Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Mengenai Kekuasaan


2.1.1 Pengertian Kekuasaan
Menurut Gibson dkk. (1997) dalam Ardana dkk. (2009: 126) kekuasaan
adalah kemampuan untuk memperoleh sesuatu dengan cara yang diinginkan
seseorang agar orang lain melakukannya. Robbins dan Judge (2015: 279)
mendefinisikan kekuasan (power) sebagai kapasitas yang dimiliki A untuk
memengaruhi perilaku B sehingga B melalukannya sesuai keinginan A. Dari
pendapat tersebut paling tidak ditunjukkan bahwa kekuasaan melibatkan dua orang
atau lebih serta adanya pola ketergantungan.
Kekuasaan mengandung suatu potensi atau kemampuan yang belum tentu
efektif jika dilaksanakan, dan suatu hubungan ketergantungan (Marianti, 2011). Bisa
saja seseorang memiliki suatu kekuasaan namun tidak digunakan oleh orang tersebut.
Seseorang hanya dapat memiliki kekuasaan atas diri orang lain, jika ia dapat
mengendalikan sesuatu yang diinginkan oleh orang lain tersebut.

2.1.2 Kepemimpinan dan Kekuasaan


Konsep kepemimpinan dan kekuasaan mempunyai hubungan yang erat.
Bahkan seringkali orang menganggap bahwa kepemimpinan adalah identik dengan
kekuasaan. Memang seorang pemimpin dapat menggunakan kekuasaannya sebagai
alat untuk mencapai tujuan pribadinya maupun kelompoknya, namun sebetulnya
kepemimpinan dan kekuasaan memiliki perbedaan (Robbins dan Judge, 2015: 280).
Menurut Marianti (2011) Perbedaan yang dimaksud terletak pada:
a. Kesesuaian tujuan
Kekuasaan tidak membutuhkan kesesuaian tujuan, hanya ketergantungan,
sedangkan kepemimpinan membutuhkan kesesuaian tujuan antara pemimpin
dengan orang yang dipimpinnya.

1
b. Arah dari pengaruh
Kepemimpinan berfokus pada pengaruh atasan/pemimpin terhadap
bawahannya, dan meminimalkan pentingnya bentuk pengaruh ke samping dan
ke atas. Sedangkan kekuasaan selain berfokus pada pengaruh terhadap
bawahan, juga berfokus pada pengaruh terhadap atasan maupun kepada
sesama teman yang berada pada tingkat yang sama.
c. Cara Implementasinya
Kepemimpinan lebih menekankan pada cara atau gaya kepemimpinan yang
perlu dilakukan untuk mencapai tujuan. Sedangkan kekuasaan, lebih
memfokuskan diri pada taktik-taktik untuk mendapatkan kesepakatan.
d. Pemilik kekuasaan
Kepemimpinan lebih merupakan kekuasaan yang dimiliki secara individual,
sedangkan kekuasaan, bukan hanya dapat dimiliki oleh individu tertentu,
namun juga dapat dimiliki oleh beberapa atau sekelompok orang.

2.1.3 Sumber dan Bentuk Kekuasaan


Menurut Robbins dan Judge (2015: 281), sumber dan bentuk kekuasaan dapat
dibagi ke dalam kategori yang lebih spesifik yaitu sebagai berikut:
a. Kekuasaan Formal
Kekuasaan formal didasarkan pada posisi seorang individu di dalam
organisasi. Hal ini dapat berasal dari kemampuan untuk memaksa atau
memberikan imbalan, atau dari wewenang formal.
1. Kekuasaan paksaan. Kekuasaan paksaan diperoleh dengan membuat para
pengikut memiliki rasa takut. Dengan demikian sumber kekuasaan
diperoleh dari rasa takut. Misalnya, bila tak mengikuti perintah pimpinan
maka bisa saja dipindahkan atau ditunda pembayaran gaji dan mungkin
saja penurunan pangkat.
2. Kekuasaan imbalan. Kekuasaan yang bersumber atas kemampuan untuk
menyediakan penghargaan bagi orang lain, seperti gaji, promosi,

2
penghargaan jasa lainnya seperti meningkatkan kenyamanan kondisi
kerja.
3. Kekuasaan legitimasi. Kekuasaan yang bersumber pada jabatan atau
wewenang atau posisi yang dimiliki oleh seorang pemimpin, karena
semakin tinggi posisi semakin besar kekuasaan legitimasinya.
b. Kekuasaan Pribadi
Kekuasaan pribadi berasal dari karakteristik unik individu.
1. Kekuasaan ahli
Kekuasaan ini bersumber atau diperoleh karena mempunyai pengetahuan
dan keahlian, dimana keahlian tersebut tidak dimiliki oleh orang lain.
2. Kekuasaan acuan
Kekuasaan diperoleh atau bersumber karena sifat-sifat pribadi yang
disenangi atau dikagumi .
Dalam perkembangan selanjutnya Raven dan Kruglarski dalam Ardana dkk.
(2009:128) memperkenalkan sumber kekuasaan selanjutnya yaitu kekuasaan
informasi. Yang merupakan kekuasaan yang diperoleh seseorang karena individu
tersebut mempunyai akses informasi, dimana dipilih informasi yang dinilai sangat
penting oleh para pengikutnya.
Hersey dan Smith (1979) dalam Ardana dkk. (2009: 128) kemudian
mencetuskan sumber kekuasaan selanjutnya yaitu kekuasaan koneksi yang
merupakan kekuasaan yang bersumber pada hubungan yang dijalin oleh seseorang
(pimpinan) dengan orang-orang penting atau yang berpengaruh baik di luar maupun
di dalam organisasi.

2.1.4 Taktik Kekuasaan


Taktik kekuasaan adalah cara – cara yang ditempuh oleh seseorang untuk
menterjemahkan dasar – dasat kekuasaan menjadi tindakan – tindakan yang spesifik.
Kipnis dan kawan – kawan yang dikutip oleh Robin (2002) menawarkan tujuh
dimensi taktik atau strategi dalam menggunakan kekuasaan, yaitu sebagai berikut.
1) Reason (Nalar)

3
Memakai fakta – fakta dan data – data untuk menyajikan ide – ide secara logis
dan rasional.
2) Friendlisness (ramah tamah / keramahan)
Dengan ramah, kemauan baik, merendahkan hati dan bertindak lembut
sebelum meminta orang lain melakukan sesuatu.
3) Coation (koalisi)
Dengan meminta dukungan orang lain dalam organisasi guna menunjang
permintaan / perintahnya.
4) Bargaining (tawar menawar)
Melalui negosiasi / pertukaran keuntungan dan usaha / kegiatan.
5) Assertiveness (mempertahankan hak / ketegasan)
Dengan menggunakan pendekatan langsung serta paksa seperti menuntut
kepatuhan bawahan, memberi peringatan kepada bawahan untuk taat.
6) Higher authority (otoritas atasan)
Dengan meminta bantuan pimpian yang lebih tinggi unuk mendukung
perintah – perintahnya.
7) Sanctions (sanksi – sanksi)
Menggunakan imbalan dan hukuman , yaitu dengan memberikan hadia seperti
janji kenaikan gaji, promosi, atau mengancam akan memberi evaluasi yang
jelek terhadap pretasi kerja atau hkuman , tidak popular.

2.2 Konsep Mengenai Politik


2.2.1 Pengertian Politik dan Perilaku Politik
Menurut Ardana dkk. (2009: 130), politik adalah suatu fakta hidup dalam
suatu organisasi. Politik hadir dalam hidup dan kehidupan organisasi karena adanya
heterogenitas keinginan/kepentingan, kelangkaan sumberdaya, ketidakjelasan visi dan
misi dan hal lainnya. Politik menurut Jones (1985) dalam Ardana dkk. (2009: 130)
adalah aktivitas yang digunakan untuk memperoleh, mengembangkan, dan
menggunakan kekuasaan dari sumber daya lain untuk mendapatkan hasil yang

4
dinginkan oleh orang tersebut apabila terdapat ketidakpastian atau ketidaksepakatan
pilihan.
Politik akan ada pada setiap lini organisasi, individu-individu akan terus
berhubungan dengan perilaku politik, karena hal tersebut akan dipergunakan sebagai
strategi dalam mempertahankan kekuasaannya, mencegah orang lain mengambil alih
kekuasaannya, atau memperluas kekuasannya. Fenomena diataslah yang
menghasilkan perilaku politik.
Perilaku politik menurut Gibson dkk. (1996) dalam Ardana (2009: 130)
adalah perilaku diluar sistem kekuasaan normal yang didesain untuk menguntungkan
seseorang atau sub unit tertentu, dan sengaja dibuat untuk memperoleh/memelihara
kekuasaan. Sedangkan, perilaku politik menurut Robbins dan Judge (2015: 291)
adalah suatu aktivitas yang tidak dipersyaratkan sebagai peranan formal seseorang
dalam organisasi tetapi yang mempengaruhi, atau berupaya untuk mempengaruhi,
distribusi keuntungan dan kerugian dalam organisasi. Akibat dari perilaku politik
yang berlebihan, kekuasaan resmi yang terdapat dalam organisasi sering
dikesampingkan/dihambat, yang akhirnya mengarahkan pada politisasi jabatan.
Politisasi jabatan sering berlawanan dengan konsep etika.

2.2.2 Taktik untuk Memainkan Politik dalam Organisasi


Allen dkk. (1979) dalam Ardana (2009: 131) mendapatkan delapan taktik
politik yang dapat digunakan oleh seseorang, sebagai berikut :
1. Menyerang/menyalahkan orang lain;
2. Memakai informasi
3. Membangun citra/manajemen yang menarik
4. Mengembangkan dasar dukungan;
5. Memuji orang lain dan berusaha untuk disayangi
6. Koalisi kekuasaan dengan sekutu yang kuat
7. Bekerjasama dengan yang berpengaruh
8. Menciptakan obligasi/pertukaran

5
2.2.3 Sifat pribadi dari Politisi yang Efektif
Allen dkk. (1979) dalam Ardana (2009: 132) mengidentifikasi sifat-sifat
pribadi dari politisi yang efektif, sebagai berikut:
1. Pandai berbicara
2. Sensitif
3. Cakap dalam bidang social
4. Mampu
5. Terkenal
6. Terbuka
7. Percaya diri
8. Agresif
9. Ambisius
10. Berbelit-belit
11. Orang organisasi
12. Sangat cerdas
13. Logis.

2.2.4 Manajemen Impresi/Kesan (Impression Management)


Manajemen kesan dilakukan seseorang agar dirinya dapat diterima dengan
lebih baik oleh orang lain. Menurut Ardana (2009: 132), manajemen kesan adalah
suatu proses yang dilakukan oleh seseororang dalam upayanya mengendalikan kesan
orang lain terhadap dirinya. Manajemen kesan kini telah menjadi topic yang hangat,
sehingga cukup relevan untuk diuraikan, karena bisa dipakai sebagai refrensi oleh
mereka yang berkepentingan terutama dalam upaya membangun citra diri yang lebih
baik di mata orang lain. Schlenker (1989) dalam Ardana (2009: 133) menawarkan
teknik manajemen kesan yaitu sebagai berikut:
a. Persetujuan (Conformity) yaitu menyetujui pandangan orang lain untuk dapat
memperoleh dukungannya/simpatinya yang positif.

6
b. Dalih dimana (Exuses) dimana jika terdapat peristiwa yang dapat menciptakan
keadaan yang sulit, maka diarahkan untuk dapat mengurangi peritiwa
tersebut.
c. Apologi (Apologies) adalah pengakuan pertanggungjawaban atas kejadian
yang tidak diinginkan, dan berusaha untuk mendapatkan ampunan.
d. Penyambutan dengan gembira (Acleaning). Memberikan penjelasan atas
peristiwa yang menguntungkan agar dapat memaksimalkan implikasi yang
diinginkan untuk diri sendiri.
e. Penyanjungan (Platerry). Memuji orang lain mengenai kebaikannya sebagai
suatu upaya untuk dapat membuat diri sendiri terlihat resposif dan simpatik.
f. Menyenangkan (Favours). Melakukan suatu kebaikan kepada orang lain agar
dapat memperoleh simpatinya.
g. Keterkaitan (Assciation). Meningkatkan atau melindungi citra seseorang
dengan mengelola informasi yang berkaitan dengan orang tersebut.

2.2.5 Etika Berperilaku Politik


Perilaku politik sering dihubungkan dengan isu politik. Sehingga sering
memancing kontroversi terutama jika dikaitkan dengan persoalan moralitas dan etika.
Hal ini disebabkan oleh tidak adanya garis yang jelas yang memisahkan perilaku
politk yang berlawanan dengan nilai-nilai etika atau tidak.
Selama kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang dilaksanakan dalam batasan
formal, terutama jika dikaitkan dengan wewenang yang dimiliki dan dalam kerangka
kebaikan organisasi, hal tersebut dapat dikatakan sebagai sesuatu yang etis. Namun,
jika kekuasaan tersebut digunakan diluar dari batas kewenangan formal, kekuasaan
yang dimiliki digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, hal tersebut
merupakan hal yang tidak etis.

2.3 Konsep Mengenai Imbalan


Menurut Ardana dkk (2009) imbalan adalah imbalan adalah elemen kritis
dalam setiap strategi organisasi terutama dalam rangka memotivasi pegawai.

7
Organisasi sebaiknya memberikan imbalan berbasis kinerja karena lebih fair, adil dan
motivatif.

2.3.1 Beberapa Isu Penting Tentang Imbalan


Gibson dkk. (1996) dalam Ardana dkk. (2009: 138) mengkaitkan imbalan
dengan berbagai isu penting dalam organisasi yaitu sebagai berikut:
a) Imbalan serta tingkat keluar masuknya pegawai dan tingkat absensi.
Melalui sistem imbalan organisasi dapat mempertahankan individu-individu
yang memiliki prestasi terbaik dan akan mengakibatkan individu-individu
yang memiliki prestasi buruk untuk pergi, sehingga efektivitas organisasi
secara keseluruhan akan meningkat. Artinya, sistem imbalan tersebut
disamping adil harus bersaing dengan perusahaan yang setaraf.
b) Imbalan dan prestasi kerja.
Para pakar perilaku mengakui bahwa imbalan ekstrinsik dan imbalan intrinsik
dapat digunakan sebagai pendorong prestasi kerja. Karena biasanya setiap
individu akan melihat ataupun mempertimbangkan imbalan yang akan
diterimanya apabila ia berprestasi.
c) Imbalan dan komitmen organisasi.
Suatu imbalan terutam aimbalan intrinsik apabila dikembangkan dengan baik
maka akan meningkatkan komitmen pegawai terhadap organisasinya.
Komitmen terhadap organisasi meliputi tiga sikap yairu identifikasi dengan
tujuan organisasi, perasaan keterlibatan dalam tugas – tugas organisasi, dan
perasaan loyalitas terhadap organisasi.

2.3.2 Tujuan dan Jenis-Jenis Imbalan


a. Tujuan Imbalan
Tujuan memberi imbalan menurut Gitosudarmo dan Sudita (1997) serta
Gibson dkk (1996) dalam Ardana dkk. (2009: 140) pada dasarnya yaitu
sebagai berikut:
1. Memotivasi anggota organisasi.

8
Sistem imbalan yang dirancang oleh suatu organisasi harus mampu
memacu motivasi kerja dari anggota organisasi agar berprestasi pada
tingkat yang tinggi. Untuk itu imbalan yang dibentuk oleh organisasi
harus memiliki nilai di mata organisasi.
2. Membuat nyaman pekerja yang sudah ada
Sistem imbalan yang dibuat oleh suatu organisasi ditujukan untuk
mempertahankan perkerja yang sudah ada terutama perkerja yang
berkualitas agar mereka kerasan berkerja dan tidak mudah tertarik untuk
pindah ke organisasi yang lainya.
3. Menarik orang – orang yang berkualitas
Kemajuan suatu organisasi antara lain ditentukan oleh kualitas orang –
orang yang ada di dalamnya. Salah satu daya tarik seseorang masuk
bergabung ke dalam suatu organisasi adalah sistem imbalan yang
dibentuk dan diterapkan oleh organisasi tersebut.
b. Jenis – Jenis Imbalan
1. Imbalan intrinsik
Imbalan intrinsik adalah imbalan yang berkaitan dengan pekerjaan itu
sendiri atau imbalan yang merupakan bagian dari pekerjaan itu sendiri.
Menurut Gibson dkk (1996) dalam Ardana (2009: 141) imbalan
intrinsik meliputi:
a. Penyelesaian Tugas
Kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan baik
merupakan hal yang paling penting bagi sejumlah orang.
b. Pencapaian Prestasi
Pencapaian prestasi berkaitan dengan kemampuan untuk
menyelesaikan tujuan yang menantang (challenging goal).
c. Otonomi
Banyak orang merasa puas berkerja jika mereka diberikan
kebebasan dalam pelaksanaan tugasnya dan diikutsertakan dalam
proses pengambilan keputusan.

9
d. Pertumbuhan Pribadi
Berkaitan dengan kemampuan dan peluang yang tersedia bagi
karyawan untuk mengembangkan keahlian dan karirnya, untuk
memenuhi kebutuhan akan imbalan pertumbuhan pribadi dapat
dilakukan dengan cara membuat mekanisme atau aturan
pengembangan karir yang jelas.
2. Imbalan Ekstrinsik
Imbalan Ekstrinsik adalah imbalan yang tidak berkaitan dengan
pekerjaan tapi berasal dari pekerjaan dan meliputi :
a. Imbalan Finansial
dapat berbentuk gaji, upah atau bonus. Upah berkaitan dengan tarif
pembayaran per jam dan seringkali dipergunakan untuk pekerja
pada bagian produksi dan pemeliharaan. Sedangkan gaji pada
umumnya penerimaannya bersifat rutin dan tetap setiap bulan
apakah mereka masuk kerja atau tidak misalnya karena cuti atau
sakit, maka gajinya akan tetap diterima secara penuh. Bonus
berkaitan dengan prestasi karyawan yang muktahir (current), di
masa pemberiannya didasarkan pada prestasi-prestasi tertentu yang
mampu diraih oleh karyawan.
b. Jaminan Sosial (fringe benefit)
meliputi jaminan hari tua, asuransi tenaga kerja, biaya opname
dirumah sakit, biaya perumahan dan lain-lain.
c. Profit Sharing
mendorong partisipasi dan prestasi dari para pekerja dengan
memberikan bagian tertentu dari laba perusahaan,baik berupa
saham atau uang kas.
d. Penghargaan / Pengakuan
Penghargaan tersebut dapat diwujudkan dengan bermacam-macam
cara, seperti memberikan pujian didepan umum, mengadakan
pemilihan karyawan teladan, piagam dan lain sebagainya.

10
e. Promosi
Kriteria yang sering digunakan untuk meraih keputusan promosi
adalah prestasi kerja, senioritas, keadilan, dan persahabatan.
Pendekatan Sistem Imbalan Non Tradisional
Terdapat empat pendekatan imbalan yang dikemukakan oleh Gibson dkk
(1996) dalam Ardana (2009: 145), yaitu sebagai berikut:
a. Tunjangan model kafeteria : karyawan dimungkinkan mengembangkan dan
mengalokasikan paket tunjangan yang secara pribadi dianggap menarik oleh
mereka.
b. Banking Time Off (Menabung cuti kerja) : suatu praktek imbalan yang
memungkinkan karyawan memperoleh cuti kerja disamping cuti lain, yang
disebabkan karena yang bersangkutan memperoleh suatu prestasi.
c. Pembayaran berdasarkan keterampilan: pembayaran kepada karyawan yang
terkait dengan tingkat serta ragam keterampilan yang dimiliki karyawan.
d. Gain Sharing (Bagi hasil): bentuk pembayaran imbalan yang didasarkan pada
insentif kelompok, dimana pegawai turut serta berkontribusi dalam perolehan
pendapatan organisasi melalui prestasi aktualnya yang meningkat.

2.4 Konsep Mengenai Hukuman Dalam Organisasi


Menurut Gitosudarmo dan Sudita (1997) dalam Ardana dkk. (2009: 147)
hukuman merupakan pemberian hasil yang tidak diinginkan (menyakitkan) untuk
mengeliminasi perilaku yang tidak diinginkan tersebut. Menurut Skinner dalam
Ardana dkk. (2009: 147) mengemukakan bahwa hukuman bukan cara efektif bagi
manajer untuk mengubah perilaku seseorang. Berikut beberapa alasannya :
a. Hukuman hanya mempengaruhi perilaku yang bersifat sementara dan tidak
berlangsung lama;
b. Menggunakan hukuman akan menimbulkan efek samping berupa emosional
yang justru akan merugikan;
c. Penerapan hukuman dalam organisasi kurang manusiawi.

11
Maka sebab itulah, menurut pendapat Baron dkk. (1985) dalam Ardana (2009:
147) bahwa saat memaksakan untuk memberi tindakan hukuman maka perlu
memperhatikan hal – hal seperti:
a. Waktu pemberian hukuman
Hukuman diberikan segera setelah perilaku yang tidak diinginkan dilakukan.
b. Intensitas hukuman
Hukuman akan mencapai tingkat efektifitas yang lebih besar, jika intensitas
hukuman tersebut cukup kuat. Maksudnya bahwa hukuman tersebut dapat
menghalangi perilaku yang umumnya disukai karena tindakan tersebut terlalu
keras.
c. Konsistensi hukuman
Hukuman harus dilakukan secara konsisten terhadap setiap perilaku yang tidak
diinginkan.
d. Kejelasan alasan / klarifikasi
Individu yang dihukum harus mengetahui apa sebab mereka dihukum.

12

Anda mungkin juga menyukai