. Gambaran
perkembangan terakhir mengenai estimasi AKB dapat dilihat pada tabel
berikut :
Gambar 3.1
Angka Kematian Bayi (AKB) Provinsi Riau Tahun 2006-2012
(lapiran rutin dari fasilitas kesehatan)

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau

Dari gambar diatas menggambarkan bahwa berdasarkan laporan audit


7
maternal Perinatal yang diterima dari kabupaten /Kota , angka kematian bayi
dari tahun 2006 s/d 2011 fluktuatif dari 11,9 per 1000 kelahiran hidup
menurun di tahun 2007 (11,7 per 1000 kelahiran hidup) dan tahun 2008
(10,5 per kelahiran 1000 kelahiran hidup), tetapi naik lagi di tahun 2009
menjadi 11,7 per 1000 kelahiran , menurun lagi cukup signifikan di tahun 2010
menjadi 7,9 per 1000 kelahiran hidup, naik lagi menjadi 11,4 per 1000
kelahiran hidup di tahun 2011. Tahun 2012 Angka Kematian Bayi turun
menjadi 9,4/1000 KLH, namun angka ini belum bisa dikatakan Angka
Kematian Bayi Provinsi Riau karena angka ini dihitung berdasarkan jumlah
kasus yang dilaporkan bukan berdasarkan hasil survey (masih ada
kemungkinan tidak semua kematian terlapor/ under reported).

2. Penyebab Kematian Bayi

Salah satu upaya yang dilakukan dalam penurunan kematian bayi dan balita
adalah melalui penerapan Audit Maternal Perinatal (AMP) dan Autopsi Verbal
kemat ian balita. AMP merupakan suatu kegiatan untuk menelusuri sebab
kesakitan dan kematian ibu dan perinatal untuk mencegah terulangnya
kejadian yang sama.

Gambar 3.2
Persentase penyebab kematian perinatal Provinsi Riau tahun 2011 dan 2012

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau

8
Proporsi kasus Perinatal yang terbesar tahun 2012 hampir sama dengan
tahun 2011. Pada Tahun 2012 proporsi penyebab kematian terbanyak karena
faktor lain-lain yaitu 40 %, kematian akibat BBLR 36 %, kematian akibat
asfiksia 22 %, kematian akibat kelaian kongenital 1 %, kematian karena tetanus
neonatorum 1 %.

Tahun 2012 masih ditemukan kematian akibat kasus tetatus Neonatorum.


Kasus Tetanus Neonatorum yang menyebabkan kematian yang ada di Provinsi
Riau Tahun 2012 terdapat pada Kabupaten Kuantan Singingi, Kampar dan
Bengkalis. Menurut informasi dari team investigasi Dinas Kesehatan
Kabupaten kasus tetanus neonatorum yang ditemukan sebahagian ada yang
ditolong oleh tenaga kesehatan (bidan, dokter) dan ada yang ditolong oleh
dukun, tetapi yang ditolong oleh tenaga kesehatan semuanya tidak mendapatkan
TT bumil.

Berdasarkan data diatas menunjukkan Provinsi Riau belum bisa


mengeliminir kasus tetanus neonatorum dan untuk penata laksanaan kasus
belum ada peningkatan terlihat dengan jumlah kematian dari kasus yang
bertambah 1. Dengan masih adanya kasus tetanus neonatorum pada bayi ini
menunjukkan masih rendahnya kualitas pertolongan persalinan di Provinsi
Riau dimana konsep PI (Pencegahan Infeksi) belum maksimal dan cakupan TT
Bumil perlu ditingkatkan dengan meningkatkan akses bumil melalui pelayanan
ante natal care ( K1, K4)

3. Angka Kematian Balita (AKABA)

Kematian balita adalah kematian yang terjadi pada balita sebelum usia
lima tahun (bayi + anak balita). AKABA menggambarkan tingkat
permasalahan kesehatan anak dan faktor-faktor lain yang berpengaruh
terhadap kesehatan anak balita seperti gizi, sanitasi, penyakit infek si dan
kecelakaan. Angka Kematian Balita di Provinsi Riau dapat dilihat pada tabel
berikut:

9
Grafik 3.1
Angka Kematian Balita (AKABA) Per 1.000 Kelahiran Hidup Riau
Dibandingkan dengan nasional Tahun 1997, 2002/2003, 2007 dan 2012
AKABA Sumber Data
Tahun
RIAU Indonesia

1997 59 58 SDKI 2002 – 2003

2002/ 2003 60 46 SDKI 2002 – 2003

2007 47 44 SDKI 2007

2012 28 40 SDKI 2012

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau

Dari hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) angka


kematian balita Provinsi Riau tahun 2012 (28 per 1000 kelahiran hidup),
terjadi penurunan dibandingkan hasil SDKI tahun 2007 (47 per 1000 kelahiran
hidup). Jika dibandingkan dengan Angka Kematian Balita Indonesia (40 per
1000 kelahiran hidup) lebih kecil Angka Kematian Balita Provinsi Riau.
Sedangkan hasil dari laporan rutin fasilitas kesehatan setiap tahun dari tahun
2006 s/d 2012 dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.3
Angka Kematian Balita (AKABA) Provinsi Riau Tahun 2006-2012

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau


10
Dari gambar diatas menggambarkan bahwa berdasarkan laporan
rutin fasilitas kesehatan angka kematian balita dari tahun 2006 s/d 2012
fluktuatif dari 0,2 per 1000 kelahiran hidup meningkat secara signifikan di
tahun 2009 menjadi 13,6 per 1000 kelahiran , menurun lagi cukup signifikan
di tahun 2010 menjadi 5,6 per1000 kelahiran hidup, naik lagi menjadi 9,7 per
1000 kelahiran hidup. Dan angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan
dengan angka survey karena hanya balita yang terlaporkan.

4. Angka Kematian Ibu


Angka Kematian Ibu Maternal menggambarkan status gizi dan kesehatan,
tingkat pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil, ibu melahirkan dan masa nifas.
Angka kematian ibu di provinsi riau terlihat pada gambar berikut:
Gambar 3.4
Angka kematian ibu (AKI) Provinsi Riau tahun 2006-2012

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau

Dari gambar tersebut diatas angka kematian ibu di Provinsi Riau dari
tahun 2006 s/d 2011 fluktuatif , dari tahun 2006 sebesar 167,8 per 1000
kelahiran hidup naik menjadi 193,4 di tahun 2007 , turun lagi menjadi 165,8 per
1000 kelahiran hidup tahun 2008, naik lagi cukup signifikan di tahun 2009
menjadi 195,4 per 1000 kelahiran hidup, tahun 2010 menurun lagi secara
signifikan menjadi 109,9 per 1000 kelahiran hidup dan naik lagi tahun 2011
menjadi 122,1 per 1000 kelahiran hidup. Dan menurun menjadi 112.7 pada
tahun 2012 .

11
5. Penyebab Kematian Ibu Di Provinsi Riau
Penyebab angka kemantian ibu di provinsi riau tergambar pada gambar berikut:
Gambar 3.5

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau

Berdasarkan gambar diatas Penyebab kematian ibu di Provinsi Riau Tahun 2012,
adalah perdarahan sebanyak 39 %, diikuti dengan Hipertensi dalam kehamilan
sebesar 20% dan penyakit lain lain seperti penyakit jantung, diabetes dan
lain-lain.

B. Cakupan Pelayanan KIA


Seorang ibu mempunyai peran yang sangat besar di dalam pertumbuhan
bayi dan perkembangan anak. Gangguan kesehatan yang dialami seorang ibu yang
sedang hamil bisa berpengaruh pada kesehatan janin dalam kandungan hingga
kelahiran dan masa pertumbuhan bayi dan anaknya.
1. Pemeriksaan Kesehatan Ibu Hamil oleh Tenaga Kesehatan
Hasil pencapaian upaya kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan
menggnakan indikator cakupan K1 dan K4 . Cakupan K1 adalah jumlah ibu
hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal pertama kali, dibandingkan
jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun.
Sedangkan Cakupan K4 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh
pelayanan antenatalsesuai dengan standar paling sedikit 4 kali sesuai jadwal
yang dianjurkan, dibandingkan sasaran ibu hamil di satu wilayah kerja pada
kurun waktu satu tahun.

12
Gambar 3.6

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau

Dari gambar garafik diatas terlihat cakupan k1 dan k4 dari tahu 2008
sampai 2012 cendrung meningkat hanya tahun 2011 terjadi penurunan.
Meskipun akupan K4 meningkat namun masih dibawah target MDGs tahun
2015 (90 %) dan target pada Renstra untuk tahun 2012 (93 %) belum tercapai.

2. Presentase Ibu Hamil Yang Mendapatkan Tablet Fe


Cakupan ibu hamil yang mendapat 90 tablet Fe Propinsi Riau dalam 3
tahun terakhir ini mengalami penurunan. Untuk tahun 2012 Cakupan ibu
hamil yang mendapat 90 tablet Fe Propinsi Riau sebesar (83,71%) menurun
jika dibandingkan dengan tahun 2011 (86,31 %). Walaupun pencapaian cakupan
pemberian Fe tersebut belum mencapai target (Tahun 2012 target Fe3: 90
persen ), namun ada beberapa Kab/Kota yang sudah melampaui target yaitu
Kota Pekanbaru (115%), Kabupaten Bengkalis (95%), Kabupaten Siak (94%),
Kabupaten Meranti (92%) dan Kota Pekanbaru (90%). Sedangkan
Kabupaten/Kota yang perlu mendapt perhatian karena capaian Fe3 terlalu kecil
adalah Kabupaten Kuantan Singingi (64%), Kabupaten Rokan Hilir (74%). Dan
Kabupaten Pelalawan (75%). Gambaran pencapaian per Kab/Kota bisa dilihat
pada grafik berikut:

13
Gambar 3.7

3. Pelayanan Kesehatan Ibu Bersalin

Upaya pelayanan kesehatan terhadap Ibu bersalin berupa pertolongan


persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih dan dilakakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan. Pencapaian Upaya pelayanan kesehatan Ibu bersalin dapat diukur dari
indikator persentase persalinan ditolong tenaga kesehatan yang terlihat pada
gambar dibawah ini:
Gambar 3.8

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau

Pada tahun 2012, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga


kesehatan di Provinsi Riau adalah sebesar 89,9% dan telah mencapai target
yang ditetapkan. Cakupan persalinan tahun 2012 ini meningkat dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya. Untuk cakupan pertolongan persalinan oleh

14
tenaga kesehatan di Provinsi Riau selama 5 tahun (2008 -2012)
Meskipun secara Provinsi target persalinan tenaga kesehatan telah tercapai,
namun bila diperhatikan hasil pencapaian berdasarkan Kabupaten/kota maka
masih banyak kabupaten/kota yang belum mencapai target, ini artinya
dibeberapa kabupaten/kota di Provinsi Riau masih banyak persalinan yang
dilakukan bukan dengan tenaga kesehatan. Hal ini dapat terlihat pada gambar
berikut:
Gambar 3.9

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau

Berdasarkan gambar diatas Kabupaten dengan cakupan tertinggi adalah


Kabupaten Rokan Hulu dan Siak (104%), diikuti oleh Kota Dumai (94%),
Kabupaten Kampar (92%) dan Kabupaten/kota dengan capaian terendah adalah
Kabupaten Kepulauan Meranti (73%), Kabupaten Kuantan Singingi (79%),
Kabupaten Indragiri Hilir (84%).

4. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas


Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas adalah pelayanan kesehatan kepada ibu
nifas sesuai standar, yang bertujuan untuk deteksi dini komplikasi dengan
melakukan kunjungan minimal sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali sesuai dengan
jadwal yang dianjurkan.

15
Pelayanan Ibu Nifas meliputi pemberian Vitamin A dosis tinggi ibu nifas
yang kedua dan pemeriksaan kesehatan pasca persalinan untuk mengetahui
apakan terjadi perdarahan pasca persalinan, keluar cairan berbau dari jalan lahir,
demam lebih dari 2 (dua) hari, payudara bengkak kemerahan disertai rasa sakit
dan lain-lain. Kunjungan terhadap ibu nifas yang dilakukan petugas kesehatan
biasanya bersamaan dengan kunjungan neonatus.
Gambar 3.10

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau

Pada gambar diatas terlihat cakupan pelayanan ibu nifas di Provinsi Riau
Pada tahun 2012 ssebesar 82%, j ika dibandi ngkan dengan t ahun
2011 m engal ami penurunanan (88%) . Terdapat 5 kabupaten yang
telah mencapai target (85%) yaitu kabupaten kota pekanbaru, kabupaten siak,
kabupaten kampar, kabupaten rokan hulu dan kabupaten dumai.

5. Pelayanan Komplikasi KebidananYang Ditangani


Komplikasi kebidanan merupakan kesakitan pada ibu hamil, ibu bersalin
dan ibu nifas yang dapat mengancam jiwa ibu dan/atau bayi. Jumlah komplikasi
kebidanan provinsi riau tahun 2012 sebanyak 28.336 (20% dari jumlah ibu ibu
hamil). Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani tahun 2012 sebesar
48,12%.

16
Gambar 3.11

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau

6. Pelayanan Kesehatan Anak


a. Cakupan Kunjungan Neonatus
Pelayanan kesehatan neonatal adalah pelayanan kesehatan neonatal
saat lahir dan pelayanan kesehatan saat kunjungan neonatus
sebanyak 3 kali, yaitu: KN1 kunjungan pada 0 -2 hari, KN2
kunjungan 2-7 hari, KN3 kunjungan setelah 7-28 hari. Cakupan
kunjungan neonatal di provinsi riau terlihat pada gambar berikut:
Gambar 3.12

Pada gambar diatas diketahui hanya 3 Kabupaten/kota yang telah


mencapai target sekaligus menjadi capaian tertinggi yakni Kota Dumai
sebesar 117,9%, Kabupaten Rokan Hulu sebesar 103 %, Kabupaten Siak

17
sebesar 93,4 % dan capaian terendah Kabupaten Rokan Hilir sebesar 75,2 %,
Kabupaten Pelalawan sebesar 74,7 %, Kabupaten Bengkalis sebesar 76,9%.
Terlihat p e n capaian KN Lengkap secara Provinsi Tahun 2012 mencapai
85,4% yang belum mencapai target renstra sebesar 90%.

b. Cakupan Kunjungan Bayi


Kunjungan bayi adalah bayi yang memperoleh pelayanan kesehatan
sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan, paling sedikit 4 kali, di luar
kunjungan neonatus setelah umur 28 hari.
Gambar 3.13

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau

Berdasarkan gambar diatas terlihat cakupan kunjungan bayi masih


dibawah target renstra (90%), namun ada 4 kabupaten/kota yang telah
melampaui target tersebut, yakni Kota Dumai, Kabupaten Kampar,
Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Siak.

c. Cakupan Neonatus Komplikasi Yang Ditangani


Neonatus dengan komplikasi merupakan neonatus dengan penyakit dan
kelainan yang dapat menyebabkan kesakitan, kecacatan dan kematian.
Neonatus dengan komplikasi seperti asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus
neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR (berat badan lahir rendah <

18
2500 gr), sindroma gangguan pernafasan dan kelainan congenital maupun yang
termasuk klasifikasi kuning pada Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).
Neonatus dengan komplikasi yang ditangani merupakan neonatus komplikasi
yang mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan yang terlatih, dokter dan
bidan di sarana pelayanan kesehatan. Perhitungan sasaran neonatus dengan
komplikasi dihitung berdasarkan 15% dari jumlah bayi baru lahir.
Gambar 3.14

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau

Tahun 2012 perkiraan bayi dengan komplikasi yang dihitung dari


banyaknya sasaran bayi jumlahnya sebesar 18.436 bayi. Jumlah perkiraan
tersebut yang mendapat penanganan tenaga kesehatan di tiap jenjang pelayanan
kesehatan sebesar 6.681 bayi (36,2%). Cakupan Neonatus Risiko
Tinggi/komplikasi yang ditangani tersebut masih jauh dari target cakupan
sebesar 78%. Dan Kota Dumai dengan capaian 90,9 % merupakan satu-satunya
kota yang Cakupan Neonatus Risiko Tinggi/komplikasi yang ditangani telah
melewati target renstra.

d. Presentase Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)


Berdasarkan profil dinas kesehatan provinsi Riau Jumlah bayi berat lahir
rendah (BBLR) di Riau pada tahun 2012 sebanyak 1.212 (0.92%) menurun
apabila dibandingkan tahun 2011 yang sebanyak 2.113 (1.6%).

19
Gambar 3.15
Presentase Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah

e. Presentase Bayi Yang Mendapatkan ASI Ekslusif


Bayi yang mendapatkan ASI Eksklusif yaitu bayi yang hanya
mendapatkan Air Susu Ibu saja sejak lahir sampai usia 6 bulan. Dari data profil
dinas kesehatan Provinsi tahun 2012 terlihat pada gambar berikut:
Gambar 3.15

Sumber Profil dinkes Provinsi Riau

Cakupan pemberian ASI Ekslusif di provinsi Riau masih dibawah target

20
SPM (70%). Cakupan pemberian ASI Eksklusif menurut Kabupaten/kota
tertinggi adalah cakupan Kota Dumai sebesar 61,3%, Kabupaten Pelalawan
sebesar 54,5% dan Kota Pekanbaru sebesar 54,2%. Capaian terendah adalah
Kabupaten Kampar 39,0%, Kabupaten Siak sebesar 39,5% dan Kabupaten
Bengkalis sebesar 40,9 %. Untuk cakupan pemberian ASI Eksklusif ini baik
secara Provinsi maupun kabupaten/kota masih dibawah target renstra sebesar
70%.

21
BAB IV
IMPLEMENTASI UPAYA PENURUNAN AKI DAN AKB BERDASARKAN
LIMA STRATEGI AKSELERASI

A. SUPPLY SIDE
Strategi yang pertama adalah tersediaanya fasilitas pelayanan kesehatan yang
merata, terjangkau, dan berkualitas. Dalam strategi pertama ini akan dijelaskan
mengenai implementasi dari fasilitas kesehatan yang ada di Provinsi Riau meliputi:

1. Puskesmas

Puskesmas merupakan Unit Pelaksana Teknis kesehatan di bawah Dinas


Kesehatan Kabupaten/kota yang memberikan pelayanan preventif, promotif,
kuratif sampai dengan rehabilitatif baik melalui Upaya Kesehatan Perorangan
(UKP) atau Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Puskesmas selain dapat
memberikan pelayanan rawat jalan juga memberikan pelayanan rawat inap.
Hal ini disepakati oleh puskesmas dan Dinas Kesehatan yang bersangkutan.
Puskesmas terdiri dari Puskesmas Perawatan, Puskesmas Non Perawatan,
Puskesmas Pembantu, dan Puskesmas Keliling. Jumlah Puskesmas di Provinsi
Riau pada tahun 2012 sebanyak 205 (termasuk 76 Puskesmas Rawat Inap).
Gambar 4.1

Sumber Provil Dinas Kesehatan Provinsi Riau 2012


22
Salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui keterjangkauan
penduduk terhadap Puskesmas adalah rasio Puskesmas per 100.000 penduduk.
Meskipun jumlah Puskesmas setiap tahunnya meningkat namun ternyata dalam
kurun waktu tahun 2009 hingga tahun 2012 rasio Puskesmas menunjukkan
adanya penurunan. Rasio Puskesmas per 100.000 penduduk pada tahun 2009
sebesar 3,62 dan pada tahun 2012 menurun menjadi 3,46 Puskesmas. Hal ini
disebabkan karena laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi belum seiring
dengan jumlah pembangunan Puskesmas baru, seperti terlihat pada gambar
berikut ini :
Gambar 4.2

Sumber Provil Dinas Kesehatan Provinsi Riau 2012


Rasio Puskesmas per 100.000 penduduk menurut kabuapten/kota
menunjukan bahwa rasio tertinggi pada tahun 2012 adalah di Kabupaten
Kampar, yaitu sebesar 7,2, sedangkan rasio terendah di Kota Dumai (0,93).
Terdapat 4 (empat) kabupaten/kota dengan rasio Puskesmas per 100.000
penduduk berada dibawah 3.0 yaitu Kabupaten Siak, Bengkalis, Pelalawan dan
Kota Dumai. Angka tersebut menunjukkan bahwa 1 (satu) Puskesmas di empat
kabupaten/kota tersebut rata-rata melayani lebih dari 30.000 penduduk. Untuk
mengatasi hal tersebut dimungkinkan adanya penambahan Puskesmas, meskipun
di kabupaten/kota tersebut banyak fasilitas pelayanan kesehatan lainnya,
namun yang perlu menjadi perhatian adalah fungsi Puskesmas sebagai
penanggung jawab penyelenggaraan pembangunan kesehatan masyarakat di

23
wilayah kerjanya. Gambaran rasio Puskesmas per 100.000 penduduk menurut
kabupten/kota pada tahun 2012 terdapat pada gambar berikut:
Gambar 4.3

Sumber Provil Dinas Kesehatan Provinsi Riau 2012


Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan masyarakat di
Puskesmas, beberapa Puskesmas non perawatan telah ditingkatkan statusnya
menjadi Puskesmas perawatan. Jumlah Puskesmas perawatan pada tahun 2011
sebanyak 65 unit meningkat menjadi 76 unit pada tahun 2012.

2. Rumah Sakit

Ruang lingkup pembangunan kesehatan selain upaya promotif dan


preventif, di dalamnya juga terdapat pembangunan kesehatan bersifat kuratif
dan rehabilitatif. Rumah sakit merupakan pelayanan kesehatan masyarakat
yang utamanya menyelenggarakan upaya kuratif dan rehabilitatif, selain itu
juga berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan rujukan. Selama kurun
waktu 5 tahun terakhir (2008–2012) jumlah rumah sakit baik yang
dikelola pemerintah maupun sektor swasta mengalami peningkatan, pada
tahun 2008 terdapat 41 unit kemudin meningkat menjadi 59 unit pada tahun
2012.

24
Gambar 4.4

Sumber Provil Dinas Kesehatan Provinsi Riau 2012


Jumlah rumah sakit di Provinsi Riau sebagian besar dikelola oleh
pihak swasta yaitu sebanyak 34 unit, pemerintah mengelola sebanyak 17
unit, BUMN dan TNI/Polri masing-masing sebanyak 4 unit. Penyebaran
rumah sakit ini 39 % tersebar di kota Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi
Riau dan 10 % tersebar di Kabupaten Kampar dan Bengkalis.
Gambar 4.5

Sumber Provil Dinas Kesehatan Provinsi Riau 2012


Jumlah dan rasio tempat tidur rumah sakit terhadap penduduk dapat
digunakan untuk menggambarkan kemampuan rumah sakit tersebut dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, termasuk sebagai sarana
pelayanan kesehatan rujukan. Rasio tempat tidur rumah sakit dalam 5 tahun
terakhir menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan, rasio pada tahun
25
2008 sebesar 63,84 naik menjadi 73,52 per 100.000 penduduk pada tahun
2012.

3. Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat ( UKBM)


Dalam mewujudkan masyarakat sehat, diperlukan kesadaran setiap anggota
masyarakat akan pentingnya perilaku sehat, berkeinginan, serta berdaya untuk
hidup sehat. Masyarakat bersinergi membangun kondisi lingkungan yang
kondusif untuk hidup sehat. Langkah tersebut tercermin dalam pengembangan
sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) di desa dan
kelurahan.
a. Posyandu
Posyandu merupakan salah satu UKBM yang dilaksanakan oleh, dari dan
bersama masyarakat, untuk memberdayakan dan memberikan kemudahan
kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan bagi masyarakat
terutama ibu, bayi dan anak. Dalam menjalankan fungsinya, Posyandu
diharapkan dapat melaksanakan 5 program prioritas yaitu kesehatan ibu dan
anak, keluarga berencana, imunisasi, gizi dan penanggulangan diare. Pada
tahun 2012 terdapat 5.100 posyandu di Provinsi Riau, jika dibandingkan
dengan jumlah desa dan kelurahan, maka rasio Posyandu terhadap desa/
kelurahan adalah 2,78. Informasi selengkapnya mengenai rasio Posyandu
menurut Kabupaten/kota pada tahun 2012 dapat dilihat pada Gambar 5.10
berikut ini :
Gambar 4.6

Sumber Provil Dinas Kesehatan Provinsi Riau 2012


26
Berdasarkan laporan Kabupaten/kota dalam 5 tahun terakhir (2008-
2012), jumlah posyandu cenderung mengalami peningkatan. Jumlah
Posyandu pada tahun 2008 sebanyak 4.411 posyandu dan meningkat
menjadi 5.100 posyandu. Seiring dengan peningkatan jumlah Posyandu,
juga terjadi peningkatan secara kualitatif (strata purnama dan strata mandiri)
meskipun relatif kecil. Jumla posyandu berdasarkan strata terlihat pada
gambar berikut:
Gambar 4.7

Sumber Provil Dinas Kesehatan Provinsi Riau 2012


b. Pondok Bersalin
Polindes merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam
penyediaan tempat pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan ibu dan
anak lainnya, termasuk KB di desa. Polindes hanya dapat dirintis di desa
yang telah mempunyai bidan yang tinggal di desa tersebut. Pada tahun 2012
jumlah Polindes di Propinsi Riau 724 unit meningkat bila dibandingkan tahun
2011 berjumlah 299 unit.
c. Desa Siaga
Desa siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber
daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi
masalah–masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan
secara mandiri. Sebuah desa telah menjadi Desa Siaga apabila desa tersebut

27
telah memiliki sekurang–kurangnya sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes)
yang dikelola oleh seorang bidan dan 2 (dua) orang kader (minimal),
diadakannya pelatihan bagi bidan kader dan tokoh masyarakat (toma) dan
fasilitator kecamatan. Untuk jumlah desa siaga tahun 2012 sebanyak 1.566
desa dengan desa siaga yang aktif 42.15 %, ini meningkat dibandingkan
dengan tahun 2011 berjumlah 475 buah, desa yang aktif baru 23,31 %.
d. Poskesdes
Poskesdes adalah Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat
(UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan/menyediakan
pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa. Kegiatan Poskesdes antara
lain melakukan pengamatan epidemiologi penyakit menular berpotensi KLB,
penanggulangan penyakit menular, pengamatan balita kurang gizi,
kesiapsiagaan penanggulangan bencana dan pelayanan kesehatan dasar.
Jumlah Poskesdes tahun 2012 sebanyak 724 unit, dimana terjadi
penurunan dibandingkan dengan tahun 2011 dengan jumlah Poskesdes
sebanyak 852 unit.

4. Tenaga Kesehatan
Salah satu unsur yang berperan dalam percepatan pembangunan kesehatan
adalah tenaga kesehatan yang bertugas di sarana pelayanan kesehatan di
masyara kat. Tenaga kesehatan di Provinsi Riau tahun 2012 sejumlah 15.052
tenaga yang terdiri dari tenaga medis, perawat, bidan, tenaga farmasi, gizi,
sanitasi, dan kesehatan masyarakat, teknis medis, fisioterapi. Jumlah tenaga
kesehatan tersebut meningkat bila dibandingkan dengan jumlah tenaga kesehatan
tahun 2011 sejumlah 13.539 tenaga. Peningkatan jumlah tenaga kesehatan
sebanyak 11,18%, berpengaruh terhadap peningkatan mutu pelayanan kesehatan
yang semakin tinggi.
Kebutuhan tenaga kesehatan belum dapat terpenuhi, khususnya di tingkat
kabupaten/kota dikarenakan beban terhadap penganggaran pegawai serta belum
berjalannya kegiatan mobilisasi tenaga kesehatan yang sesuai dengan
penempatan tugas tenaga tersebut. Sehingga menyebabkan sulitnya dalam
menentukan kebutuhan tenaga kesehatan di tingkat kabupaten/kota. Kekurangan
lain disebabkan belum adanya formasi pengganti bagi tenaga yang pensiun, baik
di pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota dan makin kompleksnya
28
masalah-masalah yang ditangani oleh tenaga kesehatan
a. Jumlah dan Rasio Tenaga Medis di Sarana Kesehatan
1) Dokter Spesialis
Pada Tahun 2012 rasio tenaga dokter spesialis di Provinsi Riau
adalah 9,4 per 100.000 penduduk. Meskipun rasio dokter spesialis ini
telah melampui target renstra (9 per 100.000 penduduk), namun
penyebarannya di Kabupaten/kota di Provinsi Riau belum merata. Hal ini
terlihat pada gambar berikut:
Gambar 4.8

Sumber Provil Dinas Kesehatan Provinsi Riau 2012


Penempatan dokter spesialis masih terfokus di ibukota Provinsi saja
yakni di Kota Pekanbaru sebesar 41,2. Sedangkan Kab/Kota lainnya
memilki rasio yang sangat rendah, seperti Indragiri Hilir dengan rasio
terendah yaitu 1. Dengan penempatan yang tidak merata ini maka untuk
masa yang akan datang perlu penambahan dokter spesialis khususnya
untuk penanganan kedaruratan dan perluasan pemerataan pelayanan
kesehatan, mengingat lokasi dan geografis Provinsi Riau yang terdiri dari
pulau-pulau dan daerah-daerah sulit.
2) Dokter Umum
Jumlah dokter umum tercatat sebanyak 1.052 orang, dengan rasio
sebesar 17,7 dokter per 100.000 penduduk. Kabupaten/kota dengan rasio
tertinggi yaitu Kota Pekanbaru sebesar 31,6 per 100.000 penduduk,
29
sedangkan yang terendah yaitu Kabupaten Kampar dengan rasio 6,8
per 100.000 penduduk. Rasio dokter umum terhadap jumlah
penduduk menurut kabupaten/kota pada tahun 2012 terlihat pada Gambar
berikut:
Gambar 4.9

Sumber Provil Dinas Kesehatan Provinsi Riau 2012


b. Jumlah dan Rasio Tenaga Keperawatan di Sarana Kesehatan
1) Perawat
Tenaga perawatdi Provinsi Riau berjumlah 6.482 dengan ratio tenaga
perawat per 100.000 penduduk adalah 10,93 meningkat lebih tinggi
dibanding tahun 2011 (90,8). Meskipun ratio perawat meningkat namun
ratio perawat dalam lima tahun (2008-2012) terakhir belum mencapai
target renstra. Untuk ratio tertinggi adalah kota pekanbaru sebesar 19,75
sedangkan rating terendah adalah kabupaten kampar yaitu 68,3 per
100.000 penduduk.
2) Bidan
Jumlah Tenaga Bidan Provinsi Riau Tahun 2012 sebanyak 4.508
orang dengan rasio tenaga Bidan per 100.000 penduduk tahun sebesar
76.0 meningkat dibandingkan dengan tahun 2011 (66,20). Meskipun
rasio bidan selama 5 tahun (2008-2012) terus meningkat namun belum

30
ada yang mencapai target renstra (95,0). Untuk kabupaten/kota rasio
bidan yang telah mencapai target renstra adalah Kabupaten Kuantan
Singingi (144,8), Kabupaten Indragiri Hulu (130,4) dan Kota Dumai
(101,6) sedangkan rasio bidan yang terendah adalah Kabuapten indragiri
Hilir 39,1. Rasio bidan terhadap terhadap per 100.000 penduduk tahun
(2008-2012) terlihat pada gambar berikut:
Gambar 4.10

Sumber Provil Dinas Kesehatan Provinsi Riau 2012


c. Jumlah dan Rasio Tenaga Gizi di Sarana Kesehatan
Tenaga gizi terdiri dari D-IV/S-1 Gizi, D-III Gizi, dan D-1 Gizi. Jumlah
tenaga gizi di Provinsi Riau pada tahun 2012 adalah 299 orang, dengan
rasio per 100.000 penduduk sebesar 5,04 meningkat apabila dibandingkan
dengan tahun 2011 (4,7). Namun, angka tersebut masih jauh di bawah target
yang ditetapkan di renstra yaitu 20 per 100.000 penduduk. Rasio tertinggi
adalah Kota Dumai sebesar 11,0 dan terendah adalah Kabupaten Indragiri
Hilir sebesar 2,0.
d. Tenaga Kesehatan di Puskesmas
Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan kepada
masyarakat, pelayanan kesehatan ini sangat dipengaruhi ketersediaan sumber
daya manusia yang dimilki, terutama ketersediaan tenaga kesehatan. Pada
tahun 2012 jumlah tenaga yang bertugas di Puskesmas sebanyak 7.884 orang.
Ratio tenaga kesehatan yang bertugas di puskesmas terlihat pada gambar
berikut:
31
Gambar 4.11

Sumber Provil Dinas Kesehatan Provinsi Riau 2012


Rasio tertinggi tenaga yang bertugas di Puskesmas adalah tenaga
bidan dengan rasio 15,48 bidan per Puskesmas dan yang terendah
adalah tenaga fisioterapi 0,03 per Puskesmas. Bahkan Kab/Kota yang
memiliki tenaga dokter spesialis yang bertugas di Puskesmas.

B. Demand Side

Strategi yang kedua adalah apakah masyarakat memanfaatkan fasilitas kesehatan


yang tersedia. Dalam strategi ini akan dijelaskan mengenai implementasi dari
pemberdayaan masyarakat dalam pemasaran kesehatan (PSM), pemanfaatkan
kelompok potensial, lembaga adat, tokoh agama untuk menyebarluaskan informasi
kesehatan serta kegiatan pendidikan kesehatan kedalam kegiatan pendidikan formal.

1. Akses Masyarakat terhadap Pelayanan Kesehatan


Sasaran pembangunan kesehatan adalah meningkatnya derajat kesehatan
masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
yang antara lain tercermin dari indikator dampak (impact) yaitu: Meningkatnya
umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun, Menurunnya angka
kematian ibu dan bayi. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita.
Untuk mencapai sasaran tersebut, kebijakan pembangunan kesehatan terutama
diarahkan pada :
32
a. Peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas

b. Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan

c. Pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin

d. Peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat

e. Peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini

f. Pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar.

Pembangunan kesehatan memprioritaskan upaya promotif dan preventif yang


dipadukan secara seimbang dengan upaya kuratif dan rehabilitatif. Perhatian
khusus diberikan kepada pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, daerah
tertinggal dan daerah bencana, dengan memperhatikan kesetaraan gender.
Di Provinsi Riau pada tahun 2012, kepesertaan jaminan kesehatan
penduduk seperti Jamkes Lain (Askes, Jamsostek,Asabri, Komersial),
Jamkesmas dan Jamkesda sebesar 55,6%, mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan cakupan tahun 2011 (52,4%). Jumlah masyarakat miskin
dan hampir miskin pada tahun 2012 sebanyak 2.835.692 orang. Masyarakat
miskin yang mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan di sarana
pelayanan dasar strata 1 sebesar 409.059 (14.4%) sedangkan di sarana
pelayanan rujukan strata 2 dan strata 3 sebesar 10.660 (0.4%). Jumlah
masyarakat miskin dan hampir miskin sebanyak 2.835.692 orang, mendapatkan
pelayanan kesehatan rawat inap di sarana kesehatan strata 1 sebanyak 21.243
orang (0.7%) sedangkan di sarana kesehatan 2 dan 3 sebanyak 4.295 orang
(0.2%).

2. Peran Serta Masyarakat

Pentingnya PSM dalam pembangunan kesehatan telah diakui semua pihak.


Peran serta masyarakat (PSM) sangat menentukan keberhasilan, kemandirian dan
kesinambungan pembangunan kesehatan. Namun sepertinya, peran serta
masyarakat, terkait akselerasi AKI dan AKB, lebih banyak saat pelaksanaan
kegiatan. Sedangkan untuk proses kegiatan yang lain, masyarakat dinilai tidak
banyak terlibat dalam proses identifikasi masalah, perencanaan kegiatan dan
pengawasan-evaluasi. Dengan kondisi tersebut, dapat dikatakan bahwa PSM
33
masih kurang karena masyarakat lebih banyak terlibat dalam proses pelaksanaan
kegiatan.

Beberapa faktor penghambat upaya peningkatan peran serta masyarakat


antara lain: tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah, kesulitan untuk
mengumpulkan masyarakat karena kesibukan masing-masing orang, terutama
terhalang dengan pekerjaan, respons masyarakat terhadap program kesehatan
kurang, kegiatan Tabulin tidak berjalan karena kondisi ekonomi masyarakat
sebagian besar menengah ke bawah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
masih kesulitan, sehingga uang untuk menabung tidak ada. Factor penghambat
lain yaitu kegiatan pengorganisasian pendonor darah tidak berjalan karena tokoh
masyarakat tidak tahu maksud kegiatan pengorganisasian pendonor darah,
sehingga tidak bisa menggerakkan masyarakat.

Upaya peningkatan peran serta masyarakat yang di upayakan oleh


pemerintahan Provinsi Riau diantaranya: mengajak masyarakat untuk mengenali
masalah yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak, mengajak masyarakat
beserta tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk menyusun rencana dalam
mengatasi masalah kesehatan ibu dan anak, mengajak mayarakat melakukan
kegiatan yang memberikan manfaat yang jelas bagi mereka, memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak sehingga mereka benar-benar
merasakan manfaat dari kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan
kesehatan ibu dan anak.

C. Financial side

1. Pembiayaan Kesehatan

Pembiayaan kesehatan adalah salah satu komponen sumber daya yang


diperlukan dalam pembangunan kesehatan. Pemerintahan provinsi Riau
mengalokasikan anggaran 8,08 persen untuk kesehatan dari APBD. Prosentase ini
naik dibandingkan tahun 2013 yang dialokasikan 6,9 persen dari total APBD.
Sesuai amanah undang-undang, alokasi anggaran APBD untuk urusan kesehatan
minimal 10 persen. Pemerintah daerah secara bertahap berusaha untuk memenuhi
amanat undang-undang tersebut. Belum tercapainya angka 10 persen bukan

34
berarti menyalahi peraturan perundang-undangan. Namun demikian besaran
anggaran kesehatan yang diprioritaskan untuk pelayanan publik bidang kesehatan
sudah mencapai 2/3 dari anggaran kesehatan pada APBD Riau saat ini.

2. Program Jampersal

Pemerintah menjadikan peningkatan kesehatan ibu dan anak sebagai


prioritas utama program kesehatan. Karena itu, Pemprov Riau sangat intens untuk
menggalakkan program kesehatan ibu dan anak hingga pelosok daerah.Salah satu
upaya pemerintah dalam pemeliharaan kesehatan ibu dan anak adalah dengan
program jampersal. Program Jaminan Persalian (Jampersal) adalah jaminan
pembiayaan persalinan yang meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan
persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB pasca persalinan dan
pelayanan bayi baru lahir. Jampersal diperuntukkan bagi seluruh ibu hamil yang
belum memiliki jaminan persalinan.

Realisasi pencapaian anggaran Jaminan Persalinan (Jampersal) di Provinsi


Riau, cukup tinggi dibanding rata-rata nasional atau tercatat sebesar 55,4 persen
dari alokasi anggaran 2011 sebesar Rp19,1 miliar. Anggaran Jampersal sebesar
Rp19,1 miliar itu dialokasikan untuk ibu-ibu yang akan bersalin namun belum
memperoleh pelayanan kesehatan dan persalinan melalui ASKES, ASABRI dan
lainnya. Pelayanan Jampersal hanya di puskesmas bahkan sampai ke rumah sakit
pemerintah atau di rumah sakit swasta yang mengikuti program jampersal hingga
kemungkinan dilakukan tindakan operasi atas indikasi, pemeriksaan ibu nifas dan
bayinya sebanyak empat kali pemeriksaan.

Realisasi pencapaian Jampersal mulai di Kabupaten Bengkalis dengan


alokasi sebesar Rp1,6 miliar lebih itu terealisasi sebesar Rp552, juta lebih atau
(32,9 persen), di Kabupaten Meranti dengan alokasi sebesar Rp593,9 juta atau
terealisasi sebesar Rp286,3 juta lebih (48,2 persen). Berikutnya di Kabupaten
Inderagiri Hilir dengan alokasi sebesar Rp2,2 miliar terealisasi Rp1,8 miliar lebih
(84,4 persen). Kabupaten Inderagiri Hulu sebesar Rp1,7 miliar dan terealisasi
sebesar Rp1,2 miliar lebih (64,3 persen).Untuk Kabupaten Kampar tercatat
alokasi sebesar Rp2,3 miliar yang terealisai Rp1,1 miliar lebih (51,1 persen),
selain itu Kabupaten Kuantan Singingi dengan alokasi anggaran Jampersal
sebesar Rp980 juta sedangkan terealisasi Rp612,2 juta (42,5 persen).
35
Berikutnya untuk Kabupaten Pelalawan dengan alokasi seebsar Rp1,02
miliar dan terealisasi Rp1,083 miliar lebih (106,2 persen) dan Kabupaten Rokan
Hilir dengan alokasi sebesar Rp1,8 miliar dan terealisasi sebesar Rp1,08 miliar
lebih (58,3 persen). Kabupaten Rokan Hulu sebesar Rp1,5 miliar dan terealisasi
sebesar Rp2,06 miliar lebih (128,9 persen). Kabupaten Siak sebesar Rp1,2 miliar
dan terealisasi sebesar Rp184 juta lebih atau mencapai 14,5 persen. Kota Dumai
dengan alokasi anggaran sebesar Rp856 juta dan teralisasi sebesar Rp334,7 juta
lebih (39,1 persen) sedangkan Kota Pekanbaru alokasi Rp3 miliar lebih terealisasi
Rp438,9 juta lebih (55,4 persen).

D. Behaviour Changed Side

Strategi yang keempat adalah mengenai masyarakat mandiri, berperilaku


PHBS dan sadar gizi. Dalam strategi ini akan dijelaskan mengenai implementasi
dari rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat dan pencapaiannya serta
kegiatan program keluarga sadar gizi.
1. Program Prilaku Hidup Bersih dan Sehat
Program perilaku hidup sehat dan pemberdayaan masyarakat bertujuan
untuk memberdayakan individu, keluarga dan masyarakat dalam bidang
kesehatan agar dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan diri
sendiri, keluarga dan lingkungannya menuju masyarakat yang sehat, mandiri dan
produktif. Indikator utama perilaku sehat yaitu rumah tangga ber-PHBS dan
Posyandu Purnama dan Mandiri. Rumah tangga ber-PHBS adalah rumah tangga
yang seluruh anggotanya berperilaku hidup bersih dan sehat, yang meliputi 10
indikator yaitu pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, Balita diberi ASI
Eksklusif, mempunyai jaminan pemeliharaan kesehatan, tidak merokok,
melakukan aktivitas fisik setiap hari, makan sayur dan buah setiap hari, tersedia
air bersih, tersedianya jamban, kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni
dan lantai rumah bukan dari tanah.
DI Provinsi Riau tahun 2012 untuk persentase pencapaian rumah tangga
yang ber-PHBS mencapai 51,5 %, meningkat dibandingkan dengan tahun 2011
(49,5%) dan tahun 2010 (43.1%). Meskipun rumah tangga yang ber-PHBS
terus mengalami peningkatan namun belum mencapai target Renstra (65%).
Untuk itu promosi kesehatan perlu lebih ditingkatkan supaya anggota rumah
tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktekkan perilaku hidup bersih
36
dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. Sehingga
pada tahun mendatang pencapaian rumah tangga yang ber-PHBS dapat
mencapai target Renstra. Meskipun demikian, ada beberapa kabupaten/kota
yang telah mencapai target Renstra seperti Kabupaten Indragiri Hilir (73,9%)
dan Kabupaten Pelalawan (67,3%). Sedangkan capaian terendah adalah
Kabupaten Kepulauan Meranti (22,1%) dan Kabupaten Bengkalis (21,2%).
2. Program keluarga sadar gizi
Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) merupakan suatu gerakan yang terkait dengan
program Kesehatan Keluarga dan Gizi (KKG), yang merupakan bagian dari
Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Disebut Kadarzi, jika sikap dan
perilaku keluarga dapat secara mandiri mewujudkan keadaan gizi yang sebaik
baiknya yang tercermin dari pada konsumsi pangan yang beraneka ragam dan
bermutu gizi seimbang. Dalam keluarga sadar gizi sedikitnya ada seorang
anggota keluarga yang dengan sadar bersedia melakukan perubahan ke arah
keluarga yang berperilaku gizi baik dan benar. Bisa seorang ayah, ibu, anak,
atau siapa pun yang terhimpun dalam keluarga itu (Depkes RI, 2007).
Salah satu upaya untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat adalah
melalui Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yang sebagian kegiatannya
dilaksanakan di Posyandu. Partisipasi masyarakat dalam penimbangan di
posyandu tersebut digambarkan dalam perbandingan jumlah balita yang
ditimbang (D) dengan jumlah balita seluruhnya (S). Semakin tinggi partisipasi
masyarakat dalam penimbangan di posyandu maka semakin baik cakupan
vitamin A, semakin tinggi cakupan imunisasi dan diharapkan semakin rendah
prevalensi gizi kurang. Partisipasi masyarakat dalam penimbangan di posyandu
tahun 2012 sebesar 58,3% meningkat dibandingkan dengan pencapaian tahun
2011 (48,7%). Dan cakupan balita naik berat badannya adalah sebesar 80,5
dan telah mencapai target renstra(80). Bahkan ada beberapa
Kabupaten/kota telah cakupan balita naik berat badannya telah melampaui
capaian provinsi dan target yang ditetapkan yakni Kota Dumai, Pekanbaru,
Indragiri Hulu, Indragiri Hilir dan pelalawan.

37
E. Partnership
Strategi yang kelima adalah kemitraan dan kerjasama lintas sektor. Dalam
strategi ini akan dijelaskan mengenai implementasi dari kemitraan dan kerjasama
lintas sektor guna mendukung penuruanan AKI dan AKB.

1. Kemitraan Bidan-Dukun
Kemitraan bidan dengan dukun adalah suatu bentuk kerjasama bidan dengan
dukun yang saling menguntungkan dengan prinsip keterbukaaan, kesetaraan, dan
kepercayaan dalam upaya untuk menyelamatkan ibu dan bayi, dengan
menempatkan bidan sebagai penolong persalinan dan mengalihfungsikan dukun
dari penolong persalinan menjadi mitra dalam merawat ibu dan bayi pada masa
nifas, dengan berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat antara bidan dengan
dukun, serta melibatkan seluruh unsur/elemen masyarakat yang ada. Keberhasilan
dari kegiatan kemitraan Bidan–Dukun adalah ditandai dengan adanya kesepakatan
antara Bidan dan dukun dimana dukun akan selalu merujuk setiap ibu hamil dan
bersalin yang datang. serta akan membantu bidan dalam merawat ibu setelah
bersalin dan bayinya. Sementara Bidan sepakat untuk memberikan sebagian
penghasilan dari menolong persalinan yang dirujuk oleh dukun kepada dukun
yang merujuk dengan besar yang bervariasi. Kesepakatan tersebut dituangkan
dalam peraturan tertulis disaksikan oleh pempinan daerah setempat (Kepala Desa,
Camat).
Siak Provinsi Riau telah berhasil melaksanakan program kemitraan bidan
dan dukun sebagai best practise DHS1-ADB. Dimana program tersebut
memadukan kedua bagian yang berbeda antara bidan dan dukun dipadukan untuk
mensukseskan kelahiran sang bayi. Program tersebut sesuai dengan kebijakan
Depkes dalam upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan
Angka Kematian Bayi (AKB). Progaram itu telah dicanangkan Diskes Siak sejak
tahun 2004. Namun akhir tahun 2007 barulah program itu benar-benar berjalan
Saat ini jumlah dukun yang bermitra sebanyak 344 orang dan bidan desa sebanyak
98 orang. Dari program itu, didapatkan peningkatan pelayanan kesehatan bagi ibu
hamil dari tahun ke tahun. kemitraan dengan para dukun bayi diharapkan untuk
membawa proses persalinan kepada bidan yang ada. Bahkan, selama proses hamil
hingga pasca melahirkan tetap akan diberikan wewenang kepada dukun bayi.
Setiap dukun bayi yang membawa ibu bersalin ke bidan akan diberikan uang

38
cuma-cuma sebesar Rp100 ribu melalui program Jampersal. Sesuai rencana dinas
kesehatan Provinsi Riau, pelaksanaan kemitraan bidan dengan dukun bayi telah
dilaksanakan dengan mengundang dukun bayi pada pelaksanaan Hari Kesehatan
Nasional (HKN) pada Nopember 2013, para dukun bayi diundang dengan
berpakaian seragam. Para dukun bayi memegang nomor identitas tersebut diundi
dengan hadia umroh. Harapan dari kegiatan tersebut adalah dapat menurunkan
angka kematian ibu dan bayi dapat terwujud.

2. Kerja Sama Lintas Sektoral


Dinas Kesehatan Provinsi Riau menjalin kerja sama lintas sektor dengan
prinsip kerja sama kemitraan, untuk mendukung upaya percepatan penurunan
Angka Kematian Ibu dan Bayi. Kerja sama dengan berbagai development partners
dalam bidang kesehatan ibu dan anak tersebut melalui kerjasama dengan
Bappeda, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan
Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Bappeda
kontribusinya sangat diharapkan untuk memperjuangkan usulan rencana anggaran
di depan DPRD.

Untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan pembangunan kesehatan, diperlukan


kerja sama lintas sektor Demikian pula optimalisasi pembangunan berwawasan
kesehatan yang mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan, menuntut
adanya penggalangan kemitraan lintas sektor dan segenap potensi bangsa.
Kebijakan dan pelaksanaan pembangunan sektor lain perlu memperhatikan
dampak dan mendukung keberhasilan pembangunan kesehatan. Untuk itu upaya
sosialisasi masalah-masalah dan upaya pembangunan kesehatan kepada sektor
lain perlu dilakukan secara intensif dan berkesinambungan. Kerja sama lintas
sektor harus dilakukan sejak perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan
pengendalian, sampai pada pengawasan dan penilaiannya.

39
BAB V

ANALISIS SWOT TERHADAP KEBIJAKAN TUJUAN MGDs 4 DAN 5


DALAM STRATEGI PENURUNAN AKI DAN AKB DI PROVINSI RIAU

A. Identifikasi Pemecahan Masalah (SWOT)

Kebijakan strategis yang bisa dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi Riau
untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi dapat dilihat dengan melakukan
analisis SWOT dengan langkah mengidentifikasi berbagai faktor internal dan faktor
eksternal. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaximalkan kekuatan
(strengths) dan peluang (oppoertunities), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).

Tabel. 5.1
Inventarisasi SWOT
(Identifikasi Lingkungan Strategik)

Internal Eksternal
Kekuatan (Strengths) Peluang (Oppoertunities)
1. Dinas kesehatan Provinsi Riau 1. Adanya kebijakan dari pemerintah
Mempunyai Visi dan Misi Yang Jelas pusat dan daerah terkait upaya
2. Dinas kesehatan Provinsi Riau akselerasi penurunan AKI dan AKB
mempunyai struktur organisasi dan 2. Adanya pelatihan bagi bidan
tupoksi yang jelas dan terarah dalam 3. Adanya kerja sama lintas sektor
upaya penurunan AKI dan AKB dengan instasi terkait seperti
3. Dinas kesehatan mempunyai ratio BKKBN, PKK, dsb
tenaga kesehatan yang cukup 4. Adanya program desa siaga yang
memadai terutama tenaga bidan yang salah satu tujuan nya adalah untuk
di tempat di setiap desa yang ada di menurunkan AKI dan AKB.
Provinsi Riau, fasiltas kesehatan yang 5. Semua organisasi profesi baik IDI,
hampir merata di seluruh pelosok IBI, IDAI dan organisasi lainnya
4. Program pelayanan kesehatan yang mendukung upaya penurunan AKI
yang mendukung upaya penurunan dan AKB.
AKI dan AKB cukup banyak seperti 6. Tersedianya fasilitas media massa
GSI, , serta fasilitas dan akses yang yang dapat digunakan untuk

40
mudah dijangkau oleh masyarakat memperoleh informasi kesehatan
yang ada di Provinsi Riau 7. Adanya Upaya Kesehatan Berbasis
5. Kemitraan bidan dengan dukun adalah Masyarakat seperti, Posyandu,
suatu bentuk kerjasama bidan dengan Poskesdes, Polindes
dukun yang saling menguntungkan 8. Pemerintahan provinsi Riau
dengan prinsip keterbukaaan, mengalokasikan anggaran 8,08 persen
kesetaraan, dan kepercayaan dalam untuk kesehatan dari APBD
upaya untuk menyelamatkan ibu dan 9. Adanya JKN yang sudah diluncurkan
bayi. sejak awal tahu 2014 sebagai
6. Pertolongan pesalinan kesehatan oleh pengganti Jampersal untuk
tenaga kesehatan mengalami masyarakat miskin
peningkatan.

Kelemahan (Weaknesses) Ancaman (Threats)


1. Tenaga bidan yang kurang 1. Kurangnya keterlibatan para
berkompetensi, masih banyak yang pengambil keputusan terhadap
belum mendapatkan pelatihan yang kesehatan ibu
cukup 2. Faktor kultural, masih kuatnya
2. Faktor pembiayaan, semua daerah budaya atau tradisi masyarakat
masih sangat tergantung dengan dalam memposisikan bidan dan
sumber pembiayaan dari dukun. Bidan karena relatif masih
pemerintah pusat dan provinsi muda usianya, selalu dianggap
sehingga ruang fiskal yang ada tidak berpengalaman.
sangat sempit. 3. Keadaan geografis yang sulit di
3. Lemahnya manajemen, belum jangkau
mantapnya pelayanan rujukan 4. Usia perkawinan relatif muda 15-19
4. Penyebaran sarana dan prasarana tahun
kesehatan yang belum merata dan 5. Rendahnya pengetahuan dan
kurangnya dukungan logistik serta kesadaran masyarakat di beberapa
biaya operasional daerah terhadap pelayanan kesehatan
5. Fasilitas pelayanan kesehatan yang 6. Kurangnya kesadaran dan dukungan
kurang memadai di daerah terpencil dari beberapa pemerintahan daerah
setempat dan elemen masyarakat akan

41
pentingnya kesehatan ibu
7. sosial ekonomi masyarakat masih
rendah

B. Pemantauan Prioritas Pemecahan Masalah

Dalam melakukan dan memantau prioritas pemecahan masalah, maka digunakan


matrik KAFI dan KAFE sebagai alat formulasi strategi. Bobot ditetapkan dengan
skala 1-10 sedangkan rating ditetapkan dengan skala 1-4 sesuai dengan kepentingan
dan kegawatan dari masalah.

1. Kesimpulan Analisis Faktor Internal (KAFI)

Tabel 5.2
Kesimpulan Analisis Faktor Internal (KAFI)

No Faktor-Faktor Internal Strategik Bobot Rating Skor Kesimpulan

(3x4) (Prioritas)

1 2 3 4 5 6

Kekuatan (Strengths) :

1 Dinas kesehatan Provinsi Riau 10 3 30 V


Mempunyai Visi dan Misi Yang Jelas

2 Dinas kesehatan Provinsi Riau


9 3 27 VI
mempunyai struktur organisasi dan
tupoksi yang jelas dan terarah dalam
upaya penurunan AKI dan AKB

3 8 4 32 IV
Dinas kesehatan mempunyai ratio
tenaga kesehatan yang cukup
memadai terutama tenaga bidan yang
di tempat di setiap desa yang ada di
Provinsi Riau, fasiltas kesehatan yang
42
hampir merata di seluruh pelosok

4
Program pelayanan kesehatan yang
yang mendukung upaya penurunan 9 4 36 III
AKI dan AKB cukup banyak seperti
GSI, , serta fasilitas dan akses yang
mudah dijangkau oleh masyarakat
yang ada di Provinsi Riau

5 Kemitraan bidan dengan dukun adalah


suatu bentuk kerjasama bidan dengan
10 4 40 II
dukun yang saling menguntungkan
dengan prinsip keterbukaaan,
kesetaraan, dan kepercayaan dalam
upaya untuk menyelamatkan ibu dan
bayi.

6 Pertolongan pesalinan kesehatan oleh


tenaga kesehatan mengalami
11 4 44 I
peningkatan.

Kelemahan (Weaknesses) :

1 Tenaga bidan yang kurang 10 4 36 I


berkompetensi, masih banyak yang
belum mendapatkan pelatihan yang
cukup

2 Faktor pembiayaan, semua daerah


masih sangat tergantung dengan 8 3 27 VI
sumber pembiayaan dari
pemerintah pusat dan provinsi
sehingga ruang fiskal yang ada
sangat sempit.
3
8 4 32 IV
Lemahnya manajemen, belum
mantapnya pelayanan rujukan

43
4
Penyebaran sarana dan prasarana
kesehatan yang belum merata dan 10 3 30 V
kurangnya dukungan logistik serta
biaya operasional
5 Fasilitas pelayanan kesehatan yang 9 4 36 II
kurang memadai di daerah terpencil

102 370

2. Kesimpulan Analisis Faktor Eksternal (KAFE)

Tabel 5.3
Kesimpulan Analisis Faktor Eksternal (KAFE)

No Faktor-Faktor Internal Strategik Bobot Rating Skor Kesimpulan

(3x4) (Prioritas)

1 2 3 4 5 6

Peluang (Oppoertunities) :

1 Adanya kebijakan dari pemerintah 11 4 44 I


pusat dan daerah terkait upaya
akselerasi penurunan AKI dan AKB

2 Adanya pelatihan bagi bidan 10 3 30 VI

3 Adanya kerja sama lintas sektor


dengan instasi terkait seperti BKKBN, 8 2 24 VIII
PKK, dsb

4 Adanya program desa siaga yang 11 3 33 IV


salah satu tujuan nya adalah untuk
menurunkan AKI dan AKB.

44
5 Semua organisasi profesi baik IDI, 8 4 32 V
IBI, IDAI dan organisasi lainnya
mendukung upaya penurunan AKI dan
AKB.

6 Tersedianya fasilitas media massa 7 3 21 IX


yang dapat digunakan untuk
memperoleh informasi kesehatan
9 4 36 III
7 Adanya Upaya Kesehatan Berbasis
Masyarakat seperti, Posyandu,
Poskesdes, Polindes

8 Pemerintahan provinsi Riau


10 4 40 II
mengalokasikan anggaran 8,08 persen
untuk kesehatan dari APBD

Adanya JKN yang sudah diluncurkan 9 3 27 VII


9
sejak awal tahu 2014 sebagai
pengganti Jampersal untuk masyarakat
miskin

Ancaman (Threats) :

1 Kurangnya keterlibatan para 8 3 24 VI


pengambil keputusan terhadap
kesehatan ibu
10 3 30 IV
2 Faktor kultural, masih kuatnya
budaya atau tradisi masyarakat
dalam memposisikan bidan dan
dukun. Bidan karena relatif masih
muda usianya, selalu dianggap
tidak berpengalaman.

45
3 Keadaan geografis yang sulit di 9 3 27 V
jangkau

4 Usia perkawinan relatif muda 15-19 10 4 40 I


tahun

5 Rendahnya pengetahuan dan 8 III


4 32
kesadaran masyarakat di beberapa
daerah terhadap pelayanan kesehatan

6 Kurangnya kesadaran dan dukungan


9 II
4 36
dari beberapa pemerintahan daerah
setempat dan elemen masyarakat akan
pentingnya kesehatan ibu

7 sosial ekonomi masyarakat masih


7 VII
3 21
rendah

144 210

46
3. Matrik KAFI dan KAFE
Dalam melakukan strategi pemecahan masalah, maka digunakan matrik KAFI dan
KAFE sebagai alat formulasi strategi dengan menggunakan prioritas I dan
prioritas II dari masing-masing KAFI dan KAFE.

Tabel 5.4
Matrik KAFI dan KAFE

Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weaknesses)

I. Pertolongan pesalinan I. Tenaga bidan yang


kesehatan oleh tenaga kurang berkompetensi,
masih banyak yang
KAFE KAFI kesehatan mengalami
belum mendapatkan
peningkatan pelatihan yang cukup

II. Adanya Kemitraan bidan II. Fasilitas pelayanan


kesehatan yang kurang
dengan dukun dalam
memadai di daerah
upaya untuk terpencil
menyelamatkan ibu dan
bayi.

Peluang Strategi SO Strategi WO


(Oppoertunities)
1. Meningkatkan kinerja 1. Melakukan pelatihan
I. Adanya kebijakan dari tenaga kesehatan dengan dan bimbingan teknis
pemerintah pusat dan memberikan kompensasi secara berkala dalam
daerah terkait upaya terhadap kinerja sehingga upaya meningkatkan
akselerasi penurunan nakes dapat melakukan keterampilan bidan
AKI dan AKB tugasnya dengan penuh dalam melakukan
tanggung jawab. deteksi dini resiko
II. Pemerintahan provinsi
2. Meningkatkan kemitraan kehamilan persalinan
Riau mengalokasikan
bidan dan dukun dengan dan nifas
anggaran 8,08 persen
prinsip keterbukaan dan 2. Kerjasama dengan
untuk kesehatan dari
saling menghargai pemerintahan pusat
APBD
3. Dengan adanya dan daerah dalam

47
kebijakan dari pusat upaya Peningkatan
dapat menjadi acuan dan ketersediaan tenaga
kebijakan lanjut di medis dan paramedis
tingkat bawah dalam terutama untuk
upaya menurunkan AKI pelayanan kesehatan
dan AKB dasar di daerah
4. Meningkatkan dan terpencil dan
mempertahankan peran tertinggal
serta masyarakat dengan 3. Dalam membuat
mengadakan kerjasama suatu kebijakan
lintas sektor dengan sebaiknya bottom up
instasi terkait dan sehingga pemerintahan
pemerintahan daerah daerah merasa ikut
5. Memberikan kompensasi bertanggung jawab
kepada masyarakat untuk mengatasi
terhadap partisipasinya masalah yang ada di
dan peran serta dalam daerahnya
upaya menurunkan AKI 4. Memanfaatkan dana
dan AKB APBD untuk
6. Menganggarkan pembangunan fasilitas
pembangunan fasilitas pelayanan kesehatan
pelayanan, dan tenaga terutama didaerah
kesehatan terutama di terpecil dan sulit
daerah terpencil yang dijangkau
sulit untuk di jangkau
Ancaman (Threats) Strategi ST Strategi WT

I. Usia perkawinan relatif 1. Melakukan konseling 1. Meningkatkan kinerja


muda 15-19 tahun pada pasangan muda bidan dan tenaga
tentang persiapan kesehatan lainnya
II. Kurangnya kesadaran
kehamilan, dan untuk memberikan
dan dukungan dari
persalinan dan usia konseling kepada
beberapa pemerintahan
reproduksi sehat pasangan usia muda
daerah setempat dan
2. Kerjasama lintas dalam rangka
48
elemen masyarakat akan program dengan BKKBN mempersiapkan
pentingnya kesehatan ibu dan peran desentralisasi kehamilan dan
dan anak daerah untuk ikut persalinan
membantu masyarakat 2. Bidan bekerja sama
menerapkan KB, dengan BKKBN
mempromosikan secara dalam upaya promosi,
gencar alat kontrsepsi konseling dan
jangka panjang. pemasanga alat
3. Meningkatkan dukungan kontrasepsi jangka
dari pemerintahan panjang pada
daerah, tokoh masyarakat pasangan usia muda
alim ulama dalam upaya 3. Meminta dukungan
meningkatkan kesehatan dan partisiasi dari
ibu da anak pemerintahan setempat
dan pemuka
masyarakat untuk
melakukan promosi
dan edukasi
reproduksi sehat

Berdasarkan analisa SWOT yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan kebijakan
strategis yang dapat diterapkan pada upaya penurunan AKI dan AKB di dinas
kesehatan Provinsi Riau adalah sebagai berikut:

1. Menganggarkan pembangunan fasilitas pelayanan, dan tenaga kesehatan


terutama di daerah terpencil yang sulit untuk di jangkau
2. Melakukan pelatihan dan bimbingan teknis secara berkala dalam upaya
meningkatkan keterampilan bidan dan tenaga kesehatan lainnya yang terlibat
dalam melakukan deteksi dini resiko kehamilan persalinan dan nifas
3. Meningkatkan kemitraan bidan dan dukun dengan prinsip keterbukaan dan
saling menghargai
4. Membuat perencanaan peningkatan kinerja program yang berhubungan dengan
upaya penurunan AKI dan AKB di provinsi Riau

49
5. Merencanakan langkah strategis untuk meningkatkan kesadaran pemerintahan
daerah, tokoh masyarakat yang ada di provinsi Riau
6. Meningkatan pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan program
7. Kerja sama lintas sektor dengan instasi yang terkait

50
BAB VI

ARAH KEBIJAKAN

A. Arah Kebijakan
Arah kebijakan ini adalah untuk mengoptimalkan upaya penurunan Angka Kematian
Ibu dan Angka Kematian bayi agar dapat berjalan dengan efektif dan efisien dengan
melibatkan berbagai pihak melalui system menajemen pelayanan yang baik mulai
dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dengan melibatkan pemerintahan daerah
dan instasi yang terkait sehingga AKI dan AKB dapat ditekan semaksimal mungkin.

B. Sasaran Program
Program yang akan dilaksanakan di buat dalam bentuk Rencana Aksi Penurunan
AKI dan AKB di Provinsi Riau dengan sasaran program sebagai berikut:
1. Memastikan setiap komplikasi maternal dan neonatal mendapatkan penangan
secara adekuat dan tepat waktu melalui pemantapan jejaring rujukan
2. Memastikan semua ibu hamil mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar
3. Mengupayakan setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas
pelayanan kesehatan
4. Memberikan pelayanan KB sesuai standar untuk mecegah kehamilan terlalu
muda/terlalu tua, terlalu banyak anak dan terlalu dekat jarak anak.
5. Meningkatkan pemberdayaan suami, keluarga dan masyarakat dalam kesehatan
reproduksi
6. Mengoptimalkan manajemen kesehatan ibu dan anak di setiap tingkatan
7. Memastikan dukungan pembiayaan program kesehatan ibu dan anak.

C. Target Pencapaian
1. Menurunkan AKI sebesar 102 per 100 000 kelahiran hidup pada tahun 2015
2. Menurunkan AKB sebesar 23 per 100 000 kelahiran hidup pada tahun 2015
3. Mendorong perbaikan sistem pelayanan kesehatan ibu da anak di daerah-daerah
serta serta memperkuat kebijakan fiskal untuk program kesehatan ibu dan anak di
level daerah
4. Menyediakan pelayanan KIA di pusat-pusat pelayanan terutama didesa-desa
sesuai dengan standar pelayanan minimum
5. Meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan KIA
51
6. Revitalisasi program KB dengan memperkuat sistem kelembagaan BKKBN dan
BKKBD

D. Komitmen

Diperlukan komitmen pemerintahan daerah Provinsi Riau mulai dari


Gubernur,Bupati , Kecamatan, kelurahan/desa, dinas kesehatan Rumah Sakit, dan
Puskesmas dan tokoh masyarakat untuk melaknasanakan program penurunan angka
kematian ibu dan bayi.

1. Diperlukan komitmen pemerintahan provinsi Riau untuk membuat Perda tentang


upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi.
2. Diperlukan komitmen Bupati untuk menerbitkan SK tentang upaya penurunan
AKI dan AKI
3. Diperlukan komitmen kecamatan untuk ikut aktif mensosialisasikan pentingnya
peningkatan kesehatan ibu dan anak untuk menurunkan angka kematian ibu dan
bayi.
4. Diperlukan komitmen Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas dan jajarannya
untuk melaksanakan kegiatan upaya penurunan AKI dan AKB pada fungsi
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan secara terpadu dan terintegrasi.

52
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Angka Kematian Ibu (AKI) di Provinsi Riau tahun 2012 sebesar 112,7/100.000
kelahiran hidup, mengalami penurunan bila dibandingkan dengan AKI pada
tahun 2011 yang sebesar 122, 1/100.000 kelahiran hidup. Sedangkan cakupan
KIA yang belum mencapai target SPM yaitu: Cakupan K4 di provinsi riau 90%
belum mencapai target renstra (93%), Cakupan pemberian ASI Ekslusif di
provinsi Riau 46,2% masih dibawah target SPM (70%).
2. Implementasi berdasarkan strategi Supply Side, tahun 2012 di Provinsi Riau
masalah sarana kesehatan Puskesmas sudah tercukupi. Rasio tenaga perawat per
100.000 penduduk adalah 10,3. Sedangkan rasio bidan per 100.000 penduduk
adalah 76,0. Demand Side, berkenaan dengan jumlah penduduk miskin, cakupan
pemeliharaan kesehatan pra bayar di Provinsi Riau tahun 2012 sebesar 31,1%,
sedangkan cakupan pelayanan rawat jalan masyarakat miskin (dan hampir miskin)
14,8%. Peran serta Masyarakat dalam akselerasi penurunan AKI/AKB masih
dalam bentuk pelaksanaan kegiatan yang sudah di siapkan tapi masyarakat belum
manpu mengenali dan merencanakan masalah kesehatan. Financial Side,
persentase APBD kesehatan terhadap total APBD Provinsi Riau sebesar 8,08%.
Persentase ini belum sesuai dengan UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 bahwa
anggaran kesehatan minimal 10% dari APBD. Program Jampersal Di Provinsi
Riau cukup tinggi dibanding rata-rata nasional atau tercatat sebesar 55,4 persen
dari alokasi anggaran 2011 sebesar Rp19,1 miliar, Behaviour-Changed Side,
jumlah rumah tangga ber-PHBS 51,1%). Hal ini menunjukkan bahwa rumah
tangga yang ber-PHBS di Provinsi Riau masih rendah. Partnership, kemitraan
yang telah dilakukan di Provinsi Riau yaitu kemitraan bidan-dukun. Kerja sama
lintas sektor melalui kerjasama dengan Bappeda, Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Penggerak Pemberdayaan dan
Kesejahteraan Keluarga (PKK).

3. Berdasarkan analisa SWOT strategi kebijakan yang dapat laksanakan dalam upaya
akselerasi penurunan AKI dan AKB adalah: Menganggarkan pembangunan
fasilitas pelayanan, dan tenaga kesehatan terutama di daerah terpencil yang sulit
53
untuk di jangkau, Melakukan pelatihan dan bimbingan teknis secara berkala
dalam upaya meningkatkan keterampilan bidan dan tenaga kesehatan lainnya
yang terlibat dalam melakukan deteksi dini resiko kehamilan persalinan dan
nifas, Meningkatkan kemitraan bidan dan dukun dengan prinsip keterbukaan dan
saling menghargai, Membuat perencanaan peningkatan kinerja program yang
berhubungan dengan upaya penurunan AKI dan AKB di provinsi Riau,
Merencanakan langkah strategis untuk meningkatkan kesadaran pemerintahan
daerah, tokoh masyarakat yang ada di provinsi Riau, Meningkatan pengawasan
dan pengendalian dalam pelaksanaan program, Kerja sama lintas sektor dengan
instasi yang terkait

B. SARAN

1. Diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Riau, Bupati, kecamatan, dinas


kesehatan, rumah sakit dan puskesmas untuk dapat menindaklanjuti setiap
kebijakan dengan membuat perda untuk mendukung program kesehatan ibu dan
anak guna menurunkan AKI dan AKB.

2. Diharapkan dari analisis kebijakan penurunan AKI dan AKB berdasarkan strategi
akselerasi ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan di
Dinas Kesehatan Provinsi Riau

54

Anda mungkin juga menyukai