Anda di halaman 1dari 43

kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk

kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
kkkSAMARINDA

Rabu, 08 Januari 2014 09:08

Akhirnya, Sidang Dugaan Korupsi


Dana Subsidi Perumahan Rakyat
Miskin Berujung Vonis
Dihukum 7 Tahun, Dua Terdakwa Menerima

Ini jadinya kalau melakukan tindak pidana korupsi. Yakni berujung pada proses
hukum. Apalagi pada sidang, perbuatan yang dilakoni berhasil dibuktikan. Seperti
yang harus diterima Mussalehuddin (34) dan Mustafa Helmi (33).

DUA terdakwa kasus dugaan korupsi dana subsidi perumahan rakyat miskin tahun 2008 dari
Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) itu, divonis tujuh tahun penjara di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda, kemarin (7/1). Mussalehuddin menjabat Wakil
Ketua KSU Pakat Mufakat dan Mustafa berstatus manajer. Sebenarnya, masih ada satu
terdakwa lagi yang menanti vonis. Dia adalah Rachmad (55), ketua KSU Pakat Mupakat.
Namun ia mengajukan replik sehingga vonis diundur Selasa (21/1).
Sidang dimulai pukul 14.00 Wita dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim I Gede Suarsana,
dibantu hakim Ad Hoc, Medan Parulian dan Abdul Gani. Mengenakan kemeja putih dan
celana jeans, Mustafa yang dipanggil pertama untuk duduk di kursi pesakitan. Tak ada
sepatah kata pun yang muncul yang keluar lulusan fakultas ekonomi itu. Begitupun dengan
Mussalehuddin. Keduanya hanya tertunduk setelah I Gede Suarsana membacakan vonis tujuh
tahun pidana penjara serta denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan.
Yang membedakan adalah uang negara yang harus diganti. Mustafa Helmi diharuskan
mengganti Rp 1,16 miliar subsider enam bulan penjara. Sementara Mussalehuddin
diharuskan membayar sebesar Rp 905 juta atau subsider enam bulan penjara. Pidana tersebut
juga termasuk potongan masa tahanan sejak 10 Juli 2013. “Bagaimana apakah saudara
menerima? Ada sanggahan?,” Tanya Gede Suarsana “Tidak ada Pak. Kami terima,” sahut
Mussalehuddin. Seusai sidang, keduanya bungkam dan memilih bergegas ke mobil tahanan.
Diketahui, ketiga terdakwa diduga kuat menilap kucuran dana dari Kemenpera. Mereka
mengirim proposal untuk renovasi perumahan rakyat miskin di Samarinda. Aksi itu dimulai
saat Mussalehuddin mengetahui ada program dari Kemenpera 2008 tentang subsidi
pembangunan rumah bagi warga miskin. Namun, untuk mendapatkan subsidi senilai Rp 2,6
miliar tersebut, pemohon harus berbadan hukum.
Akhirnya Mussalehuddin mengajak temannya di KSU Pakat Mupakat, yakni Rachmad dan
Mustafa untuk bergabung. Setelah proposal rampung, mereka pun mengirimnya ke
Kemenpera dengan dalih untuk merenovasi rumah warga miskin di Samarinda Utara.
Bermodal koperasi itulah, ditambah lemahnya pengawasan yang dilakukan Kemenpera,
akhirnya rekening KSU Pakat Mupakat dikucuri dana Rp 2,6 miliar. Dana tersebut bukannya
digunakan merenovasi rumah, tapi malah dibagi-bagi di rumah kosong. (*/riz/ica/k8)
http://kaltim.prokal.co/read/news/50343-akhirnya-sidang-dugaan-korupsi-dana-subsidi-
perumahan-rakyat-miskin-berujung-vonis
Senin, 23 Mei 2016 10:09

Menjerat Pengemplang Rumah


Rakyat
MELAWAN HUKUM: Proyek Kemenpera di Handil Kopi ini dilaporkan selesai 100 persen

Kasus dakwaan dugaan korupsi perumahan rakyat yang bergulir di Pengadilan


Tipikor Samarinda mendekati ujung. Tuntutan untuk Krisostomus, terdakwa dalam
perkara garapan Polda Kaltim itu telah dibacakan.

ANDI Kerniawan tengah bergegas mengenakan toga jaksa. Hari itu, 11 Mei 2016, Andi
bersiap untuk membacakan tuntutan perkara dugaan korupsi pada pembangunan rumah
sejahtera di Perum Puspita Bukit Pinang dan Handil Kopi, Samarinda.

Di dalam ruang Hatta Ali Pengadilan Tipikor Samarinda, terdakwa dari perkara ini,
Krisostomus Panjaitan, Dirut PT Adhikarya Teknik Perkasa (ATP) bersama penasihat
hukumnya telah lebih dulu menanti. Mengenakan kemeja biru polos, terdakwa terlihat tegang
menghadapi sidang.
Selang beberapa saat barulah Purnomo Edi Santosa memasuki ruang sidang bersama dua
hakim lainnya, Poster Sitorus dan Ukar Priambodo.

Majelis hakim yang menyidangkan perkara ini sejak bergulir pada awal Februari lalu pun
memulai persidangan yang beragendakan pembacaan tuntutan tersebut.

“Poin-poin penting saja yang dibacakan,” ucap Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN)
Samarinda itu setelah membuka sidang.

Jaksa Andi Kerniawan pun mulai membacakan tuntutan setebal 36 lembar itu. Lembar demi
lembar berkas tuntutan itu dibacakannya dan tuntutan selama 1,6 tahun pidana penjara
menjadi penutup.

Selain pidana penjara itu, Krisostomus pun dibebankan denda sebesar Rp 50 juta subsidair 3
bulan pidana kurungan.

“Krisostomus dituntut dengan pasal 2 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi sebagaimana telah diubah dan diperbaharui dengan UU 20/2001 jonto pasal 55 ayat
1 KUHP,” ucap Kasi Datun Kejari Samarinda itu membacakan tuntutan.

Selepas dibacakan tuntutan itu, Majelis Hakim memberikan kesempatan terdakwa untuk
mengajukan pembelaan. “Pledoi sepekan dari hari ini ya,” kata majelis hakim menutup
persidangan.

Di luar persidangan, Jaksa Andi menerangkan pertimbangannya menuntut kontraktor


perumahan rakyat Handil Kopi dan Perum Puspita Bukit Pinang dengan anggaran sebesar Rp
3,8 miliar.

Dari hemat pria berkacamata ini, kerugian yang semula ditengara mencapai Rp 796 juta tak
terbukti dipersidangan ketika saksi ahli dari Badan Pegawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) Kaltim.

“Dari keterangan saksi ahli di persidangan sebelumnya terungkap adanya addendum (kontrak
perubahan) proyek yang semula digunakan untuk pembangunan rumah dialokasikan sedikit
pembuatan akses masuk ke perumahan yang dibangun,” ungkapnya.

Dari perubahan itu, memang ditemukan beberapa pengurangan mutu. Namun, tak semua
lokasi kegiatan yang mengalami penurunan. “Ada juga yang justru mutunya di atas standar
seperti akses jalan di Perum Puspita Bukit Pinang. Seharusnya K-225 malah K-230,”
lanjutnya.

Selain itu, adapula keterlambatan pengerjaan yang dilakukan terdakwa kala mengerjakan
program Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) tersebut. Mengingat dari kontrak
kerjasama dengan penyedia jasa batas waktu pengerjaannya hanya 40 hari masa kerja.
Namun, dari saksi ahli yang hadir tersebut pula terungkap jika PT ATP yang dipimpin
Krisostomus itu telah membayarkan denda keterlambatan kepada penyedia pekerjaan dalam
hal ini Kemenpera RI.

Perhitungan kerugian negara yang timbul pun otomatis berubah lantaran adanya kelebihan
mutu yang dikerjakan PT ATP dari Rp 796 juta menjadi Rp. 100 juta. “Kerugian itu bahkan
telah dibayarkan terdakwa. Karena ada itikad baik makanya segitu tuntutannya. Lagipula
tuntutan ini sudah dikoordinasikan dengan Kejati Kaltim,” pungkasnya.

Sementara Krisostomus ataupun penasihat hukumnya enggan berkomentar saat KALTIM


Weekly ingin mewawancarainya. “Nanti saja dik,” ucapnya singkat. (Robayu, Samarinda)

http://weekly.prokal.co/read/news/325-menjerat-pengemplang-rumah-rakyat.html

Senin, 23 Maret 2009

Korupsi Milik Kita Semua

Oleh : Emha Ainun Nadjib

Sangat tidak mudah mengambil keputusan apakah korupsi adalah milik para koruptor ataukah
milik kita bersama. Juga tidak gampang mengukur kadarnya sebagai “penyakit sistem”
(struktural), sebagai “penyakit manusia”, atau “penyakit budaya” suatu masyarakat yang berada
dalam sistem yang sama. Ia sangat cair, seakan-akan merupakan serbuk yang rata menabur, atau
bagaikan asap halus yang tak kasat mata, sehingga tidak bisa serta merta bisa disimpulkan bahwa
perilaku korupsi adalah semacam anomali atau penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah
orang, ataukah ia memiliki “infrastruktur” budaya yang memang mendarah daging secara lebih
menyeluruh pada kehidupan masyarakat kita.

Darah daging itu bisa jadi tak hanya berskala budaya atau kebudayaan, bisa jadi ia sudah
merupakan peradaban. Terutama apabila disepakati bahwa korupsi materiil hanyalah salah satu
output “kecil” dari dasar-dasar jiwa korupsi yang juga bisa menemukan manifestasinya pada
perilaku lain, pada pola berpikir, cara pandang, cara memahami, cara merasakan, bahkan cara
memahami dan melaksanakan iman. Tak pernah berhenti kita bertanya: di kedalaman jiwa
manusia, apakah korupsi itu peristiwa mental, peristiwa ilmu, peristiwa akhlak, peristiwa iman,
atau apa?

Kalau sudah sampai ke kompleksitas itu, kita yang di panggung berteriak “Wahai Kaum
Koruptor…” tidak otomatis kita sendiri bukan koruptor. Atau kekhusyukan seseorang dalam
beribadah, status mulia seseorang dalam kegiatan keagamaan, citra bersih seseorang dalam imaji
publik – tidak serta merta mengandung arti bahwa yang bersangkutan berada di luar lingkaran,
jaringan dan sistem korup. Bahkan kita yang bertugas memberantas korupsi, perlu mengaktifkan
terus menerus kewaspadaan diri untuk menjamin bahwa dalam berbagai konteks dan nuansa itu
langkah-langkah kita benar-benar bebas dari potensialitas korupsi. Apalagi sejumlah pagar
eksternal atau internal yang tak selalu bisa kita atasi membuat langkah-langkah kita tampak di
mata orang lain sebagai “tebang pilih”.
Teknologi Eksternal dan Teknologi Internal

Saya ingin menyebut sebuah term: “Teknologi Internal”. Ada jenis manusia atau masyarakat yang
kecenderungannya adalah “mengelola dunia luar” dan itu kita sebut “Teknologi Eksternal”. Ada
jenis manusia atau masyarakat lain yang lebih sibuk “mengolah dunia dalam” dirinya sendiri:
mentalnya, manajemen hatinya, rekayasa berpikir subyektifnya. Itu “teknologi internal”.

Ada hipotesis yang mengindikasikan bahwa “teknologi internal” adalah semacam tipologi, unikum
atau karakteristik kemanusiaan atau budaya masyarakat di wilayah sepanjang Nusantara.
Pelan-pelan, berikut ini, mudah-mudahan saya punya kemampuan untuk menjelaskan apa yang
sebenarnya dimaksud dengan “teknologi internal”.

Perkembangan peradaban global abad 20-21 adalah puncak eksplorasi “Teknologi Eksternal”:
meneliti, menganalisis, menyimpulkan, mengaplikasikan ke wilayah eksternal segala hal yang
membuat kehidupan manusia lebih “maju” dan “mudah”. Muncullah gedung-gedung, pabrik-
pabrik, alat-alat di bidang apa saja di wilayah kehidupan yang manapun saja. Tidak hanya
transportasi yang ajaib dan dunia maya yang ‘wingit’, tapi bahkan kekhusyukan shalatpun
mengandalkan rekayasa teknologi eksternal. Seluruh pemandangan metropolitan Jakarta Raya ini
sangat menggambarkan produk “teknologi eksternal”.

Sementara “Teknologi Internal” adalah suatu inisiatif mental, didukung oleh aktivitas emosi dan
sedikit intelektual, di mana untuk maju dan mudah, manusia mengandalkan pengaturan,
pengolahan, eksplorasi, atau manipulasi mental di dalam dirinya. Untuk makan enak tidak
tergantung jenis dan mahalnya makanan, melainkan bergantung pada cara kita menganggap dan
memperlakukan makanan apa saja yang ada. Demikian juga berbagai soal lain di luar makanan. Di
dalam budaya Jawa ada kata “mupus”: menganggap tak ada sesuatu yang bikin pusing tapi tak
pernah bisa diselesaikan. Penderitaan berkepanjangan oleh kemiskinan struktural oleh rakyat
cukup dijawab dengan “Gusti Allah mboten sare”. Tuhan tidak tidur.

Puluhan juta keluarga bisa hidup tanpa rasionalitas ekonomi, gaji tak cukup untuk makan keluarga
tapi kredit motor, tak ada kerjaan tapi merokok sambil main catur, kalau ditanya bagaimana
makan minum keluargamu, mereka menjawab: “Bismillah, Cak”. Ahli Statistik di belahan bumi
sebelah manapun tidak pernah mencatat dan makanan utama Bangsa Indonesia adalah bismillah.
Dan sesungguhnya apa yang terkandung di balik “bismillah” itu adalah kelonggaran-kelonggaran
sistem budaya korupsi di berbagai celah kehidupan yang memungkinkan mereka tetap bisa
survive.

Rakyat Indonesia berteriak beberapa hari oleh kenaikan BBM, penjualan asset-asset Negara dan
jenis-jenis kebobrokan lain yang dilakukan oleh Pemerintah, kemudian mereka berduka satu dua
bulan, akhirnya “mupus”, memproklamasikan “Tuhan tidak tidur”, dan kembali “ubet” lagi, “iguh”
lagi: menjalani penghidupan sekeluarganya dengan amat sangat mandiri, tanpa ketergantungan
yang signifikan dan tidak perduli-perduli amat kepada parpol apa yang memerintah, Presidennya
Bima, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, atau Buto Kempung dan Bethoro Kolo.
Sesekali berkhayal: Presiden kita besok harus Puntadewa alias Yudhistira yang berdarah putih, tak
punya ambisi, berani kehilangan apapun demi cinta kepada rakyat dan kebenaran sejati. Tetapi
kalau di saat fajar ada serangan Rp 20 ribu, ya tak apa bermurah hati mencoblos calon yang
menyebar uang itu. Adakah bangsa lain di muka bumi yang tangguh dan cuek-nya melebihi
“Bangsa Nusantara”?

Pupusnya Denotasi, Maraknya Konotasi

Salah satu keluaran dari kebiasaan teknologi internal adalah pupusnya denotasi. Manusia dan
masyarakat Indonesia hidup dalam konotasi-konotasi: sesuatu tidak dimaksudkan sebagai sesuatu
itu sendiri sebagaimana ia adanya. Setiap kata, setiap perbuatan, setiap langkah dan keputusan,
setiap jabatan dan fungsi, selalu tidak berkenyataan sebagaimana substansinya, melainkan ada
tendensi, pamrih, maksud tersembunyi, “udang dibalik batu” atau apapun namanya—di
belakangnya.

Kalau ia berlaku pada denotasi penderitaan dikonotasikan sebagai “tabungan akhirat”, pada
“tempe” dianggap “daging”, pada “kegagalan” disebut “sukses yang tertunda”, “kelemahan”
disebut “kesabaran”, “kebodohan” dibilang “kerendahan hati”, “kemiskinan” dikonotasikan sebagai
“suratan takdir” – maka masih bisa menguntungkan survivalisme para penderitanya. Mereka
bertahan hidup berkat kepandaian menciptakan konotasi-konotasi, Pemerintah selalu beruntung
karena tingkat kemiskinan dan penderitaan sedahsyat apapun tak mungkin melahirkan
pemberontakan total atau revolusi.

Tetapi kalau yang berlaku adalah denotasi “mencuri uang Negara” dikonotasikan sebagai “jasa
bagi keluarga”, “korupsi” menjadi “kelapangan peluang untuk kedermawanan sosial”, denotasi
merampok dan melacur itu boleh asalkan konotasinya adalah “jihad Agama”, malak pabrik
narkoba itu halal asal konotasinya ada prosentase untuk “pembangunan Masjid”, denotasi “uang
narkoba” batal demi konotasi “pembelaan Islam” – maka kebenaran, Agama, dan denotasi apapun
tak akan mengalami kehancuran – karena satu-satunya yang bisa hancur hanya kehidupan
manusia.

Sindroma Garuda-Emprit

Agar supaya kita tidak terlalu “bersedih” atas “kepastian” untuk semakin hancur, perkenankan
saya pergi jauh ke belakang sejarah bangsa Indonesia kita.

Untuk itu “iseng-iseng” kita mempertanyakan siapa itu “Bangsa Indonesia”. Dengan asumsi
sederhana bahwa kalau orang tak mengenal dirinya, maka ia tak tahu tempatnya, kalau tak tahu
tempatnya juga pasti tak mengerti ke mana akan melangkahkan kakinya. Kita berendah hati saja
untuk sedikit mengakui bahwa segala keributan dan kebobrokan yang kita alami 10-20 tahun
terakhir ini siapa tahu sekadar kasus orang yang memang tak kenal siapa dirinya. Orang yang
dirinya saja ia malas mengenalnya, maka agak mustahil ia punya energi untuk mendiagnosis apa
penyakit yang sedang dideritanya. Dan kalau tak ada diagnosis yang tepat, mustahil pula ia akan
bisa menyembuhkan diri dari penyakitnya.

Mungkin kita ‘terpaksa’ harus melewati sejumlah relativitas pemahaman atas beberapa hal.
Misalnya, sebelum “ada” Bangsa Indonesia, ada “Masyarakat Nusantara”, yang harus
diperdebatkan terlebih dulu apakah ia “Rumpun Melayu”, “Masyarakat Jawi”, “Bangsa-bangsa
Timur” dst.

Juga sebutan “Jawa” atau “Melayu” berbeda pengertian dan skala faktualnya bergantung satuan
waktu yang dipakai: setelah ada NKRI berbeda dengan 5 abad silam, juga berbeda dengan kurun
“Ajisaka” 20-an abad silam. Kita harus menunggu puluhan atau ratusan tahun riset antropologis-
historis, bahkan penelitian arkeologi dan sejumlah disiplin lain yang lebih mendasar dan akar.

Kita mulai “iseng-iseng” ini dari sejumlah pertanyaan (yang boleh jadi mengandung substansi-
substansi yang tidak atau belum “benar”, tapi belum juga bisa dibilang “salah”) misalnya:
Seberapa berbeda “Bangsa Indonesia” dengan “Bangsa Nusantara”? Kita sebut saja keduanya
sebagai “kita”. Pertanyaannya: “kita” ini lahir pada 1945, ataukah “kita” yang melahirkan 1945?
Kalau “kita” yang melahirkan NKRI dengan penduduknya yang kita sebut Bangsa Indonesia, maka
tentunya “kita”lah juga yang melahirkan Ray Pikatan, Sanjaya, Mataram Kuno, Kutai, Majapahit,
Ken Arok, Raden Wijaya, dan Gadjahmada, Borobudur dan paradigma Candi Seribu. Kitalah fosil
manusia tertua dalam sejarah umat manusia di dunia di Sragen dan Mojokerto. Kitalah induk
manusia (mungkin 6 generasi sesudah Adam) yang merintis peradaban, sebelum dihancurkan oleh
era demi era sejarah primordialisme: sejak pewarisan kembali dendam Qabil-Habil, berpuluh-
puluh abad hingga primordialisme Quraisy-Baduwi, sampai hari ini ada Suku Ahmadiyah, suku Gus
Dur, dan suku Muhaimin. Dari semua kata itu yang mana denotasi yang mana konotasi?

Yang menguasai keuangan internasional, sistem global dan mekanisme pasar (:Neo-Liberalisme,
IMF, Kongress AS, Neomultinational dst) dewasa ini sepertinya hanya sejumlah prosentase sangat
kecil (1%?) dari jumlah penduduk dunia – yang seluruhnya adalah keturunan Nabi Ismail dan Nabi
Ishaq (kaum konglomerat Arab dan strategi /stakeholders Yahudi) dengan induk Nabi Ibrahim.
Sampai-sampai Kaum Muslimin harus mengulang tafsir kenapa dalam bacaan Tahiyat Shalat
mereka salam kedamaian tak cukup disampaikan kepada Rasul Muhammad Saw tapi juga
shalawat dan berkah kepada Rasul Ibrahim As dan keluarganya. Kalau omong IMF, mudah
menerimanya sebagai denotasi, tapi kalau Ibrahim: asosiasi kita biasanya konotatif.

Adapun “Masyarakat Nusantara” ini keturunan siapa? Bisakah dibilang keturunan Ibrahim atau
bukan keturunan Ibrahim? Apakah atau siapakah induk “gen” bangsa kita ini lebih muda dari
Ibrahim ataukah lebih tua? Misalnya Nabi Nuh As, itu orang Yahudi atau Arab, atau Melayu Jawa?
Apakah tersedia energi mental dan intelektual kita untuk mewaspadai denotasi dan konotasi dari
pertanyaan itu?

Bangsa Cina dan Bangsa India itu berada pada garis Ishaq atau Ismail atau di luar itu? Masa
depan kita di abad 21 ini mencadangkan Cina dan India sebagai “musuh yang pasti” dipandang
dari mata dan kepentingan keturunan Ismail-Ishaq -- maka pasti harus ada pola strategi jangka
pendek menengah dan panjang terhadap “Bangsa Nusantara”: NKRI harus dipastikan bisa
dikuasai, ditunggangi, dikendalikan, diatur, dengan terlebih dahulu memastikan bahwa NKRI harus
rapuh, terpecah belah, saling benci dan bermusuhan satu sama lain, seperti yang terjadi hari ini.
Dengan demikian NKRI akan dipande menjadi Keris Nusantara untuk melawan Cina-India ketika
saatnya nanti diperlukan.

Ini semua pertanyaan denotatif atau konotatif?

Kalau umpamanya ternyata “Bangsa Nusantara” ini induknya lebih tua dari Ibrahim, maka
mungkin perlu dipertanyakan bahwa segala perangkat kemajuan sejarah yang kita pakai sekarang
ini “kulakan” pada klan Ismail-Ishaq, dan itu pasti akan menjadi jebakan-jebakan kultural,
psikososial dan politis, yang membuat NKRI makin hari makin bunuh diri. Keadaan bangsa
Indonesia saat ini demi Allah tidak memerlukan Neoliberalisme, AS, Iblis dan siapapun dari luar
sana untuk hancur: bangsa Indonesia sudah berada pada “peak position” untuk secara amat
canggih sanggup menghancurkan dirinya sendiri.

Kok Iblis segala? Pernahkah Iblis dipahami oleh 20 abad peradaban manusia secara denotatif?
Ataukah kita sebut-sebut ia setiap saat dalam konotasi semau-mau kita? Anda pikir Iblis ada
hubungannya dengan Setan dan Jin?

Kalau dilihat dari posisi-kosmis, kekayaan alam, keunggulan bahasa dan budaya, maka “Bangsa
Nusantara” yang sekarang bernukleus di NKRI tidaklah bisa diungguli oleh bangsa manapun di
muka bumi. Maka diampuni Allahlah Amangkurat-II yang menyerahkan rakyat dan kedaulatannya
kepada VOC, diampuni Allah semua pelaku-pelaku sejarah Indonesia sejak 1945, Orla, Orba, Orde
Reformasi, yang dengan sangat cemerlang mampu mengubah “Garuda Perkasa Bangsa
Nusantara” hari ini menjadi “Emprit kerdil, cengeng, dan penakut”.

Sebenarnya kalau kita selalu mengatakan “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar” itu
denotatif atau konotatif?

Ketangguhan Yang “Mencelakakan”

Baiklah. Kalaupun Bangsa Indonesia sekarang tak perlu sampai memerlukan penglihatan diri
sejauh ini, semoga sedikit berinisiatif pada takaran normal saja sebagai manusia, sebagai
masyarakat dan sebagai bangsa – untuk memulai kemandirian, punya instink untuk ketat menjaga
martabatnya, untuk mulai percaya kepada dirinya dan kepada apa yang sebenarnya bisa
digapainya.

Kalau bangsa Indonesia tidak percaya bahwa ia besar, bahwa ia lebih induk dan lebih besar dari
bangsa-bangsa di dunia, serta tidak percaya bahwa sesungguhnya ia punya filosofi, formula,
teknologi, budaya dan mekanisme kepemimpinan atas dunia secara lebih damai, hangat dan
penuh toleransi (masyarakat kita aslinya adalah Professor Doktor Toleransi dengan tesis empiris
cum laude) – maka mudah-mudahan ada sedikit inisiatif kecerahan diri mengupayakan agar 2009
tidak menjadi “Perayaan Kebodohan Edisi kesekian”, 2012 mencoba memastikan ada sejumlah
klausul kenegaraan dan hak milik yang membuat kita tidak lebih parah menjadi budak bangsa
lain, serta 2015 memproklamasikan “Keselamatan Minimal” sebagaimana layaknya manusia hidup
normal standard tanpa keunggulan dan kehebatan.

Kalau flash-back di atas suatu hari dipelajari dan direnungi, mungkin kesibukan berpikir
keIndonesiaan kita sehari-hari mengandung kadar pengetahuan dan substansi yang sedikit agak
fenomenologis dan paradigmatik. Kita bersabar dengan ilmu, dan menahan diri tidak bicara atau
bertindak apapun kalau tidak dilandasi tanggungjawab ilmu. Bahkan yang membedakan keyakinan
(iman) dengan khayalan (klenik, mitologi, subyektivisme) adalah faktor ilmu.

Misalnya ada pertanyaan: kenapa segala penderitaan rakyat, kebobrokan pemerintahan dan
kekacauan keadaan bangsa kita tidak pernah cukup menjadi syarat lahirnya sebuah revolusi yang
mendasar, total, dan sungguh-sungguh? Padahal penderitaannya lebih dari sungguh-sungguh,
kebobrokannya jauh melebihi ukuran kekebobrokan yang pernah dicatat oleh sejarah
kepemimpinan dan pemerintahan, serta kekacauannya sedemikian rupa sehingga tak ada rakyat
Negara manapun di muka bumi yang sanggup berada di dalamnya?

Salah satu jawabannya: karena individu manusia Indonesia sangat tangguh, tidak collapse oleh
kesengsaraan bagaimanapun juga, bahkan berulangkali sanggup menolong Negara untuk tidak
collapse pada keadaan yang secara teoritis dan seharusnya ia collapse.

Dan jawaban khusus untuk lembar acara hari ini adalah: karena bangsa “kita” memiliki tradisi
Teknologi Internal yang tidak dimiliki oleh gen-gen bangsa lain. Dan paradigma itulah yang selama
ini “mencelakakan” kita.

Norma, Hukum, dan Moral

Tentu saja, bangsa dengan bakal internal-technology di era NKRI sekarang ini tidak bisa
sepenuhnya menerapkan keunggulan mentalnya: bagaimana mungkin kita tak punya motor,
mobil, rumah bagus, laptop, AC; bagaimana mungkin kita mengelak dari arus besar kemewahan,
hedonisme, gebyar dan gemerlap… maka bakat internal-technology akhirnya tak sengaja tergeser
dan terterapkan ke wilayah-wilayah lain yang masih mengandung ketidak-majuan dan ketidak-
mudahan.

Dengan hasil korupsi, kita memperoleh berbagai kemudahan dan kemajuan: bisa beli apa saja
sebagaimana atau melebihi orang lain, keluarga menganggap kita sukses, Pesantren dan Masjid
yang kita bantu menyimpulkan kita adalah dermawan, masyarakat melihat bahwa kita adalah
“orang yang benar”: buktinya punya jabatan, kaya, dan mau bersedekah kepada mereka.

Tetapi ada sedikit pengetahuan yang sudah terlanjur nyantol di saraf otak yang membuat ingatan
bahwa kita korup itu menghasilkan sesuatu yang tidak enak dalam hati dan tidak mudah di depan
Tuhan. Maka tak cukup bantu Pesantren dan Masjid, kita perlu umroh sesering mungkin, langsung
melakukan pendekatan kepada Tuhan. Sebenarnya sedikit-sedikit kita merasa juga bahwa Tuhan
tersinggung karena kita tuduh ia bisa kita sogok dengan umroh atas dosa korupsi kita – tetapi
karena demikianlah juga yang dilakukan oleh banyak teman-teman Indonesia lain, maka kita
menjadi sedikit tenang.

Faktornya di sini, budaya kita lebih mengandalkan norma dibanding hukum atau moral. Hukum
dan moral itu nilai otonom dan pasti, sedangkan norma itu bergantung kesepakatan atau
kebiasaan banyak orang. Kalau banyak orang menyuruh Ahmadiyah bubar dan banyak orang lain
mengutuk FPI, kita terdorong untuk memilih salah satu dan kemudian turut mengacungkan tinju
dan memekik-mekik.

Itulah norma. Sementara hukum itu “ilmu”, moral itu “ruh”. Mereka yang hidup berdasar moral
dan hukum, tidak melangkahkan kaki berdasarkan arus norma atau kecenderungan orang banyak.

Alif Lam Mim, tuhan kita adalah norma. Kita lakukan apa saja yang nge-trend, yakni segala gejala
dan perilaku yang diterima dan dikerjakan oleh orang banyak. Dari mode rambut, sinetron religi
bulan Ramadlan, demokrasi, otda pilkada, syariat non-gender, darmawisata umroh, wisata kuliner
hingga membubarkan Ahmadiyah dan FPI. Untuk bayar pajak saja kita perlu alasan “Apa Kata
Dunia, hare gene…”

Multikorupsi

Dulu Suharto bikin Keraton Kemusu, sempalan Nyayogyakartohadiningrat dari tiga generasi
sebelum yang sekarang. Keratonnya dikasih nama Republik, baju kebesarannya sebagai Raja
dikasih label Presiden, dengan “uborampe” (kelengkapan basa-basi) mengumpulkan sekian ratus
orang menjadi dua kelompok yang dikasih papan nama “MPR” dan “DPR”, dan akhirnya hanya
seorang Raja yang jauh-jauh hari sudah merancang dan membangun makamnya di sebuah bukit.

Kepresidenan Suharto adalah konotasi, karena denotasinya adalah Keraton.

Masyarakat tidak keberatan dengan “Keraton” berlabel “Republik” itu karena jiwa raga mereka
adalah “abdi dalem” dan “kawulo” sampai hari ini. Dan sampai hari ini kaum intelektual juga tidak
pernah mengakui bahwa Orba adalah “Keraton”, karena diam-diam di dalam kandungan
mentalnya masih menyimpan rasa “andhap asor” atau inferioritas “kawulo”, masih menyimpan
mitologi subyektif untuk “takut” atau “segan”, juga karena sejak semula mereka juga diam-diam
berikhtiar bagaimana menjadi “abdi dalem”. Kalau Sang Prabu Haryo Suharto tidak menerima
lamaran kita, baru kita tampil di media massa sebagai oposan.

Alhasil, view ini sekadar pintu awal untuk membuka kemungkinan besar kenyataan yang perlu kita
teliti dengan jujur bahwa kasus-kasus korupsi yang dijaring KPK hanyalah sejumlah cipratan kecil
dari budaya dan peradaban korupsi. Bangsa kita terjebak dalam kesalahan manajemen sejarah
yang menggiring mereka melakukan korupsi sejak “dini”. Sebelum uang dan harta Negara, kita
sudah melakukan korupsi iman, ilmu, cara berpikir, sejatinya isi hati, setiap jenis perilaku
dari yang sehari-hari kultural sampai yang kenegaraan dalam konstitusi dan birokrasi.
Apa yang saya tulis ini bukan tuduhan, juga saya harap tidak menambah persoalan. Ini
sumbangan kewaspadaan, demi kebangkitan atau totalnya kehancuran kita bersama. Tiap
menjelang tidur, ambil satu kata kerja: lihatlah seberapa “sungguh-sungguh” bangsa kita
mengerjakan dan memaksudkan “kata kerja” itu. Apakah kalau kita bilang “a” maka yang kita
kerjakan adalah “a”, dan kalaupun memang benar-benar kita kerjakan “a”, apakah niat dan
maksud kita sungguh-sungguh “a”. Itu boleh pada perilaku sehari-hari, hingga urusan-urusan
yang lebih besar: menjadi pejabat, menjadi wakil rakyat, menjadi Ustadz, menjadi Presiden,
mengambil suatu keputusan nasional, dan apapun. Kunci kehancuran kita sangat boleh jadi
adalah: tidak atau kurang bersungguh-sungguh.

Catatan: Term “teknologi internal” saya pinjam dari Noe/Letto dan sejumlah muatan lembar ini
berasal dari diskusi dengannya.

Tulisan ini adalah pengantar pada acara Diskusi Bareng di Perpustakaan KPK, Jumat, 13 Juni 2008.

Sumber: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin, 16 Juni 2008

Jumat, 15 Mei 2009

Tiada Hari Tanpa Korupsi: Korupsi Sebagai Strategi Bisnis Korporasi


Besar di Indonesia

Oleh George Junus Aditjondro

Behind every big fortune,

is hidden a big crime.

Pengantar

Adakah kaitan antara bisnis dan korupsi? Pertanyaan ini kedengarannya seperti sebuah lelucon
saja. Sama seperti pertanyaan: adakah kaitan antara dokter dan stetoskop? Atau: adakah kaitan
antara dokter dan penyakit? Praktek bisnis, terutama praktek bisnis korporasi besar, sarat dengan
siasat-siasat bisnis yang dapat digolongkan sebagai korupsi. Dalam makalah ini, terlebih dahulu
penulis akan menyajikan pengertian korupsi menurut Syed Hussein Alatas dan William J.
Chambliss, sebagai kerangka teoretis untuk menyoroti praktek-praktek korupsi korporasi besar di
Indonesia. Selanjutnya, penulis akan menyajikan enam bidang kegiatan korporasi-korporasi besar
yang bergelimang dengan praktek korupsi.

Apa Itu Korupsi?

Syed Hussein Alatas (1968) dan William J. Chambliss (1973) adalah dua orang sosiolog yang
mempelajari fenomena korupsi dalam dua sistem ekonomi yang berbeda. Alatas mempelajari
korupsi di Asia Tenggara selama dasawarsa 1950-an, 1960-an dan 1970-an, di mana kolonialisme
mengukuhkan praktek-praktek korupsi yang sudah mengakar sejak zaman feodal. Sedangkan
Chambliss mempelajari korupsi di Amerika Serikat, khususnya di Seattle, ibukota negara bagian
Washington, dari tahun 1962 s/d 1969. Temuannya tentang ‘cabal’ (jejaring korupsi) yang
menjelujuri kota-kota besar di sana meruntuhkan pandangan umum bahwa korupsi lebih
merupakan gejala negara-negara berkembang, yang belum mengenal sistem politik demokratis
yang sarat dengan checks and balances yang dianggap dapat meniadakan peluang-peluang
korupsi.

Secara ringkas, tindakan korupsi menurut Alatas mengandung unsur-unsur pokok sebagai berikut:
(a). subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan atau keuntungan pribadi; (b). unsur
kerahasiaan; dan (c). pelanggaran terhadap norma-norma umum. Sedangkan jenis-jenis korupsi
menurut Alatas, terdiri dari suap (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme (lihat Aditjondro
2004: 7). Dalam wacana korupsi di Indonesia dan di luar negeri, istilah nepotisme hanya
digunakan apabila dalam tindakan korupsi itu hanya sanak saudara atau kerabat yang dilibatkan.
Sementara kalau yang dilibatkan itu adalah kawan atau orang dekat yang tidak punya hubungan
darah dengan sang pejabat, istilah “kroni-isme” atau “konco-isme” yang digunakan.

Chambliss, sementara itu, membongkar anggapan bahwa birokrasi dan kejahatan terorganisir
(organized crime), bukanlah dua bagian yang terpisah. Ia melihat korupsi sebagai kegiatan dari
suatu jejaring (cabal, atau ‘sindikat’), yang melibatkan sekurang-kurangnya empat unsur, yakni
birokrat (yang mengeluarkan izin), pengusaha, politisi (yang memperjuangkan kepentingan
pengusaha di dalam dan di luar parlemen), dan aparat penegak hukum (yang dapat menentukan
perbuatan pengusaha merupakan tindakan kejahatan atau tidak). Seperti yang telah penulis
rangkum di tempat lain:

“Kepentingan ekonomi para anggota cabal itu diproteksi lewat sogokan maupun tekanan
fisik, terhadap usaha oposisi dari anggota masyarakat yang dikuasai oleh cabal itu. Bentuk
tekanan fisik waktu itu adalah pembunuhan dengan menenggelamkan orang-orang yang
berani membangkang terhadap kemauan sindikat pemimpin cabal itu. Pelanggaran HAM
itu kemudian ditutup-tutupi dengan bantuan statistik kematian penduduk kota itu, di mana
kasus-kasus itu sekedar dilaporkan sebagai ‘kecelakaan’, bukan ‘kejahatan’ (kriminalitas).

Sedangkan bentuk sogokan untuk membungkam pengusaha yang keberatan membayar


upeti kepada sindikat cabal itu, ada yang berbentuk menyodorkan pekerja seks komersial
kepada mereka. Selain itu, cabal inipun rela ‘mengorbankan’ beberapa birokrat kelas teri
untuk ditangkap, diadili, dan dipenjara, seperti ketika Jaksa Agung Robert F. Kennedy
berusaha membongkar belenggu cabal itu. Ketika sejumlah birokrat ini dipenjara,
kesejahteraan keluarga mereka tetap dijamin oleh pimpinan cabal yang pada akhirnya
tetap tak tersentuh tangan hukum [pemerintah] Federal.” (lihat Aditjondro 2004: 8-9).

Dengan demikian, tidak cukup buat kita untuk mempelajari tindakan-tindakan korupsi seperti
sogokan, pemerasan, dan pengangkatan kerabat seorang pejabat di lingkungan pemerintahan,
atau pemberian fasilitas bisnis kepada perusahaan milik kerabat dari seorang pejabat, tapi perlu
juga kita amati keseluruhan jejaring korupsi (cabal) di mana terjadi interaksi yang mesra antara
pejabat, pengusaha, dan aparat penegak hukum. Hubungan-hubungan di antara anggota-anggota
jejaring korupsi itulah yang biasa disebut “kolusi” di Indonesia. Dari situlah timbul singkatan “KKN”
(korupsi-kolusi-nepotisme), yang dari sudut sosiologi korupsi, sebenarnya semuanya sudah
tercakup dalam istilah korupsi. Makanya, dalam makalah ini hanya istilah “korupsi” yang
digunakan, dalam pengertian yang sudah mencakup “kolusi” dan “nepotisme”.

Enam Bidang Kegiatan Korporasi yang Sarat Korupsi

Setiap jenis bidang usaha selalu digayuti oleh sejumlah faktor ketidakpastian (uncertainties).
Misalnya, ketidakpastian pemasokan bahan baku, ketidakpastian kecukupan tenaga kerja, serta
ketidakpastian permintaan akan produk yang dihasilkan (ketidakpastian pasar). Itu sebabnya,
suatu strategi bisnis yang lazim di dunia bisnis adalah mengurangi satu atau lebih faktor
ketidakpastian itu. Bahkan kalau bisa, mengurangi semua faktor ketidakpastian itu. Manajer atau
CEO (chief executive officer) yang baik adalah yang dapat mengurangi satu atau lebih faktor
ketidakpastian itu.

Dari pengamatan terhadap sejumlah praktek bisnis di Indonesia, ada enam bidang kegiatan
korporasi di mana faktor-faktor ketidakpastian itu berusaha ditekan dengan cara-cara yang sarat
korupsi. Keenam bidang itu adalah (a). pengadaan dan penguasaan tenaga kerja, baik tenaga
kerja dari dalam maupun dari luar negeri; (b). pengadaan dan penguasaan bahan baku,
khususnya untuk industri ekstraktif yang mengandalkan sumber daya alam dari daerah tertentu
(misalnya dalam industri pertambangan, kehutanan, dan perikanan) serta industri yang mengganti
tanaman lokal milik rakyat setempat dengan monokultur tanaman perkebunan dan hutan tanaman
industri (HTI); (c). pengadaan dan penguasaan sumber energi setempat, misalnya tenaga air dan
batubara; (d). penciptaan dan penguasaan pasar yang bercorak monopolistik dan oligopolistik;
(e). pengadaan sumber-sumber keuangan serta pengamanan keuntungan.

Keenam bidang usaha itu didukung oleh satu bidang yang berkaitan dengan kelima bidang tadi,
yakni (f). pelibatan pejabat publik atau keluarga mereka dalam berbagai bidang dan fase kegiatan,
mulai dari pengadaan izin untuk berusaha di sektor yang diminati korporasi-korporasi besar
tersebut.

Marilah kita lihat sekarang berbagai contoh dari keenam bidang kegiatan itu.

Ad a + f: Korupsi dalam pengadaan dan penguasaan tenaga kerja:

Mantan Menteri Transmigrasi Martono didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Djajanti Djaya, guna
mengamankan transmigrasi tenaga kerja dari NTB untuk menjalankan kilang kayu lapis
perusahaan itu di Pulau Seram, Maluku.

Mantan Dirjen Imigrasi Sinuraya didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Djajanti Djaya, untuk
mengamankan impor tenaga kerja asing (dari Taiwan) dalam pengelolaan anak-anak perusahaan
Djajanti Djaya di Maluku dan di Gresik, Jawa Timur.

Perusahaan pengelola asuransi tengara kerja milik anak Menteri Tenaga Kerja, Jakob Nuwa Wea,
dilibatkan dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah, untuk mempermulus
urusan dengan Departemen Tenaga Kerja.

Ad b + f: Korupsi dalam pengadaan dan pengamanan bahan baku:

Mantan Gubernur Papua Barat, Izaac Hindom, didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Artika
Optima Inti, anak perusahaan PT Djayanti Djaya, yang memiliki daerah konsesi hutan di Papua
Barat, guna mengamankan bahan baku bagi kilang kayu lapis PT Djayanti Djaya di Pulau Seram,
Maluku.

Mantan Gubernur Sulawesi Tengah, Abdul Azis Lamadjido, didudukkan dalam Dewan Komisaris PT
Hardaya Inti Plantation, guna pengamanan pengadaan lahan bagi perkebunan kelapa sawit anak
perusahaan CCM (Cipta Cakra Murdaya) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah (lihat Aditjondro
2004a: 54).

Ronny Narpatisuta Hendropriyono, anak Kepala BIN (Badan Intelligence Negara), Jenderal (Purn.)
A.M. Hendropriyono, didudukkan dalam Dewan Komisaris perusahaan di atas, untuk
mengamankan perkebunan itu dari gejolak buruh dan oposisi petani desa-desa setempat (lihat
Aditjondro 2004a: 53).

Pimpinan intelligence yang lain ada di daerah, ada juga yang jadi patron bagi pengusaha nasional
yang berkiprah di daerahnya. Kepala BIN Daerah Sulawesi Utara dan Gorontalo, Brigjen (Pol)
Wenny Warouw, sering mengaku-aku menjadi anak angkat Nyonya Melly Pirieh, yang lebih dikenal
sebagai Ny. Melly Eka Tjipta Widjaja. Pengusaha kelahiran Poso tahun 1931 itu memang salah
seorang istri tokoh pengusaha nasional, Eka Tjipta Widjaja (Oei Ek Tjong), pemimpin kelompok
Sinar Mas. Bersama ketujuh orang anaknya, Nyonya Melly mengembangkan konglomeratnya
sendiri, yakni kelompok Duta Dharma Bhakti. Perusahaannya tersebar dari Riau sampai ke
Sulawesi Utara, tempat beroperasi HPH PT Wenang Sakti (PDBI 1997, Vol. III, hal. A-1603 – A-
1607).
Selain tokoh-tokoh nasional seperti Hendropriyono, berbagai industri ekstraktif seperti
pertambangan, perkayuan dan kelapa sawit sering melibatkan tokoh-tokoh yang berasal dari
daerah itu, untuk meredam kemungkinan oposisi dari rakyat setempat. Salah satu contohnya
adalah kelompok industri perkayuan di Kalimantan Tengah mendudukkan Winfred Tungken,
seorang bankir asal Kalteng, dalam dewan komisarisnya.

Di Kalimantan Barat (Kalbar), Higang Liah, Wakil Bupati Kapuas Hulu yang masih keponakan
mantan Gubernur Kalbar, alm. Oevang Oeray, masuk dalam industri perkayuan di daerah itu,
bersama mantan Bupati Kapuas Hulu, Yakobus Frans Layang, seorang ningrat Dayak yang
berdarah campuran suku Tamambaloh dan Iban. Perusahaan mereka berstatus PMDN lokal,
berbentuk aliansi koperasi-koperasi masyarakat adat.

Memang dari sudut membangun potensi ekonomi lokal, prakarsa ini baik sekali. Namun dari sudut
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah ada persoalan, sebab Pasal 48
Undang-Undang itu melarang Kepala Daerah untuk terjun secara langsung dalam bidang bisnis
(lihat Aditjondro 2004: xxiv-xxv). Tentu saja hal itu juga berlaku bagi Wakil Bupati, yang dalam
banyak hal harus siap menjalankan tugas-tugas Bupati apabila atasan langsungnya itu
berhalangan.

Secara nasional, pembentukan Asosiasi Pengusaha Kayu Lapis Indonesia (APKINDO) yang
dipimpin oleh Bob Hasan, dapat dilihat sebagai usaha mengamankan bahan baku bagi kilang-
kilang kayu lapis milik Bob Hasan serta kerabat dan kroni Soeharto yang lain (lihat Ekloef 1999:
125, 145-6).

Ad c + f: Korupsi dalam pengadaan dan penguasaan sumber energi setempat:

Pelibatan Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dalam PT Energi Sengkang dapat dilihat sebagai langkah
pengamanan sumber tenaga listrik bagi PT INCO, tambang nikel bermodal Kanada, yang
beroperasi di daerah Soroako dan sekitarnya, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Di Sulawesi Tengah, di masa pemerintahan Gubernur Azis Lamadjido, seorang anak sang gubernur
menjabat sebagai Walikota Palu, seorang anak lagi menjabat sebagai Kepala PLN Sulawesi
Tengah, dan seorang lagi menjabat sebagai ketua GAPENSI Sulawesi Tengah. Itu sebabnya
kegigihan sang Gubernur untuk mendukung rencana pembangunan seubah PLTA dengan
membendung Danau Lindu di Kabupaten Donggala, dapat dilihat sebagai usaha melindungi
kepentingan anak-anaknya untuk mengamankan pemasokan tenaga listrik bagi perusahaan-
perusahaan yang dekat dengan sang Gubernur.

Baru-baru ini, sebelum dilantik menjadi Wakil Presiden, melalui salah satu perusahaan miliknya,
PT Bukaka Teknik Utama, Jusuf Kalla menyumbang Rp 100 juta untuk penyelenggaraan Sidang
Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Tentena, Poso, 12 s/d 20 Oktober yang lalu.
Mengingat bahwa keluarga Kalla jelas-jelas bukan anggota jemaat GKST, maka ‘sumbangan’ itu,
dapat dilihat sebagai usaha mengambil hati warga jemaat GKST yang bermukim sepanjang Sungai
Poso yang akan disadap energinya untuk membangun PLTA Solewana yang berkekuatan 3 x 200
MW, yang mau tidak mau akan punya dampak sosial yang tidak kecil. Nah, mengingat bahwa ada
perusahaan-perusahaan lain milik keluarga Kalla yang terlibat dalam pembangunan Jalan Trans
Sulawesi yang melintasi Kabupaten Poso, seperti PT Bumi Karsa dan PT Bumi Sarana Utama,
‘sumbangan’ kepada GKST itu dapat dilihat sebagai langkah pengamanan sumber energi bagi
kepentingan-kepentingan bisnis keluarga Kalla di Sulawesi Tengah.

Ad d + f: Korupsi dalam penciptaan dan penguasaan pasar yang bercorak monopolistik


dan oligopolistik:

Pengendalian harga beras dan pengaturan impor beras oleh badan yang sama, yakni BULOG,
menguntungkan PT Bogasari serta PT Indofood yang sama-sama dimiliki oleh keluarga Soeharto
dan kelompok Salim, untuk menciptakan pergeseran menu rakyat Indonesia ke mi instan (lihat
Aditjondro 2002: 11). Seperti ditulis oleh Mad Ridwan dan Guntoro Soewarno (2002: 18):
“Akibat penguasaan hulu ke hilir yang mayoritas oleh Grup Salim, rakyat Indonesia
dirugikan aksesnya terhadap terigu dan seluruh produk turunannya. Kerugian ini muncul
dalam bentuk menurunnya kesejahteraan sosial yang diakibatkan pengendalian harga
terigu dan produk turunannya yang semena-mena oleh perusahaan-perusahaan Grup
Salim”.

APKINDO yang telah disinggung di atas, juga berfungsi menciptakan pasar yang oligopsonik bagi
kilang-kilang kayu lapis yang dikuasai oleh Bob Hasan serta sejumlah kerabat dan kroni Soeharto
yang lain (lihat Aditjondro 2002: 23).

Di samping itu, untuk mempermulus masuknya mobil Kia ke pasaran, bersaing dengan mobil-
mobil lain, kelompok Artha Graha pimpinan Tomy Winata mengangkat Kepala BIN, A.M.
Hendropriyono, sebagai presiden komisaris PT Kia Mobil Indonesia (KMI), yang mendapat lisensi
untuk mengimpor dan menjual 12 jenis sedan buatan Kia Motors Corporation di Korea Selatan.
Seorang anak Hendropriyono, Ronny Narpatisuta, yang juga menjadi komisaris perkebunan kelapa
sawit PT Hardaya Inti Plantations di Sulawesi Tengah, menjadi salah seorang direktur perusahaan
itu (lihat Aditjondro 2004a: 55). Lewat hubungan yang dekat antara Hendropriyono dan Kapolri
Da’i Bachtiar, juga antara Tomy Winata dan suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri,
Taufiq Kiemas, mobil Kia hasil impor PT KMI itu dihibahkan ke polisi di banyak tempat. Berkat
patroli polisi ke pelosok-pelosok daerah di mana mereka bertugas, mobil Kia dipromosikan atas
biaya rakyat ke berbagai pelosok tanah air.

Perang, atau konflik bersenjata, juga merupakan siasat untuk melariskan produk pabrik senjata
dan amunisi. Hal itu dapat dilihat dari populernya senjata dan peluru buatan PT Pindad, pabrik
senjata milik TNI/AD, di tiga daerah konflik, yakni Aceh, Ambon dan Poso. Senapan api yang
banyak dipakai oleh pihak-pihak yang bertempur adalah SS (Senapan Serbu) 1 buatan Pindad,
sedangkan peluru yang tersebar paling merata di tiga daerah konflik itu adalah kaliber 5,56 mm.
Selain itu masih ada lagi sejumlah senapan dan pistol serta peluru kaliber lain buatan Pindad (lihat
Aditjondro 2004b: 168-76, 2004c: 138-40).

Dalam kasus konflik Poso, selain melalui jalur gelap, ditengarai ada seorang pengusaha keturunan
Arab asal Poso, Hasan Nazer (56), yang diduga ikut berperan melariskan produk-produk Pindad di
kabupaten yang dulu dikenal sebagai penghasil kayu hitam itu. Setelah hijrah ke Jakarta, Hasan
dan seorang abangnya, Ali Umar, mula-mula membuka bisnis pengiriman TKW ke Arab Saudi
dengan nama Amri Brothers. Sesudah bergelimang uang dari bisnis TKWnya, Hasan membuka
bisnis pengecoran besi dan baja, PT Metinca Prima Industrial Work, yang punya satu pabrik di
Tambun (Bekasi) dan satu lagi di Cakung.

Entah bagaimana caranya, satu saat PT Metinca Prima Industrial Work mulai jadi pemasok tiga
komponen penting dari senjata SS-1, yakni pelatuk, hammer dan vicier. Menurut seorang
narasumber, Hasan bisa mendapat order berkelanjutan dari Pindad itu karena hubungannya yang
dekat dengan BJ Habibie, yang diperkenalkan kepadanya oleh Jendral Faizal Tanjung. Dalam
wawancaranya dengan penulis, akhir Oktober 2003, Hasan menyangkal bahwa ia mengenal BJ
Habibie secara pribadi. Order Pindad yang memerlukan tingkat presisi yang sangat tinggi itu
baginya hanya pemancing order-order lain dari perusahaan-perusahaan di Eropa (lihat Aditjondro
2004c: 140).

Namun, jawaban itu sangat meragukan. Sebab kalau betul bahwa ia sudah menjadi rekanan
Pindad sejak sebelum Soeharto lengser, maka saat itu Menristek BJ Habibie masih menjabat
sebagai Kepala BPIS (Badan Pengendali Industri Strategis), yang juga membawahi Pindad. Selain
itu, dalam beberapa percakapannya kemudian dengan penulis, Hasan juga membangga-
banggakan hubungannya yang akrab dengan sejumlah jendral, yang katanya didasari oleh
pertemuan mereka di gelanggang olahraga karate. Berarti, besar kemungkinan ia juga mengenal
Jendral Faizal Tanjung. Akhirnya, sebagai pemasok tunggal tiga komponen SS-1 itu, Hasan
tentunya tahu berapa ribu pucuk SS-1 yang diproduksi setiap tahun. Dengan informasi itu, ia juga
dapat memperkirakan, apakah konflik di tiga daerah itu—Aceh, Ambon, dan di tanah kelahirannya
sendiri, Poso—masih akan berkelanjutan, atau tidak. Paling tidak, ajang latihan karate dapat
menjadi ajang pertukaran informasi tentang kondisi keamanan di tiga daerah itu.
Ad e + f: Korupsi dalam pengadaan sumber-sumber keuangan dan pengamanan
keuntungan:

Winfrid Tungken, salah seorang direktur Bank Dagang Negara (BDN), bersedia ‘dibajak’ oleh
pengusaha pemilik HPH di daerah asalnya, Kalimantan Tengah. Dengan demikian pengusaha itu
mendapat dukungan dari seorang putra daerah, sekaligus akses ke dana kredit dari bank
pemerintah yang pernah dipimpin oleh Tungken. Alih profesi dari bankir ke komisaris perusahaan-
perusahaan yang tidak bergerak di bidang keuangan banyak juga dilakukan di era Orde Baru,
demi mempermudah aliran dana publik ke perusahaan-perusahaan swasta tersebut. Dari
pendapatannya sebagai komisaris dan pelobi perusahaan HPH itu, Tungken berhasil membangun
kekayaannya sendiri berupa sejumlah perusahaan penggergajian kayu, perkebunan, peternakan,
pupuk, dan lain-lain. Namun kekayaan yang cukup besar itu tidak dapat mencegah merosotnya
kesehatannya, setelah menikah kembali sepeninggal isteri pertamanya. Ia kini berbaring dalam
keadaan koma di rumah sakit di Singapura.

Kasus paling mencolok di bidang ini adalah peranan Fuad Bawazier, dosen FE UI yang memperoleh
gelar doktornya di AS, dalam pengadaan sumber-sumber keuangan bagi kerabat dan kroni
Soeharto. Selama menjabat sebagai Dirjen Pajak dan kemudian Menteri Keuangan dalam kabinet
Soeharto yang terakhir, sejumlah perusahaan milik keluarga Soeharto mendapat keringanan atau
pembebasan pajak. Ia menjadi presiden komisaris PT Satelindo, perusahaan pengelola komunikasi
satelit milik Bambang Trihatmojo, Tomy Winata dan Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD.
Selain itu, ia juga dipercaya menjadi wakil bendahara Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang
didirikan oleh Soeharto bulan Januari 1996, yang memungut pajak tambahan sebesar 2% dari
setiap pembayar pajak di Indonesia, dan dalam tahun anggaran 1996-1997 berhasil
mengumpulkan $ 270 juta. Sebagian dana itu diduga digunakan untuk membiayai kampanye
Golkar dalam Pemilu 1997 (lihat Aditjondro 1998: 50; Ekloef 1999: 156; O’Rourke 2002: 75).

Namun, tindakan Fuad Bawazier yang paling menghebohkan, atas perintah Soeharto, adalah
pembebasan bea masuk bagi 1500 unit sedan Kia yang disulap namanya oleh Tommy Soeharto
menjadi “mobil Timor”. Sebelumnya, PT Timor Putra Nasional milik Tommy Soeharto telah
mendapat pinjaman sebesar $ 690 juta dari empat bank pemerintah dan 12 bank swasta untuk
membangun pabrik perakitan mobil Timornya. Fuad Bawazier juga berada di belakang Menteri
Keuangan Bambang Soedibyo di era pemerintahan Gus Dur, ketika Menteri ini menghalang-halangi
usaha Menteri BUMN Laksamana Sukardi membongkar hutang PT Texmaco sebesar Rp 17 triliun
kepada bank-bank pemerintah (lihat Ekloef 1999: 156; O’Rourke 2002: 46, 66, 77, 335, 361,
420).

Dari bagian keuntungan yang telah diperolehnya, ia ditengarai ikut membiayai PAM Swakarsa yang
diadu dengan para aktivis mahasiswa selama Sidang Umum MPR bulan November 1998, dan juga
ditengarai ikut membiayai Laskar Jihad yang dikirim ke Maluku dan Poso, berkat hubungan
baiknya dengan Pangab Jenderal Wiranto (lihat O’Rourke 2002: 292. 420).

Yang jelas, sambil menjabat sebagai wakil ketua MPR dalam era pemerintahan Gus Dur dan
Megawati, bekas kroni Soeharto itu berhasil membangun perusahaan pialang saham (PT Widuri
Securities), perusahaan perakitan motor Kanzen (PT Semesta Citra Motorindo), dan perusahaan
portal internet www.detik.com bersama Rini Suwandi. Di luar bisnisnya bersama Menteri
Pedagangannya Megawati itu ia memegang keagenan Kia jenis sedan mewah dan kendaraan
militer, melalui Kia Commercial Vehicle Industry (lihat Aditjondro 2004: 51-53).

Semua kekayaan itu tidak membuyarkan ambisi Fuad untuk kembali memegang portofolio Menteri
Keuangan dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, yang diperjuangkannya dengan meloboi
sejumlah gereja Kristen di Indonesia. Apakah ia akan berhasil atau tidak, kita lihat saja tanggal 20
Oktober 2004.

Akhirnya, bagaimana kekayaan yang terakumulasi di dalam negeri itu dapat diamankan di luar
negeri? Sejumlah kantor pengacara dan akuntan internasional di AS, Hong Kong, dan Negeri
Belanda, serta sejumlah bank Belanda telah membantu keluarga Soeharto mengamankan uang
haram hasil korupsi mereka ke tempat-tempat pencucian uang di Vanuatu dan Antillen Belanda. Di
antara bank-bank internasional yang turut terlibat dalam pencucian uang keluarga Soeharto
adalah Indover Bank NV, anak perusahaan Bank Indonesia di Belanda, tiga bank Belanda, yakni
MeesPierson NV, ABN-AMRO dan ING Bank NV, sedangkan kantor-kantor akuntan internasional
yang dimanfaatkan oleh Hashim Djojohadikusumo dan Tommy Soeharto untuk mengutuhkan hasil
korupsi mereka adalah Ernst & Young serta PriceWaterhouseCoopers (lihat Aditjondro 2002: 20-
27).

Ad f: Pelibatan pejabat publik atau keluarga mereka dalam berbagai bidang dan fase
kegiatan:

Dari berbagai contoh di atas dapat kita lihat, betapa besarnya keterlibatan pejabat publik—
terutama eksekutif—dalam berbagai bidang kegiatan itu. Perlu diberi catatan khusus di sini bahwa
tokoh-tokoh legislatif juga ikut berperan membela kepentingan perusahaan, di mana mereka
mendapat saham kosong. Jakob Tobing misalnya, tercatat sebagai pemegang saham perkebunan
kelapa sawit PT Laguna Mandiri, salah satu anggota kelompok Salim, di Kalimantan Selatan (lihat
Aditjondro 2004a: 57). Sedangkan Theo Sambuaga, yang sempat dicalonkan oleh Koalisi
Kebangsaan untuk menjadi Wakil Ketua MPR-RI, tapi gagal, juga aktif berbisnis. Ia tercatat
sebagai direktur PT Mongondow Indah dengan HGU perkebunan coklat seluas 733 hektar di
Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Selain itu, ia juga tercatat sebagai salah seorang
komisaris PT Texmaco Jaya, holding company kelompok Texmaco yang dari bidang tekstil
berdiversifikasi ke engineering (lihat Aditjondro 2004a: 57).

Kita tahu bahwa kelompok Texmaco pimpinan Marimutu Sinivasan masih sedang bermasalah
dengan pemerintah, khususnya dengan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), karena
masih terbelit utang sebesar Rp 29 trilyun kepada sejumlah bank dalam dan luar negeri (Radar
Sulteng, 18 Oktober 2004). Nah, seandainya Theo Sambuaga berhasil duduk di kursi pimpinan
MPR-RI, apakah itu tidak memberikan kemungkinan padanya untuk melakukan lobbying ke
pemerintah, untuk kepentingan Texmaco?

Saat ini pun, pimpinan badan-badan legislatif tertinggi di Indonesia ada bahaya “terbajak” oleh
kepentingan bisnis salah satu keluarga terkaya di Indonesia dan satu keluarga terkaya di Sulawesi
Selatan. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang baru pertama kalinya hadir dalam arena politik
Indonesia, kini diketuai oleh Ginanjar Kartasasmita, yang keluarga besarnya di lingkungan
pengamat ekonomi politik Indonesia dianggap keluarga kapitalis-birokrat ketiga terkaya di
Indonesia, setelah keluarga besar Soeharto dan Habibie.

Ginanjar adalah abang kandung dari Gunariyah Kartasasmita, salah seorang komisaris dalam PT
Bukaka Teknik Utama milik keluarga M. Jusuf Kalla (lihat Aditjondro 2004a: 64-5). Padahal M.
Jusuf Kalla kini adalah wakil presiden terpilih, sementara saudara iparnya, Aksa Mahmud, terpilih
sebagai wakil ketua MPR dari kubu Koalisi Kerakyatan yang pro-SBY-MJK. Nah, dengan munculnya
Ginanjar Kartasasmita, M. Jusuf Kalla, dan Aksa Mahmud ke pentas politik nasional di pucuk
pimpinan eksekutif dan legislatif, maka besar kemungkinan bahwa puluhan perusahaan milik
keluarga Kartasasmita, kelompok Haji Kalla, dan kelompok Bosowa akan mengalami masa
keemasan, apabila peraturan-peraturan untuk mencegah konflik kepentingan tidak diterapkan di
tahun-tahun mendatang.

Celakanya, budaya politik untuk menggandengkan ekspansi bisnis korporasi-korporasi besar


berikut konglomeratnya dengan kedekatan pada penguasa, sudah lama berurat akar di bumi
Nusantara. Budaya politik untuk menjadikan korupsi sistemik berwujud jejaring (cabal) sebagai
strategi bisnis yang dianggap halal, bukan hanya berasal dari dalam negeri, tapi sudah lama juga
diterapkan oleh korporasi-korporasi transnasional yang masuk ke Indonesia.

Masuknya maskapai tambang Texaco di Riau dan Freeport di Papua Barat, merupakan dua contoh
masuknya korporasi transnasional melalui lingkaran kekuasaan politik ke Indonesia. Masuknya
Texaco ke Riau, di mana perusahaan itu beroperasi di bawah nama Caltex, dibidani oleh Julius
Tahiya, seorang pensiunan perwira TNI/AD, yang kemudian diangkat menjadi presiden direktur PT
Caltex Pacific Indonesia yang pertama. Walaupun dekat dengan tokoh-tokoh PSI seperti Sumitro
Djojohadikusumo dan Soebadio Sastrosutomo, Tahiya juga mampu memposisikan dirinya dekat
dengan Presiden Soekarno. Berkat kedekatannya dengan Soekarno itu, ladang-ladang minyak
Caltex di Riau tidak diambil alih oleh pemerintah. Setelah kudeta 1965, Tahiya berganti loyalitas
ke Jendral Soeharto (lihat Aditjondro 1999: 60; Leith 2003: 59).

Naiknya Soeharto ke tampuk pemerintahan segera disambut oleh pimpinan maskapai tambang
Freeport. Kali ini, Julius Tahiya yang berfungsi sebagai penghubung ke rezim yang baru. Ia
didampingi oleh Ali Budiardjo, mantan Sekjen Departemen Pertahanan di era 1950-an, yang
kemudian diangkat menjadi presiden direktur PT Freeport Indonesia yang pertama. Seluruh proses
itu terjadi di bawah bayang-bayang Foreign Intelligence Advisory Board yang bertanggungjawab
langsung kepada Presiden AS, Lyndon Johnson waktu itu (Leith 2003: 59-63).

Selain oleh korporasi-korporasi transnasional, budaya politik yang menghalalkan munculnya


praktek bisnis yang korup juga disuburkan oleh Bank Dunia, selama era Soeharto. Sesudah
jatuhnya Soeharto, Bank Dunia mengakui bahwa mereka menyadari bahwa 30 % lebih dari
seluruh dana pembangunan yang mereka salurkan melalui pemerintah Indonesia dikorupsi oleh
para pejabat pemerintah RI. Namun para petugas di kantor perwakilan Bank Dunia di Jakarta
menghalalkan tingkat korupsi yang lebih dari 30% itu sebagai semacam “pajak” terhadap roda
ekonomi Indonesia yang berputar cukup kencang. Baru setelah krisis moneter yang
berkepanjangan, pada tahun 1999 sebuah laporan Bank Dunia tentang kinerja mereka di
Indonesia menyalahkan staf mereka yang terlalu memikirkan karier mereka sendiri, atau terlalu
takut menyinggung perasaan pemerintah Indonesia yang merupakan salah satu “klien” Bank
Dunia yang terbaik. Makanya kata “korupsi” pun baru digunakan dalam laporan-laporan Bank
Dunia tentang Indonesia, setelah tahun 1997 (Leith 2003: 33-4).

Kesimpulan

Sebagaimana halnya kesimpulan Chambliss, bahwa kejahatan terorganisir (organized crime)


adalah bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi, dan korupsi merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari ekspansi bisnis korporasi-korporasi besar di Indonesia. Dengan kata lain, korupsi
merupakan strategi bisnis korporasi-korporasi tersebut. Khususnya, korupsi sistemik berwujud
jejaring (cabal), di mana ketiga jenis korupsi menurut Alatas, yakni sogokan, pemerasan, serta
nepotisme/kroni-isme, hanya merupakan taktik-taktik operasionalnya.

George Junus Aditjondro,Konsultan Yayasan Tanah Merdeka, Palu. Anggota Dewan Penasehat
CeDSoS, Jakarta

Referensi:

Aditjondro, G.J. (1998). Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari:
Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru. Jakarta: Masyarakat Indonesia
untuk Kemanusiaan (MIK) & Pijar Indonesia.

---------------(1999). Tangan-tangan Berlumuran Minyak: Politik Minyak di Balik Tragedi Timor


Lorosae. Jakarta: SOLIDAMOR.

--------------- (2002). “Suharto has gone – but the regime has not changed.” Dalam Richard
Holloway (peny.). Stealing From the People: 16 Studies on Corruption in Indonesia. Jakarta:
Aksara Foundation, hal. 1-66.

-------------- (2004a). Membedah Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia: Metodologi
Investigasi Korupsi Sistemik Bagi Akitivis dan Wartawan. Jakarta: Lembaga Studi Pers &
Pembangunan (LSPP).
--------------(2004b). “Kayu Hitam, Bisnis Pos Penjagaan, Perdagangan Senjata, dan Proteksi
Modal Besar: Ekonomi Politik Bisnis Militer di Sulawesi Bagian Timur.” Wacana, INSIST,
Yogyakarta, No. 17/Th. III, hal. 137-77.

------------- (2004c). “Kerusuhan Poso dan Morowali: Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya”.
Dalam Stanley (peny.). Keamanan, Demokrasi dan Pemilu 2004. Jakarta: ProPatria, hal. 109-55.

Ekloef, Stefan (1999). Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto, 1996-1998.
Copenhagenm: NIAS (Nordic Institute of Asian Studies).

Leith, Denise (2003). The Politics of Power: Freeport ion Suharto’s Indonesia. Honolulu: University
of Hawai’i Press.

O’Rourke, Kevin (2002). Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia. Sydney:
Allen & Unwin.

PDBI (1997). Conglomeration Indonesia. Jakarta: Pusat Data Business Indonesia (PDBI).

Ridwan, Mad & Guntoro Soewarno (2002). Buloggate: Abdurrahmangate, Akbargate, Megaskandal.
Jakarta: Global Mahardika.

Makalah pernah disampaikan untuk Lokakarya “The Empowerment of Civil Society Organizations to
Promote Corporate Social Responsibility in Indonesia” yang diselenggarakan oleh The Business
Watch Indonesia dan NOVIB di Jakarta, 20-22 Oktober 2004.

Sumber : oaseonline.org

Sumber Foto : blogs.usyd.edu.au

http://infokorupsi.com/id/artikel.php?ac=5&l=tiada-hari-tanpa-korupsi-korupsi-sebagai-strategi-
bisnis-korporasi-besar-di-indonesia

Telaah Kritis Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Komisi


Pemberantasan Korupsi

Oleh Eddy O.S Hiariej[2]

Pengantar

Dalam rangka memberantas korupsi, dunia internasional telah menandatangani deklarasi


pemberantasan korupsi di Lima, Peru pada tanggal 7-11 September 1997 dalam konferensi anti
korupsi yang dihadiri oleh 93 negara[3]. Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Declaration Of
8th International Conference Against Corruption diyakini bahwa korupsi mengerosi tatanan moral
masyarakat, mengingkari hak-hak sosial dan ekonomi dari kalangan kurang mampu dan lemah.

Demikian pula korupsi dianggap menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum yang
merupakan dasar dari setiap masyarakat, memundurkan pembangunan, dan menjauhkan
masyarakat dari manfaat persaingan bebas dan terbuka, khususnya bagi kalangan kurang mampu.
Konferensi tersebut juga mempercayai bahwa memerangi korupsi adalah urusan setiap orang dari
setiap masyarakat. Memerangi korupsi mencakup pula mempertahankan dan memperkuat nilai-
nilai etika dalam semua masyarakat. Karena itu sangat penting untuk menumbuhkan kerjasama
diantara pemerintah, masyarakat sipil, dan pihak usaha swasta[4].

Perkembangan berikutnya, melalui Ad Hoc Committee For The Negotiation Of The United Nations
Conventions Against Corruption sejak tanggal 1 Oktober 2003, lebih kurang 107 negara telah
menyetujui korupsi sebagai transnational Crime. Indonesia termasuk salah satu negara yang telah
menyetujui Convention Against Corruption yang diselenggarakan di Wina tersebut[5].
Pemberantasan korupsi yang sudah akut, dirasakan tidak cukup hanya dengan perluasan
perbuatan yang dirumuskan sebagai korupsi serta cara-cara yang konvensional. Diperlukan
metode dan cara tertentu agar mampu membendung meluasnya korupsi. Salah satu cara ialah
dengan menetapkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, sehingga pemberantasannya
tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa[6].

Dalam rangka pemberantasan tersebut yang tentunya memerlukan metode penegakan hukum
secara luar biasa pula, sinyalemen Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001[7] telah mengamanatkan pembentukan Badan khusus yang kemudian beken
dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK bersifat independen dan bebas dari
kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya
dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.

Sejak terbentuknya, KPK yang dikomandoi Taufikurachman Ruki, telah memperlihatkan sepak
terjangnya dalam membongkar sindikat korupsi di Komisi Pemilihan Umum dan suap di Mahkamah
Agung dalam perkara korupsi dana reboisasi dengan terdakwa Probosutedjo. Namun saat ini,
eksistensi KPK sedang digugat, menyusul Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Mulyana W. Kusumah, Tarcisius Wala, dan
sejumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum dengan kuasa hukum Mohamad Assegaf.

Hak konstitusional yang dirugikan menurut masing-masing pemohon adalah : Pertama, Mulyana
W. Kusuma telah disidik, dituntut dan diadili serta telah diputus sebagai terpidana berdasarkan
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang tidak berdasarkan due process of law dengan
dilakukannya penyadapan yang mengarah pada penjebakan. Kedua, Tarcisius Wala telah di
vonis berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI N0. 1557/K/PID/2005, tertanggal 16 November
2005, ternyata tempus delicti perbuatan Pemohon dilakukan sebelum berlakunya Undang-undang
No. 30 tahun 2002.

Ketiga, Nazaruddin Sjamsuddin dan kawan-kawan, telah terdiskriminasi karena diperiksa di


persidangan pengadilan Tindak Pidana Korupsi baik di tingkat pertama, banding dan / atau kasasi
serta jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil telah dilanggar karena legalitas atau
dasar keberadaan Pengadilan Tipikor tidak benar atau cacat secara hukum. Demikian pula
terhadap Ramlan Surbakti, Chusnul Mari`yah dan Valina Singka Subekti karena dengan
adanya kewenangan KPK melakukan penyadapan dan perekaman secara nyata sangat
mengganggu rasa aman, ketenangan dan perlindungan pribadinya karena secara terus menerus
merasa terancam dan khawatir dan merasa sangat tertekan dan kehilangan rasa aman serta
merasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, karena terus dibayang-bayangi oleh
kekhawatiran sewaktu-waktu akan ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK.

Pasal-pasal Undang-Undang KPK yang Dimohonkan Untuk Uji Materiil dan Alasan
Pemohon

Secara garis besar ada 7 pasal dalam undang-undang KPK yang dimohonkan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk uji materiil terhadap UUD 1945. Pertama, keberadaan pengadilan Tipikor. Pasal
1 Angka 3 dikaitkan dengan Pasal 53 undang-undang KPK Melanggar Prinsip Kemandirian dan
Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman serta menimbulkan Ketidakpastian Hukum dan
Ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 24 (1) dan (2) dan Pasal 28 D Ayat (1) UUD
1945. Adapun alasan pemohon adalah bahwa Pasal 1 angka 3 undang-undang KPK telah
menempatkan pengadilan Tipikor sebagai bagian dari fungsi pemberantasan tindak pidana korupsi
dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran bagian “Menimbang” huruf b undang-
undang KPK menunjukkan bahwa pengadilan tipikor tidak berada dalam bagian kekuasaan
kehakiman (kekuasaan yudikatif), dan Pengadilan Tipikor justru lebih erat dan / atau merupakan
bagian dari kekuasaan pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif).

Kedua, keberadaan KPK. Pasal 2 undang-undang KPK jo. Pasal 3 jo. Pasal 20 undang-undang KPK
melanggar prinsip dan konsep negara, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945.
Adapun alasan pemohon bahwa keseluruhan ketentuan baik dalam Pembukaan UUD 1945 maupun
dalam Pasal 1 UUD 1945 bermakna bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum dan
UUD 1945 menetapkan 8 (delapan) organ negara yang mempunyai kedudukan yang sama atau
sederajat, yang secara langsung menerima konstitusional dari UUD 1945, yaitu MPR, Presiden,
DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY.

Kewenangan organ negara yang berdasarkan perintah Undangundang seharusnya didasarkan


dalam kerangka sistem ketatanegaraan yang diatur dalam UUD 1945 guna menghindarkan
kekacauan sistem ketatanegaraan, menjamin tegaknya keadilan dan demokrasi, serta
menghindari terjadinya penyalahgunaaan kekuasaaan (abuse of power). Kenyataannya dalam
undang-undang KPK, telah menjadikan KPK sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan yang
berada di luar kerangka sistem ketatanegaraan, tidak memiliki sistem pengawasan dan sistem
pertanggungjawaban yang accountable, dan melakukan pemangkasan peran dan fungsi kepolisian
dan kejaksaan yang berada dibawah Presiden. Dengan demikian sebagai organ kenegaraan baru
yang mengambil alih kewenangan lembaga lain yang diperoleh dari UUD 1945, yang sebetulnya
telah terbagi dalam beberapa kekuasaan, maka dapat dimaknai bahwa KPK merupakan atau dapat
disebut sebagai lembaga ekstra konstitusional.

Ketiga, Pasal 6 huruf c undang-undang KPK bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945. Adapun alasan pemohon adalah bahwa wujud dari adanya kepastian hukum
dalam suatu negara adalah adanya ketegasan tentang berlakunya suatu aturan hukum (lex certa)
yang mengharuskan suatu aturan hukum berlaku mengikat secara tegas karena tidak ada keragu-
raguan dalam pemberlakuannya. Dengan pemberlakuan pasal 6 huruf c undang-undang KPK
sesungguhnya mengandung materi muatan penyatuan fungsi-fungsi penegakan hukum, sehingga
terdapat pertentangan antara dua atau lebih ketentuan dalam UU yang berbeda namun berlaku
mengikat pada saat yang sama dan mengatur materi muatan yang sama pula tentang tugas yang
dimiliki oleh lembaga penegak hukum.

Penegasan tugas dan wewenang Kepolisian maupun Kejaksaan dalam upaya penegakan hukum di
bidang korupsi diatur dalam pasal 13 dan 14 Ayat (1) huruf g undang-undang kepolisian negara
mengatur tugas dan wewenang Kepolisian dalam hal penyelidikan dan penyidikan perkara pidana
termasuk perkara tindak pidana korupsi tetap menghormati prinsip pengawasan keseimbangan
(check and balances) dengan Kejaksaan dan Penyidik lain berdasarkan Undang-undang. Dalam
teori hukum acara pidana prinsip ini dikenal sebagai sistem peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system) dan telah berjalan selama ini sebelum pemberlakuan pasal 6 huruf c
undang-undang KPK.

Demikian pula penegasan tugas dan wewenang Kejaksaan RI dalam hal penyidikan dan
penuntutan diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf a dan huruf d undang-undang kejaksaan dalam
melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Dengan berlakunya pasal 6
huruf c undang-undang KPK, dalam hal penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi terdapat
dua aturan yang sama-sama berlaku. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip lex certa. Bahwa
dengan adanya keraguraguan dalam pemberlakuan dua atau lebih undang-undang, tentu telah
berpotensi terhadap tidak adanya kepastian hukum. Padahal kepastian hukum merupakan hak
konstitusional pemohon yang dijamin berdasarkan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Sehingga
dengan demikian, pasal 6 huruf c undang-undang KPK bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1)
UUD 1945.
Keempat, Mendapatkan Perhatian Masyarakat. Pasal 11 huruf b undang-undang KPK
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28 D
Ayat (1) UUD 1945. Adapun alasan pemohon adalah bahwa Pasal 11 huruf b undang-undang KPK
yang menyatakan pada pokoknya bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, jadi
sangat sumir jika sesuatu yang tidak ada tolok ukurnya kemudian serta merta dijadikan bahan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK. Bahwa KPK sengaja membocorkan informasi
kepada wartawan / pers secara tendensius mengenai segala hal atas diri Pemohon yang
dipersangkakan atau diselidiki oleh KPK. Bahkan secara sistematik KPK telah melakukan
pembentukan opini di masyarakat luas berdasarkan informasi dan bukti yang sangat sumir dan
lemah.

Kelima, Penyadapan dan Perekaman. Pasal 12 Ayat (1) huruf a undang-undang KPK melanggar
Hak Warga Negara atas rasa aman dan jaminan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga
bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945. Adapun alasan
pemohon adalah bahwa keberadaan KPK yang diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan
sangat jelas melanggar hak warga negara dari rasa aman untuk berkomunikasi, selain itu proses
penyadapan yang tanpa ada aturan tersebut, jelas-jelas melanggar prinsip praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) yang merupakan prinsip utama dalam penegakan hukum. Hal tersebut
telah menimbulkan kekhawatiran dan bahkan ketakutan serta perasaan tidak aman pada diri
Pemohon.

Keenam, Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence). Pasal 40 undang-undang KPK
melanggar prinsip persamaan di muka hukum dan kepastian hukum, serta bersifat diskriminatif,
sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal
28 I Ayat (2) UUD 1945. Adapun alasan pemohon bahwa berdasarkan Pasal 40 undang-undang
KPK yang menyatakan KPK tidak berwenang untuk mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan dan penuntutan membawa konsekuensi seseorang yang disidik atau diperiksa sebagai
Tersangka oleh KPK otomatis juga sudah menjadi Terdakwa.

Hal ini berbeda bagi tersangka perkara tindak pidana korupsi yang penanganan perkaranya
diajukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Sehingga, ketentuan ini jelas-jelas telah mencabut dan
melanggar hak-hak asasi warga negara atas kedudukan dan perlakuan yang sama di hadapan
hukum sebagaimana diberikan dan dijamin oleh konstitusi, yaitu dalam Pasal 27 ayat (1) serta
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Secara faktual proses penegakan hukum terhadap seorang Warga
Negara Indonesia, dapat dilakukan oleh tiga lembaga, yaitu: Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.
Namun demikian mengenai ketentuan hukum acaranya berbeda-beda, yaitu untuk Kepolisian dan
Kejaksaan menggunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam KUHAP dan undang-undang
korupsi, sedangkan untuk KPK, disamping menggunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam
KUHAP dan undang-undang korupsi, juga menggunakan undang-undang KPK sebagai ketentuan
khusus (lex specialis) sebagaimana disebutkan dalam Bagian Penjelasan Umum undang-undang
KPK. Sehingga, ketentuan ini jelas sangat diskriminatif.

Ketujuh atau yang terakhir adalah Pasal 72 undang-undang KPK bertentangan dengan pasal 28 D
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Adapun alasan pemohon keberadaan pasal 72 undang-
undang KPK yang menyangkut tentang pemberlakuannya, tampak jelas bahwa undang-undang
KPK berlaku sejak tanggal diundangkan yakni terhitung sejak tanggal 27 Desember 2002. Adanya
penafsiran di kalangan ahli dalam perkara No. 069/PUU-II/2004 tentang apakah undang-undang a
quo berlaku ke depan (prospective) atau sebaliknya dapat diberlakukan surut (retroaktif), telah
menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dalam pemberlakuannya.

Sistem Peradilan Pidana[8]

Berbicara mengenai sistem peradilan pidana sangatlah berkaitan erat dengan sistem hukum yang
berlaku di sebuah negara. Hal ini adalah suatu kewajaran sebab sistem peradilan pidana adalah
sebagai salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh
suatu negara. Oleh sebab itu, setiap negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan pidana yang
meskipun secara garis besar hampir sama namun memiliki karakter tersendiri yang disesuaikan
dengan kondisi sosial masyarakat, budaya dan politik yang dianut.

Secara sederhana sistem peradilan pidana adalah proses yang dilakukan oleh negara terhadap
orang-orang yang melanggar hukum pidana. Proses itu dimulai dari kepolisian, kejaksaan dan
akhirnya pengadilan. Sebagaimana yang diungkapkan Cavadino dan Dignan bahwa sistem
peradilan pidana adalah ”A term covering all those institution which respond officially to the
commission of offences, notably the police, prosecution authorities and the court”.[9] Dengan kata
lain, sistem peradilan pidana ini tidak hanya mencakup satu institusi tetapi berkaitan erat dengan
beberapa institusi negara yang menurut Feeney pekerjaan aparat penegak hukum yang satu akan
memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat penegak hukum yang lain. Secara tegas
dikatakan oleh Feeney “ …..what once criminal justice agency does likely to affect and be affected
by otheragencies and …..a detailed knowledge of the kinds of interactions that are likely to take is
essential for undertaking system improvement “[10]

Hebert L. Packer menyatakan bahwa para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana adalah
integrated criminal justice system yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Artinya, antara tugas
penegak hukum yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Packer selanjutnya memperkenalkan
dua model dalam sistem peradilan pidana yaitu crime control model dan due process model. Crime
control model memiliki karakteristik efisiensi, mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt
sehingga tingkah laku kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan sampai ia sendiri
yang melakukan perlawanan. Model ini diibaratkan seperti sebuah bola yang sedang digelinding
dan tanpa penghalang.

Sedangkan due process model memiliki karakteristik menolak efisiensi, mengutamakan kualitas
dan presumption of innocent sehingga peranan penasehat hukum amat penting sekali dengan
tujuan jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah. Model ini diibaratkan seperti orang
yang sedang melakukan lari gawang. Kedua model tersebut ada nilai-nilai yang bersaing tetapi
tidak berlawanan[11].

Sementara itu King mengemukakan beberapa model dalam sistem peradilan pidana guna
melengkapi apa yang dikemukakan oleh Packer. Selain crime control model dan due porocess
model, King menambahkan empat model lainnya yaitu medical model, bureaucratic model, status
pasage model dan power model[12].

Dalam medical model proses acara pidana diibaratkan seperti mengobati orang sakit.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh King, “ …..the restoration of the defendant to a state of
mental and social health wherebys/he will be able to cope with the demands society makes oh
him/her and refrain from the conduct which causes further intervention to be necessary[13]”

Bureaucratic model memandang sistem peradilan pidana sebagai konflik antara negara dan
terdakwa. Hukum acara pidana dinilai diskriminatif terhadap individu atau kelompok tertentu.
Dikatakan demikian karena dengan aturan yang terbatas dalam beracara dan pembuktian, negara
bebas memilih untuk membuat putusan kendatipun terkadang meniadakan kejadian yang
sesunggunya. King berpendapat bahwa bureaucratic model dan due process model mempunyai
hubunngan yang jelas namun didasarkan pada aspek yang berbeda. Due process model
mengutamakan perlindungan terhadap individu dari kesewenang-wenangan kekuasaan negara
sedangkan bureaucratic model mengutamakan proses terhadap terdakwa berdasarkan standar
prosedur. Akan tetapi baik due process model maupun bureaucratic model didasarkan pada aturan
yang baku dalam sistem peradilan pidana[14].

Selanjutnya terhadap model yang kelima dari King adalah status passage model. Model ini
memandang sistem peradilan pidana sebagai suatu proses penerimaan status bagi si terpidana
oleh masyarakat yang diwakili pengadilan. Terhadap status passage model, King berpendapat, “
…this perspective stresses the function of the criminal court as institutions for denouncing the
defendant, reducing his social status and promoting solidarity within the community . The
reduction of social status in the offender results …not only in the stigmatization of the defendant
as a person with a tarnished moral character , but also in the enhancement of social cohesiveness
among law – abiding members of the community by setting the defendant apart from the
community and by emphasizing the difference between him and law abiding citizens[15]”

Model yang terakhir dari King adalah power model. Berdasarkan power model, sistem peradilan
pidana adalah instrumen dari (Ruling class) golongan yang berkuasa yang melakukan diskriminasi
terhadap kelompokkelompok tertentu termasuk di dalamnya kelompok etnis minoritas. Sistem
peradilan pidana adalah untuk melindungi golongan yang berkuasa kendatipun terdapat perbedaan
antara das sollen dan das sein. Hal ini disebabkan golongan yang berkuasa dapat mengontrol dan
menginterpretasi aturan dengan diskriminasi dan represif[16].

Model yang dikemukakan Packer dan King selanjutnya oleh King dibagi ke dalam dua
pendekatan, yakni participant approaches dan social approaches. Participant approaches adalah
sistem peradilan dilihat dari sudut pandang aparat penegak hukum yang meliputi 3 model, yakni
crime control model, due process model dan medical model. Sedangkan social approaches adalah
sistem peradilan pidana dilihat dari sudut pandang masyarakat yang mencakup bureaucratic
model, status passage model dan power model.

Menurut King, dalam participant approach, ketiga model pertama tersebut telah mengidentifikasi
berbagai nilai dalam proses acara pidana dan aparat penegak hukum diberi kebebasan untuk
memilih mana yang akan digunakan. Ketiga model tersebut tidak ada satu model pun
mengungguli yang lain, semuanya memiliki keunggulan masing-masing. Oleh sebab itu, para
penegak hukum dalam sistem peradilan pidana biasanya tidak menerapkan satu model secara
tegas tetapi tergantung pada individu atau kasus yang dihadapi. Sementara, dalam social
approaches, ketiga model yang terakhir didasarkan pada analisis teori sosial mengenai hubungan
antara institusi penegak hukum sebagai struktur tersendiri dengan struktur lainnya dalam
masyarakat. Para penegak hukum mencoba menjelaskan proses beracara secara keseluruhan
kepada masyarakat dengan tujuan-tujuan tertentu mengapa terjadi kesenjangan antara retoika
dan kenyataan hukum[17].

Dalam peraturan hukum kongkrit, sistem peradilan pidana biasanya dituangkan dalam hukum
acara pidana. Oleh Enschede hukum acara pidana adalah hukum yang riskan sebagai instrumen
penegak hukum yang pelaksanaaannya dengan pengawasan yang rumit. Secara tegas Enschede
menyatakan, ”Strafprocesrecht is riskant recht : De strafrechtspleging, instrumen voor handhaving
van het recht, vertoont nu in dit opzicht een eigenaardigheid....”[18]. Pernyataan tersebut
tidaklah berlebihan dengan mengingat hukum acara pidana pada dasarnya adalah hak subjektif
negara – biasa disebut jus puniendi – untuk menegak hukum pidana[19]. Oleh Vos, jus puniendi
didefinisikan : ”..... subjectieve recht van de overhied om te straffen, omvattend dus het recht om
straf te bedreigen, starf op te legen en straf te voltreken[20]”.

Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, bila dikaitkan dengan sistem peradilan pidana
seperti yang telah diungkapkan di atas maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, perihal integrated criminal justuce system yang diungkapkan baik oleh Packer maupun
King, pada kenyataannya tidak dianut sepenuhnya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Sebab, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dikenal asas difererensiasi fungsional. Artinya,
masing-masing aparat penegak hukum mempunyai tugas sendiri-sendiri dan terpisah antara satu
dengan yang lain.

Kedua, perihal model dalam beracara baik yang dikemukakan oleh Packer, maupun King, sistem
peradilan pidana di Indonesia tidak menganut secara strik satu model tertentu. Kendatipun
kecenderungannya pada crime control model, namun realitanya dikombinasikan dengan model
yang lain. Sebagai contoh, asas presumption of innocent tetap menjadi landasan legal normatif
bagi aparat penegak hukum ketika mengadakan pemeriksaan terhadap tersangka. Artinya, si
tersangka diberlakukan seperti orang yang tidak bersalah. Namun di sisi lain, secara formal KUHAP
kita menyatakan dalam Pasal 17 nya bahwa penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap
seseorang yang diduga keras melakukan suatu tindak pidana (baca : presumption of guilt). Hal ini
berarti berdasrkan diskiptif faktual, polisi dan jaksa harus yakin bahwa terhadap orang yang
sedang disidik atau didakwa, dia adalah pelaku kejahatan yang sesungguhnya[21]. Demikian pula
dalam penanganan narapidana di lembaga pemasyarakatan, sedikit–banyaknya, sistem kita
mengikuti medical model dari King.

Ketiga, dalam mengantisipasi perkembangan zaman, khususnya kejahatan yang terjadi di


masyarakat, tugas penegakan hukum tidak semata dibebankan kepada polisi, jaksa dan hakim,
namun dimungkinkan pembentukan badan-badan khusus untuk membantu penegakan hukum di
Indonesia. Hal ini sangat dimungkinkan dalam sistem hukum pidana di Indonesia sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 103 KUHP dan Pasal 284 ayat (2) KUHAP. Substansi kedua pasal
tersebut secara implisit memberi peluang bagi pertumbuhan hukum pidana baru di luar kodifikasi.

Maksud Pasal 103 KUHP maupun Pasal 284 KUHAP adalah bahwa dalam mengantisipasi
perkembangan zaman tidaklah menutup kemungkinan timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang
sama sekali belum terpikirkan pada saat mengkodifikasi hukum pidana dalam suatu kitab undang-
undang. Demikian pula dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan konvensional dilakukan
dengan modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau
prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan[22].

Sebagai misal, dalam mengungkap pelanggaran berat hak asasi manusia, polisi sama sekali tidak
dilibatkan. Penyelidikannya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sedangkan
penyidikan dan penuntutan berada dalam satu tangan yakni kejaksaan agung. Demikian pula
halnya dengan kejahatan korupsi yang sudah sangat akut di Indonesia, jika korupsi tersebut
melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara
negara; korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat atau korupsi yang
menyangkut kerugian negara paling sedikit 1 milyar rupiah, maka penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tanggapan Terhadap Susbtansi Permohonan Pengujian Undang-Undang KPK

Berdasarkan pemahaman terhadap sistem peradilan pidana secara kahfaah dan realitanya dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas, adapun tanggapan
penulis terhadap dasar permohonan pengujian undang-undang KPK adalah sebagai berikut:
Pertama, mengenai keberadaan Pengadilan Tipikor. TIDAK BENAR argumentasi pemohon yang
menyatakan Pengadilan Tipikor merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif dengan merujuk Pasal
53 undang-undang KPK[23]. Pengadilan Tipikor tetap merupakan bagian kekuasaan yudikatif yang
mempunyai dasar cantolan yang jelas.

Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa : ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, .......”. Sementara dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan, ” Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, ......”. Sedangkan Pasal 15
ayat (1) nya menyatakan, ”Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dalam undang-undang”. Secara
eksplisit penjelasan Pasal 15 ayat (1) menyatakan, ”Yang dimaksud dengan ”Pengadilan Khusus
dalam ketentuan ini, antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi
manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di
lingkungan peradilan umum, ......”.

Kedua, perihal keberadaan KPK yang menurut pendapat para pemohon bukan merupakan organ
yang disebut dalam UUD 1945. Masih menurut para pemohon, KPK sebagai lembaga yang
mempunyai kekuasaan yang berada di luar kerangka sistem ketatanegaraan, tidak memiliki sistem
pengawasan dan sistem pertanggungjawaban yang accountable, dan melakukan pemangkasan
peran dan fungsi kepolisian dan kejaksaan yang berada dibawah Presiden. Pendapat penulis,
argumen para pemohon TERLALU MENGADA-ADA . Bukankah, institusi kejasaan yang nota bene
adalah aparat penegak hukum juga tidak disebut dalam UUD 1945 sehingga eksistensinya perlu
dipertanyakan ?
Berdasarkan Pasal 15 undang-undang KPK dan juga dalam penjelasan umum, KPK berkewajiban
menyusun laporan tahunan sebagai pertanggungjawaban yang disampaikan kepada Presiden, DPR
dan BPK. Bukankah hal ini merupakan salah satu bentuk akuntabilitas ? Selain itu dalam hubungan
kemitraannya dengan aparat penegak hukum yang lain (baca : polisi dan jaksa), KPK dapat
senantiasa diawasi dalam pelaksanaan tugasnya. Hal ini terbukti dengan kasus yang sudah diputus
pengadilan mengenai pegawai KPK yang mencoba memeras tersangka kasus korpusi yang
kemudian dipidana dengan menggunakan Pasal 67 undang-undang KPK[24].

Ketiga, mengenai penyatuan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang berada dalam
satu tangan, yakni KPK. Menurut para pemohon Pasal 6 huruf c undang-undang KPK[25]
bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945[26]. Adapun alasan pemohon bahwa
pemberlakuan pasal tersebut sesungguhnya mengandung materi muatan penyatuan fungsi-fungsi
penegakan hukum, sehingga terdapat pertentangan antara dua atau lebih ketentuan dalam
undang-undang yang berbeda namun berlaku mengikat pada saat yang sama dan mengatur
materi muatan yang sama pula tentang tugas yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum,
khususnya polisi dan jaksa. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip lex certa.

Tanggapan penulis, penyatuan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pada KPK dalam
perkara korupsi, TIDAK ADA KAITANNYA dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Penyatuan ketiga
fungsi tersebut pada KPK lebih pada faktor efisiensi dan efektifitas dalam penanganan kasus
korupsi. Sebab dalam konteks hukum acara, meskipun dikenal intergrated criminal justice system
dari para aparat penegak hukum yang terlibat didalamnya, namun pada kenyataannya antara satu
institusi dengan institusi yang lain saling berkompetisi, bekerja dalam sistem yang tertutup dan
kurang koordinasi.

Mengenai hal ini secara tegas dinyatakan oleh Feeney, “Despite the fact that no one denies that
the stages and processes of criminal justice are interconnected, many commentators argue that
the process can not be viewed as a system because it is dysfunctional because it is made up of
different agencies all of which have different and sometimes competing objectives and exercise
wide and unaccountable discretionary powers. The agencies work in isolation and there is a lack of
communication and cooperation both between stages and agencies. As a result, the criminal
justice process is ill coordinated[27].”

Bila kita menggunakan metode perbandingan, fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan di
negeri Belanda berada dalam satu kekuasaan. Meskipun polisi merupakan institusi tersendiri,
tetapi dalam hal strafrechtelijke handhaving van de rechtsorde di Belanda, polisi berada di bawah
kekuasaan jaksa. Artinya, dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
berada dalam kekuasaan officier van justitie, polisi hanyalah hulp magistraat atau pembantu dari
jaksa[28].

Terhadap asas lex certa, dalam konteks hukum pidana materiil, tidak boleh ada perumusan delik
yang kurang jelas[29]. Artinya, ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan
memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan[30]. Dalam
konteks hukum pidana formal, ketentuan beracara haruslah pula dirumuskan secara tegas
sehingga tidak dapat diinterpretasikan lain dari apa yang tertulis. Ketentuan Pasal 6 C SAMA
SEKALI TIDAK BERTENTANGAN dengan asas lex certa, namun merupakan lex specialis dari
ketentuan KUHAP, ketentuan dalam undang-undang kepolisian dan ketentuan dalam undang-
undang kejaksaan selama kasus korupsi tersebut memenuhi kriteria Pasal 11 undang-undang KPK.

Keempat, Mendapatkan Perhatian Masyarakat. Menurut para pemohon Pasal 11 huruf b UU


KPK[31] menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan
Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Alasannya KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat,
jadi sangat sumir jika sesuatu yang tidak ada tolok ukurnya kemudian serta merta dijadikan bahan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK.
Tanggapan penulis terhadap hal ini adalah bahwa ketentuan dalam Pasal 11 UU KPK tidaklah dapat
dipisahkan dengan ajaran sifat melawan hukum yang terkandung dalam undang-undang korupsi.
Seperti yang kita ketahui bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 2 Ayat (1) undang-undang korupsi
yang dimaksud dengan melawan hukum tidak hanya dalam artian formil semata tetapi juga dalam
arti materiil. Artinya, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana.

Ajaran sifat melawan hukum materiil ini sebenarnya berasal dari Jerman dengan salah satu
ilmuannya adalah Von Liszt. Secara tegas Von Liszt menyatakan bahwa setiap perbuatan yang
anti-sosial adalah wederrechtelijk[32]. Di negeri Belanda, pengikut fanatiknya adalah Vos, yang
dalam Leerbook nya ia mengatakan, “..... het strafrecht zich richt tegen min of meer abnormale
gedragingen....[33]”. Dalam kaitannya dengan kasus korupsi yang mendapatkan perhatian
masyarakat, sudah barang tentu menganut unsur dapat dicelanya suatu perbuatan yang
merupakan salah satu elemen dari perbuatan pidana[34].

Kelima, Penyadapan dan Perekaman. Pendapat para pemohon, Pasal 12 Ayat (1) huruf a undang-
undang KPK[35] melanggar Hak Warga Negara atas rasa aman, jaminan perlindungan dan
kepastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1)
UUD 1945[36]. Adapun alasan pemohon adalah bahwa keberadaan KPK yang diberi kewenangan
untuk melakukan penyadapan sangat jelas melanggar hak warga negara dari rasa aman untuk
berkomunikasi, selain itu proses penyadapan yang tanpa ada aturan tersebut, jelas-jelas
melanggar prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang merupakan prinsip
utama dalam penegakan hukum.

Perihal penyadapan dan perekaman seperti yang dimohonkan oleh para pemohon, ada beberapa
tanggapan penulis. Pertama, penyadapan dan perekaman adalah dalam rangka menemukan bukti
untuk membuat terang suatu peristiwa pidana. Artinya, kita sedang berbicara mengenai apa yang
dikenal dengan istilah bewijsvoering dalam hukum pembuktian. Secara harafiah bewijsvoering
berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan.

Bagi negara-negara yang cenderung menggunakan due process model[37]dalam sistem peradilan
pidananya, perihal bewijsvoering ini cukup mendapatkan perhatian. Dalam due process model,
negara begitu menjunjung tinggi hak asasi manusia (hak-hak tersangka), sehingga acap kali
seorang tersangka dibebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan pra peradilan, lantaran alat
bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang diesbut dengan istilah unlawful legal
evidence[38]. Bewijsvoering ini semata-mata menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat
formalistis. Konsekuensi selanjutnya, seirngkali mengkesampingkan kebenaran dan fakta yang
ada.

Lain hanlnya dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, meskipun tidak sepenunhnya, namun
paling tidak didominasi oleh crime control model dalam beracara. Di sini teknis penyelidikan dan
penyidikan dalam rangka menemukan tersangka dan barang serta alat bukti dapat disimpangi dari
ketentuan umum yang diatur oleh KUHAP selama ada undang-undang khusus yang mengatur
tentang itu. Dalam pengungkapan kasus korupsi, demikian pula dalam pengungkapan kasus
narkotika, psikotropika dan terorisme teknis penyelidikan dan penyidikan secara khsus seperti
under cover, penyadapan dan perekaman pembicaraan dapat dibenarkan. Sehingga tidaklah dapat
dikualifikasikan sebagai unlawful legal evidance karena sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Kedua, kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 28 F Ayat (1) UUD 1945[39], demikian pula Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat
(1) UUD 1945 sebagaimana yang dimaksud oleh para pemohon, BUKANLAH PASAL-PASAL YANG
TIDAK DAPAT DISIMPANGI DALAM KEADAAN APAPUN. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam
Pasal 28 I Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan dengan tegas dan rinci hak-hak yang tidak dapat
disimpangi dalam keadaan apapun. Meskipun ada yang berpendapat bahwa pembatasan terhadap
Pasal 28 I Ayat (1) terdapat dalam Pasal 28 J UUD 1945, namun masih bisa diperdebatkan lebih
lanjut.
Ketiga, penyadapan dan perekaman TIDAK ADA KAITANNYA dengan asas presumption of
innocent yang akan penulis jelaskan lebih lanjut dalam uraian di bawah ini.

KEENAM, Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocent). Menurut para pemohon, Pasal 40
undang-undang KPK[40] melanggar prinsip persamaan di muka hukum dan kepastian hukum,
serta bersifat diskriminatif, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1),
Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945. Adapun alasan pemohon bahwa
berdasarkan Pasal 40 undang-undang KPK yang menyatakan KPK tidak berwenang untuk
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan membawa konsekuensi
seseorang yang disidik atau diperiksa sebagai Tersangka oleh KPK otomatis juga sudah menjadi
terdakwa.

Terhadap masalah asas praduga tidak bersalah yang dikaitkan dengan tidak adanya kewenangan
KPK untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan, ada dua hal
yang menjadi tanggapan penulis : Pertama, ketentuan dalam Pasal 40 undang-undang KPK
merupakan prudential principle bagi KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab,
begitu ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus korupsi oleh KPK, membawa
konsekuensi akan dibawa sampai ke pengadilan. Oleh karena itu, sebelum menetapkan seseorang
sebagai tersangka, KPK dituntut untuk bekerja semaksimal dan secermat mungkin, terutama yang
berkaitan dengan masalah pembuktian.

Kedua, sebagai konsekuensi logis sistem peradilan pidana di Indonesia yang didominasi oleh
crime control model yang menggunakan asas praduga bersalah dalam beracara, tidaklah dapat
dilawankan dengan asas praduga tidak bersalah. Secara tegas dinyatakan oleh Packer dalah
keliru jika asas praduga bersalah sebagai suatu yang bertentangan dengan asas praduga tidak
bersalah. Ibarat kedua bintang kutub dari proses kriminal, asas praduga tidak bersalah bukan
lawannya, ia tidak relevan dengan asas praduga bersalah, kedua konsep itu berbeda tetapi tidak
bertentangan.

Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi aparat penegak hukum tentang bagaimana
mereka harus bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah
laku mereka terhadap tersangka. Intinya, praduga tidak bersalah bersifat legal normative dan
tidak berorientasi padsa hasil akhir. Sedangkan asas praduga bersalah bersifat deskriptif faktual.
Artinya, berdasar fakta-fakta yang ada si tersangkan akhirnya akan dinyatakan bersalah. Karena
itu, terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan sampai pada tahap peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah jalan[41].

Ketujuh atau yang terakhir adalah Pasal 72 undang-undang KPK[42] bertentangan dengan pasal
28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Adapun alasan pemohon keberadaan pasal 72 undang-
undang KPK yang menyangkut tentang pemberlakuannya, tampak jelas bahwa undang-undang
KPK berlaku sejak tanggal diundangkan yakni terhitung sejak tanggal 27 Desember 2002. Adanya
penafsiran di kalangan ahli dalam perkara No. 069/PUU-II/2004 tentang apakah undang-undang a
quo berlaku ke depan (prospective) atau sebaliknya dapat diberlakukan surut (retroaktif), telah
menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dalam pemberlakuannya.

Tanggapan penulis, ketentuan Pasal 72 undang-undang a quo, TIDAK ADA KAITANNYA DENGAN
KEPASTIAN HUKUM. Persoalan yang selalu diperdebatkan dalam ketentuan Pasal 72 undang-
undang KPK ini adalah apakah KPK dapat menyidik perkara korupsi sebelum KPK dibentuk
berdasarkan undang-undang a quo ? Mengenai persoalan ini terlebih dulu harus dijelaskan bahwa
kewenangan untuk melakukan proses penuntutan sebagai bagian yang tidak dipisahkan proses
beracara merupakan salah satu makna yang tergantung dalam asas legalitas.

Menurut sejarahnya, asas legalitas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach. Dengan mantap
dalam bahasa Latin ia mengatakan : nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan
pidana menurut undang-undang) ; nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan
pidana) ; nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut
undang-undang)[43]. Berdasarkan ketiga frase tersebut, asas legalitas ini mempunyai dua fungsi.
Kedua frase yang pertama adalah fungsi melindungi dari asas legalitas. Artinya, undang-undang
pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Sedangkan frase
ketiga adalah fungsi instrumentasi dari asas legalitas. Artinya, di dalam batas-batas yang
ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah tegastegas
diperbolehkan[44].

Asas legalitas dalam hukum pidana dapat dibedakan dalam hukum pidana materiil dan hukum
pidana formal. Sebagaimana pembagian umum dalam hukum pidana seperti yang dinyatakan van
Hamel, ”..... strafrecht omvat naar de gangbare onderscheiding twee deelen, een materieel en
een formeel”[45]. Fungsi melindungi ada dalam hukum pidana materiil, sementara fungsi
instrumentasi ada dalam hukum pidana formal. Asas legalitas dalam hukum pidana formal (hukum
acara pidana) mempunyai makna setiap perbuatan pidana harus dituntut. Dengan demikian, KPK
sejak terbentuk berwenang untuk melakukan proses pidana terhadap kasus korupsi selama
memenuhi kriteria yang terdapat dalam Pasal 11 undang-undang KPK tanpa dibatasi batas waktu
kapan perbuatan koruspi tersebut dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

 Cavadino Michael dan Dignan James,1997, The Penal Sistem An Introduction, SAGE
Publication Ltd.
 Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi,
2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena : ilmu dan amal, Jakarta.
 Elzinga, D.J., Van Rest, P.H.S., de Valk, J.,1995, Het Nederlandse Politierecht, Tjeenk
Willink Zwole, 1995.
 Enschede, Ch.J., 2002, Beginselen Van Strafrecht, Kluwer Deventer.
 Hiariej, Eddy O.S., 2002, Memahami Asas Praduga Bersalah Dan Tidak Bersalah, KOMPAS,
21 Oktober 2002.
 Hiariej, Eddy O.S ., Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6 November 2003.
 Hiariej, Eddy O.S., 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And
Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research
Institute.
 International Conference Against Corruption, ”Declaration of the 8th International
Conference Against Corruption:, signed in Lima ,Peru, 11 September 1997
 King, M.,1981, A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, London.
 Packer, Hebert L., 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Oxford University Press.
 Remmelink, Jan., 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama.
 Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek
Internasional, Mandar Maju, Bandung.
 Schaffmeister, D., Keijzer, N., Sutorius, E.PH., Diterjemahkan oleh J.E Sahetapy, 1995,
Hukum Pidana, Liberty.
 Suringa Hazewinkel, D., 1953, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht,
H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem.
 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tetang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
 University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”, Scarman
Center, University Of Leicester.
 Utrecht, E., 1960. Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Bandung.
 Van Hamel, G.A., 1913, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlansche Strafrecht, Derde
Druk, De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante `s- Gravenhage.
 Vos, H.B., 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene Druk, H.D.Tjeenk
Willink & Zoon N.V. – Haarlem.
[1]Disampaikan dalam Expert Meeting, 12 – 13 Oktober 2006, Kerjasama Pusat Kajian Anti- Korupsi Fakultas
Hukum UGM, Indonesian Court Monitoring dan Kemitraan, Yogyakarta.

[2] Staf Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

[3] International Conference Against Corruption, ”Declaration of the 8th International ConferenceAgainst
Corruption:, signed in Lima ,Peru, 11 September 1997

[4] Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi, 2006,

Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena : ilmu dan amal, Jakarta, hlm. 33 – 34.

[5] Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional,

Mandar Maju, Bandung, hlm.V.

[6] Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi, Ibid,

hlm. 69.

[7] Pasal 43 ayat (1) : “ Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku,
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Selanjutnya dalam Pasal 43 ayat (2) menyebutkan :
”Komisi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi
dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku”.

[8] Intisari tulisan mengenai Sistem Peradilan Pidana ini pernah dimuat dalam : Eddy O.S Hiariej, 2005,
Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December
2005, Korean Legislation Research Institute.

[9] Michael Cavadino dan James Dignan, The Penal Sistem An Introduction, 1997, SAGE Publication Ltd. hlm.
1.

[10] University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”, Scarman Center,
University Of Leicester, hlm. 13.

[11] Hebert L Packer, 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Oxford University Press, hlm. 164 – 165.

[12] University Of Leicester, Ibid, hlm. 24.

[13] M. King, 1981, A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, London, hlm. 20

[14] University Of Leicester, Ibid, 25.

[15] M. King, Ibid, 24.

[16] University Of Leicester, Ibid, 26 – 27.

[17] University Of Leicester, Ibid,hlm. 28. Lihat juga : Eddy O.S Hiariej, 2002, Memahami Asas Praduga
Bersalah Dan Tidak Bersalah, KOMPAS, 21 Oktober 2002, hlm. 4.

[18] Ch.J.Enschede, 2002, Beginselen Van Strafrecht, Kluwer Deventer, hlm. 63.

[19] D. Hazewinkel Suringa, 1953, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, H.D.Tjeenk Willink
& Zoon N.V. – Haarlem, hlm. 1.

[20] Hak penguasa terhadap pemidanaan yang meliputi hak menuntut pidana, menjatuhkan pidana dan
melaksanakan pidana : H.B. Vos, 1950, Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene Druk, H.D.Tjeenk
Willink & Zoon N.V. – Haarlem, hlm. 2.
[21] Eddy O.S Hiariej, 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And Reality, Asia Law
Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research Institute, hlm. 33 – 34.

[22] Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi, Ibid, hlm. 2 – 3.

[23] Pasal 53 : “Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi”

[24] Pasal 67 : “ Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi dan pegawai pada Komisi Pemberantasan
Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi, pidananya diperberat dengan

menambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok”.

[25] Pasal 6 C : “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”.

[26] Pasal 28 D Ayat (1) : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukumyang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

[27] University Of Leicester, Ibid,hlm. 14.

[28] Elzinga, D.J., Van Rest, P.H.S., de Valk, J.,1995, Het Nederlandse Politierecht, Tjeenk Willink Zwole, 1995,
hlm. 171.

[29] D. Schaffmeister, N. Keijzer, E.PH. Sutorius, diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Liberty,
hlm. 12.

[30] Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, hlm. 358.

[31] Pasal 11 huruf b : “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi
yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat”.

[32] Utrecht, , 1960. Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Bandung, hlm. 270.

[33] Hukum pidana adalah untuk melawan kelakuan-kelakuan yang tidak normal. Lihat : H.B. Vos, Ibid, hlm.
136.

[34] Ch.J. Enschede, Ibid, hlm. 156.

[35] Pasal 12 Ayat (1) huruf a : ” Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan
penyadapan dan merekam pembicaraan“.

[36] Pasal 28 G Ayat (1) : ” Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

[37]Due Process Model oleh Herbert L. Packer seperti yang telah diutarakan di atas dapatlah dikatakan
mendominasi sistem peradilan pidana di Amerika. Bahkan pada sutau titik yang paling ekstrim, ketika seorang
polisi menangkap tersangka dan ia lupa membacakan hak-hak tersangka yang dikenal dengan istilah Miranda
Warning, memberi konsekuensi tersangka dapat dilepaskan.

[38] Eddy O.S Hiariej, Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6 November 2003, hlm.37.
[39] Pasal 28 F : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia”.

[40] Pasal 40 : “Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi”.

[41] Hebert L Packer, 1968, Ibid, hlm. 164. Lihat juga dalam Eddy O.S Hiariej, 2002, Memahami

Asas Praduga Bersalah Dan Tidak Bersalah, KOMPAS, 21 Oktober 2002, hlm. 4.

[42] Pasal 72 : Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan“.

[43]D. Schaffmeister, N. Keijzer, E.PH. Sutorius, Ibid, , hlm. 5.

[44]Ibid, hlm. 4.

[45]G.A Van Hamel, 1913, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlansche Strafrecht, Derde Druk,
De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante ’s-Gravenhage, hlm. 4.

http://infokorupsi.com/id/artikel.php?ac=4&l=telaah-kritis-permohonan-pengujian-materiil-undang-
undang-komisi-pemberantasan-korupsi

Dugaan Korupsi Perjalanan Dinas, Kejari Harus Tetapkan Tersangka

Samarinda - Dugaan korupsi biaya perjalanan dinas DPRD Samarinda menyita perhatian publik.
Dengan kerugian negara sekitar Rp 209 juta pada tahun anggaran 2011, kasus ini seolah meredup.
Bagaimana tidak, gelar perkara yang dijanjikan Kejaksaan Negeri (Kejari) dua kali ditunda. Hingga
saat ini belum jelas kapan kasus tersebut berlanjut ke tahap serius.

Pengamat hukum dari Universitas Mulawarman Sina menegaskan, kendati sebagian uang dinas itu
sudah dikembalikan, namun perkara hukum tak bisa dihentikan begitu saja. “Harus dilanjutkan,”
tegas dia.
Meskipun kerugian negara tak mencapai miliaran rupiah, lanjut La Sina, ini persoalan duit rakyat
yang tak bisa disepelekan. Bila tak diancam aparat, bisa jadi uang itu tak jelas keberadaannya. Kasus
ini menyita perhatian publik lantaran politikus papan atas Basuki Rahmat –Kantor DRPD Samarinda--,
ikut terlibat.

Ia mendesak Kejari segera menaikkan kasus ini ke penyidikan dan menetapkan para tersangka. Hal
ini untuk memberikan kepastian hukum bagi anggota dewan yang namanya diseret-seret oleh Korps
Adhyaksa. Diketahui, kasus korupsi perjalanan dinas juga pernah membuat puluhan anggota DPRD
Kukar masuk bui. “Hukum yang menghendaki demikian,” lanjut Sina.

Diketahui, ada 37 anggota dewan tersandung kasus ini. Modusnya pulang lebih cepat dari waktu
yang ditentukan. Lalu, sisa uang masuk ke kantong pribadi. Dari kocek yang dimasalahkan tersebut,
angka terbesar adalah Rp 47 juta dan terkecil Rp 276 ribu, yang merupakan selisih dari harga tiket.
Misalnya, kunjungan kerja selama empat hari, tapi satu hari sudah pulang. Ketahuan dari tiketnya.
Seharusnya selisih uangnya dikembalikan kepada negara.

Dari total 37 anggota dewan yang tersandung itu, 12 di antaranya saat ini masih menjabat (terpilih
kembali pada Pemilihan Legislatif 2014). Pada hari pertama kasus ini mencuat ke publik, Humas
Kejari Hamsah Ponong menegaskan, meski sudah mengembalikan uang tidak menghapus perbuatan
pidana. Ia menyebut ada 10 anggota dewan dan empat staf Sekretariat DPRD Samarinda yang
diperiksa. Sayangnya, dari legislator yang diperiksa, ada dua yang mangkir. Yakni, Swd dan Skm.
Alasannya, sedang dinas di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Seorang anggota dewan yang terbelit
perkara ini meninggal dunia pada pekan lalu. Yakni, Sbh dengan tagihan Rp 11.740.700. Maka yang
menanggung pengembalian dana itu adalah ahli waris.

Sumber: http://www.kaltimpost.co.id

Lemahnya Pengawasan Timbulkan Tindak Pidana Korupsi di


Samarinda
Posted By: entitas0 Commentdi, Korupsi, Lemahnya, Pengawasan, pidana, samarinda, Timbulkan,
Tindak

Entitashukum.Indonesia – Lemahnya
pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) terhadap
pengajuan proposal perbaikan perumahan rupanya dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk
mengeruk keuntungan dan memperkaya diri sendiri ataupun orang lain. Hal ini juga
dilakukan oleh beberapa oknum pengurus dari Koperasi Serba usaha (KSU) Pakat Mupakat
yakni Rachmad (55), ketua KSU Pakat Mupakat, Mussalehuddin menjabat Wakil Ketua KSU
Pakat Mufakat dan Mustafa berstatus manajer.

Akibat perbuatan melanggar hukum ini kini ketiganya dijadikan tersangka oleh penyidik
karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi untuk
memperkaya diri sendiri dengan cara mengajukan proposal fiktif kepada Kemenpera.

“Terus terang saya tergiur dengan dana yang dicairkan tersebut, terlebih pihak Kemenpera
tidak melakukan pengecekan yang ketat,” ucap Mussalehuddin salah seorang tersangka.

Tindak pidana korupsi ini bermula saat Mussalehuddin mendengar adanya dana yang akan
dikucurkan oleh kemenpera untuk perbaikan perumahan rakyat yang ada di Samarinda. Maka
dengan mengajak ketua KSU Pakat Mupakat, Rachmad, Mussalehudin membuat proposal
permohonan ke Kemenpera dengan alasan akan melaksanakan renovasi perumahan rakyat
miskin. Dan untuk memenuhi persyaratan dari Kemenpera, Mussalehudin menggunakan
Koperasi Pakat Mupakat sebagai badan hukumnya. Namun saat proses berjalan, kedua
tersangka ini menemukan kendala dan akhirnya mengajak satu orang lagi dari koperasi untuk
memperlancar proses pengajuan proposal.

“Setelah siap, kami menemukan kesulitan di tengah jalan, akhirnya mengajak Mustafa untuk
masuk dalam kelompok ini,” terang Mussalehuddin.

Mustafa yang tergiur dengan kucuran uang yang cukup besar ini dan masuk dalam tim.
Setelah proposal rampung, mereka mengirimnya ke Kemenpera dengan dalih untuk
merenovasi rumah warga miskin di Samarinda Utara. Dengan bermodalkan badan usaha yang
berada di Jalan Joko Mulyo, Kelurahan Lempake, Samarinda Utara dan tidak adanya survey
dan pengawasan dari pihak Kemenpera, akhirnya dana sebesar Rp 2,6 miliar masuk kedalam
rekening KSU, uang tersebut pun akhirnya mereka nikmati bertiga

“Setelah cair, akhirnya kami langsung membagi uang tersebut di dalam sebuah rumah kosong
di kawasan Lempake,” jelas dia. Terlebih, ujar Mussalehuddin, dana yang dikucurkan tidak
bertahap, melainkan sekali kucur Rp 2,6 miliar.

Dan akhirnya penyelidikan dalam kasus dugaan korupsi bansos dari Kemenpera ini pun
rampung dan siap dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Samarinda.

“Karena penyidikannya sudah selesai, jadi tinggal menunggu pelimpahan,” ucap Sutrisno saat
ditemui di ruang kerjanya,

Dari kasus ini timbul adanya kerugian negara Rp 2,6 miliar. Untuk menghindari
penghilangan bukti dan kaburnya tersangka, maka ketiganya ditahan di Rumah Tahanan
(Rutan) Sempaja. Selain itu Kejari juga melakukan pemanggilan terhadap 12 orang saksi
yang diperkirakan mengetahui persis kasus ini. Sebenarnya dalam kasus ini badan hukum
yang digunakan tidaklah fiktif, namun penyalurannya yang tidak sesuai dengan
peruntukannya.
Setelah dijebloskan ke Rumah Tahanan (Rutan) Sempaja Juli lalu, ketiganya bersiap
mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan, karena berkas perkaranya telah
dirampungkan penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Samarinda Jumat (20/9) lalu.

“Akhirnya tiga berkas perkara Kemenpera telah dilimpahkan ke Pengadilan Negari (PN)
Tipikor,” kata seorang sumber di Kejari.

Selain itu Kejari juga memanggil beberapa saksi dari kemenpera, hal ini dilakukan untuk
mengusut ada tidaknya oknum dari Kemenpera yang terlibat dalam kasus ini karena begitu
mudahnya Kemenpera mengucurkan dana tanpa melalui penyelidikan dan survey terlebih
dahulu. Dan dari hasil penyelidikan disimpulkan tidak ada oknum dari kemenpera yang
terlibat dalam kasus dugaan korupsi ini, karena dana dikucurkan setelah lengkapnya proposal.
Namun Kemenpera secara tidak langsung juga membuka celah untuk terjadinya tindak
pidana korupsi karena lemahnya pengawasan, seharunya Kemenpera melakukan survey
lapangan dan verifikasi sebelum mengucurkan dana bansos tersebut hingga akan memotong
jalur tindak pidana korupsi.

“Berdasarkan pengakuan tersangka, uang itu ditransfer tunai tanpa melalui beberapa tahap.
Di lain pihak, seharusnya Kemenpera melihat ke lapangan dan melakukan verifikasi, sebelum
mengucurkan dana miliaran rupiah itu,” ujarnya.

Akhirnya dua orang tersangka kasus dugaan


korupsi dana subsidi perumahan rakyat miskin tahun 2008 dari Kementerian Perumahan
Rakyat (Kemenpera) diajukan ke persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim I
Gede Suarsana, dibantu hakim Ad Hoc, Medan Parulian dan Abdul Gani.

Dalam persidangan para tersangka juga mendapat bantuan hukum dari karena para tersangka
tidak memiliki penasehat hukum.

“Kami tidak mampu menunjuk penasihat hukum yang akan mendampingi kami,” ucap
Mussalehuddin, salah seorang terdakwa.

Untuk itu maka persidangan menunjuk penasihat hukum dari Pos Bantuan Hukum
(Posbakum) PN Samarinda guna mendampingi ketiga terdakwa yang tampak murung di kursi
pesakitan itu. Sidang yang berjalan singkat tersebut akan dilanjutkan pekan depan dengan
agenda pembacaan dakwaan.

Jaksa Dian mengatakan, pihaknya menghormati keputusan hakim.


“Lagi pula, hak setiap terdakwa untuk didampingi penasihat hukum,” ucap perempuan
berjilbab ini. Disebutkan, perkara ini nantinya menghadirkan 13 saksi, termasuk dari
Kemenpera.

Dan setelah melihat bukti dan fakta yang ada hakim menjatuhkan hukum penjara tujuh tahun
pidana penjara serta denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan.dan membayar uang
pengganti sebesar Rp 905 juta atau subsider enam bulan penjara.kepada Mussalehuddin.

Sedangkan untuk Mustafa Helmi dijatuhi hukuman penjara tujuh tahun pidana penjara serta
denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan.dan membayar uang pengganti sebesar Rp
1,16 miliar. Keduanya menyatakan menerima vonis dari hakim.

“Bagaimana apakah saudara menerima? Ada sanggahan?,” Tanya Gede Suarsana

“Tidak ada Pak. Kami terima,” sahut Mussalehuddin. Seusai sidang, keduanya bungkam dan
memilih bergegas ke mobil tahanan.

Sedangkan vonis untuk Rachmad (55), ketua KSU Pakat Mupakat ditunda hingga selasa 21/1
karena ia mengajukan replik.

SHARE ON
http://www.entitashukum.com/lemahnya-pengawasan-timbulkan-tindak-pidana-korupsi-di-
samarinda/

Simak 5 Kejanggalan Ini Sebelum Terkecoh Perumahan Murah Jokowi 30 Juli 2015 12:57:45
Diperbarui: 11 Agustus 2015 23:25:12 Dibaca : 11,167 Komentar : 2 Nilai : 1 Simak 5
Kejanggalan Ini Sebelum Terkecoh Perumahan Murah Jokowi Program satu juta unit rumah
layak huni yang digagas Presiden RI, Joko Widodo memang angin segar bagi Masyarakat
Berpenghasilan Rendah (MBR) karena dikabarkan cicilannya hanya ratusan ribu perbulan.
Namun di tengah kabar gembira ini, bisa jadi ada yang memanfaatkan kesempatan dalam
kesempitan. Karenanya, warga yang berminat dengan rumah murah mesti waspada agar tak
merana kehilangan dana DP sedangkan wujud rumah tetap dalam khayalan. Perhatikan
kejanggalan yang muncul seputar kabar perumahan Jokowi di Samarinda. 1) Asosiasi
Pengembang antara Antara REI dan APERSI Ada kabar beredar bahwa program perumahan
murah bersubsidi Jokowi yang dilaksanakan di Samarinda melibatkan lembaga asosiasi
pengembang bernama APERSI (Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh
Indonesia). Bandingkan dengan informasi yang diberitakan oleh TribunKaltim.Co pada 7 Mei
2015 sebagai berikut: “Program satu juta unit rumah layak huni yang digagas Presiden RI,
Joko Widodo akan melibatkan Real Estate Indonesia (REI). Hal ini diungkapkan Kepala
Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kaltim, M Taufik Fauzi.” Berita selengkapnya bisa dibaca di
link: http://kaltim.tribunnews.com/2015/05/07/soal-rumah-murah-pu-kaltim-akan-koordinasi-
dengan-rei) 2) Janji Akan Segera Dibangun Jalan Tak Ditepati Ada kabar bahwa perumahan
subsidi Jokowi akan selesai dibangun dalam waktu sekian bulan ke depan di areal tertentu di
pinggiran kota. Sebelum itu, dijanjikan bahwa akan segera dibangunkan jalan akses ke
perumahan. Kenyataannya, janji pembuatan jalan yang katanya dilakukan setelah Lebaran
2015, tak kunjung terealisasi, padahal dana sekian Rupiah telah disetor kepada developer.
Dalam kaitan ini, tak janji-janji tentang “kilat”nya pembangunan, tak dituangkan dalam
dokumen hitam-putih. Terkadang hanya perkataan lisan sepihak dari pribadi-pribadi yang
mengatasnamakan marketing atau developer. Di awal sudah menemukan janji yang diingkari.
Masihkah percaya dengan janji-janji berikutnya? 3) Kabar Nilai Angsuran Perumahan Jokowi
hanya Rp 500 Ribu Perbulan Ada kabar bahwa nilai angsuran perumahan Jokowi hanya Rp
500 ribu perbulan. Lagi-lagi info ini hanya informasi dari mulut ke mulut atau postingan
pribadi di media sosial, bukan info resmi dari instansi terkait. Kenyataannya, “Cicilan per
bulan kira-kira Rp 600 - 700 ribu per bulan," ini yang dikatakan oleh Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono sebagaimana dimuat di jppn.com (media
Jawa Pos) pada 31 Maret 2015. Berita selengkapnya bisa dibaca di link:
http://www.jpnn.com/read/2015/03/31/295361/Program-1-Juta-Rumah-Dimulai,-Cicilannya-
Murah-loh...) 4) Rumah Murah dengan Gambar Iklan Rumah Mewah Ada iklan yang
mengklaim sebagai perumahan Jokowi dengan gambar rumah 3D yang mewah, layaknya
rumah minimalis modern. Kenyataannya, program 1 juta unit rumah oleh pemerintah itu
bukanlah rumah mewah atau berjenis minimalis modern, melainkan jenis rumah dengan
biaya pembangunan yang murah. Menteri PU dan Perumahan Rakyat menyebutkan, jenis
rumah yang akan dibangun terdiri dari rumah tapak, rumah susun hak milik (rusunami), dan
rumah susun hak sewa (rusunawa). Perlu diketahui, rumah tapak (landed house) adalah
rumah yang bangunannya menapak langsung dengan tanah. Rumah tapak ada yang berupa
”rumah tunggal” (bangunannya terpisah dengan rumah lain) atau berupa “rumah
gandeng/rumah deret” (rumah yang dindingnya bergandengan dengan rumah lain). 5)
Keabsahan Perusahaan sebagai Pengembang Perumahan Jokowi Ada perusahaan (PT)
tertentu mengklaim sebagai developer yang akan membangun perumahan Jokowi. Klaim ini
kadang bukan berasal dari kalimat yang tercetak di pamplet/brosur, melainkan informasi lisan
dari mulut ke mulut atau klaim sepihak dari sales. Konsumen yang cerdas mesti
mengkonfirmasi langsung ke BTN sebagai bank utama yang dipercaya pemerintah
menangani KPR. Tanggal 29 Juli 2015 pihak BTN melalui Costumer Service-nya
mengungkapkan, hingga saat ini baru ada tiga perusahaan yang menjalin kerja sama KPR
dengan BTN, yaitu: - PT Cahaya Mutiara Indah, lokasi di Samarinda Seberang; - PT Eko
Anugrah, lokasi di Loa Kulu; - PT Sinarmas, lokasi di Tenggarong. Semoga setelah
memahami 5 kejanggalan ini, kerugian warga bisa diminimalisasi. (Sumber foto contoh
rumah murah: gambar-rumah.com)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/muhammadsarip/simak-5-kejanggalan-ini-
sebelum-terkecoh-perumahan-murah-jokowi_55b9a7c7f07a6141054bdef3

http://www.kompasiana.com/muhammadsarip/simak-5-kejanggalan-ini-sebelum-terkecoh-
perumahan-murah-jokowi_55b9a7c7f07a6141054bdef3

Relokasi Karang Mumus Samarinda, Perumnas Bangun 5 Ribu RSS


December 29, 2010 by admin
Filed under Berita

Berikan respon

SAMARINDA-vivaborneo.com, Program Kali Bersih (Prokasih) yang dicanangkan


Pemerintah Pusat sejak tahun 1989 terus mendapatkan dukungan Pemkot Samarinda. Senin
(27/12) Walikota Samarinda H Syaharie Jaang kembali menandatangani nota kesepahaman
antara Pemkot dengan Perum Perumnas Regional V tentang pembangunan 5.000 unit rumah
sederhana sehat (RSS) untuk relokasi penduduk yang bermukim di bantaran Sungai Karang
Mumus, yang pengerjaannya akan dilakukan 2011 mendatang.
Penandatanganan MoU tersebut dihadiri sejumlah pejabat di lingkungan kota Samarinda,
Direktur Produksi Perumnas Regional V M Kamal Kusmantoro, dan masyarakat yang
bermukim di bantaran SKM.Sekadar diketahui jumlah bangunan yang terdapat di sepanjang
bantaran SKM dari segmen Jembatan I hingga Jembatan VII ada 3.915 buah, dan hingga saat
ini I program relokasi SKM yang telah selesai dilaksanakan ada pada segmen jembatan satu
sampai dengan Jembatan Kehewanan dengan jumlah bangunan yang sudah dibongkar
mencapai 1.355 bangunan.
Beberapa daerah yang menjadi tempat relokasi warga yang bermukim di bantaran SKM
antara lain, Perumahan Bengkuring, Perumahan Sambutan, Handil Kopi, Damanhuri, dan
Talang sari, sehingga total yang masih belum bongkar mencapai 2.650 bangunan yang akan
dikerjakan secara bertahap.

Jaang dalam sambutannya mengatakan saat ini Pemkot memiliki lahan di wilayah Sambutan
Handil Kopi seluas 30 Ha yang nantinya diproyeksikan dapat dibangun 1.500 bangunan
rumah sederhana dan sehat, sedangkan sisanya masih akan dicarikan lahan.

“Pemkot sangat serius dalam terkait relokasi SKM untuk membuat jalur sepanjang bantaran
SKM ini bersih dan hijau. Hal ini sesuai salah satu visi Kota Samarinda untuk membangun
Samarinda sebagai kota metropolitan yang berbasis lingkungan,” ucapnya.

Dikatakanya pula kedepannya bantaran SKM dapat berkembang menjadi taman kota dan
sekaligus objek wisata baru bagi masyarakat Samarinda sehingga terdapat ruang–ruang kota
yang dapat digunakan untuk bersantai tanpa harus ke luar kota.

Sementara itu, M Kamal Kusmantoro mengatakan pembangunan perumahan bagi warga


bantaran SKM salah satu wujud perhatian walikota, khususnya dalam penataan kawasan hijau
dan pemukiman warga.
Dirinya mengaku siap mendukug program kerja Pemkot sehingga dapat tercipta tatanan kota
yang bersih dan rapi, dan sehat. (vb/hm4).

http://www.vivaborneo.com/relokasi-karang-mumus-samarinda-perumnas-bangun-5-ribu-rss.htm

http://www.vivaborneo.com/relokasi-karang-mumus-samarinda-perumnas-bangun-5-ribu-rss.htm

H. SAEFUDDIN ZUHRI, SE
NAMA
: H. SAEFUDDIN ZUHRI, S,E
LENGKAP

Tempat dan Tanggal Lahir : Kediri, 2 November 1966

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin

a. Nama Istri : Hj. Tutik


Sulastri

b. Jumlah anak : 3 (Tiga)

Partai Politik : PARTAI NasDem

Daerah Pemilihan : KALIMANTAN TIMUR 1

Alamat : Jl. A.W. Syahrani Perrum Vill. Tamara

Blok O No. 15 RT. 033 Kel. Gunung Kelua


Kec. Samarinda Ulu Kota Samarinda

a. SDN II Desa Ngadi - Kediri (Lulus Tahun


Riwayat Pendidikan :
1980)

Provinsi Jawa Timur

b. Madrasah Tsanawiyah-MTs Kediri (Lulus


Tahun

1983) Provinsi Jawa Timur

c. Madrasah Aliyah-MA Mojo Kediri (Lulus


Tahun

1986) Provinsi Jawa Timur

d. STIEM Samarinda (Lulus Tahun 2004)

Provinsi Kalimantan Timur

a. Pelatihan Manajemen Pengawas Inti


Kursus/Diklat Yang Pernah Diikuti :
INKINDO-

LPJJK Kaltim (Tahun 2002)

b. Pelatihan Pekerjaan Pemipaan


Departemen

Perumahan dan Prasarana Wilayah


Bekasi
BPAB & PLP Bekasi ( Tahun 2004)

c. Pelatihan Sosialisasi KEPPRES Nomor


18,1999

KAKANWIL Pekerjaan Umum Kaltim


(1999)
Riwayat Organisasi : a. Ketua DPC Asosiasi Rekanan Distributor

(ARDIN) Kota Samarinda (2004-2010)

b. Ketua DPC Asosiasi Kontraktor Air


Indonesia

(AKAINDO) Kota Samarinda (2008-2012)

c. Sekretaris Umum Asosiasi Kontraktor


Indonesi

(AKSINDO) Kota Samarinda (2008-2012)

d. Pengurus Provinsi Persatuan Sepatu


Roda
Seluruh Indonesia (PERSEROSI)

Kalimantan Timur (Tahun 2008 - 2011)

e. Pimpinan Klub Automotif Bocah Sabo


Racing

Team Samarinda (Tahun 2009 - 2014)

f. Ketua Samarinda Motocross Club Kaltim

2009-sekarang

g. Manager Club Nasional WTJ Group MX

Motocross (Tahun 2009 - Sekarang)

Riwayat Pekerjaan : a. Site Inspector Konsultan Perencana dan

Pengawas CV. Larona Engineering

di Balikpapan (Tahun 1989 - 1994)

b. Site Inspector Konsultan Perencana dan

Pengawas CV. Bernas Cipta Utama

di Samarinda (Tahun 1994 - 1997)

c. Supervisor Kontraktor PT. Wijaya Karya di

Samarinda Tahun 1997 - 2000)

d. Direktur CV. Berkat Usaha Mandiri di

Samarinda ( Tahun 2000 -Sekarang)

e. Direktur PT. Wahyu Tirta Jaya di


Samarinda

Tahun 2006 - Sekarang


f. Direktur Utama PT. Wahyu Tractors Jaya
di

Samarinda (Tahun 2008 - Sekarang)

Kader NasDem Kaltim Minta PAW Saefuddin Zuhri


22 Oktober 20150237 Views

Putusan Mahkamah Partai NasDem

SAMARINDA- Sejumlah kader inti mendesak Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai
Nasdem segera merealisasikan putusan Mahkamah Partai tentang pergantian Saefuddin
Zuhri, anggota DPRD Kaltim asal Daerah Pemilihan (Dapil) Samarinda. PAW dilakukan
karena terbukti secara sah melakukan manipulasi suara pada Pemilihan Legislatif (Pileg)
2014 lalu.
Mantan Sekretaris DPW Nasdem Kaltim, Eko Sumiharsono menegaskan, tidak ada lagi
alasan untuk menunda pelaksanaan PAW, Sefuddin Zuhri. Terlebih putusan Mahkama Partai
DPP NasDem Nomor 34 Tahun 2014, telah mengendap selama 14 bulan lamanya.
Menurutnya, aspirasi tersebut bukan didasari kepentingan politik, melainkan sebagai bentuk
dukungan terhadap cita-cita Ketua Umum Surya Paloh yang menginginkan kadernya bersih
dari masalah hukum dan tetap menjunjung tinggi slogan ‘Tidak Mengambil yang Bukan
Hak’.
“Sefuddin Zuhri jelas terbukti mengambil hak Jawad Sirajuddin (Ketua Nasdem Samarinda).
Hak itu harus dikembalikan sesuai dengan konstitusi yang diputuskan Mahkamah Partai,”
tegas Eko kepada media ini, kemarin.
Peran Harbiansyah Hanafiah selaku Ketua DPW NasDem Kaltim menjadi penentu
terealisasinya amar putusan tertinggi partai yang dikeluarkan sejak tahun lalu itu. Bahkan,
saat ini merupakan momentum berbenah dan memulihkan citra partai agar kembali mendapat
kepercayaan dari rakyat, pascasejumlah kasus hakum yang menimpa kader DPP NasDem.
“Secara konsititusi beliau (Harbiansyah) harus rapat pleno beserta jajaran DPW guna
menyikapi putusan ini. Kami menunggu keputusan DPW,” terang Eko.
Salah satu unsur pimpinan DPW NasDem Kaltim, Achmad Ferry Usman (AFU), tidak
meragukan karakter kepemimpinan Harbiansyah, yang selama ini memiliki komitmen kuat
mengawal partai dan kadernya ke arah yang lebih baik. Dia optimistis proses PAW dapat
terlaksana dalam waktu dekat.
“Saya tahu persis dengan karakter Pak Harbiansyah, sama dengan karakter Surya Paloh.
Beliau tidak bisa dibeli. Kalau mahkamah partai yang memutuskan seluruh tingkatan harus
merealisasikan,”ujar Achmad Ferry, yang juga kader NasDem.
Diketahui aspirasi yang menghendaki keluarnya rekomendasi PAW terhadap Saefuddin
Zuhri, tidak hanya mengemuka di tingkat kepengurusan provinsi, namun juga diperkuat
dengan rekomendasi Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Partai NasDem Samarinda, 17
Semptember 2015 lalu. Sementara Saefuddin Zuhri saat dikonfirmasi enggan memberikan
komentar. (sof215)

Anda mungkin juga menyukai