Anda di halaman 1dari 13

REFARAT

EFEK SAMPING EKSTRAPIRAMIDAL


dan
REAKSI DISTONIA AKUT

Dosen pembimbing :

Dr.Evalina Sp.KJ

Oleh :

Ananda D. Damanik (04-004)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


R.S JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
29 September 2009 - 31 Oktober 2009

1
Daftar Isi

BAB I

PENDAHULUAN……….……………………………………………………………………………..1

BAB II

ISI

Efek samping ekstrapiramidal pada obat antipsikosis……………………………3

Tardive Diskinesia………………………………………………………………………………….4

Akatisia……………………………………………………………………………………………..…..5

Sindrom Parkinson…………………………………………………………………………………5

Penanganan efek samping ekstrapiramidal……………………………………….….6

Reaksi Distonia Akut……………………………………………………………………………..7

BAB III

KESIMPULAN………………………………………………………………….…………………..10

2
BAB I
PENDAHULUAN

Gejala psikosis dikaitkan terutama dengan adanya hiperaktivitas dari neurotransmiter


dopamin. Oleh karena itu, obat-obat yang digunakan untuk mengurangi atau bahkan
menghilangkan gejala psikosis mempunyai mekanisme memblok reseptor dari dopamin,
khususnya reseptor D2 dopamin.
Selain dari pengurangan gejala psikosis, penggunaan obat-obat antipsikosis juga
mempunyai efek samping yang berkaitan dengan neurotransmiter dopamin.
Efek samping ekstrapiramidal merupakan efek samping dari obat-obat antipsikosis
yang sering muncul dan sangat mengganggu pasien sehingga dapat menurunkan ketaatan
pasien untuk teratur mengkonsumsi obat, yang mana akan menyebabkan sulitnya gejala-
gejala psikosis untuk berkurang atau hilang.
Dengan mengetahui jalur neuronal dopamin, dapat dimengerti bagaimana efek dari
obat-obat antipsikosis dan juga efek sampingnya. Terdapat 4 jalur dopamin dalam otak :
 Jalur dopamin mesolimbik
Jalur ini dimulai dari batang otak sampai area limbik, berfungsi mengatur perilaku dan
terutama menciptakan delusi dan halusinasi jika dopamin berlebih. Dengan jalur ini
‘dimatikan’ maka diharapkan delusi dan halusinasi dapat dihilangkan.
 Jalur dopamin nigrostriatal
Jalur ini berfungsi mengatur gerakan. Ketika reseptor dopamin pada jalur ini dihambat
pada postsinaps, maka akan menyebabkan gangguan gerakan yang muncul serupa
dengan penyakit Parkinson, sehingga sering disebut drug-induced Parkinsonism. Oleh
karena jalur nigrostriatal ini merupakan bagian dari sistem ekstrapiramidal dari sistem
saraf pusat, maka efek samping dari blokade reseptor dopamin juga disebut reaksi
ekstrapiramidal.
 Jalur dopamin mesokortikal
Masih merupakan perdebatan bahwa blokade reseptor dopamin pada jalur ini akan
menyebabkan timbulnya gejala negatif dari psikosis, yang disebut neuroleptic-induced
deficit syndrome.

 Jalur dopamin tuberoinfundibular

3
Jalur ini mengontrol sekresi dari prolaktin. Blokade dari reseptor dopamin pada jalur ini
akan menyebabkan peningkatan level prolaktin sehingga menimbulkan laktasi yang
tidak pada waktunya, disebut galaktorea.

BAB II
4
ISI

EFEK SAMPING EKSTRAPIRAMIDAL PADA OBAT ANTIPSIKOSIS


Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak bagian
sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari sistem
ekstrapiramidal adalah terutama di formatio reticularis dari pons dan medulla dan di target
saraf di medula spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol
postur tubuh.
Istilah sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau reaksi yang
ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik. Istilah
ini mungkin dibuat karena banyak gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet,
spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia
akut, tardive diskinesia, akatisia, dan parkinsonism (Sindrom Parkinson).
Obat antispikosis dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut :

Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. ekstrapiramidal


Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
trifluoperazine 5-60 +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
Pimozide 2-6 ++
Clozapine 25-100 -
Zotepine 75-100 +
Sulpride 200-1600 +
Risperidon 2-9 +
Quetapine 50-400 +
Olanzapine 10-20 +
Aripiprazole 10-20 +

Reaksi Distonia Akut (Acute Dystonia Reaction)

5
Keadaan ini merupakan spasme atau kontraksi involunter, akut dari satu atau lebih
kelompok otot skelet yang lazimnya timbul dalam beberapa menit. Kelompok otot yang
paling sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi
sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap badan yang tidak biasa.
Suatu ADR lazimnya mengganggu sekali bagi pasien. Dapat nyeri atau bahkan dapat
mengancam kehidupan dengan gejala-gejala seperti distonia laring atau diafragmatik.
Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan
dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih
lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi lebih
tinggi, seperti haloperidol dan flufenazine.
Reaksi distonia akut dapat merupakan penyebab utama dari ketidakpatuhan dengan
neuroleptik karena pandangan pasien mengenai medikasi secara permanen dapat memudar
oleh suatu reaksi distonik yang menyusahkan.

Tardive Diskinesia
Dari namanya sudah dapat diketahui merupakan sindrom yang terjadi lambat dalam
bentuk gerakan koreoatetoid abnormal, gerakan otot abnormal, involunter, menghentak,
balistik, atau seperti tik. Ini merupakan efek yang tidak dikehendaki dari obat antipsikotik.
Hal ini disebabkan defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamine di
putamen kaudatus. Wanita tua yang diobati jangka panjang mudah mendapatkan gangguan
tersebut walaupun dapat terjadi di perbagai tingkat umur pria ataupun wanita. Prevalensi
bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang berobat lama.
Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien memperlihatkan gerakan
berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat melemahkan sekali, yaitu mempengaruhi
berjalan, berbicara, bernapas, dan makan.
Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan
berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif atau organik juga lebih
berkemungkinan untuk mengalami tardive diskinesia. Gejala hilang dengan tidur, dapat
hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan
neuroleptik. Diagnosis banding jika mempertimbangkan tardive diskinesia meliputi penyakit
Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat
(contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu dicatat bahwa tardive diskinesia yang

6
diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamine pasca sinaptik akibat
blokade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom Parkinson yang diduga
disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi. Pengenalan awal perlu
karena kasus lanjut sulit di obati. Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena
perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas. Tardive diskinesia dini
atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik, Skala
Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang
mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.

Akatisia
Sejauh ini EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi pada
sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik, terutama pada populasi
pasien lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup atau suatu keinginan
untuk tetap bergerak. Juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot.
Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan
sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi
gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata,
atau manifestasi fisik lain dari akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. Juga,
akinesis yang ditemukan pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi
setiap gejala objektif akatisia.
Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi neuroleptik dan pasien sudah
pada tempatnya mengkaitkan perasaan tidak nyaman. Yang dirasakan ini dengan medikasi
sehingga menimbulkan masalah ketidakpatuhan pasien.

Sindrom Parkinson
Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam setelah dosis
pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan bertahun-
tahun. Patofisiologi parkinsonisme akibat neuroleptik melibatkan penghambatan reseptor
D2 dalam kaudatus pada akhir neuron dopamin nigrostriatal, yaitu neuron yang sama yang
berdegenerasi pada penyakit Parkinson idiopatik. Pasien yang lanjut usia dan wanita berada
dalam resiko tertinggi untuk mengalami parkinsonisme akibat neuroleptik.
Manifestasinya meliputi berikut :

7
Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan
lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat
menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya
terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan
kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala
negative skizofrenia.
Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil. Tremor dapat
mengenai bibir dan otot-otot perioral yang disebut sebagai “sindrom kelinci”. Keadaan ini
dapat dikelirukan dengan tardive diskinesia, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih
ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responnya terhadap
medikasi antikolinergik.
Kekakuan otot/rigiditas : merupakan gangguan pada tonus otot, yaitu derajat ketegangan
yang ada pada otot. Gangguan tonus otot dapat menyebabkan hipertonia. Hipertonia yang
berhubungan dengan parkinsonisme akibat neuroleptik adalah tipe pipa besi (lead-pipe
type) atau tipe roda gigi (cogwheel type). Istilah tersebut menggambarkan kesan subjektif
dari anggota gerak atau sendi yang terkena.

Penanganan Efek Samping Ekstrapiramidal


Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli menganjurkan
terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat EPS atau para
pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.
Medikasi anti-EPS yang digunakan terutama adalah antikolinergik. Hal tersebut
disebabkan adanya reaksi reciprocal (berlawanan) antara dopamin dan asetilkolin pada jalur
dopamin nigrostriatal. Neuron-neuron dopamin pada jalur nigrostriatal mempunyai koneksi
postsinaps dengan neuron kolinergik. Secara normal, dopamin menghambat pelepasan
asetilkolin dari postsinaps jalur kolinergik nigrostriatal. Obat antipsikosis menghambat
dopamin sehingga menyebabkan aktivitas asetilkolin yang berlebih.
Untuk mengurangi efek asetilkolin yang berlebih ini, digunakan antikolinergik.
Sehingga untuk setiap pemberian obat antipsikosis diberikan antikolinergik untuk mencegah
adanya efek samping ekstrapiramidal.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan
komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan

8
kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Selain dengan medikasi anti-EPS,
dapat juga dilakukan pengurangan dosis obat anti-psikosis atau dengan mengganti obat anti-
psikosis dengan jenis atipikal seperti olanzapine, risperidone, atau clozapine. Obat anti-
psikosis atipikal ini hanya sedikit berpengaruh terhadap jalur nigrostriatal sehingga efeknya
terhadap ekstrapiramidal lebih sedikit dibanding obat-obat anti-psikosis konvensional.
Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk
menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.

REAKSI DISTONIA AKUT (Acute Dystonia Reaction)


Distonia adalah kontraksi otot yang singkat atau lama, biasanya menyebabkan
gerakan atau postur yang abnormal, termasuk krisis okulorigik, prostrusi lidah, trismus,
tortikolis, distonia laring-faring, dan postur distonik pada anggota gerak dan batang tubuh.
Distonia sangat tidak menyenangkan, kadang-kadang menyakitkan, dan sering kali
menakutkan pasien.
Perkembangan gejala distonik ditandai oleh onsetnya yang awal selama perjalanan
terapi dengan neuroleptik dan tingginya insiden pada laki-laki, pada pasien di bawah usia 30
tahun, dan pada pasien yang mendapatkan dosis tinggi medikasi antipsikotik potensi tinggi
(contohnya haloperidol). Walaupun onset seringkali tiba-tiba, onset dalam tiga sampai enam
jam dapati terjadi, seringkali keluhan pasien berupa lidah yang tebal atau kesulitan menelan.
Kontraksi distonik dapat cukup kuat sehingga dapat mendislokasi sendi, dan distonia laring
dapat menyebabkan tercekik jika pasien tidak segera diobati.
Mekanisme patofisiologi distonia adalah tidak jelas, walaupun perubahan dalam
konsentrasi neuroleptik dan perubahan yang terjadi dalam mekanisme homeostatik di dalam
ganglia basalis mungkin merupakan penyebab utama distonia.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM IV
adalah sebagai berikut :
Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang
berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi
neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala
ekstrapiramidal)

9
A. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan
medikasi neuroleptik :
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya
tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria,
makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh
B. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai
atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan
medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal
akut (misalnya obat antikolinergik)
C. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya
gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan
medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya
tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik)
D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau
medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat
berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik,
terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala
berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.
Terapi distonia harus dilakukan dengan segera, paling sering dengan antikolinergik
atau antihistaminergik. Jika pasien tidak berespon dengan tiga dosis obat-obatan tersebut
dalam dua jam, klinisi harus mempertimbangkan penyebab gerakan distonik selain medikasi
neuroleptik.
Untuk terapi distonia akut akibat neuroleptik, diberikan 1-2 mg benztropine IM. Jika
dosis tersebut tidak efektif dalam 20-30 menit, obat harus diberikan lagi. Jika pasien masih
tidak membaik dalam 20-30 menit lagi, suatu benzodiazepin (contohnya 1 mg lorazepam
IM/IV) harus diberikan.

10
Distonia laring merupakan kegawatdaruratan medis dan harus diberikan 4 mg
benztropine dalam 10 menit, diikuti dengan 1-2 mg lorazepam, diberikan perlahan melalui
jalur IV.
Profilaksis terhadap distonia diindikasikan pada pasien yang pernah memiliki satu
episode atau pada pasien yang berada dalam resiko tinggi (laki-laki muda yang
menggunakan antipsikotik potensi tinggi). Profilaksis diberikan selama 4-8 minggu dan
selanjutnya diturunkan perlahan selama periode 1-2 minggu untuk memungkinkan
pemeriksaan tentang kebutuhan untuk melanjutkan terapi profilaksis.

BAB III
KESIMPULAN

11
Penggunaan obat-obat antipsikosis mempunyai efek samping yang bisa
mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Hal tersebut dapat
menyebabkan penyakit pasien berlangsung kronis dan terus-menerus relaps.
Efek samping ekstrapiramidal memang mengganggu pasien, namun tanpa obat
antipsikosis sulit untuk pasien untuk sembuh dari gejala psikosisnya.
Dengan adanya agen antikolinergik, diharapkan efek samping ekstrapiramidal akibat
obat antipsikosis dapat ditekan dan pasien dapat lebih teratur mengkonsumsi obat
antipsikosis dan diharapkan dapat meningkatkan kesembuhan dari pasien.

DAFTAR PUSTAKA

http://en.wikipedia.org/wiki/Extrapyramidal_system

12
http://en.wikipedia.org/wiki/Dystonia

Kaplan & Saddock. Sinopsis Psikiatri Jilid 2 ed 9. Lippincott Williams & Wilkins. 1998

Stahl, Stephen M. Essential Psychopharmacology : Neuroscientific Basis and Practical Applications.


Cambridge University Press. 1996.

13

Anda mungkin juga menyukai