Anda di halaman 1dari 115

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dikenal sebagai Negara yang berpenduduk Muslim terbanyak di

dunia yakni sekitar 200 juta lebih. Dari total penduduk Indonesia yang berjumlah

240 juta sebanyak 88% masyarakat Indonesia beragama Islam, 10% umat

kristiani, Hindu, Budha dan lainnya sekitar 2%. Kenyataan jumlah umat Islam itu

menjadi unik karena para pendiri republik ini tidak memilih Islam sebagai dasar

negara.1

Sebagian para pendiri bangsa Indonesia yang beragama Islam ternyata lebih

memilih Pancasila sebagai dasar Negara dan sekaligus sebagai pedoman dalam

penyelenggaraan kekuasaan Negara. Meskipun diklaim sebagai Negara

berpenduduk muslim terbanyak di dunia namun the founding father (para pendiri)

republik ini yang umumnya Muslim- tidak memilih Islam sebagai dasar Negara.

Mereka ternyata lebih memilih Pancasila sebagai dasar Negara dan sekaligus

sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara. Pilihan dasar Negara

itu didasarkan integrasi antara Negara dan agama tidaklah mudah diwujudkan,

karena persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan di masa modern ini

begitu kompleks.2

1
Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk Sekularisme-Islam Progresif dan
Perkembangan Diskursusnya . Jakarta, Grasindo PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010, hlm,
18
2
Ibid.
Mereka ternyata lebih memilih Pancasila sebagai dasar Negara yang

digunakan untuk mengatur persoalan dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara.

Kenyataan itu tebukti dari rapat PPKI tahun 1945. Lembaga tersebut

melegitimasi keberadaan Pancasila yang digunakan sebagai dasar Negara sampai

sekarang.

Proses perdebatan Pancasila dalam perjalanan sejarah Indonesia sampai

pada pendapat Muhammmad Hatta yang dikenal sebagai seorang demokrat sejati

menunjukkan bahwa beliau mengemukakan pandangannya secara terus terang dan

jujur. Menurut Hatta, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan prinsip

pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip spiritual dan etik ini

memberikan bimbingan kepada semua yang baik bagi rakyat dan bangsa

Indonesia. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kedua” kemanusiaan yang adail

dan beradab”, adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Begitu juga

dengan sila ketiga dan keempat sedangkan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi

Seluruh Rakyat Indonesia”, menjadi tujuan akhir dari pancasila. Dengan

menempatkan sila” Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama ini, Negara

memperoleh landasan moral yang kukuh.

Dalam kenyataannya, dasar filosofis yang terkandung di dalam Pancasila

tersebut memang telah teruji di dalam sejarah kehidupan masyarakat bangsa.

Dengan Pancasila tersebut, bangsa Indonesia yang berbagai latar belakang dapat

merenda kehidupan yang berdasar atas pluralitas dan multikulturalitas. Para

pendiri bangsa memilih Pancasila sebagai dasar Negara dan sekaligus sebagai

pedoman dalam menyelenggarakan kekuasaan Negara. Pilihan itu tentu saja


bukan tanpa alasan dan bukan pilihan yang mudah. Pilihan tersebut tentu

merupakan pilihan rasional mengingat integrasi antara agama dan Negara sulit

diwujudkan, mengingat persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan di

zaman modern ini cenderung kompleks.

Dengan demikian Pancasila sebagai dasar Negara sudah menjadi

kesepakatan bersama. Para penyelenggara Negara atau masyarakat Indonesia pada

umumnya tinggal bagaimana mengimplementasikan sila-sila yang ada di

dalamnya, yang berisi tentang ketuhanan kemanusiaan yang adil dan beradab dan

lain sebagainya.

Kenyataan tersebut diperjelas dengan fenomena Abdurahaman Wahid yang

dikenal dengan sapaan Gusdur. Beliau dikenal sebagai tokoh Muslim Indonesia

yang mengakui bahwa Pancasila sebagai konsensus di antara semua golongan

yang ada di Indonesia dan perlu dipelihara dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara, termasuk dalam kehidupan beragama dan berketuhanan

Yang Maha Esa.

Fenomena Gusdur sebagai tokoh agama dapat berperan dalam memahami

Pancasila sebagai fonomena politik. Beliau tidak memilih Islam sebagai bentuk

dan dasar Negara secara formal, walaupun beliau adalah tokoh muslim Indonesia

yang pernah memimpin Organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama yaitu

organisasi terbesar di Indonesia yang memiliki anggota hampir 40 juta lebih.

Pemikiran-pemikiran Abdurahman Wahid sering diikuti oleh para pengikut baik

di kalangan pesantren atau organisasi NU dan dijadikan salah satu sumber dalam

mengkaji hubungan agama dan Negara di Indonesia. Karena konsisten dalam


menjaga dan memelihara integritas bangsa, Abdurahman Wahid ini dikenal

sebagai bapak Pluralisme. Sebagaimana diungkapkan Presiden Susilo Bambang

Yudoyono pada acara pemakamannya.

Keunikan tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian

pemahamahan Pancasila menurut Abdurahman Wahid. Ketertarikan penulis

dalam penelitian ini adalah adanya pilihan dari Abdurahman sebagai tokoh

Muslim Indonesia untuk menjadikan dan memelihara Pancasila sebagai dasar

Negara. Padahal banyak tokoh-tokoh muslim lainnya menginginkan Islam sebagai

bentuk negara, termasuk beberapa kelompok muslim pada pasca reformasi

berupaya merubah kembali Pembukaaan Undang-undang Dasar menjadi Piagam

Jakarta yang memuat kata ” Syariat Islam” di dalamnya.

Fenomena Pemikiran Abdurahman Wahid mengenai Pancasila menimbulkan

masalah penelitian sehingga perlu dikaji. Masalah penelitian itu adalah

Bagaimana Pemikiran Abdurahman Wahid sebagai tokoh Organisasi Islam

terbesar di Indonesia memahami Pancasila? Masalah penelitian ini berupaya

memahami konsep kenegaraan menurut Tokoh Agama Islam. Dengan kata lain

penelitian ini mencoba memahami konsep dasar negara menurut tokoh Agama.

Pemahaman dan tokoh agama merupakan bagian dari unsur-unsur agama.

Hal ini relevan dengan kajian keberagamaan (religious studies), karena penelitian

ini mengkaji agama sebagai gejala budaya berupa pemahaman dari subyek

penelitian sebagai penganut atau pemimpin agama. Sebagaimana Capps

ungkapkan, “Simply put, religious studies provides training and practice (each an

essential quality of a discipline) in directing and conducting inquiry regarding the


subject-fields) utilizes prscribed modes and techniques of inquiry to make the

subject of religion intelligible. This is its twofold task: to discover as well as to

elicit its subject‟s intelligibility.”3

Alasan lainnya adalah karena penelitian ini termasuk kajian agama dengan

cara dideskripsikan dan difungsikan oleh penganut agama atau tokoh agama.

Sebagaimana lebih lanjut Capps uraikan, “We have identified four basic

questions, and three others that have special enduring relationships with religious

studies. The four basic questions are: (1) What is religion? (2) How did religion

come into being? (3) How shall religion be described? and (4) What is the

function or purpose of religion?”4 Gambaran ini termasuk unsur-unsur agama

dapat berperan dalam kehidupan atau gejala sosial dan politik. Fenomenanya

dapat dilihat dari tulisan-tulisan Abdurahman Wahid sebagai tokoh Islam

Indonesia yang memahami Pancasila.

Lebih lanjut kajian mengenai pemikiran dari tokoh agama merupakan bagian

dari kajian Ilmu Perbandingan Agama. Sebagaimana Ninian Smart seorang ahli

studi agama mengungkapakan bahwa agama sebagai organisme yang memiliki

multidimensi, seperti doktrin (doctrine), mitologi (mythology), etika (ethics),

ritual (ritus), institusi sosial (sosial institution) dan pengalaman keagamaan

(religious experience).5Menyadari hal tersebut perlu diketahui atau dikaji makna

Pancasila menurut Pemahaman Abdurahman Wahid sebagai tokoh muslim

Indonesia.

3
Walter H. Capps, Religious Studies: The Making of a Discipline (USA: Fortress Press
Minneapolis, 1995), p. xiv.
4
Ibid.p.xvii.
5
Ibid, p. 308.
B. Rumusan Masalah

Perhatian dalam penelitian ini terfokus pada pemahaman atau pemikiran

dari Abdurahman Wahid mengenai Pancasila. Fokus penelitian ini cenderung

pada deskripsi analisis mengenai persepsi atau nilai-nilai dibalik pemahaman yang

diungkapkan Abdurahman Wahid dalam berbagai tulisan. Kajian ini termasuk

kajian agama sebagai pemahaman,6 dan kajian agama sebagai sistem budaya

yang memiliki simbol,7 di dalamnya terdapat beberapa hal berupa ”kata-kata”,”

kesan”, ”institusi” dan ”prilaku”.

Pemikiran Abdurahman Wahid memiliki nilai agama, karena beliau

merupakan salah satu tokoh muslim Indonesia yang memahami Pancasila sebagai

ideologi negara. Deskripsi analisis penelitian mengenai pemikiran Abdurahman

Wahid tentang Pancasila ini dinyatakan dalam tiga rumusan pertanyaan. Ketiga

rumusan pertanyaan itu adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kronologis riwayat hidup Abdurahman Wahid, termasuk

pendidikan dan karya-karya yang telah dibuatnya?

2. Bagaimana posisi dan fungsi Pancasila dalam kehidupan beragama dan

aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut Pemikiran

Abdurahman Wahid?

3. Bagaimana implikasi pemahaman Pancasila menurut Abdurahman Wahid

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

6
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama (Bandung:
Pustaka Setia. 2000), cet. ke-1, hlm.72.
7
Clifford Geertz, From the Native’s Point of View: On the Nature of Anthropological
Understanding, Paul Rabinow dan Wiliam M Sulivan (Ed.), Interpretive Sosial Science A Reader
(California: University of California Press. 1979), p. 228.
C. Guna dan Tujuan Penelitian

Kegiatan penelitian ini merupakan proses pencarian nilai pengetahuan

berdasarkan tulisan-tulisan yang dibuat Abdurahman Wahid dalam memahami

Pancasila. Kegiatan ini diharapkan memenuhi kepentingan-kepentingan dan

tujuan tertentu yaitu untuk kepentingan akademik (academic goal), kepentingan

dialog (dialogical goal) dan berupaya mengatasi persoalan (soteriological goal).

Secara akademis penelitian ini memiliki keterkaitan dengan relevansi, unik,

penting dan menambah pustaka. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk

menambah pustaka atau referensi dalam kajian agama dari penganutnya yang

berupa tulisan-tulisan mengenai konsep dasar Negara. Fenomena agama

khususnya ide Islam memiliki orientasi nilai spiritual di satu sisi, dan di sisi lain

Pancasila sebagai produk pemikiran mengenai norma kekuasaan. Keduanya dapat

dipahami dalam pemikiran Abdurahman Wahid mengenai Pancasila.

Kajian pemikiran Abdurahman Wahid sebagai tokoh Muslim Indonesia

tentang Pancasila ini jarang terpublikasikan sehingga perlu diteliti guna

menambah informasi. Untuk menambah wawasan akademik, dan memelihara

integritas kebangsaan berdasarkan pemahaman keberagamaan, penelitian ini

menjadi penting.

Penelitian ini relevan dengan jurusan Perbandingan Agama, karena Ilmu

Perbandingan Agama memiliki unsur kajian diantaranya pemahaman, doktrin,

ritual dan tokoh agama atau umat. Sebagaimana menurut Joachim Wach bahwa
pengalaman keberagamaan dapat diungkapkan dalam bentuk pemikiran,

peribadatan dan kelompok sosial.8

Dampak globalisasi yang berwujud konflik sosial dapat terjadi pula di

berbagai wilayah yang mendapatkan akses teknologi informasi, termasuk bangsa

Indonesia. Karena Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman sosial

dan budaya yang dinamis, maka potensi pertentangan akan selalu ada pada setiap

aspek budayanya. Kemajemukan masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan

persoalan-persoalan aspek budaya terutama politik, ekonomi dan agama memiliki

potensi yang dapat menimbulkan pertentangan (disosiatif). Beberapa peristiwa

konflik telah dialami bangsa ini pada era setelah jatuhnya Soeharto. Peristiwa-

peristiwa itu diantaranya, kasus gerakan separatisme terjadi di Timor-Timur,

Aceh, Papua Barat; Kerusuhan Muslim dan masyarakat Kristen di Maluku dan

Sulawesi, Kekerasan antar etnik di Kalimantan, kekerasan anti Cina, perilaku

kekerasan Muslim yang bersifat militeristik dan geng-geng pemuda.9

Pertentangan di kalangaan umat beragama pun terjadi terutama hubungan

antar penganut Islam dan Kristen. Pertentangan kedua penganut ini telah terjadi di

Indonesia sejak lama. Persaingan kedua penganut agama ini menyangkut masalah

bantuan asing, penyebaran agama dan pendirian tempat ibadah. Salah satu

persoalan sikap keberagamaan yang menyangkut sikap intoleransi banyak terjadi

8
Joachim Wach, 1978. Ilmu Perbandingan Agama. Terjemahan Djamannuri (Ed), Jakarta: PT.
Rajawali Press, Cet. Ke-5, hlm, VIII.
9
David Brown and Ian Wilson. Ethnicized Violence in Indonesia: The Betawi Brotherhood Forum
in Jakarta (Asia Research Center-Perth Western Australia:Working Paper No.145 July 2007),
hlm.2.
di daerah Jawa Barat. Sebagaimana hasil temuan Wahid Institut10 bahwa

sepanjang tahun 2009 wilayah yang sering munculnya kasus-kasus intoleransi;

Jawa Barat 32 kasus (34 %), Jakarta 15 kasus (16 %), Jawa Timur 14 kasus (15

%), dan Jawa Tengah 13 kasus (14 %). Menurut lembaga ini bahwa di Jawa Barat,

isu yang paling mengancam kehidupan beragama adalah isu yang termasuk dalam

kategori penyebaran kebencian yang ditujukan kepada agama tertentu seperti

Yahudi dan Kristen, atau kelompok dan individu yang diduga sesat.

Penelitian tentang pemahaman Pancasilia menurut KH. Abdurahman Wahid

masih terbatas kajiannya terutama di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung

Djati Bandung, sehingga dengan penelitian ini dapat memberikan informasi

tentang cara memandang dasar Negara menurut tokoh Muslim yang memiliki

pengikut lebih dari 40 juta orang. Apabila terdapat penelitian-penelitian lain yang

berkaitan dengan tema tersebut telah dilakukan peneliti lain, penelitian ini dapat

menambah informasi yang sudah ada terutama dalam aspek pemahaman

keberagamaan dan konsep dasar negara. Penelitian ini diharapkan juga memberi

pengetahuan keherensi dan konvergensi antara pemahaman teori, khususnya Ilmu

Perbandingan Agama (religious studies) melalui pendekatan makna filosofis dari

gejala teks.

Secara dialog keberagamaan, penelitian ini dapat memberi kontribusi

informasi dalam dialog keberagamaan, karena terdapat model interaksi agama.

Model interaksi itu tidak hanya interaksi institusi agama dengan politik, tetapi

juga interaksi keberagamaan yaitu kelompok muslim dengan muslim, dan

10
Annual Report Kebebasan Beragama dan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2009
(Jakarta: The Wahid Institute, 2009), hlm. 14.
kelompok muslim dengan non muslim. Dialog keberagamaan ini diharapkan dapat

berdampak pada tanggung jawab manusia dalam memelihara integritas nasional

yang menjadi bagian tak tepisahkan dengan tanggung jawab global. Sebagaimana

beberapa konsep Global Responsibility yang diungkapkan Hans Kung

diantaranya; pertama, dunia tidak akan bertahan tanpa adanya etika dunia (No

survival without a world ethic); kedua, tidak ada perdamaian dunia tanpa

perdamaian keberagamaan (No world peace without religious peace); ketiga, tidak

ada perdamaian keberagamaan tanpa dialog keberagamaan (No religious peace

without religious dialogue); keempat, tidak ada dialog keberagamaan tanpa

mempelajari dasar agama-agama (No religious dialogue without investigating the

foundation of the religions).11

Secara soteriologi (mengatasi problem sosial), penelitian ini relevan dengan

konteks pembangunan atau reformasi di Indonesia. Dilihat dari keberadaan

Abdurahman Wahid sebagai tokoh muslim Indonesia menunjukkan upaya-upaya

mengintegrasikan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya

tersebut dianggap penting, dan perlu mendapat perhatian, karena upaya tersebut

relevan dengan upaya memelihara integrasi bangsa yang plural termasuk isu-isu

agama.

Dengan mengkaji Pancasila menurut tokoh muslim Indonesia ini,

diharapkan dapat memelihara integritas kebangsaan atau mencegah terjadinya

konflik terutama diakibatkan dari proses globalisasi, karena proses globalisasi

sering dinilai memiliki potensi konflik dan tindakan kekerasan, terutama di

11
Hans Kung, Global Responsibility in Search of A New World Ethic (New York:
Crossroad.1991), Translated John Bowden, p. vii-xii.
wilayah yang memiliki perbedaan identitas budaya dan Agama. Perilaku

kekerasan dan konflik sosial terutama bernuansa agama yang dilakukan sebagian

masyarakat dapat menjadi potensi disintegrasi, karena ancaman disintegrasi

masyarakat akan muncul jika salah satu dari unsur-unsur masyarakat tidak

berjalan dengan baik. Beberapa analisis dikemukakan para ahli bahwa peristiwa

kekerasan dan konflik sosial ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, akar

sejarah dan budayanya, perbedaan ekonomi, peran politik negara yang patrimonial

dan pemaksaan. Ada pula yang mengatakan bahwa gabungan dari beberapa faktor

itu merupakan penyebab timbulnya kekerasan tersebut. Konflik-konflik yang

diramalkan sebelumnya oleh Jacques Delors sebagaimana dikutip Samuel P.

Huntington lebih disebabkan oleh faktor-faktor budaya daripada faktor-faktor

ekonomi atau pun ideologi. Lebih Jelas Huntington tunjukkan bahwa sudah

berpuluh tahun adanya garis pemisah antara kebudayaan tirai besi bangsa Eropa

atau Kristen Barat di satu pihak dengan umat Islam dan kelompok ortodoks di

pihak lain.12

Di samping itu keberadaan Abdurahman Wahid sebagai tokoh muslim

Indonesia memiliki peran penting sesuai dengan identitasnya. Di satu sisi

keberadaan Abdurahman Wahid sebagai pemimpin yang pernah mengurus

masyarakat muslim tradisional yang jutaan warganya, ternyata memiliki

pemikiran mengenai Pancasila. Pemikiran dan sikap Abdurahman Wahid tersebut

mengakibatkan dia dikenal sebagai tokoh pluralisme. Pengenalan orang terhadap

dia sebagai bapak pluraslisme tidak akan pernah lenyap, walaupun dia telah

12
Samuel P.Hutington, Benturan Antar Peradaban (Yogyakarta: Qalam. 2000), Terjemahan M.
Sadat Ismail, hlm. 10-11.
meninggal. Sebagaimana Bellah13 ahli sosologi agama jelaskan bahwa masyarakat

tradisional yang memiliki arti yang berbeda-beda dalam setiap peristiwa tertentu,

tidak pernah lenyap, meskipun selalu mendapat gangguan, karena masyarakat

tradisional itu sendiri bagian dari kompleksitas masyarakat.

Di sisi lain keberadaan masyarakat beragama terutama masyarakat muslim

dengan pola pemahaman dan tindakannya sangat diperlukan untuk

mengembangkan stabilitas nasional dalam kehidupan bermasyarakat dan

berbangsa yang merupakan prasyarat untuk melaksanakan perubahan. Karena

peran masyarakat muslim sebagai masyarakat mayoritas dalam pelaksanaan

perubahan itu dianggap penting, maka perilaku kebiasaan masyarakat muslim

yang mengarah pada upaya integrasi bangsa dianggap penting pula dalam

program pembangunan nasional yang berlandaskan norma-norma pluralisme dan

multikulturalisme atau Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu penelitian ini

diharapkan menjadi salah satu referensi yang berguna untuk melihat isu

keberagamaan secara lebih terbuka, proporsional dan kultural.

Selanjutnya, berkaitan dengan perumusan masalah, fokus, dan unit analisis,

maka penelitian ini memiliki tujuan pemahaman, bukan pengetahuan.

Sebagaimana menurut Joachim Wach bahwa mempelajari agama atau bagian

agama adalah dengan maksud to understand meaning, bukan to know. Terdapat

tiga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk memahami,

1. Kronologi riwayat hidup Abdurahman Wahid, termasuk pendidikan dan

karya-karya yang telah dibuatnya.

13
Robert N Bellah, Beyond Belief –Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern (Jakarta:
Paramadina. 2000), Terjemahan Rudi Harisyah Alam, cet. ke-1, hlm. 222.
2. Posisi Pancasila dalam kehidupan beragama dan aliran kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut Pemikiran Abdurahman Wahid

3. Fungsi Pancasila dalam kehidupan beragama dan aliran kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut Pemikiran Abdurahman Wahid.

D. Studi Pustaka

Terdapat beberapa buku yang memuat pembahasan pemikiran Abdurahman

Wahid mengenai ke-Islam-an, ke-Indonesia-an dan kemanusiaan. Buku-buku itu

dianggap dapat membantu penulis dalam penelitian mengenai “Makna Pancasila

menurut Pemikiran Abdurahman Wahid”. Buku-buku tersebut diantaranya, tulisan

makalah berjudul “Pancasila sebagai ideologi dalam kaitannya dengan kehidupan

beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa” dalam buku

“Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai bidang Kehidupan Bermasyarakat,

Berbangsa dan Bernegara” disunting oleh Oetojo Oesman dan Alfian. Di dalam

tulisan itu Abdurahman Wahid menjelaskan posisi dan fungsi Pancasila.

Di dalam buku “Muslim di Tengah Pergumulan” yang diterbitkan Lappenas,

Abdurahman Wahid menjelaskan peran Muslim dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Di buku ini beliau menjelaskan peran muslim dalam

proses pembangunan.

Di buku “Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan” yang diterbitkan

Desantara, Abdurahman Wahid menjelaskan pemikiran, dan peran Muslim

Indonesia dalam konteks Negara dan kebudayaan.


Di buku “Gusdur Diadili Kyai”, Abdurahman Wahid menjelaskan berbagai

alasan atau argumentasinya mengenai pemikiran, sikap dan perilakunya yang

berbeda dengan kyai dan tokoh muslim pada umumnya.

Di buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Agama Masyarakat Negara

Demokrasi) yang disunting oleh M. Syafi‟i Anwar dan diterbitkan The Wahid

Institute tahun 2006, Abdurahman Wahid menulis berbagai pemikiran mengenai

agama, masyarakat, dan Negara di Indonesia.

E. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini diawali dengan penemuan penulis mengenai masalah

substantif. Masalah substantif dalam penelitian ini adalah pemikiran Abdurahman

Wahid tentang Pancasila. Abdurahman Wahid dipahami sebagai gejala Agama,

karena beliau pernah menjadi pemimpin organisasi kemasyarakatan yang berbasis

keagamaan (ke-Islaman), sehingga beliau dikenal sebagai tokoh agama. Organsasi

yang dimaksud adalah Nahdlatul Ulama dan memiliki pemahaman tertentu

mengenai Ke-Islaman, ke-Indonesia-an dan kemanusiaan. Organisasi ini memiliki

pengikut sekitar 40 juta orang. Sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat

mengatur kehidupan beragama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

di Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Setelah penulis menemukan masalah substantif tersebut, penulis mendisain

penelitian ini dengan beberapa pertanyaan untuk dicari jawaban-jawabannya.

Upaya untuk mencari jawaban tersebut penulis menggunakan kerangka teoritis

atau teori-teori yang dikerangkakan (constructed).


Rumusan teoritis yang digunakan untuk memahami pemikiran pemikiran

Abdurahman Wahid mengenai Pancasila adalah teori akomodasi dan integrasi

bangsa. Secara teoritis, akomodasi dapat dipahami sebagai keadaan dan proses14.

Akomodasi sebagai keadaan menunjuk pada adanya keseimbangan dalam

interaksi anatara individu dan kelompok sehubungan dengan norma-norma dan

nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Sedangkan akomodasi sebagai

proses menunjuk kepada usaha-usaha manusia untuk meredakan pertentangan-

pertentangan atau usaha-usaha untuk mencapai kestabilan interaksi sosial.

Selain itu secara teoritis integrasi bangsa merujuk pada pemahaman integrasi

sosial yaitu pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat;

pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan dalam suatu sistem sosial.

Integrasi bangsa akan tercapai bila terdapat kesamaan latar belakang sejarah,

pengalaman serta perjuangan yang sama dalam mencapai hasrat untuk bersatu.

Para ahli menyebutkan beberpa faktor pendorong integrasi sosial,15 diantaranya,

Pengorbanan yaitu tidak terlalu mementingkan perasaan dan keinginan diri

pribadi, adanya toleransi di dalam kelompok sosial, adanya kesediaan untuk

mencapai suatu konsensus, mengidentifikasi akar persamaan di antara kultur-

kultur etnis yang ada, bekemampuan segenap kelompok yang ada untuk berperan

secara bersama-sama dalam kehidupan budaya dan ekonomi, mengakomodasi

timbulnya kebangkitaa etnis, adanya upaya upaya yang kuat dalam melawan

prasangka dan diskriminasi, dan menghilangkan pengkotak-kotakan kebudayaan.

14
Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat (Jakarta:
Rajagrafindo Persada. 1993), hlm, 76.
15
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). hlm 56.
Dengan demikian kerangka teori dalam penelitian ini berperan sebagai

persfektif. Ia berfungsi untuk menyelami proses penelitian, sebagai cara pandang

dan untuk menafsirkan atau memahami pola pemikiran Abdurahman Wahid

tentang Pancasila. Pemahaman kerangka teori ini sesuai dengan peran teori

sebagai persfektif atau paradigma yang dijadikan sebagai sudut pandang untuk

memahami atau menafsirkan dan memaknai setiap fenomena, baik benda, tulisan

maupun orang dalam rangka membangun konsep. Adapun paradigma yang

digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma content analisis atau analisis

tekstual yang didukung dengan paradigma fenomologis dan filosofis.16 Penelitian

dengan menggunakan analisis tekstual ini digunakan karena bersentuhan langsung

dengan teks, dan analisis isi yang melibatkan pertimbangan fenomena di dalam

teks.17 Melalui paradigma fenomena penulis berusaha menemukan makna

Pancasila di balik tulisan-tulisan yang dibuat Abdurahman Wahid. Melalui

paradigma filosofis, penulis dalam melakukan penelitian ini bertujuan untuk

memahami (understanding) posisi dan fungsi Pancasila menurut Abdurahman

Wahid berdasarkan tulisan-tulisan yang dibuatnya.

F. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian sebagai prosedur penelitian digunakan untuk

menghasilkan data deskriptif dan menjelaskan bagaimana cara yang digunakan

penulis dalam penelitian ini. Kajian dalam metode penelitian ini mencakup jenis

16
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2001), cet. ke-1, hlm.129.
17
Jane Stokes, How to Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk melaksanakan Penelitian
dalam Kajian Media dan Budaya, terjemahan Santi Indra Astuti (Bandung: Bentang, 2006), cet.
ke- 1, hlm, 59.
data yang diperlukan, sumber pengambilan data, teknik pengumpulan data, teknik

analisa data dan garis besar penulisan laporan.

1. Jenis Data yang Diperlukan

Penelitian makna Pancasila menurut pemikiran Abdurahman Wahid

termasuk jenis penelitian kualitatif-naturalistik yang berparadigma filosofis.

Paradigma filosofis yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk

memahami pandangan hidup seseorang dalam memahami realitas kehidupan. Hal

ini sesuai dengan obyek kajian, dan tujuan penelitian. Objek penelitian dalam

penelitian ini makna pancasila menurut pemikiran Abdurahman Wahid. Dengan

demikian bentuk data dalam penelitian ini berupa ungkapan-ungkapan yang

dideskripsikan cenderung melalui kata-kata atau tulisan-tulisan.

Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penelitian ini perlu

menggunakan pendekatan-pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmu yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Sosiologi, Antropologi Budaya dan filsafat yang

dijadikan pendukung dalam ilmu Perbandingan Agama. Pendekatan-pendekatan

ini dapat digunakan untuk mengkaji pemahaman Abdurahman Wahid mengenai

Pancasila dalam bentuk tekstual.

Data yang dikumpulkan dipilih dan dipilah adalah data yang benar-benar

dapat menjawab rumusan atau fokus permasalahan. Terdapat tiga jenis data yang

berkaitan dengan penelitian ini yaitu data latar belakang Abdurahman Wahid, data

pemikiran Abdurahman Wahid tentang Pancasila dan data implikasi pemikiran

Abdurahman Wahid tentang Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Data latar belakang diantaranya, asal usul keberadaan Abdurahman Wahid,

pendidikan, aktifitas dan hasil karya yang dikerjakan. Data tentang pemikiran

Pancasila yaitu posisi dan fungsi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Data Implikasi pemikiran mencakup dampak dari pemikiran

Abdurahman Wahid tentang Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Sumber Pengambilan Data

Bahan-bahan yang penulis gunakan adalah buku-buku, artikel dan situs Web,

termasuk dalam dua kategori. Buku, artikel dan situs Web yang ditulis

Abdurahman Wahid sebagai sumber primer, dan buku-buku atau artikel-artikel

dan situs web yang ditulis orang lain atau orang tertentu berkaitan dengan

pemahaman Abdurahman Wahid mengenai Pancasila sebagai sumber sekunder.

Kedua sumber tersebut merupakan bahan yang dikaji untuk menemukan jawaban-

jawaban dalam penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data, disesuaikan dengan persoalan, paradigma, teori dan

metodologi. Penulis menggunakan teknik tinjauan literatur untuk menemukan

data-data yang diperlukan. Beberpa langkah dalam pengumpulan data tesebut

dilakukan penulis. Pertama, penulis menentukan beberapa buku, artikel dan situs

web yang dianggap bermanfaat dan relevan dengan pemahaman Abdurahman

Wahid mengenai Pancasila. Kedua, apabila relevan judul buku, artikel dan situs

web tersebut dengan data yang diperlukan, maka penulis memindai kandungan-

kandungan bab-bab atau bagian-bagian paragraf. Penulis memilih dan memilah


beberapa kalimat dari kandungan bab-bab tertentu dalam tulisan di buku, artikel

dan situs web. Dalam langkah ini penulis juga mencatat judul, penulis dan

perincian-perincian lainnya, terutama topik-topik utama yang diliput dan beberapa

kalimat mengenai subyek yang berkaitan pertanyaaan penelitian. Ketiga, penulis

mengidentifikasi beberapa buku, artikel dan situs web yang dianggap menjawab

pertanyaan penelitian. Penulis membaca buku, artikel dan situs web yang telah

diidentifikasi sebagai sesuatu yang relevan dan dianggap penting dalam menjawab

pertanyaan penelitian.

4. Analisis Data

Tahap berikutnya setelah mengumpulkan data adalah analisis data. Tujuan

analisis data adalah menyederhanakan seluruh data yang terkumpul,

menyajikannya dalam suatu susunan yang sistematis, mengolah dan menafsirkan

atau memaknai data yang diperoleh. Kegiatan analisis data dalam penelitian ini

secara umum dibedakan dalam tiga tahap yaitu pengolahan atau reduksi data,

deskriftif analisis dan penafsiran data. Dalam pengolahan data, penulis memeriksa

seluruh data yang masuk untuk dipilih dan dipilah berdasarkan sub-sub pokok

bahasan dalam rumusan masalah. Transkrif hasil pengumpulan data literatur

merupakan informasi data penelitian, dicek kembali kelengkapannya dan teknik

penyajiannya.

Secara umum, data yang telah diolah dapat diuraikan dengan deskriptif

analisis yaitu menggambarkan setiap fenomena penting yang terjadi. Selanjutnya,

menguraikan setiap fenomena penting itu dengan mengutamakan bahasa penulis


yang didukung oleh pernyataan para ahli dan kenyataan di lapangan. Bentuk

analisis ini cenderung berupa kata-kata bukan angka (non statistik). Penulis

berusaha menguraikan tentang makna Pancasila menurut Pemahaman

Abdurahman Wahid kedalam dua hal yaitu posisi dan fungsi Pancasila dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk memahami makna Pancasila menurut pemahaman Abdurahman Wahid

dapat dilakukan dengan menganalisa presepsi yang diungkapkan Abdurahman

Wahid tersebut. Penulis tidak hanya membaca hasil tulisan Abduraham Wahid

tetapi juga mengkonfirmasi dengan tulisan-tulisan orang lain yang berkaitan

dengan pemikiran Abdurahman Wahid tersebut, sehingga dari konfirmasi tulisan

orang lain tersebut dapat dianalisa dan ditafsirkan menjadi konsep tertentu.

Setelah data dianalisis, langkah selanjutnya adalah menafsirkan atau

memaknai hasil analisis data tersebut. Penafsiran atau pemaknaan hasil analisis

data bertujuan untuk menarik kesimpulan penelitian. Penarikan kesimpulan

didasarkan atas rumusan masalah yang difokuskan lebih spesifik yang telah

ditetapkan sebelumnya. Dalam proses penafsiran itu berkaitan dengan penggunaan

konfirmasi tulisan lain. Setelah penulis melakukan teknik konfirmasi ini, penulis

memberi arti subyektif yang berkaitan dengan makna Pancasila menurut

pemahaman Abdurahman Wahid berdasarkan buku, artikel dan situs web yang

penulis baca.

Hasil analisis merupakan jawaban dari persoalan penelitian yang telah

ditetapkan. Namun, dalam melaksanakan penafsiran ini, penulis juga perlu

memeriksa kembali langkah-langkah yang telah dilaksanakan dalam penelitian.


Langkah-langkah ini berguna untuk melihat ketepatan penafsiran. Apabila semua

langkah penelitian telah dilakukan dengan tepat, hasil penafsiran dapat dijamin

dan hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi. Dengan demikian penulis

bersikap terbuka dan menjelaskan semua langkah yang telah dilakukan

sehubungan dengan hasil penelitian yang telah diperoleh tersebut.

Karena penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, maka terdapat

empat kriteria yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan keabsahan data.

Sebagaimana Moleong18 ungkapkan bahwa keempat criteria tersebut adalah

derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan

(dependability) dan kepastian (confirmability).

Untuk menentukan kepercayaan (credibility) data penelitian ini penulis

melakukan usaha-usaha diantaranya melakukan penelitian dengan masa observasi

yang cukup sejak studi eksplorasi sampai penulisan laporan sekitar 6 bulan,

pengamatan secara terus menerus terhadap buku, artikel dan situs web, triangulasi

atau upaya pembandingan terhadap data, mendialogkan atau mengkonfirmasi

dengan tulisan orang lain, menganalisis kasus negatif, menggunakan bahan

referensi dan mengadakan pengecekan anggota (member check).

Agar penelitian ini memiliki kemiripan atau keteralihan (transferability)

sebagai kemungkinan terhadap situasi-situasi yang berbeda, maka penulis

berusaha melakukan uraian rinci (thick description).

Kebergantungan (dependability) penelitian ini terletak pada alat ukur yang

digunakan. Karena penelitian ini termasuk penelitian kualitatif maka alat ukur

18
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2005),
Cet. ke-21, Edisi Revisi, hlm. 327.
yang digunakan adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu teknik tinjauan

literature digunakan untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin dan

mengungkap persoalan yang ingin diperoleh jawaban-jawabannya sehingga desain

penelitiannya terus berkembang. Metode auditing yaitu pemeriksaan data yang

sudah terpolakan adalah cara yang digunakan untuk mengukur kebergantungan.

Agar penelitian ini memperoleh kepastian (confimability)- dalam penelitian

kuantitatif disebut objektivitas, maka penulis sebagai peneliti berusaha

mengungkapkan temuan-temuan dengan penulisan ilmiah dan mengkonfirmasi

hasil temuan data tersebut dengan pembingbing atau tulisan orang lain. Walaupun

penulis memiliki pengalaman subjektif, tetapi apabila pengalaman subjektif itu

berdasarkan data-data yang tulis oleh subyek penelitian maka pengalaman

subjektif itu dapat dianggap objektif atau penelitian ini dapat dianggap memiliki

kepastian.

5. Garis Besar Penulisan Laporan

Hasil penelitian ini dilaporkan dalam bentuk skripsi sebagai bukti

pertanggungjawaban penulis dalam kegiatan penelitian ilmiah. Adapun garis-garis

besar penulisan laporan hasil penelitian itu diantaranya; Bab Pertama mengenai

Pendahuluan. Uraian dalam bab ini membahas tentang, latar belakang masalah,

rumusan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, hipotesis, kerangka

teori dan metodologi penelitian. Bab Kedua membahas tentang tinjauan teoritis

mengenai Agama dan Pancasia. Di sini penulis menguraikan Agama dan

Pancasila secara teoritis. Bab Ketiga tentang makna Pancasila menurut


pemahaman Abdurahman Wahid. Di sini penulis mendeskripsikan dan

menganalisis gagasan Islam yang dipahami oleh Abdurahman Wahid, posisi dan

fungsi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bab keempat

membahas tentang Kesimpulan dan Saran. Uraian dalam kesimpulan menjelaskan

jawaban dari pertanyaan penelitian secara ringkas. Hal-hal yang diungkapkan

dalam saran penelitian ini menyangkut hal-hal yang perlu dilakukan oleh peneliti

lain dalam penelitian selanjutnya yang belum ditemukan oleh penulis dalam

penelitian ini. Selain itu dalam saran penelitian ini penulis mengungkapkan pula

beberapa komentar terhadap teori-teori yang digunakan, baik mendukung maupun

mengkeritiknya berdasarkan fenomena yang ditemukan penulis dalam tinjauan

literatur.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG
AGAMA DAN PANCASILA

Kesadaran spiritual manusia dapat diwujudkan dengan sistem

penyelenggaraan Negara. Pembentukan Negara didasarkan pada pemikiran-

pemikiran penyelenggara yang memiliki berbagai latar belakang yang berbeda

termasuk etnis dan agama. Ungkapan kesadaran spiritual yang berbentuk ide-ide

tersebut dapat diungkapkan dalam menyusun kosep dasar Negara sebagai

pedoman dalam penyelenggaraan Negara tersebut.

Indonesia dikenal sebagai penduduk yang menganut Agama Islam cukup

banyak dan memiliki dasar Negara yang bernama Pancasila. Menurut Greg Barton

seorang peneliti dari Australia mengatakan bahwa Pancasila berfungsi sebagai

kompromi politik yang mengakui kepercayaan mayoritas orang Indonesia kepada

Tuhan tetapi juga memberikan suatu model Negara kepada kaum sekular modern

(yang bukan merupakan pengikut agama-agama terbesar)19

Dengan demikian tokoh agama dan pemikirannya menjadi hal penting dalam

memahami dasar Negara sebagai ungkapan spiritualnya. Pengertian agama,

kelasifikasi Agama, fungsi agama, pengertian dan sejarah Pancasila juga

hubungan agama dan Pancasila menjadi perlu dideskripsikan secara teoritis. Oleh

karena itu dalam bab ini secara teoritis penulis mendeskripsikan kopnsep agama,

Pancasila dan hubungan antara agama dengan Pancasila.

19
Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biografhy of Abdurahman Wahid, Terjemahan
Lie Hua, LKiS, Yogyakarta, cet. ke-2, 2010, hlm. xxii.
A. Agama

1. Pengertian Agama

Kata “Agama” berasal dari bahasa Sansekerta dan terdiri dari dua suku kata

yaitu hurup “a” yang berarti tidak, dan “gama” berarti kacau atau berantakan.

Istilah agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang pengertiannya menunjukan

adanya kepercayaan manusia berdasarkan wahyu Tuhan. Agama mengandung arti

hidup yang sangat kekal bagi kehidupan manusia.20

Secara sederhana arti kata agama itu adalah tidak kacau atau tidak

berantakan. Dengan kata lain arti kata agama itu adalah teratur atau peraturan.21

Pada umumnya di Indonesia digunakan istilah ‘agama’ yang sama dengan artinya

dengan istilah asing ‘religie’ atau ‘godsdienst’ (Belanda) atau ‘religion’ (Inggris).

Secara istilah kata “agama” memiliki bermacam-macam pengertian. Menurut

seorang ahli agama bahwa terdapat 50 definisi agama yang telah dikumpulkan,

dan beberapa mahasiswa Fakultas Ushuluddin dari sebuah perguruan tinggi telah

berhasil mengumpulkan 98 definisi agama.22 Dengan demikian definisi agama itu

berjumlah banyak.

Penulis di bab ini hanya menunjukkan beberapa definisi dan fungsi agama

menurut beberapa ahli. Untuk memahami istilah agama, sebelumnya perlu juga

diketahui bahwa terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan kata agama dari

bahasa asing yaitu kata “relegere”, “religion, “religie” atau “religi” dan “din”. Arti

20
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama; Bagian I, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandar Lampung,
1993, hlm. 16.
21
Moenawar Chalil, Definisi dan Sendi Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm.19.
22
Djam‟anuri. (editor), Agama Kita Persfektif Sejarah Agama-Agama Sebuah Pengantar Kurnia
Kalam Semesta, Yogyakarta, 2000, cet. ke-1, hlm. 27.
kata “relegere” adalah mengumpulkan dan membaca. Agama memang merupakan

kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam Kitab Suci

yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata

“religere” yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat

mengikat bagi manusia.23 Kata “religie” berasal dari bahasa Latin. Sedangkan

istilah “religi” berasal dari bahasa Belanda dan kata “religion” berasal dari bahasa

Inggeris.24

Endang Saipudin Anshari yang dikenal sebagai cendikiawan muslim

menjelaskan,

Agama, religi dan dien adalah suatu sistem credo (tata


keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang
mutlak di luar manusia, dan suatu sistem ritus (tata
peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya yang mutlak
itu, serta sistem norma (tata kaidah) yang menyatakan
hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia
dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata
keimanan dan tata peribadatan termaktub.25

Di dalam bahasa Inggris istilah agama itu disebut “religion” yang berarti

agama, sedang „religious‟ berarti bersifat keagamaan. Dalam bahasa Arab disebut

“din” dengan memanjangkan “I”. Atau sempurnanya disebut “ad-Dien”.26

Dengan melihat pemahaman agama di atas, penulis menemukan tiga

peristilahan yaitu “agama”, “religi” dan “ad-Dien”. Menurut Endang Saifudin

Anshari bahwa dalam arti teknis dan terminologis ketiga istilah tersebut berinti

makna yang sama, walaupun masing-masing mempunyai arti etimologis dan

23
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta, 1984, jilid ke-1,
hlm. 10.
24
Endang Saifudin, Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama , Bina Ilmu, Surabaya, 1982, hlm. 124
25
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam Pustaka, Bandung, 1983), hlm, 9.
26
ibid.
sejarahnya sendiri.27 Dengan demikian, walaupun yang berbeda itu hanya latar

belakang sejarahnya, namun tentu saja dari perbedaan itu dapat menimbulkan

konsekuensi-konsekuensi yang berbeda pula dari masing-masing peristilahan

tersebut.

Perkataan kata “ad-Dien” berasal dari bahasa Arab atau bahasa Al-Qur‟an

yang sendiri berarti “millah”, “madzhab” dan “tadbier”. Muhammad Adnan pun

menerjemahkan kata “ad-Dien” itu adalah asy-syari’ah, ath-thoriqoh dan al-

millah yang dapat disaring dalam perkataan peraturan dari Allah swt.28 Lebih jelas

Harun Nasution menjelaskan kata “din” bahwa dalam bahasa Semit kata itu

berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata itu mengandung arti

menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.29

Dalam ilmu Sharaf (tata bahasa Arab) kata “dien” itu termasuk masdar dari

kata kerja daana- yadinu. Secara istilah, kata itu memiliki arti bermacam-macam

diantaranya, cara atau adat kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat atau

patuh, menunggalkan Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiyamat, nasihat,

dan agama.30 Tetapi secara umum kata “din” itu diartikan dengan undang-undang

atau peraturan Tuhan yang mesti ditaati dan dipatuhi oleh manusia.

Di dalam Al-Qur‟an pun kata “din” memiliki persamaan dengan kata-kata

lainnya diantaranya, kaata shirath (QS. al-fatihah:5), hukum (QS. Yusuf:76),

millah (QS. Al-an’am:156), sabil (QS. An-Nahl:125), al-Ibadah (QS. Al-Araf:29).

27
ibid.
28
Muhammad Adnan, Tuntutan Iman dan Islam, Jakarta, 1970, hlm.9.
29
Harun Nasution, hlm. 9
30
Moenawar Chalil, hlm. 13.
Secara singkat Harun Nasution menjelaskan bahwa intisari dari pengertian

istilah-istilah yang berkaitan dengan agama itu adalah ikatan.31 Menurut Harun,

agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia.

Manusia dalam kehidupan sehari-harinya sangat dipengaruhi oleh ikatan tersebut,

karena ikatan itu bersumber dari suatu kekuatan yang lebih tinggi daripada

manusia dan kekuatan itu bersifat gaib yang tak dapat dipahami dengan

pancaindera manusia. Mungkin ikatan itu cenderung dipahami secara rasional dan

keyakinan. Unsur-unsur yang terdapat dalam agama dikemukakan oleh Harun

Nasution kekuatan gaib, keyakinan manusia, respon yang bersifat emosionil dari

manusia dan paham adanya yang kudus (sacred) dan suci.32

Para ahli agama lain menjelaskan mengenai pengertian agama, termasuk para

sarjana agama. Hasbi Ash-shiddieqy mengungkapkan,

….agama adalah suatu kumpulan peraturan yang ditetapkan


Allah untuk menarik dan menuntun para umat yang
berakal kuat dan patuh akan kebajikan, supaya mereka
memperoleh kebahagiaan dunia dan kejayaan, kesentosaan
di akhirat, negeri yang abadi mengecap kelezatan yang tak
ada tolok bandingannya serta kekal selama-lamanya.33

Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap

keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supranatural yang berpengaruh

terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam.

Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdo‟a, memuja dan

31
Harun Nasution, hlm. 10.
32
Harun Nasution, Islam …, hlm. 11.
33
Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam I, Bulan Bintang, Jakarta, 1964, hlm. 17.
lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis,

pasrah dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya. 34

Asal keyakinan keagamaan itu berpijak pada sesuatu kodrat kejiwaan, yaitu

keyakinan kuat atau rapuh kelanjutan hidup sesuatu agama itu tergantung pada

masalah tentang berapa dalam dan berapa jauh keyakinan keagamaan itu meresap

pada jiwa setiap penganutnya. Kalangan agamawan berpendapat bahwa agama itu

berasal dari kodrat maha pencipta, yang memberikan bimbingan kepada manusia

pertama mewariskan pada keturunannya, dan kodrat penciptaan itu melahirkan

pembaharuan agama.35

Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting, karena saling

mempengaruhi antara lembaga budaya dalam tabiat manusia serta sistem nilai,

moral dan etika. Agama itu mempengaruhi organisasi kekeluargaan, perkawinan,

ekonomi, hukum-hukum dan politik agama tidak terlepas dari suatu intitusi

kebudayaan yang menyajikan sesuatu lapangan ekspresi dan implikasi begitu

halus agama tersebut.36 Menempatkan tradisi keagamaan dalam bentuk

kontekstual dalam dinamika perubahan sosial adalah keniscahayaan yang harus

disikapi dengan cara menciptakan wajah baru dari ajaran agama. Dengan

demikian agama bukanlah sekedar wacana yang memiliki psikologi dan spiritual

semata, melainkan meliputi banyak aspek kehidupan.37

34
Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakara, 2005, hlm 1.
35
Zakiah Drajat, Perbandingan Agama I, Bumi Aksara. Jakarta, 1991, hlm. 1.
36
Joesoef Soy‟eb, Agama-agama Besar di Dunia, PT. Al-Husna Zikra, Jakarta, 1996, hlm. 16.
37
Amin Abdullah, Studi Agama, Pustaka Pelajar Offset, 2000, hlm. 11.
Selain itu Ahmad Abdullah Al-Masdoesi menjelaskan pengertian agama

dengan bahasa Inggris,

Religion is code of life revealed to mankind from time ever


since the appereance of man in this is globe, and is
embodied in its final perfect from in the Holly Qur‟an
which revealed by God to His last apostle Muhammad Ibn
Adb Allah (pease be upon him), a code of life certain clear
and complete guidance concerning both the spiritual and
the material aspects of life.38

Mukti Ali yang dikenal sebagai ahli Ilmu Perbandingan Agama Indonesia

memahami agama sebagai kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan

hukum yang diwahyukan kepata utusan-utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup

manusia di dunia dan di akhirat. Hampir mirip dengan Mukti Ali, Sidi Gazalba

mengartikan agama sebagai kepercayaan dan hubungan manusia dengan yang

kudus, dihayati sebagai hakikat yang baik, hubungan itu menyatakan diri dalam

bentuk serta sistem dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.39

Pengertian agama di dalam kamus pun berbeda-beda. W.J.S. Poerwadarminta

menuliskan bahwa agama merupakan segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa

dan sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang

bertalian dengan kepercayaan itu.40 Agama menjadi sebuah pengakuan yang

sangat sakral, dalam agama adanya suatu bentuk yang suci, manusia akan insaf

dengan adanya suatu agama yang memiliki kekuasaan di atas segalanya.

38
Ahmad Abdullah Al-Masdoosi, Living Religion of The world , Karchi, 1962, p. 7-8.
39
Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pustaka Antara, Jakarta, 1962), hlm.
22.
40
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia ,Balai Pustaka, Jakarta, 1985), cet.
ke-8, hlm. 18.
Kekuasaan inilah yang dianggap sebagai asal atau khalik segala yang ada.

Manusia memiliki bayangan cara hidup yang lurus.41

Di dalam kamus The Holy Intermediate Dictionary of American English,

sebagaimana dikutif oleh Nasruddin Razak bahwa religi dijelaskan sebagai Belief

in and worship of God or the super natural.42 Artinya kepercayaan dan

penyembahan kepada Tuhan atau kepada Dzat yang Maha Mengatasi. Kamus

lainnya yaitu kamus The Advanced learning Dictionary of Current English

tercatat bahwa religi adalah Belief in existence of supernatural rulling power the
43
creator and controller of the continues to exist after the death of body. Artinya

agama merupakan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kodrat yang maha

mengatasi, menguasai, menciptakan dan mengawasi terus menerus keberadaan

manusia setelah mati.

Dengan menggunakan disiplin psikologi, Hidayat Nataatmaja menjelaskan

arti agama sebagai pedoman sempurna agar manusia mampu mengembangkan

fitrahnya secara utuh.44 Ogburn dan Nimhoff yang dikenal sebagai ahli psikologi

menjelaskan bahwa agama adalah suatu pola kepercayaan, sikap-sikap emosional

dan praktek-praktek yang dipakai oleh sekelompok manusia untuk mencoba

memecahkan soal-soal “ultimate” dalam kehidupan manusia.45

Pemahaman tersebut di atas menunjukkan kemiripan dengan pemahaman

agama menurut Immanuel Kant. Pernyataan Immanuel Kant sebagaimana dikutif

41
Hilman Hadikusuma, Antropologi.., hlm. 123.
42
Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al- Ma‟arif, Bandung, 1981, hlm. 60.
43
Ibid., hlm, 61.
44
Hidayat Nataatmaja, Karsa Menegakkan Jiwa Agama, Iqro, Bandung, 1990, hlm. 129.
45
Rasyidi, Empat Kulia Agama Islam di Perguruan Tinggi, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, Cet. ke-
2, hlm. 50.
oleh Hasanudin bahwa agama adalah perasaan kejiwaan manusia yang berdasar

dan bersumber pada Tuhan.46 Hal yang mirip juga diungkapkan oleh William

James bahwa agama merupakan perasaan dan pengalaman batin insan secara

individual yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang

dipandangnya sebagai Tuhan.47

Selain itu dijelaskan pula bahwa agama merupakan suatu kata yang dapat

digunakan untuk menjelaskan emosi dan perasaan yang dianggap penting.

Seorang ahli ilmu jiwa agama, Zakiah mengungkapkan pendapat ahli ilmu agama

lainnya seperti Frazer, James Martineau, dan Mattegart.48 Frazer mengungkapkan

bahwa agama adalah kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia, yaitu

kekuasaan yang disangka oleh manusia untuk dapat mengendalikan, menahan atau

menekan kelancaran alam dan kehidupan manusia. Martineau menjelaskan bahwa

agama adalah kepercayaan kepada yang hidup abadi, di mana diakui bahwa

dengan fikiran dan kemauan Tuhan, alam ini diatur dan kelakuan manusia

diperbuat. Sedangkan Mategart berpendapat bahwa agama adalah suatu keadaan

jiwa atau lebih tepat keadaan emosi yang berdasarkan kepercayaan akal

kerahasiaan diri kita dengan alam semesta. Thoules menambahkan bahwa ketiga

definisi tersebut terdapat dalam pandangan ilmu jiwa umum, karena perasaan itu

dapat dibagi tiga segi yakni, tanggapan, emosi dan dorongan.

Seorang tokoh lainnya yang berhaluan atheis seperti Karl Mark menyatakan

bahwa agama atau religion is the sigh of the pressed creature, the heart of heart

less world, just as at is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the
46
A.H. Hasanuddin, Cakrawala Kulia Agama, Al-Ikhlas, Surabaya, 1982, hlm, 81.
47
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 30.
48
Ibid., hlm. 36.
people.49Mark memahami bahwa agama adalah keluh kesah makhluk tertindas,

hati nurani dari dunia yang tidak berhati, tepat sebagaimana ia adalah jiwa dari

keadaan yang tidak berjiwa. Ia adalah candu masyarakat. Pendapat Mark ini

mungkin melihat realitas agama menunjukkan peran yang melegitimasi

masyarakat tertindas dalam memasuki dunia modern terutama agama yang

dilihatnya di Erofa.

Tokoh agama lainnya yaitu Goulson menyatakan bahwa agama adalah hasil

dari pengaruh hubungan khusus antara manusia dengan lingkungannya. 50 Begitu

pun menurut Khan, agama adalah hasil produksi alam bawah sadar manusia dan

bukan merupakan hal yang mempunyai wujud dalam alam nyata.51

Dari pemahaman agama di atas menunjukkan bahwa agama sebagai refleksi

dari keyakinan tidak hanya terbatas pada ajaran dan doktrin saja, tetapi juga

refleksi dalam tindakan kolektivitas umat. Hal itu dipertegas oleh penjelasan

Koentjaraningrat bahwa refleksi cara beragama tidak hanya terbatas pada

kepercayaan saja, tetapi juga merefleksi dalam perwujudan tindakan kolektivitas

penganutnya atau dimensi religiusitas yang terangkum dalam empat unsur.

Pertama, emosi keagamaan, yaitu aspek keagamaan yang mendasar, yang ada

dalam lubuk hati manusia, yaitu menyebabkan manusia beragama menjadi religius

atau tidak religius. Kedua, sistem kepercayaan, yang mengandung satu sistem

keyakinan tentang adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib,

makhluk halus, dan kehidupan abadi setelah kematiaan. Ketiga, sistem upacara

atau Ritual keagamaan, yang dilakukan oleh para penganutnya, yaitu sistem
49
Karl Mark and F. Engels, On Religion, p. 42.
50
C.A. Goulson, Science and Christian Belief, Moskow, 1970, p. 4.
51
Waheeduddin Khan, Islam Menjawab Tantangan Zaman, Pustaka, 1983, Bandung, hlm. 6.
kepercayaan yang bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dengan

Tuhan atau realitas mutlak. Keempat, umat atau kelompok keagamaan, yaitu

kesatuan-kesatuan sosial yang menganut suatu sistem kepercayaan dan yang

melakukan upacara-upacara keagamaan.52

2. Fungsi Agama

Secara fungsional, agama menjadi sangat penting sehubungan dengan unsur-

unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakberdayaan

dan keterasingan yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi

manusia. Dalam hal ini fungsi agama ialah menyediakan dua hal. Pertama, suatu

cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia, dalam

arti dimana frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna.

Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar

jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia dalam

mempertahankan moralnya.53 Agama bisa dikatakan suatu peraturan yang

mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, untuk memegang peraturan

Tuhan dengan kehendaknya sendiri supaya mencapai kebaikan kelak hidup di

dunia dan akhirat.54

52
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, UI-Press, Jakarta, 1987, hlm. 81.
53
Thomas E. O‟dea, Sosiologi Agama; Suatu Pengenalan Awal, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hlm.
25-26.
54
Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-agama, PT. Raja Grafindo Presada, Jakarta, 1996, Hlm
3.
Bila agama dipandang sebagai pengalaman yang suci manusia dengan Tuhan,

manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan alam, tanpak sejumlah fungsi

dalam kehidupan manusia baik dalam kehidupan pribadi ataupun kehidupan sosial

fungsi-fungsi itu bersifat penjelas dan jawaban atas pertanyaan yang perinsipil

yang tampaknya telah mengusik hati manusia sejak zaman purba, agama bersifat

sebagai penetram hati, pengasah tradisi, pemandu sosial dan juga sebagai

pemandu budaya.55

Menurut Robet. B. Taylor bahwa sifat agama ada lima fungsi dalam

kehidupan manusia dan bermasyarakat, fungsi yang paling penting adalah

memberi penjelasan (explanation). Agamalah yang menjelaskan keberadaan

manusia. Fungsi kedua, adalah memberi ketentraman hati kepada manusia,

(reassurance) sebab, manusia lahir untuk susah maka penyembuhan dicari yang

ghaib, yaitu melalui agama.

Fungsi ketiga, menjelaskan „validation’ terhadap kebiasaan dan nilai

dimasyarakat, agama sebagai tumpangan kebudayaan untuk melaksanakan ritual

yang sudah terjadi hal-hal itu ditopang, disahkan atau diberi sanksi oleh

kepercayaan agama. Fungsi agama yang keempat sebagai pengikat sosial (social

integration), agama mengikat masyarakat untuk kerjasama dan perasaan memiliki

yang sama, hal itu terutama berlaku pada kebudayaan yang mempunyai

seperangkat kepercayaan dan praktik agama yang sama bagi seluruh anggota.56

55
H. A. Hidayat, Pemikir Islam (Tentang Teologi dan Filsafat), CV. Pustaka Setia, Bandung 2006,
hlm. 23.
56
Ibid, hlm. 26-27.
Agama dapat dipahami sebagai fakta sosial, karena ia menyangkut nilai dan

norma yang menyangkut kepercayaan serta berbagai perakteknya di masyarakat.

Agama dalam konteks ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat dimana

manusia memiliki berbagai catatan termasuk yang biasa diketengahkan dan di

tafsirkan oleh para ahli arkeologi. Dalam masyarakat yang sudah mapan, agama

merupakan salah-satu struktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan

sistem sosial. Akan tetapi masalah agama berbeda dengan masalah pemerintahan

dan hukum.57

Agama melukiskan sebagai kebutuhan dasar dan untuk membela diri terhadap

segala kekacauan yang mengancam manusia. Hampir seluruh masyarakat

mempunyai agama tidak ada bangsa bagaimanapun primitifnya, yang tidak

memiliki agama. Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku

kehidupan individu dan kelompok, juga memberi harapan kelanggengan hidup

sesudah mati dan mengingkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan

untuk mencapai kemandirian spiritual.58

Demikian pula, agama yang telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi

manusia yang paling sublime, sejumlah besar moralitas, sumber tatanan

masyarakat dan perdamaian batin individu; sesuatu yang memuliakan dan yang

membuat manusia beradab. Akan tetapi, agama pula telah di tuduh sebagai

penghambat kemajuan manusia dan mempertinggi fanatisme dan sifat tidak

toleran, pengacuhan, tahayul (kesia-siaan).59

57
Thomas F. O‟dea, Sosiologi Agama.., hlm.1.
58
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, PT. Rosdakarya, Bandung, 2000, Hlm 119.
59
Adeng Muhtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2005, Hlm 43.
Manusia pada dasarnya percaya akan adanya kekuatan ghaib, yang sangat

luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap individu atau kelompok

sehingga menimbulkan sikap mental, rasa takut, pasrah yang akhirnya akan

menimbulkan perilaku berdo‟a, memuja dan bersandar pada agama.60 Dalam

agama terdapat peraturan hukum yang harus dipahami oleh manusia. Agama

menguasai seseorang hingga membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan

cara menjalankan ajaran-ajaran agama untuk mencoba mencari keselamatan.61

Dalam kehidupannya manusia mengalami ketidakpastian, yaitu kematian. Selain

tidak bisa diramalkan, kematian juga berada di luar jangkauan kekuatan manusia.

Sekalipun mengetahui bahwa kematian merupakan kepastian, namun tidak

ada seorang-pun yang mengetahui kapan kematian itu akan terjadi, hal ini

membuat manusia kecewa atau cemas. Dalam menghadapi kekecewaan tersebut


62
manusia tidak berdaya, akhirnya manusia menyadarkan diri pada agama.

Dengan demikian, agama selain membawa aturan-aturan dan hukum-hukum, juga

berfungsi membantu manusia dalam menghadapi masalah hidupnya.

Dengan berdasarkan pengalaman sehari-hari, dapat dipastikan bahwa setiap

manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini, maupun

sesudah mati. Jaminan untuk itu mereka temukan dalam agama. Terutama karena

agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas untuk

mencapai kebahagiaan yang pencapainnya mengatasi kemampuan manusia secara

60
Ibid., hlm. 120.
61
Harun Nasuton, Islam ..., 2008, Hlm 9.
62
Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm.
77.
mutlak. Hanya manusia agama (homo religious) dapat mencapai titik itu, entah itu

manusia yang hidup dalam masyarakat primitif atau masyarakata modern.63

Joachim Wach menegaskan bahwa setiap manusia memiliki agama atas

pengalaman keagamaannya itu sendiri, yang membuat dirinya merasa bermakna,

di tengah masyarakatnya. Pengalaman keagamaan adalah suatu perasaan yang

didapat manusia pada saat ia berhubungan atau merasa hubungan dengan Yang

Maha Mutlak.64

3. Klasifikasi Agama

Agama dapat diklasifikasikan dalam berbagai kelompok berdasarkan kriteria

tertentu. Para ahli agama mengelompokkan agama-agama itu menjadi agama-

agama besar – agama kecil, agama wahyu-agama alam, agama konvensional -

agama modern, agama tinggi – agama rendah dan sebagainya. 65

Selain itu ada pula agama dikelompokkan berdasarkan sifatnya yaitu agama

primitif dan agama yang telah meninggalkan fase keprimitifan.66 Agama yang

termasuk agama Primitif diantaranya dinamisme, animism dan politeisme.

Sedangkan menurut Wach, agama dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian

yaitu agama Etnis dan agama Universal.67Agama Etnis menekankan pada

pelaksanaan perbuatan itu sendiri. Sedangkan agama Universal memberikan

penialian utama pada tujuan perorangan sebagai ukuran dari kemurnian iman.

63
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1984, hlm 39-40.
64
Joachim Wach, Ilmu …, hlm. 34.
65
Djam‟anuri, hlm. 27.
66
Harun Nasution, hlm.11
67
Joachim Wach, Ilmu… hlm.155.
Sedangkan Djam‟anuri memilih pengklasifikasian berdasarkan bukan wahyu

dan wahyu, atau agama bukan semit dan semit.68 Kelompok agama yang termasuk

bukan wahyu atau bukan semit terbagi empat kelompok berdasarkan asal usul

bangsanya diantaranya, Bangsa Mongolis melahirkan Konfusianisme, Taoisme,

Shintoisme. Bangsa arya memunculkan Hinduisme, Jainisme Sikhisme dan

Zoroastrianisme. Bangsa Missellaneous melahirkan Buddhisme. Bangsa

Paganisme melahirkan berbagai agama yang dikelompokkan dalam paganisme.

Sedangkan kelompok agama yang termasuk agama wahyu atau agama semit

diantaranya Islam, Kristen dan Yudaisme.

4. Agama Islam

Karena penulis membahas pemikiran Abdurahman Wahid yang dikenal

sebagai ulama, cendekiawan dan tokoh Muslim, maka agama yang dijadikan

bahan pemabahasan dalam skripsi ini termasuk kelompok agama Islam. Agama

Islam ini pada masa awalnya memiliki karakteristik yaitu kejayaan dalam bidang

politik.69 Kejayaan politik itu menurut Madjid terbukti dalam catatan sejarah

bahwa kaum Muslimin dengan kekuatan militernya berhasil melakukan ekspansi

sejak periode Nabi di Madinah dan dibawah pimpinan Sahabat Nabi. Dengan

mengutip pendapat Rodinson, Madjid menjelaskan bahwa keberadaan Agama

Islam ini berbeda dengan agama Kristen dan Buddhisme, karena Islam tidak

hanya menampilkan sebagai perhimpunan kaum beriman yang mempercayai

kebenaran yang satu dan sama, tetapi juga sebagai masyarakat yang total.

68
Djam‟anuri, hlm. 28.
69
Nurcholish Madjid, Kata Pengantar, dalam buku: Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila
sebagai Dasar Negara, LP3ES, Jakarta, Cet. Ke-3, 1996, hlm. xvii.
Kata “Islam” berarti “masuk dalam perdamaian” dan orang yang beragama

Islam disebut Muslim. Dengan kata lain seorang Muslim merupakan orang yang

berusaha berbuat damai dengan Tuhan dan dengan manusia. Hubungan

perdamaian manusia dengan Tuhan ditunjukkan dengan sikap tunduk dan patuh

secara total kepada kehendak-Nya. Sedangkan hubungan perdamaian dengan

manusia tidak hanya meninggalkan pekerjaan jelek dan menyakitkan orang lain,

tetapi juga berbuat baik kepada orang lain. Kedua hubungan tersebut merupakan

esensi dari agama Islam.

Pemahaman lainnya diungkapkan Harun Nasution. Dia memahami bahwa

Islam adalah agama dalam pengertian ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan

kepada manusia melalui seorang Rasul.70 Dia menegaskan bahwa Islam pada

hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi

mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Islam memiliki berbagai aspek,

diantaranya aspek moral, mistisisme, falsafat, sejarah, kebudayaan dan

sebagainya.

Adapun sumber dari ajaran-ajaran tersebut adalah Al-Qur‟an dan Hadits. Dua

sumber ini dianggap sebagai sumber asli dari ajaran-ajaran Islam dalam segala

aspeknya. Al-Qur‟an sebagai sumber utama dalam Islam, karena ia merupakan

Sabda Tuhan atau Kalamullah atau disebut wahyu. Sedangkan Hadits merupakan

cerita-cerita yang bersumber dari perkataan, perbuatan dan sikap Muhammad.

Terkadang Hadits ini disebut pula Tradisi Islam. Di samping itu ada pula

70
Harun Nasution, hlm. 24.
Kesepakatan (consensus) para ulama dan pendapat ulama dijadikan sebagai

sumber hukum Islam.

Ajaran Islam yang terpenting adalah ajaran Tauhid. Ajaran Tauhid ini

merupakan pengakuan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran Tauhid ini

menjadi dasar untuk ajaran-ajaran lainnya seperti masalah kerasulan, wahyu, kitab

suci Al-Qur‟an, soal percaya kepada ajaran Nabi Muhammad atau soal Mu‟min

dan Muslim, soal yang tidak percaya seperti kafir dan musyrik, hubungan

makhluk (manusia) dengan khalik (pencipta), masalah hari akhir (surga dan

neraka), dan sebagainya. Dalam tradisi Suni ajaran Islam itu terangkum dalam

rukun iman dan rukun Islam. Rukun Iman berkaitan dengan kepercayaan kepada

Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir. Sedangkan rukun Islam

berkaitan dengan syahadat (kesaksian), shalat, zakat, puasa dan menunaikan

ibadah haji.

Fenomena Agama Islam secara umum kini terbagi dalam kelompok besar

yaitu suni dan syiah. Berbeda dengan klasifikasi dalam Kristen, kelompok Suni

dan Syiah ini tetap dianggap Muslim (beragama Islam) oleh kedua kelompok ini.

Artinya kelompok ini tidak melahirkan agama, melainkan aliran. Berbeda dengan

klasifikasi dalam agama Kristiani, dimana kelompok-kelompoknya melahirkan

agama baru.

Pembagian kelompok ini cenderung berdasarkan pada nuansa politik yaitu

pada saat proses pembentuk kepemimpinan setelah Muhammad meninggal dunia.

Kelompok Suni merupakan kelompok yang berorientasi pada pembentukan

kepemimpinan berdasarkan musyawarah. Kelompok ini mengakui kepemimpinan


empat sahabat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) setelah Nabi Muhammad

meninggal. Sedangkan kelompok Syi’ah merupakan kelompok yang cenderung

hanya mengakui kepemimpinan Ali saja sebagai pemimpin mereka. Kaum Suni

memahami bahwa kepala Negara tidak mesti dari keturunan Nabi melalui Fatimah

dan Ali. Kaum Syi’ah justru memahami dan meyakini bahwa hanya keturunan

Nabi yang boleh menjadi kepala Negara. Dari pemahaman ini berkembang pada

pemikiran tentang jabatan kepala Negara jaman sekarang. Di satu sisi, jabatan

kepala Negara dipahami mempunyai sifat turun temurun dari bapak ke anak. Di

sisi lain pengangkatan kepala Negara didasarkan atas kesanggupan serta keahlian

dan bukan atas keturunan.

Selain itu dalam aspek teologi, Islam memiliki berbagai aliran, seperti aliran

bercorak liberal, tradisional, tidak terlalu liberal, dan tidak terlalu tradisional.

Dalam aspek hukum Islam atau fiqh terdapat empat kelompok pemahaman

mengenai hukum Islam yaitu, Hanafi, Maliki dan Syafi‟i, dan Hambali.

Pemahaman-pemahaman terhadap hukum Islam, ada yang menggunakan

tekstual atau tradisional dan ada yang bersifat kontekstual yang cenderung

menggunakan akal. Pemahaman yang bersifat tekstual yaitu pemahaman yang

langsung berdasarkan teks Al-qur‟an dan Hadits. Sedang pemahaman kontekstual

yaitu pemahamn yang berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadits, tetapi aplikasinya

disesuai dengan konteks masyarakat tertentu. Dalam pemahaman kontekstual Al-

Qur‟an dan Hadits berfungsi sebagai konfirmasi. Salah satu contoh yang

cenderung menggunakan tradisional menurut Mukti Ali adalah pengikut-pengikut

Ahmad bin Hanbal. Mereka berjuang berabad-abad lamanya menentang


pemikiran-pemikiran yang bebas yang berusaha untuk melampaui pemikiran-

pemikiran ulama-ulama yang lalu. Mereka pula menentang pemikiran-pemikiran

ilmu kalam dan pendekatan agama secara mistis.71

Khusus mengenai Islam di Indonesia, Harun menilai bahwa Islam di

Indonesia secara umum dikenal hanya pada aspek teologi dan aspek hukum. Itu

juga orang Indonesia melihatnya hanya dari satu kelompok saja. Dalam bidang

teologi, hanya aliran tradisionalnya terutama aliran jabariah yang mengajarkan

fatalisme. Aliran ini dapat menimbulkan kesalahfahaman bahwa Islam

mengajarkan kesenangan materi, karena sorga dan neraka diberi gambaran

sebagai kesenangan materi dan kesenangan jasmani. Sedang dalam bidang hukum

Islam, hanya mazhab Safi‟i yang banyak dipelajari orang Indonesia. Sehingga

Harun berkesimpulan bahwa pengetahun orang Indonesia mengenai Islam tidak

sempurna.72

Untuk menghindari kesalahfahaman dan untuk menyempurnakan

pengetahuan tentang Islam, Harun mengajukan adanya perubahan dalam

memahami pengetahuan Islam. Beliau mengajukan adanya spesialisasi atau

mengetahui aspek-aspek, dan aliran-aliran lain dalam Islam.

Pendapat lainnya Mukti Ali menjelaskan bahwa cara mendekati dan

memahami Islam dengan tiga cara, yaitu naqli (tradisional), aqli (rasional), dan

kasyfi (mistis).73 Pendekatan-pendekatan ini menurut Mukti Ali sudah ada dalam

fikiran Nabi Muhammad Saw dan terus digunakan oleh ulamg-ulama Islam

setelah beliau wafat. Pasang surut pendekatan ini sering berganti dan berbeda-
71
H.A. Mukti Ali, hlm. 9-10.
72
Harun, hlm. 34.
73
H.A. Mukti Ali, hlm. 9.
beda dilakukan para ulama hingga sekarang. Namun menurut Mukti Ali terdapat

tradisi yang kaku sekarang ini dalam memahami Islam yaitu tradisi yang

dilakukan oleh kalangan Wahabiyah di Arab Saudi dan Tariqat As-Sanusiyah di

Afrika Utara.74

Di Indonesia menurut Herbert Faith, Islam menjadi kekuatan politik di

samping kekuatan lainnya, seperti kelompok nasionalisme, social democrat,

Komunisme, dan Tradisionalisme Jawa. Kekuatan Islam berawal tergabung dalam

kelompok Masyumi yang terdiri dari kelompok muslim tradisional dan modern.

Tetapi setelah tahun 1952 Masyumi pecah dengan keluarnya NU dari kelompok

Islam tersebut. NU membuktikan sebagai kekuatan Islam di Indonesia dengan

terlibat pada pemilihan umum tahu 1955 yang menempati posisi ketiga setelah

PNI dan Masyumi. Sejak saat itu Kekuatan NU menjadi kekuatan yang

diperhitungkan dalam politik Indonesia.

NU dikenal mewakili kelompok Islam tradisional terbukti dengan adanya

unsur heriditas dalam sistem kepemimpinan di organisasi ini. Keluarga Hasyim

Asyari merupakan keluarga yang paling diperhitungkan dalam kepemimpinan itu,

karena memiliki nilai kualitas. Peran keluarga tersebut telah mewarnai peran NU

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasyim Asyari sebagai pendiri NU

dan penerima gelar Hendratus Syeikh dan Rois Akbar. Wahid Hasyim sebagai

pembaharu Islam di Nahdlatul Ulama dan menteri Agama. Abdurahman Wahid

dikenal sebagai Ulama, Cendekiawan dan tokoh Muslim yang pernah menempati

74
Ibid.
sebagai anggota DPR, MPR, Presiden RI ke-4, tokoh agama dunia dan Dewan

Syuro Partai Kebangkitan Bangsa.

B. Pancasila

1. Munculnya Pancasila

Istilah “Pancasila” telah dikenal sejak dulu kala termasuk setelah masuknya

agama Hindu dan Buddha ke Nusantara. Dalam konteks sistem pemerintahan

Istilah “Pancasila” ditemukan dalam Buku Negarakertagama yang berbahasa

Sansekerta pada masa Kerajaan Majapahit. Buku ini ditulis oleh Prapanca yang

menjelaskan peristiwa atau catatan sejarah mengenai Kerajaan Majapahit (1296-

1478). Di buku yang berupa syair pujian itu terdapat istilah Pancasila dalam

sarga (pupuh) 53 bait ke-2 yang berbunyi, “yatna gegwani pancasila

kertasangskahrbhisekaka krama” yang artinya Raja menjalankan dengan setia

kelima pantangan (Pancasila) begitu pula upacara-upacra ibadat dan penobatan-

penobatan. Menurut Slamet Mulyana,75 pupuh yang ke- 50 sampai dengan ke- 54

menguraikan perburuan di hutan Nandawa. Dia menilai bahwa pupuh-pupuh ini

merupakan bagian yang indah sekali karena menguraikan keberadaan Raja Hayam

Wuruk sebagai titisan Wisnu yang berhak atas segala hidup.

2. Pengertian Pancasila

Pancasila ini berarti lima prinsip atau dasar. Nilai-nilainya telah ada pada

bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum bangsa Indonesia mendirikan

75
Slamet Mulyana, Tafsir Sejarah Negara Kretagama, LKiS, Yogyakarta, Edisi Khusus, 2011,
hlm. 6.
Negara, yang berupa nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai religius.

Nilai-nilai tersebut telah ada dan melekat serta teramalkan dalam kehidupan

sehari-hari sebagai pandangan hidup, sehingga materi pancasila yang berupa nilai-

nilai tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, sehingga bangsa

Indonesia sebagai bangsa kausa materialis Pancasila. Nilai-nilai tersebut

kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri Negara untuk

dijadikan sebagai dasar filsafat dasar Negara Indonesia.

Pada saat kerajaan Islam muncul atau setelah Majapahit runtuh masih juga

dikenal nilai-nilai lima dasar atau prinsip itu di dalam masyarakat Jawa, yang

disebut dengan “lima larangan” atau “ lima Pantangan” yang berkaitan dengan

moralitas yaitu, mateni, artinya membunuh, maling artinya mencuri, madon

artinya berzina, mabok, artinya meminum minuman keras atau menghisap candu,

dan main artinya berjudi. Semua kata itu tersebut diawali dengan hurup “m” atau

dalam bahasa Jawa disebut “ma”, sehingga lima prinsip moral tersebut dikenal

orang Jawa dengan istilah “ma lima”, atau “M 5” yaitu lima larangan.

3. Proses Pancasila sebagai Dasar Negara

Pada saat menjelang dan pasca kemerdekaan secara formal, para pendiri

bangsa merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara melalui beberapa sidang

yaitu sidang BPUPKI pertama, sidang panitia “9”, sidang BPUPKI kedua, dan

disyahkan secara hukum sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia. 76

76
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, edisi ketujuh, 2003, hlm. 28.
Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam siding BPUPKI pertama.

BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)

yang dikenal dalam Bahasa Jepang dengan istilah Badan Dokuritsu Syunbi

Tyoosakai terdiri dari satu orang ketua, dua orang ketua muda dan 60 orang

anggota. Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua, Letubangse sebagai

Ketua Muda dan R.P Soeroso sebagai Ketua Muda. Adapun keenampuluh anggota

berdasarkan data dari sekretariat Negara sebagaimana dikutif Kaelan77 adalah Ir.

Soekarno, Mr. Muh. Yamin, Dr. R. Kusumah Atmadja, R. Abdulrahim

Pratalykrama, R. Aris, K.H. Dewantara, K. Bagus H. Hadikusumo, M.P.H

Bintoro, A.K. Moezakir, B.P.H Peorbojo, R.A.A. Wiranatakoesoema, Ir. R.

Asharsoetedjo Moenandar, Oei Tjiang Tjoei, Drs. Muh. Hatta, Oei Tjong Hauw,

H. Agus Salim, M. Soetardjo Kartohadikusumo, R.M. Margono

Djojohadikusumo, K.H. Abdul Halim, K.H. Masjkoer, R. Soedirman, Prof. Dr.

P.A.H. Djajadiningrat, Prof. Dr. Soepomo, Prof.Ir. Roeseno. Mr. R.P. Singgih,

Mr. Ny. Maria Ulfah Santoso. R.M.T. A.Soejo. R. Ruslan Wongsokusumo, R.

Soesanto Tirtoprodjo, Ny. R.S.S. Soemario Mangunpoespito, Dr. R. Boentaran

Martoatmodjo, Liem Koen Hian, Mr. J. Latuharhary, Mr. R. Hindronartono, R.

Soekardjo Wirjopranoto, Hadji Ahmad Sanoesi, A.M. Asaat, Mr. Tan Eng Hoa,

Ir.R.M.P. Soerachman Tjokroadisurjo, R.A.A. Soemitro Kolopaking

Poerbonegoro, K.R.M.T.H. Woerjaningrat, Mr.A. Soebardjo, Prof. Dr. R. Djenal

Asiki Widjajakoesoema, Abikoesno, Parada Harahap. Mr.R.M. Sartono. K.H. M.

Mansoer, K.R.M.A Sosrodiningrat, Mr. Soewandi, K.H.A. Wachid Hasyim, P.F.

77
Ibid., hlm. 37.
Dahler, Dr. Soekiman, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, R. Otto Iskandar Dinata, A.

Baswedan, Abdul Kadir, Dr. Samsi, Mr.A.A. Maramis, Mr. Samsoedin, Mr. R.

Sastromoeljono.

Menurut Radjiman, “Badan Dokuritsu Syunbi Tyoosakai” itu telah

mengadakan sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei tahun 1945 sampai

dengan tanggal 1 Djuni 1945 dan kedua dari tanggal 10 Djuli 1945 sampai dengan

tanggal 17 Djuli 1945.” 78

Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah pada sidang tersebut.

Masalah tersebut adalah tentang suatu rancangan rumusan dasar Negara Indonesia

yang akan dibentuk. Dalam sidang tersebut tampil tiga pembicara yaitu

Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno. Mr. Muh. Yamin menyampaikan

pidato tanggal 29 Mei 1945, Prof. Soepomo menyampaikan pidatonya tanggal 31

Mei 1945 dan Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.

Muhammad Yamin mengusulkan suatu rumusan dasar Negara sebanyak lima

poin secara lisan yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri

Kerakyatan (permusyawaratan, perwakilan, kebijaksanaan) dan Kesejahteraan

Rakyat (keadilan Sosial). Namun dalam naskah yang disampaikan Yamin berbeda

dengan yang disampaikan secara lisan. Perbedaan tersebut terletak pada

susunannya. Hal tersebut dapat dilihat dari naskah yang disampaikan Yamin yaitu

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Persatuan


Indonesia dan rasa kemanusian yag adil dan beradab,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

78
Radjiman Wedyodiningrat, Kata Pengantar (1 Djuli 1947), dalam Lahirnya Pancasila, 1960,
tanpa Penerbit, Jakarta, hlm. 9.
dalam permusyawaratan perwakilan dengan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.79

Pada tanggal 31 Mei 1945, Soepomo menyapaikan tentang teori-teori Negara

yaitu Teori Negara perseorangan, Teori Negara kelas dan Teori Negara

integralistik. Teori Negara perorangan dijelaskan Soepomo dengan mengutip

pemikiran Thomas Hobbes, Jean Jacques Rousseau, Herbert Spencer dan H.J.

Laski. Pada intinya dalam teori perseorangan, Negara merupakan masyarakat

hokum (legal Society) yang disusun atas kontrak antara seluruh individu (social

contruct).

Dalam membahas Teori Negara Kelas, Soepomo mengutip pemikiran Marx,

Engels dan Lenin. Dalam teori ini Soepomo menjelaskan bahwa Negara

merupakan alat dari satu golongan (suatu klas) untuk menindas kelas lain. Negara

Kapitalis merupakan alat dari kaum borjuis. Menurut teori ini untuk meraih

kekuasaan, kelompok tertindas dalam melakuan perjuangan atau perlawanan

terhadap kelompok yang menindas. Akhirnya teori ini memimpikan kelompok

masyarakat yang tidak berkelas.

Teori Integralistik dijelaskan Soepomo dengan mengutip pemikiran Spinoza,

Adam Muller dan Hegel. Dalam teori ini Soepomo menjelaskan bahwa Negara

bukanlah untuk menjamin perseorangan atau golongan, tetapi menjamin

kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai suatu persatuan. Negara dipahami

dalam teori ini sebagai susunan masyarakat yang integral, segala golongan, bagian

atau anggotanya saling berhubungan erat satu dengan lainnya dan merupakan

79
Kaelan, Pendidikan…hlm. 38.
kesatuan organis. Dalam kehidupan Negara semacam ini terdapat penghidupan

bagi seluruh bangsa. Negara tidak memihak kepada golongan yang paling kuat

atau yang paling besar. Negara menjamin kepentingan dan keselamatan hidup

bangsa seluruhnya sebagai suatu persatuan.

Selanjutnya Soekarno mengajukan secara formal di dalam rapat BPUPKI

tanggal 1 Juni 1945 bahwa Pancasila sebagai dasar negara. Pidato ini menjadikan

dia dikenal sebagai penggagas Pancasila dan tanggal penyampaiannya dijadikan

oleh sebagian kelompok sebagai hari lahirnya Pancasila.

Soekarno merumuskan Pancasila terdiri atas, Kebangsaan Indonesia,

Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi,

Kesejahteraan dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Soekarno mengutamakan

Kebangsaan dalam rumusan Sila-sila yang lima itu daripada Ketuhanan. Terbukti

sila ketuhanan ditempatkan di sila yang kelima dalam rumusan Pancasila tersebut.

Beliau menjelaskan lebih pentingnya istilah kebangsaan daripada ketuhanan itu.

Bahkan Soekarno yang mengaku beragama Islam mengatakan tentang

permohonan maaf kepada pihak Islam dalam menjelaskan pentingnya kebangsaan

dalam pidatonya. Ketika Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-

kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi telah dijelaskan dalam sidang

penyampaian tersebut, maka Soekarno berkata

Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk


memelihara agama. Kita, sajapun, adalah orang Islam, -
maaf beribu-ribu maaf, keislaman saja djauh belum
sempurna, - tetapi kalau saudara-saudara membuka saja
punya dada, dan melihat saja punja hati, tuan-tuan akan
dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam
Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat,
dalam permusjawaratan. Dengan tjara mufakat kita perbaiki
segala hal, djuga keselamatan agama, yaitu dengan djalan
pembitjaraan atau permusjawaratan di dalam Badan
Perwakilan Rakjat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bitjarakan di dalam
permusjawaratan…80.

Kelima sila itu bisa disederhanakan menurut soekarno menjadi Tri sila yaitu

socio-nationalism (Sosio nasionalisme), Socio-democratie (sosio demokrasi) dan

Ketuhanan. Sosio- nasionalisme merupakan penyederhanaan dari kebangsaan

Indonesia dan Internasionalisme atau peri-kemanusiaan. Sosio demokrasi

merupakan penyederhanaan dari sila Mufakat atau demokrasi dan Kesejahteraan.

Tri Sila tersebut menurut Soekarno bisa disederhanakan menjadi Eka Sila.

Soekarno memberi nama Istilah lain dari Eka Sila itu adalah Gotong Royong.

Soekarno menginginkan suatu Negara Gotong Royong. Istilah tersebut pernah

dijadikan nama kabinet semasa pemerintahan Megawati yatiu 2002-2004.

Dengan menyederhanakan Pancasila menjadi Tri sila dan akhirnya menjadi

eka sila menunjukkan pemahaman Pancasila menurut Soekarno cenderung

sosiologis. Rumusan soekarno tersebut mendapat kritik dari Raliby terutama

tentang konsep ketuhanan. Menurut Raliby sebagaimana dikutif Sayfii81 bahwa,

Tuhan dalam Pancasila ialah tuhan yang mati, yang tidak


mempunyai pengaruh apa-apa pada keempat sila lainnya. Ia
tidak memberikan hukum sama sekali. Malah jika Pancasila
itu diperas, Tuhan itu sendiri yang kena hukum dan ia
hilang lenyap ditelan oleh gotong royong sebagai Eka Sila,
yaitu perasaan dari Pancasila.

80
Soekarno, Lahirnya Pancasila, tanpa Penerbit, Jakarta, 1960, hlm. 33-34.
81
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, LP3ES, Jakarta, Cet. Ke-3,
1996, hlm. 166.
Sejak saat itulah istilah “Pancasila” telah menjadi istilah bangsa Indonesia

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun dalam alinea IV

pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang

dimaksudkan dasar Negara republik Indonesia adalah disebut dengan istilah“

Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka

pembentukan rumusan dasar Negara, yang kemudian secara spontan diterima oleh

peserta sidang secara bulat.

Dengan melihat pidato Soekarno itu nampaknya terdapat beberapa hal

penting. Pertama, Pancasila digali Soekarno melalui renungan mendalam yang

berdasarkan karakter jiwa masyarakat Indonesia. Walaupun istilah Pancasila itu

pemberian dari seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan kepada Soekarno, tetapi

Soekarno dikenal sebagai penggagas pertama secara formal. Secara politik, kelak

ideologi masyarakat Indonesia yang menjadi kekuatan itu terangkum dalam tiga

kekuatan yaitu Nasionalisme, Agama dan Komunis yang disingkat NASAKOM.

Kedua, isi dari Pancasila yang terdiri atas Kebangsaan Indonesia,

Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi,

Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan menunjukkan sila Kebangsaan dianggap

lebih penting daripada sila-sila yang lainnya. Ketiga, Pancasila dapat dijadikan

dasar Negara bagi bangasa Indonesia untuk membentuk Negara Gotong Royong

yang bersifat sosiologis.

Pada tanggal 22 Juni 1945 Soekarno sebagai kelompok panitia kecil dengan

anggota BPUPKI yang berjumlah 38 orang mengadakan rapat. Mereka

membentuk panitia yang berjumlah sembilan orang. Panitia ini dikenal dengan
istilah “Panitia 9”. Mereka itu terdiri atas, Ir. Soekarno, K.H. A.Wachid Hasyim,

Mr. Muh. Yamin, Mr. Maramis, Drs. Moch. Hatta, Mr. Soebardjo, Kyai Abdul

Kahar Moedzakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim.

Dalam rapatnya panitia sembilan menghasilkan rancangan pembukaan

Hukum Dasar yang disampaikan kepada Rapat BPUPKI tanggal 10 Juli 1945.

BPUPKI menerima atau menyetujui rancangan yang disusun Panitia Sembilan

tersebut. Salah satu kutipan yang menari dari rancangan yang dikenal dengan

Preambule Piagam Djakarta tersebut adalah,

…. maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu


dalam suatu hokum dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.82

Dalam sidang BPUPKI kedua diputuskan beberapa hal diantaranya, pada

tanggal 10 Juli diputuskan bentuk Negara. Dari 64 suara terdapat 55 orang yang

setuju republik, 6 orang meminta kerajaan, meminta bentuk lain 1 orang dan

belanko 1 orang dan 1 orang yang tidak hadir.

Keputusan lainnya dari sidang BPUPKI sebagaimana Pringgodigdo yang


83
dikutif Kaelan adalah BPUPKI membentuk tiga panitia kecil yaitu panitia

perancang Undang-Undang Dasar yang dipimpin Soekarno, panitia ekonomi dan

82
Kaelan, hlm. 41.
83
Ibid., hlm. 42.
keuangan dipimpin Moh. Hatta dan panitia pembelaan tanah air dipimpin

Abikoesno Tjokrosoejoso. Panitia perancang Undang-Undang dan BPUPKI

mengadakan sidang pada tanggal 14 Juli 1945. Dalam sidang itu dilaporkan

susunan Undang-undang Dasar yang diusulkan terdiri dari tiga hal yaitu

pernyataan Indonesia merdeka, Pembukaan Undang-Undang Dasar yang memuat

dasar Negara Pancasila, dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar.

Pada tanggal 7 Agustus 1945 Pemerintah Jepang mengumumkan akan

dibentuknya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dikenal pada

saat itu adalah Dokuritu Zyumbi Iinkai. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia

memproklamirkan kemerdekaannya.

Kemudian keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan

sidang. PPKI terdiri dari 21 orang anggota ditambah 6 orang anggota tambahan.

Keduapuluh satu orang itu adalah Ir. Soekarno sebagai ketua, Moh. Hatta sebagai

wakil Ketua, Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, K. Bagus H. Hadikusumo, R.

Otto Iskandar Dinata, Pangeran Porbojo, Pangeran Soerjohamodjojo, Soetardjo

Kartohadikusumo, Prof. Dr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr.

Mohammad Amir, Mr. Abdul Abbas, Dr. Ratulangi, Andi Pangerang, Mr. J.

Latuharhary, Mr. Pudja, A.H. Hamidan, R.P Soeroso, K.H.A. Wachid Hasyim,

Mr. Mohammad Hassan merupakan anggota. Keenam orang anggota tambahan

yaitu Wiranatakoesoema, Ki Hadjar Dewantara, Kasman Singodimejo, Sajuti

Malik, Mr. Iwa Kusuma Soemantri dan Mr. Achmad Soebardjo.

PPKI mengesyahkan Undang-undang Dasar 1945 termasuk pembukaan UUD

1945 di mana di dalamnya termuat isi rumusan lima prinsip sebagai satu dasar
Negara yang diberi nama pancasila. Terdapat tiga butir ketetapan dalam sidang

tanggal 18 Agustus itu. Pertama, mengesahkan Undang-undang 1945 yang

meliputi: 1) setelah melakukan beberapa perubahan pada Piagam Jakarta yang

kemudian berfungsi sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 2)

menetapkan rancangan Hukum Dasar yang telah diteima dari Badan Penyelidik

pada tanggal 17 Juli 1945, setelah mengalami berbagai perubahan Karena

berkaitan dengan perubahan Piagam Jakarta, kemudian berfungsi sebagai Undang-

Undang Dasar 1945. Kedua, memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama.

Ketiga, menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai badan

musyawarah darurat.84

Lebih jelasnya dalam sidang pertama PPKI itu, para peserta sidang mengubah

hasil hasil sidang Panitia Sembilan. Beberapa perubahan tersebut diantaranya,

istilah “Piagam Jakarta” berubah menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945. Kata “Muqadimah” berubah menjadi pembukaan. Kata Hukum Dasar

berubah menjadi Undang-Undang Dasar Negara. Kalima “…dengan berdasar

kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-

pemeluknya” berubah menjadi kalimat “….dengan berdasar kepada Ketuhanan

Yang Maha Esa.” Kalimat “….menurut dasar kamanusiaan yang adil dan

beradab” berubah menjadi kalimat “….kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Selain itu terdapat perubahan pada beberapa pasal Undang-Undang Dasar

1945. Istilah “Hukum Dasar” diganti dengan istilah “Undang-Undang Dasar

1945”. Kata “dua orang Wakil Presiden” diganti dengan kata “seorang Wakil

84
Ibid., hlm. 46.
Presiden”. Kalimat “Presiden harus orang Indonesia Asli yang beragama Islam”

diganti dengan kalimat “Presiden harus orang Indonesia asli. Kalimat “….selama

pegang pimpinan perang, dipegang oleh Jepang dengan persetujuan Pemerintah

Indonesia‟ dihapus dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Kemudian pada bulan nopember 1945 Indonesia mengalami konflik

diplomasi dengan Belanda. Cara Indonesia melawan pengaruh Belanda di dunia

Internasional dengan mengeluarkan maklumat. Diantara maklumat itu adalah

maklumat pada tanggal 14 Nopember 1945 yang intinya mengubah kebinet

presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan asas demokrasi liberal

(bukan berdasarkan Pancasila).

Akibat dari Konfrensi Meja Bundar (KMB) tanggal 27 Desember 1949

menimbullkan berlakunya konstitusi Republik Indonesia Serikat. Diantara isi

konstitusi RIS tersebut adalah bentuk Negara serikat (federalis) yaitu 16 negara

bagian (pasal 1 dan 2), sifat pemerintahan berdasarkan asas demokrasi liberal

dimana menteri-menteri dan seluruth kebijakan pemerintah bertanggung jawab

kepada parlemen (pasal 118 ayat 2), dan jiwa dan semangat juga isi pembukaan

UUD 1945 dan Proklamasi Kemerdekaan terhapus.

Kemudian Negara bagian dalam RIS hanya tiga Negara yaitu Negara bagian

RI Proklamasi, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur. Kenyataan

tersebut berujung pada persetujuan RIS dengan Negara RI yaitu tanggal 19 Mei

1950 dimana seluruh Negara bersatu dalam Negara kesatuan yang berdasarkan

Undang-Undang Dasar Sementara yang berlaku sejak tanggal 17 Agunstus 1950.


Pada masa Undang-Undang Dasar Sementara ini, Negara berasaskan demokrasi

liberal, sehingga munculnya multi partai dan pemilihan umum.

Pemilihan umum pertama terjadi 1955 yang dikuti berbabagai partai

menghasilkan dewan konstituante –semacam DPR sekarang. Dalam sidang

Konstituante terjadi perdebatan-perdebatan yang mempertanyakan kembali

keberadaan dasar Negara. Padahal perdebatan tersebut tidak diharapkan oleh

Pemerintahan Soekarno.Terdapat lima kelompok besar aliran politik Indonesia

saat itu yaitu Nasionalis, Islam, Komunis, Sosial democrat dan tradisionalis Jawa.

Partai yang termasuk kelompok nasionalis diantaranya PNI, partai yang termasuk

kelompok Islam diantaranya Masyumi dan NU, partai yang termasuk kelompok

komunis diantaranya PKI, Partai yang termasuk kelompok social democrat

diantaranya Partai Sosialis Indonesia, Partai yang termasuk kelompok tradisional

Jawa adalah partai-partai kecil yang berbasis di Jawa.

Menurut Kaelan walaupun terjadi berbagai penyimpangan atau tidak sesuai

dengan Pancasila dalam pelaksanaan Undang-Undang Dasar Sementara, tetapi

UUDS 1950 merupakan suatu strategi dari Negara Republik Indonesia Serikat ke

arah Negara RI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.85

Perdebatan di dalam Konstituante dinilai telah menimbulkan ancaman

keselamatan Negara oleh Pemerintahan Soekarno. Terbukti pada tanggal 5 Juli

1959 dengan munculnya Dekrit Presiden Soekarno. Dekrit dipahami sebagai suatu

putusan dari kepala Negara atau pemerintahan tertinggi yang merupakan

perwujudan kehendak yang bersifat sepihak. Dekrit diberlakukan apabila Negara

85
Ibid., hlm. 51.
dalam keadaan darurat, keselamatan bangsa dan Negara terancam oleh bahaya.

Secara yuridis, dekrit yang diberlakukan Soekarno pada 5 Juli 1959 itu termasuk

Hukum Tatanegara. Menurut Kaelan, Hukum Tatanegara Darurat Subyektif ini

merupakan suatu keadaan hukum yang memberi wewenang kepada organ

tertinggi untuk bila perlu untuk mengambil tindakan-tindakan hukum bahkan

kalau perlu melanggar undang-undang hak-hak azasi rakyat, bahkan kalau perlu

Undang-Undang Dasar.

Dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan tiga pernyataan

penting yaitu, 1). Membubarkan Konstituante, 2). Menetapkan berlakunya

kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya kembali Undang-Undang Dasar

Sementara tahun 1950. 3). Dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu yang

sesingkat-singkatnya.

Dengan berlakunya kembali UUD 1945 maka Pancasila sebagai dasar Negara

yang sila-silanya terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 berlaku kembali juga.

Tetapi para politikus Masyumi bereaksi keras terhadap pernyataan Soekarno

tersebut dengan mempertanyakan legitimasi adanya dekrit tersebut. Para politikus

Masyumi memahami bahwa dengan dibubarkannya Konstituante maka tidak ada

lagi harapan untuk mewujudkan suatu Undang-Undang Dasar yang mengakui

peran dan otoritas Islam dalam Negara.86 Sebaliknya Partai NU yang merupakan

kelompok tradisional Islam bersedia mengikuti kehendak pemerintahan

Soekarno, sehingga mereka tetap dapat bertahan hidup dan NU tetap menjadi

86
Greg Barton, Gusdur… hlm. 81.
suatu kekuatan politik.87Sedangkan Masyumi pada kelak tahun 1960 dibubarkan

oleh Soekarno.

Pasca Dekrit atau saat Demokrasi Terpimpin, Kelompok PKI berperan dalam

Kabinet. Banyak menteri yang berasal dari PKI menduduki posisi menteri. Partai

ini pun menjadi besar saat itu. Dengan pengaruhnya, PKI mampu merancang

ideologi Negara yang diupayakan dapat mengganti Ideologi Pancasila. Ideologi

yang dirancang PKI itu adalah ideologi Manipol Usdek. Saat itu Soekarno pun

mempublikasikan konsep ideologi yang bernama NASAKOM (Nasionalisme

Agama dan Komunis). Banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang dianggap

mengancam keselamatan pemerintahan Soekarno pada masa itu. Peristiwa-

peristiwa tersebut diantaranya PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik

Indonesia), Kanigoro, Boyolali, Bandar Betsy, pembubaran Masyumi, konfrontasi

dengan Malaysia dan G 30 S PKI (Gerakan tiga puluh September PKI)- sebagian

kelompok menyebut peristiwa ini dengan Gestok (Gerakan satu Oktober).

Peristiwa G 30 S PKI tahun 1965 dipahami oleh sebagian kelompok untuk

merebut kekuasaan dengan mengganti ideologi Pancasila oleh Ideologi Komunis.

Tetapi usaha-usaha itu gagal. Bagi kelompok tersebut Pancasila telah teruji

sehingga pada tanggal 1 Oktober sering dirayakan sebagai hari kesaktian

Pancasila oleh pemerintahan Orde Baru.

Pada tanggal 11 Maret 1966 terjadi penyerahan kekuasaan dari Soekarno

kepada Soeharto melalui Surat Perintah dari Presiden kepada panglima keamanan

waktu itu. Surat Perintah itu dikenal dengan istilah “Super Semar” (Surat Perintah

87
Ibid.
Sebelas Maret). Pergantian kekuasaan diperkuat lagi dengan sidang MPRS yang

ditetapkan oleh peserta sidang dengan surat ketetapan no IX/MPRS/1966 yang

menyatakan pemberhentian Soekarno sebagai Presiden dan mengangkat

Soeharton sebagai Presiden.

Pemerintahan Soeharto dikenal dengan Orde Baru. Salah satu misi yang

sering dipublikasikan oleh pemerintahan ini adalah “melaksanakan Pancasila dan

UUD 1945 secara murni dan konsekuen” Pada masa pemerintahan ini pada tahun

tahun 80-an dengan gencarnya melakukan program “Penataran P4”. Program ini

merupakan indoktrinasi ideologi dari pemerintah terhadap masyarakat. Program

ini didasarkan pada Tap MPR Nomor II tahun 1978 tentang Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang ditandatangani oleh Ketua dan wakil

Ketua MPR. Ketua MPR saat itu adalah Adam Malik, sedangkan Mashuri, SH,

KH. Masjkur, R. Kartidjo, H. Ahmad Lamo dan Mh. Isnaeni adalah sebagai Wakil

Ketua MPR. Ketetapan ini disingkat dengan P4 dan dikenal dengan istilah

“Ekaparasetia Pancakarsa”.88

C. Hubungan Agama dan Pancasila

Pancasila dapat dipahami sebagai Ideologi dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara di Indonesia. Menurut Dawam Rahardjo, secara sosiologi, ideologi

merupakan hasil pemikiran manusia dalam merancang masa depan sebagai

respons terhadap suatu kondisi masyarakat.89 Dawam mencontohkan bahwa

88
Proyek Bimbingan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Bagi Umat
Beragama, Pedoman Pelaksanaan P4 Bagi Umat Islam, Departemen Agama RI, Jakarta,
1979/1980, hlm. 12.
89
M. dawam Rahardjo, Pembaharuan KH. Abdurahman Wahid, Kompas, Jumat, 19 Januari 2007.
adanya penjajahan dapat menimbulkan nasionalisme, kepincangan sosial

ekonomi, dan eksploitasi terhadap manusia menimbulkan sosialisme, kediktatoran

menimbulkan demokrasi.

Dengan melihat contoh yang dikemukakan Dawam tersebut, nampaknya

Pancasila sebagai ideologi timbul akibat adanya imperialisme dan adanya

berbagai kekuatan ideologi lainnya yaitu Nasionalisme, Islam, dan Komunisme.

Dilihat dari kemunculan Pancasila, karena Indonesia baru melepaskan diri

dari Penjajahan, maka dipandang perlu untuk menyusun suatu prinsip-prinsip

penting dan norma untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada saat

itu para pendiri bangsa belum memikirkan Pancasila sebagai filsafat untuk

kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana Selo Soemardjan ungkapkan,

Pada waktu Pancasila dirumuskan pada tahun 1945 maka


yang dirumuskan adalah suatu filsafat singkat yang
dimaksudkan sebagai dasar kehidupan berbangsa dana
bernegara bagi masyarakat Indonesia. Pada waktu itu belum
sempat difikirkan agar Pancasila menjadi dasar filsafat
untuk kehidupan bermasyarakat bagi para warga Negara
Republik Indonesia yang baru saja dibentuk pada waktu
itu.”90

Natsir dikenal sebagai tokoh Masyumi yang pernah menjadi perdana menteri

pada era Soekarno. Sebelumnya Natsir mengajukan Islam sebagai dasar Negara, --

bukan Pancasila dalam sidang Konstituane. Tetapi di Fakistan dalam suatu forum

90
Selo Soemardjan, Pancasila dalam Kehidupan Sosial, dalam buku : Oetojo Oesman dan Alfian
(penyunting), Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa dan Bernegara, Jakarta BP-7 Pusat, cet. ke-2, 1991hlm. 169.
The Fakistan Institute of Waord Affairs tahun 1952, Natsir mengungkapkan

pentingnya Pancasila sebagaimana dikutif Ahmad Safii Maarif,91

Begitu juga Indonesia adalah sebuah negeri Islam karena


fakta bahwa Islam diakui sebagai agama rakyat Indonesia,
sekalipun dalam konstitusi kami tidak dengan tegas
dinyatakan sebagai agama Negara. Tetapi Indonesia tidak
mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan. Bahkan ia
telah menaruhkan kepercayaan tauhid (monotheistic belief)
kepada Tuhan pada tempat teratas dari Pancasila- Lima
Prinsip yang dipegang sebagai dasar etik, moral, dan
spiritual negara dan bangsa.

Muhammad Hatta dikenal sebagai wakil presiden pertama dan dikenal

sebagai Muslim yang taat. Menurut Hatta sebagaimana dikutif Ahmad Safii

Maarif bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip pembimbing

bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip ini disebut prinsip spiritual dan etik

yang memberi bimbingan kepada semua yang baik bagi rakyat dan bangsa

Indonesia. Mungkin termasuk Tauhid dalam ajaran Islam. Sila Kemanusiaan yang

Adil dan Beradab searah dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa secara praktek.

Sila ketiga dan keempat merupakan kelanjutan dari sila kedua. Sila kelima yaitu

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesial merupakan tujuan akhir dari

ideologi Pancasila. Dengan pemhamaan tersebut Hatta nampaknya memahami

fungsi Pancasila sebagai pedoman atau filsafat dalam penyelenggaraan Negara

Indonesia bagi keselamatan Negara dan masyarakat, ketertiban dunia dan

persaudaraan antar bangsa.92

91
Ahmad Safii Maarif, hlm. 156.
92
Ibid., hlm. 158.
Hatta pun menegaskan tentang demokrasi yang berkaitan dengan sila keempat

yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan Perwakilan. Menurut Hatta demokrasi akan langgeng di

Indonesia selama Indonesia merdeka. Terdapat tiga sumber nilai secara

epistemology yang mewarnai demokrasi di Indonesia. Pertama, nilai-nilai Barat

yang menekankan kesadaran pada humanisme. Kedua, nilai-nilai Islam yang

dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Ketiga, nilai-nilai tradisional

kolektif yang terdapat di desa-desa di Indonesia.93

Pada masa Orde Baru, Pancasila tidak hanya sebagai dasar Negara tetapi juga

diarahkan untuk dihayati dan diamalkan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Melalui Tap MPR Nomor II tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila, Pemerintah Orde Baru berusaha agar masyarakat termasuk kelompok

beragama melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menurut persi

pemerintah. Menurut ketetapan MPR itu pasal 1 “Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila (P4) tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar

Negara, dan juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar Negara

sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Batang

Tubuh dan Penjelasannya.” Tetapi menurut ketetapan ini yang tercantum dalam

pasal 4 bahwa “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila merupakan

penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi

setiap warganegara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga

93
Ibid., hlm. 169.
kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di Daerah dan

dilaksanakan secara bulat dan utuh.”

Dalam penjelasann Tap MPR itu menunjukkan bahwa Pancasila sesuai

dengan ajaran-ajaran Agama termasuk ajaran Islam. Akibatnya Pemerintah dan

DPR pada tahun 1985 membuat Undang-undang yang menetapkan Pancasila

sebagai satu-satunya azas bagi organisasi Masyarakat termasuk organisasi

keagamaan.

Tetapi dalam pelaksanaannya, masyarakat termasuk kelompok keagamaan

diharuskan melaksanakan Pancasila sesuai dengan yang diinginkan atau dipahami

oleh pemerintah. Beberapa kelompok masyarakat termasuk kelompok keagamaan

tidak diperkenankan memberi penafsiran dan melaksanakan secara bebas menurut

persi masyarakat tersebut. Abdurahman Wahid berusaha mengkritisi pelaksanaan

Pancasila yang dipahami dan dilaksanakan oleh pemerintah.


BAB III
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
MAKNA PANCASILA MENURUT
PEMIKIRAN ABDURAHMAN WAHID

Untuk memahami pemikiran Abdurahman Wahid mengenai Pancasila, di

dalam bab III ini penulis menguraikan beberapa hal penting. Sesuai dengan

rumusan masalah penulis menguraikan riwayat hidup Abdurahman Wahid

termasuk pengalaman dan karya-karyanya, pemikiran Pancasila tentang Pancasila

dan implikasi pemikiran Abdurahman Wahid mengenai Pancasila dalam gerakan

keagamaan.

A. Riwayat Hidup Abdurahman Wahid

Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam

tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan

Solichah. Semula banyak orang mengira bahwa beliau lahir tanggal 4 Agustus,

tetapi karena kalendar yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah

kalendar Islam, maka beliau lahir pada 4 Sya‟ban, sama dengan 7 September

1940. Nama yang diberikan oleh orang tuanya bernama Abdurrahman Addakhil.

Dalam Bahasa Arab “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Kata “Addakhil” itu

yang disandangnya mengalami perubahan dan diganti dengan nama depan

ayahnya yaitu “Wahid”. Selain nama “Abdurahman Wahid” dia pun akrab

dipanggail dengan nama panggilan “Gus Dur”. Nama panggilan ini sesuai dengan

tradisi kehidupan pesantren. Kata “Gus” adalah panggilan kehormatan khas


pesantren kepada seorang anak kiai yang bermaksud “abang” atau “mas”. Kata

“Dur” menunjukkan panggilan singkat untuk “Abdurrahman”.

Abdurahman Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikurnia empat orang

anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus,

dan Inayah Wulandari. Yenny pernah aktif berpolitik di Partai Kebangkitan

Bangsa dan saat ini adalah direktur The Wahid Institute. Untuk mengetahui secara

lebih jauh lagi riwayat hidup Abdurahman Wahid penulis akan menguraikan

beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan beliau diantaranya, asal usul

keluarga, pendidikan, kehidupan karier, keterlibatan dalam Nahdatul Ulama,

Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur, menjadi Presiden, akhir kekuasaan,

aktivitas di PKB, menjelang pemilihan umum 2004, penghargaan dan gelar,

meninggal dan karya tulisnya.

1. Asal Usul Keluarga

Di keluarga, Gus Dur adalah putera pertama dari enam bersaudara. Wahid

lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim pesantren di

Jawa Timur. Kakek Gusdur atau ayah dari Wahid Hasyim bernama K.H. Hasyim

Asyari. Beliau adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sedengkan kakek dari ibu

bernama K.H. Bisri Syansuri. Beliau adalah pengajar pesantren pertama yang

mengajarkan kelas kepada kaum wanita.

Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim dikenal terlibat dalam Gerakan

Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj.

Sholehah, adalah puteri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.


Abdurahman Wahid mengaku bahwa beliau keturunan etnis Tionghoa.

Jelasnya Gusdur mengaku keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan

Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan

Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa,

puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri

kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais

diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan

makamnya di Trowulan.

Ketika Wahid Hasyim terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majlis Syuro

Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan sokongan

tentera Jepang yang ketika itu menduduki Indonesia yakni tahun 1944, keluarga

Wahid berpindah dari Jombang ke Jakarta. Tetapi setalah deklarasi kemerdekaan

Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap

berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.

Ketika Wahid Hasyim dilantik sebagai Menteri Agama tahun 1949,

Abdurahman Wahid pindah dan belajar di Jakarta. Dia masuk ke Sekolah Dasar

(SD) sebelum berpindah ke SD Matraman Perwari. Selama belajar di sekolah

Wahid tidak hanya belajar buku agama tetapi Wahid juga diajarkan membaca

buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas

pengetahuannya. Walupun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada

tahun 1952, Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya. Pada April

1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan di Bandung setelah

menghadiri acara NU di Sumedang.


2. Pendidikan

Pada tahun 1954 Wahid meneruskan pendidikan dan masuk ke Sekolah

Menengah Pertama. Menurut keterangan beberapa sumber bahwa pada tahun itu,

Gusdur tidak naik kelas. Ibunya kemudian mengirim beliau ke Yogyakarta untuk

meneruskan pendidikannya. Setelah lulus dari SMP tahun 1957, Wahid pindah ke

Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Gusdur

mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan

pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).

Pendidikan Wahid dilanjutkan ke Pesantren Tambakberas di Jombang pada

tahun 1959. Di sana, Abdurrahman Wahid tidak hanya belajar tetapi juga

menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kemudian sebagai mudir

madrasah. Gus Dur juga pernah bekerja sebagai jurnalis majalah seperti Horizon

dan Majalah Budaya Jaya.

Pada tahun 1963 Abdurahman Wahid melanjutkan pendidikan di luar negeri

setelah Wahid menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar di

Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Wahid pergi ke Mesir pada November

1963. Walaupun beliau mahir berbahasa Arab, tetapi Gus Dur diberitahu oleh

Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan

bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa dia memiliki

kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial.

Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964 selain

kegiatan belajar dia juga menonton film Eropa dan Amerika, dan menonton sepak

bola. Abdurahman Wahid juga terlibat dengan Persatuan Pelajar Indonesia dan
menjadi jurnalis majalah persatuan tersebut. Pada akhir tahun, Abdurahman

Wahid dinyatakan lulus kelas remedial Bahasa Arabnya.

Tahun 1965, ketika Abdurahman Wahid memulai belajar tentang Islam dan

bahasa Arab. Di Mesir, Wahid pernah bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Pada

saat itu peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Mayor Jenderal Suharto

menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan Komunis. Sebagai bagian

dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk

melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan

kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan

menulis laporan.

Wahid mengalami kegagalan belajar di Mesir. Pada tahun 1966, Wahid

diberitahu bahwa beliau harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur

diselamatkan melalui beasiswa di Universiti Baghdad. Wahid pindah ke Irak dan

menikmati lingkungan barunya. Meskipun beliau lalai pada awalnya, tetapi Wahid

dengan cepat dapat menyesuaikan diri dalam cara belajarnya. Wahid juga

meneruskan keterlibatannya dalam Persatuan Pelajar Indonesia dan juga menulis

majalah Persatuan tersebut.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970,

Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid

ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa kerana pendidikannya di

Universitas Baghdad kurang diakui. Akibatnya Wahid pergi ke Jerman dan

Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.


3. Kehidupan Karier Awal

Abdurahman Wahid kembali ke Jakarta dengan berharap akan pergi ke luar

negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Tetapi Wahid membuat

dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan

Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yang terdiri dari kaum

intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah

yang disebut Prisma dan Wahid menjadi salah seorang penulis di majalah

tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid juga berkeliling

pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras

mendapatkan pembiayaan dari pemerintah dengan cara menyesuaikannya dengan

kurikulum pemerintah.

Wahid merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional

pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan

kemiskinan pesantren yang dia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka

membujuk pesantren mengyesuaikannya dengan kurikulum pemerintah,

pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu

pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Wahid memilih untuk

membatalkan niatnya untuk belajar di luar negeri dan lebih memilih

mengembangkan pesantren.

Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai jurnalis, menulis untuk

majalah Tempo dan Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan dia mulai

mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitasnya itu,

Wahid memperoleh banyak undangan untuk memberikan kuliah dan sebagai


pembicara pada acara seminar. Akibatnya Wahid harus bulak balik antara Jakarta

dan Jombang. Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gus Dur

masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencarian dan dia bekerja untuk

mendapatkan pendapatan tambahan dengan berdagang kecil-kecilan.

Pada tahun 1974, Wahid mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai

guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik.

Setahun kemudian, Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab

Al Hikam.

Pada tahun 1977, Wahid bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai

dekan Fakultas Ushuluddin dan Syariah. Wahid ingin mengajar mata kuliah

tambahan seperti Tarbiyah, Syariah dan Dakwah. Namun, kelebihannya

menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebahagian kalangan universitas dan

Wahid mendapat rintangan untuk mengajar mata kuliah tersebut.

4. Keterlibatan dalam Nahdatul Ulama

Abdurahman Wahid diminta untuk memainkan peranan aktif dalam

menggerakkan NU oleh kakeknya KH. Bisri Syansuri. Permintaan ini berlawanan

dengan aspirasi Gus Dur sebagai seorang intelektual publik dan dia dua kali

menolak tawaran bergabung dengan Pengurus Suriyah NU. Namun, Wahid

akhirnya bergabung dengan pengurus tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri,

memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga

memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai

anggota Suriyah, Wahid menunjukkan kiprahnya sebagai seorang pembaharu NU.


Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik

pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk

Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai

hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa Pemerintah

mengganggu kempennya PPP dengan menangkap orang seperti dirinya. Namun,

Wahid selalu berhasil lepas kerana memiliki hubungan dengan orang penting

seperti Jeneral Benny Moerdani.

Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam

keadaan stagnasi. Setelah berdiskusi, Pengurus Suriyah akhirnya membentuk

Kelompok Tujuh (termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan

membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk

perubahan pengurus. Menurut beberapa sumber menyebutkan bahwa pada 2 Mei

1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan

meminta agar dia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era

transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya

mundur karena tekanan.

Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan

menemuinya, lalu Wahid mengatakan bahwa permintaan mundur tidak

konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya

dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara

Idham dan orang yang meminta kemundurannya .

Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa

jabatan ke-4 oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil
langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983

hingga Oktober 1983, Wahid menjadi sebahagian dari kelompok yang ditugaskan

untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut.

Wahid berkonsultasi dengan berbagai tokoh NU dan akhirnya, pada Oktober

1983, dia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi

Negara. Pada saat itu dengan gencarnya Pemerintah sedang melaksanakan

program P4 kepada masyarakat termasuk organisasi masyarakat. Untuk lebih

menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP. Hal ini

dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat

dengan terlibat dalam politik.

Reformasi Wahid membuatnya sangat popular di kalangan NU. Pada saat

Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan

mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid menerima

nominasi ini dengan syarat dia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih

para pengurus yang akan bekerja di bawahnya.

Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada

Musyawarah Nasional tersebut. Namun demikian, persyaratannya untuk dapat

memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari terakhir

Munas, daftar anggota pengurus sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat

tinggi NU termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham Chalid. Wahid sebelumnya

telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan

diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia Munas, yang bertentangan dengan

Idham, mengumumkan sebuah daftar yang berbeda kepada para peserta Munas.
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rejim Orde Baru. Penerimaan

Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya

disukai oleh pejabat pemerintahan.

Pada tahun 1985, Suharto menjadikan Gus Dur penatar Pancasila. Pada tahun

1987, Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rejim

tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan

memperkuat Partai Golkar Suharto. Dia kemudian menjadi anggota MPR

mewakili Golkar. Meskipun dia disukai oleh rejim, Wahid mengkritik pemerintah

kerana proyek Waduk Kedung Ombo yang dibiayai Bank Dunia. Hal ini

merenggangkan hubungan Wahid dengan pemerintah, namun saat itu Suharto

masih mendapat dukungan politik dari NU.

Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem

pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan

pesantren sehingga dapat menandingi sekolah umum. Gus Dur juga mendirikan

kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur tahun 1987, untuk menyediakan

forum individu sependirian dalam NU dan untuk mendiskusikan dan menyediakan

interpretasi teks Muslim.

Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada

Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam

pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk

mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim

Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini

didukung oleh Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan di dalamnya
terdapat intelektual Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai

anggota.

Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus

Dur menolak karena dia menduga ICMI mendukung sektarianisme dan akan

membuat Soeharto tetap kuat. Pada tahun itu Wahid melawan ICMI dengan

membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari

pelbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh

pemerintah dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum

Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.

Pada Maret 1992, Gus Dur mengatur rencana mengadakan Musyawarah

Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan

dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh

paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, kenyataannya acara itu dihadiri

sekitar 200.000 orang, karena banyak bis lainnya yang berisi warga NU

diperintahkan polisi untuk kembali ke daerahnya masing-masing ketika mereka

tiba di Jakarta.

Setelah selesai acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto

menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka,

adil dan toleran. Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus

Dur mulai mengubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua,

Gus Dur terus mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan

mengunjungi Israel pada Oktober 1994.


Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur dicalonkan menjadi

pengurus Besar NU untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin

agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung

Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya

kembali Gus Dur.

Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh

ABRI dalam tindakan intimidasi. Menurut beberapa sumber terdapat juga usaha

menyuap anggota NU untuk tidak memilih Gus Dur. Namun, Gus Dur tetap

terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur

memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi

Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki

popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rejim Soeharto.

Wahid menasihati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai

Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati tidak menghiraukannya dan

harus membayar mahal ketika pada 27 Juli 1996 markas PDI diambil alih oleh

pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah, Soerjadi.

Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak

pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan beberapa bulan berikutnya

diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada tahun

1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur. Pada saat yang sama,

Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan

pada Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis

terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.


Julai 1997 merupakan awal dari krisis Keuangan Asia. Soeharto mulai

kehilangan dukungan dari luar di saat situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk

melakukan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun dia terkena stroke

pada Januari 1998. Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi terus memburuk

dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang

menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam

mahasiswa di Universitas Trisakti.

Pada tanggal 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama dengan delapan pemimpin

penting dari komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto. Soeharto

memberikan konsep Komite Reformasi yang dia usulkan. Sembilan pemimpin

tersebut menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki

pendirian yang lebih moderat dengan Soeharto dan meminta demonstran berhenti

untuk melihat apakah Soeharto akan menepati janjinya. Hal tersebut tidak disukai

Amien, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling kritis pada saat itu. Namun,

Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998. Wakil

Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.

5. Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur

Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik baru.

Di bawah rejim Soeharto, hanya terdapat tiga perti politik: Golkar, PPP dan PDI.

Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik mulai terbentuk, diantaranya

Partai Amanat Nasional (PAN) dipimpin Amien dan Partai Demokrasi Indonesia-

Perjuangan (PDI-P) dipimpin Megawati.


Pada Jun 1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur

membentuk partai politik baru. dIa tidak langsung mengimplementasikan ide

tersebut. Namun pada Julai 1998 Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena

mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar

dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan PKB dan menjadi salah

satu Deklarator PKB. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur

menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang.

Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur, bersama

dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan

komitmen mereka untuk reformasi. Peristiwa itu ditindaklanjuti oleh sikap PKB

beberpa bulan kemudian tepatnya pada 7 Februari 1999 bahwa PKB secara rasmi

menyatakan Gus Dur sebagai calon presiden.

6. Menjadi Presiden

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB

memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan

kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan

presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas

penuh di DPR, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais

membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai

menominasikan Gus Dur sebagai calon ketiga pada pemilihan presiden dan

komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.


Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara rasmi menyatakan

Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR

menolak pidato pertanggungjawaban Habibie. Habibie pun mundur dari pemilihan

presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur.

Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden

baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4

dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.

Tidak senang kerana calon mereka gagal memenangkan pemilihan,

pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur merangkul bahwa Megawati harus

terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak

ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung

Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21

Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan

mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.

Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi

yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN,

dan Partai Keadilan (PK). Non-partai dan TNI juga ada dalam kabinet tersebut.

Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi

pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan. Reformasi kedua adalah

membubarkan Departemen Sosial yang dianggap sarang korupsi.


Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN,

Jepang, Amerika Syarikat, Qatar, Kuwait, dan Jorda. Setelah itu, pada bulan

Desember, beliau mengunjungi Republik Rakyat China.

Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum

ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor

Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang damai terhadap Aceh

dengan mengurangi jumlah anggota tentara di Negeri Serambi Mekah tersebut.

Pada 30 Disember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya.

Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-

pemimpin Papua bahwa dia mendorong penggunaan nama Papua.

Selama masa kepemimpinannya Gus Dur melakukan perjalanan ke luar

negeri. Perajalanan itu dia lakukan untuk mempublikasikan dan menjaga keutuhan

Negara dari gangguan eksternal.

Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan

Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah

menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2000.

Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang

melarang Marxisme-Leninisme dicabut. dia juga berusaha membuka hubungan

dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia.

Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia,

kepada parlimen Palestina tahun 2000.

Isu lain yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada Yayasan Shimon

Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang
penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar

Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti.

Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan

Bruneigate. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan

bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus

Dur mengaku bahwa ida dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang.

Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat

dalam skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate.

Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk

dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk

membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana

tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate. Namun secara hukum, Jaksa

Agung mengumumkan bahwa skandal tersebut tidak terbukti.

Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena

keadaan di sana semakin memburuk. Pada bulan yang sama, bendera Bintang

Kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera Bintang

Kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Merah Putih. Dia dikritik oleh

Megawati dan Akbar karena hal ini.

Pada 24 Disember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di

Jakarta dan beberapa kota lainnya di seluruh Indonesia. Peristiwa pembakaran

Gereja-Gereja tersebu kerap menimbulkan saling curiga di kalangan penganut

Agama termasuk penganut Islam, Katolik dan Protestan.


Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek)

menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan

penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika Utara dan juga

Arab Saudi untuk naik haji. Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan

terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika dia

mengunjungi Australia.

7. Akhir Kekuasaan

Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan

Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukkan kekecewaannya adalah

Amien Rais. Dukungan Amien terhadap anggota DPR terbukti pada akhir

November, 151 DPR menandatangani petisi yang meminta pengunduran Gus Dur.

Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus

Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Dia lalu

mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi. Pertikaian tersebut

menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk

mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang

Khusus MPR dimana pemberhentian Presiden dapat dilakukan.

Anggota PKB hanya bisa walk out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga

menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes

di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya

mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara

dengan demonstran di Pasuruan. Namun, demonstran NU terus menunjukan


dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa

mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden hingga mati.

Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba menanggapi oposisi dengan mengganti

beberapa menteri pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia

Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena dia mengumumkan permintaan

agar Gus Dur mundur.

Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda

visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan dianggap

tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut

dalam aksi menuntut Gus Dur mundur.

Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir

dalam pelantikan penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota

kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus. Gus Dur

mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan

(Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan

darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya

beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2009.

Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa

MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentera di Jakarta dan

juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk

penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit

yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan

rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan
Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun

dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Julai, MPR secara resmi

mencabut jabatan Presiden Abdurahman Wahid dan menggantikannya dengan

Megawati Sukarnoputri.

Abdurrahman Wahid terus bersikap keras bahwa dia adalah presiden dan

tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal

25 Juli beliau meninggalkan Istana dengan celana pendek (pakain tidur) dan pergi

ke Amerika Serikat untuk mengatasi masalah kesehatannya.

8. Setelah tidak Menjadi Presiden

Setelah tidak menjabat lagi Presiden Gusdur masih menjadi Ketua Dewan

Syuro PKB. Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6% suara.

Untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004, di mana

rakyat akan memilih secara langsung. PKB memilih Wahid sebagai calon

presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi

Pemilihan Umum menolak memasukannya sebagai calon.

Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah seorang pemimpin koalisi politik

yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno,

Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati. Koalisi ini mengkritik kebijakan

pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama mengenai pencabutan

subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.


9. Penghargaan dan Gelar

Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah

penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership. Wahid

dinobatkan sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang

di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai

kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004.

Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan penghargaan

Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Penghargaan ini diberikan oleh

Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dinilai memiliki semangat, visi, dan

komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak,

semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur dipilih oleh dewan

juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The

Jakarta Post yakni Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra

Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan bagi Gus Dur

menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu. Seorang

wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti

Pornoaksi dan Pornografi, dia menerima penghargaan tersebut. Sementara

wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan

wartawan The Jakarta Post membantah dan mempertanyakan hubungan

perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan kebebasan pers.

Gus Dur mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah

yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat

penghargaan tersebut karena menurut mereka dia merupakan salah satu tokoh
yang peduli terhadap persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari

Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki

keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat

beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat

terpasung selama era orde baru. Wahid juga memperoleh penghargaan dari

Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi

Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.

Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris

Causa) dari berbagai lebaga pendidikan: Doktor Kehormatan bidang Filsafat

Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000), Doktor

Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000),

Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan

Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris,

Prancis (2000). Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok,

Thailand (2000). Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000).

Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000). Doktor

Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002). Doktor

Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003). Doktor

Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan

(2003). Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan

(2003).
10. Meninggal

Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Disember 2009, di Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit

tersebut, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat dia harus menjalani

hemodialisis (cuci darah) rutin.

Abdurahman Wahid dimakamkan di komplek pesantren Tebu Ireng Jombang

Jawa Timur. Pada saat upacara pemakaman yang dihadiri ribuan orang dari

berbagai kalangan termasuk etnis dan agama, dan dipimpin oleh Presiden Susilo

Bambang Yudoyono, Presiden SBY mengucapkan selamat jalan dan

menyebutkan “Bapak Pluralisme” bagi Abdurahman Wahid.

11. Karya Tulis

Tulisan-tulisan Abdurahman Wahid sebagai karya tulisnya telah dibukukan

dalam beberapa buku, diantaranya Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta:

Lappenas. 1981; Gusdur Diadili Kyai, Surabaya,1996; Tuhan Tidak Perlu Dibela,

Shaleh Isre (ed). LkiS, Yogyakarta, 2000; Pergulatan Negara, Agama, dan

Kebudayaan. Jakarta: Desantara, 2001; Islamku, Islam Anda, Islam Kita Agama

Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, dan banyak

lagi tulisan-tulisan yang dimuat di buku-buku lainnya yang berbentuk “Kata

Pengantar” dan di surat kabar.


B. Pemikiran Pancasila Menurut Abdurahman Wahid

Pada saat pemerintahan Suharto memasuki dua dekade dan setelah

Abdurahman Wahid menjabat Ketua PB NU, Abdurahman Wahid mengakui

bahwa Pancasila merupakan kesepakatan luhur diantara berbagai golongan yang

ada di Indonesia.94Ungkapan tersebut sudah dinyatakan sebelumnya oleh PB NU

yaitu 1985 bahwa NU mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam

kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Kesepakatan luhur yang dipahamai Wahid itu merupakan upaya sungguh-

sungguh yang telah dilakukan oleh para pendiri bangsa Indonesa yang berbeda

latar belakang termasuk etnis, agama, kepercayaan dan kelompok sosial politik

lainnya dalam merumuskan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat

mendirikan negara Indonesia. Kesepakatan itu melalui proses perdebatan yang

cukup dinamis dan memerlukan energi pemikiran yang luar biasa diantara mereka.

Upaya untuk merumuskan Pancasila sebagai suatu kesepakatan luhur itu berkaitan

dengan upaya menemukan konsep dasar negara yang sesuai dengan kehidupan

bangsa Indonesia.

Konsep dasar negara yang berbentuk ideologi itu adalah suatu jawaban dari

problema kebangsaan di Indonesia yang masih mengalami kekosongan ideologi

secara formal di saat pendirian negara. Pilihan Pancasila sebagai ideologi yang

dianggap sebagai kesepakatan luhur ini secara istilah berbeda dengan istilah lain

94
Abdurahman Wahid, Pancasila sebagai ideologi dalam kaitannya dengan kehidupan Beragama
dan Berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Makalah seminar yang dilaksanakan oleh
kelompok studi Pengembangan Pemikiran Pancasila dan UUD 1945 BP-7 Pusat pada tanggal 24-
26 Oktober 1989 di Jakarta. Dibukukan Oetojo Oesman dan Alfian (penyunting), Pancasila
sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara,
Jakarta BP-7 Pusat, cet. ke-2, 1991. hlm. 163.
yang terdapat di luar Indonesia seperti ideologi Kapitalis, Komunis, dan

Monarkis, walaupun diantara perumus Pancasila memiliki ideologi partai seperti

nasionalisme, Islamisme, sosial demokrat, komunisme dan tradisionalisme,

sehingga pantas kesepakatan itu disebut sebagai kesepakatan luhur.

Dengan kata lain, Abdurrahman Wahid memahami Pancasila adalah sebuah

kesepakatan politik memberi peluang bagi bangsa Indonesia untuk

mengembangkan kehidupan nasional yang sehat di dalam sebuah negara kesatuan.

Namun, dia masih melihat adanya sejumlah ancaman terhadap konsepsi Pancasila

sebagai yang diharapkannya.

1. Posisi Pancasila

Menurut Wahid Pancasila sebagai kesepakatan luhur itu mesti ditempatkan

pada posisi yang jelas. Apabila posisi Pancasila tidak jelas maka Pancasila akan

kurang berfungsi bagi masyarakat dan umumnya warga bangsa. Sebagaimana

Wahid ungkapkan,

Pancasila adalah kesepakatan luhur antara semua golongan yang


hidup di tanah air kita. Namun, sebuah kesepakatan seluhur apa
pun, tidak akan banyak berfungsi jika tidak didudukan dalam
status yang jelas.95

Kemudian Wahid melihat Pancasila dirumuskan sebagai ideologi bangsa dan

falsafah negara. Di satu sisi setiap warga negara terikat secara ketentuan oleh

Pancasila. Pancasila dapat mengatur atau referensi pandangan hidup dan sikap

warga negara dalam kehidupan berbangsan dan bernegara. Pancasila tidak

95
Ibid.
dipahami secara sepotong-sepotong atau tidak utuh dalam memahami sila-sila

yang terdapat dalam Pancasila. Wahid menjelaskan Posisi Pancasila,

Karenanya, kesepakatan luhur bangsa kita itu akhirnya


dirumuskan sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara. Ideologi
bangsa, artinya setiap warga negara Republik Indonesia terikat
oleh ketentuan-ketentuannya yang sangat mendasar yang tertuang
dalam sila yang lima. Pandangan hidup dan sikap warga negara
secara keseluruhan harus bertumpu pada Pancasila sebagai
keutuhan, bukan hanya sekedar masing-masing sila. 96

Di sisi lain Wahid melihat Pancasila dipahami sebagai kerangka berfikir.

Kerangka berfikir ini digunakan dalam menyusun undang-undang dan berbagai

hukum-hukum yang dihasilkan, baik kebijakan pemerintah, wakil rakyat maupun

lembaga hukum itu sendiri. Wahid menjelaskan posisi Pancasila itu adalah,

Sebagai falsafah negara, Pancasila berstatus sebagai kerangka


berfikir yang harus diikuti dalam menyusun undang-undang dan
produk-produk hukum yang lain, dalam merumuskan kebijakan
pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal antara
lembaga-lembaga dan perorangan yang hidup dalam kawasan
negara ini. Tata pikir seluruh bangsa ditentukan lingkupnya oleh
sebuah falsafah yang harus terus menerus dijaga keberadaan dan
konsistensinya oleh negara, agar kontinuitas pemikiran
kenegaraan yang berkembang juga akan terjaga dengan baik.97

Ketika posisi Pancasila dipahami sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara

tersebut, Wahid melihat adanya ketidak-jalasan perannya dalam kehidupan

bermasyarakat terutama dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa. Wahid melihat adanya cara pandang yang berbeda antara

agama dan Pancasila. Di satu sisi Agama memiliki wawasan universal, di sisi lain

Pancasila memiliki wawasan hanya dalam lingkup Indonesia (nasional), sehingga

96
Ibid.
97
Ibid.
Agama mendapat kesulitan apabila dipahami hanya sebatas lingkup nasional.

Sebagaimana Wahid ungkapkan,

Justeru dalam status sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara


inilah dirasa adanya tumpang tindih antara Pancasila dengan
sebagian sisi-sisi kehidupan beragama dan berkepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa memiliki lingkup masing-masing
yang berjangkauan universal, berlaku seluruh ummat manusia,
sehingga terasa sulit untuk dibatasi hanya pada ”sisi ke-
Indonesia-an” belaka.98

Selain ciri universal, agama juga menurut Wahid memiliki ciri khusus yaitu

ekslusivistik. Agama memiliki pemahaman kebenaran mutlak yang berbeda

dengan pemahaman lainnya, termasuk dalam masing-masing agama. Setiap

agama tidak bisa disamakan dengan agama atau kepercayaan lainnya. Berkaitan

dengan sifat agama tersebut Wahid mengungkapkan sebagai berikut,

Hal ini langsung tampak dalam upaya Pancasila untuk


menekankan sisi kelapangan dada dan toleransi dalam kehidupan
antara ummat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Jelas setiap agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa memiliki visi eksklusivistiknya sendiri, di
samping visi universal yang mempersamakan semua agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.99

Dalam tulisan lain Wahid menjelaskan bahwa penghadapan Islam kepada

Pancasila adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, karena menghadapkan

sesuatu yang bersifat umum kepada pandangan yang bersifat khusus.” 100 Lebih

jauh Wahid menyebutkan, ”Kalau itu diteruskan berarti rasionalitas telah

ditiinggalkan, dan hanya emosi yang menendalikan pandangan hidup kita. ”

98
Ibid.
99
Ibid.
100
Abdurahman Wahid, Negara Berideologi Satu, Bukan Dua, dalam Buku Islamku, Islam Anda,
Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, hlm. 90.
Wahid mengajukan bahwa Pancasila semestinya membatasi diri dalam batas-

batas tertentu dalam pengaturan kehidupan beragama dan berkepercayaan.

Sebagaimana Wahid ungkapkan, ”Dalam keadaan demikian banyak kalangan

agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa melihat adanya

keharusan bagi Pancasila untuk membatasi diri dalam batas-batas minimal untuk

pengaturan kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa.”101

Secara kongkrit, menurut Wahid posisi Pancasila dapat dipahami sebagai

”polisi lalu lintas kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa”. Peran pengaturan merupakan peran yang diharapkan untuk

menciptakan kondisi yang tertib dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan.

Tetapi peran tersebut memerlukan pengatur dan aturan yang tegas dan adil.

Sebagaimana menurut Wahid ungkapkan,

Dengan demikian, Pancasila diharapkan berperan sebagai ”polisi


lalu lintas” kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa belaka. Kesulitan yang dirasakan dalam
mempertimbangkan ini adalah kenyataan, bahwa pengaturan lalu-
lintas memerlukan aturan yang disepakati dan ditunduki bersama,
dan itu berarti harus ada pihak yang membuat aturan itu.102

2. Fungsi Pancasila

Selanjutnya Wahid menjelaskan fungsi Pancasila dalam kehidupan beragama

dan berkpercayaan. Menurut Wahid Pancasila mesti diwujudkan dalam membuat

aturan dalam mengatur kehidupan beragama dan berkepercayaan. Wahid

menjelaskan bahwa Pancasila harus mengatur kehidupan bermasyarakat tanpa

101
Abdurahman Wahid, Pancasila…, hlm. 164.
102
Ibid.
mengganggu kebebasan kehidupan beragama dan berkepercayaan. Sebagaimana

beliau ungkapkan,

Fungsi Pancasila lalu jelas harus terwujud juga dalam membuat


aturan permainan antara ummat beragama dan berkepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan ungkapan lain fungsi
minimal itupun memerlukan batasan-batasan minimalnya sendiri,
yang tidak boleh ditundukkan kepada kehendak agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Tugas
kita sebagai bangsa saat ini justeru adalah menemukan garis batas
yang jelas, mana yang wewenang Pancasila tanpa mengganggu
kebebasan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Sebuah contoh dapat dikemukakan dalam hal ini.
Agama Islam mengajarkan bahwa Islam adalah satu-satunya
agama yang benar di sisi Allah. Karenanya, banyak kalangan
kaum Muslimin yang tidak dapat menerima adanya persamaan
agama (umumnya tertuang dalam pernyataan bahwa ”semua
agama adalah sama”). Kalau Pancasila memaksakan persamaan
mutlak seperti tergambar dalam pernyataan di atas, tentunya
independensi Islam sebagai agama lalu menjadi terganggu.
Sebaliknya, jika Pancasila mampu menemukan titik temu dalam
pandangan yang saling berbeda itu dengan sendirinya ia berperan
menjadi jembatan penghubung tanpa mengganggu kedaulatan
theologis masing-masing. Rumusan seperti ”semua agama
diperlakukan sama di muka Undang-undang dan diperlakukan
sama oleh negara” mungkin akan lebih mengena dalam hal ini .
Gambaran posisi Pancasila seperti dikemukakan di atas dengan
sendirinya lalu membawakan ketegangan kreatifnya sendiri bagi
(dan dalam) kehidupan bangsa kita.103

Wahid menyarankan bahwa apabila Pancasila dapat diterima, apabila hal itu

dilakukan, maka perbedaan antara wawasan agama dan kepercayaan dengan

Pancasila jangan ditutup-tutupi. Proses penerimaan Pancasila ini di satu sisi

menimbulkan konvergensi (tindakan bersatu dalam satu tempat atau waktu) dan di

sisi lain adanya divergensi (perbedaan pendapat) dari wawasan kedua pemahaman

itu, sehingga menimbulkan ketidakjelasan posisi strategis Pancasila dalam

kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tetapi apabila tidak ditutup-

103
Ibid.
tutupi wawasan Pancasila dan Agama akan menimbulkan titik strategis dalam

mengatasi persoalannya. Sebagaimana Wahid ungkapkan,

Tidak selayaknya hal itu dicoba untuk ditutup-tutupi dengan


rumusan-rumusan kabur yang menjauhkan kita dari inti persoalan
adanya perbedaan antara wawasan Pancasila dan Wawasan
agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sikap untuk menonjolkan konvergensi wawasan dan menutup-
nutupi divergensi pandangan antara Pancasila dan agama-agama
yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
justeru akan mengaburkan posisi strategis Pancasila dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Dalam upaya mengenal divergensi pandangan antara Pancasila di
satu pihak dan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
yang Maha Esa itu, dalam uraian selanjutnya akan dikemukakan
beberapa titik strategis yang memerlukan pemecahan. Pengenalan
masalah terlebih dahulu harus dilihat dari latar belakang yang
berbeda-beda antara agama yang saling berlainan.104

Wahid mencontohkan pengertian kata ”esa” dapat difahami yang berbeda-

beda oleh masing-masing penganut agama. Sebagaimana Wahid ungkapkan,

”Pengertian kata ”Esa” yang digunakan baik dalam Pancasila maupun dalam

Undang-undang Dasar 1945, tentunya akan difahami secara berlainan oleh agama

yang saling berbeda itu.”105 Secara lebih jelas Wahid mencontohkan perbedaan

pendapat dalam proses penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya azas dalam

kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat dalam kasus di Katolik dan

Kristen. Menurut Wahid bahwa,

Sisi lain dari masalah ini adalah kenyataan, bahwa titik


divergensi antara wawasan Pancasila dan pandangan agama-
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa ternyata
berbeda dari satu ke lain agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Bagi agama Nasrani (Katholik dan Kristen),
masalah pokok yang dihadapi dalam kaitannya dengan Pancasila
terletak pada titik kelembagaan. Benarkah Pancasila merupakan
sumber dari segala sumber, dalam artian meniadakan tempat

104
Ibid. hlm. 165.
105
Ibid.
gereja sebagai sumber keputusan keagamaan?. Jawabannya tentu
tergantung pada hingga dimana batas keputusan keagamaan dapat
diterima. Gereja harus menentukan sikap keagamaan, namun
yang memiliki dimensi serba bagai (termasuk dimensi politik),
tetapi dimanakah dimensi-dimensi itu harus disesuaikan dengan
rumusan formal yang dibuat oleh negara, semisal garis-garis
besar Haluan Negara (GBHN)?. Karena hal inilah penerimaan
kalangan agama Nasrani atas gagasan penerimaan asas tunggal
Pancasila yang dilontarkan Presiden/Mandataris MPR-RI dicapai
hanya setelah melalui pembahasan sangat alot baik secara
internal maupun dengan pihak pemerintah. Masalah pokoknya
yurisdiksi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara
atas gereja, haruskah ia menghilangkan hak-hak gereja dan
ummat untuk menentukan keputusan keagamaannya sendiri?.
Setelah para pemimpin gereja yakin dengan tetap utuhnya
kedaulatan theologis masing-masing secara internal, barulah
penerimaan atas Pancasila sebagai satu-satunya asas dapat
dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab.106

Contoh lainnya Wahid memaparkan kasus dalam kelompok muslim. Menurut

Wahid dalam proses penerimaan Pancasila di kalangan kelompok Muslim terdapat

ketegangan antara kelompok Muslim dan pemerintah. Tetapai setelah adanya

kejelasan dari pihak pemerintah mengenai fungsi Pancasila maka kelompok

Muslim menjadi paham, sehingga muncullah kesepakantan diantara kedua belah

pihak. Sebagaimana Wahid ungkapkan.

Islam tidak mengenal pembedaan antara wewenang kenegaraan


dan wewenang keagamaan. Karenanya, secara kelembagaan
Islam justeru mengundang peranan negara dalam kehidupan
kaum muslimin. Semakin banyak soal ummat Islam diurus oleh
pemerintah, semakin baik menurut sudut pandangan ini. Masalah
yang timbul justeru adalah tentang orientasi yang dimiliki oleh
langkah-langkah yang diambil negara. Akankah status Pancasila
sebagai ”sumber segala sumber” berarti Pancasila bebas
menggantikan ajaran-ajaran agama yang sudah baku dengan
sesuatu yang tidak bersesuaian dengan ajaran Islam?. Jika itu
terjadi, bukankah berlaku sekuralarisme, sesuatu yang secara
mutlak ditolak oleh ajaran Islam?. Ajaran-ajaran Islam telah
dikongkretkan menjadi hukum-hukum agama (fiqh), haruskah
warisan demikian berharga itu dibuang begitu saja, untuk
digantikan oleh Pancasila dengan hal-hal lain yang diambil dari

106
Ibid. 165-166.
‟luar‟?. sedangkan Allah berfirman, ”Barang siapa
menghukumkan tidak dengan apa yang diturunkan Allah, orang
itu (termasuk kaum) zalim”. Bagaimana tidak langsung sekalipun
penggunaan ajaran agama sebagai referensi bagi Pancasila, Islam
harus diupayakan menjadi nilai-nilai dasar yang ditarik dari
Pancasila dan UUD 1945. Penerimaan atas Pancasila sebagai
satu-satunya asas oleh berbagai komponen gerakan Islam baru
dapat dilakukan oleh kesemua organisasi, setelah ada kejelasan
sikap pemerintah sendiri terhadap Pancasila. Pancasila bukanlah
agama, tidak akan diagamakan dan tidak berfungsi menggantikan
(kedudukan) agama. Dalam rationale yang diajukan oleh
kalangan ulama dijelaskan, bahwa Pancasila secara kualitatif
berbeda dari agama, karena ia tidak diturunkan sebagai wahyu.
Dengan demikian, ia tidak memiliki dimensi keakthiratan,
sehingga semua produk hukum dan tindakan yang didasarkan
atas Pancasila hanyalah merupakan sesuatu yang duniawi semata-
mata. Secara teoritik, status Pancasila sebagai satu-satunya asas,
sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara, tidaklah mengancam
fupremasi theologis dari kebenaran yang dibawakan oleh agama.
Dengan ungkapan lain, Pancasila tidak dapat dibandingkan (baik
disejajarkan maupun dipertentangkan) dengan agama, karena ia
tidak memiliki sisi keberadaan dirinya sebagai kebenaran mutlak,
sesuatu yang dimiliki oleh agama.107

Pada tahun 1984, Pemerintah Orde Baru berprinsip bahwa asas tunggal

dijadikan ukuran pokok, termasuk bagi organisasi semacam Nahdlatul Ulama.

Menurut Abdurahman Wahid, ”masalahnya sederhana, pemerintah ingin

kokohnya negara kesatuan Republik Indonesia ini. Artinya negaranya tegak,

pemerintahan kuat, dan tidak banyak terguncang-guncang lagi.”108

Tetapi setelah diterimanya Pancasila oleh para penganut agama tidak berarti

bahwa Pancasila tidak ada masalah. Nilai-nilai agama dan kepercayaan yang

memiliki nilai universal tidak mungkin diberlakukan semuanya dalam konteks

Indonesia. Sebagaimana Wahid ungkapkan dalam sebuah tulisan tentang Islam

dan negara,

107
Ibid. hlm. 167.
108
Abdurahman Wahid. Sebuah Dialog Mencari Kejelasan - Gusdur Diadili Kyai. Cet. ke-1.
Surabaya, Jawa Pos. 1989, hlm. 93.
Walaupun secara sepintas lalu telah tercapai rekonsiliasi definitif
antara Islam dan negara, dalam hal ini terutama dengan ideologi
Pancasila, namun bukan berarti bahwa permasalahan hubungan
antara Islam dan negara di negeri kita telah terselesaikan secara
tuntas. Sebuah sisi dari hubungan itu masih memungkinkan
timbulnya friksi antara kepentingan kaum muslimin dan
kepentingan negara. Sisi itu adalah senjangnya watak yang
dimiliki keduanya, Islam sebagai agama memberlakukan nilai-
nilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif para
pemeluknya, sedangkan negara seperti Republik Indonesia tidak
akan mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima
oleh semua warga negara, yang berasal dari agama dan
pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain, tidak semua
nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh Islam dapat diberlakukan
dalam kehidupan bernegara kita di negeri ini.109

Pihak Pemerintah dituntut bersikap adil dan dapat dipercaya dalam memahami

Pancasila. Wahid mencontohkan ketika munculnya Undang-undang Peradilan

Agama yang dapat menimbulkan ketidakadilan di luar kalangan Muslim.

Sebagaimana Wahid jelaskan,

Pemahaman yang demikian atas status Pancasila dalam


kehidupan bangsa sebenarnya merupakan sesuatu yang masih
problematik. Dalam kasus perkawinan berlainan agama,
misalnya, jelas Islam menentang perkawinan antara wanita
muslimah dengan pria non muslim, sesuai dengan perintah Al-
Qur‟an. Bukanlah Pancasila harus menjawab pertanyaan apa
pandangannya tentang keputusan agama seperti itu. Akan
dilarang untuk seterusnya, demi mengikuti ajaran yang sudah
dibakukan dalam Islam itu, berarti mengabaikan kebutuhan akan
pengaturan hal itu secara definitif, mengingat hal itu telah terjadi
secara cukup luas dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini.
Dengan adanya pengundangan hukum waris Islam melalui
Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) yang akan disyahkan
tidak lama lagi, lalu timbul kebutuhan akan kepastian hukum
anak yang dilahirkan dalam perkawinan campur agama itu akan
diselesaikan urusan pewarisannya melalui hukum Islam atau
hukum Barat. Dengan demikian akan timbul pula kebutuhan
untuk memperkenankan perkawinan antara pasangan yang
berlainan agama itu. Dalam keadaan demikian, kaum muslimin
akan dihadapkan kepada sesuatu yang sama peliknya dengan apa
yang dihadapi para pemimpin gereja ketika harus mengambil
keputusan tentang asas Pancasila di tahun 1984-1985 itu.110

109
Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia, Sabtu, 07 September 2002
00:00, WWW. Gusdur. net.
110
Abdurahman Wahid, Pancasila….hlm. 167.
Selain itu Islam model keras merupakan ancaman bagi ideologi Pancasila.

Sebagaiman Wahid ungkapkan pada saat itu,

”....pemerintah sangat risau dengan Islam model keras. Ini


disebabkan sekarang yang bisa mendongkel Pancasila tinggal
Islam saja, PKI sudak tidak ada.
Islam gaya keras itu merupakan ancaman kelestarian Pancasila
baik jahran au maktuman, ghairu mubasyiron atau mubasyiroh.
lainnya tak mungkin lagi. Agama lain jumlahnya kecil, kelompok
politik non Islam semua masuk Golkar, dan yang tertinggal
sedikit bagian minta sawab saja.111

Contoh lainnya adalah pembentukan ICMI yang didukung penuh oleh pemerintah,

sehingga menimbulkan kesan keberpihakan pemerintah pada kelompok muslim

yang Mayoritas. Pada proses pendirian ICMI yaitu bulan Desember 1990

Soeharto mendukung kelahiran ICMI. Presiden Soeharto memberi restu bagi

berdirinya ICMI.112 Peristiwa ini merupakan peristiwa yang unik. Organisasi ini

menghimpun banyak kalangan pegawai pemerintah dan tokoh-tokoh cendekiawan

Islam, termasuk beberapa di antara mereka yang sejak dulu sering memberi

kritikan tajam kepada Orde Baru dan cara-cara Soeharto menangani masalah-

masalah yang berkaitan dengan Islam. Abdurahman Wahid yang dikenal sebagai

Tokoh Muslim Indonesia menolak untuk ikut dalam ICMI tersebut. Terdapat dua

alasan yang dikemukakan Abdurahman berkaitan dengan ketidak setujuan

terhadap berdirinya ICMI. Pertama, Wahid menilai bahwa ICMI merupakan salah

satu contoh nyata dari cara rezim orde baru memanipulasi Islam agar memperoleh

dukungan dan simpati untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaannya. Kedua,

111
Abdurahman Wahid. Sebuah Dialog Mencari Kejelasan …. 1989, hlm. 95.
112
Berita mengenai berdirinya ICMI terdapat dalam Kompas, 7 Desember 1990; Tempo 9
Desember 1990; dan Merdeka, 10 Desember 1990.
melalui ICMI para tokoh cendekiawan Islam membiarkan diri mereka

dimanipulasi oleh Soeharto agar berpeluang melaksanakan agenda politik mereka

sendiri.

Untuk mencegah penyalahgunaan Pemerintah dalam menggunakan Pancasila

yang menimbulkan ketidak adilan di kalangan warga bangsa, menurut Wahid

agama dan Pancasila harus saling berkaitan dan berupaya menemukan nilai-nilai

dasar bagi kehidupan bangsa.

Dengan melihat apa yang telah dikemukakan, dan mengenal


hubungan problematik antara Pancasila sebagai ideologi bangsa
dan falsafah negara (yang mengejawantah dalam bentuk asas
tunggal dalam kehidupan berorganisasi) di satu pihak dan agama-
agama dan kepercayaan yang ada terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, baru dapat dikembangkan pemikiran untuk mencari nilai-
nilai dasar bagi kehidupan bangsa kita. Sebenarnya sudak tidak
relevan lagi untuk melihat, apakah nilai-nilai dasar itu ditarik
oleh Pancasila dari agama-agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama juga tetap
menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agama-agama harus
memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai ”polisi lalu lintas”
yang akan menjamin semua pihak dapat menggunakan jalan raya
kehidupan bangsa tanpa kecuali.113

Wahid pun menyarankan bahwa Pancasila semestinya bersikap netral. Pemerintah

atau lembaga lainnya harus bersikap adil dalam menggunakan Pancasila diantara

kehidupan beragama dan berkpercayaan. Sebagaimana Wahid Ungkapkan,

Jika itu yang terjadi, artinya Pancasila bersikap netral dan tidak
memenangkan pihak manapun di antara agama-agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berkembang
di negeri kita, maka tidak akan muncul persoalan apapun. Namun
sebaliknya dapat pula terjadi keadaan rawan jika ada keluhan
tentang pemberian konsesi terlalu berlebih kepada satu pihak
saja, seperti dirasakan kaum Katolik dan Kristen sehubungan
dengan pengajuan RUU-PA (Rancangan Undang-Undang
Peradilan Agama) ke Dewan Perwakilan Rakyat, yang dianggap

113
Abdurahman Wahid, Pancasila…, hlm. 167.
memberikan perlakuan istimewa dan tersendiri kepada kaum
muslimin, atas kerugian kaum non-muslim.114

Di samping itu Wahid juga menyarankan kepada pihak agama dan

kepercayaan untuk mengembangkan sikap universal. Menurut Wahid hal itu

sebagai wujud dari perbedaan secara lembaga dan orientasi kehidupan beragama

dan kepercayaan dengan Pancasila. Sikap universal tersebut bermuara pada sikap

kejujuran, keikhlasan dan ketulusan dalam tindakan para penganut Agama dan

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana Wahid sarankan

bahwa,

Agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa


akan tetap saling berbeda, baik secara kelembagaan maupun
orientasi kehidupannya. Namun, di balik perbedaan-perbedaan itu
secara keseluruhan agama-agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa tetap mengembangkan sejumlah
pandangan yang bersifat universal. Tekanan kepada kejujuran
(baik sikap maupun perilaku), keikhlasan dan ketulusan dalam
sikap dan tindakan, tekanan pada sisi keakhiratan dan
keduniawian dalam porsi cukup seimbang, dan sejumlah hal-hal
lain yang mendasar dapat ditarik dari agama-agama yang ada dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini lalu
dapat dilakukan inventarisasi sejumlah etos tertentu yang
dianggap disepakati bersama, untuk dijadikan landasan
seterusnya.115

Walaupun demikian, Wahid menganggap penting dan selalu mempertahankan

Pancasila dengan segenap jiwa raganya. Sebagaimana beliau ungkapkan dalam

suatu wawancara pada tahun 1992 yang dikutif oleh Douglas bahwa,

Pancasila adalah serangkaian prinsip-prisip yang bersifat lestari.


Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak
diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni
dengan jiwa-raga saya, terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak

114
Ibid. hlm. 168.
115
Ibid.
jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara
maupun sekelompok umat Islam.116

C. Implikasi Pemikiran Abdurahman Wahid tentang Pancasila

1. Implikasi dalam Gerakan Keagamaan.

Pemikiran Abdurahman Wahid tentang Pancasila searah dengan penerimaan

NU terhadap asas tunggal Pancasila pada tahun 1984 dibawah kepemimpinan duet

KH Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid merupakan kelanjutan historis

dalam sejarah NU. Penerimaan NU terhadap Pancasila tersebut menurut Wahid

salah satunya didasarkan para peristiwa sejarah. Dalam Muktamar Nadhlatul

Ulama (NU) tahun 1935 di Banjarmasin, peserta forum menyampaikan

permintaan fatwa, bagaimana status negara Hindia Belanda dilihat dari pandangan

agama Islam, karena ia diperintah oleh pemerintah yang bukan Islam dan orang-

orang yang tidak beragama Islam? Dari sudut pandang agama Islam, wajibkah ia

dipertahankan bila ada serangan luar?117

Menurut Wahid para ulama NU itu menjawab pertanyaan itu bahwa Negara

Hindia Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar, sebagai kewajiban agama,

karena negara tersebut menjamin kebebasan warga negara untuk melaksanakan

ajaran agama Islam. Bahan pengambilan atau sumber rujukan yang digunakan

adalah Bughyah al-Mustarsyidin, sebuah kitab agama yang dikarang oleh Al-

Hadrami.118

116
Douglas E. Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid Tentang Pancasila Dan Penerapannya
Dalam Era Paska Asas Tunggal, Makalah.
117
Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia, Sabtu, 07 September 2002
00:00, WWW. Gusdur. net
118
Ibid.
Wahid mengungkapkan bahwa jawaban atau Fatwa tersebut berkaitan dengan

dua hal penting bagi kehidupan sesuatu bangsa atau masyarakat.119 Pertama, Islam

mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama

mereka, sebagai conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas eksistensi

negara tersebut, sehingga memberikan tolok ukur yang jelas bagi kaum muslimin

dalam kehidupan mereka. Kedua, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan

dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi

politik mereka ditentukan oleh proses sejarah. Kedua hal itu langsung

memungkinkan kaum muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada ajaran

Islam, di samping kesetiaan kepada negara yang bukan negara Islam.

Selain itu Pada tahun 1936 NU menjustifikasi Hindia Belanda sebagai dar al-

Islam (negeri muslim) karena adanya Lembaga Kepenghuluan (Het Kantoor voor

Inlandsche zaken), suatu lembaga yang secara khusus mengurus kepentingan umat

Islam, dan umat Islam memiliki kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya

sebagai condition sine qua non bagi esksistensi negara. Islam melihat negara

sangat penting untuk menghindari terjadinya anarkhi, tetapi Islam tidak

mempunyai konsep kenegaraan.

Peristiwa lainnya pada tanggal 1 Maret, 1992 di stadion utuma Senayan

Jakarta, terjadi sebuah peristiwa penting dalam politik kontemporer Indonesia. Di

hari Minggu pagi itu, sekitar 150.000 anggota Nahdlatul Ulama merayakan ulang

tahun organisasi mereka yang ke-68. Pertemuan warga NU itu bisa terkesan yang

terbesar yang pernah dilakukan oleh organisasi non-pemerintah selama duapuluh

119
Ibid.
lima tahun terakhir. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, perayaan itu

sengaja dirancang untuk menyampaikan pesan yang sifatnya khusus yaitu

menegaskan kembali kesetiaan NU kepada Pancasila sebagai ideologi Negara dan

falsafah hidup bangsa Indonesia. Secara khusus Rapat Akbar ini dimaksudkan

untuk menegaskan kembali kesetiaan NU kepada Pancasila, konstitusi dan

demokrasi.120 Terdapat beberapa alasan diadakannya rapat tersebut. Sebagaimana

Douglas ungkapkan bahwa

Pertama, Abdurrahman Wahid sedang mencari jalan bagaimana


menghindarkan NU dari untuk secara terbuka mengusulkan
dicalonkannya kembali Soeharto sebagai presiden untuk
masajabatan berikutnya. Abdurrahman Wahid berpendapat
bahwa karena NU sudah bukan lagi sebuah organisasi politik,
maka tidak sepantasnya membuat usulan seMaretam itu. Dengan
menyatakan kesetiaan kepada Pancasila,usulan seMaretam itu
memang bisa dihindari tanpa harus merasa rikuh jangan sampai
dianggap mempunyai maksud politik yang aneh-aneh. Kedua,
Abdurrahman Wahid sebenarnya sangat gelisah atas
pembentukan ICMI yang secara terbuka didukung, kalau bukan
diprakarsai, oleh pemerintah.11 Oleh karena itu, ia tergerak untuk
menunjukkan bahwa umat Islam, khususnya warga NU, masih
berdiri di belakang dan mendukung gagasannya tentang Islam
yang sifatnya lebih demokratis dan inklusif. Dalam pandangan
Abdurrahman Wahid, ICMI pada hakikatnya mengabsahkan
eksklusivisme Islam dan dapat merendahkan toleransi kaum
Muslimin terhadap masyarakat non-Muslim di Indonesia. Jadi,
melalui Rapat Akbar itu, Abdurrahman Wahid ingin
menunjukkan bahwa NU mendukung proses demokratisasi sejak
awal dan tidak akan begitu saja membiarkan dirinya dikooptasi,
sebagaimana halnya sekelompok cendekiawan Muslim yang
menyandarkan harapannya pada ICMI. Ketiga, Abdurrahman
Wahid juga melihat semakin meningkatmya pengaruh
sektarianisme dan fundamentalisme di Indonesia, sehingga ia
menganggap perlu menekankan adanya Islam yang lebih toleran
terhadap kemajemukan, dan tentu saja bersifat non-sektarian,
melalui Rapat Akbar itu. Dalam hubungan ini, Abdurrahman
Wahid menilai bahwa rumus politik Orde Baru, yang sejak dulu
ingin memisahkan agama dan ikatan-ikatan primordial lainnya
dari politik massa, kini sedang terancam. Keempat yang terakhir,
di samping semua yang sudah dikemukakan di atas, ada juga
tujuan lain yang sifatnya lebih ke dalam tubuh NU sendiri.

120
Suara Karya tanggal 2 Maret 1992; Suara Pembaharuan, 1 Maret 1992.
Abdurrahman Wahid ingin menunjukkan bahwa dukungan warga
NU kepadanya dapat dibuktian melalui kehadiran dua juta
anggota. Hal ini penting, mengingat di kalangan NU sendiri ada
pihak-pihak yang kurang begitu setuju dengan cara Abdurrahman
Wahid bereaksi terhadap pembentukan ICMI.121

Wahid menyampaikan pesan pidato pada acara tersebut. Salah satu penggalan

pidato tersebut sebagaimana dikutif Douglas adalah,

... faham kebangsaan yang dianut NU sesuai dengan Pancasila


dan UUD 45. NU menjadi pelopor dalam masalah-masalah
ideologis. Padahal seluruh dunia Islam, hal ini masih menjadi
persoalan antara Islam dan nasionalisme. Para penulis Saudi
Arabia menganggap nasionalisme itu sebagai sekulerisme.
Mereka belum mengetahui adanya nasionalisme seperti di
Indonesia yang tidak sekuler. Melainkan menghormati peranan
agama."122

2. Implikasi terhadap Pemahaman Negara

Pemikiran Abdurahman Wahid berimplikasi terhadap pemahaman Negara.

Wahid dan segenap warga Nahdlatul Ulama memahami bahwa negara Pancasila

adalah bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia. Wahid menolak teokrasi

(Negara agama) dan sekulerisme. Menurut Wahid, di satu sisi Pancasila sebagai

ideologi bangsa menolak dominasi agama maupun kekuasaan anti agama dalam

kehidupan bernegara. Di sisi lain bangsa Indonesia perlu mempercayai Pancasila

yang menggabungkan Sila Pertama dan sila-sila lain, karena sekularisme

dipahami sebagai penolakan terhadap agama.123

Hubungan Islam dan negara Pancasila dirumuskan secara jelas pada tahun

1984 dalam Mukhtamar NU yang dikomandoi oleh KH Ahmad Siddiq dan Gus

121
Douglas. Makalah.
122
Ibid.
123
Abdurahman Wahid, Yang Terbaik Berada di Tengah, dalam buku: Islamku, Islam Anda, Islam
Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, hlm. 118
124
Dur. Hal ini dilakukan sebagai jawaban terhadap kebijakan deideologisasi

partai politik Islam yang dilancarkan oleh regim Soeharto yang otoriter. Hal

tersebut didasarkan pada keyakinan Wahid bahwa Islam tidak punya konsep

negara Islam. Pemahaman Wahid ini sesuai dengan argumen Ali Abdel Raziq

dalam bukunya Al-Islam wa Qawa’id al-Sulthanan (Islam dan Sendi-Sendi

Kekuasaan). Pertama, dalam Al-Qur‟an tidak pernah ada doktrin. Kedua, perilaku

Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politis, melainkan moral.

Ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian

jabatannya.125

Apabila ada kelompok-kelompok dari umat Islam bersuara untuk menjadikan

Islam sebagai ideology Negara dan mengganti Pancasila, maka menurut Wahid,

hal tersebut akibat dari penyempitan pandangan mengenai Pancasila yang

dipahami hanya menurut yang berkuasa. Wahid mengungkapkan bahwa untuk

menafsirkan Pancasila secara benar dibutuhkan lembaga yang legal. Sebagaimana

Wahid ungkapkan,

….Sebenarnya yang terjadi bukanlah pertentangan mengenai


Pancasila itu sendiri, melainkan soal pengertian Pancasila
tersebut.
Menurut pandangan kekuasaan, penafsiran yang benar tentang
Pancasila adalah apa yang disepakati pemerintah, bukannya kritik
terhadap pendekatan yang terasa monolit bagi rakyat itu. Karena
dalam pandangan mereka penfsiran pemerintah hanyalah satu
dari penafsiran yang ada. Untuk menetapkan mana yang benar,
Mahkamah Agung (MA) harus mengemukakan penafsiran legal
berdasarkan Undang-undang yang ada. Jadi penafsiran yang tidak
sejalan dengan pemerintah, belum tentu salah. Penafsiran legal-
lah yang dijadikan ukuran, bukan penfsiran pemerintah.126

124
Hasil Muktamar NU 1984, PBNU, Jakarta, 1984.
125
AbdurahmanWahid, Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?, dalam Shaleh Isre (ed). Tuhan
Tidak Perlu Dibela. LkiS, Yogyakarta, 2000, hlm. 1.
126
Abdurahman Wahid, Negara Berideologi Satu, Bukan Dua, dalam Buku Islamku, Islam Anda,
Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, hlm. 89.
Secara tegas pada akhir tulisannya itu berkaitan dengan ideologi Negara,

Abdurahman Wahid mengungkapkan, “Menjadi jelas bahwa ideologi Negara kita

hanyalah satu, yaitu Pancasila. Pendekatan lain, yaitu menjadikan Islam sebagai

ideologi Negara adalah sesuatu yang salah. “127

Imlikasi pemikiran Abdurahman Wahid termasuk mengenai pemikiran

Pancasila dapat menyempurnakan pemikiran Islam yang diungkapkan tokoh

lainnya. Sebagaimana ungkapan M. Dawam Rahardjo dalam mengomentari

sebuah buku yang memuat tulisan-tulisan Abdurahman Wahid berjudul Islamku,

Islam Anda dan Islam Kita bahwa buku itu dapat dijadikan sumber pembaharuan

pemikiran Islam yang menyempurnakan pemikir seperti Nurcholish Madjid,

Ahmad Wahib, Djohan Efendi, Harun Nasution dan Munawir Sadjali.128

127
Ibid. 91.
128
M. dawam Rahardjo, Pembaharuan KH. Abdurahman Wahid, Kompas, Jumat, 19 Januari 2007.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Adanya gejala sosok Abdurahman Wahid sebagai tokoh nasional yang

memiliki pemahaman terhadap Pancasila menjadi fokus dalam penelitian ini.

Dalam bab ini penulis menguraikan secara sederhana pemikiran Abdurahman

Wahid tentang Pancasila. Terdapat dua sub judul di bab ini yakni kesimpulan dan

saran. Di dalam kesimpulan penulis menjawab beberapa pertanyaan yang

dirumuskan dalam rumusan masalah. Sedangkan dalam saran, penulis

menyampaikan beberapa saran atau rekomendasi kepada peneliti lain yang tertarik

untuk mendalami pemikiran Abdurahman Wahid dan Pancasila yang tidak

ditemukan penulis selama penulis melakukan penelitian.

A. Kesimpulan
Secara sederhana di dalam kesimpulan ini menulis menjawab tiga hal yang

telah dirumuskan dalam rumusan penelitian. Pertama, kronologis riwayat hidup

Abdurahman Wahid, termasuk pendidikan dan karya-karya yang telah dibuatnya.

Kedua, posisi dan fungsi Pancasila dalam kehidupan beragama dan aliran

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut Pemikiran Abdurahman

Wahid. Ketiga, implikasi pemahaman Pancasila menurut Abdurahman Wahid

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kronologis riwayat hidup Abdurahman Wahid dapat dipahami sebagai latar

belakang pemikiran Abdurahman Wahid diantaranya, kehidupan keluarga,


pendidikan, karakteristik keberagamaan, dan situasi sosial politik saat munculnya

pemikiran Abdurahman Wahid mengenai Pancasila.

Abdurahman Wahid berasal dari kehidupan Kyai. Keluarga Kyai memiliki

status terhormat dan strata tinggi dalam masyarakat Islam Indonesia, khususnya di

Jawa Timur. Dari jalur Bapak Abdurahman Wahid termasuk salah satu cucu dari

K.H. Hasyim Asyari, karena Wahid Hasyim yang menjadi Bapak Abdurahman

Wahid merupakan anak dari KH. Hasyim Asyari. KH. Hasyim Asyari ini dikenal

sebagai salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki jabatan terhormat

di NU yaitu Rois Akbar. Sedangkan jalur dari Ibu, Abdurahman Wahid

merupakan cucu dari K.H. Bisri Syansuri, karena anak KH. Bisri Syansuri yang

bernama Solihah adalah ibu kandung dari Abdurahman Wahid. KH. Bisri

Syansuri ini dikenal sebagai pendiri pondok pesantren Denanyar di Jombang dan

pernah menjadi Rois Syuriah PB NU.

Di samping itu Abdurahman wahid mengaku sebagai keturunan dari Raja

Jawa yaitu dari Jaka Tingkir. Raja Tingkir ini keturunan dari Raja Mataram Islam

dan Majapahit yang berpusat di Jawa. Pengakuan itu diperkuat bahwa Wahid

mengaku keturunan etnis Tionghoa yaitu keturunan dari Tan Kim Han yang

menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa),

pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari

Putri Champa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.

Wahid Hasyim ayah Abdurahman Wahid termasuk salah satu anggota

BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI yang merancang penyusunan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Negara


menjelang dan pasca Kemerdekaan. Wahid Hasyim pun dikenal sebagai menteri

Agama pada era Soekarno. Beliau dilantik sebagai Menteri Agama tahun 1949.

Dalam bidang pendidikan Abdurahman Wahid mendapat pendidikan secara

tradisional dan modern. Secara tradisional, Wahid belajar di berbagai pesantren di

Indonesia. Pesantren mernurut Wahid sebagai sub kebudayaan Indonesia yang

telah berperan dalam kehidupan sosial keagamaan dan politik. Wahid pernah

pernah belajar di timur tengah seperti Mesir dan Baghdad yang merupakan

universitas Islam tertua. Universitas-Universitas itu dikenal sebagai salah satu

pusat kebudayaan Islam dan telah banyak mengeluarkan ulama-ulama dan

cendekiawan dunia. Walaupun secara formal pernah gagal belajar di Eropa tetapi,

Wahid pernah belajar dan hidup di Eropa yang memiliki nuansa modern seperti

Belanda, Jerman dan Perancis tahun 1971.

Budaya tradisional dan modern menjadi latar kehidupan Wahid yang

mewarnai pemikiran-pemikiran keagamaan di Indonesia setelah beliau berperan

sebagai cendikiawan di Indonesia. Di satu sisi Wahid termasuk kelompok muslim

tradisional karena beliau dibesarkan dari tradisi Nahdlatul Ulama yang berbasis di

pesantren, sehingga beliau memelihara dan mencintai kehidupan tradisi Pesantren.

Di sisi lain Wahid mengembangkan prinsif-prinsif kehidupan modern, terutama

kehidupan demokrasi yang beliau kampanyekan dan perjuangkan dalam setiap

pertemuan.

Ketika Wahid mengeluarkan pemikiran-pemikiran mengenai Pancasila,

situasi sosial politik saat itu berada dalam kondisi pemerintahan yang otoriter.

Presiden Soeharto dengan kekuatannya dikritik oleh berbagai elemen bangsa,


karena dituduh menggunakan Militer untuk melanggengkan kekuasaannya,

bahkan Pancasila dipahami hanya menurut pemerintah yang bertujuan untuk

melanggengkan kekuasaan Orde Baru saat itu.

Di samping itu, pada saat Wahid melontarkan pemikiran Pancasila, beliau

dikenal memiliki berbagai status sosial sesuai profesinya diantaranya, sebagai

Kiyai, cendekiawan, pengamat sosial, ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,

budayawan dan politikus.

Selanjutnya mengenai makna Pancasila, Abdurahman Wahid memahami

bahwa Pancasila merupakan kesepakatan luhur di antara kelompok-kelompok

yang ada di Indonesia. Kesepakatan luhur itu merupakan upaya sungguh-sungguh

yang telah dilakukan oleh para pendiri bangsa Indonesa yang berbeda latar

belakang termasuk etnis, agama, kepercayaan dan kelompok sosial politik lainnya

dalam merumuskan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat

mendirikan negara Indonesia.

Wahid menempatkan posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah

negara. Menurut Wahid, ideologi bangsa artinya setiap warga negara Republik

Indonesia terikat oleh ketentuan-ketentuannya yang sangat mendasar yang

tertuang dalam sila yang lima. Wahid memahami bahwa setiap warga negara

terikat secara ketentuan oleh Pancasila. Pancasila dapat mengatur atau berperan

sebagai referensi pandangan hidup dan sikap warga negara dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Menurut Wahid sila-sila yang terdapat dalam Pancasila

seharusnya tidak dipahami secara sepotong-sepotong atau tidak utuh.


Pancasila sebagai falsafat negara menurut Wahid bahwa, Pancasila berstatus

sebagai kerangka berfikir yang harus diikuti dalam menyusun undang-undang dan

produk-produk hukum yang lain, dalam merumuskan kebijakan pemerintah dan

dalam mengatur hubungan formal antara lembaga-lembaga dan perorangan yang

hidup dalam kawasan negara ini.pun memahami Pancasila sebagai kerangka

berfikir. Kerangka berfikir ini digunakan dalam menyusun undang-undang dan

berbagai hukum yang dihasilkan, baik kebijakan pemerintah, wakil rakyat maupun

lembaga hukum itu sendiri.

Namun Wahid melihat adanya ketidak-jalasan peran Pancasila dalam

kehidupan bermasyarakat terutama dalam kehidupan beragama dan

berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Wahid melihat adanya cara

pandang yang berbeda antara agama dan Pancasila. Di satu pihak Agama

memiliki pandangan universal, di pihak lain Pancasila memiliki pandangan hanya

dalam lingkup Indonesia (nasional), sehingga Agama mendapat kesulitan jika

dipahami hanya sebatas lingkup nasional. Secara sederhana Agama lebih bersifat

umum dari pada Pancasila, atau Pancasila memiliki sifat khusus. Agama juga

menurut Wahid memiliki ciri spesifik yaitu ekslusivistik. Agama memiliki

pemahaman kebenaran mutlak yang berbeda dengan pemahaman lainnya,

termasuk dalam masing-masing agama. Setiap agama tidak bisa disamakan

dengan agama atau kepercayaan lainnya.

Wahid menegaskan bahwa posisi Pancasila dapat dipahami sebagai ”polisi

lalu lintas kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa”. Peran pengaturan merupakan peran yang diharapkan untuk menciptakan


kondisi yang tertib dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan. Peran

tersebut memerlukan pengatur dan aturan yang tegas dan adil.

Selanjutnya, Wahid menjelaskan bahwa Pancasila harus difungsikan untuk

mengatur kehidupan bermasyarakat tanpa mengganggu kebebasan kehidupan

beragama dan berkepercayaan. Pancasila menurut Wahid berfungsi membuat

aturan permainan antara ummat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa. Fungsi itu memerlukan batasan-batasan minimalnya sendiri,

yang tidak boleh ditundukkan kepada kehendak agama dan kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Tugas para elit bangsa dan agama adalah

menemukan garis batas yang jelas, mana yang wewenang Pancasila tanpa

mengganggu kebebasan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa. Contoh yang dapat dikemukakan dalam hal ini terjadi dalam agama

Islam. Agama Islam mengajarkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang

benar di sisi Allah. Karenanya, banyak kalangan kaum Muslimin yang tidak dapat

menerima adanya persamaan agama (umumnya tertuang dalam pernyataan bahwa

”semua agama adalah sama”). Kalau Pancasila memaksakan persamaan mutlak

seperti tergambar dalam pernyataan di atas, menurut Wahid tentunya

independensi Islam sebagai agama lalu menjadi terganggu. Sebaliknya, jika

Pancasila mampu menemukan titik temu dalam pandangan yang saling berbeda

itu dengan sendirinya ia berperan menjadi jembatan penghubung tanpa

mengganggu kedaulatan theologis masing-masing. Rumusan seperti ”semua

agama diperlakukan sama di muka Undang-undang dan diperlakukan sama oleh

negara” mungkin akan lebih mengena dalam hal ini.


Pihak Pemerintah dituntut bersikap adil dan dapat dipercaya dalam

memahami Pancasila. Wahid mencontohkan ketika munculnya Undang-undang

Peradilan Agama dan pembentukan ICMI pada masa Orde Baru yang dapat

menimbulkan ketidakadilan di luar kalangan Muslim. Di dalam orde reformasi ini

perlu ditanyakan kembali masih adakah keberpihakan aparat pemerintah dengan

menggunakan Pancasila atau atas nama undang-undang dan peraturan lainnya

kepada kelompok tertentu yang menimbulkan ketidak adilan bagi kelompok

lainnya?

Menurut Wahid agama dan Pancasila harus saling berkaitan dan berupaya

menemukan nilai-nilai dasar bagi kehidupan bangsa. Hal itu perlu dilakukan untuk

mencegah penyalahgunaan Pemerintah dalam menggunakan Pancasila yang

menimbulkan ketidak adilan di kalangan warga bangsa. Wahid menegaskan

bahwa Pancasila semestinya bersikap netral. Pemerintah atau lembaga lainnya

harus bersikap adil dalam menggunakan Pancasila diantara kehidupan beragama

dan berkpercayaan.

Akibatnya pemahaman Pancasila menurut Abdurahman Wahid memiliki

implikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapata dilihat

dari penerimaan Pancasila sebagai azas kehidupan berbangsa dan benegara oleh

Organisasi NU. Pemikiran-pemikiran Abdurahman Wahid sering diikuti atau

dijadikan referensi oleh para pengikut baik di kalangan pesantren atau organisasi

NU maupun kelompok lainnya dan dijadikan salah satu sumber dalam mengkaji

hubungan agama dan Negara di Indonesia. Karena konsisten dalam menjaga dan

memelihara integritas bangsa. Warga NU melalui muktamar tahun 1984


merumuskan Hubungan Islam dan negara Pancasila. Segenap Warga Nahdlatul

Ulama bisa memahami dan menjelaskan bahwa negara Pancasila adalah bentuk

final perjuangan umat Islam di Indonesia. Kenyataan tersebut sering dinyatakan

ulang oleh warga NU melalui tokoh-tokohnya dalam rapat akbar menyambut hari

ulang tahun organisasi tersebut. Selain itu sebagian besar warga Indonesia melalui

organisasi kemasyarakatan menolak teokrasi (Negara agama) dan sekularisme.

Pemikiran Abdurahman Wahid termasuk mengenai pemikiran Pancasila dapat


menyempurnakan pemikiran Islam yang diungkapkan tokoh lainnya. Tokoh-tokoh
yang dimaksud diantaranya, Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Djohan Efendi,
Harun Nasution dan Munawir Sadjali yang menyatakan penolakan terhadap
Negara agama dan Negara sekuler.
B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian makna Pancasila menurut


Abdurahman Wahid, penulis menyarankan kepada peneliti lainnya untuk meneliti
lanjutan terhadap hal-hal yang belum ditemukan penulis dalam penelitian ini.
Penulis menyadari terdapat hal-hal yang belum sepenuhnya penulis deskripsikan
secara terperinci dalam penelitian ini. Masih banyak unsur-unsur agama lainnya
dalam memahami Pancasila menurut Abdurahman Wahid, contohnya Pancasila
menurut doktrin atau ajara Islam dan hubungan Pancasila dengan kehidupan ritual
keberagamaan dan berkepercayaan. Kedua hal itu perlu dikaji dengan
menggunakan persfekti masing-masing agama dan kepercayaan.
Selain itu penulis menyarankan dalam kajian Agama menurut persfektif
agama-agama perlu dikaji dengan metode perbandingan yang menggunakan
pendekatan eksternalistik yang menggunakan karakter sosial dan historis, agar
dapat memperkaya dan mengembangkan kajian keberagamaan.

Anda mungkin juga menyukai