Anda di halaman 1dari 3

Pembentukan Karakter dalam

perspektif Islam
Ditulis oleh Aries Musnandar
Rabu, 06 Juni 2012 08:31
Aksi dan perilaku negatif mulai dari demo anarkis, perkelahian massal, perusakan, KDRT, tindak
korupsi, perilaku a-susila hingga bullying di lembaga pendidikan merupakan wujud-wujud
perbuatan tak terpuji atau lahir dari akhlak tercela. Sedang akhlak tercela dipastikan berasal dari
orang bermasalah dalam keimanan yang merupakan manifestasi sifat syaitan dan iblis yang tugas
utama dan satu-satunya menjerumuskan manusia agar tersesat dari koridor agama.

Dalam Al Quran diungkap bahwa Iblis adalah makhluk sombong. Tatkala disuruh Allah bersujud
terhadap Adam, ia menolak dan malah mengatakan "Aku lebih baik daripadanya: Engkau
ciptakan aku dari api, sedang Engkau menciptakannya dari tanah" (Qs. Al-A'raf: 12). Iblis
pantang bersujud. Allah murka dan menghukumnya keluar dari surga. Iblis minta waktu untuk
menjerumuskan manusia. Peristiwa ini diabadikan Allah di berbagai surat dalam Al Quran.

Ajaran Islam tidak membiarkan perbuatan tercela. Nabi Muhammad sendiri diutus dalam upaya
menyempurnakan akhlak manusia. Mukmin adalah yang mempunyai akhlak paling baik. Dalam
kamus bahasa yang mendekati makna akhlak adalah budi pekerti. Senyatanya di Indonesia budi
pekerti bangsa masih menjadi persoalan, hingga dimunculkan karakter. UU Sisdiknas no 20
tahun 2003 telah menaruh perhatian dengan mencantumkan akhlak mulia sebagai suatu tujuan
penting dari sistem pendidikan nasional. Tetapi maraknya kekerasan dan perilaku negatif yang
dilakukan oleh kaum terdidik membuat kita miris dan prihatin. Perbuatan itu dilakukan orang
yang mengaku beragama.

Dalam Islam disebutkan Nabi Muhammad memiliki akhlak yang agung: wainnaka la ‘ala
khuluqin azim (QS Al-Qalam: 4). Akhlak terpuji dicontohkan Nabi diantaranya, menjaga
amanah, dapat dipercaya, bersosialisasi dan berkomunikasi efektif dengan umat manusia sesuai
harkat dan martabatnya, membantu sesama manusia dalam kebaikan, memuliakan tamu,
menghindari pertengkaran, memahami nilai dan norma yang berlaku, menjaga keseimbangan
ekosistem, serta bermusyawarah dalam segala urusan untuk kepentingan bersama. Keberadaan
Nabi selaku utusan Allah kepada umat manusia pada intinya dapat disimak dari ucapan beliau:
"Sesungguhnya aku (Muhammad) ini diutus ke dunia semata-mata demi menyempurnakan
Akhlak umat manusia" (al-Hadist).

Sabda Rasulullah tersebut diatas menunjukkan tiada lain bahwa kehidupan manusia ini
semestinya bersandar pada segala perilaku positif dan tindakan terpuji. Itulah semua bagian dari
sebuah akhlak yang mulia. Dalam Islam kedudukan akhlak sangat penting, ia merupakan "buah"
dari pohon Islam berakarkan akidah dan berdaun syari'ah.

Pendidikan Karakter yang Beradab

Cendekiawan Muslim Adian Husaini (2011) mengemukakan bahwa dalam soal pendidikan
karakter bagi anak didik berbagai agama bisa bertemu. Islam, Kristen dan berbagai agama lain
bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras,
sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum
lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia dan diakui oleh setiap
agama.

Berbagai program pendidikan dan pengajaran - seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan
Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), - belum mencapai hasil optimal, karena pemaksaan
konsep yang sekularistik serta tidak ada model perilaku yang jelas dan terterima. Padahal,
program pendidikan karakter, sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan
dan'omongan', orang Indonesia dikenal jagonya! Memang kita rasakan, orang Indonesia dikenal
piawai dalam menyiasati kebijakan dan peraturan. Ide UN, mungkin bagus tapi, di lapangan,
banyak yang bisa menyiasati agar siswanya lulus semua yang merupakan tuntutan pejabat dan
orang tua. Guru tidak berdaya. Lebih jauh lagi, kebijakan sertifikasi guru, bagus! Tapi, karena
mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu
sertifikat, bukan berburu ilmu. Bukan tidak mungkin, gagasan Pendidikan Karakter ini
menyuburkan bangku-bangku seminar demi meraih sertifikat pendidikan karakter, untuk meraih
posisi dan jabatan tertentu.

Namun, pendidikan karakter yang mengembangkan nilai-nilai universal tersebut diatas tidak
cukup untuk konteks Indonesia. Hal ini karena kita memiliki nilai-nilai adat ketimuran dan
keagamaan yang demikian kuat dan menjadi ciri khas yang membedakan karakter orang
Indonesia dan bangsa lain. Sebagai contoh, China mendasarkan pada komunisme dan Negara
barat berkiblat pada liberalisme. Mereka sukses. Kita sendiri sebenarnya memiliki Pancasila dan
konstitusi kita (UUD 45) yang disusun the Founding Fathers sangat cermat mengesankan tingkat
religiusitas yang tinggi dari mereka.

Tentu karakter manusia Indonesia itu berbeda dengan karakter masyarakat komunis di Cina dan
masyarakat di Barat yang melekat kuat perilaku liberalnya. Disnilah keunikan masing-masing.
Indonesia memiliki nilai tersendiri yang kemudian oleh para pendiri republik ini berhasil
di"satu"kan dalam nilai-nilai Pancasila. Sila pertama meyakinkan kita bahwa karakter universal
yang menjadi tujuan pendidikan karakter seyogyanya dibarengi dengan nilai-nilai keagamaan
yang dimiliki masing-masing individu.

Sekolah-sekolah yang melaksanakan kegiatan pembelajaran berbasis keyakinan agamanya


diperbolehkan dan dijamin dalam Negara berdasar Pancasila. Salahsatu penjabaran dari sila
pertama ini maka seorang Kristen membentuk karakter universalnya melalui dasar keyakinan
kristiani, sementara Muslim pun mengembangkan karakter universalnya melalui inspirasi
keagamaan yang diyakininya yakni yang bersumber pada Al Qur'an dan Al Hadist..

Jadi pendidikan kita itu haruslah pendidikan karakter yang beradab dengan nilai-nilai filsafat
dasar bangsa yang tersemai dalam Pancasila. Bukan karakter yang didasari nilai-nilai Barat,
Komunis atau sekularistik. Hal ini penting karena pengaruh dan infiltrasi budaya asing demikian
deras mempengaruhi warga bangsa,, padahal nilai-nilai ;uhur bangsa telah teruji menyatukan
berbagai komponen bangsa sejak sebelum hingga masa mengisi kemerdekaan sekarang ini. The
Founding Fathers RI telah berhasil menciptakan karya luar biasa dalam menyatukan bangsa ini
melalui Pancasila. Presiden Soekarno bahkan dengan percaya diri pernah memperkenalkan
keunggulan Pancasila di forum persyarikatan bangsa-bangsa tak lama setelah Indonesia merdeka
dari penjajahan.

*) Staf Edukasi / Konsultan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Muhammadiyah Ngawi, Jawa
Timut.

Dosen Luar Biasa Unibraw Malang

(Sekarang sedang mengikuti Program Doktor Manajemen Pendidikan Islam UIN Maliki Malang)

Anda mungkin juga menyukai