Anda di halaman 1dari 3

Nama : Fajar Manase H.

Panggabean

Kelas/ Jurusan : II-A/ Theologi

Mata Kuliah : Dogmatika I

Dosen Pengampu : Pardomuan Munthe, M.Th

Penciptaan Manusia

(1) Siapakah Manusia itu? (2) Manusia dan Relasinya dengan Alam
Semesta (3) Manusia dan Kebudayaan

I. Pendahuluan
Siapakah sebenarnya manusia itu? Sekalipun pertanyaan ini kedengarannya mudah
dijawab, namun kenyataannya tidaklah demikian. Sebab sejak zaman dahulu kala telah ada
jawaban yang bermacam-macam sekali. Di dalam Dogmatika perlu sekali kita memikirkan
soal manusia. Kita harus menemukan, apa artinya bahwa kita adalah manusia. Dalam pada itu
kita akan bertemu juga bagaimana relasi antara manusia dengan alam semesta serta manusia
dan kebudayaan. Semoga sajian ini menambah wawasan bagi kita semua.
II. Pembahasan
II.1. Penciptaan Manusia
Menurut kesaksian Alkitab, kita baru dapat mengatakan sesuatu yang berarti tentang
manusia, kalau kita sejak semula menghubungkannya dengan Allah. Manusia adalah ciptaan
Allah dan sebagai ciptaan Allah, manusia takluk dan bertanggungjawab kepada Allah.
Terdapat perbedaan hakiki antara Allah dan manusia. Manusia bukan Allah atau ilah.Ia juga
bukan makhluk ilahi. Ia tidak berasal dari (= tidak dilahirkan oleh) Allah, tetapi ia diciptakan
oleh Allah. Sungguhpun demikian manusia tidak sama dengan makhluk-makhluk yang lain. 1
Dari Kejadian 1:26 kita dapat mengetahui, bahwa cara Tuhan Allah menjadikan dan
menciptakan manusia berbeda sekali dengan caranya Ia menciptakan makhluk-makhluk lain.2
Kejadian 2:7 disebutkan, bahwa manusia diciptakan dari debu tanah, yang kedalamnya
dihimbuskan nafas hidup. Kata yang diterjemahkan dengan “debu tanah” disini adalah
adamah, yang ditempat lain dipakai kata “daging” atau basar untuk menyebut tubuh manusia
itu. Kata basar ini di dalam bahasa Yunani adalah sarx. Kedua kata ini (basar dan sarx) di
dalam Alkitab dipakai dalam hubungan yang bermacam-macam dengan terjemahan yang
bermacam juga, seperti: tubuh (Ayub 19:26); Mzm (16:9; Kis 2:26), makhluk (Mzm 145:21),
manusia (Yes 31:3), orang (Luk 3:6), dan lain sebagainya.
Dapat dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan “debu tanah” atau “daging” pertama-
tama adalah tubuh atau badan manusia, bentuk atau penampakan manusia yang lahiriah, segi
yang keduniawian, atau segi kodrati manusia (bnd Yoh 1:13; 3:5 dbr; 1 Yoh 2:16 dbr), yang
menjadikan manusia sebagimana berbeda sekali dengan Tuhan Allah Khaliknya. Debu tanah
atau daging terbataslah hidupnya, dapat rusak (Yes 31:3) dan oleh karenanya juga lemah
(Mzm 56:5; 78:31). Demikianlah debu tanah dan daging tidak memiliki hidup di dalam

1 J.L.Ch. Abineno, Manusia dan Sesamanya di Dalam Dunia, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1990), 34-35
2 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2010), 173
dirinya sendiri. Debu tanah dan daging hanya dapat hidup selama Tuhan Allah memberikan
hidup kepadanya (Kej 6:1,3).3

II.2. Manusia Menurut Gambar dan Rupa Allah


Kejadian 1:26-27 mengatakan bahwa Tuhan Allah bermaksud menjadikan manusia
menurut gambar dan rupanya. Dan Tuhan Allah memang benar-benar menciptakan manusia
yang demikian itu.Kata-kata yang diterjemahkan dengan “gambar” dan “rupa” adalah tselem
dan demuth. Sejarah menunjukkan, bahwa ada bermacam-macam pendapat mengenai
ungkapan ini.4 Apakah artinya bahwa manusia diciptakan “menurut gambar dan rupa Allah”?
Dalam Kej 1:26 terdapat dua kata, yang masing-masing diterjemahkan dengan
“gambar” dan “rupa”. Sebenarnya dalam ayat itu terdapat suatu perulangan seperti yang
sangat lazim dalam bahasa Ibrani, yaitu suatu perulangan dengan kata yang berbeda
bunyinya, akan tetapi mempunyai arti yang sama. Bandingkanlah perulangan ( dengan
memakai kata yang sama) dalam ayat 27! Akan tetapi Irenaeus membuat perbedaan antara
arti kedua kata dari ayat 26 itu, lalu berturut-turut menterjemahkannya dalam kata-kata latin
imago (= gambar, lukisan dsb.) dan similitudo (=rupa, persamaan, lahiriah atau batiniah).
Kesimpulan Irenaeus ialah bahwa karena dosa manusia, telah hilang “similitudo”, tetapi
“imago” tidak.
Dalam Gereja Khatolik Roma anggapan itu kemudian dibentangkan lebih luas. Menurut
Konsili Trente (1545-1563), manusia itu telah dijadikan oleh Allah sebagai “dalam keadaan
suci dan benar”, sesuai dengan kesucian dan kebenaran Allah. “Similitudo telah hilang karena
dosa, tetapi ”imago” tidak. Artinya, manusia tetap tinggal manusia dengan pembawaannya
sebagai makhluk Allah: ia mempunyai kehendak yang bebas, suara hati kesadaran tentang
adanya Allah dsb. Pandangan ini berhubungan rapat dengan anggapan GKR tentang rahmat
atau karunia Allah: rahmat itu dipandang sebagai “sesuatu”, suatu pemberian yang berupa
kekuatan atau suatu “tenaga rohani”, yang “dituangkan” ke dalam manusia dan dengan
demikian ditambahkan kepada pembawaannya yang khalikah itu.5
Para pembaru gereja menolak perbedaan antara “imago” dengan “similitudo”. Juga
dilihat dari sudut bahasa, tak ada alasan untuk membedakan antara kedua kata yang
digunakan dalam Kejadian 1:26. Akan tetapi mereka belum secara radikal meninggalkan
anggapan bahwa “gambar” atau “rupa” Allah itu harus diartikan sebagai keadaan kebenaran
yang mula-mula dimiliki oleh manusia. demikianlah timbul anggapan bahwa oleh kejatuhan
manusia ke dalam dosa, ia telah kehilangan gambar Allah tetapi toh masih ada sisa-sisanya:
manusia mempunyai akal budi, kemauan dan setahu hati, ia tahu sedikit tentang yang jahat
dan yang baik, tahu sedikit tentang adanya Tuhan. Bukankah dengan demikian ajaran tentang
“gambar Allah” itu hanya berupa kenangan-kenangan kepada firdaus yang telah hilang,
sedangkan penghiburan ajaran demikian hanya terdiri dari “sisa-sisa” yang tak dapat
menyelamatkan kita? Maka apabila kita ingin tahu, apa artinya bahwa manusia dijadikan
“menurut gambar Allah”, maka kita harus memandang kepada Yesus Kristus!
Kristuslah yang oleh rasul Paulus dinamakan “gambar Allah” (2 Korintus 4:4 dan Kol
1:15; kata-kata Yunani yang bersangkutan harus diterjemahkan sesuai dengan Kej 1:27).
Bahwa Kristus disebut “gambar Allah”, hal ini menunjuk kepada kesamaan dan keesaan

3 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, 174


4 Harun Hadiwijono, Iman Kristen, 189
5 G.C. van Niftrik & B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2006), 140-141
hakiki antara Kristus dan Allah Bapa. Demikianlah Kristus sebagai “gambar Allah” telah
memperlihatkan kepada kita gambar Allah yang tidak kelihatan itu. Lalu apakah artinya bila
kita manusia disebutkan “manusia yang menurut gambar Allah”? Mengenai orang-orang
beriman, rasul Paulus mengatakan bahwa mereka ditentukan untuk menjadi serupa dengan
gambar Anak Allah (Rm 8:29, 2 Kor 3:18). Jadi apa yang dikatakan oleh rasul Paulus berlaku
bagi orang beriman, yaitu “manusia yang baru”: dialah yang ditentukan untuk menjadi serupa
dengan gambar Anak Allah. Artinya, menjadi manusia yang “menurut gambar Allah” terjadi
dengan perantaraan Kristus (Kol 3:10). 6

II.3. Manusia dan Relasinya dengan Alam Semesta


Dalam Kejadian 1:26 dan 28, dikatakan kepada manusia”berkuasalah atas ikan-ikan
di laut dan burung-burung di udara dan atas segala ternakdan atas segala binatang melata
yang merayap di bumi”. Hal ini jelas terkandung tugas yang Allah berikan kepada manusia: “
Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk
mengusahakan dan memelihara taman itu (Kej 2:15). Sehingga tugas yang harus manusia
tunaikan dengan kuasa yang yang Allah berikan kepadanya, yaitu: memelihara, dan
melindungi makhluk-makhluk lain
Kepada manusia Allah memberi kuasa untuk memerintah makhluk-makhluk lain.
Kuasa ini tidak mutlak sebagaimana kuasa yang diberi, manusia berkewajiban memakainya
sesuai kehendak Allah. Kehendak sang Pemberi ialah agar manusia memakai kuasa itu
sebagai kuasa yang melindungi, membebaskan dan menyelamatkan. Itulah yang harus
dilakukan manusia dengan kuasa yang diberikan kepadanya, memelihara dan melindungi
makluk-makhluk lain, dan menjaga supaya bumi ini tetap dapat dihuni dan cukup
memberikan ruang hidup untuk semua makhluk. Walaupun demikian Allah menghubungkan
diri dengan manusia yang fana dan rapuh ini, ia boleh menjadi partner Allah. Sebagai partner
Allah, ia berdiri di pihak Allah, boleh menjadi “kawan sekerja-Nya” untuk memelihara,
mengatur dan mengembangkan alam ciptaan ini.7

II.4. Manusia dan Kebudayaan

III. Kesimpulan
IV. Daftar Pustaka

6 G.C. van Niftrik & B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, 141
7 Nico Yusuf dister OFM, Pengantar Teologi, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1992), 44-45

Anda mungkin juga menyukai