NIM : 15081366
Kelas : 13F1
Mata Kuliah : Penyusunan Proposal Penelitian Kuantitatif
Dosen Pengampu : Dr. Triana Noor Edwina DS., M.Si.,
Menurut Hall (Sarwono, 2011), masa remaja merupakan masa “sturm und
drang” (topan dan badai), masa penuh emosi dan adakalanya emosinya meledak-ledak,
yang muncul karena adanya pertentangan nilai-nilai. Emosi yang menggebu-gebu ini
adakalanya menyulitkan, baik bagi si remaja maupun bagi orangtua/ orang dewasa di
sekitarnya. Namun emosi yang menggebu-gebu ini juga bermanfaat bagi remaja dalam
pengalaman belajar bagi si remaja untuk menentukan tindakan apa yang kelak akan
dilakukannya
Krori (dalam Herlina, 2013) menyatakan bahwa perubahan sosial yang penting
pada masa remaja mencakup meningkatnya pengaruh teman sebaya (peer group), pola
perilaku sosial yang lebih matang, pembuatan kelompok sosial yang baru, dan
munculnya nilai-nilai baru dalam memilih teman dan pemimpin serta nilai dalam
penerimaan sosial. Selain itu, menurut Oswalt (dalam Herlina, 2013) Perkembangan
sosial dan emosional berkaitan sangat erat. Baik pengaturan emosi (berada dalam
kendali emosi) maupun ekspresi emosi (komunikasi efektif tentang emosi) dierlukan
hubungan interpersonal karena membuat remaja mampu memahami dengan lebih baik
keinginan, kebutuhan, perasaan, dan motivasi orang lain (Oswalt dalam Herlina, 2013).
Karena itulah, tidak mengherankan, dengan makin kompleksnya pikiran, emosi, dan
adalah mencapai pola hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya yang
berbeda jenis kelamin sesuai dengan keyakinan dan etika moral yang berlaku di
masyarakat, menerima dan mencapai tingkah laku sosial tertentu yang bertanggung
jawab di tengah tengah masyarakatnya, mencapai kebebasan emosional dari orang tua
dan orang-orang dewasa lainnya dan mulai menjadi “diri sendiri” dan memperoleh
seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman bertingkah laku dan
Pada masa ini, menurut Oswalt (Herlina. 2013). remaja menunjukkan beberapa
ciri yaitu keterlibatan dalam hubungan sosial yang lebih mendalam dan secara
emosional lebih intim dibandingkan dengan pada masa kanak-kanak, jaringan sosial
sangat luas, meliputi jumlah orang yang semakin banyak dan jenis hubungan yang
berbeda. Gunarsa dan Gunarsa (1995) menyatakan bahwa pada masa remaja, remaja
dorongan moril pada sesama remaja sehingga remaja memperoleh kekuatan dari
terpisah, dan hanya secara insidental sebagai anggota dari suatu kelompok masyarakat
(Saleh, 2015). Selain itu, beberapa sifat naluriah manusia tersebut menurut Bormann
(dalam Saleh, 2015) dan Homans (1950) (dalam Saleh, 2015) beberapa diantaranya bisa
berupa hasrat bergaul, yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan orang lain
berjuang, yang secara sepintas nampak sikap menantang sesamanya, tetapi pada
untuk menerima kesan, yang mendorong individu untuk mengadakan hubungan dan
mempererat ikatan hubungan itu, yang pada akhirnya akan memantapkan kehidupan
Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa inti suatu kelompok adalah karena
adanya maksud dan tujuan bersama. Kumpulan individu yang interaksinya diatur
(distrukturkan) oleh atau dengan seperangkat peran dan norma (McDavid & Harari,
1968, Rakhmat, 2007 dalam Saleh, 2015). Cattel (dalam Saleh, 2015) menyatakan
pemenuhan kebutuhan masing masing individu. Adapun Bass dalam Yusuf (2009),
karakteristik lain dari kelompok adalah kesamaan persepsi, memiliki tujuan yang
sifatnya komunal dan adanya interaksi para anggotanya untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
Hal tersebut sejalan dengan kehidupan remaja, remaja sering dihadapkan pada
penolakan teman sebaya, maka remaja cenderung mengikuti hal-hal yang sama dengan
kelompok sebaya agar diterima dengan baik di dalam kelompok sebaya (Mappiare,
1982). Para remaja biasanya membentuk suatu kelompok atau istilah populernya geng.
Kelompok sebaya biasanya memiliki ciri-ciri yang tegas pada tingkah laku yang
ditampilkan oleh anggotanya. Ciri-ciri ini antara lain adalah mode pakaian, cara
bertingkah laku, gaya rambut, minat tehadap musik, sikap terhadap sekolah, orangtua
Sebenarnya tidak ada yang salah dalam pembentukan geng asalkan kegiatannya
berdamapak positif yang dapat menguntungkan orang lain, akan tetapi pada
tindakan negatif dari pada perbuatan positif seperti yang dilakukan oleh sekelompok
geng klitih yang saat ini marak terjadi di Yogyakarta (Astuti, 2017).
Salah satu kasus kelompok (geng) klitih yang dilansir dalam wargajogja.net,
terjadi pada bulan Maret 2017 yang menewaskan seorang pelajar Sekolah Menengah
Pertama, Ilham Bayu Fajar, akibat ditusuk sekelompok orang di Jalan Kenari utara
menewaskan seorang pemuda berusia 20 tahun setelah dipukul batako oleh dua orang
tak dikenal (5/11). Korban diketahui bernama Arif Nur Rohman, warga Dusun Mredo
oleh aparat kepolisian pada hari Senin(6/11) sekitar pukul 08.00 di rumah masing-
masing. Adapun motif penyerangan disebabkan oleh kekesalan tersangka atas ucapan
korban, sehingga tersangka yang merasa tersinggung akhirnya melakukan penyerangan
Selain korban tewas, kasus penyerangan yang dilakukan oleh kelompok remaja
mengakibatkan korban luka, baik ringan maupun berat. Seperti yang terjadi kepada
korban Muhammad Nur Sidiq(18), warga Bantul yang mengalami luka di bagian
tangan, kepala dan punggung akibat diserang oleh sekelompok orang dengan gir
bergagang besi di Jalan Imogiri Barat Sudimoro Timbulharjo Kecamatan Sewon Bantul
(24/11). Kasus lain menimpa Wildan Chandra (16) yang menderita luka di pergelangan
tangan dan bahu akibat sabetan celurit saat melintas di perempatan traffic Bakulan oleh
pengendara motor tak dikenal yang teridentifikasi masih usia remaja (13/11).
memiliki pengaruh negatif bagi individu? Apakah perilaku geng Klitih atau geng
adanya kasus tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa situasi-situasi kelompok dapat
(self-awareness) dan kehawatiran umtuk mengevaluasi diri sendiri, terjadi dalam situasi
kelompok untuk lebih responsif terhadap norma kelompok, dalam hal baik atau buruk.
yang bersangkutan tercermin penampilan, rasa cipta dan karsa, sistem nilai (value
system), cara pandang (attitude) dan perilaku (behavior) yang ia miliki (Soedarsono
dalam Malikah, 2013). Gea (dalam Malikah, 2013) mendefinisikan kesadaran diri
mengenal bakat-bakat alamiah yang dimilikinya dan punya gambaran atau konsep yang
Selain itu, menurut Maharani (2013) self – awareness atau kesadaran diri adalah
wawasan kedalam atau wawasan mengenai alasan-alasan dari tingkah laku sendiri atau
pemahaman diri sendiri. Self – awareness atau kesadaran diri adalah bahan baku yang
penting untuk menunjukkan kejelasan dan pemahaman tentang perilaku seseorang. Self
– awareness atau kesadaran diri adalah bahan baku yang penting untuk menunjukkan
kejelasan dan pemahaman tentang perilaku seseorang. Kesadaran diri juga menjadi titik
tolak bagi perkembangan pribadi. Patton (dalam Maharani, 2013) menyebutkan bahwa
kesadaran diri merupakan sifat yang ada pada Emosional Intellegency dan pada titik
kesadaran inilah pemgembangan (EQ) dapat dimulai, saluran menuju pada kesadaran
ataupun kenyakinan yang dimiliki individu tenggelam oleh nilai-nilai yang berlaku
dalam kelompok. Kelompok memang lebih irasional, lebih implusif, dan lebih
kesadaran diri, kemampuan menilai-diri dan kepedulian terhadap orang lain menurun
sehingga meningkatkan tingkah laku impulsif, yang dalam hal ini dapat saja berbentuk
perilaku agresif. Hal ini sependapat dengan Koeswara (dalam Sari, 2017) yang
perilaku agresif yang dilakukan menjadi lebih intens. Menurut Myers (dalam Putri,
Beberapa tugas perkembagan remaja adalah mencapai pola hubungan baru yang
lebih matang dengan teman sebaya yang berbeda jenis kelamin sesuai dengan
keyakinan dan etika moral yang berlaku di masyarakat, menerima dan mencapai
tingkah laku sosial tertentu yang bertanggung jawab di tengah tengah masyarakatnya,
mencapai kebebasan emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya dan
mulai menjadi “diri sendiri” dan memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai
Pada masa ini, menurut Oswalt (Herlina. 2013) remaja menunjukkan salah satu ciri
yaitu keterlibatan dalam hubungan sosial yang lebih mendalam dan secara emosional
lebih intim dibandingkan dengan pada masa kanak-kanak. Gunarsa dan Gunarsa (1995)
kegiatan berkelompok ini memberikan dorongan moril pada sesama remaja sehingga
remaja memperoleh kekuatan dari keadaan bersama tersebut (Gunarsa & Gunarsa,
1995).
Disamping itu, situasi-situasi kelompok dapat menyebabkan orang kehilangan self-
awareness dengan hasil hilang individualitas dan self restrain (Myers, 2012). Kondisi
awareness) dan kehawatiran umtuk mengevaluasi diri sendiri, terjadi dalam situasi
kelompok untuk lebih responsif terhadap norma kelompok, dalam hal baik atau buruk.
seseorang dapat disebut sebagai pribadi yang berjati diri tatkala dalam pribadi orang
yang bersangkutan tercermin penampilan, rasa cipta dan karsa, sistem nilai (value
system), cara pandang (attitude) dan perilaku (behavior) yang ia miliki (Soedarsono
dalam Malikah, 2013). Gea (dalam Malikah, 2013) mendefinisikan kesadaran diri
mengenal bakat-bakat alamiah yang dimilikinya dan punya gambaran atau konsep yang
Selain itu, menurut Maharani (2013) self – awareness atau kesadaran diri adalah
wawasan kedalam atau wawasan mengenai alasan-alasan dari tingkah laku sendiri atau
pemahaman diri sendiri. Self – awareness atau kesadaran diri adalah bahan baku yang
Kesadaran diri juga menjadi titik tolak bagi perkembangan pribadi. Patton (dalam
Maharani, 2013) menyebutkan bahwa kesadaran diri merupakan sifat yang ada pada
Emosional Intellegency dan pada titik kesadaran inilah pemgembangan (EQ) dapat
dimulai, saluran menuju pada kesadaran diri adalah rasa tanggung jawab dan
keberanian.
ataupun kenyakinan yang dimiliki individu tenggelam oleh nilai-nilai yang berlaku
dalam kelompok. Kelompok memang lebih irasional, lebih implusif, dan lebih
kesadaran diri, kemampuan menilai diri dan kepedulian terhadap orang lain menurun
sehingga meningkatkan tingkah laku impulsif, yang dalam hal ini dapat saja berbentuk
perilaku agresif. Hal ini sependapat dengan Koeswara (dalam Sari, 2017) yang
perilaku agresif yang dilakukan menjadi lebih intens. Menurut Myers (dalam Putri,
individu tetapi bertolak belakang dengan norma sosial. Teori deindividuasi juga
identitas diri, yang berakibat seseorang berprilaku agresif atau menyimpang dari
perilaku sosial.
Peneliti di bidang psikologi sosial telah mengidentifikasi beberapa variabel yang
perdebatan mengenai apa peran dan efek anonimitas dalam perilaku kelompok dan
identitas seseorang (Lea, Spears, dan de Groot dalam Chang, 2008). Menurut
Postmes, Spears, Sakhel, dan de Groot (dalam Chang, 2008), permasalahan ini
terbukti dalam penekanan pada anonimitas oleh dua kerangka yang berlawanan:
1. Teori Deindividuasi
dari pengekangan terhadap perilaku sehari hari individu, individu tersebut "
berbuat semaunya " (hal 382). Teori Deindividuasi juga menegaskan bahwa
hilangnya identitas diri (Diener, 1980; Festinger et al., Zimbardo dalam Chang,
perilaku sosial yang dapat diterima saat mereka berada dalam pengaturan
Chang, 2008).
2. Pendekatan SIDE
kelompok yang menonjol (Kugihara, 2001; Reicher, Spears, & Postmes dalam
(Reicher et al. dalam Chang, 2008). SIDE lebih berfokus pada sifat
dengan situasi di mana orang lain tidak dikenal atau hanya dikenali oleh diri
sendiri, dan (2) efek strategis, yang berhubungan untuk situasi di mana diri
dapat diidentifikasi orang lain (Douglas dan McGarty, 2001; Reicher et al.,
kelompok spesifik (Kugihara, dalam Chang, 2008). Dengan cara ini, arti
kelompok.
aktivitas kelompok dan yakin bahwa dia tidak akan dikaitkan dengan
Selain itu, Prentice-Dunn dan Rogers (1980) yang melakukan Analisis faktor
mengubah tidak hanya proses kognitif tetapi juga afektif, yang dapat menyebabkan
perilaku antinormatif.
Salah satu skenario virtual untuk diinvestigasi adalah game virtual. Perilaku
pemain (Webb & Soh, 2007) dan rendahnya jumlah penelitian yang mencoba
menjelaskan mekanisme terjadinya hal itu. Untuk menyelidiki masalah ini, Chen
mendapatkan keuntungan yang tidak adil atas pemain lawannya atau untuk
mencapai target yang tidak seharusnya dicapai sesuai dengan peraturan permainan
atau atas pertimbangan dari operator game. "(Chen & Wu, 2015, hal 659).
Penelitian oleh Chen dan Wu (2015) menggunakan sebuah survei untuk menilai
dalam perilaku kecurangan dalam permainan online. Desain penelitian ini dipilih
karena kemungkinan penilaian yang lebih sesuai secara ekologis daripada desain
validitas ekologis yang baik karena terbatas pada kondisi laboratorium dan
al., 1998). Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari sebuah survei yang
dilakukan pada skala nasional di Singapura. Studi tersebut meneliti perilaku yang
Hipotesis dari studi ini didasarkan pada SIDE: (1) semakin sering seseorang
bermain game secara anonim, semakin sering dia menipu dalam permainan; (2)
yang lebih menonjol adalah yang ditunjukkannya dalam komunitas permainan; dan
dimana peserta bermain dengan orang yang mereka kenal secara online. Identifikasi
kelompok atau komunitas game online karena diasumsikan berdasarkan teori self-
komunitas ini. Variabel diukur dengan menggunakan skala tujuh poin (1 = tidak
Sebagian besar peserta (70%) paling tidak menipu setidaknya sesekali, dan
sisanya (30%) melaporkan bahwa mereka tidak menipu. Tujuh belas persen peserta
dikategorikan sebagai curang yang sering (skor ≥ 5), menguatkan literatur tentang
tingginya prevalensi kecurangan di antara pemain online (Consalvo, 2007; Webb &
Soh, 2007). Skor anonimitas rata-rata adalah 3,43. Selanjutnya, 29% peserta
melaporkan bahwa mereka tidak pernah bermain dengan orang yang mereka temui
untuk pertama kalinya melalui Internet, sementara 33% sering bermain dengan
orang asing (mencetak 5 atau lebih pada rentang frekuensi hingga 7). Identifikasi
rata-rata dengan kelompok adalah 3,20. Pemain pria memiliki skor lebih tinggi pada
identifikasi dengan kelompok dan ditipu secara signifikan lebih sering daripada
positif dan statistik yang signifikan; ada hubungan positif dan statistik yang
signifikan antara frekuensi dimana individu bermain secara anonim dan identifikasi
dengan kelompok; dan identifikasi dengan kelompok, mengendalikan gender,
Hasil penelitian mendukung tiga hipotesis: (1) bermain online dengan orang
kelompok lebih tinggi di antara individu yang bermain lebih sering dengan orang
yang mereka temui pertama kali secara online; dan (3) efek anonimitas dalam
kelompok online, meski tidak stabil dan lancar, memiliki pengaruh kuat terhadap
1. Ukuran kelompok
Kelompok tidak hanya dapat membuat anggotanya bangkit tetapi juga dapat
Sedangkan, pada saat individu dalam kelompok besar dan tidak dapat
teridentifikasi individu akan lebih berani untuk melakukan hal yang tidak sesuai
aturan.
2. Physical Anonymity
Ed Diener (dalam Myers, 2008) melakukan penelitian mengenai efek dari
individu berada dalam kelompok dan dalam kondisi anonim. Penelitian tersebut
menunjukan bahwa individu yang berada dalam kelompok dan kondisi anonim
akan berprilaku seperti yang mereka inginkan. Selain itu, menurut Tom Postmes
& Russel Spears (dalam Myers, 2008) kondisi anonim membuat kesadaran diri
Perilaku agresi yang dilakukan oleh kelompok besar biasanya dipicu oleh
3. Apakah permasalahan tersebut memenuhi ciri – ciri topic yang baik? Jelaskan!
dalam situasi kelompok untuk lebih responsif terhadap norma kelompok, dalam
hal baik atau buruk. Diener (dalam Li, 2010) mendefinisikan deindividuasi
kelompok yang menonjol (Kugihara, 2001; Reicher, Spears, & Postmes dalam
Chang, 2008).
al. dalam Chang, 2008). SIDE lebih berfokus pada sifat deindividuasi positif,
deindividuasi yang terkait dengan perilaku kelompok: (1) efek kognitif atau
mana orang lain tidak dikenal atau hanya dikenali oleh diri sendiri, dan (2) efek
strategis, yang berhubungan untuk situasi di mana diri dapat diidentifikasi orang
lain (Douglas dan McGarty, 2001; Reicher et al., dalam Chang, 2008).
spesifik (Kugihara, dalam Chang, 2008). Dengan cara ini, arti penting kelompok
mendapatkan keuntungan yang tidak adil atas pemain lawannya atau untuk
659).
mengingat prevalensi deindividuasi yang tinggi di antara pemain (Webb & Soh,
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari sebuah survei yang dilakukan pada
(70%) paling tidak menipu setidaknya sesekali, dan sisanya (30%) melaporkan
bahwa mereka tidak menipu. Tujuh belas persen peserta dikategorikan sebagai
curang yang sering (skor ≥ 5), menguatkan literatur tentang tingginya prevalensi
kecurangan di antara pemain online (Consalvo, 2007; Webb & Soh, 2007). Skor
mereka tidak pernah bermain dengan orang yang mereka temui untuk pertama
kalinya melalui Internet, sementara 33% sering bermain dengan orang asing
(mencetak 5 atau lebih pada rentang frekuensi hingga 7). Identifikasi rata-rata
dengan kelompok adalah 3,20. Pemain pria memiliki skor lebih tinggi pada
identifikasi dengan kelompok dan ditipu secara signifikan lebih sering daripada
positif dan statistik yang signifikan; ada hubungan positif dan statistik yang
kecurangan.
identifikasi kelompok lebih tinggi di antara individu yang bermain lebih sering
dengan orang yang mereka temui pertama kali secara online; dan (3) efek
SIDE adalah model yang efisien untuk menjelaskan perilaku kecurangan dalam
game online. Selanjutnya, kelompok online, meski tidak stabil dan lancar,
di dunia non-maya.
kemampuan menilai diri dan kepedulian terhadap orang lain menurun sehingga
meningkatkan tingkah laku impulsif, yang dalam hal ini dapat saja berbentuk
perilaku agresif. Hal ini sependapat dengan Koeswara (dalam Sari, 2017) yang
dan perilaku agresif yang dilakukan menjadi lebih intens. Menurut Myers
(dalam Putri, 2013) agresi merupakan berbagai perilaku yang diarahkan untuk
jati dirinya sehingga dapat disebut sebagai pribadi yang berjati diri tatkala dalam
pribadi orang yang bersangkutan tercermin penampilan, rasa cipta dan karsa,
sistem nilai (value system), cara pandang (attitude) dan perilaku (behavior)
1. Manfaat teoritis.
2. Manfaat praktis.
d. Aktual
yang ditemukan. Oleh sebab itu, penelitian ini merupakan suatu penelitian yang
Jelaskan!
a. Minat peneliti terhadap topic yang dipilih. Peneliti merasa tertarik dengan
deindividuasi ini menjadi penelitian uang urgen untuk diteliti. Selain itu,
peneliti juga tertarik karena penelitian deindividuasi ini merupakan salah satu
subjek penelitian, terutama kalangan remaja, menjadi daya tarik tambahan bagi
memecahkan masalah dalam topic deindividuasi ini. Selain itu peneliti juga
sponsor dan konsultan, serta perlunya kerja sama dengan pihak lain untuk