Etika Klompk 6 Fajar, Kak Nella, Raka
Etika Klompk 6 Fajar, Kak Nella, Raka
Kelompok VI
Nama
- Fajar Manase H. Panggabean
- Nella Estaurina Br. Sirait
- Raka Sharmaraya
Kelas/ Jurusan : II-A/ Theologi
Mata Kuliah : Etika Kristen I
Dosen Pengampu : Kaleb Manurung, M.Th
I. Pendahuluan
Agama semata-mata tidak hanya melihat ajaran agama dari segi teologisnya, tetapi
juga hal-hal praktis, sehingga dapat dilihat apakah sesudah beragama, perilakunya menjadi
semakin lebih baik atau tidak, begitu juga dengan agama Hindu. Agama Hindu menjunjung
tinggi sila (etika) sehingga orang yang menghiraukannya disebut sebagai orang rendahan
(Nica) yang pada hakikatnya mati meskipun mereka masih hidup. Dalam ajaran Hindu, etika
dipahami sebagai penekanan adanya moral ataupun kebiasaan dalam kehidupan masyarakat.
Untuk lebih jelasnya, dalam sajian ini akan dijelaskan sistem etika Agama Hindu. Semoga
menambah wawasan bagi kita semua.
II. Pembahasan
2.1. Pengertian Etika
Kata “etika” asalnya dari beberapa kata Yunani yang hampir sama bunyinya, yaitu
ethos dan éthos atau ta ethika. Kata ethos artinya kebiasaan, adat. Kata éthos dan éthikos
lebih berarti kesusilaan, perasaan batin atau kecenderungan hati seseorang saat/ dalam
melaksanakan suatu perbuatan. Apa yang dimaksud dengan “etika” dalam bahasa Indonesia
lebih tepat dengan kata “kesusilaan”. Kata “sila”, yang terdapat dalam bahsa Sansekerta dan
kesusasteraan Pali dalam kebudayaan Buddha, mempunyai banyak arti. Pertama Sila bisa
berarti norma (kaidah), peraturan hidup, perintah. Kedua, kata ini menyatakan pula keadaan
batin terhadap peraturan hidup, hingga dapat berarti juga sikap, ke-adab-an, siasat batin, peri-
kelakuan, sopan santun dan sebagainya. Kata su berarti baik, bagus. Kata ini pertama
menunjukkan norma dan menerangkan bahwa norma itu baik. Kedua, menunjukkan sikap
2
terhadap norma itu dan menyatakan bahwa peri-kelakuan harus sesuai dengan norma. Karena
itu kata kesusilaan tepat untuk menyatakan pengertian Etika.1
1
J. Verkuyl, Etika Kristen: Bagian Umum, (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), 1.
2
Harun Hadiwijono, Agama Hindu-Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, 1989), 22.
3
Gede Pudja, Agama Hindu, (Jakarta: Mayasari, 1984), 27-28.
4
A. G. Honig, Jr, Ilmu Agama, (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), 145-146.
3
5
Gede A. B. Wiranta, Dasar-dasar Etika dan Moralitas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 34.
4
6
Anak Agung Gde Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, (Denpasar: Widya Dharma, 2009), 20.
7
G. Pudja, Bhagawad Gita (Pancma Veda), (Surabaya: Paramita, 2005), 187.
8
Yudha Triguna, M.S. Swastikarana, Pedoman Ajaran Hindu Dharma, (Jakarta: PT. Mabhakti , 2013),
111.
9
Yudha Triguna, M.S. Swastikarana, Pedoman Ajaran Hindu Dharma, 111.
10
Anak Agung Gde Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, 25.
5
mati dan hancur, sedangkan Atman tetap kekal abadi.11 Orang-orang yang berbuat baik di
dunia akan menuju Sorga dan yang berbuat buruk akan jatuh ke Neraka. Di Neraka
Jiwatman itu mendapat siksaan sesuai dengan hasil perbuatannya. Atau dengan kata lain
perilaku seseorang akan berakibat pada diri sendiri.12
11
Anak Agung Gde Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, 27.
12
Anak Agung Gde Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, 27-28.
13
Yudha Triguna, M.S. Swastikarana, Pedoman Ajaran Hindu Dharma, 116.
14
Yudha Triguna, M.S. Swastikarana, Pedoman Ajaran Hindu Dharma,117.
15
I Nyoman Kajeng, dkk, Sarasamuccaya, (Surabaya: Paramita 2005), 10.
6
2.5.2. Anresamsya
“Anresamsya ngaranya, si arimbawa, tan swartha kewala, nging parartha”, artinya
Anresamsya adalah arimbawa, tidak mendahulukan atau mementingkan diri sendiri,
melainkan mendahulukan kepentingan orang banyak. Berarti orang yang Anresamsya, tidak
egois, bersifat sosial, dan demokratis. Dia mendengar dan menerima/ menghargai pendapat
16
Anak Agung GDE Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, 33.
17
Yudha Triguna, M.S., Swastikarana Pedoman Ajaran hindu Dharma, 120.
18
Yudha Triguna, M.S., Swastikarana Pedoman Ajaran hindu Dharma, 121.
19
Gede Pudja, Agama Hindu, (Jakarta: Mayasari, 1984), 28.
7
2.5.3. Dama
Artinya, yang disebut Dama adalah bisa menasehati dan menyalahkan diri sendiri.
Bisa menertawakan diri sendiri, apalagi mampu menyadarkan diri (matuturi) adalah orang
bijaksana dan akan menumbuhkan kearifan pribadi.
20
J. Verkuyl, Etika Kristen: Bagian Umum, (Jakarta: Gunung Mulia, 2012),
8
Menurut agama Hindu dan berbagai aliran mistik panteistis, sumber kejahatan itu
harus dicari pada avidya, ketidaktahuan. Kejahatan itu hanya semu saja. Manusia buta karena
ketidaktahuan itu, menganggap itu, menganggap kejahatan sebagai kenyataan. Akan tetapi
sebenarnya kejahatan itu tidak ada.
Menurut Alkitab, inisiatif (prakarsa) untuk berbuat dosa itu tidak keluar dari manusia,
tetapi dari iblis. Asalnya dosa itu terdapat di dunia iblis. Tetapi karena kesalahan sendiri,
manusia telah mengatakan ya kepada dosa dan dengan demikian ia menjadi hamba dosa (Yoh
8:34). Karena manusia ingin menjadi sama seperti Allah, iamenyerah kepada iblis, sehingga
sejak itu dosa keluar dari iblis dan manusia bersama-sama. Pandangan Alkitab tentang
hakikat dosa adalah bahwa dosa itu tidak dimulai pada kejasmanian, tetapi justru pada inti
manusia, di dalam hatinya, di dalam hubungannya dengan Allah. Jika hubungan di situ
diserang oleh kesombongan, maka jasmani pun diperalat oleh dosa. Sombong mengakibatkan
meluapnya hawa nafsu. Jika hati tak jujur di hadapan Allah, maka badan kita pun
disalahgunakan untuk cabul, kelahapan, loba akan uang, boros dan sebagainya.
Pandangan agama Hindu tentang tujuan hidup ialah terdapat beberapa tujuan yang
hendak dicapai yaitu pertama,kama yakni kenikmatan , kesenanganan. Kedua, artha yaitu
usaha untuk mendapat harta benda dan kekuasaan, kehormatan di dalam masyarakat, pangkat
setinggi mungkin, hubungan-hubungan dan kawan-kawan yang banyak. Ketiga, dharma
9
III. Kesimpulan
Sistem etika agama Hindu mempunyai fokus ke dalam hukum sebab-
akibat. Segala sesuatu yang ada dan terjadi di dalam kosmos ini adalah memiliki
sebab dan juga memiliki akibat. Hukum sebab akibat ini berlaku dalam bagaimana
seorang Hindu hidup dalam kehidupannya. Kehidupan umat Hindu bisa dilihat
berdasarkan baik atau buruknya. Masing-masing perbuatan akan memiliki
akibatnya masing-masing (karma). Jika seseorang melakukan tindakan baik, maka
10
ia akan beroleh tindakan baik pula dan begitu juga sebaliknya, jika seorang
berbuat jahat/ buruk maka tindakan atau hasil jahat/ buruk juga akan turut dengan
apa yang ia lakukan.
Akibat dari tindakan berlaku tidak hanya sementara saja, tetapi berlaku
dalam waktu yang panjang dalam kaitannya dengan proses kehidupan kembali
(samsara). Kehidupan yang dibangun pada saat ini akan menghasilkan sesuatu
atau akan ada hasilnya pada saat manusia itu memasuki kehidupan yang baru. Jika
manusia melakukan hal-hal yang baik maka ia akan beroleh Moksa, tetapi jika
tidak, maka bisa jadi manusia itu akan menjadi sesuatu yang lebih buruk dari
keadaan sebelumnya. Seseorang yang pertamanya adalah manusia,
makaberdasarkan perbuatan-perbuatan yang ia lakukan bisa saja menjadi lebih
rendah lagi, bisa jadi batu, pohon, dan lain lagi sesuai dengan tindakannya.
Seorang Hindu dalam bersikap (beretika) akan memengaruhi hidupnya
yang sedang dijalani maupun kehidupan yang akan datang. Dengan demikian,
maka boleh lah dikatakan bahwa tindakan yang dilakukan dalam ajaran agama
Hindu adalah sesuatu yang mengajarkan kausalitas atau adanya sebab akibat.
Dalam pandangan agama Kristen, maka ajaran agama Hindu ini ajaran
yang sama sekali bertentangan jika dilihat secara makna. Sebab dalam ajaran
Kristen tindakan bukanlah tujuan untuk mendapatkan sesuatu (kebaikan dan
keselamatan), tetapi adalah sebagai bukti dan keharusan bagi umat Tuhan. Umat
Tuhan yang telah diselamatkan hendaklah menunjukkan bahwa dia adalah umat
yang telah diselamatkan dan umat Tuhan, sehingga perbuatannya pun haruslah
berlandaskan rasa takut akan Tuhan bukan demi mendapatkan sesuatu.