Luka Bakar Edit
Luka Bakar Edit
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luka bakar adalah luka yang dapat timbul akibat kulit terpajan ke suhu tinggi, syok listrik,
atau bahan kimia (Corwin, 2001).
Luka oleh karena kontak dengan agen bersuhu tinggi, seperti api, air panas, listrik, bahan
kimia radiasi, suhu sangat rendah ( Mansyoor, dkk, 2000).
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi (Yefta Moenadjat, 2003).
Cedera kulit oleh karena perpindahan energi dari sumber panas ke kulit (Effendi, 1999;
Smeltzer & Bare, 2002).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Penyakit combustio?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan penyakit combustio?
C. Tujuan
1. Dapat memahami penyakit combustio.
2. Pembaca dapat membuat Asuhan Keperawatan pada pasien dengan penyakit
Combustio.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Luka bakar merupakan cedera paling berat yang mengakibatkan permasalahan yang
kompleks, tidak hanya menyebabkan kerusakan kulit namun juga seluruh sistem tubuh
(Nina,2008). Luka bakar adalah trauma yang diakibatkan oleh panas, bahan kimia, arus
listrik, dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam. Luas
permukaan tubuh yang terbakar akan mempengaruhi metabolisme dan fungsi sel tubuh dan
mengganggu semua sistem terutama sistem kardiovaskuler (Rahayuningsih, 2012).
Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap trauma termal.
Terdapat dua jenis luka bakar menurut ketebalannya. Luka bakar dengan ketebalan parsial
adalah luka bakar yang tidak merusak epitel atau merusak sebagian dari epitel, sedangkan
luka bakar dengan ketebalan penuh merusak semua sumber-sumber pertumbuhan kembali
epitel kulit dan jika permukaan kulit yang terluka luas akan membutuhkan eksisi dan cangkok
kulit (Grace & Borley,2006).
Luka bakar merupakan kondisi terjadinya luka akibat terbakar yang disebabkan oleh
panas yang tinggi, senyawa kimia, kistrik dan pemajanan sinar matahari yang berlebihan.
Pengobatan luka bakar harus dibedakan berdasarkan luasnya. Pada prinsip rule of nine luka
bakar dibagi menjadi beberapa bagian yakni bagian kepala 9%, dada 18%, punggung 18%,
anggota gerak atas 18%, paha 18% dan anggota gerak bawah 18%, perineum dan genitalia
1% (Hidayat, 2008).
Adanya luka bakar pada tubuh akan merusak fungsi kulit yakni melindungi tubuh dari
kotoran dan infeksi. Apabila banyak permukaan tubuh yang terbakar, maka dapat
mengancam jiwa seseorang karena adanya kerusakan pembuluh darah, ketidakseimbangan
elektrolit dan suhu tubuh, gangguan pernapasan serta fungsi saraf (Adibah & Winasis,2014
dalam Sari,2015).
Luka bakar yang luas dapat menyebabkan shock. Hal ini terjadi karena cairan tubuh
sebagian besar dikirim ke daerah yang terbakar sehingga volume darah yang dialirkan ke otak
dan jantung berkurang. Shock pada anak-anak dapat terjadi jika luka bakar seluas 10%,
sedangkan pada orang dewasa seluas 20% (Mohamad,2005).
2.2 Klasifikasi Luka Bakar
American College of Surgeon Health Policy Research Institute (2011) membagi luka
bakar menjadi tiga tingkatan, yakni :
1. First degree (partial thickness) : pada daerah superfisial, berwarna merah, terasa nyeri.
2. Second degree (Partial thickness) : kulit kemerahan, melepuh, bengkak, dan sangat nyeri.
3. Third degree (full thickness) : kulit berwarna keputihan, hangus, tembus hingga saraf, ada
sensasi seperti tusukan jarum di area yang terbakar.
Menurut Di Maio & Dana (1998), luka bakar dibedakan menjadi 4 derajat berdasarkan
kedalaman jaringan yang rusak, yaitu :
2.3 Etiologi
1. Luka bakar termal
Luka bakar thermal disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan
atau gas panas dan bahan padat (solid). Luka bakar paling sering disebabkan karena terpajan
suhu panas seperti terbakar api secara langsung atau terkena logam yang panas (Borley &
Grace, 2006; Rahayuningsih,2012).
2. Luka bakar kimia
Luka bakar kimia disebabkan oleh kontak jaringan kulit dengan asam atau basa kuat.
Derajat luka bakar karena bahan kimia berhubungan langsung dengan lama kontak,
konsentrasi zat kimia dan banyaknya jaringan yang terpapar. Semua pakaian yang terkena
harus dilepas dan kulit diperiksa untuk melihat daerah luka. Karena kedalaman luka juga
ditentukan oleh konsentrasi agen yang ada pada kulit, maka pengenceran dengan bilasan air
yang banyak menjadi tahapan dalam penatalaksanaan pasien luka bakar akibat basa kuat lebih
merusak daripada akibat asam kuat (Sabiston, 1995; Borley & Grace, 2006;
Rahayuningsih,2012).
3. Luka bakar listrik
Luka bakar akibat listrik adalah kerusakan yang terjadi ketika arus listrik mengalir ke
dalam tubuh manusia dan membakar jaringan ataupun menyebabkan terganggunya fungsi
suatu organ dalam. Tubuh manusia merupakan penghantar listrik yang baik. Arus listrik yang
mengalir ke dalam tubuh manusia akan menghasilkan panas yang dapat membakar dan
menghancurkan jaringan tubuh. Meskipun luka bakar listrik tampak ringan, tetapi mungkin
saja telah terjadi kerusakan organ dalam yang serius, terutama pada jantung, otot atau otak.
Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya kontak, tingginya voltage, dan cara
gelombang listrik mengenai tubuh (Borley & Grace, 2006; Rahayuningsih,2012).
Arus listrik bisa menyebabkan terjadinya cedera melalui 3 cara:
1. Henti jantung (cardiac arrest) akibat efek listrik terhadap jantung
2. Perusakan otot, saraf dan jaringan oleh arus listrik yang melewati tubuh
3. Luka bakar termal akibat kontak dengan sumber listrik.
4. Luka bakar radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Hal ini
berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi untuk
keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terpapar oleh sinar matahari akibat terpapar
yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi. Awalnya luka ini dengan
kedalaman sebagian, tetapi dapat berlanjut ke trauma yang lebih dalam (Borley & Grace,
2006; Rahayuningsih,2012).
2.4 Penentuan Luas Luka Bakar
Pada luka bakar dapat ditentukan luas lukanya dengan beberapa metode, diantaranya rule
of nine, Lund and Browder, dan Hand Palm. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase
dari permukaan tubuh yang terkena luka bakar.
1. Rule of Nine
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatannya yang terkenal dengan rule
of nine. Metode ini dikenal sejak tahun 1940 sebagai pengkajian cepat untuk menentukan
perkiraan luas luka bakar. Dalam metode ini, tubuh dibagi menjadi beberapa bagian anatomi
dan setiap bagian mewakili 9% kecuali daerah genital.
a. Kepala dan leher : 9%
b. Ekstremitas atas : 2 x 9% (kanan dan kiri)
c. Paha dan betis-kaki : 4 x 9% (kanan dan kiri)
d. Dada, perut, punggung, bokong : 4 x 9% (kanan dan kiri)
e. Perineum dan genitalia : 1%
2. Lund and Browder
Pada metode ini total area tubuh yang terkena dikalkulasikan berdasarkan lokasi dan
usia. Metode lund and browder merupakan modifikasi prosentase bagian tubuh menurut usia
yang memberikan perhitungan lebih akurat tentang luas luka bakar. (Hardisman,2014). Pada
anak di bawah usia 1 tahun kepala sebesar 19% dan setiap pertambahan usia satu tahun ,
prosentase kepala tutun 1% hingga tercapai nilai dewasa.
Gambar 2.5 Penilaian Luka Bakar dengan Metode Lund and Browder
(Sumber : google.com)
3. Hand Palm
Pada metode permukaan telapak tangan (hand palm), area permukaan tangan pasien
adalah sekitar 1% dari total luas permukaan tubuh. Biasanya metode ini digunakan untuk luka
bakar kecil (Gurnida & Lilisari,2011).
2.5 Patofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh. Panas
tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi kulit dengan luka bakar akan
mengalami keusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan tergantung lamanya
kulit kontak dengan sumber panas (Effendi, 1999).
Cidera luka bakar mempengaruhi semua sistem organ. Besarnya respon patofisiologis
ini berkaitan erat dengan luasnya luka bakar dan mencapai masa stabil ketika terjadi luka
bakar kira0kira 60% seluruh permukaan tubuh (Hudak & Gall, 1996).
Tingkat keperawatan perubahan tergantung pada luas dan kedalaman luka bakar yang
menimbulkan kerusakan dimulai dari terjadinya luka bakar dan berlangsung 24 – 72 jam
pertama. Kondisi ditandai dengan pergeseran cairan dari komponen vaskuler ke ruang
interstisium. Bila jaringan terbakar, vasodilatsi meningkatkan permeabilitas kapiler dan
timbul perubahan permeabilitas sel pada luka bakar dan sel disekitarnya. Dampaknya jumlah
cairan yang banyak berada pada ekstra sel, sodium chloride dan protein lewat melalui daerah
yang tebakar dan membentuk gelembung-gelembung dan edema atau keluar melalui luka
terbuka. Akibat adanya edema luka bakar, lingkungan kulit mengalami kerusakan. Kulit
sebagai barier mekanik berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri yang penting dari
organisme yang masuk. Terjadinya kerusakan lingkugan kulit akan memungkinkan mikro
organisme masuk dalma tubuh dan menyebabkan infeksi luka yang dapat memperlambat
proses penyembuhan luka. Dengan adanya edema juga akan berpengaruh terhadap
peningkatan peregangan pembuluh darah dan saraf yang dapat menimbulkan rasa nyeri. Rasa
nyeri terseut dapat mengganggu mobilitas pasien.
Ketika terjadi kehilangan cairan dalam sitem vaskuler, terjadi homo konsentrasi dan
hematokrit naik, cairan darah menjadi kurang lancar pada daerah luka bakar dan nutrisi
kurang. Adanya cidera luka bakar menyebabkan tahanan vaskuler perifer meningkat sebagai
akibat respon stress neurohomoral. Hal tersebut dapat meningkatkan afterload jantung dan
mengakibatkan penurunan curah jantung lebih lanjut. Akibat penuruna curah jantung,
menyebabakan metabolisme anaerob dan hasil akhir produk asam ditahan karena rusaknya
fungsi ginjal. Selanjutnya timbul asidosis metabolik yang menyebabkan perfusi jaringan
terjadi tidak sempurna.
Mengikuti periode pergeseran cairan, pasien tetap dalam kondisi akut. Periode ini
ditandai dengan anemia dan malnutrisi. Anemia akan berkembang akibat banyak kehilangan
eritrosit. Keseimbangan nitrigen negatif mulai terjadi pada waktu terjadi luka bakar yang
disebabkan kerusakan jaringan kehilangan protein dan akibat respon stress. Hal ini akan
berlangsung selama periode akut karena terus menerus kehilangan protein melalui luka.
Gangguan respiratori timbu karena obstruksi saluran nafas bagian atas atau karena
efek syok hipovolemik. Obstruksi saluran nafas bagian atas disebabkan karena inhalasi bahan
yang merugikan atau udara yang terlalu panas, menimbulkan iritasi pada saluran nafas,
edema laring dan obstruksi potensial.
Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas langsung atau radiasi
elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 440C tanpa kerusakan bermakna,
kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap drajat kenaikan temperatur. Saraf dan
pembuluh darah merupakan struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan
pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen pembuluh darah,
dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi protein plasma dan elektrolit. Pada luka bakar
ekstensif dengan perubahan permeabilitas yang hampir menyelutruh, penimbunan jaringan
masif di intersitial menyebabakan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler
mengalami defisit, timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses transportasi ke
jaringan, kondisi ini dikenal dengan syok (Moenajat, 2001).
Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh kegagalan organ
multi sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ multi sistem yaitu terjadinya kerusakan kulit
yang mengakibatkan peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan ekstrafasasi cairan
(H2O, elektrolit dan protein), sehingga mengakibatkan tekanan onkotik dan tekanan cairan
intraseluler menurun, apabila hal ini terjadi terus menerus dapat mengakibatkan hipopolemik
dan hemokonsentrasi yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi jaringan. Apabila
sudah terjadi gangguan perkusi jaringan maka akan mengakibatkan gangguan sirkulasi makro
yang menyuplai sirkulasi orang organ organ penting seperti : otak, kardiovaskuler, hepar,
traktus gastrointestinal dan neurologi yang dapat mengakibatkan kegagalan organ multi
sistem
Keadaan yang memperberat luka bakar:
1. Syok hipovolemik
Pada luka bakar yang berat akan mengakibatkan koagulasi disertai dengan nekrosis
jaringan yang akan menimbulkan respon fisiologis pada setiap system organ, tergantung pada
ukuran luka bakar yang terjadi. Destruksi jaringan akan disertai dengan peningkatan
permebilitas kapiler sehingga cairan intravena akan keluar ke interstisial. Hal ini akan disertai
dengan proses evaporasi pada bagian kulit yang rusak sehingga cairan tidak akan bertahan
lama. Keadaan ini selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik.
Pada kondisi ini perlu dilakukan resusitasi cairan segera. Selama ini digunakan cairan
isotonik (RL); dengan cara ini cukup efektif menangani syok hipovolemik dan juga dapat
mengurangi kebutuhan terhadap transfuse darah. Cairan koloid lainnya sepert Asetat Ringer
(AR) juga dapat digunakan. Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat, menggunakan
beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access (vena seksi dan sebagainya).
Jumlah cairan yang diberikan adalah tiga kali jumlah cairan yang diperkirakan hilang.
Setelah syok teratasi pemberian cairan mengacu kepada regimen resusitasi cairan
berdasarkan formula yang ada. Pada keadaan yang menyertai syok seperti sepsis, hipoksi
jaringan, proses gluko-neogenesis dan oksidasi hepatik yang melemah merupakan
faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya kenaikan laktat dalam plasma (s/d 600%). Kadar
laktat plasma yang meningkat ini berhubungan dengan kerja miokardial rang meningkatkan
mortalitas. Dalam kondisi ini penggunaan RL seringkali tidak memperbaiki keadaan, bahkan
membahayakan. Sebagai alternatif, Asetat Ringer merupakan cairan yang secara fisiologik
sama dengan RL , tanpa kandungan laktat. Dengan pemberian Asetat ringer ini asetat segera
di metabolisme dengan cepat sehingga akan diikuti dengan perbaikan keseimbangan
asambasa.
2. Infeksi, Sepsis, SIRS, dan MODS
Infeksi luka bakar Jarang terjadi pada partial-thickness burns kecuali jika terdapat
kelalaian dalam penanganan luka bakar derajat II ini. infeksi jaringan invasive sering terjadi
pada pasien dengan luka bakar derajat III yang meliputi lebih dari 30% permukaan tubuhnya.
Resiko terjadinya infeksi pada luka bakar meningkat jika terdapat luka terbuka atau karena
komorbiditas.
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien
luka bakar maupun pasien trauma lainnya. Dalam penelitian dilaporkan bahwa SIRS dan
MODS menyebabkan kematian sebesar 81% pasca trauma.
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai
stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi
autoimun, sirosis, pankreatitis, dll. Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-
mediator inflamasi (proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses
penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor
pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan
kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan
organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system Organ Disfunction Syndrome)
bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien
luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS
keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa
SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,
inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang
digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the Society
of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut
selama beberapa hari, yaitu:
1. Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
2. Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
3. Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO2)
4. Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm < 32 mmHg) 3 ), leukopeni (< 4000 sel/mm3
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan
MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS) atau dijumpai > 10% netrofil dalam
bentuk imatur (band).
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ
pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa
intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan
sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan
bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.
Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam
beberapa tahap.
Tahap I
Patofisiologi Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka
bakar atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator
proinflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada
proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah
pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi Tumor
Necrotizing Factor (TNFα), interleukin (IL Tahap I 1, IL6), interferon, Colony Stimulating
Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor selular respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit,
makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti
prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal bebas,
oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan
kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah
melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off) jaringan cedera
sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.
Tahap II
Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan respon
lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan
(Growth Factor/GF). Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan
melalui penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis
reseptor IL Tahap II 1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11,
reseptor terlarut TNF (Transforming Growth Factor/TGF). Dengan demikian mediator-
mediator tersebut menjaga respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down
regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah dilepaskan.
Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.
Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi
reaksi sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi
dibanjiri mediator-mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin
merambah ke dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional
dan sistemik (terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskular,
akselerasi trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan
perubahan-perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat
dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ARDS,
MODS, dan kematian.
MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar
dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan
timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan.
1. Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan penurunan
sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu menyebabkan disrupsi
mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier
berkurang/hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami
translokasi umumnya flora normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik;
khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan
beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya
imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal
dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka
proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi mukosa usus yang dapat
memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu
SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistem
autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik (ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke
ginjal menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular
Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan
sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang
meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator sepsis.
Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama gangguan sistim
imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.
2. Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya dikenal
dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki toksisitas ribuan
kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pelepasan
LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat lokal,
terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
3. Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik pada fase akut
dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras seluruh modalitas tubuh
khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi
sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau toksin yang
ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini
dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.
2.6 Manifestasi Klinis
Kedalaman dan
Bagian Kulit Perjalanan
Penyebab Luka Gejala Penampilan Luka
yang Terkena Kesembuhan
Bakar
Disertai juga
dengan bula,
permukaan luka
berbecak merah
muda dan putih
karena variasi dari
vaskularisasi
pembuluh darah (
Luka akan
bagian yang putih
sembuh dalam 3-
punya hanya sedikit
2b = Deep partial 9 minggu.
pembuluh darah
thickness Organ-organ
Nyeri dan dan yang merah
kulit seperti
sensitif. muda mempunyai
Epidermis dan folikel-folikel
lapisan dalam beberapa aliran
rambut, kelenjar
dari dermis darah.
keringat, kelenjar
sebasea sebagian
besar masih utuh.
2.7 Komplikasi
a. Gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.
b. Sindrom Syok sirkulasi terjadi akibat kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan proses terjadinya pemulihan integritas kapiler,
syok luka bakar akan menghilang dan cairan mengalir kembali ke dalam kompartemen
vaskuler, volume darah akan meningkat. Karena edema akan bertambah berat pada luka
bakar yang melingkar. Tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas
distal menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia.
c. Adult Respiratory Distress Syndrome, akibat kegagalan respirasi terjadi jika derajat gangguan
ventilasi dan pertukaran gas sudah mengancam jiwa pasien.
d. Ileus Paralitik dan Ulkus Curling
Berkurangnya peristaltic usus dan bising usus merupakan tanda-tanda ileus paralitik
akibat luka bakar. Distensi lambung dan nausea dapat mengakibatnause. Perdarahan lambung
yang terjadi sekunder akibat stress fisiologik yang massif (hipersekresi asam lambung) dapat
ditandai oleh darah okulta dalam feces, regurgitasi muntahan atau vomitus yang berdarha, ini
merupakan tanda-tanda ulkus curling.
e. kelebihan muatan cairan atau bahkan hipovolemik yang terjadi sekunder akibat resusitasi
cairan yang adekuat. Tandanya biasanya pasien menunjukkan mental berubah, perubahan
status respirasi, penurunan haluaran urine, perubahan pada tekanan darah, curah janutng,
tekanan cena sentral dan peningkatan frekuensi denyut nadi.
f. Gagal ginjal akut
Haluran urine yang tidak memadai dapat menunjukkan resusiratsi cairan yang tidak
adekuat khususnya hemoglobin atau mioglobin terdektis dalam urine.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges, 2000, diperlukan pemeriksaan diagnostik pada luka bakar yaitu :
1. Laboratorium
1. Hitung darah lengkap : Hb (Hemoglobin) turun menunjukkan adanya pengeluaran darah
yang banyak sedangkan peningkatan lebih dari 15% mengindikasikan adanya cedera, pada
Ht (Hematokrit) yang meningkat menunjukkan adanya kehilangan cairan sedangkan Ht
turun dapat terjadi sehubungan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh panas terhadap
pembuluh darah.
2. Leukosit : Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan adanya infeksi atau inflamasi.
3. GDA (Gas Darah Arteri) : Untuk mengetahui adanya kecurigaaan cedera inhalasi.
Penurunan tekanan oksigen (PaO2) atau peningkatan tekanan karbondioksida (PaCO2)
mungkin terlihat padaretensi karbon monoksida.
4. Elektrolit Serum : Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan cedera jaringan
dan penurunan fungsi ginjal, natrium pada awalmungkin menurun karena kehilangan
cairan, hipertermi dapat terjadi saat konservasi ginjal dan hipokalemi dapat terjadi bila
mulai diuresis.
5. Natrium Urin : Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan cairan , kurang dari
10 mEqAL menduga ketidakadekuatancairan.
6. Alkali Fosfat : Peningkatan Alkali Fosfat sehubungandengan perpindahan cairan
interstisial ataugangguan pompa, natrium.
7. Glukosa Serum : Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon stress.
8. Albumin Serum : Untuk mengetahui adanya kehilangan protein pada edema cairan.
9. BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi atau fungsi ginjal, tetapi
kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan.
2. Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek atau luasnya cedera.
3. EKG : Untuk mengetahui adanya tanda iskemiamiokardial atau distritmia.
4. Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhanluka bakar.
2.9 Penatalaksanaan
1. Pengkajian primer
1. Airway
Menurut Moenadjat (2009), membebaskan jalan nafas dari sumbatan yang terbentuk
akibat edema mukosa jalan nafas ditambah sekret yang diproduksi berlebihan
(hiperekskresi) dan mengalami pengentalan. Pada luka bakar kritis disertai trauma inhalasi,
intubasi (pemasangan pipa endotrakeal) dan atau krikotiroidektomi emergensi dikerjakan
pada kesempatan pertama sebelum dijumpai obstruksi jalan nafas yang dapat menyebabkan
distres pernafasan. Pada luka bakar akut dengan kecurigaan trauma inhalasi. Pemasangan
pipa nasofaringeal, endotrakeal merupakan prioritas pertama pada resusitasi, tanpa
menunggu adanya distres nafas. Baik pemasangan nasofaringeal, intubasi dan atau
krikotiroidektomi merupakan sarana pembebasan jalan nafas dari sekret yang diproduksi,
memfasilitasi terapi inhalasi yang efektif dan memungkinkan lavase bronkial dikerjakan.
Namun pada kondisi sudah dijumpai obstruksi, krikotiroidektomi merupakan indikasi dan
pilihan.
2. Breathing
Adanya kesulitan bernafas, masalah pada pengembangan dada terkait keteraturan dan
frekuensinya. Adanya suara nafas tambahan ronkhi, wheezing atau stridor.
Moenadjat (2009), Pastikan pernafasan adekuat dengan :
a. Pemberian oksigen
Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret banyak, dapat ditambah
menjadi 4-6 L/menit. Dosis ini sudah mencukupi, penderita trauma inhalasi mengalami
gangguan aliran masuk (input) oksigen karena patologi jalan nafas; bukan karena kekurangan
oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (>10 L/mnt) atau dengan tekanan karena akan
menyebabkan hiperoksia (dan barotrauma) yang diikuti terjadinya stres oksidatif.
b. Humidifikasi
Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air adalah untuk
mengencerkan sekret kental (agar mudah dikeluarkan) dan meredam proses inflamasi
mukosa.
c. Terapi inhalasi
Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila dihembuskan melalui pipa
endotrakea atau krikotiroidektomi. Prosedur ini dikerjakan pada kasus trauma inhalasi akibat
uap gas atau sisa pembakaran bahan kimia yang bersifat toksik terhadap mukosa. Dasarnya
adalah untuk mengatasi bronko konstriksi yang potensial terjadi akibat zat kimia. Gejala
hipersekresi diatasi dengan pemberian atropin sulfas dan mengatasi proses infalamasi akut
menggunakan steroid.
d. Lavase bronkoalveolar
Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk mengatasi permasalahan
yang timbul pada mukosa jalan nafas dibandingkan tindakan humidifier
atau nebulizer. Sumbatan oleh sekret yang melekat erat (mucusplug) dapat dilepas dan
dikeluarkan. Prosedur ini dikerjakan menggunakan metode endoskopik (bronkoskopik) dan
merupakan gold standart. Selain bertujuan terapeutik, tindakan ini merupakan prosedur
diagnostik untuk melakukan evaluasi jalan nafas.
e. Rehabilitasi pernafasan
Proses rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal mungkin. Beberapa prosedur
rehabilitasi yang dapat dilakukan sejak fase akut antara lain:
a. Pengaturan posisi
b. Melatih reflek batuk
c. Melatih otot-otot pernafasan.
Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan secara aktif saat
hemodinamik stabil dan pasien sudah lebih kooperatif
f. Penggunaan ventilator
Penggunaan ventilator diperlukan pada kasus-kasus dengan distresparpernafasan
secara bermakna memperbaiki fungsi sistem pernafasan dengan positive end-expiratory
pressure (PEEP) dan volume kontrol.
3. Circulation
Warna kulit tergantung pada derajat luka bakar, melambatnya capillary refill time,
hipotensi, mukosa kering, nadi meningkat.
Menurut Djumhana (2011), penanganan sirkulasi dilakukan dengan pemasangan IV
line dengan kateter yang cukup besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP untuk
mempertahankan volume sirkulasi
a. Pemasangan infus intravena atau IV line dengan 2 jalur menggunakan jarum atau kateter
yang besar minimal no 18, hal ini penting untuk keperluan resusitasi dan tranfusi,
dianjurkan pemasangan CVP
b. Pemasangan CVP (Central Venous Pressure)
Merupakan perangkat untuk memasukkan cairan, nutrisi parenteral dan merupakan
parameter dalam menggambarkan informasi volume cairan yang ada dalam sirkulasi. Secara
sederhana, penurunan CVP terjadi pada kondisi hipovolemia. Nilai CVP yang tidak
meningkat pada resusitasi cairan dihubungkan dengan adanya peningkatan permeabilitas
kapiler. Di saat permeabilitas kapiler membaik, pemberian cairan yang berlebihan atau
penarikan cairan yang berlebihan akibat pemberian koloid atau plasma akan menyebabkan
hipervolemia yang ditandai dengan terjadinya peningkatan CVP.
Gambar Rule of nine (Cont Edu Anaesth Crit Care and Pain. 2012)
Perawatan luka bakar di unit perawatan luka bakar, terdapat dua jenis perawatan luka
selama dirawat di bangsal yaitu:
1. Perawatan terbuka: luka yang telah diberi obat topical dibiarkan terbuka tanpa balutan dan
diberi pelindung cradle bed. Biasanya juga dilakukan untuk daerah yang sulit dibalut seperti
wajah, perineum, dan lipat paha.
2. Perawatan tertutup: penutupan luka dengan balutan kasa steril setelah dibeikan obat topical.
Penanganan luka bakar di unit gawat darurat
Tindakan yang harus dilakukan terhadap pasien pada 24 jam pertama yaitu:
1. Penilaian keadaan umum pasien, perhatikan Airway (jalan nafas), Breathing (pernafasan),
Circulation (sirkulasi)
2. Penilaian luas dan kedalaman luka bakar
3. Kaji adanya kesulitan menelan atau bicara dan edema saluran pernafasan
4. Kaji adanya faktor – faktor lain yang memperberat luka bakar seperti adanya fraktur, riwayat
penyakit sebelumnya (seperti diabetes, hipertensi, gagal ginjal, dll)
5. Pasang infus (IV line), jika luka bakar >20% derajat II / III biasanya dipasang CVP
(kolaborasi dengan dokter) digunakan untuk mengetahui permeabilitas vaskular dengan
monitoring nilai CVP yang semakin meningkat
6. Pasang kateter urin, pasang NGT jika diperlukan, beri terapi oksigen sesuai kebutuhan
7. Berikan suntikan ATS / toxoid
8. Perawatan luka :
a. Cuci luka dengan cairan savlon 1% (savlon : NaCl = 1 : 100)
b. Biarkan lepuh utuh (jangan dipecah kecuali terdapat pada sendi yang mengganggu
pergerakan
c. Selimuti pasien dengan selimut steril
9. Pemberian obat – obatan (kolaborasi dokter): Antasida H2 antagonis, Roborantia (vitamin C
dan A), Analgetik, Antibiotic
10. Mobilisasi secara dini dan pengaturan posisi
Keterangan:
a. Pada 8 jam I diberikan ½ dari kebutuhan cairan
b. Pada 8 jam II diberikan ¼ dari kebutuhan cairan
c. Pada 8 jam III diberikan sisanya
1. Pantau keadaan pasien dan setting ventilator. Kaji apakah pasien mengadakan perlawanan
terhadap ventilator
2. Observasi tanda – tanda vital; tekanan darah, nadi, pernafasan, setiap jam dan suhu setiap 4
jam
3. Pantau nilai CVP, amati neurologis pasien (GCS), pantau status hemodinamik, pantau
haluaran urin (minimal 1ml/kg BB/jam), pantau status oksigen, fisoterapi dada.
4. Auskultasi suara paru setiap pertukaran jaga
5. Cek asalisa gas darah setiap hari atau bila diperlukan
6. Penghisapan lendir (suction) minimal setiap 2jam dan jika perlu
7. Perawatan tiap 2 jam (beri boraq gliserin)
8. Perawatan mata dengan memberi salep atau tetes mata setiap 2 jam
9. Ganti posisi pasien setiap 3 jam (perhatikan posisi yang benar bagi pasien)
10. Perawatan daerah invasif seperti daerah pemasangan CVP, kateter dan tube setiap hari
11. Ganti kateter dan NGT setiap minggu
12. Observasi letak tube (ETT) setiap shift
13. Observasi setiap aspirasi cairan lambung
14. Periksa laboratorium darah : elektrolit, ureum/kreatinin, AGD, protein (albumin), dan gula
darah (kolaborasi dokter)
15. Perawatan luka bakar sesuai protokol rumah sakit
16. Pemberian medikasi sesuai dengan petunjuk dokter
Prosedur tindakan perawatan luka pada pasien luka bakar:
1. Cuci / bersihkan luka dengan cairan savlon 1% dan cukur rambut yang tumbuh pada daerah
luka bakar seperti pada wajah, aksila, pubis, dll
2. Lakukan nekrotomi jaringan nekrosis
3. Lakukan escharotomy jika luka bakar melingkar (circumferential) dan eschar menekan
pembuluh darah. Eskartomi dilakukan oleh dokter
4. Bullae (lepuh) dibiarkan utuh sampai hari ke 5 post luka bakar, kecuali jika di daerah sendi /
pergerakan boleh dipecahkan dengan menggunakan spuit steril dan kemudian lakukan
nekrotomi
5. Mandikan pasien tiap hari jika mungkin
6. Jika banyak pus, bersihkan dengan betadin sol 2%
7. Perhatikan ekspresi wajah dan keadaan umum pasien selama merawat luka
8. Bilas savlon 1% dengan menggunakan cairan NaCl 0,9%
9. Keringkan menggunakan kasa steril
10. Beri salep silver sulfadiazine (SSD) setebal 0,5cm pada seluruh daerah luka bakar (kecuali
wajah hanya jika luka bakar dalam [derajat III] dan jika luka bakar pada wajah derajat I/II,
beri salep antibiotika)
11. Tutup dengan kasa steril (perawatan tertutup atau biarkan terbuka (gunakan cradle bed)
Penatalaksanaan berdasarkan jenis luka bakar:
1. Luka bakar berat (luka bakar >20% pada dewasa, >10% pada anak)
a. Pantau nadi, TD, suhu, keluaran urin, berikan analgesia adekuat i.v., pertimbangan selang
nasogastric (nasogastric tube, NGT), berikan profilaksis tetanus.
b. Berikan cairan i.v. berdasarkan formula Muir-Barclay: %luka bakar x berat badan dalam
kg/2= satu aliquot cairan. Berikan 6 aliquot cairan selama 36 jam pertama dengan urutan 4,
4, 4, 6, 6,12 jam dari waktu terjadinya luka bakar. Biasanya menggunakan larutan koloid,
albumin atau plasma.
c. Luka akibat terbakar diobati sebagai luka bakar ringan
d. Pertimbangkan untuk merujuk ke pusat luka bakar
2. Luka bakar ringan (luka bakar <20% pada dewasa, <10% pada anak)
a. Terapi terbuka-bersihkan luka dan biarkan terpapar pada lingkungan khusus yang bersih
b. Terapi tertutup-tutup luka dengan kasa yang dibasahi dengan klorheksidin atau silver
sulfadiazine yang ditutup tipis
c. Debridemen eskar dan split skin graft.
Resusitasi Cairan
Menurut Sunatrio (2000), pada luka bakar mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler
yang akan diikuti dengan ekstrapasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskuler ke
jaringan interstisial mengakibatkan terjadinya hipovolemik intravaskuler dan edema interstisial.
Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi kebagian distal
terhambat, menyebabkan gangguan perfusi sel atau jaringan atau organ. Pada luka bakar yang berat
dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif
di jaringan interstisial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravaskuler mengalami
defisit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen ke jaringan. Keadaan
ini dikenal dengan sebutan syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu singkat, untuk
mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab syok secara nyata bermakna memiliki
korelasi dengan angka kematian.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa penatalakannan syok dengan menggunakan metode
resusitasi cairan konvensional (menggunakan regimen cairan yang ada) dengan penatalaksanaan
syok dalam waktu singkat, menunjukan perbaikan prognosis, derajat kerusakan jaringan diperkecil
(pemantauan kadar asam laktat), hipotermi dipersingkat dan koagulatif diperkecil kemungkinannya,
ketiganya diketahui memiliki nilai prognostik terhadap angka mortalitas.
Resusitasi segera melalui IV dengan larutan elektrolit isotonic, keseimbangan larutan elektrolit
(misal, Ringer’s Laktat) dianjurkan karena NaCl 0,9% mengandung natrium dan klorida dalam
jumalh yang sangat banyak (Horne, M & Pamela L 2000).Perbaiki volume cairan yang bersirkulasi
seperti kristaloid, koloid atau darah melalui IV. Resusitasi cairan intravena yaitu cairan isotonic,
seperti Ringer Laktat jika pasien syok.
Menggunakan regimen yang telah direkomendasi oleh unit luka bakar setempat. Secara umum,
koloid lebih baik daripada larutan elektrolit, terutama bila anak akan dirujuk. Bila cairan yang
dianjurkan tidak tersedia, gunakan plasma dengan volume yang sama dengan larutan elektrolit
(Hartmann) untuk resusitasi. Separuhnya diberikan 8 jam pertama setelah luka bakar dan separuhnya
lagi diberikan dalam 16 jam berikutnya (Insley J, 2003)
Penghitungan berat badan pada pasien menjadi langkah awal. Kateter urin ditinggalkan sebagai
indeks perfusi ginjal dan untuk mengevaluasi keefektifan resusitasi cairan. Ada beberapa rumus yang
telah dikembangkan oleh berbagai pusat perawatan untuk menghitung kebutuhan cairan pada
penderita luka bakar. Terdapat dua sistem yang sering digunakan sekarang adalah modifikasi
Brooked dan Parkland. Kedua rumus ini menghitung kebutuhan cairan berdasarkan luas daerah luka
bakar dikali berat pasien dalam kilogram. Dikali volume larutan Ringer yang akan diberikan dalam
24 jam pasca luka bakar. Pada kedua perhitungan, setengah jumlah cairan diberikan dalam 8 jam
pertama sesusitasi, dengan seperempat dari seluruh jumlah semula diberikan tiap 8 jam berikutnya.
Pemantauan yang teliti dan cermat mengenai pengeluaran urin dan tekanan vaskuler sentral (bila
tepat) merupakan metode resusitasi yang tepat. Bila pengeluaran urin rendah dan terjadi
ketidakstabilan kardiovaskular pada pemberian volume intravena maka perlu adanya pemasangan
kateter termodilusi Swan-Ganz untuk memantau tekanan jantung kiri dan kanan serta curah jantung.
(Sabiston, 1995)
Maka membutuhkan cairan : (4 ml) X (75kg) X (20) = 6000 ml dalam 24 jam pertama
Hasil akhir
2. Formula Evans :
a. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumlah NaCl / 24 jam
b. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumah plasma / 24 jam (no a dan
b pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma untuk mengganti plasma yang
keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis hingga mengurangi
perembesan keluar dan menarik kembali cairan yang telah keluar)
c. 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan yang hilang akibat
penguapan)
Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan pada hari pertama. Dan hari ketiga
diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
3. Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan rumus Baxter yaitu :
% luka bakar x BB x 4 cc
Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya. Hari pertama terutama diberikan elektrolit yaitu larutan RL karena terjadi defisit ion Na.
Hari kedua diberikan setengah cairan hari pertama. Contoh: seorang dewasa dengan BB 60 kg dan
luka bakar seluas 25 % permukaan kulit akan diberikan 25% x 60 x 4 cc = 6000 cc yang diberikan
hari pertama dan 3000 cc pada hari kedua.
Metode Baxter
Menurut Moenadjat (2009), metode resusitasi ini mengacu pada pemberian cairan kristaloid dalam
hal ini Ringer Laktat (karena mengandung elektrolit dengan komposisi yang lebih fisiologis
dibandingkan dengan Natrium Klorida) dengan alasan; cairan saja sudah cukup untuk mengantikan
cairan yang hilang (perpindahan ke jaringan interstisium), pemberian kristaloid adalah tindakan
resusitasi yang paling fisiologis dan aman
a. Dewasa : Ringer laktat 4cc x berat badan x %luas luka bakar per 24jam
b. Anak : Ringer laktat : Dextran = 17 : 3
Kebutuhan faal :
Protocol resusitasi :
Kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama adalah 4 ml/kg/% luas luka bakar, pemberian berdasarkan
pedoman berikut.
Pedoman
a. Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam I (dihitung mulai saat kejadian luka bakar)
b. Separuh kebutuhan diberikan dalam 16 jam sisanya
Tabel Formula untuk resusitasi penggantian cairan (Horne M & Pamela L, 2000)
24 jam pertama
Cairan ringer
ABA untuk
mempertahankan
haluaran urin 30-50
ml/jam
Cairan ringer
luka bakar
Cairan ringer
Parland
Laktat, 4 ml/kg/%
Prognosis
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya permukaan luka
bakar dan penenganan syok hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah terbakar, usia, dan
keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepetaan kesembuhan. Luka bakar pada
daerah perinium, ketiak, leher, dan tangan sulit dalam perawatannya, karena mudah mengalami
kontraktur.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Primary Survey
a. Airway
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna mukosa/kulit
dan kesadaran
b. Breathing
Kaji pergerakan dinding thorax simetris atau tidak, ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan
misalnya dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun sesak. Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan
seperti snoring, gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas pasien.
c. Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya takikardi, bradikardi.
Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilar refil.Kaji juga kondisi akral dan nadi pasien.
d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor dan nilai GCS
e. Exposure
Pakaian pasien segera dievakuasi guna mengurangi pajanan berkelanjutan serta menilai luas dan
derajat luka bakar.
2. Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to toe,
dari depan hingga belakang.
a. Monitor tanda-tanda vital
b. Pemeriksaan fisik
c. Lakukan pemeriksaan tambahan
a. Data demografi meliputi identitas pasien nama, usia, jenis kelamin, alamat, dll
b. Keluhan Utama: Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu) dan durasi
pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan keluhan stridor, takipnea, dispnea,
dan pernafasan seperti bunyi burung gagak (Kidd, 2010).
c. Riwayat Penyakit Sekarang: Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting,
apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup, sehingga kecurigaan terhadap trauma
inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kapan kejadiannya terjadi
(Sjaifuddin, 2006).
d. Riwayat Penyakit Dahulu: Penting dikaji untuk menetukan apakah pasien mempunyai
penyakit yang tidak melemahkan kemampuan untuk mengatasi perpindahan cairan dan
melawan infeksi (misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif, dan sirosis) atau
bila terdapat masalah-masalah ginjal, pernapasan atau gastro intestinal. Beberapa
masalah seperti diabetes, gagal ginjal dapat menjadi akut selama proses pembakaran.
Jika terjadi cedera inhalasi pada keadaan penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal
jantung kongestif, emfisema) maka status pernapasan akan sangat terganggu (Hudak
dan Gallo, 1996).
e. Riwayat Penyakit Keluarga: kaji riwayat penyakit keluarga yang kemungkinan bisa
ditularkan atau diturunkan secara genetik kepada pasien seperti penyakit DM,
hipertensi, asma, TBC dll.
f. Review of System
a. B1 : nafas20 x/menit, tidak ada sesak nafas, bentuk dada simetris, penggunaan
otot bantu nafas tidak ada, saat diperkusi sonor, suara nafas normal.
b. B2 : Tidak ada peningkatan JVP, HR : 96x/ menit, BP : 170/100 mmHg
c. B3 : pupil normal, orientasi tempat-waktu-orang baik, reflek bicara baik,
pendengaran baik, penglihatan baik, penghidu baik, GCS : 15
d. B4 : urin pekat, Osmolaritas serum >450 mOsm/kg, Natrium serum = 170
mmol/L
e. B5 : kehausan dan penurunan nafsu makan
f. B6 : bola mata cekung, kelemahan otot, membran mukosa mulut kering
g. Pemeriksaan diagnostik
1. WBC 12,0 X 103ῃ/1
2. MCV 80,4 Fl
3. Limphosyt 11,2%
4. RDW 44,3 fL
1. Analisis data
DO:
DO:
Bersihan jalan napas
tidak efektif
pasien tampak sesak Inhalasi asap
pasien batuk-batuk
Gerakan dada tidak
simetris Edema laring
RR> 20 x/mnt
Do:
Permeabilitas kapiler
Turgor kulit kering
meningkat
Mukosa kering
Defisit volume cairan
CVP abnormal
Intake Output tidak
Evaporasi / Penguapan
seimbang
Kadar kalium, natrium
abnormal
Kehilangan cairan tubuh
4. Luka bakar
DS: -
DO: Vasodilatasi PD
Hb <10 ml/gr
Klien nampak sianosis Gangguan perfusi
Sirkulasi darah menurun jaringan tidak efektif
Ekstremitas dingin
Klien terlihat lemah
Akral dingin, lembab
Sel mengalami hipoksia
perfusi jaringan tidak
efektif
5. Luka bakar
DO:
DO:
- Nadi 120x/menit
S : Skala nyeri 7
1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan keracunan karbon monoksida, inhalasi asap
dan obstruksi saluran nafas atas
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan edema dan efek dari inhalasi asap
3. Defisit volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler dan kehilangan
lewat evaporasi dari luka bakar
4. Gangguan perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan penurunan atau interupsi aliran
darah arteri / vena
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan inflamasi, lesi
1. INTERVENSI
Dx: Bersihan
Setelah dilakukan tindakan Airway Management:
jalan napas tidak
keperawatan selama 1x24 jam
efektif 1. Auskultasi suara napas sebelum
jalan napas klien kembali paten
2 berhubungan dan sesudah dilakukan
(terbebas dari sumbatan),
dengan edema pembebasan jalan napas, catat
dengan kriteria hasil:
dan efek dari hasilnya
inhalasi asap a. RR normal (12- 2. Lakukan fiksasi pada daerah
24x/menit) kepala leher untuk
b. Ritme pernapasan meminimalkan terjadinya
reguler gerakan
c. Suara nafas normal 3. Lakukan pembebasan jalan
d. Tidak ada penggunaan napas secara manual dengan
oto bantu nafas teknik jaw thrust maneuver
secara hati-hati untuk mencegah
terjadinya gerakan leher
4. Lakukan pembebasan jalan
napas dengan alat
oropharyngeal airwayjika
dibutuhkan
5. Monitoring pernapasan dan
status oksigenasi klien
Manajemen nyeri :
6 Dx: Nyeri Setelah diberikan asuhan
berhubungan keperawatan selama…. jam
1. Kaji nyeri secara komprehensif
dengan kerusakan tingkat kenyamanan klien (lokasi, karakteristik, durasi,
kulit / jaringan meningkat, nyeri terkontrol dg frekuensi, kualitas dan faktor
KH: presipitasi).
2. Observasi reaksi nonverbal dari
a. Klien melaporkan nyeri
ketidaknyamanan.
berkurang dg scala nyeri
3. Gunakan teknik komunikasi
2-3
terapeutik untuk mengetahui
b. Ekspresi wajah tenang
pengalaman nyeri klien
c. Klien dapat istirahat dan
sebelumnya.
tidur
4. Kontrol faktor lingkungan yang
mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan.
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri.
6. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologis/non
farmakologis).
7. Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk mengatasi
nyeri.
8. Kolaborasi untuk pemberian
analgetik
9. Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri.
Seorang pasien bernama Tn. S berusia 27 tahun dengan BB 60 kg datang ke RSUA jam 11.00 pagi
karena terkena ledakan tabung gas. Kejadian pasien terluka bakar pada jam 08.00. Daerah luka bakar
terjadi pada sebagian besar dada klien ( Nilai : 18%). Keluhan utama klien saat dating ke RSUA
merintih kesakitan saat di kaji skala nyeri 7. Klien juga mengeluhkan sesak, batuk-batuk, serta klien
merasa lemas. Pasien mendapatkan 500 cc cairan.
Resusitasi cairan
a. Pengkajian
i. Anamnesa
a. Nama : Tn. S
b. Jenis kelamin : Laki-Laki
c. Tanggal masuk : 31 Maret 2016
d. Usia : 27 tahun
e. Status perkawinan : Menikah
f. Suku bangsa : Jawa/Indonesia
g. Alamat : Surabaya
h. Agama : Islam
i. Pekerjaan : Pegawai swasta
j. Pendidikan : Tamat SMP
i. Status Generalis
Suhu : 36,8oC
Pernapasan : 29x/menit
Berat badan : 60 kg
Rambut : hitam
iv. Leher
v. Dada
Bentuk : simetris
vi. Perut
vii. Punggung
Terdapat luka bakar menyeluruh pada bagian dada (18%). Warnanya merah, keabu-abuan, sedikit
tampak cairan.
b. Analisa Data
Masalah
No Data Etiologi
Keperawatan
Luka bakar
a. Tampak kesulitan
bernafas/sesak
Gangguan
2. b. Gerakan dada tidak
Vasodilatasi Pembuluh Darah pertukaran gas
simetris
c. Pola napas cepat dan
dangkal
d. TTV : TD: 100/70 Penyumbatan sal. Nafas bagian
mmHg, Nadi: atas
110x/mnt, S: 36,8oC,
RR: 29x/menit
Edema paru
Hiperventilasi
Luka bakar
DO:
Q : terasa panas
DO:
Gangguan
5. a. Terdapat edema
integritas kulit
b. Kulit kemerahan Kerusakan kulit/ jaringan
hingga nekrosis
c. Kulit tidak utuh
d. Akral dingin, lembab Inflamasi, Lesi
Kerusakan integritas kulit
c. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan b.d banyaknya penguapan/cairan tubuh yang keluar
2. Gangguan pertukaran gas/oksigen b.d kerusakan jalan nafas
3. Bersihan jalan nafas inefektif b.d obstruksi jalan nafas
4. Nyeri akut b.d kerusakan kulit dan jaringan
5. Gangguan integritas kulit b.d kerusakan kulit dan jaringan yang terkena luka bakar
d. Intervensi Keperawatan
c. Ht 37-43 %
d. Turgor elastic
e. Mucosa lembab
f. Akral hangat
1.Mengkaji tanda-tanda
distress nafas, bunyi,
frekuensi, irama, kedalaman
nafas.
Setelah dilakukan
2.Monitor tanda-tanda
tindakan keperawatan
hypoxia (agitsi,takhipnea,
dalam waktu 2 x 24
stupor,sianosis)
jam oksigenasi
jaringan adekuat 3.Monitor hasil
laboratorium, AGD, kadar
Gangguan pertukaran oksihemoglobin, hasil
gas/oksigen b.d kerusakan Kriteria Hasil: oximetri nadi,
2. jalan nafas
a.Tidak ada tanda- 4.Kolaborasi dengan tim
tanda sianosis medis untuk pemasangan
endotracheal tube atau
b. Frekuensinafas 12
tracheostomi tube bila
- 24 x/mnt
diperlukan.
c. SP O2 > 95
5.Kolabolarasi dengan tim
medis untuk pemasangan
ventilator bila diperlukan.
4. Perawatan pasca
nekrotomi dan debridement,
luka dicuci setiap kali
penggantian balutan.
5.Pemberian antimikroba
topikal membantu mencegah
infeksi. Mengikuti prinsip
aseptik melindungi pasien
dari infeksi. Kulit yang
gundul menjadi media yang
baik untuk kultur
pertumbuhan bakteri.
e. Evaluasi
1. S: Klien merasa tidak lemas
O: Turgor kulit baik, mukosa lembab, kadar Kalium= 4.0 mEq/L dan kadar Natrium= 135 mEq/L,
intake dan output seimbang
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
P: Intervensi dilanjutkan
P: Intervensi dilanjutkan
P: Intervensi dilanjutkan
5. S: Klien masih mengeluhkan perih pada luka
P: Intervensi dilanjutkan
DAFTAR PUSTAKA
Borley R. Neil danGrase A. Pierce. 2007. At a glance IlmuBedah. Edisi 3. Jakarta Erlangga
Dewi, Yulia Ratna Sintia. 2013. Luka Bakar : Konsep Umum dan Investigasi Berbasis Klinis Luka
Antemortem dan Postmortem. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Di Maio, V.J.M. & Dana, S.E. 1998. Fire and Thermal Injuries, in: Di Maio, V.J.M. & Dana,
S.E.(eds) Hand Book of Forensic Pathology. USA: Landes Bioscience
Grace, P.A & Borley, N.R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah edisi ketiga. Jakarta: Penerbit Erlangga
Gurnida, Dida dan Melisa Lilisari. 2011. Dukungan Nutrisi pada Penderita Luka Bakar. Bagian Ilmu
Kesehatann Anak,Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Rumah Sakit Hasan
Sadikin,Bandung.
Horne, M., Pamela L. 2000. Keseimbangan Cairan Elektrolit & Asam basa. EGC : Jakarta
Moenadjat Y. 2009. Luka bakar masalah dan tatalaksana. Jakarta : Balai penerbit FKUI
Nina, R. 2008. Efek Penyembuhan Luka Bakar dalam Sediaan Gel Ekstrak Etanol 70% Daun Lidah
Buaya (Aloe Vera L) pada Kulit Punggung Kelinci New Zealand. Skripsi. Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Ortiz-Pujols SM, Thompson K, Sheldon GF, et al. 2011. Burn Care : Are There Sufficient Prociders
and Facilities?. Chapel Hill, North Carolina. American College of Surgeons Health Policy Research
Institute
Sari, Suci Mustika. 2015. Pengalaman Prehospital Keluarga dalam Penanganan Luka Bakar di
RSUD Sukoharjo. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma Husada. Surakarta.
Sari, Suci Mustika. 2015. Pengalaman Prehospital Keluarga Dalam Penanganan Luka Bakar Di
Rsud Sukoharjo. Skripsi. Surakarta : Stikes Kusuma Husada .