Anda di halaman 1dari 35

Sumber dan Penggunaan Dana Daerah

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan,


Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi, yang mana daerah provinsi
tersebut terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan
kota. Dengan adanya otonomi daerah, setiap
daerah mempunyai hak dan kewajiban mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat, termasuk dalam
menyelenggarakan fungsinya masing-masing.
Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga
fungsi utama yakni fungsi distribusi, fungsi
stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi
dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif
dan tepat dilaksanakan oleh Pemerintah pusat,
sedangkan fungsi alokasi lebih tepat jika
dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah yang
lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi
masyarakat setempat. Dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah inilah,
penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan
pemerintahan kepada Daerah secara nyata dan
bertanggung jawab harus diikuti dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber
daya nasional secara adil, termasuk pembagian
kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara
dan perimbangan keuangan antara Pemerintah
pusat dan Pemerintahan Daerah.
Sama halnya dengan wujud keuangan negara pada
pemerintah pusat yang dapat dilihat dari LKPP,
wujud keuangan negara pada pemerintah daerah
juga dapat dilihat pada Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) masing-masing
pemerintah daerah baik pemerintah Provinsi
maupun pemerintah Kabupaten/Kota, karena
sebagaimana informasi yang terdapat pada LKPP,
dalam LKPD juga memberikan informasi tentang
aset, utang dan ekuitas pemerintah daerah serta
pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah.
Pada dasarnya wujud keuangan negara pada
pemerintah pusat hampir sama dengan wujud
keuangan negara pada pemerintah daerah. Hal ini
terlihat dari komponen atau klasifikasi aset, utang,
ekuitas, belanja dan pembiayaan negara pada
pemerintah pusat yang sama dengan komponen
atau klasifikasi aset, utang, ekuitas, belanja dan
pembiayaan daerah pada pemerintah daerah.
Namun, perbedaannya terletak pada struktur
pendapatan antara pendapatan negara dan
pendapatan daerah. Jika komponen pendapatan
negara pada pemerintah pusat yang tergambarkan
dalam APBN terdiri dari pendapatan perpajakan,
pendapatan negara bukan pajak dan pendapatan
hibah, berbeda dengan komponen pendapatan
daerah sebagaimana pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD), yaitu terdiri dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah.
A. PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah
yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan
bersih, sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
merupakan pendapatan daerah yang bersumber
dari pelaksanaan hak dan kewajiban pemerintah
daerah, serta pemanfaatan potensi atau sumber
daya daerah, baik yang dimiliki oleh Pemerintah
daerah maupun yang terdapat di wilayah daerah
bersangkutan, yang mana pemungutannya
merupakan tanggung jawab pemerintah daerah.
PAD bertujuan untuk memberikan keleluasaan
kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam
pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan
asas Desentralisasi, yang mana Komponennya
terdiri dari: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil
pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan dan
lain-lain PAD yang sah.
1. Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada
daerah yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Dasar hukum pemungutan pajak daerah dan
retribusi daerah yang berlaku saat ini adalah UU
No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah. Dalam Undang-Undang tersebut
pajak daerah dibagi menjadi 2 jenis, yaitu pajak
provinsi dan pajak kabupaten/kota. Yang termasuk
pajak daerah untuk provinsi adalah:
(a) Pajak Kendaraan Bermotor;
(b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
(c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
(d) Pajak Air Permukaan;
(e) Pajak Rokok.
Sedangkan yang termasuk pajak daerah untuk
kabupaten/kota terdiri atas:
(a) Pajak Hotel;
(b) Pajak Restoran;
(c) Pajak Hiburan;
(d) Pajak Reklame;
(e) Pajak Penerangan Jalan;
(f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
(g) Pajak Parkir;
(h) Pajak Air Tanah;
(i) Pajak Sarang Burung Walet;
(j) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan
dan Perkotaan;
(k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB).
Berkaitan dengan pemungutan pajak daerah,
pemerintah daerah diberikan kebebasan untuk
menentukan tarif pajak daerah sesuai keputusan
bersama antara pemerintah daerah dengan DPRD,
sepanjang tidak melebihi batas maksimum yang
telah ditetapkan. Selain itu, Pemerintah Daerah
juga tidak dibenarkan untuk memungut pajak
daerah selain pajak daerah yang telah ditetapkan
pada UU No. 28 Tahun 2009 tersebut. Sedangkan
untuk melakukan pemungutan pendapatan daerah
yang bersumber dari pajak daerah merupakan
wewenang dan tanggungjawab Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
(DPPKAD) atau Biro Keuangan pada Pemerintah
Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota masing-
masing.
2. Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan Daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu
yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau Badan. Perbedaan utama antara pajak
daerah dan retribusi daerah terletak pada imbal
jasanya. Pada saat membayar pajak daerah, pihak
yang membayar pajak (wajib pajak) tidak langsung
mendapatkan imbalan pada saat melakukan
pembayaran, berbeda dengan retribusi daerah.
Pembayaran retribusi daerah dapat dilakukan jika
pembayar retribusi (wajib retribusi) telah
mendapatkan pelayanan atau keperluannya telah
difasilitasi oleh pemerintah daerah.
Objek retribusi adalah jasa umum, jasa usaha dan
perizinan tertentu yang disediakan atau diberikan
oleh pemerintah daerah. Untuk itu, retribusi dapat
digolongkan ke dalam 3 jenis, yaitu Retribusi Jasa
Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi
Perizinan Tertentu.
(a) Retribusi Jasa Umum
Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan
yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah
untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum
serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau
Badan, yang antara lain terdiri dari: Retribusi
Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pelayanan
Persampahan/Kebersihan, Retribusi Penggantian
Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta
Catatan Sipil, Retribusi Pelayanan Pemakaman
dan Pengabuan Mayat, Retribusi Pelayanan Parkir
di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pelayanan Pasar,
Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor,
Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran,
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta, Retribusi
Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus, Retribusi
Pengolahan Limbah Cair, Retribusi Pelayanan
Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan,
dan Retribusi Pengendalian Menara
Telekomunikasi.
Selain jenis Retribusi diatas, baik pemerintah
daerah provinsi maupun kabupaten/kota dapat
menetapkan retribusi jasa umum lainnya,
sepanjang telah ditetapkan pada peraturan
pemerintah dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
– Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak
dan bersifat Retribusi Jasa Usaha atau Retribusi
Perizinan Tertentu;
– jasa yang bersangkutan merupakan
kewenangan Daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi;
– jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi
orang pribadi atau Badan yang diharuskan
membayar retribusi, disamping untuk melayani
kepentingan dan kemanfaatan umum;
– jasa tersebut hanya diberikan kepada orang
pribadi atau Badan yang membayar retribusi
dengan memberikan keringanan bagi masyarakat
yang tidak mampu;
– Retribusi tidak bertentangan dengan
kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya;
– Retribusi dapat dipungut secara efektif dan
efisien, serta merupakan salah satu sumber
pendapatan Daerah yang potensial; dan
– pemungutan Retribusi memungkinkan
penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau
kualitas pelayanan yang lebih baik.
(b) Retribusi Jasa Usaha
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang
disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan
menganut prinsip komersial yang meliputi:
– Pelayanan dengan
menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah
yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau
– Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang
belum disediakan secara memadai oleh pihak
swasta.
Jenis Retribusi Jasa Usaha antara lain terdiri dari:
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi
Pasar Grosir dan/atau Pertokoan, Retribusi Tempat
Pelelangan, Retribusi Terminal, Retribusi Tempat
Khusus Parkir, Retribusi Tempat
Penginapan/Pesanggrahan/Villa, Retribusi Rumah
Potong Hewan, Retribusi Pelayanan
Kepelabuhanan, Retribusi Tempat Rekreasi dan
Olahraga, Retribusi Penyeberangan di Air, dan
Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
Baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah
Kabupaten/Kota dapat mengembangkan Retribusi
Jasa Usaha, sepanjang telah ditetapkan pada
peraturan pemerintah dan memenuhi kriteria
sebagai berikut:
– Retribiusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak
dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau
Retribusi Perizinan Tertentu; dan
– jasa yang bersangkutan adalah jasa yang
bersifat komersial yang seyogyanya disediakan
oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau
terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai Daerah
yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh
Pemerintah Daerah.
(c) Perizinan Tertentu
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah
pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah
Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang
dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan
atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan
sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau
fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis
Retribusi Perizinan Tertentu antara lain terdiri
dari: Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman
Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan (HO),
Retribusi Izin Trayek, dan Retribusi Izin Usaha
Perikanan.
Pemerintah daerah diperbolehkan untuk
menetapkan retribusi perizinan tertentu lainnya,
sepanjang telah ditetapkan pada peraturan
pemerintah dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
– perizinan tersebut termasuk kewenangan
pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah
dalam rangka asas desentralisasi;
– perizinan tersebut diperlukan guna
melindungi kepentingan umum; dan
– biaya yang menjadi beban Daerah dalam
penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk
menanggulangi dampak negatif dari pemberian
izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai
dari retribusi perizinan;
Sama halnya dengan pemungutan PNBP,
pemungutan retribusi dapat dilakukan oleh Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selain DPPKAD,
sepanjang masih dalam kewenangannya dan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi SKPD yang
bersangkutan.
3. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang
dipisahkan.
Kekayaan daerah yang dipisahkan adalah bagian
dari aset pemerintah daerah yang digunakan
sebagai penyertaan modal pemerintah daerah pada
perusahaan atau badan usaha, baik badan usaha
milik negara/daerah (BUMN/BUMD) maupun
badan usaha milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat. Hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan berupa bagian laba yang
dibagikan (deviden) dari perusahaan atau badan
usaha yang bersangkutan, yang dapat
dikategorikan sebagai berikut:
(a) bagian laba atas penyertaan modal pada
perusahaan milik daerah/BUMD;
(b) bagian laba atas penyertaan modal pada
perusahaan milik pemerintah/BUMN; dan
(c) bagian laba atas penyertaan modal pada
perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat.
4. Lain-lain PAD yang sah.
Lain-lain PAD yang sah merupakan pendapatan
daerah yang tidak dapat dikategorikan sebagai
pajak daerah, retribusi dan hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, namun masih
termasuk dalam kategori PAD. Lain-lain PAD
yang sah dirinci menurut obyek pendapatan yang
mencakup:
(a) hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak
dipisahkan;
(b) jasa giro;
(c) pendapatan bunga;
(d) penerimaan keuntungan selisih nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing;
(e) penerimaan komisi, potongan, ataupun
bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
(f) penerimaan atas tuntutan ganti kerugian
daerah;
(g) pendapatan denda atas keterlambatan
pelaksanaan pekerjaan;
(h) pendapatan denda pajak daerah;
(i) pendapatan denda retribusi;
(j) pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
(k) pendapatan dari pengembalian;
(l) pendapatan dari pemanfaatan fasilitas sosial
dan fasilitas umum;
(m) pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan
dan pelatihan;
(n) pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
B. DANA PERIMBANGAN
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem
pembagian keuangan yang adil, proporsional,
demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka
pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan
mempertimbangkan potensi, kondisi, dan
kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan
penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan. Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan
bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari
sistem Keuangan Negara, dan dimaksudkan untuk
mengatur sistem pendanaan atas kewenangan
pemerintahan pusat yang diserahkan, dilimpahkan,
dan ditugasbantukan kepada Daerah.
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam
rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana
Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu
Daerah dalam mendanai kewenangannya, juga
bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber
pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah
serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan
pemerintahan antar-Daerah. Pendanaan tersebut
menganut prinsip money follows function, yang
mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti
fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan
tanggung jawab masing-masing tingkat
pemerintahan.
Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah
yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana
Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU),
dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Ketiga
komponen Dana Perimbangan ini merupakan
sistem transfer dana dari Pemerintah pusat serta
merupakan satu kesatuan yang utuh.
1. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang
bersumber dari APBN yang dibagihasilkan kepada
daerah berdasarkan angka persentase tertentu
dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.
Pada dasarnya, selain dimaksudkan untuk
menciptakan pemerataan pendapatan daerah, DBH
juga bertujuan untuk memberikan keadilan bagi
daerah atas potensi yang dimilikinya. Dalam hal
ini, walaupun pendapatan atas pajak negara dan
pendapatan yang berkaitan dengan sumber daya
alam (SDA) merupakan wewenang pemerintah
pusat untuk memungutnya, namun sebagai daerah
penghasil, pemerintah daerah juga berhak untuk
mendapatkan bagian atas pendapatan dari potensi
daerahnya tersebut.
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak
negara, meliputi:
(a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
(b) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB); dan
(c) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal
29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan
PPh Pasal 21.
Sedangkan Dana Bagi Hasil yang bersumber dari
sumber daya alam, meliputi:
(a) Sektor Kehutanan;
(b) Sektor Pertambangan umum;
(c) Sektor Perikanan;
(d) Sektor Pertambangan minyak bumi;
(e) Sektor Pertambangan gas bumi; dan
(f) Sektor Pertambangan panas bumi.
Besarnya proporsi dana bagi hasil antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
tergantung dari jenis pendapatan. Begitupula
antara pemerintah daerah provinsi dengan
pemerintah kabupaten/kota proporsinya tidak
merata untuk setiap jenis pendapatan.
Adakalanya Pemerintah Pusat mendapatkan
proporsi bagi hasil yang lebih besar dibandingkan
dengan Pemerintah Daerah, seperti: Pendapatan
yang bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh),
namun Pemerintah Pusat juga bisa saja menerima
proporsi yang lebih kecil dibandingkan proporsi
bagi hasil kepada Pemerintah Daerah, seperti:
Pendapatan yang bersumber dari Penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pembagian
proporsi ini tergantung dari keterlibatan
Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan
dan dampaknya terhadap masyarakat daerah.
Adapun proporsi bagi hasil masing-masing jenis
pendapatan digambarkan pada tabel 1.1 berikut
ini:
Tabel 1.1
Proporsi Dana Bagi Hasil Untuk Masing-
masing Jenis Pendapatan
Proporsi Dana Bagi Hasil
N Jenis Untuk Untuk
o Pendapatan Pemerintah Pemerintah
Pusat Daerah
1. Penerimaan 10%, dengan 90%, dengan
PBB alokasi: alokasi:
Dibagikan Provinsi
dgn porsi =
yang sama 16,2%
besar untuk
Kab./Kota =
seluruh
64,8%
Kab./Kota
= 6,5% By. Pemungutan =
9%
Insentif
= 3,5%
2. Penerimaan 20%, 80%, dengan
BPHTB dibagikan dgn alokasi:
porsi yang
Provinsi
sama besar
=
untuk seluruh
16%
Kab./Kota
Kab./Kota =
64%
3. Penerimaan 80% 20%, dengan
PPh Pasal 25 alokasi:
dan Pasal 29
Provinsi
WP Orang
=
Pribadi
8%
Dalam
Negeri dan Kab./Kota dalam
PPh Pasal 21 provinsi yg
bersangkutan =
12%
Dengan rincian
sbb:
Kab./Kota tempat
wajib pajak
terdaftar = 8,4%
Dibagikan dgn
porsi yang sama
besar untuk seluruh
Kab./Kota dalam
provinsi yg
bersangkutan =
3,6%
4. Penerimaan 20% 80%, dengan
Iuran Izin alokasi:
Usaha
Provinsi
Pemanfaatan
=
Hutan
16%
(IIUPH)
Kab./Kota =
64%
5. Penerimaan 20% 80%, dengan
Provisi imbangan:
Sumber Daya
Provinsi
Hutan
=
(PSDH)
16%
Kab./Kota =
32%
Dibagikan dgn
porsi yang sama
besar untuk seluruh
Kab./Kota dalam
provinsi yg
bersangkutan =
32%
6. Penerimaan 60% 40% (digunakan
Dana (digunakan untuk rehabilitasi
Reboisasi untuk hutan dan lahan di
rehabilitasi Kab./Kota
hutan dan penghasil )
lahan secara
nasional)
7. Penerimaan 20% 80%, dengan
Pertambang- alokasi:
an Umum
Provinsi
(Iuran Tetap)
=
dari
16%
Kabupaten/
Kota Kab./Kota =
64%
8. Penerimaan 20% 80%, dengan
Pertambanga alokasi:
n Umum
Provinsi
(Iuran
=
Eksplorasi
16%
dan
Eksploitasi) Kab./Kota =
dari 32%
Kabupaten/K
ota Dibagikan dgn
porsi yang sama
besar untuk seluruh
Kab./Kota dalam
provinsi yg
bersangkutan =
32%
9. Penerimaan 20% 80%, dengan
Pertambanga alokasi:
n Umum
Provinsi
(Iuran Tetap
=
dan Iuran
26%
Eksplorasi
dan Dibagikan dgn
Eksploitasi) porsi yang sama
dari Provinsi besar untuk seluruh
Kab./Kota dalam
provinsi yg
bersangkutan =
54%
Proporsi Dana Bagi Hasil
N Jenis Untuk Untuk
o Pendapatan Pemerintah Pemerintah
Pusat Daerah
10 Penerimaan 20% 80%, Dibagikan
. Perikanan dgn porsi yang
(Secara sama besar untuk
Nasional) seluruh Kab./Kota.
11 Penerimaan 84,5% 15,5%, dengan
. Pertambanga alokasi:
n Minyak
Provinsi
Bumi dari
=
Kabupaten/
Kota 3%
Kab./Kota =
6%
Dibagikan dgn
porsi yang sama
besar untuk seluruh
Kab./Kota dalam
provinsi yg
bersangkutan =
6%
Dialokasikan untuk
anggaran
pendidikan
dasar =
0,5%,
dengan rincian sbb:
Provinsi
=
0,1%
Kab./Kota =
0,2%
Dibagikan dgn
porsi yang sama
besar untuk seluruh
Kab./Kota dalam
provinsi yg
bersangkutan =
0,2%.
12 Penerimaan 84,5% 15,5%, dengan
. Pertambanga alokasi:
n Minyak
Provinsi
Bumi dari
=
Provinsi
5%
Dibagikan dgn
porsi yang sama
besar untuk seluruh
Kab./Kota dalam
provinsi yg
bersangkutan =
10%
Dialokasikan untuk
anggaran
pendidikan
dasar =
0,5%,
dengan rincian sbb:
Provinsi
=
0,17%
Dibagikan dgn
porsi yang sama
besar untuk seluruh
Kab./Kota dalam
provinsi yg
bersangkutan =
0,33%.

13 Penerimaan 69,5% 30,5%, dengan


. Pertambanga alokasi:
n Gas Bumi
Provinsi
dari
=
Kabupaten/
6%
Kota
Kab./Kota =
12%
Dibagikan dgn
porsi yang sama
besar untuk seluruh
Kab./Kota dalam
provinsi yg
bersangkutan =
12%
Dialokasikan untuk
anggaran
pendidikan
dasar =
0,5%,
dengan rincian sbb:
Provinsi
=
0,1%
Kab./Kota =
0,2%
Dibagikan dgn
porsi yang sama
besar untuk seluruh
Kab./Kota dalam
provinsi yg
bersangkutan =
0,2%.

Proporsi Dana Bagi Hasil


N Jenis Untuk Untuk
o Pendapatan Pemerintah Pemerintah
Pusat Daerah
14 Penerimaan 69,5% 30,5%, dengan
. Pertambanga alokasi:
n Gas Bumi
Provinsi
dari Provinsi
=
10%
Dibagikan dgn
porsi yang sama
besar untuk seluruh
Kab./Kota dalam
provinsi yg
bersangkutan =
20%
Dialokasikan untuk
anggaran
pendidikan
dasar =
0,5%,
dengan rincian sbb:
Provinsi
=
0,17%
Dibagikan dgn
porsi yang sama
besar untuk seluruh
Kab./Kota dalam
provinsi yg
bersangkutan =
0,33%.
15 Penerimaan 20% 80%, dengan
. Pertambanga alokasi:
n Panas
Provinsi
Bumi
=
16%
Kab./Kota =
32%
Dibagikan dgn
porsi yang sama
besar untuk seluruh
Kab./Kota dalam
provinsi yg
bersangkutan =
32%
Sumber: UU No. 33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah & PP No. 55 Tahun 2005
Tentang Dana Perimbangan.
2. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana
yang bersumber dari APBN yang bertujuan untuk
pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah
atau mengurangi ketimpangan kemampuan
keuangan antar-daerah melalui penerapan formula
tertentu. DAU suatu daerah ditentukan atas alokasi
dasar dan besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap)
suatu daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan
jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah (belanja
pegawai daerah) pada daerah yang bersangkutan.
Sedangkan celah fiskal merupakan selisih antara
kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah
(fiscal capacity).
Kebutuhan daerah merupakan kebutuhan
pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi
layanan dasar umum yang dicerminkan dari luas
daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk,
tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di
daerah, dan tingkat pendapatan masyarakat di
daerah. Sedangkan kapasitas fiskal dicerminkan
dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil
Pajak, dan Sumber Daya Alam.
Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya
besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan
memperoleh alokasi DAU yang relatif kecil.
Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil,
namun kebutuhan fiskalnya besar akan
memperoleh alokasi DAU relatif besar, yang mana
secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi
DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.
Begitupula jika dibandingkan dengan alokasi
dasar, daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama
dengan nol menerima DAU sebesar alokasi dasar.
Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif
dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi
dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah
dikurangi nilai celah fiskal. Sedangkan daerah
yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai
negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi
dasar tidak menerima DAU.
Pemerintah pusat bertugas untuk merumuskan
formula dan melakukan penghitungan DAU
dengan berdasarkan data untuk menghitung
kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS)
dan/atau lembaga pemerintah yang berwenang
menerbitkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan. Sementara itu, jumlah
keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya
26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan
Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN.
3. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana
yang bersumber dari APBN yang dimaksudkan
untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan
khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan
daerah dan sesuai dengan prioritas nasional,
khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan
prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum
mencapai standar tertentu atau untuk mendorong
percepatan pembangunan daerah.
Pemerintah pusat menetapkan kriteria DAK yang
meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan
kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan
mempertimbangkan kemampuan Keuangan
Daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan
dengan memperhatikan peraturan perundang-
undangan dan karakteristik Daerah. Sedangkan
kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian teknis
pelaksana program/kegiatan.
Berbeda dengan daerah penerima DBH dan DAU,
daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana
Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh
persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping
tersebut harus dianggarkan dalam APBD pada
periode bersamaan dengan dianggarkannya DAK
dalam APBN. Namun, untuk daerah dengan
kemampuan fiskal tertentu atau daerah yang selisih
antara penerimaan umum APBD dan Belanja
Pegawainya sama dengan 0 (nol) atau negatif,
tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping
tersebut.
C. LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH
Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah
dibagi menurut jenis pendapatan dapat mencakup:
1. Hibah yang berasal dari pemerintah,
pemerintah daerah lainnya,
badan/lembaga/organisasi swasta dalam
negeri, kelompok masyarakat/ perorangan, dan
lembaga luar negeri yang tidak mengikat;
2. Dana darurat dari pemerintah pusat dalam
bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa
yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah
dengan menggunakan sumber APBD.
3. Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus
yang ditetapkan oleh pemerintah;
4. Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada
kabupaten/kota;
5. Bantuan keuangan dari provinsi atau dari
pemerintah daerah lainnya.
Komponen pendapatan daerah yang meliputi
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah,
setiap tahunnya harus dianggarkan dan
dimasukkan dalam APBD masing-masing
Pemerintah Daerah bersamaan dengan anggaran
belanja dan pembiayaan daerah. Seluruh
pendanaan yang dianggarkan dalam APBD
tersebut dikategorikan sebagai dana desentralisasi.
Lain halnya dengan dana dekonsentrasi dan/atau
dana tugas pembantuan.
Urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah pusat dan tidak dapat
didesentralisasikan meliputi: urusan politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
dan fiskal nasional serta agama. Dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut
Pemerintah Pusat menyelenggarakan sendiri atau
dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada perangkat Pemerintah pusat atau wakil
Pemerintah Pusat di daerah atau dapat menugaskan
kepada pemerintahan daerah dan/atau
pemerintahan desa. Pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu disebut
dengan Dekonsentrasi. Sedangkan penugasan dari
Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah
dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu disebut tugas
pembantuan.
Pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan
tersebut didanai oleh Pemerintah Pusat atau
dianggarkan dalam APBN pada pos anggaran
belanja kementerian terkait, sehingga walaupun
pelaksanaan urusan tersebut dilimpahkan atau
diserahkan kepada pemerintah daerah, pendanaan
pelaksanaannya tidak dapat dianggarkan pada
APBD. Inilah yang membedakan dana
desentralisasi dengan dana dekonsentrasi dan dana
tugas pembantuan. Konsekuensi dari sistem
pendanaan ini, jika terdapat sisa anggaran lebih
dan/atau saldo kas dari dana dekonsentrasi dan
tugas pembantuan, sisa dan/atau saldo kas tersebut
harus disetor kembali ke rekening Kas Umum
Negara, dan apabila dalam hal pelaksanaan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan menghasilkan
penerimaan, maka penerimaan tersebut merupakan
penerimaan APBN dan disetor ke Rekening Kas
Umum Negara sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Begitupula kaitannya dengan barang yang
diperoleh atas pelaksanaan kegiatan tersebut. Jika
barang yang diperoleh dari dana desentralisasi,
langsung menjadi barang milik daerah. Barang
yang diperoleh dari dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan merupakan barang milik negara.
Namun, tidak menutup kemungkinan barang milik
negara tersebut dihibahkan kepada Daerah,
sehingga jika barang milik negara tersebut telah
dihibahkan kepada Daerah maka wajib dikelola
dan ditatausahakan oleh pemerintah daerah,
sedangkan jika barang milik negara tersebut tidak
dihibahkan kepada Daerah, wajib dikelola dan
ditatausahakan sendiri oleh kementerian
negara/lembaga yang memberikan pelimpahan
wewenang atau tugas pembantuan tersebut,
walaupun barang tersebut berada atau digunakan
oleh pemerintah daerah.
Advertisements
Report this ad
Report this ad

Anda mungkin juga menyukai