Anda di halaman 1dari 5

HAKIKAT SAINS

Harry Firman
harry.firman@hotmail.com

1. Pendahuluan

Banyak di antara kita yang memandang IPA (sains) sebagai kumpulan pengetahuan (fakta, konsep,
hukum, teori) tentang fenomena alam. Pikiran seperti itu tidak salah, namun kurang lengkap.
Sesungguhnya IPA memiliki dua dimensi, yaitu “dimensi dinamik” dan “dimensi statik” (Mannoia,
1980). Dimensi dinamik dari IPA menggambarkan IPA sebagai aktivitas penyelidikan (investigasi)
atau inkuiri ilmiah dengan menggunakan metode-metode ilmiah, yang mengandalkan keterampilan-
keterampilan proses saintifik, seperti observasi, pengumpulkan data, klasifikasi, eksperimentasi, dsb.).
Sementara itu, dimensi statik dari IPA menggambarkan IPA sebagai produk sistem ide-ide (konten
IPA), yang pada dasarnya merupakan produk dari aktivitas penyelidikan ilmiah (Farmer dan Farrell,
1980). Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa IPA pada hakikatnya merupakan proses (penyelidikan
ilmiah) dan produk (pengetahuan saintifik). Produk-produk IPA adalah hasil dari proses IPA,
sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1.

Proses Sains Produk sains


(ways of finding out) (system of ideas)
Observasi  Fakta
Pengumpulan dan pencatatan (data)  Data
Klasifikasi  Konsep
Eksperimentasi  Hukum, prinsip, aturan
(Dari Farmer dan Farrell, 1980)

Gambar 1. Proses dan Produk IPA

Definisi yang lengkap tentang IPA dikemukakan oleh Bybee, Carlson dan Trowbridge (2014),
yakni:
“Science is a body of knowledge about the natural world, formed by a process of
continuous inquiry, and encompassing the people engaged in the scientific enterprise.
The type of knowledge, the process of inquiry, and the individuals in science all
contribute in various ways to form a unique system called science”.
Kedua dimensi IPA sebagaimana diketengahkan di ats perlu dipandang sama pentingnya dalam
pembelajaran IPA. Pembelajaran IPA tidak boleh hanya terfokus pada aspek produk IPA, melainkan
juga aspek proses IPA. Tujuan pembelajaran IPA tidak hanya agar peserta didik mengingat fakta,
memahami dan mengaplikasikan konsep, hukum dan teori IPA, melainkan juga mengembangkan
kemampuan mereka mengobservasi, memprediksi, merancang serta melaksanakan penyelidikan,
mengumpulkan data, menganalisis dan menginterpretasi data, menarik generalisasi serta membuat
eksplanasi terhadap fenomena yang ditemukan (Poh, 2005). Fitur pembelajaran IPA yang
mengintegrasikan produk dan proses menjadikan “school science” dengan dengan “real science”
(Reiss, 2010), yang di dalamnya peserta didik memahami pengetahuan dalam IPA seraya
mengembangkan keterampilan ilmiah (saintifik).

1
2. Produk Sains

a. Fakta
Fakta adalah peristiwa yang terjadi dan dicatat dengan tanpa perbedaan pendapat. Fakta diamati sama
oleh semua pengamat. Bahwa logam memuai ketika dipanaskan adalah fakta. Begitupun dengan
matahari yang muncul dari timur dan tenggelam di barat, diamati sama oleh manusia di Bumi. Fakta
dapat dibuktikan benar salahnya melalui observasi saintifik. Fakta mengenai fenomena alam menjadi
sumber bagi pengembangan IPA. Peran fakta dalam pengembangan IPA adalah menjadi landasan bagi
verifikasi (membuktikan kebenaran) teori, dan falsifikasi (membuktikan kesalahan) teori, modifikasi
teori agar dapat menjelaskan lebih luas fenomena, bahkan melahirkan teori baru.

b. Data
Data adalah informasi yang dipertimbangkan relevan untuk suatu penyelidikan, dan dikumpulkan
dalam kondisi-kondisi yang khusus Farmer & Farrel,1980). Data merupakan fakta yang terpilih yang
diperoleh dengan cara khusus untuk tujuan tertentu sesuai yang dipertimbangkan tepat oleh peneliti.

c. Konsep
Konsep adalah abstraksi sebagai generalisasi tentang sekumpulan ide, obyek, atau peristiwa,
berdasarkan karakteristik esensial dari proses, obyek, atau peristiwa tersebut (Farmer & Farrell,
1980). Bahwa “asam merupakan zat yang larutannya dalam air memerahkan warna lakmus” adalah
contoh konsep (abstraksi dari sejumlah zat yang memiliki karakteristik yang sama). Kata “asam”
dalam konteks ini adalah suatu “label” konsep. Contoh label konsep lainnya adalah mamalia, insekta,
populasi, mortalitas, atom, mineral, logam, gaya, magnet, fluida, kepolaran, massa jenis. Label konsep
seringkali dinyatakan dalam bentuk lambang, seperti halnya I (kuat arus), Ar (massa atom relatif), dan
λ (panjang gelombang).
Farmer dan Farrel (1980) mengklasifikasikan konsep-konsep ke dalam dua kategori, yakni
“konsep berlandaskan pengamatan” (concepts by inspection) dan “konsep berdasarkan definisi”
(concept by definition), yang sering disebut juga konsep teoritis (theoretical concepts) atau konstruk
teoritis. Konsep berlandaskan pengamatan merupakan abstraksi dari hasil pengamatan terhadap
sejumlah proses, obyek, atau peristiwa. Konsep berdasarkan definisi tidak diabstraksi dari hasil
pengamatan, melainkan didefinisikan berdasarkan kesepakatan pakar, contohnya kemagnetan,
kepolaran, natalitas, frekuensi.

d. Prinsip, Hukum, dan Aturan


Prinsip, hukum, dan aturan adalah pernyataan yang memprediksi antarhubungan konsep-konsep
(Farmer dan Farrell, 1980). Terdapat dua kategori prinsip, yakni prinsip empirik dan prinsip teoretik.
Prinsip empirik merujuk hanya pada antarhubungan konsep-konsep berdasarkan pengamatan, tetapi
tidak menyediakan penjelasan terhadap antarhubungan yang diprediksikan. Contohnya adalah hukum
Ohm: “Arus listrik dalam suatu rangkaian berbanding lurus dengan gaya gerak listrik (electromotive
force) dan berbanding terbalik dengan hambatan”, I = E/R. Prinsip ini melibatkan antarhubungan
berbagai konsep dan memprediksi apa yang akan terjadi dalam interaksi antarkonsep tersebut. Istilah
prinsip, hukum dan aturan seringkali dipertukarkan satu sama lain dalam literatur IPA. Contoh lain
bagi prinsip empirik adalah hubungan kuantitatif antara bahang (kalor) dan pemuaian, sebagaimana
dideskripsikan dalam formula Pt = Po (1 + λt).
Sementara itu prinsip teoretik merujuk pada konsep-konsep teoretik yang menyediakan
penjelasan di samping memprediksi. Contohnya adalah prinsip berikut: “Pada temperatur di atas nol
absolut (Absolute Zero), gerakan molekul gas bersifat acak baik dalam kecepatan maupun arah”.

2
Prinsip teoritis tidak menggambarkan relasi kuantitatif seperti halnya Hukum Ohm, tetapi mempunyai
daya eksplanasi terhadap berbagai fenomena terkait.

e. Teori
Teori merupakan “generalisasi-generalisasi konseptual” (Mannoia, 1980), oleh karenanya teori
bersifat abstrak dan umum, serta mengeliminasi detail-detail (partikularitas). Teori kinetik molekul
(the molecular kinetic theory) berlaku umum terhadap gas tanpa mempersoalkan jenis zatnya.
Begitupun dengan teori gravitasi Newton, yang mengabaikan bentuk dan warna benda.
Pada dasarnya, teori merupakan sistem penalaran logis yang dikontruksi secara hati-hati dengan
asumsi-asumsi tertentu tentang sifat alam. Asumsi ialah hal-hal masuk akal yang diterima secara
tentatif tanpa bukti-bukti yang menunjangnya (Farmer dan Farrell, 1980). Teori kinetik molekul
mengasumsikan gas terdiri atas molekul-molekul dan ruang, dan molekul tersebut bergerak lurus
hingga bertumbukan secara elastik sempurna dengan dengan molekul sejenisnya atau dengan dinding
wadahnya. Teori kinetik molekul digagas oleh Robert Clausius dengan menggunakan penalaran
abduktif (abductive reasoning), yakni proses inferensi logis dari observasi menuju teori (Mannoia,
1980).
Teori menjelaskan tentang apa yang terjadi di alam, atau penjelasan mengapa gejala terjadi.
Oleh karenanya teori dapat dipandang sebagai jawaban terhadap pertanyaan “mengapa”. Mengapa
dalam kondisi tertentu gas-gas memenuhi hukum-hukum gas ideal, PV = nRT, dapat dijelaskan oleh
teori kinetik molekul. Lebih luas lagi, teori memegang peranan penting dalam mengarahkan
observasi, merangkum pengetahuan, memprediksi, dan mengendalikan fakta. Oleh karenanya,
kedudukan teori sangat penting dalam riset ilmiah, teori terutama dirujuk untuk menggagas hipotesis
(eksplanasi terhadap fakta) sebagai langkah awal dari keseluruhan proses inkuiri ilmiah.

f. Model
Model dalam IPA adalah representasi dari suatu fenomena (obyek, proses, sistem) sesuai dengan teori
yang melandasinya. Model dikonstruksi untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang
fenomena (Gilbert, Boulter & Elmer, 2000). Model tatasurya dari atom Bohr dikonstruksi untuk
merepresentasikan (lebih kongkrit & visual) teori atom Bohr. Begitupun dengan model orbital s
(bulat), dan orbital-orbital p (seperti halter) yang dikonstruksi untuk merepresentasikan kedua macam
orbital tersebut menurut teori atom berbasis mekanika kuantum.
Perlu dicatat bahwa sangat sukar untuk memodelkan teori secara sempurna, sehingga model
selalu mengandung sedikit kesalahan. Dalam pendidikan, dikenal berbagai model
mengajar/pembelajaran (teaching models) sebagai representrasi proses pembelajaran yang sesuai
dengan teori relevan, sehingga setiap model pembelajaran mempunyai sintaks (langkah-langkah
proses) tertentu.

3. Proses-Proses IPA

a. Observasi
Observasi adalah menggunaan indera manusia dan peralatan yang memperkuatnya (mikroskop,
teleskop, dan instrumen-intrumen canggih) untuk memperoleh informasi tentang aspek alam yang
tengah diteliti. Perkembangan dalam alat-alat observasi dan pengukuran turut menentukan
peningkatan akurasi dan presisi data. Kehadiran instrumen-instrumen canggih untuk menganalisis
difraksi sinar X, mikroskop elektron, spektrofotometer-spektrofotometer canggih, menyebabkan
kajian terhadap struktur material, termasuk struktur belitan ganda (double helix) DNA diketahui.
Tanpa teleskop canggih sukar dibayangkan struktur galaksi kita bahkan struktur alam semesta
diketahui.

3
b. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merujuk pada aneka proses dan teknik untuk secara sistematik mengumpulkan dan
mencatat data, serta pada kondisi apa data dikumpulkan. Walaupun observasi sebagai proses dasar
untuk memperoleh fakta/peristiwa tentang alam, pengumpulan data (data gathering) berbeda dengan
observasi. Pertimbangan perlu dilakukan sebelum proses pengumpulan data dimulai untuk
menentukan fakta mana yang relevan, bagaimana dan bilamana observasi akan dilakukan. Data
deskriptif dikumpulan dan dicatat dalam bentuk kata-kata tertulis atau simbol-simbol yang dicatat
secata sistematik. Sedangkan data kuantitatif dikumpulkan secara sistematik dari pengukuran-
pengukuran dengan alat-alat ukur dan prosedur pengukuran secara konsisten.

c. Analisis dan Interpretasi Data


Data adalah penting, namun data tidak berarti sebelum dianalisis sehingga pola data dipahami, dan
maknanya ditafsirkan. Analisis dan interpretasi data melibatkan “reduksi data”, yakni aplikasi
matematika/statistika untuk mengungkap pola-pola dari data mentah (raw data) berdasarkan data
yang tersedia, serta interpolasi dan ekstrapolasi data berdasarkan pola-pola data tersebut. Kehadiran
program-program aplikasi komputer analisis data membantu dalam manajemen dan analisis data
untuk menemukan relasi-relasi antarvariabel penelitian.

d. Klasifikasi
Proses klasifikasi obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, dan ide-ide dengan menggunakan ciri-ciri khusus
yang dipilih membantu ilmuwan menarik generalisasi-generalisasi, yang melahirkan kategorisasi-
kategorisasi dan konsep-konsep baru.

e. Eksperimen
Pada dasarnya eksperimen merupakan program dengan desain terencana untuk menguji hipotesis yang
diturunkan dari teori. Hipotesis adalah pernyataan prediktif dalam bentuk “jika-maka, yang
diturunkan sebagai konsekuensi teori. Ilmuwan menggunakan proses eksperimen untuk menemukan
efek suatu variabel bebas terhadap variabel bergantung, dengan mengendalikan (mengontrol) faktor-
faktor lain yang dapat mempengaruhi variabel bergantung (Carey, 2015).
Eksperimen menyediakan bukti-bukti empiris yang mengkonfirmasi atau menyanggah
hipotesis (Carey, 2015). Kontrol terhadap faktor-faktor yang diduga turut berpengaruh merupakan
kunci suatu eksperimen. Semakin baik pengendalian (kontrol) serta akurasi pengukuran terhadap
variabel- variabel eksperimen, semakin cermat temuan-temuan eksperimen itu. Sejarah IPA
memperlihatkan banyak hukum dalam IPA diformulasi berdasarkan temuan-temuan eksperimen,
seperti halnya hukum Mendel, hukum Lavoisier, hukum Kirchhoff, dan hukum Henry.

4. Sifat Pengetahuan IPA

Kajian hakikat IPA meliput juga karakteristik pengetahuan ilmiah dalam IPA. Sintesis dari pikiran
sejumlah penulis (Wenning, 2015; Poh, 2005; menunjukkan karakteristik pengetahuan ilmiah antara
lain:

Empirik: Pengetahuan-pengetahuan dalam IPA berlandaskan observasi, sebab merupakan hasil


interpretasi-interpretasi terhadap fenomena alam. Walaupun pengetahuan ilmiah melibatkan abstraksi-
abstraksi, namun validitasnya dibuktikan oleh konsistensi penjelasan ilmiah dengan menggunakan
pengetahuan tersebut dengan bukti empirik.

4
Tentatif: Walaupun pengetahuan ilmiah didukung oleh banyak data pengamatan dan eksperimentasi,
tidak dapat dipandang bersifat final. Pengetahuan ilmiah pada saat yang sama stabil dan lentur.
Komunitas ilmuwan secara terus menerus menguji kebenaran pengetahuan-pengetahuan tersebut.
Walapun tahan lama (durable) dan tangguh (robust), namun pengetahuan ilmiah terbuka untuk revisi
dan perubahan sesuai dengan bukti baru yang didapat.

Terbatas: IPA tidak dapat menyediakan jawaban terhadap semua persoalan manusia. Pengetahuan
ilmiah berdasarkan bukti empirik dan cocok untuk memahamai dunia fisik, tetapi tidak cocok untuk
memahami fenomena supernatural, moral, estetika, seni, filsafat, dsb.
Imajinatif dan Kreatif: IPA memerlukan imajinasi dan kreativitas, khususnya dalam melakukan
inferensi terhadap fenomena yang diobservasi. Observasi mendeskripsikan apa yang diinderai,
sedangkan inferensi dibuat berdasarkan interpretasi terhadap data observasi secara imajinatif dan
kreatif.

Teruji: Pengetahuan saintifik harus dapat diuji. Laporan penemuan ilmiah harus dilaporkan secara
jelas prosedurnya dalam jurnal ilmiah, sehingga ilmuwan lain dapat menginvestigasi ulang terhadap
persoalan yang sama. Pengetahuan ilmiah menjadi kokoh jika banyak peneliti lain membuktikan
kebenaran pengetahuan baru yang ditemukan.

Parsimoni: Saintist menjelaskan fenomena alam secara sederhana dan koheren, bukan secara rumit,
sehingga mudah dimengerti.

Subyektif: Pengetahuan ilmiah merupakan upaya manusia, sehingga proses, metode, dan pengetahuan
ilmiah tidak terlepas dari subyektivitas manusia. Oleh sebab itu bukan tidak mungkin ilmuwan
berbeda memberikan interpretasi berdeda terhadap set data yang sama. Di samping itu pengetahuan
ilmiah juga dihasilkan dalam konteks sosial, budaya, dan politik tertentu, sehingga faktor-faktor
tersebut dapat turut berpengaruh terhadap pengetahuan ilmiah.

Rujukan

Bybee, R. W., & Powell, J. C. (2014). Teaching secondary school science strategies for developing
scientific literacy. Essex: Pearson Education.
Carey, S. S. (2015). Kaidah-kaidah metode ilmiah (Terjemahan Irfan M. Zakkie). Bandung: Nusa
Media.
Farmer. W. A., & Farrell, M. A. (1980). Systematic instruction in science for the middle and high
school years. Reading, MA: Addisson-Wesley.
Gilbert, J. K., Boulter, C. J., & Elmer, R. (2000). Positioning models in science education and design
and technology education. In J. K. Gilbert & C. J. Boulter, Developing models in science
education (pp ……). Dordrecht: Kluwer Academic.
Mannoia, V. J. (1980). What is science?: An introduction to the structure and methodology of science.
Lanham, MD: University Press of America.
Poh, S. P. (2005). Pedagogy of science for post graduate diploma in teaching. Kuala Lumpur:
Kumpulan Budiman.
Reiss, M. (2002). What is science?. In S. Amos &R. Boohan (Eds), Teaching science in secondary
schools (pp.40-54. London: Routledge Falmer.
Reiss, M. (2010). The nature of science, in J. Frost (Ed), Learning to teach science in the secondary
school, pp. 63-73). London: Routledge.
Wenning, C., & Vieyra, R. E. (2015). Teaching high school physics Volume I. The Authors.

Anda mungkin juga menyukai