Anda di halaman 1dari 11

1

Kelompok VI
Nama
- Fajar Manase H. Panggabean
- Nella Estaurina Br. Sirait
- Raka Sharmaraya
Kelas/ Jurusan : II-A/ Theologi
Mata Kuliah : Etika Kristen I
Dosen Pengampu : Kaleb Manurung, M.Th

Sistem Etika Agama Hindu

I. Pendahuluan
Agama semata-mata tidak hanya melihat ajaran agama dari segi teologisnya, tetapi
juga hal-hal praktis, sehingga dapat dilihat apakah sesudah beragama, perilakunya menjadi
semakin lebih baik atau tidak, begitu juga dengan agama Hindu. Agama Hindu menjunjung
tinggi sila (etika) sehingga orang yang menghiraukannya disebut sebagai orang rendahan
(Nica) yang pada hakikatnya mati meskipun mereka masih hidup. Dalam ajaran Hindu, etika
dipahami sebagai penekanan adanya moral ataupun kebiasaan dalam kehidupan masyarakat.
Untuk lebih jelasnya, dalam sajian ini akan dijelaskan sistem etika Agama Hindu. Semoga
menambah wawasan bagi kita semua.

II. Pembahasan
2.1. Pengertian Etika
Kata “etika” asalnya dari beberapa kata Yunani yang hampir sama bunyinya, yaitu
ethos dan éthos atau ta ethika. Kata ethos artinya kebiasaan, adat. Kata éthos dan éthikos
lebih berarti kesusilaan, perasaan batin atau kecenderungan hati seseorang saat/ dalam
melaksanakan suatu perbuatan. Apa yang dimaksud dengan “etika” dalam bahasa Indonesia
lebih tepat dengan kata “kesusilaan”. Kata “sila”, yang terdapat dalam bahsa Sansekerta dan
kesusasteraan Pali dalam kebudayaan Buddha, mempunyai banyak arti. Pertama Sila bisa
berarti norma (kaidah), peraturan hidup, perintah. Kedua, kata ini menyatakan pula keadaan
batin terhadap peraturan hidup, hingga dapat berarti juga sikap, ke-adab-an, siasat batin, peri-
kelakuan, sopan santun dan sebagainya. Kata su berarti baik, bagus. Kata ini pertama
menunjukkan norma dan menerangkan bahwa norma itu baik. Kedua, menunjukkan sikap
2

terhadap norma itu dan menyatakan bahwa peri-kelakuan harus sesuai dengan norma. Karena
itu kata kesusilaan tepat untuk menyatakan pengertian Etika.1

2.2. Pengertian Etika Menurut Agama Hindu


Etika dalam agama Hindu adalah suatu kewajiban ataupun pedoman yang harus
dilakukan bagi penganut agama Hindu untuk menentukan tingkah lakunya dan dijadikan
sebagai titik tolak berpikir dan bertindak, suatu pola kepercayaan yang didasarkan dari
sebuah kitab yang dimilikinya, yaitu Kitab Weda. Dalam ruang lingkup kehidupan bersama,
hal ini terjadi karena adanya moral bertindak dalam hidup sehari-hari bagi agama Hindu.2
Dalam agama Hindu, etika dinamakan susila, yang berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu “su” yang berarti baik dan “sila” yang berarti kebiasaan atau tingkah laku perbuatan
manusia yang baik. Dalam hal ini maka etika dalam agama Hindu dikatakan sebagai ilmu
yang mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan manusia, mengenai
apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus ditinggalkan, sehingga dengan demikian akan
tercipta kehidupan yang rukun dan damai dalam kehidupan manusia. Pada dasarnya etika
merupakan rasa cinta kasih, rasa kasih sayang, di mana seseorang menjalani dan
melaksanakan etika itu karena ia mencintai dirinya sendiri dan menghargai orang lain.3
Etika menurut agama Hindu merupakan ajaran tentang perbuatan yang baik dan yang
buruk, juga ada larangan-larangan umum yakni larangan membunuh, mencuri dan bercerai
dalam perkawinan. Yang mana menurut agama Hindu, segala yang diakui oleh tradisi dan
adat kebiasaan, dan yang disebut anak baik adalah jalan yang sempit, yakni suatu kewajiban
yang ditetapkan oleh susunan kasta bagi orang Hindu supaya dilakukan. Orang Hindu
membagi-bagi pelanggaran menjadi pelanggaran yang besar dan pelanggaran yang kurang
besar. Contoh pembunuhan atau pencurian, dimana seorang kasta Brahmana menjadi korban,
dianggap sebagai pelanggaran yang lebih besar dari pada jika seorang warga dari kasta yang
lebih rendah terbunuh atau kecurian. Selanjutnya bahwa berzinah dengan istri gurunya sendiri
dipandang sebagai perbuatan sumbang (berzinah dengan saudara) yang masuk pelanggaran
berat, mabuk juga merupakan pelanggaran berat. Sebagai kebajikan yang positif misalnya
suka terima tamu dan suka memberi, tidak mementingkan diri sendiri, hormat kepada hidup,
cinta pada kebenaran dan kesungguhan.4

1
J. Verkuyl, Etika Kristen: Bagian Umum, (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), 1.
2
Harun Hadiwijono, Agama Hindu-Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, 1989), 22.
3
Gede Pudja, Agama Hindu, (Jakarta: Mayasari, 1984), 27-28.
4
A. G. Honig, Jr, Ilmu Agama, (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), 145-146.
3

2.3. Ajaran Etika dalam Agama Hindu5


2.3.1. Tri Kaya Parisuddha
Kata Tri Kaya Parisuddha berasal dari kata “Tri”yang berarti tiga, “kaya” berarti
perilaku atau perbuatan dan “Parisuddha” yang berarti baik, bersih, suci dan disucikan. Tri
kaya Parisuddha artinya tiga perilaku manusia yaitu pikiran, perkataan dan perbuatan, yang
harus disucikan. Pikiran, perkataan dan perbuatan tidak boleh dikotori dengan perilaku yang
tidak baik. Ketiga hal ini harus selalu dijadikan pedoman, khususnya bagi umat Hindu dalam
manjalani kehidupan sehari-hari, sehingga tercipta hubungan harmonis antara manusia
dengan lingkungannya, sesamanya dan dengan maha pencipta.
Secara umum Tri Kaya Parisuddha dapat dikatakan mempunyai tujuan, antara lain:
1. Untuk mengembangkan sifat dan sikap jujur dan setia dalam berpikir, berkata
maupun berbuat bagi anak dan masyarakat pada umumnya.
2. Untuk menumbuh-kembangkan sikap mental yang bertanggung jawab tanpa
diawasi oleh orang lain.
3. Untuk menumbuhkan kesadaran guna berbuat baik dan mengenali berbagai
akibat yang dapat timbul dari pikiran, perkataan dan perbuatan yang dilakukan.
4. Untuk memberi petunjuk yang baik dan perlu dimiliki serta didasari dalam
bergaul, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
5. Untuk mengajarkan agar manusia selalu waspada dan hati-hati terhadap pikiran,
perkataan dan perbuatan.

2.3.2. Tri Hita Kirana


Tri Hita Kirana adalah tiga hubungan yang harus diseimbangkan dan diselaraskan
agar kebahagiaan dan kesejahteraan dapat tercapai dengan baik. Adapan bagian-bagian Tri
Hita Kirana, yaitu:
1. Prahyangan, yaitu hubungan manusia dengan sang pencipta. Agar hubungan
dengan Sang Hyang Widhi selalu harmonis maka dilakukanlah sembahyang dan
kegiatan-kegiatan bakti.
2. Pawongan, yaitu hubungan manusia dengan sesama. Agar keharmonisan dengan
sesama manusia selalu terwujud maka diperlukan sikap saling menghargai dan
menghormati.

5
Gede A. B. Wiranta, Dasar-dasar Etika dan Moralitas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 34.
4

3. Palemahan, yaitu hubungan manusia dengan lingkungan atau alam. Agar


keharmonisan dengan alam dapat terjaga, maka manusia menjaga lingkungan
tetap bersih dan selalu melestarikannya.

2.4. Pilar Dasar Etika dalam Agama Hindu


Etika dalam agama Hindu didasarkan dalam lima pilar dasar yang disebut Pancha
Sraddha, yaitu:
2.4.1. Percaya Adanya Tuhan (Brahman/Hyang Widhi)
Percaya terhadap Tuhan, mempunyai pengertian yakni dan iman terhadap Tuhan itu
sendiri. Iman ini merupakan pengakuan atas dasar keyakinan bahwa sesungguhnya Tuhan
itu ada, Maha Kuasa, Maha Esa dan Maha Segala-galanya.6 Tuhan Yang Maha Kuasa, yang
disebut juga Hyang Widhi (Brahman), adalah Ia yang berkuasa atas segala yang ada ini.
Tidak ada apapun yang luput dari kuasa-Nya. Ia sebagai Pencipta, sebagai pemelihara dan
pelebur alam semesta dengan segala isinya. Tuhan adalah sumber dan awal serta akhir dan
pertengahan dari segala yang ada.7
Hyang Widhi berada di mana-mana Ia mengetahui segala hal. Tidak ada suatu
apapun yang tidak diketahui-Nya, tidak ada apapun yang dapat disembunyikan dari-Nya. Ia
adalah saksi agung akan segala yang ada, saksi agung segala gerak-gerik manusia.8
Demikianlah kemahakuasaan Hyang Widhi maka kita tidak mungkin lari dari manapun
untuk menyembunyikan segala perbuatan kita.9

2.4.2. Percaya kepada Atman


Atman adalah percikan kecil dari Paramatman (HyangWidhi/ Brahman). Atman di
dalam badan manusia disebut Jiwatman, yang menyebabkan manusia itu hidup.10 Perpaduan
Atman dengan badan jasmani, menyebabkan makhluk itu menjadi mahluk yang hidup.
Atman yang menghidupi badan disebut Jiwatman. Pertemuan Atman dengan badan jasmani
ini menyebabkan Dia terpengaruh oleh sifat-sifat maya yang menimbulkan awidya, yang
menyebabkan ketidak-sempurnaannya. Atman itu tetap sempurna, tetapi manusia itu sendiri
tidaklah sempurna. Manusia tidak luput dari hukum lahir, hidup dan mati. Walaupun
manusia itu mengalami kematian, namun Atman itu tidak akan bisa mati. Hanya badan yang

6
Anak Agung Gde Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, (Denpasar: Widya Dharma, 2009), 20.
7
G. Pudja, Bhagawad Gita (Pancma Veda), (Surabaya: Paramita, 2005), 187.
8
Yudha Triguna, M.S. Swastikarana, Pedoman Ajaran Hindu Dharma, (Jakarta: PT. Mabhakti , 2013),
111.
9
Yudha Triguna, M.S. Swastikarana, Pedoman Ajaran Hindu Dharma, 111.
10
Anak Agung Gde Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, 25.
5

mati dan hancur, sedangkan Atman tetap kekal abadi.11 Orang-orang yang berbuat baik di
dunia akan menuju Sorga dan yang berbuat buruk akan jatuh ke Neraka. Di Neraka
Jiwatman itu mendapat siksaan sesuai dengan hasil perbuatannya. Atau dengan kata lain
perilaku seseorang akan berakibat pada diri sendiri.12

2.4.3. Percaya Adanya Hukum Karmaphala


Kata karma berasal dari bahasa Sanskerta, dari asal kata kr yang artinya membuat.
Karma berarti perbuatan. Phala artinya buah. Karma Phala menganut hukum kasualitas, yaitu
segala sebab akan membawa akibat. Segala perbuatan atau Karma akan menghasilkan buah
perbuatan atau phala. Hukum rantai sebab akibat ini disebut Hukum Karma.13 Baik buruk
perbuatan (subha asubha karma) akan membawa akibat. Baik saat hidup ini, atau di akhirat
nanti. Karmaphala Tatwa mengajarkan kita untuk percaya bahwa perbuatan baik akan
berpahala baik dan perbuatan buruk, buruk pula pahalanya. Wejangan Karma Phala
mengajarkan untuk selalu berpikir, berkata dan bertingkah laku yang baik terarah
berdasarkanetika dan dharma, menghindari perbuatan buruk dan jahat. Oleh sebab itu setiap
orang harus menjaga sikap dan perilakunya agar terarah pada jalan keselamatan.14

2.4.4. Percaya Kepada Punarbhawa/ Samsara


Kata Punarbhawa terdiri dari dua kata Sanskerta yaitu “punar” (lagi) dan “bhawa”
(menjelma). Jadi Punarbhawa adalah keyakinan terhadap kelahiran yang berulang-ulang ini
membawa akibat suka dan duka. Punarbhawa atau samsara terjadi oleh karena jiwa Atman
masih dipengaruhi oleh Wisaya dan Awidya sehingga kematiannya akan diikuti oleh
kelahiran kembali.15 Karma dan punarbhawa ini merupakan suatu proses yang terjalin
eratsatu sama lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa karma adalah perbutan yang
meliputi segala gerak, baik pikiran, perkataan maupun tingkah laku.Sedangkan punarbhawa
adalah kesimpulan dari semua karma itu yang terwujud dalam penjelmaan tersebut. Setiap
karma, yang dilakukan atas doronganacuba karma akan menimbulkan dosa dan Atman
akan mengalami neraka serta dalam punarbhawa yang akan datang akan mengalami
penjelmaan dalam tingkat yang lebih rendah, sengsara atau menderita dan bahkan akan
menjadi mahluk yang lebih rendah tingkatannya, cacat, bahkan menjadi binatang atau benda

11
Anak Agung Gde Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, 27.
12
Anak Agung Gde Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, 27-28.
13
Yudha Triguna, M.S. Swastikarana, Pedoman Ajaran Hindu Dharma, 116.
14
Yudha Triguna, M.S. Swastikarana, Pedoman Ajaran Hindu Dharma,117.
15
I Nyoman Kajeng, dkk, Sarasamuccaya, (Surabaya: Paramita 2005), 10.
6

alam. Sebaliknya, setiap karma yang dilakukan berdasarkan chubakarma akan


mengakibatkan Atman menuju sorga dan jika menjelma kembali akan mengalami tingkat
penjelmaan yang lebih sempurna atau lebih tinggi.16

2.4.5. Percaya Adanya Moksa


Tujuan hidup Umat Hindu ialah mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin,
moksartham jagathita. Kebahagiaan batin yang terdalam adalah bersatunya Atman dengan
Brahman, yang disebut Moksa. Moksa atau mukti berarti kebebasan, kemerdekaan.
Merdeka atau terlepas dari ikatan karma, kelahiran, kematian, dan belenggu maya/
penderitaan keduniawian. Moksa adalah tujuan terakhir seluruh umat Hindu. Menjalankan
sembahyang batin dengan Dharma (cipta kasih), Dhyana (memusatkan cipta) dan Semadi
(mengheningkan cipta), manusia berangsur-angsur akan dapat mencapai tujuan hidupnya
yang tertinggi ialah bebas dari ikatan keduniawian, untuk bersatunya Atman dengan
Brahman.17 Agar tercapai tujuan hidup itu orang harus selalu bergulat, berbuat baik sesuai
dengan ajaran agamanya.18

2.5. Perilaku Mulia yang Dianjurkan dalam Etika Hindu19


Ada empat perilaku yang dianjurkan dalam etika Hindu yang disebut dengan Catur
Prawerti, yaitu:
2.5.1. Arjawa
“Arjawa si duga-duga bener”, artinya Arjawa adalah benar-benar lurus atau benar-
benar jujur. Sama sekali tidak ada maksud untuk menyimpang dari kebenaran. “Apaksa
Partha” artinya tidak berdiplomasi untuk mendapatkan pembenar dalam mengelabui
kebenaran. Arjawa merupakan penyucian pikiran (Manacika Parisudha).
“Mamah Satyena Sudhayati”, artinya pikiran diparisudha atau disucikan dengan kejujuran.

2.5.2. Anresamsya
“Anresamsya ngaranya, si arimbawa, tan swartha kewala, nging parartha”, artinya
Anresamsya adalah arimbawa, tidak mendahulukan atau mementingkan diri sendiri,
melainkan mendahulukan kepentingan orang banyak. Berarti orang yang Anresamsya, tidak
egois, bersifat sosial, dan demokratis. Dia mendengar dan menerima/ menghargai pendapat

16
Anak Agung GDE Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, 33.
17
Yudha Triguna, M.S., Swastikarana Pedoman Ajaran hindu Dharma, 120.
18
Yudha Triguna, M.S., Swastikarana Pedoman Ajaran hindu Dharma, 121.
19
Gede Pudja, Agama Hindu, (Jakarta: Mayasari, 1984), 28.
7

masyarakat. Sehingga ada kecenderungan memperoleh “Kajana nuragan” artinya dicintai


oleh masyarakat.

2.5.3. Dama
Artinya, yang disebut Dama adalah bisa menasehati dan menyalahkan diri sendiri.
Bisa menertawakan diri sendiri, apalagi mampu menyadarkan diri (matuturi) adalah orang
bijaksana dan akan menumbuhkan kearifan pribadi.

2.5.4. Indriya Nigraha


Indriya Nigraha adalah mengekang atau mengendalikan diri, tidak mengumbar nafsu
dirinya sendiri tujuannya adalah untuk menikmati kesenangannya. Bila indriya terkendali
hakekatnya adalah sorga, tapi bila tidak terkendali hakekatnya adalah neraka.

2.6. Pandangan Etika Kristen Terhadap Sistem Etika Hindu20


 Pandangan tentang manusia menurut agama Hindu adalah atman tidak mempunyai
kehidupan pribadi dan tidak mempunyai tanggungjawab perseorangan. Karena disesatkan
oleh avidya (ketidaktahuan), manusia menganggap gejala-gejala kosmis itu sebagai suatu
kenyataan. Agama Hindu tidak mengenal kepercayaan akan Allah, Sang Pencipta. Karena
itulah tak dikenalnya pula kepercayaan akan penciptaan manusia menurut gambar Allah.
Agama Hindu tidak melihat garis batas antara Allah dengan ciptaan-Nya.
Di dalam Kitab Kejadian 1 terdapat kalimat-kalimat yang terkenal mengenai kejadian
manusia, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar
Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (ayat 27). Dalam
Perjanjian Baru Yesus Kristus disebut gambar Allah (2 Kor 4:4; Kol 1:15). Dan sudah
dijanjikan kepada kita, bahwa barangsiapa percaya kepada Allah akan dijadikan kembali
menurut gambar-Nya dan akan serupa dengan Dia (1 Kor 15:49; 2 Kor 3:18).
Bagaimanakah arti berita tentang manusia ini dan apakah konsekuensi pandangan
tentang manusia ini bagi Etika Kristen?
1. Manusia itu makhluk dan akan tetap menjadi makhluk untuk selama-lamanya. Manusia
bukanlah Allah dan manusia juga tidak mempunyai zat ilahi atau kodrat ilahi. Tidak
ada “analogi entis” (persamaan zat) antara manusia dan Allah.

20
J. Verkuyl, Etika Kristen: Bagian Umum, (Jakarta: Gunung Mulia, 2012),
8

2. Manusia dijadikan sebagai makhluk somatic-psikis (berjiwa raga). Allah membentuk


manusia (di dalam bahasa Ibrani: haadam) dari debu tanah (adama) dan
menghembuskan nafas kehidupan (nismat hajjim) ke dalam hidungnya (Kej 2:7).
3. Hubungan Allah-manusia dan manusia-Allah itu dinyatakan dalam berita tentang
manusia yang dijadikan menurut gambar Allah. Karena itu yang harus menjadi salah
satu pokok masalah Etika ialah: Apakah yang kau perbuat dengan mandatyang
diberikan Allah kepadamu, ketika Allah menjadikan engkau menurut gambar dan rupa-
Nya?
4. Akhirnya dalam hubungan ini harus ditekankan, bahwa Allah menciptakan manusia
supaya manusia itu berbakti secara sukarela. Allah memberikan kebebasan memilih
kepadanya. Kedaulatan ilahi itu diserahkan kepada manusia secara sukarela di dalam
kasih. Kebebasan itu termasuk hakikat manusia dankarena itu termasuk inti Etika
Kristen. Kata kebebasan menyatakan panggilan yang pertama dan hak tertinggi yang
diberikan oleh Allah kepada manusia.

 Menurut agama Hindu dan berbagai aliran mistik panteistis, sumber kejahatan itu
harus dicari pada avidya, ketidaktahuan. Kejahatan itu hanya semu saja. Manusia buta karena
ketidaktahuan itu, menganggap itu, menganggap kejahatan sebagai kenyataan. Akan tetapi
sebenarnya kejahatan itu tidak ada.
Menurut Alkitab, inisiatif (prakarsa) untuk berbuat dosa itu tidak keluar dari manusia,
tetapi dari iblis. Asalnya dosa itu terdapat di dunia iblis. Tetapi karena kesalahan sendiri,
manusia telah mengatakan ya kepada dosa dan dengan demikian ia menjadi hamba dosa (Yoh
8:34). Karena manusia ingin menjadi sama seperti Allah, iamenyerah kepada iblis, sehingga
sejak itu dosa keluar dari iblis dan manusia bersama-sama. Pandangan Alkitab tentang
hakikat dosa adalah bahwa dosa itu tidak dimulai pada kejasmanian, tetapi justru pada inti
manusia, di dalam hatinya, di dalam hubungannya dengan Allah. Jika hubungan di situ
diserang oleh kesombongan, maka jasmani pun diperalat oleh dosa. Sombong mengakibatkan
meluapnya hawa nafsu. Jika hati tak jujur di hadapan Allah, maka badan kita pun
disalahgunakan untuk cabul, kelahapan, loba akan uang, boros dan sebagainya.

 Pandangan agama Hindu tentang tujuan hidup ialah terdapat beberapa tujuan yang
hendak dicapai yaitu pertama,kama yakni kenikmatan , kesenanganan. Kedua, artha yaitu
usaha untuk mendapat harta benda dan kekuasaan, kehormatan di dalam masyarakat, pangkat
setinggi mungkin, hubungan-hubungan dan kawan-kawan yang banyak. Ketiga, dharma
9

yakni kesesuaian dengan hukum, keselarasan, keberaturan, keseimbangan, pengekangan diri.


Tujuan yang tertinggi, moksha, yakni kelepasan, kebebasan. Tujuan tertinggi haruslah
terangkat lepas dari penitisan berantai (penjelmaan, perpindahan jiwa).
Berita yang dibawa oleh Alkitab ialah bahwa tujuan hidup manusia terletak dalam
Kerajaan Allah. Kerajaan Allah itu telah datang di dalam Yesus Kristus. Dialah Kepala
Kerajaan itu; keadaan-Nya sebagai Kepala masih tersembunyi. Ia menerima orang beriman,
karena anugerah-Nya, dalam Kerajaan-Nya dan makin dekat Kerjaan itu kepada
kesempurnaannya, makin banyaklah yang Ia terima. Kata Yunani untuk kata sempurna itu
ialah teleios, dari kata telos, artinya: maksud Tuhan dengan hidup manusia akan terpenuhi. Di
dalam Alkitab kerapkali dijanjikan kepada orang beriman, bahwa mereka akan menjadi
sempurna (Matius 5:48; Yoh 17:23; 1 Kor 13:10; Kol 1:28). Janji itu akan dipenuhi. Mereka
akan menjadi sama seperti Kristus. Mereka akan menjadi sama seperti Kristus. Mereka akan
menjadi segambar dengan Dia ( 1 Yoh 3). Mereka akan menjadi cemerlang tanpa cacat atau
kerut sedikit pun (Ef 5:27). Dan jika kita tanyakan apakah isi hidup yang sempurna itu, maka
jawab Alkitab ialah bahwa kita akan mengasihi Allah di dalam kesempurnaan dan mengasihi
sesama manusia kita di dalam kesempurnaan. Jadi, tujuan hidup baru bukanlah penghapusan
hidup, tetapi kasih yang kekal. Ketaatan bebas yang kekal, persekutruan yang kekal antara
Allah dan manusia. Di dalam Kerajaan Allah hubungan Taurat akan terpenuhi, terpenuhi
selamanya. Itulah tujuan hidup menurut apa yang tercantum dalam Alkitab. Manusia tidak
melebur di dalam keilahan, sebagaimana diajarkan oleh agama Hindu. Kehidupan dalam
langit baru dan bumi baru bukanlah suatu kehidupan tanpa kekudusan seperti kehidupan
dalam “taman sari” duniawi. Bukan pula suatu Negara bahagia yang penuh dengan dosa,
penyakit dan maut. Tetapi dunia baru yang akan datang itu adalah suatu dunia, dimana
hubungan antara Allah dan manusia telah menjadi baik untuk selama-lamanya, yaitu
hubungan di dalam kasih dan kebenaran, dimana hukum Taurat Tuhan, hukum kasih itu
memenuhi seluruh kehidupan.

III. Kesimpulan
Sistem etika agama Hindu mempunyai fokus ke dalam hukum sebab-
akibat. Segala sesuatu yang ada dan terjadi di dalam kosmos ini adalah memiliki
sebab dan juga memiliki akibat. Hukum sebab akibat ini berlaku dalam bagaimana
seorang Hindu hidup dalam kehidupannya. Kehidupan umat Hindu bisa dilihat
berdasarkan baik atau buruknya. Masing-masing perbuatan akan memiliki
akibatnya masing-masing (karma). Jika seseorang melakukan tindakan baik, maka
10

ia akan beroleh tindakan baik pula dan begitu juga sebaliknya, jika seorang
berbuat jahat/ buruk maka tindakan atau hasil jahat/ buruk juga akan turut dengan
apa yang ia lakukan.
Akibat dari tindakan berlaku tidak hanya sementara saja, tetapi berlaku
dalam waktu yang panjang dalam kaitannya dengan proses kehidupan kembali
(samsara). Kehidupan yang dibangun pada saat ini akan menghasilkan sesuatu
atau akan ada hasilnya pada saat manusia itu memasuki kehidupan yang baru. Jika
manusia melakukan hal-hal yang baik maka ia akan beroleh Moksa, tetapi jika
tidak, maka bisa jadi manusia itu akan menjadi sesuatu yang lebih buruk dari
keadaan sebelumnya. Seseorang yang pertamanya adalah manusia,
makaberdasarkan perbuatan-perbuatan yang ia lakukan bisa saja menjadi lebih
rendah lagi, bisa jadi batu, pohon, dan lain lagi sesuai dengan tindakannya.
Seorang Hindu dalam bersikap (beretika) akan memengaruhi hidupnya
yang sedang dijalani maupun kehidupan yang akan datang. Dengan demikian,
maka boleh lah dikatakan bahwa tindakan yang dilakukan dalam ajaran agama
Hindu adalah sesuatu yang mengajarkan kausalitas atau adanya sebab akibat.
Dalam pandangan agama Kristen, maka ajaran agama Hindu ini ajaran
yang sama sekali bertentangan jika dilihat secara makna. Sebab dalam ajaran
Kristen tindakan bukanlah tujuan untuk mendapatkan sesuatu (kebaikan dan
keselamatan), tetapi adalah sebagai bukti dan keharusan bagi umat Tuhan. Umat
Tuhan yang telah diselamatkan hendaklah menunjukkan bahwa dia adalah umat
yang telah diselamatkan dan umat Tuhan, sehingga perbuatannya pun haruslah
berlandaskan rasa takut akan Tuhan bukan demi mendapatkan sesuatu.

IV. Daftar pustaka


Browning, W.R.F., Kamus Alkitab, Jakarta: Gunung Mulia, 2013.
Hadiwijono, Harun, Agama Hindu-Buddha, Jakarta: Gunung Mulia, 1989.
Jr, A.G. Honig, Ilmu Agama, Jakarta: Gunung Mulia, 2009.
Kajeng, I Nyoman, DKK, Sarasamuccaya, Surabaya: Paramita 2005.
Netra, Anak Agung Gde Oka, Tuntunan Dasar Agama Hindu, Denpasar: Widya Dharma,
2009.
Pudja, G., Bhagawad Gita (Pancma Veda), Surabaya: Paramita, 2005.
Pudja, Gede, Agama Hindu, Jakarta: Mayasari, 1984.
11

Triguna, Yudha, M. S. Swastikarana, Pedoman Ajaran Hindu Dharma, Jakarta: PT.


Mabhakti, 2013.
Verkuyl, J., Etika Kristen: Bagian Umum, Jakarta: Gunung Mulia, 2012.
Wiranta, Gede A.B., Dasar-dasar Etika dan Moralitas, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2005.

Anda mungkin juga menyukai