Anda di halaman 1dari 22

Nama : Muhammad Nur Fauzi Bagus Mas

NIM : 15081366
Kelas : 13F1
Mata Kuliah : Penyusunan Proposal Penelitian Kuantitatif
Dosen Pengampu : Dr. Triana Noor Edwina DS., M.Si.,

Deindividuasi pada Remaja

Permasalahan : Deindividuasi pada remaja

1. Apa sumber masalahnya? Jelaskan!

Menurut Hall (Sarwono, 2011), masa remaja merupakan masa “sturm und

drang” (topan dan badai), masa penuh emosi dan adakalanya emosinya meledak-ledak,

yang muncul karena adanya pertentangan nilai-nilai. Emosi yang menggebu-gebu ini

adakalanya menyulitkan, baik bagi si remaja maupun bagi orangtua/ orang dewasa di

sekitarnya. Namun emosi yang menggebu-gebu ini juga bermanfaat bagi remaja dalam

upayanya menemukan identitas diri. Reaksi orang-orang di sekitarnya akan menjadi

pengalaman belajar bagi si remaja untuk menentukan tindakan apa yang kelak akan

dilakukannya

Krori (dalam Herlina, 2013) menyatakan bahwa perubahan sosial yang penting

pada masa remaja mencakup meningkatnya pengaruh teman sebaya (peer group), pola

perilaku sosial yang lebih matang, pembuatan kelompok sosial yang baru, dan

munculnya nilai-nilai baru dalam memilih teman dan pemimpin serta nilai dalam

penerimaan sosial. Selain itu, menurut Oswalt (dalam Herlina, 2013) Perkembangan

sosial dan emosional berkaitan sangat erat. Baik pengaturan emosi (berada dalam
kendali emosi) maupun ekspresi emosi (komunikasi efektif tentang emosi) dierlukan

bagi keberhasilan hubungan interpersonal.

Selanjutnya, kemajuan perkembangan kognitif meningkatkan kualitas

hubungan interpersonal karena membuat remaja mampu memahami dengan lebih baik

keinginan, kebutuhan, perasaan, dan motivasi orang lain (Oswalt dalam Herlina, 2013).

Karena itulah, tidak mengherankan, dengan makin kompleksnya pikiran, emosi, dan

identitas pada masa remaja, hubungan sosialnya pun makin kompleks.

Menurut Havighurst (Hurlock, 1990), beberapa tugas perkembagan remaja

adalah mencapai pola hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya yang

berbeda jenis kelamin sesuai dengan keyakinan dan etika moral yang berlaku di

masyarakat, menerima dan mencapai tingkah laku sosial tertentu yang bertanggung

jawab di tengah tengah masyarakatnya, mencapai kebebasan emosional dari orang tua

dan orang-orang dewasa lainnya dan mulai menjadi “diri sendiri” dan memperoleh

seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman bertingkah laku dan

mengembangkan ideologi untuk keperluan kehidupan kewarganegaraannya.

Pada masa ini, menurut Oswalt (Herlina. 2013). remaja menunjukkan beberapa

ciri yaitu keterlibatan dalam hubungan sosial yang lebih mendalam dan secara

emosional lebih intim dibandingkan dengan pada masa kanak-kanak, jaringan sosial

sangat luas, meliputi jumlah orang yang semakin banyak dan jenis hubungan yang

berbeda. Gunarsa dan Gunarsa (1995) menyatakan bahwa pada masa remaja, remaja

mempunyai kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan melakukan

kegiatan berkelompok. Kebersamaan dan kegiatan berkelompok ini memberikan

dorongan moril pada sesama remaja sehingga remaja memperoleh kekuatan dari

keadaan bersama tersebut (Gunarsa & Gunarsa, 1995).


Secara tradisional, manusia dipandang sebagai individu atau sebagai unit yang

terpisah, dan hanya secara insidental sebagai anggota dari suatu kelompok masyarakat

(Saleh, 2015). Selain itu, beberapa sifat naluriah manusia tersebut menurut Bormann

(dalam Saleh, 2015) dan Homans (1950) (dalam Saleh, 2015) beberapa diantaranya bisa

berupa hasrat bergaul, yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan orang lain

dalam menyatakan perasaannya secara bersama-sama, hasrat tolong-menolong dan

bersimpati, yang mendorong terjadinya pembentukan perasaan bersatu padu, hasrat

berjuang, yang secara sepintas nampak sikap menantang sesamanya, tetapi pada

hakikatnya memperkuat ikatan kemasyarakatan, hasrat memberitahukan dan sikap

untuk menerima kesan, yang mendorong individu untuk mengadakan hubungan dan

mempererat ikatan hubungan itu, yang pada akhirnya akan memantapkan kehidupan

berkelompok atau bermasyarakat.

Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa inti suatu kelompok adalah karena

adanya maksud dan tujuan bersama. Kumpulan individu yang interaksinya diatur

(distrukturkan) oleh atau dengan seperangkat peran dan norma (McDavid & Harari,

1968, Rakhmat, 2007 dalam Saleh, 2015). Cattel (dalam Saleh, 2015) menyatakan

bahwa kelompok adalah kumpulan organisme yang bereksistensi dalam keseluruhan

konstelasi (mereka saling menerima hubungan / relationship) yang berguna untuk

pemenuhan kebutuhan masing masing individu. Adapun Bass dalam Yusuf (2009),

memandang kelompok sebagai kumpulan individu yang bereksistensi sebagai

kumpulan yang mendorong atau memotivasi individu anggota kelompok. Kedua

pengertian kelompok ini mengacu pada pemuasan kebutuhan sebagai unsur

pengidentifikasian penerimaan sebagai kelompok. Selanjutnya Bass menambahkan

karakteristik lain dari kelompok adalah kesamaan persepsi, memiliki tujuan yang
sifatnya komunal dan adanya interaksi para anggotanya untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan.

Hal tersebut sejalan dengan kehidupan remaja, remaja sering dihadapkan pada

penerimaan atau penolakan teman sebaya di dalam pergaulan. Untuk menghindari

penolakan teman sebaya, maka remaja cenderung mengikuti hal-hal yang sama dengan

kelompok sebaya agar diterima dengan baik di dalam kelompok sebaya (Mappiare,

1982). Para remaja biasanya membentuk suatu kelompok atau istilah populernya geng.

Kelompok sebaya biasanya memiliki ciri-ciri yang tegas pada tingkah laku yang

ditampilkan oleh anggotanya. Ciri-ciri ini antara lain adalah mode pakaian, cara

bertingkah laku, gaya rambut, minat tehadap musik, sikap terhadap sekolah, orangtua

dan terhadap kelompok lainnya (Monks dkk, 2001).

Sebenarnya tidak ada yang salah dalam pembentukan geng asalkan kegiatannya

berdamapak positif yang dapat menguntungkan orang lain, akan tetapi pada

kenyataannya yang terjadi di lapangan adalah banyaknya geng yang melakukan

tindakan negatif dari pada perbuatan positif seperti yang dilakukan oleh sekelompok

geng klitih yang saat ini marak terjadi di Yogyakarta (Astuti, 2017).

Salah satu kasus kelompok (geng) klitih yang dilansir dalam wargajogja.net,

terjadi pada bulan Maret 2017 yang menewaskan seorang pelajar Sekolah Menengah

Pertama, Ilham Bayu Fajar, akibat ditusuk sekelompok orang di Jalan Kenari utara

Kantor Balaikota Yogyakarta. Kasus penyerangan lain terjadi di Bantul dan

menewaskan seorang pemuda berusia 20 tahun setelah dipukul batako oleh dua orang

tak dikenal (5/11). Korban diketahui bernama Arif Nur Rohman, warga Dusun Mredo

Kabayan, RT 02, Bangunharjo, Sewon, Bantul. Pelaku penyerangan berhasil dibekuk

oleh aparat kepolisian pada hari Senin(6/11) sekitar pukul 08.00 di rumah masing-

masing. Adapun motif penyerangan disebabkan oleh kekesalan tersangka atas ucapan
korban, sehingga tersangka yang merasa tersinggung akhirnya melakukan penyerangan

dengan melempar batako ke arah korban.

Selain korban tewas, kasus penyerangan yang dilakukan oleh kelompok remaja

mengakibatkan korban luka, baik ringan maupun berat. Seperti yang terjadi kepada

korban Muhammad Nur Sidiq(18), warga Bantul yang mengalami luka di bagian

tangan, kepala dan punggung akibat diserang oleh sekelompok orang dengan gir

bergagang besi di Jalan Imogiri Barat Sudimoro Timbulharjo Kecamatan Sewon Bantul

(24/11). Kasus lain menimpa Wildan Chandra (16) yang menderita luka di pergelangan

tangan dan bahu akibat sabetan celurit saat melintas di perempatan traffic Bakulan oleh

pengendara motor tak dikenal yang teridentifikasi masih usia remaja (13/11).

Berdasarkan hal tersebut diatas, timbullah pertanyaan: Apakah kelompok

memiliki pengaruh negatif bagi individu? Apakah perilaku geng Klitih atau geng

remaja pada umumnya mencerminkan perilaku personal atau kelompok? Dengan

adanya kasus tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa situasi-situasi kelompok dapat

menyebabkan orang kehilangan self-awareness dengan hasil hilang individualitas dan

self restrain (Myers, 2012). Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan deindividuasi.

Menurut Myers (2010), deindividuasi merupakan hilangnya kesadaran diri

(self-awareness) dan kehawatiran umtuk mengevaluasi diri sendiri, terjadi dalam situasi

kelompok untuk lebih responsif terhadap norma kelompok, dalam hal baik atau buruk.

Diener (dalam Li, 2010) mendefinisikan deindividuasi sebagai proses psikologis

dimana kesadaran diri (self-awareness) berkurang. Festinger (dalam Chang, 2008)

mengatakan deindividuasi sebagai hasil pengekangan dari perilaku yang diinginkan

individu tetapi bertolak belakang dengan norma sosial.

Kesadaran diri (self-awareness) sangatlah penting untuk dimiliki oleh remaja

karena kesadaran diri (self-awareness) merupakan perwujudan jati diri pribadi


seseorang dapat disebut sebagai pribadi yang berjati diri tatkala dalam pribadi orang

yang bersangkutan tercermin penampilan, rasa cipta dan karsa, sistem nilai (value

system), cara pandang (attitude) dan perilaku (behavior) yang ia miliki (Soedarsono

dalam Malikah, 2013). Gea (dalam Malikah, 2013) mendefinisikan kesadaran diri

sebagai pemahaman terhadap kekhasan fisik, kepribadian, watak dan temperamennya :

mengenal bakat-bakat alamiah yang dimilikinya dan punya gambaran atau konsep yang

jelas tentang diri sendiri dengan segala kekuatan dan kelemahannya.

Selain itu, menurut Maharani (2013) self – awareness atau kesadaran diri adalah

wawasan kedalam atau wawasan mengenai alasan-alasan dari tingkah laku sendiri atau

pemahaman diri sendiri. Self – awareness atau kesadaran diri adalah bahan baku yang

penting untuk menunjukkan kejelasan dan pemahaman tentang perilaku seseorang. Self

– awareness atau kesadaran diri adalah bahan baku yang penting untuk menunjukkan

kejelasan dan pemahaman tentang perilaku seseorang. Kesadaran diri juga menjadi titik

tolak bagi perkembangan pribadi. Patton (dalam Maharani, 2013) menyebutkan bahwa

kesadaran diri merupakan sifat yang ada pada Emosional Intellegency dan pada titik

kesadaran inilah pemgembangan (EQ) dapat dimulai, saluran menuju pada kesadaran

diri adalah rasa tanggung jawab dan keberanian.

Dengan demikian, berkurangnya kesadaran diri (self-awareness) pada remaja

memungkinkan pudarnya identitas personal anggota kelompok. Identitas pribadi

ataupun kenyakinan yang dimiliki individu tenggelam oleh nilai-nilai yang berlaku

dalam kelompok. Kelompok memang lebih irasional, lebih implusif, dan lebih

kekanak-kanakan dari pada jiwa individu-individu sebagai perorangan (Putri, 2013).

Setiadi (2001), mengatakan bahwa deindividuasi adalah suatu situasi dimana

kesadaran diri, kemampuan menilai-diri dan kepedulian terhadap orang lain menurun

sehingga meningkatkan tingkah laku impulsif, yang dalam hal ini dapat saja berbentuk
perilaku agresif. Hal ini sependapat dengan Koeswara (dalam Sari, 2017) yang

menyatakan bahwa deindividuasi bisa mengarahkan individu pada kekuasaan, dan

perilaku agresif yang dilakukan menjadi lebih intens. Menurut Myers (dalam Putri,

2013) agresi merupakan berbagai perilaku yang diarahkan untuk membahayakan

makhluk hidup lain.

2. Jelaskan mengapa deindividuasi dianggap sebagai permasalahan!

Beberapa tugas perkembagan remaja adalah mencapai pola hubungan baru yang

lebih matang dengan teman sebaya yang berbeda jenis kelamin sesuai dengan

keyakinan dan etika moral yang berlaku di masyarakat, menerima dan mencapai

tingkah laku sosial tertentu yang bertanggung jawab di tengah tengah masyarakatnya,

mencapai kebebasan emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya dan

mulai menjadi “diri sendiri” dan memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai

pedoman bertingkah laku dan mengembangkan ideologi untuk keperluan kehidupan

kewarganegaraannya (Havighurst dalam Hurlock, 1990).

Pada masa ini, menurut Oswalt (Herlina. 2013) remaja menunjukkan salah satu ciri

yaitu keterlibatan dalam hubungan sosial yang lebih mendalam dan secara emosional

lebih intim dibandingkan dengan pada masa kanak-kanak. Gunarsa dan Gunarsa (1995)

menyatakan bahwa pada masa remaja, remaja mempunyai kecenderungan membentuk

kelompok dan kecenderungan melakukan kegiatan berkelompok. Kebersamaan dan

kegiatan berkelompok ini memberikan dorongan moril pada sesama remaja sehingga

remaja memperoleh kekuatan dari keadaan bersama tersebut (Gunarsa & Gunarsa,

1995).
Disamping itu, situasi-situasi kelompok dapat menyebabkan orang kehilangan self-

awareness dengan hasil hilang individualitas dan self restrain (Myers, 2012). Kondisi

tersebut berpotensi menimbulkan deindividuasi. Deindividuasi dapat

meningkatkan Obedience terhadap norma dalam suatu kelompok (Aronson, 2007).

Menurut Myers (2010), deindividuasi merupakan hilangnya kesadaran diri (self-

awareness) dan kehawatiran umtuk mengevaluasi diri sendiri, terjadi dalam situasi

kelompok untuk lebih responsif terhadap norma kelompok, dalam hal baik atau buruk.

Diener (dalam Li, 2010) mendefinisikan deindividuasi sebagai proses psikologis

dimana kesadaran diri (self-awareness) berkurang.

Kesadaran diri (self-awareness) sangatlah penting untuk dimiliki oleh remaja

karena kesadaran diri (self-awareness) merupakan perwujudan jati diri pribadi

seseorang dapat disebut sebagai pribadi yang berjati diri tatkala dalam pribadi orang

yang bersangkutan tercermin penampilan, rasa cipta dan karsa, sistem nilai (value

system), cara pandang (attitude) dan perilaku (behavior) yang ia miliki (Soedarsono

dalam Malikah, 2013). Gea (dalam Malikah, 2013) mendefinisikan kesadaran diri

sebagai pemahaman terhadap kekhasan fisik, kepribadian, watak dan temperamennya,

mengenal bakat-bakat alamiah yang dimilikinya dan punya gambaran atau konsep yang

jelas tentang diri sendiri dengan segala kekuatan dan kelemahannya.

Selain itu, menurut Maharani (2013) self – awareness atau kesadaran diri adalah

wawasan kedalam atau wawasan mengenai alasan-alasan dari tingkah laku sendiri atau

pemahaman diri sendiri. Self – awareness atau kesadaran diri adalah bahan baku yang

penting untuk menunjukkan kejelasan dan pemahaman tentang perilaku seseorang.

Kesadaran diri juga menjadi titik tolak bagi perkembangan pribadi. Patton (dalam

Maharani, 2013) menyebutkan bahwa kesadaran diri merupakan sifat yang ada pada

Emosional Intellegency dan pada titik kesadaran inilah pemgembangan (EQ) dapat
dimulai, saluran menuju pada kesadaran diri adalah rasa tanggung jawab dan

keberanian.

Dengan demikian, berkurangnya kesadaran diri (self-awareness) pada remaja

memungkinkan pudarnya identitas personal anggota kelompok. Identitas pribadi

ataupun kenyakinan yang dimiliki individu tenggelam oleh nilai-nilai yang berlaku

dalam kelompok. Kelompok memang lebih irasional, lebih implusif, dan lebih

kekanak-kanakan dari pada jiwa individu-individu sebagai perorangan (Putri, 2013).

Setiadi (2001), mengatakan bahwa deindividuasi adalah suatu situasi dimana

kesadaran diri, kemampuan menilai diri dan kepedulian terhadap orang lain menurun

sehingga meningkatkan tingkah laku impulsif, yang dalam hal ini dapat saja berbentuk

perilaku agresif. Hal ini sependapat dengan Koeswara (dalam Sari, 2017) yang

menyatakan bahwa deindividuasi bisa mengarahkan individu pada kekuasaan, dan

perilaku agresif yang dilakukan menjadi lebih intens. Menurut Myers (dalam Putri,

2013) agresi merupakan berbagai perilaku yang diarahkan untuk membahayakan

makhluk hidup lain.

a. Pengertian dari deindividuasi

Diener (dalam Li, 2010) mendefinisikan deindividuasi sebagai proses psikologis

dimana kesadaran diri (self-awareness) berkurang. Festinger (dalam Chang, 2008)

mengatakan deindividuasi sebagai hasil pengekangan dari perilaku yang diinginkan

individu tetapi bertolak belakang dengan norma sosial. Teori deindividuasi juga

menegaskan peleburan individu terhadap kelompok membuat individu kehilangan

identitas diri, yang berakibat seseorang berprilaku agresif atau menyimpang dari

perilaku sosial.
Peneliti di bidang psikologi sosial telah mengidentifikasi beberapa variabel yang

menyebabkan deindividuasi (Guerin dalam Chang, 2008). Secara khusus, banyak

penelitian telah mengidentifikasi anonimitas sebagai faktor kunci yang

menghasilkan efek deindividuasi (Silke dalam Chang, 2008). Meskipun literature

literature tentang deindividuasi sering berimplikasi dengan anonimitas, ada

perdebatan mengenai apa peran dan efek anonimitas dalam perilaku kelompok dan

identitas seseorang (Lea, Spears, dan de Groot dalam Chang, 2008). Menurut

Postmes, Spears, Sakhel, dan de Groot (dalam Chang, 2008), permasalahan ini

terbukti dalam penekanan pada anonimitas oleh dua kerangka yang berlawanan:

teori deindividuasi dan model Social Identity of Deindividuation Effects (SIDE).

1. Teori Deindividuasi

Festinger, Pepitone, dan Newcomb (dalam Chang, 2008) menggunakan

istilah deindividuasi untuk menggambarkan efek kerumunan atau kelompok

terhadap perilaku seseorang. Festinger dkk. mengklaim bahwa, sebagai akibat

dari pengekangan terhadap perilaku sehari hari individu, individu tersebut "

mampu berperilaku semaunya, dimana, ketika sendirian, mereka tidak akan

berbuat semaunya " (hal 382). Teori Deindividuasi juga menegaskan bahwa

peleburan individu di dalam kerumunan atau kelompok mengakibatkan

hilangnya identitas diri (Diener, 1980; Festinger et al., Zimbardo dalam Chang,

2008). Akibatnya, hilangnya rasa identitas pribadi seseorang ini lebih

cenderung mendorong orang untuk bertindak agresif atau menyimpang dari

perilaku sosial yang dapat diterima saat mereka berada dalam pengaturan

kelompok daripada saat mereka sendiri (Diener, 1980; Zimbardo, dalam

Chang, 2008).
2. Pendekatan SIDE

The Social Identity model of Deindividuation Effects (SIDE)

digambarkan sebagai pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan perilaku

kelompok dengan penyesuaian individu terhadap norma-norma dalam

kelompok yang menonjol (Kugihara, 2001; Reicher, Spears, & Postmes dalam

Chang, 2008). Tidak seperti teori deindividuasi, SIDE menegaskan bahwa

perilaku kelompok lebih diatur sesuai dengan kebaikan secara keseluruhan

(Reicher et al. dalam Chang, 2008). SIDE lebih berfokus pada sifat

deindividuasi positif, bukan negatif. SIDE juga mengusulkan dua jenis

kemungkinan efek deindividuasi yang terkait dengan perilaku kelompok: (1)

efek kognitif atau self-categorical, yang menghubungkan efek terdeindividuasi

dengan situasi di mana orang lain tidak dikenal atau hanya dikenali oleh diri

sendiri, dan (2) efek strategis, yang berhubungan untuk situasi di mana diri

dapat diidentifikasi orang lain (Douglas dan McGarty, 2001; Reicher et al.,

dalam Chang, 2008). Berdasarkan pendekatan ini, jika individu menganggap

kelompok itu penting dan individu dapat mengidentifikasi kelompok tersebut,

dia cenderung berperilaku sesuai dengan norma-norma yang ditetapkan oleh

kelompok spesifik (Kugihara, dalam Chang, 2008). Dengan cara ini, arti

penting kelompok tersebut mendorong seseorang untuk mengidentifikasi

kelompok tersebut dan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan norma

kelompok.

b. Aspek dari deindividuasi


Singer, Brush and Lublin’s (dalam Chang, 2008) mempelajari beberapa aspek

dari deindividuasi dalam studinya yang berjudul “Some Aspects of Deindividuation:

Identification and Conformity”, yaitu :

a. Identifikasi, yaitu banyaknya kesamaan individu dengan kelompok

b. Penyesuaian diri, yaitu keadaan dimana individu menyesuaikan diri dengan

aktivitas kelompok dan yakin bahwa dia tidak akan dikaitkan dengan

penyimpangan dari norma sosial dan konsekuensi penyimpangan.

Selain itu, Prentice-Dunn dan Rogers (1980) yang melakukan Analisis faktor

eksploratori dari kuesioner menghasilkan dua faktor prediksi, mengubah

pengalaman dan kesadaran diri. Dengan demikian, penulis mengusulkan model di

mana variabel anonimitas, kurangnya tanggung jawab dan gairah menyebabkan

keadaan subjektif dari deindividuation terdiri dari dua faktor:

a. Perubahan pengalaman, mengacu pada perubahan proses internal, seperti

pikiran, emosi, perasaan, dan persepsi

b. Perubahan kesadaran diri, mengacu pada kemampuan untuk mengakses diri

dan fokus pada diri sendiri, sedangkan yang pertama.

Disimpulkan bahwa proses deindividuasi mengurangi kesadaran diri dan

mengubah tidak hanya proses kognitif tetapi juga afektif, yang dapat menyebabkan

perilaku antinormatif.

c. Data / fakta tentang deindividuasi

Salah satu skenario virtual untuk diinvestigasi adalah game virtual. Perilaku

kecurangan dalam permainan virtual mungkin merupakan area yang menjanjikan


untuk dianalisis karena mengingat prevalensi deindividuasi yang tinggi di antara

pemain (Webb & Soh, 2007) dan rendahnya jumlah penelitian yang mencoba

menjelaskan mekanisme terjadinya hal itu. Untuk menyelidiki masalah ini, Chen

dan Wu (2015) menggunakan SIDE untuk menganalisis bagaimana CMC

anonimitas mempengaruhi kecurangan dalam game online. Dalam penelitian ini,

kecurangan didefinisikan sebagai "strategi yang digunakan pemain untuk

mendapatkan keuntungan yang tidak adil atas pemain lawannya atau untuk

mencapai target yang tidak seharusnya dicapai sesuai dengan peraturan permainan

atau atas pertimbangan dari operator game. "(Chen & Wu, 2015, hal 659).

Penelitian oleh Chen dan Wu (2015) menggunakan sebuah survei untuk menilai

pengaruh anonimitas, arti penting norma kelompok dan identifikasi kelompok

dalam perilaku kecurangan dalam permainan online. Desain penelitian ini dipilih

karena kemungkinan penilaian yang lebih sesuai secara ekologis daripada desain

eksperimental. Secara historis, penelitian yang melibatkan SIDE tidak memiliki

validitas ekologis yang baik karena terbatas pada kondisi laboratorium dan

melibatkan skenario hipotetis tanpa konsekuensi di luar laboratorium (Postmes et

al., 1998). Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari sebuah survei yang

dilakukan pada skala nasional di Singapura. Studi tersebut meneliti perilaku yang

berkaitan dengan game online remaja. Sampel mewakili jumlah penduduk.

Hipotesis dari studi ini didasarkan pada SIDE: (1) semakin sering seseorang

bermain game secara anonim, semakin sering dia menipu dalam permainan; (2)

Semakin sering seseorang bermain game secara anonim, identifikasi kelompok

yang lebih menonjol adalah yang ditunjukkannya dalam komunitas permainan; dan

(3) identifikasi kelompok game adalah mediator hubungan antara permainan

anonim dan kecurangan permainan. Kriteria inklusi berusia 18 tahun ke bawah,


menjadi warga negara Singapura atau penduduk tetap, tinggal di wilayah

pemukiman sasaran dan bermain game online. Untuk mengukur variabel

kecurangan, peserta diminta untuk menyatakan seberapa sering mereka melakukan

kecurangan dalam game online. Anonimitas diukur dengan penilaian frekuensi

dimana peserta bermain dengan orang yang mereka kenal secara online. Identifikasi

kelompok diukur dengan melaporkan frekuensi dimana pemain terlibat dengan

kelompok atau komunitas game online karena diasumsikan berdasarkan teori self-

categorization (Turner et al., 1987), bahwa semakin seseorang berinteraksi dengan

komunitas tertentu, semakin penting kategori selfcategorization yang terkait dengan

komunitas ini. Variabel diukur dengan menggunakan skala tujuh poin (1 = tidak

sampai 7 = sangat sering).

Sebagian besar peserta (70%) paling tidak menipu setidaknya sesekali, dan

sisanya (30%) melaporkan bahwa mereka tidak menipu. Tujuh belas persen peserta

dikategorikan sebagai curang yang sering (skor ≥ 5), menguatkan literatur tentang

tingginya prevalensi kecurangan di antara pemain online (Consalvo, 2007; Webb &

Soh, 2007). Skor anonimitas rata-rata adalah 3,43. Selanjutnya, 29% peserta

melaporkan bahwa mereka tidak pernah bermain dengan orang yang mereka temui

untuk pertama kalinya melalui Internet, sementara 33% sering bermain dengan

orang asing (mencetak 5 atau lebih pada rentang frekuensi hingga 7). Identifikasi

rata-rata dengan kelompok adalah 3,20. Pemain pria memiliki skor lebih tinggi pada

identifikasi dengan kelompok dan ditipu secara signifikan lebih sering daripada

wanita. Analisis regresi yang mengendalikan gender menyimpulkan bahwa

frekuensi dimana seseorang bermain secara anonim adalah prediktor kecacatan

positif dan statistik yang signifikan; ada hubungan positif dan statistik yang

signifikan antara frekuensi dimana individu bermain secara anonim dan identifikasi
dengan kelompok; dan identifikasi dengan kelompok, mengendalikan gender,

bertindak sebagai mediator efek anonimitas terhadap kecurangan.

Hasil penelitian mendukung tiga hipotesis: (1) bermain online dengan orang

asing secara signifikan meningkatkan perilaku kecurangan; (2) identifikasi

kelompok lebih tinggi di antara individu yang bermain lebih sering dengan orang

yang mereka temui pertama kali secara online; dan (3) efek anonimitas dalam

kecurangan dimediasi oleh identifikasi kelompok di komunitas online. Secara

keseluruhan, penelitian tersebut menunjukkan bahwa SIDE adalah model yang

efisien untuk menjelaskan perilaku kecurangan dalam game online. Selanjutnya,

kelompok online, meski tidak stabil dan lancar, memiliki pengaruh kuat terhadap

perilaku dan kepercayaan anggotanya, seperti di dunia non-maya.

d. Factor – factor yang mempengaruhi deindividuasi

Menurut Myers (2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang

mengalami deindividuasi. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Ukuran kelompok

Kelompok tidak hanya dapat membuat anggotanya bangkit tetapi juga dapat

membuat anggotanya tidak ter-identifikasi. Leon Mann (dalam Myers, 2008)

mengungkapkan bahwa ketika seorang individu dalam kelompok kecil yang

membuat dirinya dapat di identifikasi individu akan lebih tekontrol perilakunya.

Sedangkan, pada saat individu dalam kelompok besar dan tidak dapat

teridentifikasi individu akan lebih berani untuk melakukan hal yang tidak sesuai

aturan.

2. Physical Anonymity
Ed Diener (dalam Myers, 2008) melakukan penelitian mengenai efek dari

individu berada dalam kelompok dan dalam kondisi anonim. Penelitian tersebut

menunjukan bahwa individu yang berada dalam kelompok dan kondisi anonim

akan berprilaku seperti yang mereka inginkan. Selain itu, menurut Tom Postmes

& Russel Spears (dalam Myers, 2008) kondisi anonim membuat kesadaran diri

individu berkurang menjadi kesadaran dalam kelompok dan bereaksi sesuai

situasi negatif maupun positif.

3. Arousing and Distracting Activities

Perilaku agresi yang dilakukan oleh kelompok besar biasanya dipicu oleh

aksi seseodrang yang mengalihkan perhatian kelompok. Menurut Oliver (1984)

aksi impulsive kelompok menyerap perhatian kita. Ketika kita melakukan

tindakan agresi kepada seseorang sebenarnya bukan karena untuk membela

dirinya tetapi karena pengaruh situasi dan kelompok.

3. Apakah permasalahan tersebut memenuhi ciri – ciri topic yang baik? Jelaskan!

Permasalahan mengenai deindividuasi ini telah memenuhi ciri-ciri topik penelitian

yang baik menurut Azwar (2004), antara lain adalah :

a. Urgen untuk Diteliti.

Menurut Myers (2010), deindividuasi merupakan hilangnya kesadaran

diri (self-awareness) dan kehawatiran umtuk mengevaluasi diri sendiri, terjadi

dalam situasi kelompok untuk lebih responsif terhadap norma kelompok, dalam

hal baik atau buruk. Diener (dalam Li, 2010) mendefinisikan deindividuasi

sebagai proses psikologis dimana kesadaran diri (self-awareness) berkurang.

Berdasarkan pendekatan SIDE (The Social Identity model of Deindividuation

Effects) digambarkan sebagai pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan


perilaku kelompok dengan penyesuaian individu terhadap norma-norma dalam

kelompok yang menonjol (Kugihara, 2001; Reicher, Spears, & Postmes dalam

Chang, 2008).

Tidak seperti teori deindividuasi, SIDE menegaskan bahwa perilaku

kelompok lebih diatur sesuai dengan kebaikan secara keseluruhan (Reicher et

al. dalam Chang, 2008). SIDE lebih berfokus pada sifat deindividuasi positif,

bukan negatif. SIDE juga mengusulkan dua jenis kemungkinan efek

deindividuasi yang terkait dengan perilaku kelompok: (1) efek kognitif atau

self-categorical, yang menghubungkan efek terdeindividuasi dengan situasi di

mana orang lain tidak dikenal atau hanya dikenali oleh diri sendiri, dan (2) efek

strategis, yang berhubungan untuk situasi di mana diri dapat diidentifikasi orang

lain (Douglas dan McGarty, 2001; Reicher et al., dalam Chang, 2008).

Berdasarkan pendekatan ini, jika individu menganggap kelompok itu

penting dan individu dapat mengidentifikasi kelompok tersebut, dia cenderung

berperilaku sesuai dengan norma-norma yang ditetapkan oleh kelompok

spesifik (Kugihara, dalam Chang, 2008). Dengan cara ini, arti penting kelompok

tersebut mendorong seseorang untuk mengidentifikasi kelompok tersebut dan

untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan norma kelompok.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilalkukan oleh Chen dan Wu (2015)

menggunakan SIDE untuk menganalisis bagaimana CMC anonimitas

mempengaruhi kecurangan dalam game online. Dalam penelitian ini,

kecurangan didefinisikan sebagai "strategi yang digunakan pemain untuk

mendapatkan keuntungan yang tidak adil atas pemain lawannya atau untuk

mencapai target yang tidak seharusnya dicapai sesuai dengan peraturan


permainan atau atas pertimbangan dari operator game. "(Chen & Wu, 2015, hal

659).

Penelitian ini dilakukan karena perilaku kecurangan dalam permainan

virtual mungkin merupakan area yang menjanjikan untuk dianalisis karena

mengingat prevalensi deindividuasi yang tinggi di antara pemain (Webb & Soh,

2007) dan rendahnya jumlah penelitian yang mencoba menjelaskan mekanisme

terjadinya hal itu.

Penelitian oleh Chen dan Wu (2015) ini menggunakan sebuah survei

untuk menilai pengaruh anonimitas, arti penting norma kelompok dan

identifikasi kelompok dalam perilaku kecurangan dalam permainan online.

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari sebuah survei yang dilakukan pada

skala nasional di Singapura. Studi tersebut meneliti perilaku yang berkaitan

dengan game online remaja. Sampel mewakili jumlah penduduk.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar peserta

(70%) paling tidak menipu setidaknya sesekali, dan sisanya (30%) melaporkan

bahwa mereka tidak menipu. Tujuh belas persen peserta dikategorikan sebagai

curang yang sering (skor ≥ 5), menguatkan literatur tentang tingginya prevalensi

kecurangan di antara pemain online (Consalvo, 2007; Webb & Soh, 2007). Skor

anonimitas rata-rata adalah 3,43. Selanjutnya, 29% peserta melaporkan bahwa

mereka tidak pernah bermain dengan orang yang mereka temui untuk pertama

kalinya melalui Internet, sementara 33% sering bermain dengan orang asing

(mencetak 5 atau lebih pada rentang frekuensi hingga 7). Identifikasi rata-rata

dengan kelompok adalah 3,20. Pemain pria memiliki skor lebih tinggi pada

identifikasi dengan kelompok dan ditipu secara signifikan lebih sering daripada

wanita. Analisis regresi yang mengendalikan gender menyimpulkan bahwa


frekuensi dimana seseorang bermain secara anonim adalah prediktor kecacatan

positif dan statistik yang signifikan; ada hubungan positif dan statistik yang

signifikan antara frekuensi dimana individu bermain secara anonim dan

identifikasi dengan kelompok; dan identifikasi dengan kelompok,

mengendalikan gender, bertindak sebagai mediator efek anonimitas terhadap

kecurangan.

Hasil penelitian mendukung tiga hipotesis: (1) bermain online dengan

orang asing secara signifikan meningkatkan perilaku kecurangan; (2)

identifikasi kelompok lebih tinggi di antara individu yang bermain lebih sering

dengan orang yang mereka temui pertama kali secara online; dan (3) efek

anonimitas dalam kecurangan dimediasi oleh identifikasi kelompok di

komunitas online. Secara keseluruhan, penelitian tersebut menunjukkan bahwa

SIDE adalah model yang efisien untuk menjelaskan perilaku kecurangan dalam

game online. Selanjutnya, kelompok online, meski tidak stabil dan lancar,

memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku dan kepercayaan anggotanya, seperti

di dunia non-maya.

Berdasar hal tersebut diatas, mendukung pernyataan Setiadi (2001) yang

mengatakan bahwa deindividuasi adalah suatu situasi dimana kesadaran diri,

kemampuan menilai diri dan kepedulian terhadap orang lain menurun sehingga

meningkatkan tingkah laku impulsif, yang dalam hal ini dapat saja berbentuk

perilaku agresif. Hal ini sependapat dengan Koeswara (dalam Sari, 2017) yang

menyatakan bahwa deindividuasi bisa mengarahkan individu pada kekuasaan,

dan perilaku agresif yang dilakukan menjadi lebih intens. Menurut Myers

(dalam Putri, 2013) agresi merupakan berbagai perilaku yang diarahkan untuk

membahayakan makhluk hidup lain. Sehingga, penelitian mengenai


deindividuasi ini penting dilakukan untuk mencoba menjelaskan mekanisme

terjadinya perilaku agresif yang mungkin akan dialami oeh remaja.

b. Membuahkan Sesuatu yang Baru bagi Ilmu Pengetahuan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara ilmiah

mengenai deindividuasi pada remaja karena belum banyaknya ditemui

penelitian-penelitian sebelumnya. Dengan adanya penelitian ini juga

diharapkan dapat memberikan gambaran pada remaja untuk dapat

meningkatkan kesadaran dirinya ketika berada dalam kelompok karena dengan

adanya kesadaran diri (self-awareness) remaja diharapkan mampu mewujudkan

jati dirinya sehingga dapat disebut sebagai pribadi yang berjati diri tatkala dalam

pribadi orang yang bersangkutan tercermin penampilan, rasa cipta dan karsa,

sistem nilai (value system), cara pandang (attitude) dan perilaku (behavior)

yang ia miliki (Soedarsono dalam Malikah, 2013).

c. Sumbangan bagi Pengembangan Ilmu dan Bermanfaat bagi Masyarakat.

1. Manfaat teoritis.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan

ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu psikologi sosial dan juga

psikologi perkembangan, serta dapat memperluas cakrawala berpikir bagi

para mahasiswa, sehingga dapat melengkapi pengetahuan mahasiswa

mengenai deindividuasi pada remaja.

2. Manfaat praktis.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

dan wawasan pembaca, dapat memberikan gambaran nyata tentang


deindividuasi pada remaja serta dapat menjadi literatur yang menunjang

penelitian-penelitian senada di masa mendatang.

d. Aktual

Deindividuasi merupakan istilah yang masih asing bagi sebagian orang

terutama orang yang bukan berkecimpung di dunia psikologi. Perilaku

deindividuasi jarang diteliti di lihat dari tidak banyaknya penelitian-penelitian

yang ditemukan. Oleh sebab itu, penelitian ini merupakan suatu penelitian yang

aktual untuk dilakukan.

4. Apa pertimbangan Anda memilih permasalahan tersebut sebagai topic permasalahan?

Jelaskan!

Pertimbangan peneliti memilih permasalahan tersebut sebagai topic

permasalahan antara lain :

a. Minat peneliti terhadap topic yang dipilih. Peneliti merasa tertarik dengan

penelitian mengenai deindividuasi ini karena belum banyaknya penelitian

mengenai deindividuasi terutama di Indonesia sehingga penelitian mengenai

deindividuasi ini menjadi penelitian uang urgen untuk diteliti. Selain itu,

peneliti juga tertarik karena penelitian deindividuasi ini merupakan salah satu

factor penyebab munculnya perilaku agresi seperti yang dinyatakan Koeswara

(dalam Sari, 2017) bahwa deindividuasi bisa mengarahkan individu pada

kekuasaan, dan perilaku agresif yang dilakukan menjadi lebih intens.


b. Ketersediaan sumber referensi. Meskipun sumber referensi yang membahas

mengenai deindividuasi ini masih sedikit terutama referensi berbahasa

Indonesia, peneliti merasa tertantang dan sekaligus belajar untuk memahami

materi mengenai deindividuasi berdasarkan referensi berbahasa Inggris.

c. Ketersediaan sumber daya. Banyaknya individu yang dapat dijadikan sebagai

subjek penelitian, terutama kalangan remaja, menjadi daya tarik tambahan bagi

peneliti untuk melakukan penelitian mengenai deindividuasi pada remaja.

d. Kemampuan peneliti. Topik mengenai deindividuasi ini tentunya sudah dapat

mudah dijangkauan oleh kemampuan peneliti. Maka dalam memilihnya,

peneliti perlu mempertimbangkan lagi beberapa segi, antara lain: kemampuan

memecahkan masalah dalam topic deindividuasi ini. Selain itu peneliti juga

perlu memerhatikan hal-hal seperti ketersediaan dana yang cukup untuk

pelaksanaan penelitian, batas waktu untuk menyelesaikan penelitian, adanya

sponsor dan konsultan, serta perlunya kerja sama dengan pihak lain untuk

menunjang jalannya penelitian.

Anda mungkin juga menyukai